Anda di halaman 1dari 16

1

MANAJEMEN RINITIS ALERGI TERKINI BERDASARKAN ARIA WHO


Suprihati
Kelompok studi alergi- imunologi PERHATI
Bag THT-KL FK UNDIP/RS dr Kariadi
Semarang

ABSTRAK

Penyakit rinitis alergi (RA) banyak dijumpai dalam praktek THT. Data
epidemiologis di Indonesia belum ada. Berdasarkan survey dengan kwesener ISAAC
pada siswa SMP umur 13-14 th di Semarang ( 2001-2002 ) prevalensi RA sebesar 18%.
Kita belum punya panduan rinitis alergi, sebagai acuan dipakai panduan
penatalaksanaan rinitis alergi dari ARIA –WHO.
Panduan RA dari WHO dimulai dengan definisi dan klasifikasi RA yang baru,
diikuti diagnosis dan identifikasi alergen. Klasifikasi RA yang baru didasarkan atas
lamanya serangan dan beratnya gejala menjadi RA intermiten yaitu bila gejala RA
terdapat kurang dari 4 hari/ minggu atau baru dirasakan 4 minggu dan RA persisten bila
gejala RA didapatkan lebih dari 4 hari/ minggu dan bila sudah lebih dari 4 minggu.
Sedangkan berdasarkan beratnya penyakit dibedakan atas RA ringan, yaitu bila gejala
tidak mengakibatkan gangguan baik aktifitas maupun tidur dan RA sedang–berat bila
gejala RA menyebabkan gangguan yang bervariasi dari gangguan tidur sampai ke
gangguan aktifitas sehari-hari.
Penatalaksanaan RA dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit untuk
mengklasifikasi jenis RA dan derajat penyakitnya, pemeriksaan fisik THT dan
identifikasi alergen penyebab dengan cara tes kulit atau tes alergi. Sebelum pengobatan
farmakologis diberikan penderita dianjurkan untuk melakukan eliminasi alergen
penyebab. Pemberian farmakoterapi meliputi antihistamin (anti H1) yang dibedakan
atas anti H1 klasik / sedating dan anti H1 yang baru / non sedating , dekongestan
hidung ( topikal dan sistemik) kortikosteroid ( topikal dan sistemik ) serta imunoterapi
spesifik.
Algoritma panduan RA baik diagnosis maupun penatalaksananya disajikan
secara bertahap sesuai dengan respon penyakit terhadap terapi yang diberikan. Pemilihan
terapi dapat disesuaikan dengan fasilitas yang ada, respon terapi dan serta kemampuan
penderita untuk menjangkaunya.

1
2

PENDAHULUAN

Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang diperantarai
oleh IgE setelah terjadi paparan / pajanan alergen pada mukosa hidung. Gejala khas
dari RA berupa bersin- bersin, rinore, hidung tersumbat dan rasa gatal di hidung atau
sekret post nasal. Pada beberapa kasus disertai pula dengan gejala mata.
Rinitis alergi sekarang dianggap merupakan masalah kesehatan global karena
merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai di seluruh dunia dan mengenai 10-
25% populasi. Prevalensi RA terjadi peningkatan pada dekade terakhir dan merupakan
salah satu dari 10 besar alasan seseorang mengunjungi dokter. Dari hasil studi ISAAC
fase I, prevalensi RA pada anak 6-7 th didapatkan sebesar 0,8-14,95%, pada umur 13-14th
sebesar 1,4 - 39% (1995). Data epidemiologik RA di Indonesia berdasarkan penelitian
dari beberapa sentra pendidikan didapatkan angka prevalensi yang bervariasi antara
1,14% -23,34%. Suatu survey di Semarang ( bagian dari ISAAC fase III) menggunakan
kwesener ISAAC pada murid SLTP umur 13-14 th ( 2001-2002) didapatkan sebesar
18,6%.
Penyakit lain yang erat hubungannya dengan RA adalah asma bronkhial, otitis
media, polip hidung, sinusitis, infeksi saluran nafas dan kelainan oklusi gigi. Adanya
saling hubungan dari penyakit-penyakit tersebut maka beaya pengobatannya harus
diperhitungkan jika akan menilai pengaruh sosial ekonomi dari RA.
Adanya hubungan yang erat antara RA dan asma mendukung suatu konsep “ one air
one disease” sehingga dalam penatalaksanaanya pada penderita RA persisten harus
dievaluasi untuk asmanya dan sebaliknya pada penderita asma harus dievaluasi RA nya.
Suatu panduan/ guideline klinis RA telah dikembangkan secara sistimatis untuk
membantu para praktisi dan penderita dalam membuat keputusan tentang pengobatan
yang tepat dan efektif.

2
3

Panduan/ guideline RA internasional yang meliputi diagnosis dan manajemen RA


pertama dipublikasikan th 1994 oleh Prof Vaalerie Lund yang kemudian di update oleh
The EAACI yang dipublikasikan di Allergy 2000. Guideline ini kemudian disebar
luaskan lebih lanjut melalui program GLORIATM yang merupakan organisasi alergi
dunia (WAO) yang dilaksanakan di Indonesia th 2003 pada ARSAR meeting di Bali.
Adapun tujuan pengobatan RA adalah meringankan gejala, menekan inflamasi
mukosa hidung, mencegah eksaserbasi, mencegah komplikasi terutama asma, dan
memperbaiki kwalitas hidup penderita.
Dokumen ARIA ini tidak dimaksudkan untuk menjadi dokumen standar perawatan
penderita di masing-masing negara, tetapi sebagai dasar bagi dokter dan organisasi yang
terlibat dalam pengobatan RA dan asma di berbagai negara untuk mengembangkan
standar lokal yang sesuai untuk penderita.

PENATALAKSANAAN RA TERKINI BERDASARKAN ARIA-WHO


Untuk penatalaksanaan rinitis alergi ( RA) secara garis besar dibuat tahapan sebagai
berikut :
1. Definisi
2. Klasifikasi
3. Diagnosis & identifikasi alergen
4. Eliminasi alergen
5. Farmakoterapi
6. Imunoterapi.

1. DEFINISI
Rinitis alergi adalah kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa
hidung yang dimediasi oleh hipersensitifitas/alergi tipe I, dengan gejala khas berupa
hidung gatal, bersin-bersin, rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara
spontan maupun dengan pengobatan.

3
4

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen
menjadi RA musiman/ seasonal dan RA sepanjang tahun/ perennial sekarang dianggap
tidak memuaskan.
Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
* ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
* simptom RA perenial tidak terjadi sepanjang tahun
* kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda, oleh karena
itu simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun.
* pada sebagian kasus rinitis perenial mengalami eksaserbasi ketika terpapar pollen
* banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite
* karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah dan inflamasi
minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick berhubungan
dengan musim.
Oleh karena itu diusulkan suatu perubahan dalam klasifikasi RA seperti termuat dalam
dokumen ARIA sbb.:

Berdasarkan terdapatnya simptom :


1. RA Intermiten, bila simptom terdapat :
- kurang dari 4 hari/ minggu
- atau bila kurang dari 4 minggu
2. RA Persisten, bila simptom terdapat :
- lebih dari 4 hari/minggu
- dan bila lebih dari 4 minggu
Berdasarkan beratnya gejala :
1. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari hal-hal sebagai berikut :
- gangguan tidur
- gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga
- gangguan pekerjaan atau sekolah
- simptom dirasakan mengganggu.
2. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut:

4
5

- gangguan tidur
- gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga
- gangguan pekerjaan atau sekolah
- simptom dirasakan mengganggu
3. RA okupasional / karena pekerjaan ?

3. DIAGNOSIS DAN IDENTIFIKASI ALERGEN


3.1. ANAMNESIS
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai
tempat tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan)
- Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat ( menetap/ berganti-ganti)
- Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
- Mata gatal, berair atau kemerahan
- Hiposmia / anosmia
- Post nasal drip atau batuk kronik
- Adakah variasi diurnal (memburuk pada pagi hari – siang hari dan membaik saat
malam hari ).
- Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten.
- Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah,
tidur dan aktifitas sehari-hari.

Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis.


Misalnya asma bronkhial, dermatitis atopik, urtikaria dan alergi makanan

Riwayat atopi di keluarga


Apakah ada anggota keluarga, dari ayah atau dari ibu yang pernah menderita salah
satu penyakit alergi tersebut diatas.

5
6

Faktor pemicu timbulnya gejala


- Lingkungan di rumah, tempat kerja, sekolah, apakah ada hubungan antara
kegemaran atau hobi penderita yang dapat memprovokasi timbulnya gejala.
- Penderita rinitis alergi dapat berkembang menjadi keadaan hiperreaktifitas hidung
terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, bau merangsang, udara dingin, polutan,
bau parfum, bau deodoran dsb.

Riwayat pengobatan dan hasilnya


- Ditanyakan efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan
yang sudah diterimanya.
- Bagaimana Compliance/ kepatuhan berobat

3. 2. PEMERIKSAAN FISIK
- Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung
Perhatikan adanya edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret cair, mukosa
pucat. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi dan perhatikan pula
kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Adakah gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus medius dan keadaan
kompleks ostiomeatal.

3. 3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada.
1. Uji kulit (Uji tusuk / Prick test ) paling sesuai karena mudah dilakukan, dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak.. Mempunyai sensitifitas
dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
Akan lebih ideal bila dilakukan Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test
(bila tersedia).
2. IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 – 150 IU/ml.
3. IgE serum spesifik ( mahal ).

6
7

4. Pemeriksaan sitologis / histologis, bila diperlukan untuk :


- Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi,
- Menindak lanjuti respons terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik
dari mukosa hidung
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian karena memerlukan
ketrampilan dan fasilitas laboratorium .

DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis infeksi ( virus , bakteri atau penyebab lain.)
2. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
3. Drug-induced rhinitis
4. Rinitis Hormonal
5. NARES
6. Rinitis karena Iritan
7. Rinitis vasomotor
8. Rinitis atropi
9. Rinitis idiopatik

4. ELIMINASI ALERGEN
4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia adalah
house dust mite (tungau debu rumah), pet danders dan alergen kecoa.
Cara menghindari :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus mite), tetapi
mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan
- air panas (> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan menjemur cucian
dibawah sinar matahari langsung.

Akan lebih baik bila :


a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti :
- dari keramik

7
8

- dari bahan plastik


- dari kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/ kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu dg filter HEPA dan kantong yang
bahannya tebal
d. Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/ berbulu yang dapat dicuci.

4.2. Binatang piaraan ( kucing dan anjing)


Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa keluarga. Yang bersifat
alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi juga saliva, sekresi sebasea 
yang membentuk partikel di udara dalam waktu yang cukup lama. Oleh
karena itu usaha pencegahan sulit. Cara yang paling sederhana tetapi kadang
sangat sulit yaitu dengan tidak memelihara binatang tersebut dan bila pernah,
membersihkan karpet, kasur dan kursi dengan penghisap debu berulang-
ulang.

5. FARMAKOTERAPI

Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast
yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada
reseptornya di permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan
besar pada timbulnya gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator
lain yang tergolong newly formed mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan
pada reaksi fase lambat yang menyebabkan inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik
yang dapat menetap berhari-hari.

5.1. Antihistamin
Sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin bekerja menghambat efek histamin pada tingkat reseptor dan
sangat efektif untuk mengurangi gejala rinitis alergi meskipun kurang efektif untuk

8
9

gejala hidung tersumbat. Terdapat banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar
dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.
Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya terbatas
karena bersifat sedatif.
Contoh : diphenhydramin, prometazin, tripolidin , chlorpheniramine dan polaramine.
Selain efek antihistamin, anti-H1 klasik mempunyai efek antikholinergik, dapat
menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor histamin H1 perifer
karena dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif.
Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena
bekerja lama ( 24 jam), tidak menembus sawar darah otak dan selektif terhadap reseptor
H1 perifer sehingga bersifat non sedasi bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan.
Antihistamin dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 yang juga dipakai
untuk metabolisme obat lain seperti golongan azol (ketoconazole) dan golongan
makrolida. Oleh karena itu pemakaian antihistamin klasik bersamaan dengan obat-obat
tersebut sebaiknya dihindari. Pemakaian beberapa antihistamin ternyata dapat
menyebabkan gangguan jantung akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga
memperpanjang interval QT yang dapat menimbulkan torsades de point yang dapat
berakibat kematian. Yang termasuk antihistamin generasi baru adalah terfenadine,
astemizole, loratadine, cetirizine, fexofenadine, desloratadine dan levocetirizine.
Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik, antihistamin
baru dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena :
- dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin ( fexofenadine, loratadin, terfenadin)
- menekan kemotaksis eosinofil ( fexofenadine , cetirizine )
- mengurangi ekspresi ICAM-1 ( fexofenadine, terfenadin, loratadin , cetirizine)
- menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien
(fexofenadine)

Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama, meskipun terdapat


variasi individual antar penderita. Karenanya ada kemungkinan bahwa suatu
antihistamin mungkin kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain

9
10

lebih responsif. Demikian pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual
terhadap efek sedasi antihistamin baik dari golongan sedasi maupun non sedasi.

Jenis Antihistamin Baru

Nama Dosis Lama Kerja Metabolisme di hati Efek ke jantung

Cetirizine 10mg OD 24 jam tidak tidak


Fexofenadin 120mg OD 24 jam tidak tidak
Loratadin 10mg OD 24 jam ya tidak
Terfenadin 120mg OD 24 jam ya bila bersama makrolide
60 mg BID dan ketokonazole
Astemizol 10mg OD beberapa hari ya --- „ -----

5.2.Dekongestan hidung
Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada
reseptor alfa-adrenergik. Ada beberapa sediaan yang dipakai dalam klinik yang dapat
dipakai secara oral maupun topikal:
- agonis alfa-1 adrenergik ( phenyleprin )
- agonis alfa2 adrenergik ( efedrin, pseudoefedrin, amfetamin)
- obat-obat mencegah re-uptake nor-adrenalin ( cocain, phenylpropanolamin )
Pemakaian topikal sangat efektif untuk menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak
efektif untuk keluhan bersin & rinore. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit,
berlangsung kurang lebih 1 jam untuk epineprin dan 8-12 jam untuk oxymetazolin.
Untuk pemakaian oral seperti ephedrin, phenyleprin, phenylpropanolamin dan
pseudoephedrin. Efek dekongestan mulai terjadi dalam 30 menit, berlangsung sampai 6
jam atau 8-24 jam yang berbentuk sustained release.
Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar,
kering atau ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari

10
11

dapat menyebabkan takhyphilaksis, pembenkgkakan mukosa dan mengakibatkan drug


induce rhinitis ( rinitis medika mentosa ).
Pemakaian sistemik ( dose dependent ) dapat menimbulkan efek samping :
- iritabel,
- pusing,
- sakit kepala,
- tremor dan insomnia.
- takhikardi dapat terjadi pada wanita hamil,
- hipertensi dan
- kadang-kadang halusinasi.
Oleh karena itu pemakaian harus ekstra hati-hati pada :
- penyakit kardiovaskuler ( hipertensi, miokard infark)
- gloukoma
- hipertrofi prostat
- ibu hamil

5.2. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral


Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.

5. 3. KORTIKOSTEROID
Pemberian sistemik
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid
intramuskuler. Glukokortikoid sistemik mempunyai kerja anti-inflamasi yang luas dan
efektif untuk hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung. Tidak ada laporan
keamanan untuk pemberian depo glukokortikoid ulangan. Pemberian oral lebih dipilih
karena lebih murah dan dosisnya lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian
depo akan mengakibatkan penglepasan yang terus menerus sepanjang hari dan menekan
HPA- axis dan juga dapat berakibat atrofi jaringan lokal. Pemberian depo intranasal pada
konka yang bengkak dan polip harus dihindari, karena dapat menyebabkan efek samping
yang serius ( kebutaan ).

11
12

Sebaiknya dihindari pada : Anak- anak dan wanita hamil.


Glukokortikoid topikal
Pemakaian topical glukokortikoid berhasil setelah ditemukan sediaan topikal
yang mempunyai efek anti-inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada
reseptornya serta bila mencapai hati akan di-deaktifasi dengan cepat sehingga tidak
mencapai sirkulasi sistemik. Dengan demikian sediaan topikal ini tepat untuk
pengobatan rinitis alergi karena dapat dicapai konsentrasi yang tinggi pada reseptornya
di mukosa hidung dengan resiko efek sistemik yang minimal.

Beberapa sediaan glukokortikoid topikal adalah :


- Beclometason propionat
- Budesonide
- Flunisolide
- Triamcinolone acetonide
- Fluticasone propionat
- Mometasone fuorate
Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa.
Meskipun demikian ada beberapa efek samping yang dilaporkan seperti :
- rasa kering
- terbentuk krusta
- epistaksis ringan ( transien)
- perforasi septum pernah dilaporkan
- efek menekan HPA axis, dilaporkan pada Dexametason topikal
- pernah dilaporkan menghambat pertumbuhan anak ( beclometason)
- pernah dilaporkan adanya sentral retinopti
- pada wanita hamil tidak dilaporkan meningkatnya efek teratogenik pada pemakaian
topikal untuk asma.

12
13

6. IMUNOTERAPI
Imunoterapi spesifik adalah memberikan allergen yang sesuai dengan hasil tes
kulit, dosisnya secara bertahap dinaikan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan
serangan/ gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada
paparan alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif.
Terdapat beberapa cara imunoterapi : injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan
lokal.
Injeksi subkutan lebih banyak dipraktekan. Imunoterapi sublingual/ peroral masih
banyak diteliti dan mulai banyak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping anafilaksis
sistemik pada suntikan imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada penderita
asma, meskipun demikian resiko terjadinya reaksi anafilaksi sistemik mengakibatkan
keterbatasan pengobatan ini. Pemberian imunoterapi spesifik harus diberikan oleh
spesialis yang berpengalaman atau terlatih dan menyadari kemungkinan terjadinya efek
samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya bila sewaaktu-waktu terjadi.
Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end point titration ( SET).

13
14
Skema penaatalaksnaan Rinitis Alergi
dari ARIA-WHO

RINITIS ALERGI

Menghindari alergen penyebab

RA intermiten RA persisten

Ringan Sedang berat Ringan Sedang – berat

Tak perlu berurutan


Tak perlu berurutan Steroid intra nasal
. AH 1 oral . AH 1 oral evaluasi 2-4 mgg
. AH 1 nasal . AH 1 nasal
. Dekongestan . Dan/ atau Dekongestan
. Lar salin . Steroid nasal
gagal
baik

Pd RA persisten
pasien ditinjau Dosis diturunkan Tinjau diagnosis
lagi 2-4 mgg dan lanjutkan terapi Tinjau compliance
> 1 bln Infeksi ?
atau sebab lain?

Baik  teruskan 1 bln


Gagal  terapi ditingkatkan

Naikan Gatal & Rinore Tersumbat


dosis bersin + +
steroid + ipratropium dekongestan
AH1 atau steroid
oral jangka
pendek

gagal

operasi

Pertimbangkan imunoterapi spesifik


DAFTAR PUSTAKA
Jika ada Konjungtivitis  tambah: AH1 oral / AH1 tts mt / kromolin lokal / salin

14
15

1. Couwenberge P, Bachert C, Passalacqua G, Bousquet J, Canonica GW, Durham


SR, at al. Position paper : Consensus statement on the treatment of allergic
rhinitis Allergy 2000 ; 55: 116-134.

2. Bosquet J, van Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on


asthma J Allergy Clin Immunol 2001; 108 : S 147-334.

3. http//www.whiar.com/pharmaguide/pharm.pdf: The management of allergic


rhinitis symptoms in the pharmacy; Final draft ARIA IN THE PHARMACY
Paris October 2002.

15
16

16

Anda mungkin juga menyukai