Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Varicella, umumnya dikenal di Amerika Serikat sebagai cacar,
disebabkan oleh virus varicella-zoster. Penyakit ini umumnya dianggap
ringan, penyakit virus membatasi diri dengan komplikasi sesekali. Varicella
adalah umum dan sangat menular dan mempengaruhi hampir semua anak
yang rentan sebelum masa remaja. (Kirsten A Becthel.Medscape.2016)
Sebelum vaksinasi untuk varicella menjadi luas di Amerika Serikat,
penyakit ini mempengaruhi sekitar 4 juta anak per tahun, menyebabkan
sebanyak 100 kematian pada anak-anak setiap tahunnya, dan bertanggung
jawab untuk sekitar $ 400 juta dalam biaya medis dan kehilangan upah setiap
tahun. Karena vaksin varicella diperkenalkan untuk anak usia 12-18 bulan di
Amerika Serikat pada tahun 1995 dan vaksin penguat diberikan pada usia 4-5
tahun, insiden penyakit telah secara substansial menurun. (Kirsten A
Becthel.Medscape.2016)
Herpes zoster atau disebut juga dengan shingles, dampa, cacar ular
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster (VVZ)
yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus
yang terjadi setelah infeksi primer yang ditandai dengan adanya nyeri
radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersyarafi. (HR, Sahriani dkk. 2012)
Herpes zoster (HZ), biasa disebut herpes zoster, adalah sindrom khas
yang disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster (VZV). reaktivasi ini
terjadi ketika kekebalan terhadap VZV menurun karena penuaan atau
imunosupresi. Herpes zoster dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
mempengaruhi populasi lanjut usia. postherpetic neuralgia (PHN),
didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan setelah ruam telah
sembuh, adalah melemahkan dan sulit untuk mengelola konsekuensi dari HZ.
Diagnosis HZ biasanya dibuat secara klinis atas dasar penampilan
karakteristik ruam. pengakuan dan pengobatan dini dapat mengurangi gejala
akut dan juga dapat mengurangi PHN. Sebuah hidup, vaksin dilemahkan

1
bertujuan untuk meningkatkan kekebalan terhadap VZV dan mengurangi
risiko HZ sekarang tersedia dan dianjurkan untuk orang dewasa yang lebih tua
dari 60 tahun. Vaksin yang telah terbukti mengurangi secara signifikan
kejadian kedua HZ dan PHN. Vaksin ini ditoleransi dengan baik, dengan
reaksi di tempat suntikan lokal kecil menjadi efek samping yang paling umum.
Ulasan ini berfokus pada manifestasi klinis dan pengobatan HZ dan PHN,
serta penggunaan yang tepat dari vaksin HZ. (Proc, Mayo Clin. 2009)
Herpes Simpleks adalah infeksi akut oleh virus herpes simpleks
(virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai dengan adanya vesikel
yang berkelompok diatas kulit yang eritematosa di daerah mukokutan. Herpes
simpleks disebut juga fever blister, cold score, herpes fibrilis, herpes labialis,
herpes progenetalis. (Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2006)

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Jelaskan definisi herpes zoster?
1.2.2 Jelaskan etiologi herpes zoster?
1.2.3 Bagaimana patofisiologi herpes zoster?
1.2.4 Jelaskan manifestasi herpes zoster?
1.2.5 Bagaimana epidemiologi herpes zoster?
1.2.6 Apa komplikasi dari herpes zoster?
1.2.7 Bagaimana cara pencegahan herpes zoster?
1.2.8 Apa pengobatan dari herpes zoster?
1.2.9 Bagaimana penatalaksaan zoster?
1.2.10 Bagaimana diagnosis banding herpes zoster?
1.2.11 Bagaimana asuhan keperawatan herpes zoster?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi herpes zoster.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi herpes zoster.
1.3.3 Untuk mengetahui patofisiologi herpes zoster.
1.3.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis herpes zoster.
1.3.5 Untuk mengetahui epidemiologi herpes zoster.
1.3.6 Untuk mengetahui komplikasi herpes zoster.

2
1.3.7 Untuk mengetahui pencegahan herpes zoster.
1.3.8 Untuk mengetahui pengobatan herpes zoster.
1.3.9 Untuk mengetahui penatalaksaan herpes zoster.
1.3.10 Untuk mengetahui diagnosis banding herpes zoster.
1.3.11 Untuk mengetahui asuhan keperawatan herpes zoster.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Varicella

2.1.1 Definisi

VZV (Varicella-zoster virus) merupakan virus penyebab


chickenpox pada anak-anak dan cacar ular pada orang-orang dewasa.
Chickenpox merupakan penyakit menular dan umum terjadi pada masa
kanak-kanak. Pengamatan epidemiologik dan virologik memperkirakan
bahwa infeksi terjadi setelah pajanan VZV melalui udara atau kontak
langsung dari pasien yang menderita chickenpox atau cacar ular (shingles).
Masa infeksius untuk infeksi chickenpox adalah 1-2 hari sebelum
munculnya kemerahan (rash) hingga 4-5 hari setelahnya.

Pada umumnya, pasien memiliki kekebalan terhadap VZV karena


pernah terpajan chickenpox pada masa kanak-kanak. Kekebalan yang
dihasilkan dari infeksi VZV merupakan kekebalan jangka panjang. Namun
orangorang yang tidak memiliki kekebalan terhadap VZV, dapat mengalami
infeksi berat yang dapat berakibat fatal. Individu-individu yang berisiko
tinggi mengalami infeksi berat karena VZV adalah anak-anak dan orang
dewasa dengan sistim imun yang lemah, wanita hamil, dan bayi yang
terpajan VZV dalam kandungan atau setelah lahir. Pada orang-orang tanpa
kekebalan terhadap VZV, terapi antiviral seringkali tidak efektif dan terapi
antiviral tidak bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu.

Cacar air atau varicella merupakan penyakit yang disebabkan oleh


Human Herpes Virus tipe 3 (Varicella Zoster Virus). Virus ini sangat
menular, ditularkan melalui saluran pernapasan penderita varicella atau
herpes zoster. Masa inkubasinya 14-16 hari, dimulai dengan demam ringan,
malaise, ruam vesikel distribusi sentral, gatal, terbanyak di tubuh dan wajah.
Vesikel varicella berdinding tipis, berukuran 2-3cm dengan kulit sekitar
kemerahan, kemudian isi menjadi keruh, menjadi pustul, puncaknya runtuh
membentuk ulkus yang akhirnya mengering dan menjadi krusta hitam. Yang

4
khas adalah adanya semua bentuk tahapan vesikel pada satu daerah kulit.
Demam tidak selalu ada, jika terjadi saat vesikel keluar dan normal kembali
saat krusta mengelupas. (Parinding, Imanuel Taba, Dian Rosiana Devi, Roy
Indra.2012)

2.1.2 Etiologi

2.1.3 Patogenesis

Varicella Zoster Virus (VZV) masuk ke dalam mukosa napas atau


orofaring. Pada 10-21 hari pertama periode inkubasi, virus bereplikasi di
dalam jaringan lokal limfoid menyebabkan subclinical viremia (viremia
pertama) saat virus menyebar ke sistem retikuloendotelial; setelah itu
menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua) menimbulkan demam
dan malaise. Lesi kulit timbul pada viremia ke dua yang berlangsung 3-7
hari. Pada fase akhir periode inkubasi, VZV akan kembali ke mukosa
saluran napas atas dan orofaring, dapat menyebabkan penularan 1-2 hari
sebelum timbul lesi kulit. Pada anak dengan imunitas rendah, replikasi virus
berlangsung terus yang akan menyebabkan penyebaran infeksi ke paru, hati,
otak dan organ lainnya.

Permulaan bentuk lesi kulit mungkin infeksi kapiler endothelial


pada lapisan papil dermis yang menyebar ke sel epitel epidermis, folikel
kulit dan glandula sebacea dan terjadi pembengkakan. Lesi pertama ditandai
dengan adanya makula yang berkembang cepat menjadi papula, vesikel dan
akhirnya menjadi crusta. Lesi jarang menetap dalam bentuk makula dan
papula saja. Vesikel ini akan berada di lapisan sel di bawah kulit, stratum

5
korneum dan lusidum sebagai atap, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang
lebih dalam. Degenarasi sel akan diikuti dengan terbentuknya sel raksasa
berinti banyak, kebanyakan mengandung inclusion body intranuclear type
A. Virus dapat menetap dan laten pada sel saraf. Jika terjadi reaktivasi dapat
terjadi herpes zoster. (Parinding, Imanuel Taba, Dian Rosiana Devi, Roy
Indra. 2012)

2.1.4 Manifestasi Klinis

Varisella ditandai dengan munculnya ruam vesicular generalisata


yang gatal, biasanya terdiri dari 250-500 lesi, berhubungan dengan gejala
konstitusional termasuk sakit kepala, malaise, hilang nafsu makan dan
demam ringan. Lesi, yang biasanya tampak dalam stadium berbeda, lebih
terkonsentrasi di pusat, pada batang tubuh dan wajah dibandingkan dengan
anggota badan. Krusta yang terbentuk pada lesi penyembuhan hilang setelah
1-2 minggu dan sering meninggalkan daerah yang hipo atau hiperpigmentasi
yang dapat bertahan selama berbulan-bulan atau jaringan parut yang
permanen. Komplikasi termasuk superinfeksi bakteri dari lesi kulit, yang
sering disebabkan oleh streptokokus Grup A dan terlihat pada >5 % anak-
anak, radang sendi, osteomielitis, trombositopenia, pneumonitis, hepatitis
dan manifestasi system saraf pusat termasuk ataksia serebelar,
meningoensefalitis dan vaskulitis intracranial. Pneumonia lebih sering
terlihat pada orang dewasa dan selama kehamilan. Anak-anak dengan
immunocompromised memiliki peningkatan risiko terkena varisela berat
progresif dengan diseminasi visceral.

Setelah periode laten di ganglia akar dorsalis, reaktivasi dapat


menyebabkan herpes zoster ditandai dengan munculnya vesikula dalam
distribusi dermaton. Insiden herpes zoster adalah 74 per 100.000 pada anak-
anak di bawah usia 10 tahun tetapi dapat mencapai hingga 1200 per 100.000
pada usia >75 tahun yang berada pada peningkatan risiko terjadinya
neuralgia postherpetik. Herpes zoster yang berat, mempengaruhi lokasi yang
tidak biasa atau muncul dalam distribusi multi-dematomal dan dengan
potensi keterlibatan visceral dapat etrjadi pada individu yang

6
immunocompromised seperti yang mendapat kemoterapi, terutama pasien
dengan leukemia, yang mendapat steroid dosis tinggi dan pada pasien
dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).

Varisela maternal dalam 20 minggu pertama kehamilan


mengakibatkan embriopati varisela pada anak 2% dari fetus. Sindrom
varisela congenital ditandai oleh atrofi ekstremitas, parut pada kulit
ekstremitas, korioretinitis, katarak dan kelainan otak yang berhubungan
dengan perkembangan yang terhambat dan tampilan yang buruk. Varisela
maternal yang berkembang 5 hari sebelum sampai 2 hari setelah persalinan
dapat mengakibatkan varisela neonatal yang berat yang memiliki angka
kematian 30%.

2.1.5 Gambaran Klinis


Gambaran klinis varisela dibagi menjadi 2 stadium :
1. Stadium prodromal: 24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat
gejala panas, perasaan lemah (malaise), anoreksia. Kadang-kadang
terdapat kelainan scarlatinaform atau morbiliform.
2. Stadium erupsi: Dimulai dengan terjadinya papula merah, kecil yang
berubah menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan mempunyai
dasar eritematous. Permukaan vesikel tidak memperlihatkan
cekungan di tengah (unumbilicated). Isi versikel berubah menjadi
keruh dalam waktu 24 jam. Biasanya vesikel menjadi kering sebelum
isinya menjadi keruh. Dalam 3-4 hari erupsi tersebar; mula-mula di
dada lalu ke muka, bahu dan anggota gerak. Erupsi ini disertai
perasaan gatal. Pada suatu saat terdapat macam-macam stadium
erupsi, ini merupakan tanda khas penyakit verisela. Vesikel tidak
hanya terdapat di kulit, melainkan juga di selaput lendir mulut. Bila
terdapat infeksi sekunder, maka akan terjadi limfadenopatia umum.
Karena kemungkinan mendapat varisela selama masa kanak-kanak
sangat besar, maka varisela jarang ditemukan pada wanita hamil (0,7
tiap 1.000 kehamilan).
Diperkirakan 17% dari anak yang dilahirkan wanita yang mendapat
verisela ketika hamil akan menderita kelainan bawaan berupa bekas

7
luka di kulit (cutaneous scars), berat badan lahir rendah, hipoplasia
tungkai, kelumpuhan dan atrofi tungkai, kenang, retardasi mental,
koriorenitis, atrofi kortikal, katarak atau kelainan pada mata lainnya.
Angka kematian tinggi, bila seorang wanita hamil mendapat varisela
dalam 21 hari sebelum ia melahirkan, maka 25% dari neonatus yang
dilahirkan akan memperlihatkan gejala varisela kongenital pada
waktu dilahirkan sampai berumur 5 hai. Biasanya varisela yang
timbul berlangsung ringan dan tidak mengakibatkan kematian.
Sedangkan bila seorang wanita hamil mendapat varisela dalam
waktu 4-5 hari sebelum melahirkan, maka neonatusnya akan
memperlihatkan gejala varisela kongenital pada umur 5-10 hari. Di
sini perjalanan penyakit varisela sering berat dan menyebabkan
kematian sebesar 25-30%. Mungkin ini ada hubungannya dengan
kurun waktu fetus berkontak dengan varisela dan dialirkannya
antibody itu melalui plasenta kepada fetus. Seorang neonatus jarang
mendapat varisela di bangsal perinatologi dari seorang perawat atau
petugas bangsal lainnya, tapi bila ini terjadi maka perjalanan
penyakit amat ringan dan terlihat gejala-gejala seperti pada anak
yang besar.
2.1.6 Epidemilogi
Di Amerika Serikat, sekitar 95% dari orang dewasa-dan 99,5% dari
orang dewasa berusia 40 tahun atau lebih-memiliki antibodi terhadap VZV
dan dengan demikian rentan terhadap reaktivasi infeksi. Seseorang dari
segala usia dengan infeksi varicella sebelumnya dapat mengembangkan
zoster, namun insiden meningkat dengan bertambahnya umur sebagai
konsekuensi dari menurunnya kekebalan. Sekitar 4% dari pasien dengan
herpes zoster akan mengembangkan episode berulang di kemudian hari.
Berulang zoster terjadi hampir secara eksklusif pada orang yang
imunosupresi. Sekitar 25% pasien dengan HIV dan 7-9% dari mereka
yang menerima transplantasi ginjal atau pengalaman transplantasi jantung
serangan dari zoster. HZO mewakili 10-15% dari semua kasus HZ. Sekitar
setengah dari pasien ini mengalami komplikasi dari HZO. Risiko

8
komplikasi mata pada pasien dengan herpes zoster tampaknya tidak
berkorelasi dengan usia, jenis kelamin, atau keparahan ruam. Sebelum
munculnya vaksinasi luas, sekitar 4 juta kasus infeksi VZV primer terjadi
setiap tahun di Amerika Serikat saja. Infeksi hampir universal yang pada
akhir masa remaja, dengan penelitian yang menunjukkan hanya 10% dari
orang tua dari usia 15 tahun sebagai tersisa rentan terhadap infeksi. Selama
periode seumur hidup, 10-20% dari mereka dengan infeksi primer
melanjutkan untuk mengalami episode herpes zoster. Kelompok berisiko
tinggi, seperti populasi lansia dan orang-orang immunocompromised,
mungkin mengalami insiden kumulatif setinggi 50%. Perkiraan jumlah
tahunan kasus herpes zoster di Amerika Serikat adalah sekitar 1 juta. Sejak
diperkenalkannya vaksinasi luas untuk varicella pada tahun 1995, kejadian
infeksi VZV primer di Amerika Serikat telah berkurang hingga 90%.
Namun, pengaruh vaksinasi ini, serta yang dari vaksinasi kemudian
disetujui untuk herpes zoster, pada kejadian saat ini dan masa depan
herpes zoster masih harus ditentukan.
Herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda,
kecuali pada pasien yang lebih muda dengan AIDS, limfoma, keganasan
lainnya, dan menurunnya daya tahan tubuh lain dan pada pasien yang telah
menerima sumsum tulang atau transplantasi ginjal. Kurang dari 10%
pasien zoster lebih muda dari 20 tahun, dan hanya 5% lebih muda dari 15
tahun. Meskipun zoster terutama penyakit orang dewasa, telah dicatat
sebagai awal minggu pertama kehidupan, terjadi pada bayi yang lahir dari
ibu yang mengalami infeksi VZV primer (cacar air) selama kehamilan.
Insiden herpes zoster meningkat dengan usia. Dalam populasi umum,
tingkat kejadian seumur hidup herpes zoster adalah 10-20%, yang naik ke
50% pada orang-orang yang masih hidup sampai usia 85 tahun. Lebih dari
66% pasien yang lebih tua dari 50 tahun. Insiden PHN juga meningkat
dengan usia lanjut.
2.1.7 Komplikasi

Komplikasi varicella lebih berat pada orang dewasa dibandingkan


dengan anak-anak. Komplikasi yang tersering menyerang anak kurang dari

9
5 tahun adalah infeksi kulit sekunder Staphylococcus atau Streptokokus.3
Komplikasi lain dapat menyerang sistem saraf pusat berupa meningitis
aseptik, sindrom Guillain-Barre, mielitis transversa, ensefalitis, cerebral
ataxia. 1,3 Komplikasi pada sistem pernapasan dapat berupa pneumonia
bakterial dan varicella pneumonitis. Komplikasi varicella yang jarang
ditemui berupa keratitis, arthritis, hepatitis, orchitis, myocarditis dan
glomerulonefritis. (Parinding, Imanuel Taba, Dian Rosiana Devi, Roy
Indra. 2012)

Komplikasi lebih banyak ditemukan pada orang dewasa


dibandingkan anak-anak antara lain ensefalitis, pneumonia,
glomerulonefritis, karditis, hepatis dll. Varisela pada trimester pertama dapat
menyababkan varisela. (Widyaningsih Oentari, Sri Linuwih Menaldi. 2014)

2.1.8 Pencegahan dan Penatalaksaan


Cacar air dapat dicegah dengan proses vaksinasi. Ini merupakan
langkah paling efektif untuk mencegah cacar air dan komplikasinya, cacar
air juga bisa dilakukan dengan pemberian imunisasi. Mengingat kejadian
cacar air di Indonesia terbanyak terjadi pada anak yang telah bergaul dengan
anak seumurnya (awal sekolah) dan penularan terbanyak terjadi pada saat
usia sekolah, maka imunisasi aktif dianjurkan diberikan mulai usia masuk
sekolah, yaitu 5 tahun. Atas pertimbangan tertentu, imunisasi ini dapat
diberikan setelah usia ≥ 1 tahun. Pada keadaan terjadi kontak dengan pasien
cacar air, pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam setelah
penularan.
Imunisasi tersedia bagi anak-anak yang berusia lebih dari 12 bulan.
Imunisasi ini dianjurkan bagi orang di atas usia 12 tahun yang tidak
mempunyai kekebalan.
Penatalaksanaan terhadap penyakit varisela terdiri dari dari :
1. Pengobatan Umum
Pada pasien imunokompeten varisela biasanya ringan dan
dapat sembuh sendiri. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan
kompres dingin atau lotion kalamin dan antihistamin oral. Bila lesi
masih vesicular dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah, dapat

10
ditambahkan antipruritus di dalamnya, misalnya mentol 0,25-0,5%.
Bila vesikel sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat
diberikan salap antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder bacterial.
Mandi rendam dalam air hangat yang diberi antiseptik dapat
mengurangi gatal dan mencegah infeksi bacterial sekunder pada
kulit. Krim atau lotion kortikosteroid serta salap bersifat oklusif
sebaiknya tidak digunakan.
Kadang diperlukan antipiretik/analgetik, tetapi golongan
salisilat sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan dengan
terjadinya sindrom Reye. Kuku jari tangan harus dipotong dan dijaga
kebersihannya untuk mencegah infeksi sekunder dan parut yang
dapat terjadi karena garukan.
2. Obat Antivirus
Dengan tersedianya obat antivirus yang efektif terhadap
VVZ, dokter maupun pasien/orang tua pasien sering dihadapkan
pada pilihan untuk menggunakan obat antivirus atau tidak. Pada anak
imunokompeten, varisela biasanya ringan sehingga umumnya tidak
memerlukan pengobatan antivirus. Antivirus efektif bila diberikan
dalam 24 jam setelah awitan lesi kulit karena dapat lebih cepat
menurunkan demam serta gejala kulit dan sistemik. Pada bayi/anak
imunokompromais berat, antivirus intravena merupakan obat pilihan
agar kadar dalam plasma cukup tinggi untuk menghambat replikasi
virus. Antivirus intravena secara bermakna dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas varisela pada pasien imunokompramais,
terutama bila diberikan dalam 72 jam setelah awitan lesi kulit. Pada
pasien imunokompromais ringan dapat diberikan antivirus oral.
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan
antivirus. Beberapa analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir,
valacyclovir, dan brivudin, dan analog pyrophosphate foskarnet
terbukti efektif untuk mengobati infeksi VZV. Acyclovir adalah
suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin
kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-

11
enzim selular kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi
trifosfat yang mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat
DNA polimerase virus. VZV kira-kira sepuluh kali lipat kurang
sensitif terhadap acyclovir dibandingkan HSV. Valacyclovir dan
famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang mempunyai
bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar
dalam darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.
Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat
sembuh sendiri. Pengobatan topical dapat diberikan. Untuk
mengatasi gatal dapat diberikan kompres dingin, atau lotion kalamin,
antihistamin oral. Cream dan lotion yang mengandung kortikosteroid
dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan. Kadang
diperlukan antipiretik, tetapi pemberian golongan salisilat sebaiknya
dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma
Reye. Mandi rendam dengan air hangat dapat mencegah infeksi
sekunder bakterial.
Anti virus pada anak dengan pengobatan dini varicella
dengan pemberian acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam)
pada anak imunokompeten berusia 2-12 tahun dengan dosis 4 x 20
mg/kgBB/hari selama 7 hari menurunkan jumlah lesi, penghentian
terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam,
demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo.
Tetapi apabila pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah
timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan
karena varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-
anak dan manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak
memerlukan pengobatan acyclovir secara rutin. Namun pada keadaan
dimana harga obat tidak menjadi masalah, dan kalau pengobatan bisa
dimulai pada waktu yang menguntungkan (dalam 24 jam setelah
timbul ruam), dan ada kebutuhan untuk mempercepat penyembuhan
sehingga orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka obat
antivirus dapat diberikan.

12
Pada remaja dan dewasa, pengobatan dini varicella dengan
pemberian acyclovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari
menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru,
dan menurunkan timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi bila
dibandingkan dengan placebo.
Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang
terkontrol pada orang dewasa muda yang sehat dengan varicella
menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu 24 jam setelah
timbulnya ruam) dengan acyclovir oral (5x800 mg selama 7 hari)
secara signifikan mengurangi terbentuknya lesi yang baru,
mengurangi luasnya lesi yang terbentuk, dan menurunkan gejala dan
demam. Dengan demikian, pengobatan rutin dari varicella pada
orang dewasa tampaknya masuk akal. Meskipun tidak diuji, ada
kemungkinan bahwa famciclovir, yang diberikan dengan dosis 200
mg per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis 1000 mg per
oral setiap 8 jam mudah dan tepat sebagai pengganti acyclovir pada
remaja normal dan dewasa.
Banyak dokter tidak meresepkan acyclovir untuk varicella
selama kehamilan karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan
belum diketahui. Sementara dokter lain merekomendasikan
pemberian acyclovir secara oral untuk infeksi pada trisemester ketiga
ketika organogenesis telah sempurna, ketika mungkin ada
peningkatan terjadinya resiko pneumonia varicella, dan ketika
infeksi dapat menyebar ke bayi yang baru lahir. Pemberian acyclovir
intravena sering dipertimbangkan untuk wanita hamil dengan
varicella yang disertai dengan penyakit sistemik.
Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa
imunokompeten dengan pneumonia varicella menunjukkan bahwa
pengobatan dini (dalam waktu 36 jam dari rumah sakit) dengan
acyclovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam) dapat mengurangi
demam dan takipnea dan meningkatkan oksigenasi. Komplikasi
serius lainnya dari varicella pada orang yang imunokompeten, seperti

13
ensefalitis, meningoencephalitis, myelitis, dan komplikasi okular,
sebaiknya diobati dengan acyclovir intravena.
Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised
dengan varicela menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir
intravena menurunkan insiden komplikasi yang mengancam
kehidupan visceral ketika pengobatan dimulai dalam waktu 72 jam
dari mulai timbulnya ruam. Acyclovir intravena menjadi standar
perawatan untuk varicella pada pasien yang disertai dengan
imunodefisiensi substansial. Meskipun pemberian terapi oral dengan
famciclovir atau valacyclovir mungkin cukup untuk pasien dengan
derajat ringan gangguan kekebalan tubuh, tetapi tidak ada uji klinis
terkontrol yang menunjukkan secara pasti. Pada penyakit berat atau
wanita hamil dapat diberikan acyclovir IV 10mg/kgBB tiap 8 jam
selama 7 hari.
Serum imuno globulin-gama tidak dianjurkan kecuali pada
penderita leukemia, penyakit keganasan lain dan bila terdapat
defisiensi imunologis. Vidarabine atau adenine arabinoside in vitro
mempunyai sifat anti virus terhadap virus varicella. Vidarabine dapat
digunakan dengan hasil yang baik pada penderita pneumonie
varicella. Dosis yang dianjurkan ialah 15mg/kgBB/hari, tidak toksik
terhadap sumsum tulang dan tidak menekan immune response.
2.1.9 Asuhan Keperawatan

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL MEDAH

A. ANAMNESA
Menanyakan identitas klien:
Nama :
Umur : pada varicella dapat terjadi pada usia diatas 50 tahun
diakibatkan oleh reaktivasi virus Varicella Zoster pada pasien yang
pernah terinfeksi.
Jenis Kelamin : Jenis kelamin juga faktor yang paling banyak
mempengaruhi adanya varicella

14
B. KELUHAN UTAMA
Klien mengalami demam, dan dan muncul ruam berisi air diseluruh
tubuhnya
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Upaya yang telah dilakukan : upanya pertama kali dilakukan pasien saat
terdapat lesi, ataupun ruam yang menumpuk diatas kulit.
Terapi yang telah diberikan : penggunaan salep
D. RIWAYAT KESEHATAN DAHULU
Tidak ada
E. KEADAAN LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI
TIMBULNYA PENYAKIT
Lingkungan yang tidak bersih dapat menyebabkan penyakit varicella
F. POLA FUNGSI KESEHATAN
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Frekuensi : Pola makan yang semakin menurun, akibat adanya
lesi ataupun vesikel yang disertai nyeri
Jenis : Biasanya makan makanan seperti nasi tapi berubah
menjadi bubur setelah sakit
Porsi : Lebih sedikit pada saat sakit, karena mual.
Keluhan : Nyeri
2. Pola eliminasi
Frekuensi : Lebih jarang dari biasanya akibat adanya mobilitas
fisik
Pancaran : Lebih encer dibandingkan saat tidak sakit
Jumlah : Lebih sedikit dibanding saat tidak sakit
Bau : Khas
Warna : Kunung kecoklatan
3. Pola Aktifitas
a. Sebelum sakit : Dapat beraktifitas dengan semestinya
b. Saat sakit : Aktifitas menjadi terganggu akibat nyeri,
gatal serta panas.
4. Pola Istirahat- Tidur

15
a. Sebelum sakit : Pola tidur yang sesuai
b. Saat sakit : Pola tidur tidak teratur karena merasakan
nyeri, gatal, dan panas.
5. Pola Konsep Diri
Gambaran diri : Klien merasa malu akibat adanya herpes pada
bagian tubuhnya
Harga diri : harga diri rendah karena merasa tidak percaya diri akibat
penyakitnya.
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Kesehatan Umum
Keadaan/ penampilan umum : adanya vesikel disertai nyeri, kulit
terasa pedih dan terbakar, dibagian tubuh.
Kesadaran : pasien dalam kondisi sadar .
GCS :
BB sebelum sakit : Normal
BB saat ini : turun akibat adanya anoreksia
Tanda-tanda Vital :
TD : 110-120 mmHg
Suhu : > 37,5°C
N : 85-100 x/menit
RR : 12-18 x/menit
2. Kepala
a. Rambut : Keadaan rambut pasien, ada kotoran atau tidak,
berminyak atau tidak, mudah patah atau tidak, dll
b. Wajah : ekspresi yang ditunjukan pada pasien pada
pemeriksaan ( meringis kesakitan atau menangis).
c. Mata : keadaan konjungtiva, palperbra dan bola mata
pasien
d. Mulut : mukosa mulut dalam keadaan lembab atau kering,
keadaan lidah pucat atau tidak.
3. Genital : adanya vesikel di permukaan kulit yang menunpuk pada
daerah genital

16
4. Pemeriksaan kulit
a. Pemeriksaan inspeksi : melihat adanya vesikel yang menumpuk
di kulit, adanya lesi.
b. Pemeriksaan palpasi : bila diraba ada semacam cairan di
permukaan kulit
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Tzanck Smear
2. Tes antibodi
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL.
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan agens cedera biologis (infeksi)
ditandai dengan ekspresi wajah nyeri (meringis)
2. Kerusakan intergritas kulit yang berhubungan dengan kelembapan
ditandai dengan nyeri bagian kulit
3. Hipertermi yang berhubungan dengan penyakit yang di tandai dengan
kulit kemerahan
4. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan perubahan persepsi
diri ditandai dengan perasaan negative tentang tubuh.
5. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan imobilisasi ditandai
dengan menyatakan tidak merasa cukup istirahat
J. PERENCANAAN
1. Nyeri akut
a. Tujuan : nyeri dapat teratasi 2x 24 jam
b. kreteria hasil :
1) Tingkat nyeri
 Panjang episode nyeri
 Menggosok area yang terkena dampak
 Ekspresi nyeri wajah
 Mengerinyit
2) Kontrol nyeri
 Mengenali kapan nyeri terjadi
 Menggambarkan faktor penyebab
 Menggunakan tindakan pencegahan

17
 Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri
 Melaporkan gejala yang tidak terkontrol pada
professional kesehatan
c. Rencana Tindakan
1) Pemberian anagesik
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keperawatan
 Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesik yang diresepkan
 Tentukan analgesic sebelumnya, rute pemberian, dan
dosis untuk mencapai hasil pengurangan nyeri yang
optimal
 Berikan analgesic tambahan dan atau pengobatan jika
diperlukan untuk meningkatkan efek pengurangan nyeri
2) Manajemen nyeri
 Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
intensites atau beratnya nyeri dan faktor pencetus
 Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan
dengan pemantauan yang kerat
 Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap kualitas
hidup pasien (misalnya, tidur, nafsu makan, pengertian,
perasaan, hubungan,performa kerja dan tanggung jawab
peran)
 Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antiseptik
dari ketidak nyamanan akibat prosedur.
3) Monitor tanda – tanda vital
 Monitor tekan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan
dengan tepat
2. Kerusakan Integritas Kulit
1) Intergritas jaringan : kulit dan mukosa
a. Tujuan : Vesikel dan lesi klien teratasi dalam waktu 3x24 jam

18
b. Kriteria hasil :
 Suhu kulit
 Keringat
 Tekstur
 Perfusi jaringan
 Lesi pada kulit
 Pengelupas kulit
c. Rencana tindakan
1) Pengecekan kulit
 Periksa kulit dan selaput lender terkait dengan adanya
kemerahan, kehangatan ekstrim, edema, atau drainase
 Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada ekstremitas.
 Periksa pakaian yang terlalu ketat
3. Hipertermi
a. Tujuan : suhu tubuh pada 36,5-37,5°c
b. Kriteria hasil :
 Peningkatan suhu tubuh (5)
 Berkeringat saat panas (5)
 Hipertermia (5)
c. Rencana tindakan
1) Pemberian analgesik :
a. mengecek pemberian obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesik yang di resepkan
b. Cek adanya riwayat alergi obat.
c. Monitor ttv sebelum dan sesudah pemberian analgesik.
2) Manajemen nyeri :
a. Mengkaji nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/ durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
b. Ajarkan prinsip-prinsip nyeri.

19
c. Memberi informasi tentang nyeri baik pencegahan atau
penanganan.
4. Gangguan Citra tubuh
a. Tujuan : Gangguan citra tubuh klien teratasi dalam 2x24 jam
b. Kriteria Hasil :
1) Citra Tubuh
 Gambarkan internal diri
 Kesesuaian antara realitas tubuh dan ideal tubuh dengan
penampilan tubuh
 Deskripsi bagian tubuh yang terkena (dampak)
 Sikap terhadap menyentuh bagian tubuh yang terkena
(dampak)
 Penyesuaian terhadap perubahan tampilan fisik
c. Rencana Tindakan
1) Peningkatan citra tubuh
 Gunakan bimbingan antisipasif menyiapkan pasien terkait
dengan perubahan-perubahan citra tubuh yang (telah)
diperdiksikan.
 Bantu pasien untuk mediskusikan perubahan-perubahan
(bagian tubuh) disebabkan adanya penyakit atau
pembedahan dengan cara yang tepat.
 Bantu pasien menentukan keberlanjutan dari perubahan-
perubahan actual dari tubuh atau tingkat fungsinya.
2) Peningkatan harga diri
 Monitor pernyataan pasien mengenai harga diri.
 Dukung pasien untuk bisa mengidentifikasi kekutan.
 Kuatkan kekuatan pribadi yang didentifikasi pasien.
5. Gangguan pola tidur
a. Tujuan : Pola tidur klien efektif dalam waktu 2x24 jam
b. Kriteria Hasil :
1) Tidur
 Jam tidur

20
 Jam tidur yang diobservasi
 Pola tidur
 Kualitas tidur
 Tidur rutin
c. Rencana Tindakan
1) Peningkatan Tidur
 Tentukan pola tidur atau aktivitas pasien
 Jelaskan pentingnya tidur yang cukup selama kehamilan,
penyakit, tekanan psikososial,dll
 Monitor atau catat pola tidur pasien dan jumlah jam tidur.
 Bantu untuk menghilangkan situasi stres sebelum tidur.

2.2 Herpes Zoster

2.2.1 Definisi

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-
zoster (VVZ) yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan
reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. Infeksi primer dengan
virus varisela zoster menimbulkan varisela (cacar air). Virus membentuk
infeksi laten di ganglia dorsal sehingga menyebabkan terjadinya herpes
zoster. (HR, Sahriani dkk. 2012)

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus


varisela-zoster (VZV) pada kulit dan mukosa, atau merupakan hasil
reaktivasi virus setelah infeksi primer. (Tanto, Chris dkk. 2014)

Herpes zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi


virus Varicella Zoster pada pasien yang pernah terinfeksi. Penyakit ini
ditandai dengan vesikel-vesikel di suatu dermatom ganglia spinalis atau
kranialis, tempat virus tersebut dorman; dan nyeri radikuler yang intensif di
daerah lesi. Insidens herpes zoster meningkat berbanding lurus dengan
pertambahan usia. (Adiwinata, Randy, Endy Suseno. 2016)

Herpes zoster (shingles) adalah infeksi akut, kulit virus yang


disebabkan oleh reaktivasi virus varicella-zoster (VZV), virus herpes yang

21
menyebabkan varicella (cacar air). Perbedaan manifestasi klinis antara
varicella dan herpes zoster tampaknya tergantung pada status kekebalan
individu; mereka yang tidak paparan sebelumnya VZV, paling sering anak-
anak, mengembangkan sindrom klinis varisela, sedangkan mereka dengan
antibodi varisela mengembangkan luapan baru terlokalisasi, zoster.

Zoster mungkin hasil yang paling sering dari kegagalan sistem


kekebalan tubuh untuk mengandung replikasi VZV laten. Apakah faktor-
faktor lain, seperti radiasi, trauma fisik, obat-obatan tertentu, infeksi lain, dan
stres, juga dapat memicu zoster belum ditentukan dengan pasti. Juga tidak
sepenuhnya jelas mengapa antibodi varisela dan mekanisme kekebalan yang
dimediasi sel tidak mencegah penyakit jelas berulang, seperti yang umum
dengan kebanyakan penyakit virus lainnya. (Janniger, Camila K. 2016)

Gambar : Herpes zoster

2.2.2 Etiologi

Herpes zoster disebabkan oleh infeksi VZV. VZV adalah


menyelimuti, beruntai ganda virus DNA milik keluarga Herpes viridae;
genom mengkodekan sekitar 70 protein. Pada manusia, infeksi primer dengan
VZV terjadi ketika virus datang ke dalam kontak dengan mukosa dari saluran
pernapasan atau konjungtiva dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Setelah
infeksi primer, virus bermigrasi sepanjang serabut saraf sensorik ke sel-sel
satelit dari dorsal ganglia akar dimana ia menjadi terbengkalai.

22
Reaktivasi VZV yang tetap tertidur di dalam ganglia akar dorsal,
sering selama beberapa dekade setelah paparan awal pasien terhadap virus
dalam bentuk varicella (cacar), hasil di herpes zoster. Persis apa yang memicu
reaktivasi ini belum ditentukan secara tepat, tetapi kandidat (sendiri, atau
kombinasi) termasuk berikut:

1. Reexposure eksternal untuk virus


2. Proses penyakit akut atau kronis (terutama keganasan dan infeksi)
3. Obat dari berbagai jenis
4. Stres emosional
Alasan mengapa salah satu akar dorsal ganglion mengalami reaktivasi
viral load yang disimpan istimewa lebih ganglia lain tidak jelas. imunitas
seluler berkurang tampaknya meningkatkan risiko reaktivasi, dalam
insiden meningkat dengan usia dan pada orang immunocompromised.
Zoster dapat menjadi gejala menyajikan hiperparatiroidisme, dan itu
terjadi dua kali lebih sering (frekuensi, 3,7%) di antara pasien dengan
hiperkalsemia seperti halnya antara kelompok usia yang sama dari pasien
yang lebih tua dari 40 tahun yang memiliki kadar kalsium yang normal.
(Janniger, Camila K. 2016)
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan infeksi virus varisela
zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi
virus varisela zoster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam
bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. Kadang-kadang infeksi
primer berlangsung subklinis. Frekuensi penyakit pada pria dan wanita
sama, lebih sering mengenai usia dewasa.
Virus varisela zoster (VZV) tergolong virus berinti DNA, virus ini
berukuran 140- 200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes viridae.
Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat
sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili
yaitu alfa, beta dan gamma. VZV dalam subfamili alfa mempunyai sifat
khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi
vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa
biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus

23
yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara
periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu
yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta
mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik
DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang
disintesis di dalam sel yang terinfeksi.

2.2.3 Patofisiologi

Seseorang mengalami herpes zoster karena reaktivasi virus Varicella


zoster yang dorman di ganglion posterior medula spinalis atau saraf kranialis
yang biasanya disebabkan oleh penurunan sistem imun. Lesi kulit timbul
berupa vesikel yang bergerombol dengan dasar eritema, biasanya berlokasi
sesuai dermatom persarafan tempat virus tersebut teraktivasi dan unilateral.
Virus dapat pula menyerang ganglion anterior sehingga gejalanya berupa
gangguan motorik. Masa aktif penyakitnya berlangsung selama 2-3 minggu
pada orang muda, dan dapat mencapai 6 minggu pada orang tua atau pasien
dengan penurunan sistem imun. ( Regina, Lorettha Wijaya. 2012)

Infeksi VZV menimbulkan 2 sindrom yang berbeda. Infeksi primer,


cacar, adalah penyakit demam menular dan biasanya jinak. Setelah infeksi ini
memutuskan, partikel virus tetap di root dorsal atau ganglia sensorik lainnya,
di mana mereka dapat tertidur selama bertahun-tahun untuk beberapa dekade.

Pada periode laten ini, tuan rumah mekanisme imunologi menekan


replikasi virus, tetapi VZV mengaktifkan kembali ketika mekanisme tuan
rumah gagal untuk mengandung virus. kegagalan tersebut mungkin akibat
dari spektrum yang luas dari kondisi, mulai dari stres imunosupresi berat;
kadang-kadang, ia mengikuti trauma langsung. VZV viremia sering terjadi
dengan cacar tetapi juga dapat timbul dengan herpes zoster, meskipun dengan
viral load yang lebih rendah.

Setelah VZV diaktifkan pada akar spinal atau saraf kranial neuron,
respon inflamasi terjadi yang juga mencakup leptomeninges; kedua sel
plasma dan limfosit dicatat. peradangan pada ganglion akar dorsal ini dapat

24
disertai dengan hemorrhagic nekrosis sel saraf. Hasilnya adalah hilangnya
neuron dan fibrosis.

Frekuensi keterlibatan dermatologi berkorelasi dengan distribusi


sentripetal dari lesi varicella awal. Pola ini menunjukkan bahwa latency
mungkin timbul dari penyebaran bersebelahan virus selama varicella dari sel-
sel kulit yang terinfeksi ke ujung saraf sensorik, dengan pendakian berikutnya
ke ganglia. Atau, ganglia dapat terinfeksi hematogenously selama fase
viremic varicella, dan frekuensi keterlibatan dermatom di herpes zoster dapat
mencerminkan ganglia yang paling sering terkena rangsangan mengaktifkan.

Lokasi anatomi yang terlibat dermatom sering menentukan


manifestasi tertentu. Ketika akar serviks dan lumbar yang terlibat,
keterlibatan bermotor, yang sering diabaikan, mungkin jelas, tergantung pada
virulensi atau tingkat migrasi. Dalam setidaknya 1 kasus keterlibatan motor
neuron, limfositik infiltrasi dan mielin kerusakan yang diamati dengan
pelestarian akson.

Infeksi herpes zoster menular ke orang dengan kekebalan sebelumnya


untuk VZV. Namun, herpes zoster diperkirakan hanya sepertiga sebagai
menular sebagai varicella primer. Hal ini ditularkan baik melalui kontak
langsung dengan lesi atau melalui rute pernapasan. (Janniger, Camila K.
2016)

WOC

Predisposisi pada klien pernah


menderita cacar air, sistem imun Reaktivasi virus
yang lemah dan yang menderita varisela zoster
kelainan malignitas

Vesikula yang tersebar

Respons inflamasi Respon


lokal spsikologis
Respons
inflamasisistemik

25
Kondisi kerusakan
Gangguan jaringan kulit
Kerusakan Kerusakan gastrointestinal, mual,
saraf perifer integritas anoreksia
jaringan

Gangguan
Nyeri Gangguan istirahat Ketidakseimbangan gambaran diri
dan tidur nutrisi kurangdari
kebutuhan tubuh

2.2.4 Manifestasi Klinis


1. Diawali dengan gejala prodromal berupa demam, pusing, malasie,
nyeri otot tulang, gatal dan pegal.
2. Lesi kulit berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa yang
disertai rasa nyeri. Bersifat unilateral dan dermatomal (tidak melewati
batas garis tengah) sesuai tempat sarafan. Masa aktif penyakit ini dapat
berlangsung hingga 1 minggu.
3. Pembesaran kelenjar getah bening.
4. Pada herpes zoster oftalmikus terjadi infeksi pada cabang pertama
nervus trigeminus cabang oftalmika sehingga timbul kelainan pada
mata.
5. Sindrom ramsay hunt : apabila terdapat gangguan pada saraf fasialis
dan otikus yang menyebabkan paralisis otot muka. kelainan kulit
sesuai dermaton, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran. Nistagmus,
mual, dan gangguan pengecapan. (Tanto, Chris dkk. 2014)
Biasanya, Anda pertama kali merasa sedikit lelah dan mengalahkan
sebelum ruam muncul. Gejala awal lainnya termasuk demam ringan dan
kesemutan di bawah kulit Anda. Dua atau tiga hari kemudian gejala khas
herpes zoster mulai : pedih atau rasa sakit terbakar di daerah yang terkena
diikuti oleh patch sedikit kemerahan dari kulit dengan benjolan kecil. Nyeri
biasanya sedang sampai parah. Hanya dalam beberapa jam gundukan
membentuk lepuh kecil yang mungkin gatal. Tahap ini dapat bertahan
hingga lima hari; setelah itu lepuh kering dalam dua sampai sepuluh hari,

26
meninggalkan remah kekuningan. Dibutuhkan total dua sampai empat
minggu untuk gejala kulit ini untuk membersihkan sepenuhnya. Ruam
herpes zoster biasanya membentuk band di kulit dan umumnya hanya
mempengaruhi satu sisi tubuh. Kadang-kadang patch yang lebih besar dari
kulit yang terkena atau lepuh dapat membentuk luar daerah yang pada
awalnya terinfeksi.

Herpes zoster: ruam khas pada satu sisi tubuh

Herpes zoster paling umum mempengaruhi tubuh atau dada, tetapi dapat
mengembangkan hampir dimana saja, seperti di wajah atau lengan. Kadang-
kadang juga dapat mempengaruhi mata atau telinga.

2.2.5 Gambaran Klinis

Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan


parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari
menjelang timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala,
malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak)
dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.

Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang
lokalisata dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh.
Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu
ganglion saraf sensorik. Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua

27
belas hingga dua puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat
berubah menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari
kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi
2-3 minggu. Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua.
Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh.
Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun
krustanya sudah menghilang. Frekuensi herpes zoster menurut dermatom
yang terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%),
dan sakral (5%).

Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi :

1. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes


zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima
serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V),
ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali
dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal
berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul.
Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar
dibuka.

Gambar : Herpes zoster oftalmikus

2. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster

28
yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut
saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar : Herpes zoster fasialis

3. Herpes zoster brakialis

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes


zoster yang mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.

Gambar : herpes zoster brakialis

4. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes


zoster yang mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.

29
Gambar herpes zoster torakalis

5. Herpes zoster sakralis

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes


zoster yang mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.

Gambar : herpes zoster sakralis

2.2.6 Epidemiologi

1. Amerika Serikat statistik

Di Amerika Serikat, sekitar 95% dari orang dewasa-dan 99,5% dari


orang dewasa berusia 40 tahun atau lebih memiliki antibodi terhadap VZV
dan dengan demikian rentan terhadap reaktivasi infeksi. Seseorang dari
segala usia dengan infeksi varicella sebelumnya dapat mengembangkan
zoster, namun insiden meningkat dengan usia lanjut sebagai konsekuensi
dari menurunnya kekebalan.

30
Sekitar 4% dari pasien dengan herpes zoster akan mengembangkan
episode berulang di kemudian hari. zoster berulang terjadi hampir secara
eksklusif pada orang yang imunosupresi. Sekitar 25% pasien dengan HIV
dan 7-9% dari mereka yang menerima transplantasi ginjal atau
pengalaman transplantasi jantung serangan dari zoster.

HZO mewakili 10-15% dari semua kasus HZ. Sekitar setengah dari
pasien ini mengalami komplikasi dari HZO. Risiko komplikasi mata pada
pasien dengan herpes zoster tampaknya tidak berkorelasi dengan usia,
jenis kelamin, atau keparahan ruam.

Sebelum munculnya vaksinasi luas, sekitar 4 juta kasus infeksi VZV


primer terjadi setiap tahun di Amerika Serikat saja. Infeksi hampir
universal yang pada akhir masa remaja, dengan penelitian yang
menunjukkan hanya 10% dari orang tua dari usia 15 tahun sebagai tersisa
rentan terhadap infeksi.

Selama periode seumur hidup, 10-20% dari mereka dengan infeksi


primer melanjutkan untuk mengalami episode herpes zoster. kelompok
risiko tinggi, seperti populasi lansia dan orang-orang
immunocompromised, mungkin mengalami insiden kumulatif setinggi
50%. perkiraan jumlah tahunan kasus herpes zoster di Amerika Serikat
adalah sekitar 1 juta.

Sejak diperkenalkannya vaksinasi luas untuk varicella pada tahun


1995, kejadian infeksi VZV primer di Amerika Serikat telah berkurang
hingga 90%. Namun, efek dari vaksinasi ini, serta yang dari vaksinasi
kemudian disetujui untuk herpes zoster, pada kejadian saat ini dan masa
depan herpes zoster masih harus ditentukan.

2. Statistik internasional

Internasional, kejadian zoster belum diteliti dengan baik, tetapi


mungkin dalam kisaran yang sama seperti yang dilaporkan di Amerika
Serikat. Sebuah penelitian di Jerman data pada pasien dalam sistem
kesehatan hukum negara (SHI) untuk tahun 2010 diperkirakan bahwa rata-

31
rata kejadian tahunan herpes zoster adalah 5.79 kasus per 1000 orang-
tahun, setara dengan 403.625 kasus per tahun pada populasi SHI (yang
terdiri sekitar 85% dari total penduduk Jerman).

3. Demografi yang berkaitan dengan usia

Herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, kecuali
pada pasien yang lebih muda dengan AIDS, limfoma, keganasan lainnya,
dan menurunnya daya tahan tubuh lain dan pada pasien yang telah
menerima sumsum tulang atau transplantasi ginjal. Kurang dari 10%
pasien zoster lebih muda dari 20 tahun, dan hanya 5% lebih muda dari 15
tahun. Meskipun zoster terutama penyakit orang dewasa, telah dicatat
sebagai awal minggu pertama kehidupan, terjadi pada bayi yang lahir dari
ibu yang mengalami infeksi VZV primer (cacar air) selama kehamilan.
(Janniger, Camila K. 2016)

2.2.7 Komplikasi

1. Neuralgia pascaherpetik : rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas


penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakit sembuh. Komplikasi
ini kebanyakan timbul pada usia di atas 40 tahun.
2. Komplikasi herpes zoster oftalmikus : ptosis paralitik, keratitis, uveitis,
koriorenitis, neuritis optik.
3. Paralisis motorik muncul dalam 2 minggu pasca-awitan lesi. (Tanto,
Chris dkk. 2014)

2.2.8 Pencegahan

Vaksin herpes zoster bagi orang-orang di atas usia 50 dibuat tersedia


di Jerman pada akhir 2013. Sebuah penelitian besar yang melibatkan lebih
dari 38.500 partisipan berusia 60 atau lebih menunjukkan bahwa vaksin
dapat menurunkan risiko orang sehat mendapatkan herpes zoster oleh
sekitar setengah. Karena kurangnya data berkualitas baik, meskipun, tidak
mungkin untuk mengatakan dengan pasti apakah efek ini berlangsung lebih
lama dari tiga tahun. Vaksinasi dapat menyebabkan efek samping seperti
kulit memerah dan ruam, dan nyeri atau bengkak dimana vaksin

32
disuntikkan. Vaksin ini tidak cocok untuk orang dengan system kekebalan
yang lemah.

2.2.9 Penatalaksaan

Tujuan tatalaksana herpes zoster adalah untuk meredakan rasa nyeri


dan mengurangi atau menghindari komplikasi. Komplikasi ini mencakup
infeksi, pembentukan sikatriks dan neuralgia postherpetika serta komplikasi
mata.

Rasa nyeri dikendalikan dengan pemberian analgesic, karena


pengendalian nyeri yang adekuat selama fase akut akan membantu
mencegah terbentuknya pola nyeri yang persiten.

Kortikosteroid sistemik dapat memberikan kepada pasien-pasien


yang berusia di atas 50 tahun untuk mengurangi insidensi dan durasi
neuralgia postherpetika (nyeri persiten pada saraf yang terkena setelah
terjadi kesembuhan). Kesembuhan biasanya terjadi lebih cepat pada pasien-
pasien yang mendapatkan pengobatan steroid. Triamsinolon (Aristocort,
kenacort, kenalog) dapat disuntikkan secara subkutan sebagai prepart anti-
inflamasi di daerah yang terasa nyeri.

Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa infeksi herpes zoster


akan terhenti jika asiklovir oral diberikan dalam tempo 24 jam sesudah
erupsi inisial. Pemberian asiklovir intravena, jika dimulai secara dini,
merupakan terapi yang efekrif untuk mengurangi rasa nyeri secara
bermakna dan memperlambat progresivitas penyakit tersebut. Obat
antivirus yang lain yaitu vidarabin, dapat pula dicoba. Pada orang-orang
yang berusis lanjut, rasa nyeri akibat herpes zoster dapat menetap sebagai
neuralgia postherpetika selama waktu berbulan-bulan sesudah lesinya pada
kulit menghilang.

Jika mata turut terinfeksi, pasien harus dirujuk ke dokter spesialis


mata karena dapat terjadi keratitis, uveitis, ulserasi dan kebutaan. Keadaan
ini dinamakan herpes zoster oftalmika.

33
Orang yang rentan dapat menderita cacar air ketika mengalami kontak
dengan cairan vesikel yang infeksius dari penderitaherpes zoster. Orang
dengan riwayat penyakit cacar air akan memiliki kekebalan sehingga tidak
berisiko untuk terinfeksi sesudah terpajan dengan penderita herpes zoster.
(Smeltzer, Suzanne C. Breda G. Bare. 2002.)

Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:

1. Mengatasi infeksi virus akut


2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster
3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik
A. Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena
dapat menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi
varisela dan orang dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak
pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk
mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.

B. Pengobatan Khusus

a. Obat Antivirus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,


misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan
peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama
sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah
5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena biasanya
hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita
yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai
terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan
3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma
tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga
bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan
3×200 mg/hari selama 7 hari.

34
b. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang


ditimbulkan oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan
adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500
mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai
seperlunya ketika nyeri muncul.

c. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom


Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah
terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison dengan
dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara
bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan
sehingga lebih baik digabung dengan obat antivirus.

2.2.10 Diagnosis Banding

1. Herpes Simpleks

Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang


bergerombol, di atas dasar kulit yang kemerahan. Sebelum timbul vesikel,
biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti terbakar yang terlokalisasi,
dan kemerahan pada daerah kulit. Herpes simpleks terdiri atas 2, yaitu
tipe 1 dan 2. Lesi yang disebabkan herpes simpleks tipe 1 biasanya
ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan jari tangan.
Lokalisasi penyakit yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 2
umumnya adalah di bawah pusat, terutama di sekitar alat genitalia
eksterna.

2. Varisela

Gejala klinis berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa


jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini seperti tetesan embun
(tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi

35
krusta. Lesi menyebar secara sentrifugal dari badan ke muka dan
ekstremitas.

2.2.11 Asuhan Keperawatan

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL MEDAH

A. ANAMNESA
Menanyakan identitas klien:
Nama :
Umur : pada herpes zoster dapat terjadi pada usia diatas 40 tahun
diakibatkan oleh reaktivasi virus Varicella Zoster pada pasien yang
pernah terinfeksi.
Jenis Kelamin : Jenis kelamin juga faktor yang paling banyak
mempengaruhi adanya herpes zoster
B. KELUHAN UTAMA
Adanya lesi kulit berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa
yang disertai rasa nyeri
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Upaya yang telah dilakukan : upanya pertama kali dilakukan pasien saat
terdapat lesi, ataupun vesikel yang menumpuk diatas kulit.
Terapi yang telah diberikan : penggunaan salep
D. RIWAYAT KESEHATAN DAHULU
Pernah mengalami cacar ataupun herpes
E. KEADAAN LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI
TIMBULNYA PENYAKIT
Lingkungan yang tidak bersih dapat menyebabkan penyakit herpes
zoster.
F. POLA FUNGSI KESEHATAN
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Frekuensi : Pola makan yang semakin menurun, akibat adanya
lesi ataupun vesikel yang disertai nyeri
Jenis : Biasanya makan makanan seperti nasi tapi berubah
menjadi bubur setelah sakit

36
Porsi : Lebih sedikit pada saat sakit, karena mual.
Keluhan : Nyeri
2. Pola eliminasi
Frekuensi : Lebih jarang dari biasanya akibat adanya mobilitas
fisik
Pancaran : Lebih encer dibandingkan saat tidak sakit
Jumlah : Lebih sedikit dibanding saat tidak sakit
Bau : Khas
Warna : Kunung kecoklatan
3. Pola Aktifitas
c. Sebelum sakit : Dapat beraktifitas dengan semestinya
d. Saat sakit : Aktifitas menjadi terganggu akibat nyeri,
gatal serta panas.
4. Pola Istirahat- Tidur
c. Sebelum sakit : Pola tidur yang sesuai
d. Saat sakit : Pola tidur tidak teratur karena merasakan
nyeri, gatal, dan panas.
5. Pola Konsep Diri
Gambaran diri : Klien merasa malu akibat adanya herpes pada
bagian tubuhnya
Harga diri : harga diri rendah karena merasa tidak percaya diri akibat
penyakitnya.
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Kesehatan Umum
Keadaan/ penampilan umum : adanya vesikel disertai nyeri, kulit
terasa pedih dan terbakar, dibagian tubuh.
Kesadaran : pasien dalam kondisi sadar .
GCS :
BB sebelum sakit : Normal
BB saat ini : turun akibat adanya anoreksia
Tanda-tanda Vital :
TD : 110-120 mmHg

37
Suhu : > 37,5°C
N : 85-100 x/menit
RR : 12-18 x/menit
2. Kepala
e. Rambut : Keadaan rambut pasien, ada kotoran atau tidak,
berminyak atau tidak, mudah patah atau tidak, dll
f. Wajah : ekspresi yang ditunjukan pada pasien pada
pemeriksaan ( meringis kesakitan atau menangis).
g. Mata : keadaan konjungtiva, palperbra dan bola mata
pasien
h. Mulut : mukosa mulut dalam keadaan lembab atau kering,
keadaan lidah pucat atau tidak.
3. Genital : adanya vesikel di permukaan kulit yang menunpuk pada
daerah genital
4. Pemeriksaan kulit
c. Pemeriksaan inspeksi : melihat adanya vesikel yang menumpuk
di kulit, adanya lesi.
d. Pemeriksaan palpasi : bila diraba ada semacam cairan di
permukaan kulit
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Tzanck Smear
2. Tes antibodi
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL.
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan agens cedera biologis (infeksi)
ditandai dengan ekspresi wajah nyeri (meringis)
2. kerusakan intergritas kulit yang berhubungan dengan kelembapan
ditandai dengan nyeri bagian kulit
3. Hipertermi yang berhubungan dengan penyakit yang di tandai dengan
kulit kemerahan
4. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan perubahan persepsi
diri ditandai dengan perasaan negative tentang tubuh.

38
5. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan imobilisasi ditandai
dengan menyatakan tidak merasa cukup istirahat
J. PERENCANAAN
1. Nyeri akut
a. Tujuan : nyeri dapat teratasi 2x 24 jam
b. kreteria hasil :
1) Tingkat nyeri
 Panjang episode nyeri
 Menggosok area yang terkena dampak
 Ekspresi nyeri wajah
 Mengerinyit
2) Kontrol nyeri
 Mengenali kapan nyeri terjadi
 Menggambarkan faktor penyebab
 Menggunakan tindakan pencegahan
 Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri
 Melaporkan gejala yang tidak terkontrol pada
professional kesehatan
c. Rencana Tindakan
1) Pemberian anagesik
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keperawatan
 Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
frekuensi obat analgesik yang diresepkan
 Tentukan analgesic sebelumnya, rute pemberian, dan
dosis untuk mencapai hasil pengurangan nyeri yang
optimal
 Berikan analgesic tambahan dan atau pengobatan jika
diperlukan untuk meningkatkan efek pengurangan nyeri
2) Manajemen nyeri
 Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
intensites atau beratnya nyeri dan faktor pencetus

39
 Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan
dengan pemantauan yang kerat
 Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap kualitas
hidup pasien (misalnya, tidur, nafsu makan, pengertian,
perasaan, hubungan,performa kerja dan tanggung jawab
peran)
 Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antiseptik
dari ketidak nyamanan akibat prosedur.
3) Monitor tanda – tanda vital
 Monitor tekan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan
dengan tepat
2. Kerusakan Integritas Kulit
Intergritas jaringan : kulit dan mukosa
a. Tujuan : Vesikel dan lesi klien teratasi dalam waktu 3x24 jam
b. Kriteria hasil :
 Suhu kulit
 Keringat
 Tekstur
 Perfusi jaringan
 Lesi pada kulit
 Pengelupas kulit
c. Rencana tindakan
1) Pengecekan kulit
 Periksa kulit dan selaput lender terkait dengan adanya
kemerahan, kehangatan ekstrim, edema, atau drainase
 Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada ekstremitas.
 Periksa pakaian yang terlalu ketat
3. Hipertermi
a. Tujuan : suhu tubuh pada 36,5-37,5°c
b. Kriteria hasil :

40
1. Peningkatan suhu tubuh
2. Berkeringat saat panas
3. Hipertermia
c. Rencana tindakan
1) Pemberian analgesik :
 mengecek pemberian obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesik yang di resepkan
 Cek adanya riwayat alergi obat
 Monitor ttv sebelum dan sesudah pemberian analgesik.
2) Manajemen nyeri :
 Mengkaji nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/ durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
 Ajarkan prinsip-prinsip nyeri.
 Memberi informasi tentang nyeri baik pencegahan atau
penanganan.
4. Gangguan Citra tubuh
a. Tujuan : Gangguan citra tubuh klien teratasi dalam 2x24 jam
b. Kriteria Hasil :
1) Citra Tubuh
 Gambarkan internal diri
 Kesesuaian antara realitas tubuh dan ideal tubuh dengan
penampilan tubuh
 Deskripsi bagian tubuh yang terkena (dampak)
 Sikap terhadap menyentuh bagian tubuh yang terkena
(dampak)
 Penyesuaian terhadap perubahan tampilan fisik
c. Rencana Tindakan
1) Peningkatan citra tubuh
 Gunakan bimbingan antisipasif menyiapkan pasien terkait
dengan perubahan-perubahan citra tubuh yang (telah)
diperdiksikan.

41
 Bantu pasien untuk mediskusikan perubahan-perubahan
(bagian tubuh) disebabkan adanya penyakit atau
pembedahan dengan cara yang tepat.
 Bantu pasien menentukan keberlanjutan dari perubahan-
perubahan actual dari tubuh atau tingkat fungsinya.
2) Peningkatan harga diri
 Monitor pernyataan pasien mengenai harga diri.
 Dukung pasien untuk bisa mengidentifikasi kekutan.
 Kuatkan kekuatan pribadi yang didentifikasi pasien.
5. Gangguan pola tidur
a. Tujuan : Pola tidur klien efektif dalam waktu 2x24 jam
b. Kriteria Hasil :
1) Tidur
 Jam tidur
 Jam tidur yang diobservasi
 Pola tidur
 Kualitas tidur
 Tidur rutin
c. Rencana Tindakan
1) Peningkatan Tidur
 Tentukan pola tidur atau aktivitas pasien
 Jelaskan pentingnya tidur yang cukup selama kehamilan,
penyakit, tekanan psikososial,dll
 Monitor atau catat pola tidur pasien dan jumlah jam tidur.
 Bantu untuk menghilangkan situasi stres sebelum tidur.
2.3 Herpes Simpleks
2.3.1 Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus
herpes simpleks atau virus herpes hominis tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai
dengan adanya fesikel-fesikel yang berkelompok diatas kulit yang
eritematosa di daerah mukkutan. Sedangkan infeksi dapat berlangsung
baik primer maupun rekurens. (Mandal, B. K, et al. 2008)

42
Virus Herpes Simpleks adalah virus DNA yang dapat
menyebabkan infeksi akut pada kulit yang ditandai dengan adanya
vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab. Ada 2 tipe virus
herpes simpleks yang sering menginfeksi yaitu HSV-Tipe I (Herpes
Simplex Virus Type I) dan HSV-Tipe II (Herpes Simplex Virus Type
II). (Sardjito, 2003).

Gambar : Herpes Simplex


2.3.2 Etiologi

2.3.3 Patogenesis

2.3.4 Manifestasi Klinis


1. Infeksi primer
a. Tipe I : didaerah pinggang keatas, terutama daerah mulut dan
hidung.
b. Tipe II : didaerah pinggang kebawah terutama didaerah genital
c. Infeksi berlangsung 3 minggu.
d. Demam, malaise, anoreksia.
e. Pembengkakan kelenjar getah bening.
2. Fase laten : fase ini tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV
ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens:
a. Trauma fisik ( demam, infeksi, kurang tidur, berhubungan seksual)
b. Trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi)
c. Berlangsung 7-10 hari.

43
d. Rasa panas, gatal dan nyeri.
e. Dapat timbul pada tempat yang sama. ( Nurarif, Amin Huda.
Kusuma, hardhi, 2015)
2.3.5 Gambaran Klinis

2.3.6 Epidemiologi

2.3.7 Komplikasi

2.3.8 Pengobatan
Pemberian obat asikular, asikular adalah obat pilihan untuk herpes
simpleks. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet atau cairan melalui intra
vena dan efektif untuk mengobati infeksi kulit. Obat ini menghambat
sintesis DNA virus simpleks. (Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2006)
a. Asikulovir intravena penting untuk infeksi neurologis, neonatus,
viseral, diseminata, dan mokukotan berat.
b. Kosus mukukotan yang lebih ringan dapat diobati secara oral dengan
siklovir, famsiklovir, atau valaksiklovir.
c. Cold sores rekuren dapat berespons baik dengan asiklovir topikal bila
dioleskan pada awal penyakit.
d. HVS resisten terhadap asiklovir membutuhkan pengobatan dengan
foskarnet atau sidofovir.
e. Infeksi okular diobati dengan asiklovir topikal. (Mandal, B. K, et al.
2008)
2.3.9 Pencegahan

2.3.10 Asuhan Keperawatan

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


A. ANAMNESA
Menanyakan identitas klien:
Nama :

44
Umur : terjadi pada usia bayi yang dia akibatkan oleh
tertularnya dari ibu yang melahirkan yang menderita herpes simpleks.
Pada semua usia yang telah melakukan aktivitas seksual.
Jenis Kelamin : jenis klamin juga faktor yang banyak
mempengaruhi adanya herpes simpleks, terjadi baik pada wanita atau
laki-laki karena penularan herpes simpleks baik secara seksual
maupun tidak.

B. KELUHAN UTAMA
Adanya vesikel yang menumpuk diatas kulit, lesi di daerah mulut,
hidung, genital dan bagian tubuh lainnya. Demam, tidak napsu
makan, rasa panas pada daerah infeksi, gatal dan nyeri
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Upaya yang telah dilakukan : upanya pertama kali dilakukan pasien
saat terdapat lesi, ataupun vesikel yang menumpuk diatas kulit
Terapi yang telah diberikan : penggunaan salep ataupun meminum
obat.
D. RIWAYAT KESEHATAN DAHULU
Pernah menderita cacar, ataupun herpes.
E. KEADAANLINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI
TIMBULNYA PENYAKIT.
Ada yang menderita herpes, lingkungan kurang bersih.
F. POLA FUNGSI KESEHATAN
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Frekuensi : pola makan yang semakin menurun, akibat adanya
lesi ataupun vesikel pada daerah mulut.
Jenis : Biasanya makan makanan seperti nasi tapi berubah
menjadi bubur yang lembut setelah sakit.
Porsi : Lebih sedikit pada saat sakit, karena mual.
Keluhan : nyeri dan mual
2. Polaeliminasi
Frekuensi : Lebih jarang dari biasanya akibat adanya mobilitas
fisik.

45
Pancaran :lebih encer dibandingkan saat tidak sakit.
Jumlah : Lebih sedikit dibanding saat tidak sakit.
Bau : Khas
Warna : Kuning kecoklatan
3. Pola aktifitas
a. Sebelum sakit : dapat beraktivitas dengan semestinya.
b. Saat sakit : Aktivitas menjadi terganggu karena
merasakan nyeri, gatal serta panas pada daerah yang terkena
herpes.
4. Pola istirahat – tidur
a. Sebelum sakit : pola tidur sesuai
b. Saat sakit : pola tidur tidak sesuai karena mengalami
panas, gatal, dan nyeri.
5. Pola konsep diri
Gambaran diri : pasien selalu diam karena merasa malu akibat
adanya herpes pada bagian tubuhnya.
Harga diri: harga diri rendah akibat adanya vesikel-vesikel dikulit
sehingga pasien tidak percaya diri.
G. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status kesehatan umum


Keadaan / penampilan umum : adanya vesikel ataupun lesi di
bagian tubuh seperti mulut, hidung dan genital.
Kesadaran : pasien dalam kondisi sadar
GCS :
BB sebelum sakit : normal
BB saatini : biasanya turun akibat adanya anoreksia.
Tanda– tanda Vital :
TD : 110 – 120 mmhg
Suhu : > 37,5 oC
N : 80-100 x/menit
RR : 12-18 x/menit
2. Kepala

46
Rambut : keadaan rambut pasien, ada kotoran atau tidak,
berminyak atau tidak, mudah patah atau tidak, dll.
Wajah : ekspresi yang ditunjukkan pada pasien pada pemeriksa
(meringis kesakitan atau menangis). Pada herpes simplek biasanya
meringis karena adanya panas, gatal, nyeri.
Mata : keadaan konjungtia, palperbra dan bola mata pasien.
Mulut : mukosa mulut dalam keadaan lembab atau kering,
keadaan lidah pucat atau tidak. Pada herpes simplek biasanya ada
vesikel baik daerah luar mulu (bibir) ataupun di daerah dalam
mulut.
Genital : adanya vesikel di permukaan kulit yang menumpuk
tepatnya di daerah genital.
3. Pemeriksaan kulit
a. Pemeriksaan inspeksi : melihat adanya vesikel yang
menumpuk di kulit, adanya lesi.
b. Pemeriksaan palpasi : bila diraba ada semacam abses di
permukaan kulit
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes tzanck
2. Biopsi punch
3. Deteksi DNA HSV
4. Tes antibodi
I. Diagnosa Keperawatan Yang Sering Muncul
1. Hipertermi yang berhubungan dengan penyakit ditandai dengan
kulit kemerahan.
2. Nyeri akut yang berhubungan dengan infeksi yang di tandai
dengan adanya nyeri bada bagian kulit yang ada vesikel.
3. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan penyakit herpes
simpleks yang ditandai dengan menyembunyikan tubuh yang
terkena herpes.
4. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan hipertermi
yang ditandai dengan kerusakan kulit.

47
5. Resiko infeksi yang berhubungan dengan integritas kulit
6. Resiko mata kering yang berhubungan dengan penyakit herpes
simpleks
J. Perencanaan
1. Hipertermi
a. Tujuan : suhu tubuh pada 36,5- 37,5 oC
b. Kreteria hasil :
1.) Suhu tubuh pada kisaran 36,5- 37,5 oC (5)
2.) RR : 12-18 x/menit (5)
3.) TD :110-120 mmhg (5)
4.) N : 80-100 x/menit (5)
c. Rencana tindakan :
1.) Manajemen cairan : monitor status hidrasi, berikan cairan
2.) Monitoring tanda-tanda vital: monitor tekanan darah, nadi,
penapasan, warna kulit, suhu dan kelembaban.
2. Nyeri akut
a. Tujuan : nyeri dapat teratasi dalam waktu 2 x 24 jam
b. Kreteria hasil:
1.) Tingkatan nyeri tidak ada (5)
2.) Panjang episode tidak ada (5)
3.) Mengerang dan menangis tidak ada (5)
4.) Ekspresi nyeri wajah tidak ada (5)
5.) Kehilangan nafsu makan tidak ada (5)
c. Rencana tindakan
1.) Pemberian analgesik :
a. Mengecek pemberian obat, dosis, dan frekuensi obat
analgesik yang di resepkan
b. Cek adanya riwayat alergi obat.
c. Monitor ttv sebelum dan sesudah pemberian analgesik.
2.) Manajemen nyeri :

48
a. Mengkaji nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/ durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.
b. Ajarkan prinsip-prinsip nyeri.
c. Memberi informasi tentang nyeri baik pencegahan atau
penanganan.
3. Gangguan citra tubuh
a. Tujuan : pasien percaya diri dengan keadaan kulit dalam
waktu 1x 24 jam
b. Kreteria hasil
1.) Penerimaan diri (5)
2.) Tingkat percaya diri (5)
c. Keinginan untuk berhadapan dengan orang lain (5) Rencana
tindakan
1) Peningkatan citra tubuh
a. Tentukan harapan citra diri pasien di dasarkan pada
tahap perkembangan
b. Bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan-perubahan
(bagian tubuh) disebabkan adanya penyakit atau
pembedahan.
c. Gunakan latihan membuka diri dengan kelompok
4. Kerusakan integritas kulit
a. Tujuan : vesikel dan lesi teratasi dalam waktu 3x24 jam
b. Kreteria hasil :
1) Kebersiham mulut (5)
2) Kelembaban mukosa mulut dan lidah (5)
3) Warna membran mukosa (5)
4) Nyeri (5)
5) Pendarahan (5)
c. Rencana tindakan :
1) Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya
kemerahan, kehangatan ekstrim, edema, atau drainase

49
2) Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema,
dan ulserasi pada ekstremitas
3) Gunakan alat pengkajian untuk mengidentifikasi pasien
yang berisiko mengalami kerusakan kulit (misalnya, skala
braden)
5. Resiko infeksi
a. Tujuan : setelah di berikan asuhan keperawatan selama 2x24
jam resiko infeksi berkurang.
b. Kreteria hasil
1) Kemerahan (5)
2) Vesikel yang mengeras permukaannya (5)
3) Demam (5)
4) Hilang nafsu makan (5)
5) Nyeri (5)
c. Rencana tindakan
1.) Perlindungan infeksi
a. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan
local
b. Monitor kerentanan terhadap infeksi
c. Pertahankan asepsis untuk pasien beresiko
d. Berikan perawatan kulit yang tepat untuk area (yang
mengalami) edema
e. Periksa kulit dan selaput lendir untuk adanya
kemerahan, kehangatan ekstrim, atau drainase

6. Resiko mata kering


a. Tujuan : mata lembab dan tidak kering dalam waktu
2x24 jam
b. Kreteria hasil :
1.) Mencari informasi terkait mata kering (5)
2.) Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya mata kering (5)
3.) Menghindari cedera pada mata (5)

50
4.) Mengedipkan mata secara berkala (5)
5.) Menggunakan tetes mata atau pelembab mata sesuai resep
(5)
6.) Menggunakan pelembab mata untuk mengurangi evaporasi
air mata (5)
c. Rencana tindakan :
1) Manajemen Pengobatan
a. Tentukan obat apa yang diperlukan, dan kelola menurut
resep dan/atau protokol
b. Monitor efektifitas cara pemberian obat yang sesuai
c. Pertimbangkan pengetahuan pasien mengenai obat-
obatan
d. Tentukan dampak penggunaan obat pada gaya hidup
pasien

2.) Pemberian Obat : Mata


a. Pertahankan aturan dan prosedur yang sesuai dengan
keakuratan dan keamanan pemberian obat-obatan
b. Ikuti prosedur lima benar dalam pemberian obat
c. Hindari pemberian obat yang tidak diberi label
d. Bantu klien dalam pemberian obat

51
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
virus variselazoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini
merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.
Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster
oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis dan sakralis.
Manifestasi klinis herpes zoster dapat berupa kelompok-kelompok
vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang
khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak
syaraf yang terinfeksi virus.
Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana, yaitu tes Tzanck
dengan menemukan sel datia berinti banyak. Pada umumnya
penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting
disease), Semakin lanjut usia, semakin tinggi frekuensi timbulnya
komplikasi.
1.2 Saran
Setelah di jelaskan tentang Herpes zoster dapat
memudahkan pembaca dan menambah pengetahuan pembaca.
Sebagai seorang pemula, kami sadar bahwa karya ilmiah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan

52
kritik yang bersifat membangun. Karena saran dan kritik itu akan
bermanfaat bagi kami untuk memperbaiki atau memperdalam
kajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran essentials of medicine


edisi IV. Jakarta : MEDIA AESCULAPIUS

Brown, Robin Graham, Tony Burns. 2005. Dermatologi edisi kedelapan.


Jakarta : Erlangga Medical Series

Smeltzer, Suzanne C. Breda G. Bare. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC

HR, Sahriani dkk. 2012. Profil Herpes Zosterdi Poliklinik Kulitdan Kelamin
RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2012.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/3671/3197. (diakses
06 April 2017, jam 14.05)
Proc, Mayo Clin. 2009. Herpes Zoster (Shingles) and Postherpetic Neuralgia.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19252116. (diakses 06 April 2017,
jam 14.35)
Janniger, Camila K. 2016. Herpes Zoster.
http://emedicine.medscape.com/article/1132465-overview#a4. (diakses 06
April 2017, jam 15.00)
Adiwinata, Randy, Endy Suseno. 2016. Peran Vaksinasi dan Pencegahan
Herpes Zoster CDK-241/ vol. 43 no. 6 th. 2016.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/10_241CME-
Peran%20Vaksinasi%20dalam%20Pencegahan%20Herpes%20Zoster.pdf.
(diakses 07 April 2017, jam 11.31)

53
Regina, Lorettha Wijaya. 2012. Neuralgia Pascaherpetika CDK-194/ vol. 39
no. 6, th. 2012.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_194Neuralgia%20Pascaherpetika.pdf
. (diakses 07 April 2017, jam 12:35)
http://www.kalbemed.com/Portals/6/20_207Berita%20Terkini-Varicella-
zoster%20immuneglobulin%20Mengurangi%20Gejala%20Infeksi%20Berat.
pdf
http://www.kalbemed.com/Portals/6/10_199Varicella%20dengan%20Kompli
kasi%20Glomerulonefritis%20Akut.pdf

54

Anda mungkin juga menyukai