Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ANALISIS KASUS PADA KECELAKAAN KERJA


PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VIII

Disusun Oleh :
Ahmad Sofyan
Arif Arfi Murdani
Fitranza Riyan Sarrazin
Ibnu Naufal Zaki Adha
Muhammad Riefky Arianto
Wulan Widiasari

POLITEKNIK NEGERI MALANG


TAHUN 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Program pembangunan telah membawa Indonesia pada kemajuan yang
sigfnifikan di segala sektor kehidupan, seperti sektor industri, properti,
transportasi, pertambangan dan lainnya. Dapat kita lihat dan rasakan gedung
tinggi menjulang, pabrik-pabrik beroperasi tanpa henti, berbagai macam barang
telah diproduksi, dan berbagai kemudahan sebagai manifestasi dari
pembangunan yang pesat.

Dalam kegiatan industri yang melibatkan mesin-mesin, potensi


terjadinya bahaya ini cukup signifikan. Operasional mesin pada umumnya
memiliki potensi sebagai penyebab cedera pada pekerja. Kecelakaan kerja
akibat mesin (machinery accident) merupakan kejadian yang sering kali terjadi
pada industri.
Cedera yang diakibatkan dapat bervariasi dari tingkat minor atau cedera
ringan sampai dengan cedera fatal termasuk kematian. Terdapat beragam
sumber bahaya permesinan yang menjadi penyebab cedera pada pekerja.
Sumber-sumber bahaya tersebut antara lain: perputaran mesin, gerak lawan
arah, roda gigi, pisau, benda tajam, beban tekan, dan sejenisnya . Jenis-jenis
cedera akibat bahaya permesinan antara lain: remuk/hancur akibat himpitan
(crushing), terjepit (shearing), terpotong (cutting), tertusuk (puncturing), serta
kram dan keseleo (straining and spraining).

Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih


tinggi dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk
maupun jenis kecelakaannya. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan
yang dilaksanakan tersebut maka disusunlah Undang-undang No.1 tahun 1970
tentang keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan
kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara,
yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja


dimulai dari perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan,
pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan,
barang produk tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat
menimbulkan bahaya kecelakaan.

Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada


pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Koalisi Buruh
Sawit Indonesia (2018) menerbitkan lembar fakta terkait perlindungan buruh
sawit Indonesia. Dinyatakan bahwa buruh sawit menghadapi beragam
permasalahan kerja. Salah satu permasalahan yang menonjol terkait
keselamatan dan kesehatan kerja. Buruh sawit Indonesia pada umumnya
menghadapai permasalahan beban kerja berlebih, risiko kesehatan kerja karena
kontak dengan bahan-bahan kimia, risiko cedera karena peralatan kerja, dan
kurangnya pengawasan K3 perusahaan . International Labour Organisation
(ILO) dalam publikasinya menyebutkan bahwa cedera karena mesin
merupakan salah satu potensi bahaya bagi pekerja industri kelapa sawit .

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat


terjadi 147.000 kasus kecelakaan kerja sepanjang 2018, atau 40.273 kasus
setiap hari. Dari jumlah itu, sebanyak 4.678 kasus (3,18 persen) berakibat
kecacatan, dan 2.575 (1,75 persen) kasus berakhir dengan kematian.

Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan melakukan analisis
mengenai salah satu kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Indonesia yaitu
kasus Kecelakaan Kerja di Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit di PT
Perkebunan Nusantara VIII.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang kasus tersebut dapat di rumuskan masalah


kecelakaan kerja yang terjadi sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penyebab kecelakaan pekerja
tersebut?
2. Jenis-jenis bahaya ditempat kerja yang berpotensi menjadi sumber bahaya
ditempat kerja?
3. Bagaimana cara mengantisipasi dan melakukan penanganan serta
pencegahan agar hal tersebut tidak terjadi berulang kali?

1.3 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut
:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penyebab
kecelakaan di pabrik kelapa sawit.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis bahaya ditempat kerja yang berpotensi
menjadi sumber bahaya.
3. Untuk menetahui bagaimana cara mengantisipasi dan melakukan
penanganan serta pencegahan agar hal tersebut tidak terjadi berulang kali.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja


2.1.1 Pengertian K3
1. Mathis dan Jackson
Menurut Mathis dan Jackson pengertian K3 adalah kegiatan yang
menjamin terciptanya kondisi kerja yang aman, terhindar dari
gangguan fisik dan mental melalui pembinaan dan pelatihan,
pengarahan dan kontrol terhadap pelaksanaan tugas dari karyawan
dan pemberian bantuan sesuai dengan aturan yang berlaku, baik dari
lembaga pemerintah maupun perusahaan dimana mereka bekerja.

2. Ardana
Menurut Ardana, pengertian K3 adalah upaya perlindungan yang
ditujukan agar tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja selalu
dalam keadaan selamat dan sehat sehingga setiap sumber produksi
bisa digunakan secara aman dan efisien.

3. Flippo
Menurut Flippo arti K3 adalah pendekatan yang menentukan standar
yang menyeluruh dan spesifik, penentuan kebijakan pemerintah atas
praktek-praktek perusahaan di tempat kerja dan pelaksanaannya
melalui surat panggilan, denda, dan sanksi lain.

4. Hadiningrum
Menurut Hadiningrum pengertian K3 adalah pengawasan terhadap
SDM, mesin, material, dan metode yang mencakup lingkungan kerja
agar pekerja tidak mengalami kecelakaan.

5. Widodo
Menurut Widodo, definisi K3 adalah bidang yang berhubungan
dengan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan manusia yang
bekerja di sebuah institusi maupun lokasi proyek.

6. World Health Organization (WHO)


Menurut WHO pengertian K3 adalah upaya yang bertujuan untuk
meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan fisik, mental dan
sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jenis pekerjaan,
pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan
oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam
pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan.
2.1.2 Fungsi K3
Pada pelaksanaannya K3 memiliki fungsi yang cukup
banyak dan bermanfaat, baik bagi perusahaan maupun bagi pekerja.
Berikut ini adalah beberapa fungsi K3 secara umum:

1. Sebagai pedoman untuk melakukan identifikasi dan penilaian


akan adanya risiko dan bahaya bagi keselamatan dan kesehatan
di lingkungan kerja.
2. Membantu memberikan saran dalam perencanaan, proses
organisir, desain tempat kerja, dan pelaksanaan kerja.
3. Sebagai pedoman dalam memantau kesehatan dan keselamatan
para pekerja di lingkungan kerja.
4. Memberikan saran mengenai informasi, edukasi, dan pelatihan
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja.
5. Sebagai pedoman dalam membuat desain pengendalian bahaya,
metode, prosedur dan program.
6. Sebagai acuan dalam mengukur keefektifan tindakan
pengendalian bahaya dan program pengendalian bahaya.
7. Untuk melindungi dan memelihara kesehatan dan keselamatan
tenaga kerja sehingga kinerjanya dapat meningkat.
8. Untuk menjaga dan memastikan keselamatan dan kesehatan
semua orang yang berada di lingkungan kerja.
9. Untuk memastikan sumber produksi terpelihara dengan baik
dan dapat digunakan secara aman dan efisien.

2.1.3 Faktor-Faktor Keselamatan Kerja


1. Faktor Manusia
a. Konsentrasi
Dalam melakukan pekerjaan, pekerja dituntut untuk
konsentrasi tinggi. Mesin-mesin yang beroperasi, berputar-
putar, dan bergerak, tidak memiliki toleransi bila karyawan
salah dalam mengoprasikannya.
b. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Kecelakaan kerja biasanya kerap terjadi akibat kelalaian dari


tenaga kerja maupun perusahaan. Oleh sebab itu tenaga kerja
wajib diberi pelatihan bagaimana cara penggunaan dan
perawatan mesin-mesin agar menghindari Penyakit Akibat
Kerja (PAK).

c. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)


Penggunaan alat pelindung diri yaitu penggunaan
seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja untuk
melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya
potensi bahaya atau kecelakaan kerja. APD tidak secara
sempurna dapat melindungi tubuhnya, tetapi akan dapat
mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi.
Penggunaan alat pelindung diri dapat mencegah kecelakaan
kerja sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan
praktek pekerja dalam penggunaan alat pelindung diri.

d. Peraturan K3

Peraturan perundangan adalah ketentuan-ketentuan yang


mewajibkan mengenai kondisi kerja pada umumnya,
perencanaan, konstruksi, perawatan dan pemeliharaan,
pengawasan, pengujian dan cara kerja peralatan industri,
tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi medis,
P3K dan perawatan medis. Ada tidaknya peraturan K3 sangat
berpengaruh dengan kejadian kecelakaan kerja. Untuk itu,
sebaiknya peraturan dibuat dan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya untuk mencegah dan mengurangi terjadinya
kecelakaan

2. Faktor Lingkungan

a. Kebisingan

Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor:


KEP- Kebisingan Bising adalah suara/bunyi yang tidak
diinginkan . Kebisingan pada tenaga kerja dapat mengurangi
kenyamanan dalam bekerja, mengganggu
komunikasi/percakapan antar pekerja, mengurangi
konsentrasi, menurunkan daya dengar dan tuli akibat
kebisingan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Nomor: KEP-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas
Faktor Fisika di Tempat Kerja, Intensitas kebisingan yang
dianjurkan adalah 85 dBA untuk 8 jam kerja.

b. Suhu Udara

Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivitas


kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada
temperatur sekitar 24°C- 27°C. Suhu dingin mengurangi
efisiensi dengan keluhan kaku dan kurangnya koordinasi
otot. Suhu panas terutama berakibat menurunkan prestasi
kerja pekerja, mengurangi kelincahan, memperpanjang
waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan,
mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi
syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan untuk
dirangsang.

Sedangkan menurut Grandjean kondisi panas sekeliling yang


berlebih akan mengakibatkan rasa letih dan kantuk,
mengurangi kestabilan dan meningkatkan jumlah angka
kesalahan kerja. Hal ini akan menurunkan daya kreasi tubuh
manusia untuk menghasilkan panas dengan jumlah yang
sangat sedikit.

c. Penerangan

Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat


obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-
upaya tidak perlu. Penerangan adalah penting sebagai suatu
faktor keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja. Beberapa
penyelidikan mengenai hubungan antara produksi dan
penerangan telah memperlihatkan bahwa penerangan yang
cukup dan diatur sesuai dengan jenis pekerjaan yang harus
dilakukan secara tidak langsung dapat mengurangi
banyaknya kecelakaan. Faktor penerangan yang berperan
pada kecelakaan antara lain kilauan cahaya langsung
pantulan benda mengkilap dan bayang-bayang gelap (ILO,
1989:101). Selain itu pencahayaan yang kurang memadai
atau menyilaukan akan melelahkan mata. Kelelahan mata
akan menimbulkan rasa kantuk dan hal ini berbahaya bila
karyawan mengoperasikan mesin-mesin berbahaya sehingga
dapat menyebabkan kecelakaan (Depnaker RI, 1996:45).

d. Lantai licin

Lantai dalam tempat kerja harus terbuat dari bahan yang


keras, tahan air dan bahan kimia yang merusak (Bennet NB.
Silalahi, 1995:228). Karena lantai licin akibat tumpahan air,
tahan minyak atau oli berpotensi besar terhadap terjadinya
kecelakaan, seperti terpeleset.
3. Faktor Peralatan

a. Kondisi Mesin

Dengan mesin dan alat mekanik, produksi dan produktivitas


dapat ditingkatkan. Selain itu, beban kerja faktor manusia
dikurangi dan pekerjaan dapat lebih berarti. Apabila keadaan
mesin rusak, dan tidak segera diantisipasi dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Ketersediaan alat
pengaman mesin Mesin dan alat mekanik terutama
diamankan dengan pemasangan pagar dan perlengkapan
pengamanan mesin ata disebut pengaman mesin. Dapat
ditekannya angka kecelakaan kerja oleh mesin adalah akibat
dari secara meluasnya dipergunakan pengaman tersebut.
Penerapan tersebut adalah pencerminan kewajiban
perundang-undangan, pengertian dari pihak yang
bersangkutan, dan sebagainya.

b. Letak Mesin

Terdapat hubungan yang timbal balik antara manusia dan


mesin. Fungsi manusia dalam hubungan manusia mesin
dalam rangkaian produksi adalah sebagai pengendali
jalannya mesin tersebut. Mesin dan alat diatur sehingga
cukup aman dan efisien untuk melakukan pekerjaan dan
mudah (AM. Sugeng Budiono, 2003:65). Termasuk juga
dalam tata letak dalam menempatkan posisi mesin. Semakin
jauh letak mesin dengan pekerja, maka potensi bahaya yang
menyebabkan kecelakaan akan lebih kecil. Sehingga dapat
mengurangi jumlah kecelakaan yang mungkin terjadi.

2.2 Profil PT Perkebunan Nusantara VIII


2.2.1 Profil dan sejarah perusahaan
PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII adalah salah satu
diantara perkebunan milik Negara yang didirikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1996, seperti yang dinyatakan
dalam akta Notaris Harun Kamil, S.H., No. 41 tanggal 11 Maret 1996
dan telah memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik
Indonesia melalui Surat Keputusan C2-8336.HT.01.01.TH.96 tanggal
8 Agustus 1996. Akta pendirian ini selanjutnya mengalami perubahan
sesuai dengan akta Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo, SH., No. 05
tanggal 17 September 2002 dan telah mendapat persetujuan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Surat
Keputusan No. C-20857 HT.01.04.TH.2002 tanggal 25 Oktober 2002.

Perusahaan ini didirikan dengan maksud dan tujuan untuk


menyelenggarakan usaha di bidang agro bisnis dan agro industri, serta
optimalisasi pemanfaatan sumber daya Perseroan untuk menghasilkan
barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat,
serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan dengan
menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas.

Kegiatan usaha perusahaan meliputi pembudidayaan tanaman,


pengolahan/produksi, dan penjualan komoditi perkebunan Teh, Karet,
Kelapa Sawit, Kina, dan Kakao. Pusat kegiatan usaha berada di
Kantor Direksi Jl. Sindangsirna No. 4 Bandung, Jawa Barat dengan
kebun/unit usaha yang dikelola sebanyak 41 kebun yang tersebar di
11 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat (Bogor, Sukabumi,
Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Subang,
Purwakarta, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis) dan 2 Kabupaten di
Propinsi Banten (Lebak dan Pandeglang).

Perusahaan perkebunan milik negara di Jawa Barat dan Banten


berasal dari perusahaan perkebunan milik pemerintah Belanda, yang
ketika penyerahan kedaulatan secara otomatis menjadi milik
pemerintah Republik Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama
Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Lama. Antara tahun 1957 –
1960 dalam rangka nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan
perkebunan eks milik swasta Belanda/Asing (antara lain : Inggris,
Perancis dan Belgia) dibentuk PPN-Baru cabang Jawa Barat.

Dalam periode 1960 – 1963 terjadi penggabungan perusahaan


dalam lingkup PPN-Lama dan PPN-Baru menjadi : PPN Kesatuan
Jawa Barat I, PPN Kesatuan Jawa Barat II, PPN Kesatuan Jawa Barat
III, PPN Kesatuan Jawa Barat IV dan PPN Kesatuan Jawa Barat V.

Selanjutnya selama periode 1963 – 1968 diadakan reorganisasi


dengan tujuan agar pengelolaan perkebunan lebih tepat guna, dibentuk
PPN Aneka Tanaman VII, PPN Aneka Tanaman VIII, PPN Aneka
Tanaman IX dan PPN Aneka Tanaman X, yang mengelola tanaman
teh dan kina, serta PPN Aneka Tanaman XI dan PPN Aneka Tanaman
XII yang mengelola tanaman karet. Dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perusahaan, pada periode 1968 – 1971, PPN
yang ada di Jawa Barat diciutkan menjadi tiga Perusahaan Negara
Perkebunan (PNP) meliputi 68 kebun, yaitu :
a. PNP XI berkedudukan di Jakarta (24 perkebunan), meliputi
perkebunan-perkebunan eks PPN Aneka Tanaman X, dan PPN
Aneka Tanaman XI;
b. PNP XII berkedudukan di Bandung (24 perkebunan), meliputi
beberapa perkebunan eks PPN Aneka Tanaman XI, PPN Aneka
Tanaman XII, sebagian eks PPN Aneka Tanaman VII, dan PPN
Aneka Tanaman VIII;
c. PNP XIII berkedudukan di Bandung (20 perkebunan), meliputi
beberapa perkebunan eks PPN Aneka Tanaman XII, eks PPN
Aneka Tanaman IX, dan PPN Aneka Tanaman X.
d. Sejak tahun 1971, PNP XI, PNP XII dan PNP XIII berubah status
menjadi Perseroan Terbatas Perkebunan (Persero).
e. Dalam rangka Restrukturisasi BUMN Perkebunan mulai 1 April
1994 sampai dengan tanggal 10 Maret 1996, pengelolaan PT
Perkebunan XI, PT Perkebunan XII, dan PT Perkebunan XIII
digabungkan di bawah manajemen PTP Group Jabar.
f. Selanjutnya sejak tanggal 11 Maret 1996, PT Perkebunan XI, PT
Perkebunan XII, dan PT Perkebunan XIII dilebur menjadi PT
Perkebunan Nusantara VIII (Persero).

2.2.2 Visi dan Misi Perusahaan


a. Visi
Menjadi Perusahaan Agribisnis terkemuka dan terpercaya,
mengutamakan kepuasan pelanggan dan kepedulian lingkungan
dengan didukung oleh SDM yang profesional.
b. Misi
1. Menghasilkan produk bermutu dan ramah lingkungan yang
dibutuhkan oleh pasar dan mempunyai nilai tambah tinggi;
2. Mengelola perusahaan dengan menerapkan Good Governance
dan Strong Leadership, memosisikan sumber daya manusia
sebagai mitra utama, serta mengedepankan kesejahteraan
karyawan melalui kesehatan perusahaan;
3. Mengoptimalkan seluruh sumber daya untuk dapat meraih
peluang-peluang pengembangan bisnis, secara mandiri
maupun bersama-sama mitra strategis;
4. Mengedepankan Corporate Sosial Responsibility (CSR)
seiring dengan kemajuan perusahaan.

2.2.3 Nilai-Nilai Luhur

Nilai-nilai luhur merupakan landasan insan PTPN VIII


dalam melakukan interaksi dengan pihak-pihak didalam maupun di
luar perusahaan. Pesan moral dan etika terkandung dalam nilai-nilai
luhur tersebut, sehingga menjadi inspirasi pendorong dan acuan bagi
setiap insan PTPN VIII dalam berpola pikir dan berpola tindak untuk
mewujudkan pengelolaan perusahaan secara sehat dan beretika.

Nilai-nilai luhur itu tertanam dalam budaya perusahaan yaitu


WALAGRI JATI UTAMA. Arti harfiah WALAGRI JATI UTAMA
adalah sebagai berikut :

1. Walagri berasala dari bahasa Sunda yang merupakan bahasa ibu


dimana PTPN VIII berdomisili, yang mengandung arti sehat lahir
bathin, penuh kesempurnaan, dan penuh semangat.
2. JATI, memiliki makna jati diri atau kepribadian yang unggul.
3. UTAMA, mengandung makna nomor satu, fokus dan pusat
perhatian.

Disamping memiliki arti harfiah, WALAGRI JATI UTAMA


juga mengandung makna filosofis bahwa kelima nilai luhur
perusahaan tersebut harus menjadi jati diri insan PTPN VIII dalam
rangka membentuk pribadi-pribadi yang unggul sehingga dapat
menggerakkan aktifitas perusahaan menuju kepada kinerja
perusahaan yang sehat.

Adapun pengertian dari masing-masing nilai luhur tersebut dapat


diuraikan sebagai berikut :

1. Takwa adalah terpeliharanya sikap diri untuk tetap taat


menjalankan segala perintah Allah dan menjauhkan larangan-
Nya. Takwa merupakan landasan spiritual yang diyakini oleh
insan PTPN VIII sebagai nilai luhur yang akan menjadi inspirasi
dalam melakukan bisnis maupun operasional perusahaan yang
bermoral dan beretika.
2. Keteladanan merupakan perbuatan ataupun sikap yang patut
ditiru. Sebagai nilai luhur yang diinginkan oleh insan PTPN
VIII, suri tauladan dari para pimpinan merupakan contoh efektif
yang mudah ditiru oleh para bawahan. Untuk itu setiap atasan
hendaknya memberikan contoh dalam bersikap dan berbuat,
sehingga patut ditiru oleh anak buahnya. Namun demikian
keteladanan ini tidak semata-mata hanya dilakukan oleh atasan
saja, akan tetapi setiap insan PTPN VIII juga harus dapat
memberikan keteladanan juga bagi insan PTPN VIII lainnya.
3. Integritas merupakan keterpaduan ataupun keutuhan prinsip
moral dan etika yang mencakup kejujuran, kedisiplinan, kerja
keras, tanggung jawab dan obyektivitas yang menjadi landasan
bagi insan PTPN VIII dalam melakukan kegiatan ataupun tugas
yang diembannya.
4. Kerjasama Tim merupakan nilai luhur insan PTPN VIII yang
dilandasi dengan sikap keterbukaan dan saling menghormati
yang diarahkan kepada tujuan dan kepentingan perusahaan.
Nilai luhur kerjasama tim ini menjiwai insan PTPN VIII dalam
setiap kegiatan operasional perusahaan.
5. Mengutamakan kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan
dapat terwujud jika para pelanggan terpenuhi kebutuhan dan
keinginannya baik melalui produk maupun layanan dari PTPN
VIII. Sebagai nilai luhur yang dimiliki oleh insan PTPN VIII,
kepuasan pelanggan menjadi faktor yang sangat mendasar bagi
PTPN VIII untuk kelangsungan hidup perusahaan. Untuk itu
setiap tindakan yang berkaitan dengan tugas-tugas perusahaan,
insan PTPN VIII harus mengutamakan kepuasan pelanggan.

2.3 Studi Kasus K3


2.3.1 Kutipan Berita

Diduga Terjadi Saat Bekerja,


Karyawan Pabrik Sawit Kertajaya Tewas

Seorang karyawan pabrik pengolahan kelapa sawit PT


Perkebunan Nusantara VIII (Persero) kantor induk kebun Kertajaya,
Kecamatan Banjarsari, Jujun (25) diduga tewas dalam kecelakaan
kerja, Sabtu (25/5/2019).
Korban tewas setelah terseret mesin pengolahan kelapa sawit
di perusahaan tersebut. Informasi yang dihimpun, kecelakaan kerja
yang dialami korban warga Kampung Binglu RT 05/02, Desa Leuwi
Ipuh, Kecamatan Banjarsari tersebut, terjadi sekitar pukul 10.00
WIB.
Sebelum kejadian, bapak beranak satu itu diketahui sedang
membersihkan mesin fuel scrapper bat (karaypak) pengolahan
kelapa sawit. Saat dibersihkan, kondisi mesin dalam keadaan hidup,
dan ketika itu korban terpeleset sehingga terseret mesin pengolahan
kelapa sawit tersebut.
Rekan korban yang menyaksikan hal tersebut pun langsung
mematikan mesin tersebut untuk menolong korban. Namun nahas,
nyawa korban tidak tertolong.
Asisten teknik pabrik kelapa sawit Kertajaya, Endi Suhandi
membenarkan kejadian tersebut. Korban merupakan pekerja di
perusahaan itu selaku mekanik, dan sudah bekerja selama sembilan
tahun.
Ia mengaku, perusahaan saat itu memang sedang melakukan
perbaikan mesin dari tiga hari yang lalu. Pihaknya sedang uji coba
mesin tanpa beban, Sabtu (25/5/2019).

2.3.2 Analisa Kasus

Jika ditinjau dari faktor penyebab kecelakaan kerja,


penyebab dasar kecelakaan kerja tersebut adalah human error.
Dalam hal ini kesalahan terletak pada korban tersebut. Menanggapi
hal yang menewaskan teknisi mekanik tersebut seharusnya korban
lebih berhati-hati saat memperbaiki mesin atau alat-alat produksi.
Dikutip dari berita bahwa korban sedang memperbaiki mesin
dalam 3 hari terakhir dan sedang melakukan uji mesin tanpa beban.
Saat itu korban membersihkan alat pengolahan kelapa sawit pada
saat posisi mesin sedang hidup, seharusnya beliau mematikan mesin
terlebih dahulu saat akan membersihkan dan memperbaikinya.
Disamping faktor human error, terdapat juga faktor
lingkungan kerja dan faktor peralatan, karena korban tersebut
terpleset lalu masuk kedalam mesin tersebut, maka dapat
disimpulakan bahwa lantai tersebut licin dan sepatu yang dikenakan
korban bukanlah sepatu safety yang memang digunakan khusus
untuk pekerja yang memasuki wilayah perbaikan mesin tersebut dan
mungkin korban melepas alat pembatas atau pengaman mesin giling
tersebut karena ingin membersihkannya.
Analisis selanjutnya adalah tidak terdapat tombol-tombol
darurat atau penghenti otomatis yang dengan cepat menghentikan
mesin apabila ada anggota badan yang memasuki wilayah operasi,
seharusnya mesin mempunyai sensor pendukung dan atau penghenti
darurat seperti yang terdapat pada pasal 41 bagian 2 dan 3 Peraturan
Menaker No 38 tahun 2016 yaitu :
1. Mesin tempa, mesin pres, dan mesin pon jika pengisian benda
kerja
menggunakan sistem manual, mekanik, dan/atau elektrik harus
dilengkapi penghenti darurat.
2. Pengisian benda kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus menggunakan alat bantu untuk memastikan anggota
badan tidak masuk ke daerah operasi.
3. Pengoperasian secara mekanik atau elektrik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat beroperasi ketika anggota
badan tidak berada pada daerah operasi.

2.3.3 Tindakan dan Solusi Pasca Kejadian

Tindakan yang tepat pasca kecelakaan kerja adalah :


1. Pelatihan pekerja tentang prosedur bekerja aman,
2. Kegiatan pemeliharaan peralatan rutin untuk menjaga kondisi
operasi tetap baik,
3. Menyediakan tenaga ahli K3,
4. Menyediakan penutup untuk mesin yang berputar,
5. Evaluasi prosedur kerja dengan rekomendasi perbaikan,
6. Melakukan analisa bahaya (job hazard analysis) untuk
mengevaluasi bahaya lain dalam pekerjaan tertentu dan
melatih pekerja terkait bahaya tersebut,
7. Rekayasa teknik untuk membuat pekerjaan jadi lebih aman
atau pengendalian administratif mungkin termasuk mengubah
cara melakukan pekerjaan, rotasi kerja dll.

Dari analisa kasus kecelakaan tersebut kami menyimpulkan bahwa


tindakan dan solusi yang tepat adalah :

1. Memberikan pelatihan secara teratur. Pelatihan-pelatihan


seperti ini sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk karyawan
baru saja, tetapi bisa juga diikuti oleh karyawan-karyawan yang
sudah lama bekerja. Biasanya didalam pelatihan itu juga akan
dijelaskan dengan detail teori dan komponen praktis yang bisa
dipakai untuk membantu pekerjaan didalam pabrik. Pelatihan
ini sangat menguntungkan untuk pekerja yang memiliki resiko
cukup tinggi.
2. Selalu memakai peralatan safety untuk menjamin keselamatan
kerja selama didalam pabrik dari mulai sepatu safety,
kacamata, sarung tangan dan helm. Semua peralatan safety ini
adalah standar yang perlu dipatuhi oleh setiap karyawan.
3. Menimbang kembali jika ingin melakukan tugas-tugas yang
berisiko, yaitu dalam memenuhi target waktu dan kualitas
pekerjaan, jangan sampai pekerja mengabaikan keselamatan
kerja dirinya sendiri. Semua resiko pekerjaan yang ada harus di
pertimbangkan dengan matang.
4. Perlunya instruksi yang jelas dan pengawasan dari seorang
pemimpin tim dalam melakukan tugas yang memiliki resiko.
5. Penyediaan sarana dan prasarana K3 dan pendukungnya di
tempat kerja. Seperti penyediaan tombol-tombol darurat dan
instruksi-instruksi penggunaan alat atau mesin.
6. Adanya sanksi bagi karyawan yang tidak mentaati pengguaan
APD saat dilingkungan kerja.
7. Menjaga kebersihan lingkungan kerja, seperti lantai
dibersihkan agar tidak licin.
8. Pemasangan alat-alat pelindung mesin agar megurangi resiko
pekerja dapat menyentuh langsung mesin-mesin yang sedang
beroperasi.
9. Dilakukan pemeriksaan kesehatan baik mental maupun fisik
pekerja secara rutin setiap 6 bulan sekali agar perkerja bisa
berkonsentrasi pada pekerjaannya apabila mental dan fisiknya
dalam keadaan sehat.
10. Mendaftarkan seluruh karyawan dalam program asuransi.
BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan analisis studi kasus di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu usaha dan upaya untuk
menciptakan perlindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan bahaya baik
fisik, mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat dan
lingkungan.

Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu unsur yang penting
dalam ketenagakerjaan. Oleh karena itulah sangat banyak berbagai peraturan
perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur nmasalah kesehatan dan
keselamatan kerja. Meskipun banyak ketentuan yang mengatur mengenai kesehatan
dan keselamatan kerja, tetapi masih banyak faktor di lapangan yang mempengaruhi
kesehatan dan keselamatan kerja yang disebut sebagai bahaya kerja dan bahaya
nyata. Masih banyak pula perusahaan yang tidak memenuhi standar keselamatan
dan kesehatan kerja sehingga banyak terjadi kecelakaan kerja.

Dengan demikian, perlu ditingkatkan sistem manajemen kesehatan dan


keselamatan kerja yang dalam hal ini tentu melibatkan peran bagi semua pihak.
Tidak hanya bagi para pekerja, tetapi juga pemimpin dalam perusahaan tersebut,
masyarakat dan lingkungan sehingga dapat tercapai peningkatan mutu kehidupan
dan produktivitas nasional.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kabar-banten.com/diduga-terjadi-saat-bekerja-karyawan-pabrik-
sawit-kertajaya-tewas/

https://www.safetyshoe.com/3-faktor-penyebab-kecelakaan-kerja-k3-mencakup-5-
m-faktor-manusia/

https://www.basishukum.com/permenaker/38/2016

https://www.pubinfo.id/instansi-332-ptpn-viii--pt-perkebunan-nusantara-viii-
persero.html

https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-k3.html

Anda mungkin juga menyukai