Anda di halaman 1dari 19

TUTORIAL KLINIK

INSOMNIA

Disusun Oleh:
Silviana Andrayani Kurniawan
20164011100

Pembimbing:
dr. Iffah Qoimatun, Sp.KJ, M.kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2016
PENDAHULUAN

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau
mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut biasanya diikuti
gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa
mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di
antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup. 1
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa
kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian tidur
karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau
menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi
dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau serupa
muncul dalam kehidupan pasien. 1
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan
dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit) atau
lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari
6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien
dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia. 1
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di siang
hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini
mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan
tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas
hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan
penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat
yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja
pekerjaan dan sosial. 1
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah gangguan
medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi sejumlah gangguan,
termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri. 1
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau kejiwaan
yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya.
Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang
membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas
hidup bagi pasien mereka.
2.1. Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu
dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat
tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral
batang otak melakukan sinkronisasi. 1
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia
ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan
saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang
otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu: 1


1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase
REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali
siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium,
antara lain: 1
 Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap
stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas,
bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang
teta.
 Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan
frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K.
Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.
 Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang
bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta.
Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
 Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama
dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium 3
dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi dalam
stadium seperti dalm tidur NREM.
Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur
sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi
cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang
disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang
mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth
hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC bekerja seperti jam,
meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera
mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga
orang terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang
mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari
mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta
penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam
9 malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.
2.1 KLASIFIKASI
Internasional Classification of Sleep Disorders
1. Insomnia
2. Dissomnia
• Gangguan tidur intrisik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki gelisah, obstruksi saluran nafas,
hipoventilasi, post traumatik kepala, tidur berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
• Gangguan tidur ekstrisik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik, ketergantungan alkohol,
obat hipnotik atau stimulant
• Gangguan tidur irama sirkadian
Jet-lag sindroma, perubahan jadwal kerja, sindroma fase terlambat tidur, sindroma fase tidur
belum waktunya, bangun tidur tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.
3. Parasomnia
• Gangguan aurosal
Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal konfusional
• Gangguan antara bangun-tidur
Gerak tiba-tiba, tidur berbicara,kramkaki, gangguan gerak berirama
• Berhubungan dengan fase REM
Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus arrest
• Parasomnia lain-lainnya
Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan, distonia parosismal
4. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri
• Gangguan mental
Psikosis, anxietas, gangguan afektif, panik (nyeri hebat), alkohol
• Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multiple sklerosis), epilepsi, status epilepsi, nyeri
kepala, Huntington, post traumatik kepala, stroke, Gilles de-la tourette sindroma.
• Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit asma,penyakit jantung, ulkus peptikus, sindroma fibrositis, refluks gastrointestinal,
penyakit paru kronik (PPOK)
2.2 Definisi Insomnia
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk
memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya
satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The
International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan.
Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur
yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut.
Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau
mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu
penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan
emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak
hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.
2.2 Epidemiologi
Insomnia adalah suatu gangguan tidur yang paling sering dijumpai baik pada pasien dengan
maupun tanpa gangguanpsikiatrik. Menurut penelitian di luar negeri, 70% pasien psikiatrik yang
dirawat di rumah sakit menderita insomnia. Di Inggris, 15% pasien yang mengunjungi dokter
keluarga menderita insomnia. Prevalensi insomnia meningkat dengan bertambahnya usia.
Insomnia lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria
Mc Ghie dan Russell meneliti 2500 orang di Skotlandia yang meliputi berbagai golongan,
tingkat usia dan tingkat sosial. Mereka mendapatkan bahwa orang yang merasa tergolong
bertemperamen nervous (gugup) juga merasa kurang tidur. Penelitian di berbagai negara
menunjukkan hasil bahwa wanita lebih sering mengalami insomnia daripada pria (2:1). Di
Skotlandia, 45% dari wanita yang berusia lebih dari 75 tahun mempunyai kebiasaan makan obat
tidur secara teratur. Penelitian Mc Ghie dan Russell tersebut di atas terhadap 400 orang berusia
15 - 24 tahun, 5% diantaranya mengalami insomnia. Pada penelitian di Jakarta tahun 1988
terhadap 2500 siswa SLTP Negeri, sekitar 31% mengaku sering susah tidur

6
2.3 Klasifikasi Insomnia
 Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini
dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan
sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer
ini.
 Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis. Masalah
psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia
sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa
nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari
10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh
efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-
obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10
orang yang menderita insomnia.
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International code of
diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International
Classification of Sleep Disorders (ISD).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:


 Organik
 Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu buruk,
berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah
insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi
dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

7
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan
kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita
minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia diklasifikasikan


menjadi:
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified (nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

2.4. Etiologi Insomnia


 Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat
pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang
penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau
kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
 Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak
atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
 Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa
antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan
kortikosteroid.
 Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah
stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia.
Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi
mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
 Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering
buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan
mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis,
kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke,
penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
 Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran
waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk

8
tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun,
metabolisme, dan suhu tubuh.
 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa
tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan
kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau
ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau
membaca.

2.4 Peranan Neurotransmiter pada Insomnia


Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending
Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan
tidur. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini
sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem serotoninergik,
noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
 Sistem serotonergik
Serotonin, yang dikenal juga dengan nama 5-hidroksitriptamin (5-HT) merupakan
salah satu neurotransmitter yang memegang peranan penting dalam mood, persepsi
terhadap rasa sakit, aktivitas dasar seperti makan, siklus bangun-tidur aktivitas motorik,
perilaku seksual, dan regulasi temperature tubuh. Serotonin berasal dari asam amino
triptofan, serotonin juga dapat dikonversi oleh otak menjadi melatonin.
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin
dari tryptopan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga.
Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada
nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonis
dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM. 2 Serotonin adalah prekursor untuk rendering
tubuh melatonin. Melatonin disintesis dan dilepaskan oleh glandula pinealis yang
biasanya dihasilkan pada malah hari. Dalam database yang tersedia menyatakan
melatonin memiliki peranan dalam pencegahan dan pengobatan siklus sirkadian dan
gangguan tidur. Beberapa penelitian menyatakan bahwa melatonin dapat menginduksi
dan menjaga tidur pada subjek yang normal atau pada orang yang insomnia, jet lag, atau
gangguan irama sirkadian.8,9
 Sistem Adrenergik

9
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel
nukleus cereleus di batang otak. Walaupun dalam jumlah sedikit, neuron noradrenergik
sangat penting. Sebagai contoh tikus yang mengalami defisiensi norepinefrin (NE) tidak
dapat bertahan hidup. NE memegang peranan penting dalam kewaspadaan, pembakaran
di lokus cereleus meningkatkan sepanjang spectrum dari keadaan mengantuk menjadi
waspada, dengan keadaan terendah ditemukan ketika tidur dan tertinggi ketika dalam
keadaan berjaga-jaga.
Norepinefrin memiliki peranan utama dalam regulasi mood, kecemasan, dan
kewaspadaan. Dalam hipotesa monoamine pertama tentang gangguan afektif
menyatakan bahwa aktivitas rendah norepinefrin atau serotonin dapat menyebabkan
depresi dan peningkatan aktivitas norepinefrin dan serotonin dapat menyebabkan
mania.10 Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan
atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron
noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur R EM dan
peningkatan keadaan jaga.
 Sistem Kolinergik
Ada berbagai reseptor kolinergik yaitu reseptor nikotinik dan reseptor
muskarinik. Reseptor nikotinik yang terdapat di ganglia otonom, adrenal medulla, dan
SSP disebut reseptor nikotinik neuronal dan yang di otot disebut reseptor nikotinik otot.
Asetilkolin berperan dalam transmisi neurohormonal pada beberapa bagian otak dan
Ach hanya merupakan salah satu transmitter dalam SSP.
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena
dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kolinergik ini,mengakibatkan
aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kolinergik sentral
yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga
terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang
menghambat pengeluaran kolinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada
fase awal dan penurunan REM.
 Sistem histaminergik
Histamin tidak hanya pada alergi. Walaupun histamine dikeluarkan dari sel mast
sebagai bagaian dari reaksi alergi di perifer, pada otak histamine terlibat dalam pehatian
dan waspada. Kebanyakan dari bodi sel memulai dari nucleus tuberomammilari
hipotalamus posterior, jarang tetapi menyebar luas ke semua daerah otak dan medulla
spinalis. Ketika binatang dalam keadaan bahaya, histamine akan aktif. Histamine

10
berkurang ketika binatang sedang tidur.Antihistamin penghambat reseptor H 1 (AH1)
dapat merangsang maupun menghambat SSP.
Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH 1 biasanya
adalah insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada
keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan
gejala mengantuk, berkurangnya kewaspadaandan waktu reaksi yang lambat.
Antihistamin generasi II tidak atau sangat sedikit menembus sawar darah otak sehingga
pada kebanyakan pasien tidak menyebabkan kantuk.
 Sistem hormone
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon
seperti ACTH (Adenocorticotropic Hormone), GH (Growth Hormone), TSH (Thyroid
Stimulating Hormone), dan LH (Luteinizing Hormone). Hormon-hormon ini masing-
masing disekresi secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus
patway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter
norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.
Kortisol penting dalam respon fisiologi terhadap stress dan dapat terlibat dalam control
mood dan perilaku. Sebagai tambahan aksi langsung hormone, kortiso juga mengatur
sintesis protein dan modulasi produksi sintesis enzim pada SSP. Pasien dengan
hiperkortisol (cushing’s sindrom) dapat menjadi depresi, mania,bingung, dan gejala
psikotik. Apati, kelelahan dan depresi biasanya merupakan gejala hipokortisolisme
(Addison’s dosease).
Pelepasan GH meningkatkan kegiatan dan stress, juga terhadap tidur
dihubungkan dengan pelepasannya. GH merespon GHRF diubah menjadi depresi dan
anoreksia nervosa, sebagai tidur normal dihubungkan dengan pelepasan. Somatostatin
ditemukan pada konsentrasi tinggi diluar hipotalamus, khususnya di korteks serebral dan
amigdala, tapi dapat juga ditemukan pada batang otak, ganglia basalis, dan hipokampus.
Efek behavioral somatostatin yaitu menurunkan aktivitas dan meningkatkan sedasi.
Perubahan signifikan pada regulasi somatostatin dapat dihitung untuk neuroendokrin
pada penyakit depresi mayor.
Beberapa gejala psikiatrik dapat dihubungkan dengan disfungsi tiroid. Pada
orang dewasa dapat menyebabkan hipertiroidisme yang menyebabkan kecemasan,
iritabilitas, walaupun hipertiroidisme apatetik dikarakteristikkan dengan depresi.
Hipotiroid juga dikarakteristikkan dengan depresi, gangguan kognitif, bingung, dan
psikosis.

11
2.5 Faktor Resiko Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia
meningkat jika terjadi pada: 1
 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama
siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause,
sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.
 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.
 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti
kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.
Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.
 Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering
meningkatkan resiko insomnia.

2.6 Tanda dan Gejala Insomnia


 Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari
 Sering terbangun pada malam hari
 Bangun tidur terlalu awal
 Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
 Iritabilitas, depresi atau kecemasan
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
 Ketegangan dan sakit kepala
 Gejala gastrointestinal

2.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap: 1
 Pola tidur penderita.
 Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
 Tingkatan stres psikis.
 Riwayat medis.
 Aktivitas fisik
 Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan
tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai
tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.

12
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa
menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan masalah
pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan
selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan
tubuh. 2

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ 3


 Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
 Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis
insomnia diabaikan.
 Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh
karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas
(seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi
stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)

2.8 Tatalaksana 1
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan cara
untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan
sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi
- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
- Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan
pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini
dapat membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
- Terapi kognitif.

13
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang positif.
Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang
dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:
1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton televisi,
makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di tempat
tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke ruangan lain
dan melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah
merasa mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur
tidak juga dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang
dilakukan sampat seseorang dapat tidur.
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur pada
malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol waktu).
4. Tidur siang harus dihindari.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
 Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur

 Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

 Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

 Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

 Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau

beribadah
 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam

hari.
 Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan

 Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari

sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.


 Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

 Menghindari makan besar sebelum tidur

 Cek kesehatan secara rutin

14
 Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik

2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu benzodiazepine
dan non-benzodiazepine. 1
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur : 4


 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan
benzodiazepine (Short Acting)
15
Misalnya pada gangguan anxietas
 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses
tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu
golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu golongan
phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis
 Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
 Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2
minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan
toleransi obat)
 Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan,
untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
 Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak
setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian
 Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2
minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
 Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”
(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu
paruh) :
 Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala rebound lebih berat
pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
 Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan
 Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala “hang over” pada pagi
harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”

16
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi “disinhibiting
effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat
 Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi
SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”
 Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau
“produce protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan interaksi obat
atau dengan kondisi medik tertentu.
 Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS
Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus
 Kontraindikasi :
- Sleep apneu syndrome
- Congestive Heart Failure
- Chronic Respiratory Disease
 Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
“teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama.
Juga benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia dapat
mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi insomnia meliputi 5


17
 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang
tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain s eperti
depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia. 1

KESIMPULAN

Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan tidur,
atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana apabila
tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan,
pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia
didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita, pemakaian obat-obatan,
alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur
secara individual.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi, bergantung
pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia
dapat berupa golongan benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non
benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis
dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti
mengatur jadwal tidur.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made.
Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
3. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
4. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Insomnia.(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternative-
medicine Diakses tanggal 25 Oktober 2013)

19

Anda mungkin juga menyukai