Anda di halaman 1dari 5

SOSOK SUHRAWARDI

Syihab ad-din Suhrawardi dilahirkan di sebuah desa kecil, suhraward


dekat kota zinjan, Persia barat tahun 549/1153. Ia mula-mula belajar di bawah
bimbingan Majd ad-din jili di maraghah, dan kemudian belajar pada Zahr ad-
din di Isfahan, serta Fakir din al-mardini (w 1198 M), yang juga mengajar di
Isfahan atau Mardin. Orang inilah yang diduga sebagai gurunya yang paling
penting. Gurunya yang lain adalah Zahir al-Farisi yang mengajarkan
pengamatan (al-Basya’ir) dari ahli logika terkenal. Suhrawardi berguru pula
pada ‘Umar bin Sahlan as-Sawi, salah seorang dari filsuf dan ahli logika dan
suhrawardi membaca kitabnya tentang logika berjudul al-basya’ir al-
nusyairiyah.
Di Zinjan dan Isfahan, ia menyelesaikan pendidikan formalnya dalam
bidang agama dan ilmu-ilmu filsafat, dan memasuki dunia sufisme. Ia kemudian
pergi mengembara menjajahi pelosok-pelosok negeri Persia untuk menemui
guru-guru sufi. Ia juga pergi ke Syria dan Antolia, serta singgah di Aleppo, yang
akhirnya berposisi dengan fuqaha tertentu. Ia wafat pada usianya yang sangat
muda pada tahun 587/1192.
Selama hidupnya yang singkat dan tragis, suhrawardi menulis lebih dari
40 penjelasan. Doktrin-doktrinnya ditulis dalam Bahasa Arab dan karya atau
cerita simboliknya ditulis dalam Bahasa [ersia. Baik dalam Bahasa Arab
maupun Persia, karya-karyanya menjadi literature induk filsafat Islam. Tulisan-
tulisannya bersifat doctrinal, dimulai dengan sebuah elaborasi dan transformasi
bertahap filsafat paripatetik avicenian, dan akhirnya berpuncak pada hikmah
isyraqy (the theosophy of the Orient of light), yang merupakan karya paling
penting dalam tradisi filsafat islam. Kisah simboliknya termasuk beberapa prosa
yang sangat cantic dalam Bahasa Persia, termasuk master piecenya, seperti fi
haqiqah al-isyq (on the reality of love) dan awazi pat jibrail (the chant of the
wing of Gabriel). Sedikit filusuf Islam yang mampu mengombinasikan
metafisika pada dataran tertinggi dengan sebuah prosa puisi, yang kualitas
Bahasa dan kesempurnaannya hamper tidak tertandingi.
Tulisan-tulisan Suhrawardi sangat banyak meskipun usianya dipenuhi
penderitaan dan pergolakan. Berbeda dengan pendahulunya, Ibnu Sina dan al-
Ghazali, karya tulis Suhrawardi tidak pernah diterjemahkan orang ke dalam
Bahasa latin sehingga tidak pernah dikenal di dunia barat. Karena karyanya
itulah, hasil pikirnya yang dibayar dengan darah, masih tetap hidup dan menarik
banyak pendamba kebenaran.

Filsafat isyraqiyah
Sulit untuk memahami secara jelas tentang sumber dan asal usul filsafat
yang dikonsepsikan oleh suhrowardi. Bahkan, filsafat isyraqiyah oleh sebagian
filusuf dianggap bukan filsafat yang tersusun secara sistematis. Pandangan tersebut
membuktikan adanya keragaman pendapat, bahkan kecurigaan. Dengan
mengabaikan keragaman pendapat tersebut, pada kajian ini akan diuraikan secara
sederhana tentang pengertian dasar isyraqy, pokok-pokok penting ajarannya, dan
implikasi logis masa sekarang.
1. Pengertian dasar isyraqy
Dalam Bahasa Arab, Isyraqy berarti pencahayaan, atau iluminasi; dan
masyriq yang berarti timur. Keduanya secara etimologis diturunkan dari kata
syarq yang berarti terbitnya matahari. Kesatuan maknawi antara cahaya dan
timur dalam peristilahan filsafat isyraqiyah berkaitan erat dengan simbolisme
matahari yang terbut di timur dan menerangi segala sesuatu sehingga cahaya
diidentifikasi dengan gnosis dan illumination.
Dalam Bahasa filsafat, illumination mempunyai pengertian sumber
kontemplasi; perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai
tindakan dan harmoni. Kata isyraqi diartikan ilmuniasi sekaligus cahaya
pertama pada saat pagi hari, seperti cahaya dari timur (syarq). Timur tidak
hanya berarti timur secara geografis, tetapi awal cahaya yaitu realitas.
Filsafat isyraqiyah berarti ketimuran atau iluminatif. Ia memancar
karena ia adalah timur, dan ia timur karena ia memancar. Ia adalah pengetahuan
dengan pertolongan yang manusia dapat menyesuaikan dirinya dalam alam
semesta di dunia wujud, tidak masalah di mana hidup secara geografis dan
akhirnya menjangkau bahwa timur adalah tempat hidup manusia di bumi barat.
Mazhab isyraqiyyah adalah aliran yang menetapkan bahwa pengetahuan
bersumber dari penyinaran. Penyinaran adalah hads yang menghubungkan diri
yang tahu dengan substansi cahaya. Filsafat ini menegaskan bahwa ada
hubungan yang erat antara pengetahuan dan keutamaan; antara perhatian yang
tercurah pada pengetahuan dan terpisah dari materi. Dalam hal ini, hikmah
bukan merupakan teori yang diyakini seseorang, melainkan perpindahan rohani
secara praktis dari alam kegelapan, yang di dalamnya pengetahuan dan
kebahagiaan merupakan hal yang mustahil, pada cahaya yang di dalamnya
pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.
Hikmah isyraqiyah juga berarti hikmah atau filsafat orang-orang timur,
terutama Persia karena filsafat mereka berdiri di atas zauq dan kasyf, bukan atas
akal sebagaimana kebanyakan filsafat Yunani. Oleh karena itu, tidak ada
perbedaan besar antara hikmah isyraqiyyah dan al-hikmah almasyriqiyyah yang
disebut ibnu sina. Timur selalu menjadi sumber simbolik bagi memancarnya
cahaya dan arah timur selalu dijadikan contoh bagi kebenaran dari kebaikan
oleh kisah-kisah para filsuf simbolik sebagai kebalikan dari barat yang mereka
ambil sebagai lambing kebodohan, materi, kegelapan, dan keburukan.
Dengan demikian filsafat isyrqiyah adalah jenis filsafat yang tidak
hanya mengandalkan logika dengan zauq. Dengan bahasanya yang khas, filsafat
ini merupakan gabungan antara filsafat diskursif (al-hikmah albahsiyah) dan
filsafat intuitif (al-hikmah al-zauqiyah). Inilah ciri menonjol dari tipe filsafat
isyraqy.

2. Pokok-pokok ajarannya
Suhrowardi menegaskan bahwa alasan penamaan atau penggambaran
filsafat ini dengan isyraqy adalah filsafat yang membawa kebenaran ini
menjadikan kebenaran sebagai puncak kebersihan dan kejelasan. Tidak ada
yang lebih penting daripada cahaya, tidak ada yang lebih tidak membutuhkan
definisi daripada cahaya. Inti seluruh filsafat isyraqi adalah sifat dan
penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat materil dan juga tidak dapat
didefinisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus
ke dalam susunan setiap entitas, baik fisik maupun nonfisik sebagai satu
komponen yang esensial daripadanya.
Cahaya merupakan esensi yang tidak memerlukan definisi karena ia
merupakan sesuatu yang sangat nyata. Sifatnya telah nyata pada dirinya sendiri.
Ia ada karena ketiadaannya, yaitu kegelapan, keadaan tidak ada apa-apa. Semua
realitas terdiri atas tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Suhrawardi
menyebutnya realitas absolut, yaitu realitas ketuhanan yang tidak terbatas dan
tidak dibatasi, cahaya segala cahaya (nur al-anwar).
nur al-anwar bersifat Esa dan merupakan sumber munculnya wujud
lain, esensi cahaya absolut yang pertama, Tuhan, selalu memberi iluminasi, dan
dengannya segala sesuatu menjadi wujud, serta memberi kehidupan kepada
wujud-wujud itu dengan sinarnya. Segala sesuatu yang ada di dunia berasal dari
cahaya esensinya dan semua keindahan dan kesempurnaan adalah pemberian
kemurahan-Nya; dan benar-benar mencapai iluminasi berarti keselamatan.

Akan tetapi menurut Suhrawardi, segala sesuatu dapat dibagi menjadi


cahaya dalam hakikat dirinya (nur fi haqiiqah nafsih) dan “sesuatu yang bukan
cahaya dalam hakikat dirinya” (ma laisa fi haqiiqah nafsih). Yakni kegelapan
atau bukan cahaya. Adapun cahaya dalam dirinya disebut cahaya murni atau
cahaya semata (an-nur al-mujarrad atau an-nur al mahd). Akan tetapi, cahaya
itu bertingkat-tingkat yang berbeda kekuatan dan kelemahannya, kejelasan dan
ketidak jelasannya, terang dan redupnya.
Cahaya mempunyai dua jenis, yaitu yang fakir dan membutuhkan
seperti cahaya akal dan jiwa manusia, ada yang kaya dan absolut, yang tidak
membutuhkan karena tidak ada lagi cahaya di atasnya, yaitu al-Haqq yang
mahasuci (atau wajib al-wujud bi zatihi menurut Ibnu Sina). Di sinilah ia
disebut cahaya segala cahaya (nur al-anwar), cahaya yang meliputi (nur al-
mahit), cahaya yang menguasai (nur al-qoyyum), cahaya yang suci (nur al-
muqoddas), cahaya yang paling agung (nur al-A’zom), cahaya yang paling
tinggi (nur al-a’la), cahaya yang maha pemaksa (nur al-Qahhar).

Adapun pemancaran Nur al-Anwar berproses secara emanasi dengan


ciri-ciri dan karakteristik sebagai berikut :

a. Cahaya pertama tidak tersusun dari cahaya kegelapan karena entitas


yang tersusun seperti itu tidak mungkin memancar dari realitas yang
bebas dari kegelapan.
b. Memancar tidak dengan cara seperti terlepasnya sesuatu atau
berpindahnya sesuatu daripadanya.
c. Cahaya pertama sangat bergantung pada Nur al-Anwar
d. Tiap-tiap cahaya menyaksikan secara langsung Nur al-anwar
memperoleh sinarnya.
e. Masing-masing kemudian memantulkan sinar yang diterimanya
langsung dari nur al-anwar pada cahaya yang di bawahnya.
f. Hubungan antara nur yang satu dan nur yang lain dilukiskan dengan
cara yang berbeda. Hubungan cahaya yang lebih tinggi dan cahaya
yang lebih rendah disebut dominasi (qahr), dan sebaliknya disebut
cinta (mahabah) atau kerinduan (isyq, syauq).

Sebagaimana dijelaskan di atas, masing-masing memantulkan cahaya


yang diterima dari Nur al-anwar kepada cahaya yang di bawahnya. Mulai
cahaya kedua dan seterusnya ke bawah, di samping memantulkan sinar, juga
memantulkan pantulan dari Nur al-anwar yang diterimanya dari cahaya yang di
atasnya. Demikian terjadi secara beruntun ke bawah. Jadi, setiap cahaya yang
ada di bawah menerima penyinaran dari Nur al-Anwar dengan perantaraan
cahaya yang ada di atasnya, tingkat demi tingkat. Dengan demikian, cahaya
kedua menerima cahaya yang turun dari Nur al-anwar.
3. Respons kritis terhadap filsafat paripatetis
Mekarnya pemikiran filsafat paripatetis tidak cukup kuat untuk
memuaskan sebagian filusuf muslim, tetapi menimbulkan “kegerahan”
filosofis, sekaligus melahirkan kegairahan baru. Kegairahan baru itu
diperlihatkan oleh hadirnya filosofis Suhrowardi.
Suhrawardi dipandang sebagai tokoh penerus dari paham anti-
paripatetisme Ibnu Sina. Suhrawardi yang dikenal memiliki system filsafat yang
komprehensif, pada akhirnya hidupnya tampak bersemangat untuk
meninggalkan jalan paripatetik yang telah ditempuhnya untuk mengambil
pendekatan mistik dan eksperiensial kea rah kebenaran, yang disebutnya isyrqy
(iluminasi). Dalam alegori mistiknya, hay bin yaqzan, timur (asy-syarq)
digambarkan sebagai biang cahaya dan barat sebagai biang kegelapan.
Dengan memanfaatkan kesempatan atas sentiment-sentimen anti-
paripatetik Ibnu Sina dan aspirasi-aspirasi mistik dan eksperimensialnya,
Suhrawardi berusaha melaksanakan maksud Ibnu Sina menjelmakan dasar-
dasar ilmu sejati yang hanya akan tersingkap bagi diri sesuai dengan kadar
kemampuan dan pengabdiannya pada kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai