Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofit disebut "Dermatofitosis ". Golongan
jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai daya tarik kepada keratin (keratinofilik)
sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneurm sampai
dengan stratum basalis. Dermatofitosis disebabkan jamur golongan dermatofita yang terdiri dari tiga genus
yaitu genus: Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Dari 41 spesies dermatofita yang sudah
dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang terdiri dari 15
spesies Microsporum, 7 spesies Trichophyton dan 1 spesies Epidermophyton.
Secara etiologis dermatofitosis disebabkan oleh tiga genus dan penyakit yang ditimbulkan sesuai
dengan penyebabnya. Diagnosis etiologi ini sangat sukar oleh karena harus menunggu hasil biakan jamur
dan ini memerlukan waktu yang agak lama dan tidak praktis. Disamping itu sering satu gambaran klinik
dapat disebabkan oleh beberapa jenis spesies jamur, dan kadang-kadang satu gambaran klinis dapat
disebabkan oleh beberapa spesies dematofita sesuai dengan lokalisasi tubuh yang diserang.
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan langsung dapat
secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah.
Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian,
debu atau air.
Istilah Tinea dipakai untuk semua infeksi oleh dermatofita dengan dibubuhi tempat bagian tubuh
yang terkena infeksi, sehingga diperoleh pembagian dermatofitosis sebagai berikut : tinea kapitis, tinea
korporis, tinea kruris, tinea manus et pedis, tinea unguium, tinea barbae, dan tinea imbrikata.
Tinea kapitis adalah infeksi jamur superfisial (di permukaan) yang menyerang kulit kepala dan
rambut. Biasanya penyakit ini banyak menyerang anak-anak dan sering ditularkan melalui binatang-binatang
peliharaan seperti kucing, anjing dan sebagainya. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-
merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut kerion.
Tinea korporis adalah penyakit dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glaborous skin),
selain kulit kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha. Manifestasinya akibat
infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup.
Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya
tersebar pada seluruh masyarakat tetapi lebih banyak di daerah tropis.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada iklim yang panas (tropis
dan subtropis). Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat
inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinea Kapitis
1. Definisi
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies
dermatofita. Tinea kapitis memiliki beberapa sebutan atau nama lain, yaitu: kadas kulit kepala,
ringworm of the scalp, dan tinea tonsurans.

2. Epidemiologi
 Onset usia
Biasanya sering muncul pada anak kecil yang baru belajar berjalan (toddlers) dan anak
usia sekolah. Paling sering menyerang anak berusia 6 – 10 tahun; paling jarang pada usia setelah
16 tahun. Pada orang dewasa, tinea kapitis paling sering ditemui di daerah pedesaan.
 Ras
Tinea kapitis lebih sering terjadi pada orang berkulit hitam daripada orang berkulit putih.
 Transmisi
2
Transmisi tinea kapitis bisa dari manusia ke manusia, hewan ke manusia, melalui benda
mati (fomites) seperti: handuk, peralatan makan, buku, dan sebagainya. Spora ditemukan pada
karier yang asimtomatik, hewan, atau benda-benda mati.
 Faktor risiko
Sistem imun yang lemah, malnutrisi, dan penyakit kronik.

3. Etiologi
Bervariasi antar negara dan antar wilayah; jenisnya berubah seiring dengan waktu
dikarenakan imigrasi. Infeksinya bisa menjadi epidemik pada sekolah dan institusi, khususnya yang
terlalu padat. Kultur jamur acak pada sebuah studi mengungkapkan hasil positif 4% pada daerah
perkotaan dan positif 12,7% pada anak-anak berkulit hitam.
 Amerika Serikat dan Eropa Barat
90% kasus tinea kapitis disebabkan oleh Trichophyton tonsurans; paling jarang, Microsporum
canis. Dahulu, paling sering disebabkan oleh Microsporum audouinii; paling jarang, Microsporum
gypseum, Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton rubrum.
 Eropa Timur, Eropa Selatan, dan Afrika Utara
Disebabkan oleh Trichophyton violaceum.

4. Patogenesis
Invasi folikel rambut oleh dermatofita, terutama M. audonii, (dari anak ke anak, melalui
pemangkas rambut, topi, kursi bioskop), M. canis (dari hewan kecil ke anak dan kemudian dari anak
ke anak) atau T. tonsurans, M. canis, T. verrucosum, dan lain-lain. Spora masuk melalui folikel
rambut yang patah atau kulit kepala untuk menyebabkan infeksi klinis.
Rambut kepala menangkap jamur dari lingkungan atau benda mati. Sering terjadi kolonisasi
yang asimtomatik. Trauma membantu inokulasi. Dermatofita awalnya menginvasi stratum korneum
kulit kepala, yang dapat diikuti oleh infeksi folikel rambut. Penyebaran ke folikel rambut lain
kemudian terjadi. Akhirnya, infeksi regresi terjadi dengan atau tanpa respon inflamasi. Manifestasi
klinis bervariasi sesuai dengan tipe invasi rambut, derajat daya tahan host, derajat respon inflamasi
host: bisa sedikit tumpul dan rambut berubah warna menjadi abu-abu atau patahnya rambut dengan
sedikit skuama untuk reaksi inflamasi dengan nyeri hebat yang meliputi seluruh kulit kepala.
Kehilangan rambut sebagian dengan inflamasi terdapat pada semua kasus. Kerion dihubungkan
dengan derajat hipersensitivitas yang tinggi terhadap hapten jamur.
Adapun tipe-tipe invasi rambut antara lain:
 Tipe Microsporum:
 Spora ektotriks kecil; folikel rambut diinvasi setengah bagiannya. Hifa intrapiliar tumbuh ke
arah dalam bulbus. Hifa intrapiliar sekunder tersebar, tumbuh ke atas permukaan folikel
rambut.
 Spora ektotriks besar memiliki susunan yang sama.

 Tipe Trichophyton:

3
 Spora ektotriks besar; artrospora sferis, tersusun dalam rantai lurus, terbatas pada permukaan
eksterna folikel rambut. Semua spora berukuran lebih besar daripada spora ektotriks kecil
Microsporum.
 Tipe entotriks; fragmen hifa intrapiliar sampai artrokonidia dalam folikel rambut, membuatnya
mudah pecah, dengan kerusakan selanjutnya yang menutup di permukaan kulit kepala.

5. Manifestasi Klinis
Keluhan yang timbul adalah gatal atau nyeri. Pada pasien dengan tinea kapitis inflamatori
timbul nyeri, nyeri tekan, dan/atau alopesia. Sementara pada infeksi yang non-inflamatori, timbul
skuama, gatal pada kulit kepala, alopesia yang difus (tersebar) atau sirkumskrip (terbatas), ataupun
adenopati pada daerah oksipital atau aurikula posterior.
Ujud kelainan kulit biasanya berlokasi di daerah kulit kepala (scalp) dan rambut, dapat
meluas ke alis atau bulu mata. Durasi lesinya bisa berlangsung beberapa minggu hingga beberapa
bulan.
Berdasarkan bentuk yang khas tinea kapitis dibagi dalam 4 bentuk :
a. Gray patch ring worm
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum dan sering
ditemukan pada anak-anak. Penyakit ini dimulai dengan papul merah kecil di sekitar rambut.
Papul ini melebar ke sekitarnya dan membentuk bercak berwarna pucat dan bersisik. Keluhan
penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut
mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri.
Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga dapat menimbulkan alopesia
(kebotakan) setempat yang berwarna coklat. Tempat-tempat ini terlihat sebagai gray patch. Gray
pach yang dilihat di dalam klinik tidak menunjukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti.

Gambar 2.1. Tinea Kapitis tipe “Gray Patch”

Pada pemeriksaan dengan sinar lampu Wood dapat dilihat fluorisensi hijau kekuning-
kuningan pada rambut yang sakit melampaui batas-batas gray pacth tersebut. Pada kasus-kasus
tanpa keluhan, pemeriksaan dengan lampu Wood ini banyak membantu diagnosis.

b. Black dot ring worm

4
Terutama disebabkan oleh Trichphyton tonsurans dan Trichphyton violaceum. Pada
permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus
Microsporum. Infeksi jamur terjadi di dalam rambut (endotrik) atau luar rambut (ektotrik) yang
menyebabkan rambut putus tepat pada permukaan kulit kepala. Rambut yang terkena infeksi
patah, tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora.
Ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut tampak sebagai titik-titik hitam di atas
permukaan kulit yang berwarna kelabu, ini memberi gambaran yang khas, yaitu black dot. Ujung
rambut yang patah, kalau tumbuh kadang-kadang masuk ke bawah permukaan kulit. Dalam hal
ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapatkan bahan biakan jamur.
Biasanya bentuk ini terdapat pada orang dewasa dan lebih sering pada wanita. Rambut
sekitar lesi juga jadi tidak bercahaya lagi disebabkan kemungkinan sudah terkena. Onikomikosis
juga terjadi pada 2-3 % kasus.

Gambar 2.2. Tinea Kapitis tipe “Black Dot”

c. Kerion
Reaksi atau massa peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan
menyerupai sarang lebah (honeycomb) dengan sebukan sel radang yang padat di sekitarnya.
Biasanya sangat nyeri, dengan karakteristik: lembek seperti lumpur (boggy), nodul yang
meradang, (inflamed nodules), dan plak (plaques). Bentuk ini adalah yang serius, karena disertai
dengan radang yang hebat yang bersifat lokal, sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul
kecil yang berkelompok dan kadang-kadang ditutupi sisik-sisik tebal. Rambut di daerah ini
putus-putus dan mudah dicabut. Bentuk ini terutama disebabkan oleh M. canis, M. gypseum, T.
tonsurans dan T. violaceum. Penyembuhan sering diikuti jaringan parut dan berakibat kebotakan
(scarring alopecia) yang menetap. Jaringan parut yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk.

5
Gambar 2.3. Tinea Kapitis tipe “Kerion”
d. Tinea favosa
Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna
merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan (skutula) dengan
berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta
diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Biasanya dapat tercium bau busuk
seperti bau tikus (mousy odor). Rambut di atas skutula putus-putus, mudah lepas dan tidak
berkilat lagi. Bila menyembuh akan meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang permanen.
Penyebab utamanya adalah T. schoenleini, T. violaceum, dan M. gypseum.

Gambar 2.4. Tinea Kapitis tipe “Favus”

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis :
 Pemeriksaan dengan lampu Wood: dapat dilihat fluorisensi kehijauan.

Tabel 2.1. Gambaran Fluoresensi pada Pemeriksaan dengan Lampu Wood

Penyakit jamur Fluoresensi


 Tinea kapitis  Hijau, biru kehijauan
 Pitiriasis versikolor  Kuning keemasan
Bukan Penyakit jamur Fluoresensi

6
 Eritasma  Merah bata kuning

Gambar 2.5. Pemeriksaan Tinea Kapitis dengan Lampu Wood

 Preparat langsung dari kerokan kulit dalam larutan KOH 10%, terlihat hifa atau spora dan
miselium

Gambar 2.6. Gambaran Mikroskopik Trichophyton tonsurans

 Pembiakan jamur yang diambil dari skuama dalam medium agar dekstrosa Sabouraud.

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Berbagai kelainan pada kulit kepala berambut harus dibedakan dengan tinea kapitis. Pada
umumnya pemeriksaan dengan lampu Wood pada kasus-kasus tertentu dan pemeriksaan langsung
bahan klinis dapat menentukan diagnosis. Adapun diagnosis banding dari tinea kapitis adalah :
alopesia areata, dermatitis atopik, erupsi obat, impetigo, lupus eritematosus, psoriasis vulgaris,
psoriasis pustulosa, dermatitis seboroik, sifilis, dan trikotilomania
Pada alopesia areata, rambut di bagian pinggir kelainan mula-mula mudah dicabut dari
folikel, akan tetapi pangkal yang patah tidak tampak. Pada kelainan ini juga tidak terdapat skuama.
Bercak-bercak seboroika pada kulit kepala yang berambut kadang-kadang membingungkan.
Biasanya lesi dermatitis seboroika pada kulit kepala lebih merata. Adanya lesi-lesi seboroika pada
tempat-tempat predileksi lain dan blefaritis dapat membantu menegakkan diagnosis. Dermatitis

7
seboroika biasanya mempunyai lesi-lesi kulit yang simetris distribusinya. Psoriasis pada kulit kepala
berambut biasanya disertai kelainan di tempat lain yang memberi pengarahan diagnosis yang baik.
Impetigo yang menyertai pedikulosis kapitis menimbulkan kelainan yang kotor dan
berkrusta, tanpa rambut yang putus. Kerion kadang-kadang sukar dibedakan dengan karbunkel,
walaupun tidak begitu nyeri. Trikotilomania merupakan kelainan berupa rambut putus tidak tepat
pada kulit kepala, daerah kelainan tidak pernah botak seluruhnya dan batas kelainan tidak tegas. Pada
orang dewasa, lupus eritematosus dan bentuk-bentuk lain alopesia yang menimbulkan sikatriks
(pseudopelade Brocq) memerlukan pemeriksaan lebih lengkap untuk membedakannya dengan favus.
Pemeriksaan dengan lampu Wood menunjukkan fluoresensi pada rambut yang terserang oleh favus.

8. Penatalaksanaan
 Griseofulvin 20 mg/Kg/hari selama 4-6 minggu bersama dengan makanan untuk meningkatkan
penyerapan.
Jika terapi dengan griseofulvin gagal bereaksi atau intoleransi, maka terapi alternatifnya adalah:
 Fluconazole: 6 mg/Kg/hari selama 20 hari.
 Itraconazole: 3-5 mg/Kg/hari selama 4-8 minggu.
 Terbinafine: 3-6 mg/Kg/hari selama 4 minggu.
Infeksi karena M. canis memerlukan terapi sampai 8 minggu.
 Sampho anti jamur
Sampho yang dipakai untuk mencuci kepala dan rambut pada penderita tinea kapitis adalah jenis
sampo desinfektan antimikotik seperti larutan asam salisilat, asam benzoat, dan sulfur
presipitatum.
9. Prognosis
Prognosis pada umumnya baik. Kerion dan favus kronik yang tidak diobati, khususnya jika
ada infeksi sekunder oleh S. aureus, menghasilkan alopesia yang menetap. Pertumbuhan rambut
kembali merupakan hasil apabila diobati dengan obat-obatan antifungal sistemik. Favus dapat
menetap sampai dewasa.

8
B. Tinea Korporis
1. Definisi
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glaborous skin). Tinea
korporis memiliki beberapa sebutan atau nama lain, yaitu: tinea sirsinata, tinea glabrosa, kurap,
Scherende Flechte, dan herpes sircine trichophytique.

2. Epidemiologi
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai di daerah yang panas.
Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh dunia dan sekitar 47 %
menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsurans merupakan dermatofit yang lebih umum
menyebabkan tinea kapitis, dan orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang
menjadi tinea korporis.. Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan
Tricophyton tonsurans, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar 14 % menyebabkan
tinea korporis.
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi manusia atau hewan
melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki. Anak-anak lebih sering
kontak pada zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas
dihubungkan dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi.
Infeksi dermatofita tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi mereka bisa
berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya sama antara pria dan
wanita. Tinea korporis mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tetapi prevalensinya lebih
tinggi pada pra-dewasa. Tinea korporis yang berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada
anak-anak.
Secara geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropik. Berdasarkan habitatnya
dermatofita digolongkan sebagai antropofilik (manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah).
Dermatofita yang antropofilik paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik
di identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.
3. Etiologi
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofita seperti Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat ditemukan berdasarkan spesies yang
terdapat di daerah tertentu. Namun demikian yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.
rubrum, T. mentagrophytes, dan M. canis.

4. Patogenesis
Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofita ke manusia dapat melalui 3
9
sumber yang masing-masing memberikan gambaran tipikal, karena dermatofita tidak memiliki
virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit.

Tabel 2.2. Tipe Dermatofita Berdasarkan Cara Transmisi

No. Kategori Cara Transmisi Gambaran Klinik Tipikal


1. Antropofilik Manusia ke manusia Ringan, tanpa inflamasi, kronik
2. Zoofilik Hewan ke manusia Inflamasi hebat (mungkin
pustula dan vesikel), akut.
3. Geofilik Tanah ke manusia Inflamasi sedang
atau hewan

Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam perkembangan klinis
dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi langsung spora atau hifa pada permukaan
kulit yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di stratum korneum, dengan bantuan panas,
kelembaban dan kondisi lain yang mendukung seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi
juga berpengaruh.
Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat sehingga
mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak langsung
dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain.
Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin
yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan
epidermis dan merusak keratinosit.
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon jaringan terhadap
infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang menginvasi bagian perifer kulit.
Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan
menghasilkan skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian
pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler.
Pada masa inkubasi, dermatofita tumbuh dalam stratum korneum, kadang-kadang disertai
tanda klinis yang minimal. Pada carier, dermatofita pada kulit yang normal dapat diketahui dengan
pemeriksaan KOH atau kultur.

5. Manifestasi Klinis
Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih sering terjadi pada
bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di daerah yang tertutup atau
oklusif atau daerah trauma.
Keluhan berupa rasa gatal. Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi yang berbatas tegas, pada
tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian tengah cenderung menyembuh. Lesi yang
10
berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan
morfologi dari eritema sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien.
Pada penyebab zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan imunosupresif, lesi
sering menjadi lebih luas.
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai sebagai lesi
eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar, selanjutnya bagian tengah dari lesi
akan menjadi bentuk yang anular akan mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular berupa
skuama, krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah satu
dengan yang lainnya.
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan
ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam
hal ini disebut tinea korporis dan kruris.

Gambar 2.7. Tinea Korporis

Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum disebut tinea
imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi
besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah
beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang
konsentris.

Gambar 2.8. Tinea Imbrikata

Infeksi dermatofita secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan respon inflamasi
daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya, pasien HIV-positif atau
imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam dan meluas.
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan. Secara
obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang menjalar dan berkembang
menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing
center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan
bahu.

6. Pemeriksaan Penunjang
Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada kulit sehingga atas
dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis. Akan tetapi kadang temuan efloresensi
tidak khas atau tidak jelas, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis menjadi

11
lebih tepat.
Pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap bahan pemeriksaan merupakan pemeriksaan
yang cukup cepat, berguna dan efektif untuk mendiagnosis infeksi jamur. Pemeriksaan KOH
merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk mendiagnosis infeksi dermatofita secara
langsung di bawah mikroskop.
Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15 – 20 menit, hal ini diperlukan
untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan
basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup.
Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang diiginkan tidak
tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH,
misalnya tinta Parker superchroom blue black.
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan
pembesaran 10 x 10, kemudian dengan pembesaran 10 x 45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10 x
100 biasanya tidak diperlukan. Akan terlihat hifa diantara material keratin.

Gambar 2.9. KOH, 400 x : Hifa Bercabang dan Bersepta

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau pemeriksaan
sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk melihat elemen jamur dermatofit.
Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies jamur penyebab yang lebih akurat.
Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop untuk
mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi dermatofit. Infeksi dapat
dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur
jamur.
Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan dengan beberapa
kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak, dermatitis numularis, dermatitis seboroik,
pitiriasis rosea, dan psoriasis. Untuk alasan ini, tes laboraturium sebaiknya dilakukan pada kasus
dengan lesi kulit yang tidak jelas penyebabnya.
Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya
dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala, lipatan-lipatan kulit, misanya
belakang telinga, daerah nasolabial dan sebagainya. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari
tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut
juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan-lekukan pada kuku dapat pula menolong
untuk menentukan diagnosis.
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas, tubuh dan bagian
proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat

12
membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat
memastikan diagnosisnya.

8. Penatalaksanaan
Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi selalu kering
dan memakai baju yang menyerap keringat.
a. Terapi topikal
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada
jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan
semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari
selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka
perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.
Berikut obat yang sering digunakan :
1) Topical azol terdiri atas :
a) Econazol 1 %
b) Ketoconazol 2 %
c) Clotrinazol 1%
d) Miconazol 2%, dan lain-lain.
Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada
pembentukan ergosterol membran sel jamur.
2) Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga
skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur, yaitu aftifine 1
%, butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan
hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.
3) Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan
esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen
topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta
berspektrum luas.
4) Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada regimen anti jamur
topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama
dari terapi.

b. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa
obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak
tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak

13
responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.
1) Griseofulvin
Obat ini berasal dari Penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku emas pada
pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton.
Bekerja pada inti sel, menghambat mitosis pada stadium metafase.
2) Ketokonazol
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan
imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
3) Flukonazol
Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak
dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4) Itrakonazol
Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan
efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi
maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.
5) Amfosterin B
Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces nodosus. Bersifat
fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga.
Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa
dan tidak sembuh dengan preparat azol.

9. Prognosis
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan
70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan menggunakan anti jamur
sistemik.

14
BAB III
PENYAJIAN KASUS

I. ANAMNESIS
Identitas
Nama : An. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 4 th
Alamat : Jl. Khatulistiwa, Gg. Teluk Pari, Pontianak
Agama : Islam
Pekerjaan : pelajar TK
Tanggal Masuk RS : 16 Oktober 2008 pukul 14.00 WIB

Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien pada tanggal 28 November 2008 pukul
10.00 WIB

Keluhan utama
Gatal di dahi, rambut, dan tengkuk.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RS dengan keluhan gatal di dahi, rambut, dan tengkuk sejak 1 minggu yang lalu.
Apabila berkeringat, makin terasa gatal. Selain itu, pasien mengeluhkan kulit dahi, kepala dan
tengkuknya merah dan bersisik. Pasien dioleskan caladin lotion di daerah-daerah yang gatal tadi 2 kali
sehari, setiap habis mandi dan sebelum tidur. Setelah dioleskan caladin lotion beberapa kali, gatal agak
berkurang. Pasien mandi dengan menggunakan sabun cusson. Shampoo dan bedak yang digunakan juga
merek cusson.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami keluhan serupa pada waktu masih bayi.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga tidak ada yang menderita keluhan serupa.

15
Riwayat Kebiasaan / Lingkungan
Pasien adalah seorang pelajar TK. Sehari-hari, memakai jilbab ke sekolah. Pada sore hari, pasien sering
bermain di dalam rumah, jarang bermain di luar.

Riwayat Sosial Ekonomi


Ekonomi menengah.

Resume Anamnesis
An. P, 4 tahun, datang ke RS dengan keluhan gatal di dahi, rambut, dan tengkuk sejak 1 minggu
yang lalu. Apabila berkeringat, makin terasa gatal. Selain itu, pasien mengeluhkan kulit dahi, kepala dan
tengkuknya merah dan bersisik. Pasien dioleskan caladin lotion, kemudian gatalnya agak berkurang..

II. PEMERIKSAAN DERMATOLOGI


Ditemukan ujud kelainan kulit berupa papul miliar eritematosa, multipel, berskuama di sekitar
folikel rambut di kulit kepala bagian depan sebelah kiri dan bagian belakang sebelah kanan. Selain itu,
ditemukan pula papul miliar eritematosa, multipel, berskuama dan erosi di dahi dan tengkuk.

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan dengan lampu Wood
- Kerokan kulit dalam larutan KOH 10%

IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Banding
Di rambut dan kulit kepala :
1. Tinea kapitis
2. Dermatitis seboroik
3. Psoriasis vulgaris
Di tengkuk :
1. Tinea korporis
2. Dermatitis kontak alergi
3. Pitiriasis rosea
Diagnosis : Tinea kapitis et korporis
VI. TATALAKSANA
Non Medikamentosa :
- Hindari garukan pada daerah yang gatal, yaitu: dahi, kulit kepala dan rambut, dan tengkuk.
- Memakai pakaian yang menyerap keringat. Apabila berkeringat, pakaian diganti.
16
- Memakai sabun bayi untuk mandi.
Medikamentosa :
- Griseofulvin 10 mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu
- Salap ketokonazol 2 %, dioleskan 2 kali sehari
- Sampho anti jamur : sampho ketokonazol
Usulan Pemeriksaan Lanjutan :
- Pembiakan jamur yang diambil dari skuama dalam medium agar dekstrosa Sabouraud

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan gatal di daerah dahi, rambut, dan tengkuk. Dari anamnesis, didapatkan
bahwa keluhan mulai timbul sejak 1 minggu yang lalu. Apabila berkeringat, makin terasa gatal. Selain itu,
pasien mengeluhkan kulit dahi, kepala dan tengkuknya merah dan bersisik. Pasien dioleskan caladin lotion
di daerah-daerah yang gatal tadi, setiap habis mandi dan sebelum tidur. Setelah dioleskan caladin lotion
beberapa kali, gatal agak berkurang. Pasien mandi dengan menggunakan sabun cusson. Shampoo dan bedak

17
yang digunakan juga merek cusson. Sehari-hari memakai jilbab ke sekolah. Pada sore hari, pasien sering
bermain di dalam rumah, jarang bermain di luar.
Dari hasil pemeriksaan dermatologi, didapatkan ujud kelainan kulit berupa papul miliar eritematosa,
multipel, berskuama di sekitar folikel rambut di kulit kepala bagian depan sebelah kiri dan bagian belakang
sebelah kanan. Selain itu, ditemukan pula papul miliar eritematosa, multipel, berskuama dan erosi akibat
bekas garukan di dahi dan tengkuk.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologi, dipikirkan diagnosis banding berupa tinea
kapitis, psoriasis vulgaris, dan dermatitis seboroik untuk keluhan di daerah rambut dan kulit kepala.
Sementara untuk keluhan di daerah tengkuk, dipikirkan diagnosis banding berupa tinea korporis, dermatitis
kontak alergi, dan pitiriasis rosea.
Tinea kapitis ditegakkan sebagai diagnosis kerja karena berdasarkan keluhan pasien yaitu gatal di
daerah rambut dan kulit kepala. Selain itu, dari hasil pemeriksaan dermatologi ditemukan ujud kelainan kulit
berupa papul miliar eritematosa, multipel, berskuama di sekitar folikel rambut di kulit kepala. Ujud kelainan
kulit yang ditemukan tersebut sesuai dengan ujud kelainan kulit pada tinea kapitis tipe “gray patch ring
worm” permulaan. Jadi, dapat disimpulkan pasien menderita tinea kapitis masa awal / permulaan. Pada
tahap lanjut, akan ditemukan ujud kelainan kulit berupa papul-papul yang melebar dan membentuk bercak
pucat karena adanya sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu, dan tidak berkilat lagi.
Rambut menjadi mudah patah dan juga mudah terlepas dari akarnya. Pada daerah yang terserang oleh jamur
terbentuk alopesia setempat dan terlihat sebagai “gray patch”.
Pasien adalah anak berusia 4 tahun. Tinea kapitis biasanya sering muncul pada anak kecil yang baru
belajar berjalan (toddlers) dan anak usia sekolah. Paling sering menyerang anak berusia 6 – 10 tahun; paling
jarang pada usia setelah 16 tahun. Hal ini dikarenakan glandula sebasea pada anak kecil belum berkembang
dan jumlahnya masih sedikit. Glandula sebasea terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di
telapak tangan dan kaki. Glandula sebasea disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen dan sekret
kelenjar ini berasal dari dekompensasi sel-sel kelenjar. Glandula sebasea biasanya terdapat di samping akar
rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut (folikel rambut). Glandula sebasea menghasilkan
sebum. Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas, skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi
sebum dipengaruhi oleh hormon androgen, pada anak-anak jumlah glandula sebasea masih sedikit,
sementara pada pubertas menjadi lebih besar dan banyak serta mulai berfungsi secara aktif. Sebum berfungsi
untuk proteksi kulit terhadap infeksi. Sebum bersama dengan ekskresi keringat membentuk lapisan
keasaman kulit. Keasaman kulit inilah yang menyebabkan pH kulit berkisar pada pH 5 – 6,5 sehingga
merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur. Jadi, kulit anak kecil mudah
terserang oleh infeksi bakteri dan jamur dikarenakan glandula sebaseanya belum berkembang dan jumlahnya
masih sedikit.
Adapun faktor risiko dari tinea kapitis adalah sistem imun yang lemah, malnutrisi, penyakit kronik,
kurangnya menjaga kebersihan kulit, faktor gemuk, udara panas yang menyebabkan orang akan berkeringat,
18
gesekan pada kulit, dan pemakaian antibiotika dalam jangka panjang. Kemungkinan faktor risiko yang
terdapat pada pasien ini adalah sistem imun yang lemah. Selain karena sistem imun yang lemah, kulit kepala
pasien mudah berkeringat karena sehari-hari pasien memakai jilbab ke sekolah, sehingga memudahkan
tumbuhnya jamur di rambut dan kulit kepala.
Diagnosis banding dari tinea kapitis yang diambil adalah psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik.
Psoriasis vulgaris disingkirkan karena ujud kelainan kulit yang ditemukan pada penyakit ini berupa
makula dan papul eritem yang timbul tiba-tiba, selanjutnya papul membesar secara sentrifugal sampai
sebesar lentikular dan numular. Makula eritem ini berbatas tegas dan di atasnya terdapat skuama yang
berwarna putih mengkilat seperti perak atau mika, transpaan, kering, kasar, dan berlapis-lapis. Biasanya
muncul pada bagian permukaan ekstensor lutut, siku, dan batang tubuh.
Dermatitis seboroik disingkirkan karena ujud kelainan kulit yang ditemukan pada penyakit ini berupa
makula atau plakat eritematosa, berbatas tidak tegas, dengan skuama yang berminyak, berwarna kekuning-
kuningan, dan tidak berlapis-lapis. Rambut saling melengket dan kadang-kadang dijumpai krusta. Bercak-
bercak seboroika pada kulit kepala yang berambut kadang-kadang membingungkan. Biasanya lesi dermatitis
seboroika pada kulit kepala lebih merata dengan distribusi bilateral dan simetris. Dermatitis seboroik jarang
menyebabkan kerontokan rambut. Adanya lesi-lesi seboroika pada tempat-tempat predileksi lain dan
blefaritis dapat membantu menegakkan diagnosis.
Tinea korporis ditegakkan sebagai diagnosis kerja karena berdasarkan anamnesis, pasien mengeluh
gatal di daerah tengkuk dan ditemukan ujud kelainan kulit berupa papul miliar eritematosa, multipel,
berskuama di daerah tengkuk. Ujud kelainan kulit yang ditemukan tersebut sesuai dengan ujud kelainan
kulit pada tinea korporis. Gambaran klinik pada tinea korporis biasanya berupa lesi yang terdiri atas
bermacam-macam efloresensi kulit yang berbatas tegas. Bagian tepi lebih aktif dengan tanda peradangan
yang lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi penyembuhan, sementara di tepi lesi makin
meluas ke perifer. Kadang-kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan tertutup
skuama sehingga menjadi bercak yang besar.
Diagnosis banding dari tinea korporis yang diambil adalah dermatitis kontak alergi dan pitiriasis
rosea.
Dermatitis kontak alergi disingkirkan karena ujud kelainan kulit yang ditemukan pada penyakit ini
berupa bercak eritema berbatas tegas, kemudian diikuti edema, papulo-vesikel, vesikel, atau bula pada fase
akut. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada fase kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak tegas.
Pitiriasis rosea disingkirkan karena ujud kelainan kulit yang ditemukan pada penyakit ini berupa
makula eritematosa dengan bentuk lonjong atau bundar dengan garis diagonal terpanjang sesuai dengan
garis-garis lipatan kulit. Di atas makula eritem ditemukan skuama halus, tidak berlapis-lapis dan di sekitar
makula terdapat papul-papul miliar. Ini yang disebut dengan lesi herald patch. Distribusi kelainan kulitnya

19
simetris dan terbatas. Tempat predileksinya di tubuh dan bagian proksimal anggota badan. Sukar dibedakan
dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis.
Untuk membantu menegakkan diagnosis tinea kapitis dan tinea korporis pada pasien ini, diusulkan
beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: pemeriksaan dengan lampu Wood dan pemeriksaan mikologik. Pada
pemeriksaan dengan lampu Wood untuk tinea kapitis tipe gray patch, dapat dilihat fluorisensi hijau
kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melampaui batas-batas gray pacth tersebut. Pemeriksaan
mikologik terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit dan rambut. Sebelum
mengambil dan mengumpulkan bahan untuk pemeriksaan mikologik, terlebih dahulu tempat kelainan
dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian langkah selanjutnya sebagai berikut :
- Untuk kulit tidak berambut (glaborous skin) : dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di
luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.
- Untuk kulit berambut : rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan; kulit di daerah
tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit, pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum
pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terkena infeksi dengan kemungkinan
adanya fluoresensi pada kasus-kasus tinea kapitis tertentu.
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian ditambah 1 – 2 tetes
larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit 20%. Pada
sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun
spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan / atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang
dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut
(ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan bash
dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada
agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambahkan pula klorheksimid.
Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.

Terapi non medika mentosa yang diajukan untuk pasien ini adalah:
- Hindari garukan pada daerah yang gatal, yaitu: dahi, kulit kepala dan rambut, dan tengkuk.
- Memakai pakaian yang menyerap keringat. Apabila berkeringat, pakaian diganti.
Apabila pada udara panas pakaian dari setiap orang cenderung akan basah seketika. Pada pakaian
basah tersebut, jamur dapat tumbuh dan menyerang kulit sehingga menyebabkan infeksi. Gesekan kulit,
dimisalkan pada lipatan paha, tingkat kelembapan yang relatif tinggi di wilayah yang terkena gesekan itu
menyebabkan jamur juga tumbuh. Oleh karena itu, disarankan untuk tidak menggunakan pakaian yang
cukup ketat dan padat.
20
- Memakai sabun bayi untuk mandi

Terapi medika mentosa yang diajukan untuk pasien ini adalah:


- Griseofulvin 10 mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu
Obat ini berasal dari Penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku emas pada pengobatan
infeksi dermatofita genus Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Bersifat fungistatik, bekerja
pada inti sel, dan menghambat mitosis pada stadium metafase. Griseofulvin masuk ke dalam sel jamur
yang rentan dengan proses yang tergantung energi. Hal ini diyakini bahwa obat ini berinteraksi dengan
mikrotubulus dalam jamur yang merusak serat mitotik dan menghambat mitosis. Obat ini berakumulasi di
daerah yang terinfeksi, disintesis kembali dalam jaringan yang mengandung keratin, sehingga
menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu.
Secara umum, griseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Lama
pengobatan tergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan keadaan imunitas penderita. Terapi
harus dilanjutkan sampai jaringan normal menggantikan jaringan yang terinfeksi dan biasanya
membutuhkan beberapa minggu sampai bulan. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak
residif. Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada
sebagian besar penderita. Untuk mempertinggi absorpsi obat dalam usus, sebaiknya obat dimakan
bersama-sama makanan yang banyak mengandung lemak.
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang
didapati pada 15% penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu
nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.

- Salap ketokonazol 2 %
Pasien menderita tinea korporis. Untuk mempercepat waktu penyembuhan, kadang-kadang
diperlukan tindakan khusus atau pemberian obat topikal tambahan. Salah satunya adalah dengan
pemberian salap ketokonazol. Bersifat fungistatik atau fungisida tergantung dosis. Ketokonazol
berinteraksi dengan C-14 -demetilase (enzim P-450 sitokrom) untuk menghambat demetilasi lanosterol
menjadi ergosterol yang merupakan sterol penting untuk membran jamur. Penghambat ini mengganggu
fungsi membran dan meningkatkan permeabilitas.
Pada pasien, diberikan salap ketokonazol 2%, dioleskan tiap 2 kali sehari setelah mandi. Efek
samping ketokonazol yang paling sering adalah gangguan saluran cerna. Efek samping yang lain adalah
efek endokrin (ginekomastia, penurunan libido, impotensi, dan ketidak-teraturan menstruasi) dan
gangguan fungsi hati disertai peningkatan kadar transminase serum.

- Sampho anti jamur : sampho ketokonazol


21
Pasien menderita tinea kapitis. Sampho yang dipakai untuk mencuci kepala dan rambut pada
penderita tinea kapitis adalah jenis sampho desinfektan antimikotik.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies
dermatofita. Biasanya penyakit ini banyak menyerang anak-anak dan sering ditularkan melalui binatang-
binatang peliharaan seperti kucing, anjing dan sebagainya. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi
bersisik, kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang
disebut kerion.
Prognosis pada umumnya baik. Kerion dan favus kronik yang tidak diobati, khususnya jika ada
infeksi sekunder oleh S. aureus, menghasilkan alopesia yang menetap. Pertumbuhan rambut kembali
merupakan hasil apabila diobati dengan obat-obatan antifungal sistemik. Favus dapat menetap sampai
dewasa.
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit kepala, wajah, kaki,
telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha. Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya
pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur
dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh
masyarakat tetapi lebih banyak di daerah tropis.
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan. Secara obyektif
tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang menjalar dan berkembang menjadi
anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea
korporis lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat kesembuhan 70-

22
100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan menggunakan anti jamur
sistemik.
Pada pasien ini, masalah yang dialaminya berupa gatal dan kulit merah serta bersisik di daerah
dahi, rambut, dan tengkuk. Didiagnosis tinea kapitis et korporis. Maka pengobatan yang diberikan
adalah griseofulvin 10 mg/kgBB/hari sebagai pengobatan sistemik untuk infeksi mikosis superfisial
(dermatofita) yang diderita oleh pasien, diberikan selama 4-6 minggu; salap ketokonazol 2 % sebagai
pengobatan topikal untuk tinea korporis pada pasien, dioleskan 2 kali sehari; dan sampho ketokonazol
sebagai sampho anti jamur untuk mengobati tinea kapitis pada pasien..

B. Saran
Pada pasien ini diduga faktor risiko yang paling berperan terhadap terjadinya tinea kapitis dan
tinea korporis adalah pasien mudah berkeringat, mengingat pasien adalah seorang anak berusia 4 tahun
yang sedang aktifnya bermain. Oleh karena itu, sangat dianjurkan kepada orang tua pasien untuk
menjaga kebersihan kulit pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pakaian yang menyerap
keringat dan apabila pasien berkeringat, maka pakaian cepat diganti serta menggunakan sabun bayi
untuk mandi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Brooks, GF., Butel, JS., Morse, SA. Mikrobiologi Kedokteran. Jilid 2. Alih bahasa: Nani Widorini. Edisi
2. Jakarta. Salemba Medika. 2005.
2. Budimulja, U. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Editor: Djuanda A., Hamzah M., Aisah
S. Edisi 4. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.
3. Fitzpatrick, JE., Morelli, JG., Dermatology Secrets In Color. 3rd Edition. Philadelphia, USA. Mosby
Elsevier. 2007.
4. Goedadi, MH., Suwito, PS. Tinea Korporis dan Tinea Kruris dalam Dermatomikosis Superfisialis.
Editor : Budimulja, U., Kuswadji, Bramono, K., Menaldi, SL., Dwihastuti, P., Widaty, S. Jakarta. Balai
penerbit FKUI, 2004.
5. Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. 2000.
6. Kao, GF. Tinea Capitis. Cited from:http://www.emedicine.com/derm/topic420.htm
7. Katzung, BG. Farmakologi Dasar & Klinik. Alih bahasa: Staf Dosen Farmakologi FK UNSRI. Edisi 6.
Jakarta. EGC. 1997.
8. Kuswadji, Widaty KS. Obat Anti Jamur dalam Dermatomikosis Superfisialis. Editor : Budimulja, U.,
Kuswadji, Bramono, K., Menaldi, SL., Dwihastuti, P., Widaty, S. Jakarta. Balai penerbit FKUI, 2004.
9. Mycek, MJ., Harvey, RA., Champe, PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. Alih bahasa: Azwar Agoes.
Edisi 2. Jakarta. Widya Medika. 2001.
10. Nugroho, SA. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Dermatomikosis Superfisialis dalam Dermatomikosis
Superfisialis. Editor : Budimulja, U., Kuswadji, Bramono, K., Menaldi, SL., Dwihastuti, P., Widaty, S.
Jakarta. Balai penerbit FKUI, 2004.
11. Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta. EGC. 2005.
12. Wolff K., Johnson RA., Suurmond D. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
5th Edition. USA. McGraw-Hill. 2007.

24

Anda mungkin juga menyukai