ABSTRAK
Penyakit rinitis alergi (RA) banyak dijumpai dalam praktek THT. Data
epidemiologis di Indonesia belum ada. Berdasarkan survey dengan kwesener ISAAC
pada siswa SMP umur 13-14 th di Semarang ( 2001-2002 ) prevalensi RA sebesar 18%.
Kita belum punya panduan rinitis alergi, sebagai acuan dipakai panduan
penatalaksanaan rinitis alergi dari ARIA –WHO.
Panduan RA dari WHO dimulai dengan definisi dan klasifikasi RA yang baru,
diikuti diagnosis dan identifikasi alergen. Klasifikasi RA yang baru didasarkan atas
lamanya serangan dan beratnya gejala menjadi RA intermiten yaitu bila gejala RA
terdapat kurang dari 4 hari/ minggu atau baru dirasakan 4 minggu dan RA persisten bila
gejala RA didapatkan lebih dari 4 hari/ minggu dan bila sudah lebih dari 4 minggu.
Sedangkan berdasarkan beratnya penyakit dibedakan atas RA ringan, yaitu bila gejala
tidak mengakibatkan gangguan baik aktifitas maupun tidur dan RA sedang–berat bila
gejala RA menyebabkan gangguan yang bervariasi dari gangguan tidur sampai ke
gangguan aktifitas sehari-hari.
Penatalaksanaan RA dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit untuk
mengklasifikasi jenis RA dan derajat penyakitnya, pemeriksaan fisik THT dan
identifikasi alergen penyebab dengan cara tes kulit atau tes alergi. Sebelum pengobatan
farmakologis diberikan penderita dianjurkan untuk melakukan eliminasi alergen
penyebab. Pemberian farmakoterapi meliputi antihistamin (anti H1) yang dibedakan
atas anti H1 klasik / sedating dan anti H1 yang baru / non sedating , dekongestan
hidung ( topikal dan sistemik) kortikosteroid ( topikal dan sistemik ) serta imunoterapi
spesifik.
Algoritma panduan RA baik diagnosis maupun penatalaksananya disajikan
secara bertahap sesuai dengan respon penyakit terhadap terapi yang diberikan. Pemilihan
terapi dapat disesuaikan dengan fasilitas yang ada, respon terapi dan serta kemampuan
penderita untuk menjangkaunya.
1
2
PENDAHULUAN
Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang diperantarai
oleh IgE setelah terjadi paparan / pajanan alergen pada mukosa hidung. Gejala khas
dari RA berupa bersin- bersin, rinore, hidung tersumbat dan rasa gatal di hidung atau
sekret post nasal. Pada beberapa kasus disertai pula dengan gejala mata.
Rinitis alergi sekarang dianggap merupakan masalah kesehatan global karena
merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai di seluruh dunia dan mengenai 10-
25% populasi. Prevalensi RA terjadi peningkatan pada dekade terakhir dan merupakan
salah satu dari 10 besar alasan seseorang mengunjungi dokter. Dari hasil studi ISAAC
fase I, prevalensi RA pada anak 6-7 th didapatkan sebesar 0,8-14,95%, pada umur 13-14th
sebesar 1,4 - 39% (1995). Data epidemiologik RA di Indonesia berdasarkan penelitian
dari beberapa sentra pendidikan didapatkan angka prevalensi yang bervariasi antara
1,14% -23,34%. Suatu survey di Semarang ( bagian dari ISAAC fase III) menggunakan
kwesener ISAAC pada murid SLTP umur 13-14 th ( 2001-2002) didapatkan sebesar
18,6%.
Penyakit lain yang erat hubungannya dengan RA adalah asma bronkhial, otitis
media, polip hidung, sinusitis, infeksi saluran nafas dan kelainan oklusi gigi. Adanya
saling hubungan dari penyakit-penyakit tersebut maka beaya pengobatannya harus
diperhitungkan jika akan menilai pengaruh sosial ekonomi dari RA.
Adanya hubungan yang erat antara RA dan asma mendukung suatu konsep “ one air
one disease” sehingga dalam penatalaksanaanya pada penderita RA persisten harus
dievaluasi untuk asmanya dan sebaliknya pada penderita asma harus dievaluasi RA nya.
Suatu panduan/ guideline klinis RA telah dikembangkan secara sistimatis untuk
membantu para praktisi dan penderita dalam membuat keputusan tentang pengobatan
yang tepat dan efektif.
2
3
1. DEFINISI
Rinitis alergi adalah kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa
hidung yang dimediasi oleh hipersensitifitas/alergi tipe I, dengan gejala khas berupa
hidung gatal, bersin-bersin, rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara
spontan maupun dengan pengobatan.
3
4
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen
menjadi RA musiman/ seasonal dan RA sepanjang tahun/ perennial sekarang dianggap
tidak memuaskan.
Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
* ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
* simptom RA perenial tidak terjadi sepanjang tahun
* kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda, oleh karena
itu simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun.
* pada sebagian kasus rinitis perenial mengalami eksaserbasi ketika terpapar pollen
* banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite
* karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah dan inflamasi
minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick berhubungan
dengan musim.
Oleh karena itu diusulkan suatu perubahan dalam klasifikasi RA seperti termuat dalam
dokumen ARIA sbb.:
4
5
- gangguan tidur
- gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga
- gangguan pekerjaan atau sekolah
- simptom dirasakan mengganggu
3. RA okupasional / karena pekerjaan ?
5
6
3. 2. PEMERIKSAAN FISIK
- Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung
Perhatikan adanya edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret cair, mukosa
pucat. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi dan perhatikan pula
kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Adakah gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus medius dan keadaan
kompleks ostiomeatal.
3. 3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada.
1. Uji kulit (Uji tusuk / Prick test ) paling sesuai karena mudah dilakukan, dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak.. Mempunyai sensitifitas
dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
Akan lebih ideal bila dilakukan Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test
(bila tersedia).
2. IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 – 150 IU/ml.
3. IgE serum spesifik ( mahal ).
6
7
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis infeksi ( virus , bakteri atau penyebab lain.)
2. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
3. Drug-induced rhinitis
4. Rinitis Hormonal
5. NARES
6. Rinitis karena Iritan
7. Rinitis vasomotor
8. Rinitis atropi
9. Rinitis idiopatik
4. ELIMINASI ALERGEN
4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia adalah
house dust mite (tungau debu rumah), pet danders dan alergen kecoa.
Cara menghindari :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus mite), tetapi
mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan
- air panas (> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan menjemur cucian
dibawah sinar matahari langsung.
7
8
5. FARMAKOTERAPI
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast
yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada
reseptornya di permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan
besar pada timbulnya gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator
lain yang tergolong newly formed mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan
pada reaksi fase lambat yang menyebabkan inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik
yang dapat menetap berhari-hari.
5.1. Antihistamin
Sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin bekerja menghambat efek histamin pada tingkat reseptor dan
sangat efektif untuk mengurangi gejala rinitis alergi meskipun kurang efektif untuk
8
9
gejala hidung tersumbat. Terdapat banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar
dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.
Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya terbatas
karena bersifat sedatif.
Contoh : diphenhydramin, prometazin, tripolidin , chlorpheniramine dan polaramine.
Selain efek antihistamin, anti-H1 klasik mempunyai efek antikholinergik, dapat
menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor histamin H1 perifer
karena dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif.
Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena
bekerja lama ( 24 jam), tidak menembus sawar darah otak dan selektif terhadap reseptor
H1 perifer sehingga bersifat non sedasi bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan.
Antihistamin dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 yang juga dipakai
untuk metabolisme obat lain seperti golongan azol (ketoconazole) dan golongan
makrolida. Oleh karena itu pemakaian antihistamin klasik bersamaan dengan obat-obat
tersebut sebaiknya dihindari. Pemakaian beberapa antihistamin ternyata dapat
menyebabkan gangguan jantung akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga
memperpanjang interval QT yang dapat menimbulkan torsades de point yang dapat
berakibat kematian. Yang termasuk antihistamin generasi baru adalah terfenadine,
astemizole, loratadine, cetirizine, fexofenadine, desloratadine dan levocetirizine.
Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik, antihistamin
baru dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena :
- dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin ( fexofenadine, loratadin, terfenadin)
- menekan kemotaksis eosinofil ( fexofenadine , cetirizine )
- mengurangi ekspresi ICAM-1 ( fexofenadine, terfenadin, loratadin , cetirizine)
- menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien
(fexofenadine)
9
10
lebih responsif. Demikian pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual
terhadap efek sedasi antihistamin baik dari golongan sedasi maupun non sedasi.
5.2.Dekongestan hidung
Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada
reseptor alfa-adrenergik. Ada beberapa sediaan yang dipakai dalam klinik yang dapat
dipakai secara oral maupun topikal:
- agonis alfa-1 adrenergik ( phenyleprin )
- agonis alfa2 adrenergik ( efedrin, pseudoefedrin, amfetamin)
- obat-obat mencegah re-uptake nor-adrenalin ( cocain, phenylpropanolamin )
Pemakaian topikal sangat efektif untuk menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak
efektif untuk keluhan bersin & rinore. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit,
berlangsung kurang lebih 1 jam untuk epineprin dan 8-12 jam untuk oxymetazolin.
Untuk pemakaian oral seperti ephedrin, phenyleprin, phenylpropanolamin dan
pseudoephedrin. Efek dekongestan mulai terjadi dalam 30 menit, berlangsung sampai 6
jam atau 8-24 jam yang berbentuk sustained release.
Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar,
kering atau ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari
10
11
5. 3. KORTIKOSTEROID
Pemberian sistemik
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid
intramuskuler. Glukokortikoid sistemik mempunyai kerja anti-inflamasi yang luas dan
efektif untuk hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung. Tidak ada laporan
keamanan untuk pemberian depo glukokortikoid ulangan. Pemberian oral lebih dipilih
karena lebih murah dan dosisnya lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian
depo akan mengakibatkan penglepasan yang terus menerus sepanjang hari dan menekan
HPA- axis dan juga dapat berakibat atrofi jaringan lokal. Pemberian depo intranasal pada
konka yang bengkak dan polip harus dihindari, karena dapat menyebabkan efek samping
yang serius ( kebutaan ).
11
12
12
13
6. IMUNOTERAPI
Imunoterapi spesifik adalah memberikan allergen yang sesuai dengan hasil tes
kulit, dosisnya secara bertahap dinaikan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan
serangan/ gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada
paparan alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif.
Terdapat beberapa cara imunoterapi : injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan
lokal.
Injeksi subkutan lebih banyak dipraktekan. Imunoterapi sublingual/ peroral masih
banyak diteliti dan mulai banyak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping anafilaksis
sistemik pada suntikan imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada penderita
asma, meskipun demikian resiko terjadinya reaksi anafilaksi sistemik mengakibatkan
keterbatasan pengobatan ini. Pemberian imunoterapi spesifik harus diberikan oleh
spesialis yang berpengalaman atau terlatih dan menyadari kemungkinan terjadinya efek
samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya bila sewaaktu-waktu terjadi.
Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end point titration ( SET).
13
14
Skema penaatalaksnaan Rinitis Alergi
dari ARIA-WHO
RINITIS ALERGI
RA intermiten RA persisten
Pd RA persisten
pasien ditinjau Dosis diturunkan Tinjau diagnosis
lagi 2-4 mgg dan lanjutkan terapi Tinjau compliance
> 1 bln Infeksi ?
atau sebab lain?
gagal
operasi
14
15
15
16
16