Anda di halaman 1dari 23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu, pertama

penelitian yang dilakukan oleh Silsillia Yossy Nour Indrasari (2017) mahasiswi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang

berjudul “Analisis Konflik Batin Tokoh Utama Ega dalam Novel Ega Karya

Anggie M dalam Pembelajaran Sastra di SMA Kelas XI Semester I (Pendekatan

Struktural dan Psikologi Sastra)”. Dalam penelitian ini menggunakan teori

kepribadian Abraham Moslow dan pendekatan struktural sebagai pijakannya.

Penelitian ini terdapat delapan unsur alur yang digambarkan dalam novel yaitu

paparan, rangsangan, gawatan, tikaian, klimaks, leraian, dan selesaian. Teknik

penokohan yang diguanakan adalah teknik dramatik. Konflik batin tokoh utama

Ega muncul dikarenakan tidak terpenuhinya beberapa aspek yaitu kebutuhan

fisiologis, kebutuhan akan keamanan, tidak terpenuhinya akan cinta dan

keberadaan, tidak terpenuhinya kebutuhan akan penghargaan, dan tidak

terpenuhinya kebutuhan akan aktualisasi diri. Akibat tidak terpenuhinya

kebutuhan dasar tersebut, maka timbulah rasa sedi, rasa takut, rasa tidak percaya

diri, dan rasa marah. Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama

mengangkat judul konflik batin tokoh utama dalam novel dan juga menggunakan

pendekatan psikologi sastra. Sedakangkan perbedaannya adalah peneliti

terdalahulu menggunakan teori kebribadian yang dikembangkan oleh Abraham


Moslow serta menggunakan pendekatan struktural sebagai pijakannya, namun

penelitian saya menggunakan teori kepribadian yang dikembangkan oleh Sigmund

Freud.

Kedua, penelitian Arina Destinawati yang berjudul “Konflik Psikologis

Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Sebuah Cinta Yang Menangis Karya

Herlina Tiens”. Penelitian ini ditulis oleh Arina Destinawati (2012) di Fakultas

Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian ini

menunjukan karakter tokoh utama perempuan dalam novel yang dipengaruhi oleh

kehidupan masa lalunya. Konflik yang dialami tokoh utama perempuan yaitu

kecemasan, kebimbangan, pertentangan, dan harapan yang tidak sesuai dengan

kenyataan. Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama

menggunakan pendekatan psikologi sastra yang berpijak pada teori psikoanalisis

yang dikembangan oleh Sigmund Freud. Adapun perbedaanya terletak pada objek

penelitian di mana penelitian terdahulu menganalisis novel Sebuah Cinta Yang

Menangis karya Herlina Tiens, sedangkan objek penelitian saya adalah novel

Katarsis karya Anastasia Aemilia.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Citra Wahyuni (2017) mahasiswi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako yang berjudul

“Analisis Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Roman Belenggu Karya Armijn

Pane” penelitian ini membahas bentuk konflik batin tokoh Sukartono (Tono) yaitu

konflik mendekat-menjauh dan konflik menjauh-menjauh yang dipengaruhi Id

berwujud kebimbangan, kehilangan, dan berharap. Ego dan Superego berwujud

putus asa. Bentuk konflik batin Sumartini (Tini) yaitu konflik mendekat-menjauh
dan konflik menjauh-menjauh yang dipengaruhi Id berwujud kebimbangan,

kesedihan, dan berharap. Ego berwujud tersiksa. Bentuk konflik batin tokoh

Rohayah (yah) yaitu konflik mendekat-menjauh yang dipengaruhi Id berwujud

kekhawatiran. Superego berwujud kebimbangan, kesedihan. Faktor penyebab

konflik batin yaitu pernikahan tidak dilandasi rasa cinta, kesibukan, traumatik

pada hubungan sebelumnya, kesetiaan dan kepercayaan. Adapun persamaan

dalam penelitian ini adalah sama-sama menggunakan pendekatan psikologi sastra

yang berpijak pada teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.

Adapun perbedaannya terletak pada objek yang akan diteliti.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Wiwik Rahayu (2015)

mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta yang

berjudul “Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Detik Terakhir Karya

Alberthiene Endah”. Penelitian ini membahas wujud konflik batin yang dialami

oleh tokoh utama meliputi pertentangan antara pilihan yang tidak sesuai dengan

keinginan, kebimbangan dalam menghadapi permasalahan, dan harapan tidak

sesuai dengan kenyataan. Secara keseluruhan permasalahan yang dialami tokoh

utama didominasi oleh Id daripada Ego. Wujud konflik batin yang paling dominan

pada diri tokoh utama terdapat pada varian kebimbangan dalam menghadapi

persoalan. Beberapa faktor yang melatarbelakangi konflik batin pada tokoh utama

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi rasa iri dengan

kehidupan orang lain, membenci diri sendiri, dan cemas akan masa depan. Faktor

eksternal meliputi lingkungan sosial yang kurang mendukung, krisis simpati dari

orangtua, dan pengkhianatan orang terdekat. Adapun faktor yang paling


berpengaruh sebagai pemicu munculnya konflik batin adalah faktor eksternal.

Bentuk penyelesaian konflik batin pada tokoh utama dalam novel DT terdiri dari

sublimasi ditunjukkan dengan menutup diri dan menghindari komunikasi, represi

ditunjukkan dengan percobaan bunuh diri, proyeksi ditunjukkan dengan

memutuskan hubungan dengan rumah dan melarikan diri dari panti rehabilitasi,

dan rasionalisasi ditunjukkan dengan keputusan hidup mandiri dengan bekerja

sebagai kurirnarkoba. Adapun bentuk penyelesaian yang paling sering dilakukan

oleh tokoh utama adalah bentuk proyeksi.

Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama meneliti

konflik batin tokoh utama novel dengan menggunakan pendekatan psikologi

sastra. Perbedaannya terletak pada objek yang akan diteliti di mana penelitian

terdahulu menggunakan novel Detik Terakhir Karya Alberthiene Endah,

sedangkan objek penelitian saya adalah novel Katarsis karya Anastasia Aemilia.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Novel

Novel merupakan ungkapan dari kesadaran pengarang yang berhubungan

dengan kepekaan pikiran, perasaan dan hasratnya terhadap realitas yang ditemui

dalam pengalaman hidupnya. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan

maupun kata-kata yang mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik

sebuah novel adalah unsur yang secara langsung membangun sebuah cerita.
Unsur-unsur yang dimaksud yaitu tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan

amanat.

Menurut Nurgiyantoro (1995: 23) unsur ekstrinsik yang dimaksud meliputi

unsur religi, sosial, moral, politik, kebudayaan, ekonomi, pendidikan, sejarah, dan

lainnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Nurgiantoro (1995: 9) yang

menjelaskan bahwa novel merupakan karya prosa fiksi yang cakupan panjangnya

tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek.

Nurgiyantoro (1995:10) mengatakan, dalam sebuah novel seorang

pengarang dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara

lebih banyak, lebih rinci, lebih detail dan lebih banyak melibatakan berbagai

permasalahan yang lebih kompleks. Termasuk di dalamnya unsur cerita yang

membangun novel itu. Stanton dalam (Nurgiyantoro, 1995: 11) mengungkapkan

bahwa kelebihan novel yang khas adalah kemampuannya menyampaikan

permasalahan yang kompleks secara penuh dan menciptakan sebuah dunia yang

“jadi”. Ini menjadi membaca novel menjadi lebih mudah karena tidak menuntut

kita memahami masalah yang kompleks dalam bentuk (dan waktu) yang sedikit.

Sebuah novel secara khusus memiliki peluang yang cukup untuk

mempermasalahkaan karakter tokoh dalam sebuah perjalannan waktu dan

kronologi. Novel juga memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar

mengenai tempat atau ruang tertentu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika

posisi manusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu

menarik perhatian para novelis.


2.2.2 Psikologi Sastra

Menurut Murray dalam (Wilcox, 2018: 23) arti dasar kata psikologi

berbeda dengan kata yang biasa dipahami saat ini. Kata “psikologi” berasal dari

bahasa Yunani ‘psyche’ dan ‘logos’. Psyche, artinya napas atau hidup

(diidentifikasikan dengan adanya napas). Prinsip kehewanan pada manusia dan

pada mahluk lain, sumber dari semua aktivitas mendasar, jiwa atau roh” atau

“prinsip kehewanan dari dunia sebagai suatu keseluruhan, jiwa dunia. Logos,

artinya suatu kata atau bentuk yang mengekspresikan suatu prinsip. Dengan

demikian, psikologi awalnya berarti kata atau bentuk yang mengungkapkan

prinsip kehidupan, jiwa atau roh. Secara istilah psikologi adalah ilmu yang

mempelajari tentang jiwa atau mental. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa

psikologi tidak mempelajari jiwa atau mental secara langsung karena jiwa sifatnya

yang abstrak, psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspor dari jiwa atau

mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya. Sehingga

psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku dan

proses mental.

Kata psikologi pertama kali digunakan dalam bahasa inggris pada tahun

1600-an untuk mengacu pada pembicaraan tentang jiwa. Psikologi pada awalnya

merupakan sebuah cabang metafisika yang berhubungan dengan konsep tentang

jiwa. Perubahan kemudian terjadi secara berangsur-angsur. Pada tahun 1830-an,

psikologi mulai digunakan untuk mengacu pada jiwa atau spirit dan keadaan dari

pikiran, diri (self), atau ego. Salah satu kamus psikologi yang paling luas

digunakan, The Oxford English Dictionary, mendefenisikan psikologi sebagai


sebuah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku, tindak-tanduk,

proses mental, pikiran, diri, atau manusia yang berperilaku, dan memiliki proses-

proses mental.

psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra

(Endraswara, 2008: 16). Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari dan

menyelidiki aktivitas dan tingkah laku manusia. Aktivitas dan tingkah laku

tersebut merupakan gambaran ungkapan kehidupan jiwanya. Sedangkan sastra

merupakan hasil cipta yang salah satunya diperoleh melalui interaksi.

Jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam

taksadar (ketidaksadaran). Alam sadar menyesuaikan terhadap dunia luar,

sedangkan alam taksadar menyesuaikan terhadap dunia dalam. Jadi, psikilogi

sastra dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa yang mencakup

segala aktivitas dan tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh alam sadar dan

taksadar melalui hasil cipta manusia.

Psikologi sastra merupakan gabungan dari teori psikologi dengan teori

sastra. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-

fenomena kejiwaan yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, sehingga karya

teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi. Menurut

Darmanto dalam (Aminuddin, 2004: 93) megatakan antara sastra dengan

psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional.

Pengarang dengan psikolog memiliki tempat berangkat yang sama, yakni

kejiwaan manusia. Keduannya mampu menangkap kejiwaan manusia secara


mendalam. Perbedaannya, jika pengarang mengungkapkan temuannya dalam

bentuk karya sastra, sedangkan psikolog sesuai keahliannya mengemukakan dan

bentuk formula teori-teori psikologi.

Karya sastra yang merupakan hasil aktivitas penulis sering dikaitkan

dengan gejala-gejala kejiwaan karena karya sastra merupakan hasil penciptaan

seorang pengarang yang secara sadar atau tidak sadar menggunakan teori

psikologi. Dalam karya sastra, aspek-aspek kejiwaan dapat ditemukan dalam

karya sastra, antara lain kejiwaan pengarang, tokoh dalam karya sastra, dan

kejiwaan pembaca. Dapat disimpulkan bahwa tujuan psikologi sastra yaitu untuk

mengungkapkan kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra melalui

penggambaran masalah-masalah dalam cerita.

2.2.3 Psikoanalisis Sigmund Freud

Psikoanalisis adalah madzhab dalam psikologiyang dibangun atas dasar

teori klinis bagi orang-orang yang bermasalah yang berusaha mencari bantuan.

Dengan menggunakan pola gunung es, di mana bagian terbesarnya tersembunyi,

freud menjelaskan bahwa alam kesadaran adalah bagian terkecil dari gunung es,

yaitu bagian puncak yang dapat terlihat, sementara alam tidak sadar menjadi

bagian bawah yang tidak terlihat dari gunung es tersebut. Freud dalam (Wilcox,

2018: 28) menegaskan bahwa segala sesuatu telah ditentukan. Tidak ada yang

terjadi karena faktor kebetulan. Dia menkankan pentingnya pengalaman masa

kecil yang digunakan oleh para individu untuk melindungi dan melanggengkan

struktur mental dan dinamika yang mereka miliki.


Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental

manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontribusi

besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini (Minderop, 2018: 11).

Psikoanaisis ditemukan oleh Freud sekitar tahun 1890-an. Teori Freud

dianggap memberikan prioritas pada masalah seksual. Dalam karyanya yang bila

diterjemahkan “Tafsiran Mimpi” ia kerap menampilkan pengalaman pribadinya

dan pengalaman masa kecilnya. Freud seorang pecinta buku dan selalu mengkaji

buku-buku yang dibacanya. Ia berpendapat, buku tidak hanya mengungkapkan

masalah besar tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga teka-teki tentang kehidupan

yang sesungguhnya atau hakikat hidup; (Minderop, 2018: 11-12).

Menurut Koswara (1991: 28) pengaruh Freud dengan psikoanalisa yang

dikembangkannya dapat dilihat dari fakta, bahwa sebagian beasr teoris

kepribadian modern dalam penyusunan teorinya tentang tingkah laku

(kepribadian) mengambil sebagian, atau setidaknya mempersoalkan, gagasan-

gagasan Freud. Dan psikoanalisa itu sendiri, sebagai aliran yang utama dalam

psikologi, memeiliki teori kepribadian yang disebut teori kepribadian

psikoanalitik (psychoanalitic theory of personality).

2.2.4 Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud

2.2.4.1 Id, Ego dan Superego

Struktur kepribadian merupakan tingkatan kepribadian dalam jiwa

seseorang dalam suatu gejala peristiwa melalui tingkah lakunya di masyarakat.

Freud dalam Minderop (2018: 20), “faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian


adalah faktor historis masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faktor

bawaan dan faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu”. Oleh

karena itu, menurutnya kehidupan jiwa seseorang memiliki tiga tingkat kesadaran,

yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious) dan tak sadar (unconscious).

Dalam teori psikoanalisa, kepribadian dianggap sebagai suatu struktur

yang terdiri dari tiga unsur atau sistem, yakni id, ego, dan superegeo. Meskipun

ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, kelengkapan, prinsip-prinsip operasi,

dinamisme, dan mekanismenya masing-masing, ketiga sistem kepribadian ini satu

sama lain saling berkaitan serta serta membentuk suatu totalitas. Tingkah laku

manusia tidak lain merupakan produk interaksi antara id, ego, dan superego

(Koswara, 1991: 32).

Struktur pertama adalah id. Id adalah sistem kepribadaian yang paling

dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Untuk dua sistem

yang lainnya, id adalah sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur

energi yang dibutuhkan oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi-operasi atau

kegiatan-kegiantan yang dilakukannya. Dalam soal energi ini, id tidak bisa

mentoleransi penumpukan energi yang bisa menyebabkan meningginya taraf

tegangan organisme atau individu secara keseluruhan (Koswara, 1991:32).

Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar

memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, seks, menolak

rasa sakit atau tidak nyaman. Menurut Freud dalam Minderop (2018: 21) id

berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id
berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan

selalu menghindari ketidaknyamanan. Bisa dibayangkan betapa mengerikan dan

membahayakan seandainya diri kita terdiri dari id semata. Seorang yang

berkembang, belajar bahwa ia tdak berperilaku sesukanya dan harus mengikuti

aturan yang diterapkan orang tuanya. Seorang anak yang ingin memenuhi tuntutan

dan keinginan yang kuat dari suatu realitas, akan membentuk suatu struktur

kepribadian yang baru, yaitu ego.

Struktur kedua adalah ego. Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak

sebagai pengarah individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan

fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Menurut Freud, dalam Koswara

(1991:34) ego terbentuk pada struktur kepribadian individu sebagai hasil kontak

dengan dunia luar. Adapun proses yang dimiliki dan dijalankan ego sehubungan

dengan upaya memuaskan kebutuhan atau mengurangi tegangan oleh individu

adalah proses sekunder (secondary process). Dengan proses sekundernya ini, ego

memformulasikan rencana bagi pemuasan kebutuhan dan menguji apakah rencana

tersebut bisa dilaksanakan atau tidak. Atau dengan perkataan lain, melalui proses

sekunder ego dari individu akan berpikir, makana apa yang ia butuhkan, di mana

dan bagaimana makanan itu bisa diperoleh. Dengan demikian, ego bagi individu

tidak hanya bertindak sebagai penunjuk kepada kenyataan, tetapi juga berperan

sebagai penguji kenyataan (reality tester).

Sekilas akan tampak bahwa antara id dan ego hampir selalu terjadi konflik

atau pertentangan. Menurut Freud, dalam Koswara (1991:34) ego ego dalam

menjalankan fungsinya tidaklah ditujukan untuk menghambat pemuasan


kebutuhan-kebutuhan atau naluri-naluri yang berasal dari id, melainkan justru

bertindak sebagai perantara dari tuntutan-tuntutan naluriah organisme di satu

pihak dengan keadaan lingkungan di pihak lain. Yang dihambat oleh ego adalah

pengungkapan naluri-naluri yang tidak layak atau tidak bisa diterima oleh

lingkungan. Jadi, fungsi yang paling dasar dari ego itu tidak lain sebagai

pemelihara kelangsungan hidup individu.

Struktur yang ketiga adalah superego. Superego adalah sistem kepribadian

yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut

baik dan buruk). Menurut Freud, superego terbentuk melalui internalisasi nilai-

nilai atau aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan,

berpengaruh, atau berarti bagi individu tersebut (Koswara, 1991: 35). Superego

sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk.

Sebagimana id, superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergemul

dengan hal-hal realistik, keculai ketika implus seksual dan agresivitas id dapat

terpuaskan dalam pertimbangan moral (Minderop, 2018: 22).

Dalam sebuah kasus misalnya, ego seseorang ingin melakukan seks secara

teratur agar karirnya tidak terganggu oleh kehadiran anak; tetapi id orang tersebut

menginginkan hubungan seks yang memuaskan karena seks adalah sesuatu yang

dapat membuat seseorang merasa nikmat. Kemudian superego timbul dan

menengahi dengan anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan seks.


2.2.4.2 Kecemasan

Freud membagi kecemasan ke dalam tiga jenis kecemasan, yakni

kecemasan riel, kecemasan neurotik, dan kcemasan moral. Yang dimaksud

kecemasan riel adalah kecemasan atau ketakutan atau ketakutan individu terhadap

bahaya-bahaya nyata yang berasal dari dunia luar (api, binatang buas, orang jahat,

penganiyaan, hukuman). Sedangkan yang dimaksud dengan kecemasan neurotik

adalah kecemasan atas tidak terkendalinya naluri-naluri primitif oleh ego yang

nantinya bisa mendatangkan hukuman. Sungguhpun sumbernya berada di dalam

diri, kecemasan neurotik pada dasarnya berlandaskan kenyataan, sebab hukuman

yang ditakutkan oleh ego individu berasal di dunia luar. Adapun kecemasan moral

adalah kecemasan yang timbul akibat tekanan superego atas ego individu

berhubung individu telah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar moral.

Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral bersifat nyata, dalam

arti bahwa tekanan superego atas ego yang menimbulkan kecemasan moral itu

mengacu kepada otoritas-otoritas yang riel atau nyata ada di luar individu (orang

tua, penegak hukum, masyarakat) (Koswara, 1991: 45).

Freud percaya bahwa kecemasan sebagai hasil dari konflik bawah sadar

merupakan akibat dari konflik antara pulsi id (umumnya seksual dan agresif) dan

pertahanan diri ego dan superego. Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam

individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau

berseberangaan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat (Minderop, 2018: 28).


2.2.4.3 Mekanisme Pertahanan

Dalam hal mekanisme pertahanan terdapat beberapa pokok yang perlu

diperhatikan. Pertama, mekanisme pertahanan merupakan konstruk psikologis

berdasarkan observasi terhadap perilaku individu. Pada umumnya mekanisme

didukung oleh bukti-bukti eksperimen, tetapi ada pula yang tidak berdasarkan

verifikasi ilmiah. Kedua, menyatakan bahwa perilaku seseorang (misalnya,

proyeksi, rationalisasi, atau represi) membutuhkan informasi deskriptif yang

bukan penjelasan tentang perilaku. Ketiga, semua mekanisme dapat dijumpai

dalam kehidupan sehari-hari orang normal. Dalam kehidupan modern, manusia

berupaya meningkatkan pemuas kehidupan dan oleh karenanya dibutuhkan

penyesuaian diri; bila mekanisme menjadi keutamaan dalam penyelesaian

masalah maka ada indikasi si individu tidak mampu menyesuaikan diri

(Minderop, 2018: 30). Menurut Freud dalam Koswara (1991: 46) mekanisme

pertahanan adalah mekanisme yang rumit dan banyak macamnya. Menurut Freud

dalam Minderop (2018: 32-39) ada tujuh macam mekanisme pertahanan yang

pada umumnya dapat dijumpai adalah sebagai berikut.

1. Represi

Tugas represi ialah mendorong keluar implus-implus id yang tak diterima,

dari alam sadar dan kembali ke alam bawah sadar. Represi merupakan

fondasi cara kerja semua mekanisme pertahanan ego. Tujuan dari semua

mekanisme pertahanan ego adalah untuk menekan (repress) atau

mendorong implus-implus yang mengancam agar keluar dari alam sadar.


2. Sublimasi

Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial

menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesunggunya suatu

bentuk pengalihan. Misalnya, seorang individu memiliki dorongan seksual

yang tinggi, lalu ia mengalihkan perasaan tidak nyaman ini ketindakan-

tindakan yang dapat diterima secara sosial dengan menjadi seorang artis

pelukis tubuh model tanpa busana.

3. Proyeksi

Proyeksi adalah pengalihan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang

menimbulkan kecemasan kepada orng lain. Proyeksi terjadi bila individu

menutupi kekurangannya dan masalah yang dihadapi atau pun

kesalahannya dilimpahkan kepada orang lain.

4. Pengalihan (Displacement)

Pengalihan adalah pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan

pada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam

dibanding dengan objek atau individu semula. Misalnya, adanya implus-

implus agresif yang dapat digantikan, sebagai kambing hitam, terhadap

orang (atau objek lainnya) yang mana objek-objek tersebut bukan sebagai

sumber frustasi namun lenih aman dijadikan sebagai sasaran.

5. Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi menunjuk kepada upaya individu menyelewengkan atau

memutarbalikan kenyataan, dalam hal ini kenyataan yang mengancam ego,


melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-akan masuk akal, sehingga

kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu yang bersangkutan.

6. Reaksi Formasi (Reaction Formation)

Kadang-kadang ego individu bisa menendalikan dorongan-dorongan

primitif agar tidak muncul sambil secara sadar mengungkapkan tingkah

laku sebaliknya.

7. Regresi

Suatu mekanisme di mana individu, untuk menghidarkan diri dari

kenyataan yang mengancam, kembali kepada taraf perkembangan yang

lebih rendah serta bertingkah laku seperti ia berada dalam taraf yang lebih

rendah itu.

8. Agresi dan Apatis

Perasaan marah terkait erat denga ketegangan dan kegelisahan yang dapat

menjurus pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk

langsung dan pengalihan. Agresi langsung adalah agresi yang

diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang

merupakan sumber frustasi. Agresi yang dialihkan adalah bila sesorang

mengalami frustasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada

sumber frustasi tersebut karena tidak jelas atau tak tersentuh. Apatis

adalah bentuk lain dari reaksi terhadap frustasi, yaitu sikap apatis (apathy)

dengan cara menarik diri dengan sikap seakan-akan pasrah.

9. Fantasi dan Stereotype


Ketika kita menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadang kala

kita mencari ‘solusi’ dengan masuk kedunia khayal, solusi yang

bersasarkan fantasi ketimbang realitas. Stereotype adalah konsekuensi lain

dari frustasi, yaitu perilaku stereotype-memperlihatkan perilaku

pengulangan terus-menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan yang

tidak bermanfaat dan tampak aneh.

2.2.5 Pengertian Konflik

Menurut Haryanto dan Edwi dalam Handayani (2018: 13-14), konflik

berasal dari kata latin “configere” yang berarti “saling memukul”. Secara

sosiologi konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih

(bisa juga kelompok) di mana suatu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain

dengan cara menghancurkannya atau membuatnya menjadi tidak berdaya.

Suyanto (2011: 168) konflik batin sebagai suatu proses ternyata dipraktikkan juga

secara luas di dalam masyarakat. Konflik adalah suatu proses kelompok-

kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.

Dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu pertentangan, percecokan

dan perselisihan. Konflik dapat terjadi pada siapapun dan di mana pun seseorang

berada. Konflik biasanya terjadi akibat adanya dua atau lebih keinginan, pendapat

atau gagasan yang bertentangan sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku

seseorang, kelompok atau masyarakat. Karena itu konflik dapat merupakan

hambatan bila tidak segera dicari pemecahannya. Dalam hal ini konflik yang

berhubungan dengan pribadi, keluarga, dan masyarakat.


2.2.6 Konflik Batin

Batin adalah sesuatu yang terdapat dalam hati; sesuatu yang menyangkut

jiwa (perasaan hati), sesuatu yang tersembunyi (gaib, tidak kelihatan), dan

semangat; hakikat (Alwi dalam Handayani, 2018: 14). Batin merupakan salah satu

unsur pembentuk cerita di mana batin akan melekat pada diri tokoh. Batin,

sebagai bagian dari tokoh, sering dipermainkan oleh pengarang untuk membentuk

seri cerita yang menarik untuk dibahas. Pergolakan yang digambarkan dalam

cerita seakan-akan kita merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh dalam cerita

tersebut.

Konflik batin artinya konflik pribadi yang disebabkan oleh adanya dua

atau lebih keinginan yang saling bertentangan dan menguasai diri individu,

sehingga mempengaruhi sikap, perilaku tindakan dan keputusannya. Konflik batin

ini pada umumnya melanda setiap orang dalam hidupnya. Dalam kenyataannya

tidak semua orang mampu mengatasi sendiri konflik batin yang terjadi pada

dirinya (https//ningsihsetya99.wordpress.com/category/konflik-dan-berbagai-

permasalahannya/). Menurut Hardjana dalam Handayani (2018: 15) yang

mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala hubungan antara dua orang atau

dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain,

sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.

2.2.7 Jenis-jenis Konflik

Emzir, dan Saifur Rohman dalam Handayani (2018: 15-16) menjelaskan

bahwa konflik terbagi menjadi tiga jenis. Pertama konflik dalam diri seseorang
(tokoh), konflik tersebut sering disebut juga dengan psychological conflict atau

kejiwaan. Konflik jenis ini biasanya terjadi musahab suatu pertarungan individual

atau perjuangan seseorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri, sampai pada

akhirnya ia dapat mengatasi dan menentukan apa yang mesti dilakukannya.

Kedua konflik antara orang-orang atau seseorang dan masyarakat. Konflik

tersebut disebut dengan istilah social conflict atau konflik sosial. Konflik sosial

seperti ini biasanya terjadi antara tokoh dengan lingkungan sekitarnya. Konflik

tersebut timbul dari setiap individu terhadap lingkungan sosial dan menyangkut

pada masalah yang terjadi dimasyarakat.

Ketiga konflik antara manusia dengan alam. Konflik seperti ini sering

disebut sebagai physical or element conflict atau konflik alamiah. Konflik ini

tidak bisa memanfaatkan dan membudayakan alam sekitar. Apabila hubungan

manusia dengan alamnya tidak serasi, maka akan terjadi disharmoni yang dapat

menyebabkan terjadinya konflik tersebut.

Ketiga jenis konflik tersebut dapat dikelompokan menjadi dua kelompok

jenis konflik, yakni konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal

(external conflict) adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan

sesuatu yang di luar dirinya sendiri. Konflik internal (internal conflict) adalah

konflik yang terjadi dalam hati atau jiwa seorang tokoh cerita. Konflik seperti ini

biasanya dialami oleh manusia dengan dirinya sendiri.


2.2.8 Bentuk-bentuk Konflik

2.2.8.1 Konflik Internal

Muis dalam Handayani (2018: 16-18) menyatakan bahwa secara garis

besar ada beberapa konflik internal (kejiwaan) antara lain sebagai berikut.

Pertama, depresi adalah gejala seseorang mengalami depresi bila dia dalam

kondisi kesedihan maksudnya suatu emosi yang ditandai oleh perasaan tidak

beruntung, kehilangan, dan tidak berdaya. Saat itu manusia sering menjadi lebih

diam, kurang bersemangat dan menarik diri. Kecewa juga termasuk ke dalam

bagian depresi kecewa adalah berkecil hati, tidak puas karena terkabul

keinginannya. Murung dan susah juga bagian dari depresi.

Kedua, obsesi. Seseorang dikatakan mempunyai suatu obsesi, bila dia

terus menerus mengalami suatu perasaan atau dihantui oleh pikiran-pikiran yang

terus menerus timbul menguasai alam kesadarannya. Ketiga, cemas. Seseorang

dikatakan memiliki gejala cemas bila ia merasa khawatir dan gamang, setidaknya

ada suatu perasaan yang merupakan sinyal atau kecurigaan atau perasaan takut

yang berhubungan dengan suatu malapetaka atau kejadian yang tidak

menyenangkan yang akan terjadi, baik itu nyata atau hanya dalam pikiran saja.

Keempat, takut. Rasa takut muncul apabila seseorang berada dalam

kekhawatiran, keragu-raguan dan rasa gelisah yang sangat kuat, sehingga merasa

curiga dan khawatir mengenai apa yang diyakini mungkin akan terjadi. Kelima,

rasa tidak aman. Pada dasarnya, rasa tidak aman disebabkan oleh kekurangan

pemecahan kecemasan dasar pada individu, dan kurangnya kontrol terhadap


lingkungan terutama yang pertama kali dialami pada tingkat oral. Keenam, rasa

salah adalah gejala yang timbul dari suatu penilaian pikiran atau perilaku oleh

superego individu, yaitu gagal untuk hidup menurut diri sendiri, atau terlalu

memberi hati pada dorongan-dorongan alam tidak sadar.

Ketujuh, tidak mampu. Menurut teori psikoanalisa, semua perasaan tidak

mampu seseorang merupakan refreksi dari menyamaratakan perasaan seksual

dirinya atau kegagalan untuk hidup ideal sendiri. Delapan, frustasi. Kebanyakan

dari frustasi disebabkan oleh penggantian perilaku-perilaku atau keinginan-

keinginan yang tidak disadari untuk membuat individu gagal. Sembilan, marah.

Seseorang menjadi marah bila merasa tersinggung, sakit hati, atau jengkel oleh

perilaku orang lain. Sepuluh, sakit hati. Seseorang mungkin menjadi sakit hati bila

ada yang disengaja atau tidak menghina, bersifat kasar atau kurang ajar

terhadapnya. Pada tahap ini mungkin individu melakukan serangan baik dengan

menggunakan komentar-komentar singkat, sindiran atau sesuatu yang kurang ajar.

Karena menafsirkan semua situasi seperti itu sebagai suatu serangan langsung,

terhadap martabatnya, dan membuat ia menjadi sakit hati.

Sebelas, tidak puas. Perasaan tidak puas terhadap seseorang merupakan

hasil perilaku pengganti yang mana individu menggunakan mekanisme

pertahanan sibsitusi, sublimasi dan pergeseran secara berlebihan. Dua belas,

perhatian. Terjadinya gejala perhatian pada individu didasari pada kebutuhan

untuk melaksanakan tingkat awal psikosensual yang sering mengambil bentuk

kecemasan yang berkaitan dengan pikiran individu mengenai apa yang mungkin
diambil dari dia, apa mungkin tidak ia peroleh, atau apa yang mungkin ia

tawarkan pada orang lain.

2.2.8.2 Konflik Eksternal

Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan

sesuatu dilura dirinya dengan dengan demikian konflik eksternal dapat dibedakan

kedalam dua kategori yaitu konflik fisik dan konflik sosial, Jones dalam

Nurgiyantoro (Wulandari, 2013: 17). Konflik fisik adalah konflik yang

disebabkan oleh adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam.

Sedangkan konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak

soaial antar manusia.

2.2.9 Faktor Penyebab Konflik

Wiramihardja dalam Handayani (2018: 18-19) menyatakan bahwa ada

beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi konflik internal (batin), yaitu

sebagai berikut. Pertama, faktor primer (primary causes) yakni suatu kondisi atau

situasi yang harus ada seandainya suatu gangguan terjadi. Faktor ini merupakan

hal yang mutlak, tetapi tidak selalu mencakupi untuk melahirkan perilaku

abnormal. Kedua, faktor predisposisi (predisposising causes). Penyebab yang

bersifat disposisi atau kecenderungan merupakan suatu kondisi yang datang

sebelum terjadinya gangguan pada suatu kondisi tertentu.

Ketiga, faktor aktual (precipitating causes) adalah suatu kondisi yang

secara langsung memberikan efek terhadap terjadinya ganggian dan bertindak

sebagai pemicu. Faktor ini sering tampil sebagai penyebab-penyebab yang dilihat
secara langsung. Keempat, faktor penguat (reinforcing causes) adalah suatu

kondisi yang cenderung untuk memelihara perilaku maladaptif yang telah atau

sedang terjadi. Misalnya, pemberian perhatian yang berlebihan (bisa simpati) atau

dilepaskannya tanggung jawab seseorang dari perbuatan salahnya dengan alasan

sakit, maka penyakit itu akan terus tetap ada dan bahkan berkembang.

Anda mungkin juga menyukai