Anda di halaman 1dari 21

ALSAFAH SAINS UNTUK

PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDI


DAYA LORONG (ALLEY CROPPING)
PADA LAHAN PERTANIAN
BERLERENG
Oleh: Kamir R. Brata

Sumber: http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/01101/Kamir.htm

Re-edited 20 December, 2000, Copyright © 2000 Kamir R. Brata ; Makalah Falsafah Sains
(PPs 702); Program Pasca Sarjana – S3, Institut Pertanian Bogor; Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng

I. PENDAHULUAN

Budidaya lorong (alley cropping) merupakan salah satu teknik konservasi tanah dan air yang
telah lama diperkenalkan untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan
kering, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani. Beberapa kendala penerapan
budidaya lorong oleh petani secara meluas antara lain: (1) lambatnya pertumbuhan barisan
tanaman pagar (hedgerows) pada lahan marginal, (2) kurang efektifnya fungsi barisan tanaman
pagar untuk menghambat aliran permukaan dan erosi, (3) sulitnya pemeliharaan dan
penanganan hasil pangkasan tanaman pagar, dan (4) terjadinya persaingan penyerapan air dan
unsur hara antara tanaman budidaya yang ditanam di lorong (alley) dengan tanaman pagar.

Falsafah sains dapat mendorong ilmuwan secara jujur mengevaluasi kelebihan dan kekurangan
dari ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang telah dikembangkan (Suriasumantri, 1988).
Dengan kemampuan daya nalarnya, secara teleologi ilmuwan berusaha mencari keterangan
yang dapat menerangkan mengapa kendala-kendala tersebut terjadi (Nasoetion, 1988). Dengan
demikian ilmuwan terdorong untuk berfalsafah memikirkan kembali usaha penyempurnaan-
nya, dengan modifikasi teknik yang dapat mengatasi kendala tersebut.

Makalah ini membahas apa dan mengapa teknik budidaya lorong perlu disempurnakan
(landasan ontologis), bagaimana usaha penyempurnaannya dapat dilakukan (landasan
epistemologis), serta manfaat usaha penyempurnaan (landasan aksiologis).

II. TEKNIK BUDIDAYA LORONG

Teknik budidaya lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik
konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan
kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani (Juo,
Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam
pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan
tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi
pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari
lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui
pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.

Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam pengendalian aliran
permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman pagar serta jarak antar barisan
tanaman pagar. Pada awal penerapan budidaya lorong aliran permukaan dan erosi dapat
menerobos tanaman pagar yang belum tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris
tanaman. Pada kondisi demikian, tanaman pagar kurang efektif dalam menghambat aliran
permukaan dan menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan
bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan penyerapan air, unsur hara dan
sinar matahari antara tanaman pagar dengan tanaman budidaya dapat mengurangi produksi
tanaman yang dibudidayakan.

Hasil penelitian Rachman, Abdurachman, dan Haryono (1995) tentang sistem budidaya lorong
pada tanah Eutropepts Ungaran berlereng 10 – 15 %, menunjukkan bahwa setelah tahun ke-4
tanaman pagar Kaliandra, Vetiver (Vetiveria zizanioides), dan Flemingia (Flemingia congesta)
masih menghasilkan jumlah aliran permukaan masing-masing sebesar 2039, 1007, dan 470
m3/ha/tahun; meskipun tanaman pagar tersebut ditanam dalam strip 2 baris tanaman. Mereka
melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman pagar Teprosia (Tephrosia vogelii) sangat buruk
sehingga diganti dengan Vetiver. Ai Dariah, Suganda, Sujitno, Tala’ohu, dan Sutrisno (1995)
menggunakan sistem budidaya lorong untuk merehabilitasi lahan semi kritis bervegetasi
Alang-alang (Imperata cylindrica) di Desa Jatiwangi, Garut. Budidaya lorong dengan tanaman
pagar Flemingia, Vetiver, dan Lamtoro (Leucaena leucocephala) masing-masing masih
menim-bulkan aliran pemukaan sebesar 15.8, 69.1, dan 24.1 m3/ha dalam bulan Februari 1994
(tahun ke-4) dan menghasilkan erosi kumulatif masing-masing sebesar 4.1, 11.2, dan 1.9 ton/ha
selama 6 bulan.

Persaingan sinar matahari oleh tajuk tanaman pagar dapat diatasi dengan memangkas tajuk
tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas tanaman yang
dibudidayakan di lorongnya, tetapi persaingan penyerapan air dan unsur hara oleh akar
tanaman pagar sulit dihindari karena terus berkembang menyebar di dalam tanah pada areal
tanaman budidaya. Sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar disarankan untuk
dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di antara barisan tanaman budidya, sering dianggap
sulit untuk dilakukan karena pangkasan cabang/ranting tanaman pagar relatif lebih sulit
mengatur penyebarannya.

Kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan kesulitan teknis dalam penerapan dan


pemeliharaannya merupakan kendala bagi keberlanjutan dan penyebarluasan adopsi teknologi
budidaya lorong oleh petani. Seringkali kegiatan pembinaan dalam penerapan teknologi
konservasi tanah dan air memerlukan biaya mahal diluar kemampuan finansial petani sehingga
bantuan pembiayaan yang dikeluarkan pada saat penerapan teknologi tersebut akan menjadi
sia-sia karena tidak dilanjutkan oleh usaha pemeliharaan yang berkesinambungan. Meskipun
penerapan teknik budidaya lorong telah banyak dilaporkan dapat mengurangi tingkat
kerusakan lahan pertanian oleh erosi, etika ilmuwan dapat memotivasi kemampuan menalarnya
berfalsafah memikirkan pengembangan sains bagi penyempurnaan teknologi yang dapat
memudahkan pemakai teknologi memperoleh keuntungan maksimal akibat mengadopsi
teknologi tersebut.

III. USAHA PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDIDAYA LORONG


Menurut Siswomartono dan Wirodidjojo (1990), kendala utama dalam memotivasi petani
untuk menerapkan paket teknologi konservasi yang diperkenalkan meliputi: keterbatasan
kemampuan finansial petani untuk menerapkan dan memelihara tindakan konservasi, serta
tingkat pengetahuan dan keterampilan petani yang rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut,
mereka menyarankan perlu dikembangkannya paket teknologi konservasi yang lebih tepat
guna, yaitu secara teknik lebih sederhana, lebih ekonomis, dapat diterima masyarakat, tetapi
lebih efektif dapat mengendalikan aliran permukaan dan erosi.

Menurut El-Swaify (1991), pengendalian aliran permukaan dan erosi harus diusahakan melalui
peningkatan laju peresapan air ke dalam tanah, pemanfaatan sisa tanaman yang optimal untuk
melindungi tanah dan memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologis tanah. Pemanfaatan sisa
tanaman sebagai mulsa vertikal telah lama dikembangkan oleh Spain dan McCune (1956) di
Amerika Serikat. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai jenis tanah
menunjukkan bahwa berbagai macam sisa tanaman dapat dimanfaatkan sebagai mulsa vertikal
untuk memperbaiki sifat fisik, meningkatkan laju infiltrasi dan produktivitas lahan (Parr,1959
; Kingsley dan Shubeck, 1964 ; Fairbourn dan Gardner, 1974 ; Rama Mohan Rao, Ranga Rao,
Ramachandram dan Agnihotri, 1978).

Untuk mempermudah penerapan mulsa vertikal, Brata (1993) berusaha memodifikasi teknik
mulsa vertikal dengan memanfaatkan saluran teras gulud untuk mengumpulkan sisa tanaman
sebagai mulsa vertikal (Gambar 1). Hasil penelitian Brata (1995a, 1995b) menunjukkan bahwa
modifikasi teknik mulsa vertikal tersebut mampu dengan nyata menurunkan jumlah aliran
permukaan dan erosi, serta kehilangan hara yang ditimbulkannya; dibandingkan dengan teras
gulud dan mulsa konvensional. Modifikasi teknik mulsa tersebut telah berhasil diterapkan
untuk rehabilitasi lahan pada proyek Kaji Tindak Usaha Pertanian Lahan Kering di Desa
Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau – Kalimantan Barat (Tim Lembaga
Penelitian IPB, 1995) dan Proyek Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah di Unit
Pemukiman Transmigrasi Bekambit SP 2, Kabupaten Kota Baru – Kalimantan Selatan
(Fakultas Pertanian IPB, 1996).

Gambar 1. Modifikasi Teras Gulud Dengan Mulsa Vertikal

Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan pengamatan pada kaji tindak (action research)
tersebut, pada beberapa kesempatan presentasi teknik mulsa vertikal, Brata (1995c)
menyarankan perlu digunakannya teknik mulsa vertikal untuk penyempurnaan budidaya
lorong (Gambar 2).
Gambar 2. Budidaya lorong konvensional (a) dan dengan mulsa vertikal (b)

Barisan tanaman pagar berperakaran dalam yang ditanam pada guludan diharapkan dapat
memperkuat guludan untuk menahan aliran permukaan dan menyerap unsur hara dari subsoil
untuk pendaur-ulangan unsur hara yang lebih efisien. Penanaman tanaman pagar pada guludan
juga dapat berfungsi ganda, antara lain: (1) untuk memperkuat guludan, (2) menyerap
kelebihan air dan unsur hara yang terkumpul di saluran untuk menghasilkan bahan organik,
serta (3) mengurangi volume perakaran tanaman pagar yang dapat menjangkau dan bersaing
dalam pengambilan air dan unsur hara dengan tanaman budidaya.

Sedangkan saluran bermulsa sangat penting untuk menampung dan meresapkan air aliran
permukaan, sekaligus dapat membatasi persaingan air dan unsur hara oleh perkembangan akar
tanaman pagar ke bidang pertanaman budidaya. Saluran juga berfungsi untuk mengumpulkan
sisa tanaman dan hasil pangkasan tanaman pagar. Saluran teras gulud lebih didayagunakan
untuk tempat pengomposan, sekaligus dapat menambah permukaan resapan yang berfungsi
ganda yaitu untuk memperlancar drainase dari bidang pertanaman di bagian hulu/atas dan
untuk mengairi bidang pertanaman di bagian hilir/bawah.

Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal untuk mengisi saluran teras gulud dapat
mempunyai manfaat ganda, antara lain: (1) sebelum mengalami pelapukan sisa tanaman dapat
mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi permukaan resapan dari tumbukan air
hujan dan penyumbatan pori oleh sedimen halus, (2) aktivitas organisme yang membantu
proses pelapukan sisa tanaman bahkan dapat memperbaiki kondisi fisik tanah sekitar saluran
dan meningkatkan daya resap saluran, (3) unsur hara yang dilepaskan selama proses
pengomposan akan diserap oleh tanaman pagar yang kemudian dapat dikembalikan dalam
bentuk sisa tanaman, (4) campuran kompos dan sedimen yang tertampung dalam saluran cukup
gembur sehingga mudah diangkat dari saluran untuk dikembalikan ke bidang pertanaman
setelah panen, dan (5) saluran yang sudah dikosongkan dapat digunakan untuk mengumpulkan
sisa tanaman, sehingga dapat memudahkan persiapan lahan untuk musim tanam berikutnya
(Brata, 1999).

IV. MANFAAT PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDIDAYA LORONG

Tindakan penyempurnaan budidaya lorong yang direncanakan lebih bersifat memaksimalkan


fungsi saluran dan guludan untuk mempermudah pengomposan sisa tanaman, meningkatkan
peresapan air, mengurangi persaingan air dan unsur hara, serta mempermudah pemeliharaan
saluran dan guludan. Beberapa tambahan keuntungan tersebut diharapkan dapat mempermudah
dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sisa tanaman serta upaya konservasi air dan unsur
hara untuk mencegah erosi, banjir dan pencemaran perairan.

Untuk mengevaluasi manfaat penyempurnaan teknik budidaya lorong tersebut diperlukan


penelitian jangka panjang dalam petak permanen untuk mempelajari dan memantau dampak
teknik budidaya lorong yang disempurnakan terhadap besarnya aliran permukaan dan erosi,
pertumbuhan dan produksi tanaman, serta peubah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi;
dibandingkan dengan teknik budidaya lorong konvensional. Untuk menjamin terpeliharanya
petak permanen tersebut maka penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Kebun Percobaan
Fakultas Pertanian IPB di Cikabayan yang telah dilengkapi dengan stasiun pengamatan iklim
yang memadai. Dari lokasi yang strategis di dekat Kampus Institut Pertanian Bogor dan tidak
jauh dari Ibu Kota Negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tambahan yang
sangat penting yaitu menyediakan sarana peragaan bagi pendidikan, pelatihan dan obyek
kunjungan bagi kontak tani dan transmigran teladan.

V. DAFTAR PUSTAKA

Ai Dariah, H. Suganda, E. Suyitno, S.H. Tala’ohu, dan N. Sutrisno. 1995. Rehabilitasi lahan
Alang-alang dengan sistem budidaya lorong di Pakenjeng, Kabupaten Garut. Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan
Agroklimat. pp. 31-41.

Brata, K.R. 1993. Teknik Konservasi Tanah dan Air Tepat Guna Untuk Rehabilitasi Lahan.
Bahan Kuliah Pembekalan KKN Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB. Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian IPB, Bogor.

Brata, K.R. 1995a. Efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada
pertanian lahan kering di Latosol Darmaga. J. Il. Pert. Indon 5(1):13-19.

Brata, K.R. 1995b. Peningkatan efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah
dan air pada pertanian lahan kering dengan pemanfaatan bantuan cacing tanah. J. Il. Pert. Indon
5(2):69-75.

Brata, K.R. 1995c. Teknik mulsa vertikal sebagai salah satu alternatif dalam membantu
penyiapan lahan tanpa bakar di daerah transmigrasi. Makalah disampaikan pada Diskusi Teknis
Staf Direktorat Pendayagunaan Lingkungan, di Dept. Trans. dan PPH, Jakarta.

Brata, K.R. 1999. The utilization of plant residues as vertical mulch to control runoff, erosion,
and nutrient losses from sloping upland agriculture. Proc. Seminar Toward Sustainable
Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century. Bandar Lampung, September 27-28, 1999.
pp. 409-414.

El-Swaify, S.A. 1991. Effective resource conservation on hillslopes. In W.C. Moldenhauer,


N.W. Hudson, T.C. Sheng and S.W. Lee (Eds.). Development of Conservation Farming on
Hillslopes. SWCS. Ankeny. pp.93-100.

Fairbourn, M.L. and H.R. Gardner. 1974. Field use of microwatersheds with vertical mulch.
Agron J. 66:740-744.
Juo, A.S.R., J.O. Caldwell, and B.T. Kang. 1994. Place for alley cropping in sustainable
agriculture in the humid tropics. Trans. 15th World Congr. Soil Sci., Mexico 7a:98-109.

Kingsley, Q.S. and F.E. Shubeck. 1964. The effects of organic trenching on runoff. J. Soil and
Water Conserv. 19:19-22

Nasoetion, A.H. 1988. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa. Bogor.

Parr, J.F. 1959. Effects of vertical mulching and subsoiling on soil physical properties. Agron
J. 51:412-414.

Rachman, A., A. Abdurachman, dan Haryono. 1995. Erosi dan perubahan sifat tanah dalam
sistem pertanaman lorong pada tanah Eutropepts, Ungaran. Prosiding Pertemuan Teknis
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agroklimat. pp. 17-
30.

Rama Mohan Rao, M.S., Ranga Rao, V., Ramachandram, M. and R.C. Agnihotri. 1978. Effects
of vertical mulch on moisture conservation and yield of sorghum in Vertisols. Agric. Water
Management. 1:333-342.

Siswomartono, D. and S. Wirodidjojo. 1990. Overview of soil conservation in Indonesia.


Contour 2.1:13-16.

Spain, J. M. and D. L. McCune. 1956. Something new in subsoiling. Agron. J. 48:192-193.

Suriasumantri, J.S. 1988. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.

Tim Lembaga Penelitian IPB. 1995. Laporan Akhir Kaji Tindak (Action Research) Usaha
Pertanian Lahan Kering Terpadu di Desa Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau,
Propinsi DT I Kalimantan Barat. Lembaga Penelitian IPB, Bogor.

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN


SISTEM ALLEY CROPPING SERTA
PELUANG DA N KENDALA ADOPSINYA
DI LAHAN KERING DAS BAGIAN HULU
Oleh: Umi Haryati, A226014021, Email : umiharyati@yahoo.com

© 2002 Umi Haryati Posted 29 November, 2002, Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702),
Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, November 2002. Dosen: Prof. Dr. Ir.
Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab), Prof. Dr. Zahrial Coto, Dr. Bambang Purwantara

Sumber: http://tumoutou.net/702_05123/umi_haryati.htm

ABSTRAK
Lahan kering merupakan sumber daya alam yang mempunyai peluang besar untuk
dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan lahan kering (terutama yang berlereng terjal) harus
disertai dengan kaidah-kaidah teknik konservasi yang cocok dan sesuai dengan kondisi petani.
Oleh karena itu teknik konservasi yang diintroduksikan haruslah teknik konservasi yang efektif
mengendalikan erosi, murah dan mudah diterapkan serta dapat diterima oleh petani. Salah satu
teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman lorong (Alley cropping). Tulisan ini
mengemukakan tentang keunggulan dan kelemahan Alley cropping serta peluang dan kendala
adopsinya berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang : (1) efektivitas pengendalian erosi, (2)
peningkatan produktivitas tanah dan tanaman, (3) analisis ekonomi, (4) kelemahan, (5)
minimasi pengaruh negatif dan maksimasi pengaruh positif, serta (6) peluang dan kendala
adopsinya. Dengan memperhatikan keunggulan dan kelemahan serta peluang dan kendala
adopsinya maka Alley cropping mempunyai peluang yang strategis untuk dikembangkan di
lahan kering daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu.

Kata kunci : Alley cropping, erosi, produktivitas tanah, kompetisi, ekonomi, adopsi.

PENDAHULUAN

Lahan kering merupakan sumber daya alam yang mempunyai peluang besar untuk
dimanfaatkan secara optimal. Areal lahan kering di Indonesia cukup luas yaitu mencapai 52,5
juta ha yang tersebar di P. Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera (14,8 juta ha), Kalimantan (7,4
juta ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 juta ha) dan Irian Jaya (11,8
juta ha) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1998). Untuk memanfaatkan sumberdaya ini
haruslah berhati-hati karena sebagian besar lahan kering tersebar di daerah aliran sungai (DAS)
bagian hulu yang bentuk wilayahnya berombak sampai berbukit dengan curah hujan yang
tinggi. Hal ini akan memicu terjadinya erosi, sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas
lahan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemanfaatan lahan kering di DAS bagian hulu
tidak akan optimal tanpa penerapan teknik konservasi yang memadai. Selain fisik lingkungan,
keadaan sosial ekonomi petani juga merupakan faktor penyebab terhambatnya pengembangan
/pembangunan pertanian di daerah ini. Pada umumnya petani lahan kering di DAS bagian hulu
adalah petani miskin dengan penguasaan/pemilikan lahan yang sempit dan bermodal rendah.
Oleh karena itu teknologi yang diintroduksikan ke lahan kering DAS bagian hulu haruslah
teknologi yang mampu mengendalikan erosi, mudah dilaksanakan, murah dan dapat diterima
oleh petani. Salah satu teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman lorong atau Alley
cropping.

Alley cropping merupakan salah satu sistem agroforestry yang menanam tanaman semusim
atau tanaman pangan diantara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau
semak (Kang et al., 1984). Tanaman pagar dipangkas secara periodik selama pertanaman untuk
menghindari naungan dan mengurangi kompetisi hara dengan tanaman pangan/semusim.
Leucaena leucocephala yang pertama diuji dalam sistem Alley cropping ini dan menyusul
kemudian Glinsidia sepium.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif mengendalikan erosi.
Di Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak 69%, yang terdiri atas 48%
disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8% disebabkan oleh perubahan profil
tanah dan 4% oleh penanaman secara kontour (O’Sullivan, dalam Hawkins et al., 1990). Di
Indonesia sistem ini sudah diyakini efektif mengendalikan erosi (Sukmana and Suwardjo,
1991) dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman serta dapat diadopsi oleh petani di
lahan kering (Kang et al., 1984 ; Santoso and Dixin, 1997).
Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan tentang keunggulan dan kelemahan Alley cropping
serta peluang dan kendala adopsinya berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang : (1) efektivitas
pengendalian erosi, (2) peningkatan produktivitas tanah dan tanaman, (3) analisis ekonomi, (4)
kelemahan, (5) minimasi pengaruh negatif dan maksimasi pengaruh positif, serta (6) peluang
dan kendala adopsinya.

KEUNGGULAN SISTEM ALLEY CROPPING

Efektivitas Pengendalian Erosi

Beberapa hasil penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa Alley cropping sangat
efektif dalam mengendalikan erosi (Tabel 1).

Efektivitas pengendalian erosi tersebut sangat tergantung kepada jenis tanaman pagar yang
digunakan, jarak antara tanaman pagar dan pada saat awal, kemiringan lahan. Efektivitas
pengendalian erosi dapat mencapai >95% dibanding apabila tidak menggunakan Alley
cropping (Tabel 1).

Alegre dan Rao (1995) menunjukkan bahwa Alley cropping menahan kehilangan tanah 93%
dan air 83% dibandingkan dengan pertanaman tunggal semusin. Efektivitas pengendalian erosi
ini selain karena hal yang telah disebutkan diatas juga karena terbentuknya teras secara alami
dan perlahan-lahan setinggi 25-30 cm pada dasar tanaman pagar. Lebih lanjut Alegre dan Rao
(1995) juga mengemukakan bahwa rendahnya erosi disebabkan oleh hasil pangkasan yang
sukar melapuk yang berfungsi sebagai mulsa, sehingga tanah terlindung dari air hujan dan
pemadatan tanah karena ulah pekerja selama operasi di lapangan. Barisan tanaman pagar
menurunkan kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan pada air untuk
berinfiltrasi. Selanjutnya tanaman pagar menyebabkan air tanah selalu berkurang untuk
kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau sehingga sistem ini menyerap lebih
banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya menurunkan erosi.

Peningkatan Produktivitas Tanah dan Tanaman

Selain efektif mengendalikan erosi, Alley cropping juga ternyata dapat meningkatkan
produktivitas tanah dan tanaman. Hasil penelitian Alegre dan Rao (1996) menunjukkan bahwa
sistem ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu menurunkan BD (bulk density) dan
meningkatkan konduktivitas hidraulik tanah (Tabel 2).

Sumber : Alegre and Rao (1996)

Perbaikan sifat fisik ini disebabkan karena adanya perambahan residu organik dari hasil
pangkasan secara periodik ke tanah. Penelitian lain menunjukkan bahwa sistem Alley cropping
dapat mengingkatkan diameter agregat dan stabilitas agregat. Diameter agregat dan
pengayakan kering meningkat dari 1,33 (kontrol) menjadi 2,68 dan 3,11 mm setelah 3 tahun,
masing-masing pada plot pigeon pea dan Gliricidia (Tabel 3) menjadi 95-90% setelah 3 tahun
Alley cropping dengan Gliricidia lebih baik dari kacang babi (pigeon pea) dalam meningkatkan
stabilitas agregat (Mapa and Gunasena,1995).

Hasil penelitian Agas et al. (1997) tentang sifat-sifat tanah dan air di bawah Alley cropping
pada tanah oxilos miring menunjukkan bahwa pada umumnya sifat-sifat tanah tidak
dipengaruhi oleh jenis legum/taman pagar, tetapi dipengaruhi oleh posisi dalam lorong. Lebih
dekat pada barisan tanaman pagar, mempengaruhi distribusi air. Air tersedia pada kedalaman
10-15 cm adalah 0,16 ; 0,13 dan 0,08 m3 masing-masing pada bagin bawah, tengah dan atas
dari lorong. Transmisivitas air menurun dari 0,49 mm/detik pada bagian bawah menjadi 0,12
mm/detik pada bagian atas dari lorong. Kandungan air tanah dan tekanan air tanah menurun
pada bagian lorong yang dekat pada tanaman pagar. Hal ini akan menyebabkan kompetisi air
antara tanaman pagar dengan tanaman pangan pada lorong.

Selain perbaikan sifat fisik tanah, penelitian-penelitian terdahulu juga memperlihatkan bahwa
Alley cropping dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah (Tabel 4)

Selain peningkatan unsur C,P,K, Ca dan Mg, Alley cropping dengan Inga edulis juga dapat
menurunkan kejenuhan Al dari 78% menjadi 73 % (Alegre and Rao, 1996).

Penelitian (Salazar et al., 1993) menyebutkan bahwa pada semua spesies yang dicoba
(Erythrina, Leucaena dan Inga) terdapat keseimbangan yang positif untuk N, K, Ca, serta
negatif untuk P. Keseimbangan yang positif terjadi pada perlakuan Erythrina dan Leucaena dan
sedikit negatif pada Inga. Keseimbangan N lebih kecil untuk Erythrina dibandingkan spesies
yang lain karena ratio daun : ranting yang rendah dan konsentrasi N yang rendah dari
ranting/batang.

Kesuburan tanah dalam Alley cropping ternyata bervariasi menurut fungsi posisi pada lorong
(diantara tanaman pagar), pada sistem pertanaman. Pada Alley cropping dengan Casia
spectabilis (Garrity et al., 1995 dalam Garrity, 1996), C-organik tanah bervarisi dari 1,7% dekat
barisan tanaman pagar bagian atas lorong sampai 2,8% pada bagian bawah. P-tersedia dua kali
lebih tinggi pada bagian bawah dibandingkan bagian atas, pH tanah tidak berubah tetapi Al-dd
menurun sementara K dan Mg tidak berubah. C-organik meningkat dari 2 menjadi 3%, nitrogen
dari 0,2 manjadi 0,27% pada Oxic Palehumult (Samzussaman’s, 1994 dalam Garrity, 1996
danTurkelboom et al., 1993 dalam Garrity, 1996).

Respon spatial dalam Alley cropping juga terjadi pada aktivitas organisme di dalam tanah yang
ditunjukkan oleh gradient spatial dan temporal dari aktivitas casting cacing tanah (Hauzer et
al., 1998). Aktivitas casting menurun menurut jarak terhadap tanaman pagar yang ditunjukkan
oleh persamaan regresi pada Tabel 5. Aktivitas casting tersebut menurun hingga 0 (nol) pada
jarak 200 cm dari tanaman pagar.
Aktivitas casting pada Alley cropping dengan Leucaena leucocephala pada lorong menurun
sebanyak 12,55, 80 dan 86% masing-masing pada tahun pertama, keempat, keenam dan
ketujuh bila dibandingkan dengan aktivitas casting di bawah tanaman pagar. Penurunan casting
sampai ke bagian tengah lorong tidak linier tetapi mengikuti fungsi logaritmic. Selain menurun
menurut jarak, aktivitas casting juga menurun menurut lamanya waktu. Penurunan tersebut
berbeda pada bagian lorong dan di bawah tanaman pagar, yang dicerminkan oleh persamaan
regresi sebagai berikut :

– di bawah tanaman pagar : Cast = -12,7 (tahun aplikasi) + 184 (R2 = 0,95*)

– di dalam lorong : Cast = -14,5 (tahun aplikasi) + 110 (R2 = 0,80 ns)

Penelitian di Costa Rica memperlihatkan bahwa Alley cropping dengan tanaman utama
kacang-kacangan dapat meningkatkan kehidupan mikrobiota tanah (nodulasi dengan
Rhizobium) pada tahun-tahun kering. Akar tanaman yang dikolonisasi oleh fungi arbuscular
mycorrihiza (AM) sebanyak 95 – 98%. Sistem ini dapat menurunkan bahaya penyakit anthrac
nose yang disebabkan oleh Colletotrichum lindemuthianum dan menurunkan bahaya fusarium
akar. Peningkatan aktivitas mikrobiota ini diperlihatkan dengan adanya peningkatan respirasi
CO2 (Rosemeyer et al., 2000).

Perbaikan produktivitas tanah yang meliputi perbaikan sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan
aktivitas biologi tanah tentu saja akan sangat menunjang pertumbuhan taaman yang pada
akhirnya meningkatkan produksi tanaman pangan/semusim yang ditanam pada lorongnya. Hal
tersebut juga dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hasil
tanaman pangan/semusim yang ditanam dalam Alley cropping hasilnya lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tanpa Alley cropping. Kembali Kang et al. (1984) menunjukkan
peningkatan hasil dari tanaman jagung, kacang tunggak dan ubikayu pada Alley cropping
dengan Glirisidia, Leucaena dan Acioa (Tabel 6).
Peneliti lain (Chamshama et al., 1998) juga menunjukkan bahwa Alley cropping dapat
meningkatkan hasil jagung dari 1,6 menjadi 2,0 ton/ha dengan tanaman Faidherbia dan dari 1,7
menjadi 1,9 ton/ha dengan Leucaena sp di Morogoro, Tanzania.

Tanggap tanaman sepanjang lorong dalam Alley cropping pada tahun-tahun pertama adalah
menyerupai parabola convex, jika tanaman pagarnya dipangkas. Penurunan produktivitas pasa
tanaman yang dekat dengan pagar menunjukkan adany kombinasi kompetisi di bagian atas dan
bawah tanah (Garrity, 1996). Bentuk tanggap yang berbeda (bentuk dome) terjadi pada padi
gogo (Salazar et al., 1993), sementara jagung relatif lebih netral. Pola tanggap ini juga berbeda
sejalan dengan umur tanaman pagarnya.

Interaksi Menguntungkan Antara Tanaman Pagar dan Tanaman Pangan/Semusim

Interaksi yang mungkin terjadi antara tanaman pagar dan tanaman utama (pangan/semusim)
yang bersifat menguntungkan atau positif adalah (Hairiah et al., 2000)

1. Serasah dan hasil pangkasan (daun dan ranting) merupakan lapisan pelindung sumber
bahn organik untuk tanah.
2. Lapisan serasah menurunkan kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah
dan memperbaiki regim kelembaban tanah.
3. Naungan tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma (misalnya Imperata
cylindrica), dan mengurangi resiko kebakaran pada musim kemarau.
4. System perakaran yang dalam memperbaiki siklus unsur hara dengan cara :
a. Nutrient safety net, pengambilan unsur hara yang tercuci ke lapisan sub soil yang
tidak terjangkau oleh akar tanaman pangan/semusim yang dangkal.
b. Nutrient Pump, pengambilan unsur hara yang dilepas dari pelapukan mineral pada
lapisan yang lebih dalam.
5. Tanaman pagar (Leguminosa) dapat mengikat unsur N2 secara biologis dari udara dan
sebagai suplai nitrogen sehingga kebutuhan pupuk N diturunkan.
6. Memberikan iklim mikro yang stabil, dengan penurunan kecepatan angin, peningkatan
kelembaban, memberikan naungan (misalnya Erythrina pada pertanaman coklat atau
kopi).
7. Memberikan keuntungan jangka panjang, misanya menurunkan resiko melalui
perbaikan struktur dan parositas oleh penambahan bahan organik.

KELEMAHAN SISTEM ALLEY CROPPING


Suatu teknologi disamping mempunyai keunggulan juga mempunyai kelemahan. Beberapa
kelemahan sistem Alley cropping diantaranya adalah :

1. Mengurangi luas areal tanam sebanyak ± 20 – 22 % (Alegre and Rao, 1996 ; Laseo et
al., 1996)
2. Adanya penambahan biaya dan tenaga untuk penanaman, pemangkasan, pemulsaan dan
pemeliharaan tanaman pagar. (Celestino, 1985 dalam Lasco et al., 1996 ; Mercado et
al,. 2000 Sanchez, 1995).
3. Efek allelophati (mengeluarkan aksudat yang bersifat racun bagi tanaman) Cuezas and
Samson, 1982 dalam Lasco et al,. 1996; Cagampang et al., 1985 dalam Lasco et al.,
1996)
4. Interaksi yang tidak menguntungkan antara pohon dan tanaman pangan/semusim)
a. Kompetisi cahaya : naungan pohon, menurunkan intensitas cahaya pada level
tanaman pangan/semusim (Mc Intyre et al., 1996 ; Hairiah et al., 2000 ; Garrity, 1996)
b. Kompetisi hara dan air : Sistem perakaran tanaman pagar yang dangkal akan
berkompetisi dengan tanaman pangan semusim dalam hal hara dan air, menurunkan
penyerapan oleh akar tanaman pangan/semusim (Hairiah et al., 2000)
c. Tanaman pagar bisa sebagai inang hama dan penyakit bagi tanaman pangan/semusim
dan sebaliknya (Hairiah et al., 2000)

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa Alley cropping pada tanah masam tidak dapat
memberikan hasil yang memuaskan apabila tidak disertai dengan penambahan pupuk buatan
(Sanchez, 1995) dan jika pupuk buatan diberikan secara lengkap maka pengaruh positif dari
tanaman lorong tidak terlihat (Lal, 1991 dalam Sanchez, 1995).

Persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman pangan untuk mendapatkan cahaya, air dan
zat hara seringkali sangat mengurangi pengaruh positif tanaman pagar (Van Noordwijk et al.,
1998). Persaingan yang ditimbulkan oleh legum yang cepat pertumbuhannya (fast growing
leguminnus tree) seperti lamtoro, kaliandra, Flemingia sp dan Glirisidi lebih tinggi
dibandingkan dengan persaingan yang ditimbulkan tanaman legum lokal (peltophorum
dasyrrhachis) walaupun sebenarnya kontribusi fast growing leguminous tree terhadap
kesuburantanah juga cukup besar.

Penelitian Van Noordwijk et al., 1998 menunjukkan bahwa hanya Peltophorum Dasyrrchachis
dan kaliandra yang memberikan pengaruh interaksi positif terhadap tanaman pangan (Tabel 7).
Peltophorum dasyrrhachis mempunyai kanopi yang rapat, sehingga pengaruh naungannya
sedikit sedangkan legum lainnya pada percobaan on mempunyao hanopi yang menyebar.
ANALISIS EKONOMI DALAM ALLEY CROPPING

Dengan menggunakan model program linier, Verinumbe et al. (1984 dalam Kang et al., 1996)
menunjukkan bahwa jagung dalam Alley cropping dengan Luecaena sangat menarik secara
ekonomi, meskipun lebih banyak tenaga kerja untuk pemangkasan, sedikit pupuk dan herbisida
diperlukan. Selanjutnya Sumberg et al. (1987 dalam Kang et al., 1990) mengemukakan bahwa
tanaman jagung dalam pertanaman lorong lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
tanpa pertanman lorong, tetapi keuntungan tersebut menurun ketika harga benih jagung
meningkat secara relatif terhadap tenaga kerja.

Peneliti lain melaporkan bahwa penambahan tenaga kerja dalam Alley cropping terjadi pada
waktu penanaman tanaman pagar sebanyak 51 HOK/ha, pemangkasan pada waktu musim
hujan 20 HOK/ha dan musim kemarau 10 HOK/ha (Nelson et al., 1997). Net present Value
(NPV) menurun setelah tiga tahun bahkan negatif setelah 9 tahun pada usaha tani tanpa
pertanaman lorong sedangkan pada Alley cropping tetap bernilai positif sampai 25 tahun.

Analisi ekonomi yang dilakukan oleh Tonye dan Titi – Nwel (1995) menunjukkan bahwa
dalam Alley cropping terjadi peningkatan kebutuhan tenaga kerja pada tahun pertama yaitu
sebesar 14 HOK/ha untuk penanaman tanaman pagar dan 22 – 26 HOK/ha untuk pemangkasan
tanaman pagar serta pemulsaan pada tahun kedua dan ketiga. Analisis dominansi
memperlihatkan bahwa pertanaman jagung + kacang tanah dalam Alley cropping dengan
Leucaena leucocephala memberikan nilai pengembalian marjinal (marginal rate of return) yang
lebih tinggi. Hasil analisi dominansi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut
terlihat bahwa pada ke-4 sistem yang dicoba mempunyai nilai B/C ratio > 1, maka dengan
analisis dominansi terseleksi bahwa Alley cropping tanpa pupuk memberikan nilai
pengembalian marjinal tertinggi yaitu 447 %.
Sementara itu Akyeampong dan Hitimana (1996) di Mashitsi, Burundi, menunjukkan bahwa
penggunaan eksternal input (pupuk) dengan ataupun tanpa pertanaman lorong tidak terbukti
menguntungkan selama 5 tahun. Ini mungkin karena tanaman utama tidak memberikan respon
terhadap N yang disebabkan oleh defisiensi unsur hara yang lain yaitu P dan input pupuk P
yang rendah. Keuntungan bersih menjadi negatif jika harga tanaman utama (jagung) meningkat
50% biaya pembibitan menurun 50% atau resiko diturunkan 10%. Nilai pengembalian yang
negatif terutama terjadi pada 3 tahun pertama. Ini sejalan dengan evaluasi terhadap 50 petani
di bagian barat Kenya dimana Alley cropping tidak menguntungkan pada 80% responden.

Tenaga kerja ekstra yang diperlukan dalam Alley cropping di Lombok berkisar 250 – 310
HOK/ha (tergantung apakah satu atau dua kali tanam) dibandingkan 160 HOK/ha untuk padi
sawah dan 180-240 HOK/ha untuk lahan kering tradisional (Wiersum, 1994).

MINIMASI PENGARUH NEGATIF DAN MAKSIMASI PENGARUH POSITIF


DALAM SISTEM ALLEY CROPPING

Kunci untuk suksesnya penerapan Alley cropping sangat tergantung pada bagaimana
meminimalkan pengaruh tidak menguntungkan dan memaksimalkan pengaruh
menguntungkan pada taraf input tenaga kerja yang memungkinkan (Hairiah et al.,2000).

Pengaruh tidak menguntungkan atau pengaruh negatif tersebut dapat dilakukan dengan cara :

 Pemangkasan secara periodik selama fase pertumbuhan tanaman utama untuk


mengurangi pengaruh naungan.
 Memilih tanaman yang mempunyai kanopi lebih sempit tetapi rapat untuk mengurangi
kompetisi cahaya.
 Melebarkan jarak tanaman pagar, untuk mengurangi kompetisi di bagian atas tanah juga
lapisan bawah tanah.
 Memilih tanaman utama (pangan/semusim) yang toleran terhadap naungan seperti
cocoyam, jahe dan lain-lain.
 Memilih jenis tanaman pagar yang mempunyai perakaran yang dalam untuk
menghilangkan kompetisi dengan tanaman utama tetapi cukup dekat untuk
mengendalikan gulma dan untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari suplai
bahan organik.
Pengaruh menguntungkan dapat dimaksimalkan dengan cara memilih tanaman pohon yang
sesuai untuk ditumpangsarikan dengan tanaman semusim berdasarkan :

 Bentuk dan distribusi kanopi. Pohon yang tinggi dengan kanopi yang sempit tapi padat
tidak akan memberikan terlalu banyak naungan terhadap tanaman utama selama musim
tanam. Sebaliknya, pohon dengan kanopi yang lebar dan setengah terbuka akan
memungkinkan cahaya menjangkau tanaman utama, tetapi tidak sesuai dalam
mengendalikan gulma setelah atau diantara periode pertanaman.
 Kualitas dan kuantitaas penyediaan bahan organik. Untuk memaksimalkan pengaruh
positif, pohon dengan selah yang lambat didekomposisi dikombinasikan dengan pohon
yang mempunyai resiau bahan organik yang cepat terdekomposisi serasah dengan
kualitas yang rendah dan lambat didekomposisi sesuai untuk mulsa, melindungi
permukaan tanah dari erosi. Sebaliknya, serasah dengan kualitas yang tinggi dan cepat
didekomposisi mudah tercuci. Kualitas serasah yang tinggi berpotensi sebagai penyedia
unsur hara bagi tanaman. Kombinasi dari serasah yang berkualitas rendah dan tinggi
akan meningkatkan sinkronisasi dari pelepasan hara dari resiau organik dengan
kebutuhan tanaman.
 Kemampuan pertumbuhan. Pohon yang cocok untuk tumpangsari harus tumbuh lebih
lambat pada tahap awal dari fase pertanaman, tetapi bertahan pada waktu musim
kemarau.
 Kedalaman perakaran dan distribusinya. Perbandingan perakaran yang dalam dan
mempunyai sistem distribusi perakaran akan menurunkan pencucian hara.
 Tahan terhadap pemangkasan dan periodik. Pemangkasan sangat penting untuk
menghilangkan naungan yang berlebihan. Mungkin ada pohon yang tidak tahan
terhadap pemangkasan yang berulang.
 Tahan terhadap hama dan penyakit
 Mempunyai kemampuan biologi untuk memfiksasi N2 – Udara

PELUANG DAN KENDALA ADOPSI ALLEY CROPPING DI LAHAN KERING

Petani lahan kering pada umumnya bermodal rendah dengan tenaga kerja yang langka, maka
Alley cropping merupakan alternatif yang baik dibandingkan dengan teras bangku. Selain itu
sistem ini merupakan pilihan yang cocok baik dimana teknik konservasi yang lain, misalnya
teras bangku, tidak cocok diterapkan pada daerah tersebut karena, solum tanah yang dangkal
(<50 cm), labil (karena mengandung liat 2:1) dan mempunyai kemiringan >45%.

Pada lahan yang sudah terlanjur dibuat teras bangku, biasanya tanpa tanaman penguat teras,
memerlukan tanaman penguat teras berupa rumput dan leguminosa pohon untuk lebih
mengefektifkan dari teras bangku tersebut. Ini juga merupakan peluang pengembangan
leguminosa yang biasa ditanam dalam Alley cropping. Selanjutnya jenis tanaman yang
dikembangkan maupun tempat dan cara bertanam disesuaikan dengan keinginan petani
setempat.

Masalah yang kerap kali dihadapi petani di lahan kering yaitu kelangkaan hijauan pohon setiap
musim kemarau dapat menjadi pendorong kuat motivasi petani untuk menerapkan Alley
cropping. Oleh karena itu untuk lebih mendayagunakan sistem ini hubungannya dengan
kebutuhan petani, maka Alley cropping perlu dimodifikasi yaitu dengan mengkombinasikan
rumput pakan ternak pada barisan pagarnya atau ditanam secara berselang-seling antar barisan.
Selain sumber makanan ternak dan atau sumber bahan organik , introduksi tanaman leguminosa
pohon pada Alley cropping memberi kesempatan kepada petani dalam pemenuhan kebutuhan
kayu bakar. Untuk itu pemilihan jenis leguminosa yang akan diintroduksikan selain dipilih
tanaman yang sesuai dengan agroekosistem setempat, mempunyai pengaruh negatif yang
rendah, juga harus sesuai dengan tujuan utama (prioritas masalah) yang akan dipecahkan,
misalnya :

 Jika erosi menjadi masalah utama (dibandingkan pakan ternak), maka Flemingia
congesta menjadi pilihan utama dalam Alley cropping;
 Jika pakan ternak menjadi masalah utama, maka Gliricidia sepium dan atau Calliandra
calothyrsus menjadi pilihan atau dikombinasikan dengan Flemingia congesta.
 Jika tanah alkalin kuat, atau solum tanah <50 cm di atas batu kapur, maka Gliricidia
sepium yang dipilih; dan
 Jika ketinggian tempat >500 m dpl, maka Calliandra calothyrsus menjadi pilihan utama
sebagai alternatif Gliricidia sepium atau Flemingia congesta.

Dengan demikian sebaiknya diintroduksikan beberapa jenis legum dalam Alley cropping,
karena petani ingin memiliki lebih dari satu jenis legum setelah tahu bahwa masing-masing
jenis legum mempunyai kekurangan dan kelebihan yang berbeda.

Dengan memperhatikan kendala adopsi, maka Alley cropping potensial untuk dikembangkan
pada daerah dimana praktek perladangan berpindah masih sangat dominan untuk mendorong
petani melakukan usaha pertanian menetap serta di lahan kering DAS bagian hulu.

Shancez (1995) mengemukakan bahwa Alley cropping baik diterapkan pada kondisi dimana :
(1) tanah cukup subur tanpa keterbatasan unsur hara makro; (2) curah hujan cukup selama masa
pertanaman; (3) lahan sangat miring dan erosi tinggi; (4) tenaga kerja banyak tersedia dan
lahannya luas; dan (5) status pemilikan tanah yang aman.

Penelitian di Indonesia bagian timur (Lombok dan Sumbawa) yang dikemukakan oleh
Wiersum (1994) menunjukkan bahwa proses adopsi Alley cropping cukup heterogen dan
sangat tergantung pada status sosial petani (kaya, miskin), pemilikan sawah, luas penguasaan
lahan dan status pemilikan lahan. Petani yang lebih sejahtera akan cenderung mengadopsi
karena untuk penerapan sistem dibutuhkan tenaga kerja tambahan yang cukup banyak.
Pemilikan sawah menjadi alasan diadopsinya sistem ini karena pemilik sawah akan lebih
memilih menanam tanaman tahunan/buah-buahan di lahan kering yang sifatnya cepat
menghasilkan (pererial cash crop) dari pada tanaman semusim/pangan. Hal ini dapat
dimengerti karena petani tersebut telah memiliki rasa keamanan pangan (food security)
sehingga lebih baik menginvestasikan modalnya untuk menanam tanaman tahunan dari pada
tanaman pangan di lahan keringnya. Tanaman pagar tidak untuk sebagai sumber pupuk hijau
melainkan lebih berfungsi sebagai pembibitan dan tanaman pelindung (naungan) untuk
tanaman tahunannya seperti untuk kopi.

Status pemilikan lahan yang tidak jelas di Indonesia bagian timur justru mendorong petani
untuk mengadopsi Alley cropping. Peraturan di Indonesia menyebutkan bahwa jika petani
terbukti dapat mengelola lahan tersebut selama tiga tahun maka petani mendapatkan izin/hak
secara legal dari pemerintah. Di samping itu menjadi ketua kelompok tani merupakan
peningkatan status sosial di masyarakat. Adanya insentif seperti subsidi ternak juga mendorong
petani menerapkan sistem ini.
Pada daerah dimana praktek perladangan berpindah masih dominan, kendala adopsi Alley
cropping menurut Garrity (1996) dan Mercado et al. (1997) meliputi tenaga kerja yang intensif,
untuk implementasi, pemangkasan secara periodik dan pemeliharaan tanaman pagar, nilai
tambah yang terbatas terhadap pendapatan usaha tni dan masalah keberlanjutan kesuburan
tanah yang tidak diantisipasi.

Dengan direkomendasikannya Alley cropping secara luas, maka pemahaman tentang sistem ini
harus ditingkatkan terutama mengenai dimana, kapan dan bagaimana sistem ini menjelma
menjadi teknologi yang superior untuk pertanian lahan kering dan yang tidak kalah pentingnya
juga pemahaman tentang tiga cara dasar mengatasi efek negatif (scuoring effect) yaitu :
menghilangkan, mengurangi atau merubah suatu sisetm pertanaman/pertanian agar sesuai
dengan sistem tersebut (Garrity, 1996).

Secara sosial ekonomi, Alley cropping mempunyai beberapa tantangan untuk dikembangkan
di lahan kering diantaranya : memperbaiki pandangan petani yang teras bangku minded,
persepsi negatif petani (trauma) terhadap pengembangan tanaman lamtoro, teknologi ini
menghendaki biaya sosial tinggi untuk daerah marjinal kritis, prioritas petani masih
berorientasi pada keamanan pangan (food security), kerawanan keamanan tanaman pagar dari
masyarakat itu sendiri, dan teknologi ini mengkonsumsi kesadaran, kesabaran, dan
pengorbanan petani yang tidak ringan.

Selain hal tersebut, adanya persepsi petani, dengan penerapan budidaya lorong mengurangi
areal produksi yang dimiliki, sedangkan rata-rata pemilikan lahan usaha tani sangat sempit.
Penyediaan benih tanaman pagar/leguminosa dalam jumlah besar juga menjadi kendala apabila
sistem ini akan diterapkan pada skala luas. Kunci suksesnya implementasi teknologi konservasi
tanah adalah kemampuan yang bervariasi dari institusi/lembaga terkait, khususnya penyuluh,
dalam mensinkronkan pilihan teknologi dengan kondisi biofisik setempat dengan
mempergunakan perangkat lunak sistem pengambilan keputusan , dan dengan kondisi sosial
ekonomi, latar belakang budaya petani serta preferensi petani dengan menggunakan
pendekatan partisipatif (participatory rulal appraisal). Melibatkan petani sejak awal
perencanaan, pengambilan keputusan sampai penerapan/implementasi suatu treknologi
menyebabkan petani sebagai pelaku lebih merasa memiliki dan merasa dihargai dari pada
bertindak hanya sebagai pelaksana saja. Oleh karena itu pendekatan bottom-up akan lebih
menunjang suksesnya suatu adopsi teknologi dari pada top-down. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka memberikan konsekuensi bahwa penentu kebijakan, peneliti penyuluh dan
petani harus duduk bersama dalam merencanakan implementasi suatu teknologi baru. Peranan
penyuluh dalam proses adopsi tidak kalah pentingnya dalam memotivasi petani.

Peranan penyuluhan dalam penyebaran informasi pada proses adopsi sangat penting. Salah satu
alat bantu dalam penyebaran informasi ini adalah multimedia baik cetak meupun elektronik.
Media elektronik seperti radio dan atau televisi akan lebih efektif dalam merubah perilaku
petani, hal ini analog dengan peranan iklan (terutama di TV) dalam merubah selera konsumen.
Jadi apabila suatu teknologi yang akan diintroduksikan akan lebih efektif dalam hal adopsinya
apabila sebelumnya diiklankan dulu melalui media TV.

Peranan penyuluh tidak kalah pentingnya dalam memberikan bimbingan dan memotivisai
petani dalam mengadopsi teknologi. Selain itu peranan pemerintah dalam memberikan subsidi,
misalnya dalam penyediaan benih atau bibit tanaman pagar, ternak sebagai insentif yang dapat
diberikan sebagai dana bergulir (revolving fund) dan juga legalissi pemilikan lahan.
KESIMPULAN

1. Alley cropping sangat efektif mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia
tanah, aktivitas biologi tanah serta dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi
tanaman pangan.
2. Selain mempunyai pengaruh positif (keuntungan), Alley cropping juga mempunyai
pengaruh negatif melalui kombinasi kompetisi di bagian atas (naungan) dan bawah
tanah (air dan hara) yang dapat diatasi dengan cara menghilangkan, mengurangi atau
menyesuaikan sistem pertanaman (cropping system) dengan Alley cropping.
3. Alley cropping dapat diterapkan dengan mengoptimalkan interaksi antara tanaman
pagar dan tanaman pangan/semusim dengan cara meminimalkan pengaruh negatif dan
memaksimalkan pengaruh positif.
4. Alley cropping mempunyai peluang yang cukup strategis untuk dikembangkan pada
sistem usaha tani di lahan kering melalui penyuluhan yang cukup intensif untuk
pemahaman dan sosialisasi sistem ini.
5. Agar lebih berdaya guna bagi petani, Alley cropping dapat dilakukan dengan
mengkombinasikan leguminosa pohon dan rumput pakan ternak.
6. Kendala adopsi Alley cropping adalah kebutuhan tenaga kerja yang tinggi pada saat
penanaman dan pemeliharaan tanaman pagar, keterbatasan nilai tambah terhadap
pendapatan usaha tani, masalah kesuburan tanah akibat kompetisi dengan tanaman
pagar yang tidak diantisipasi, lebar lorong yang tidak teratur, pagar yang terlalu
rapat/padat pada lereng yang sedang sampai curam, adaptasi yang jelek dari berbagai
spesies, kurangnya bahan tanaman dan kepemilikan tanah yang tidak aman.
7. Penelitian tentang kendala adopsi pada berbagai agroekologi di Indonesia masih perlu
dilakukan.
8. Melibatkan petani sejak awal perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring dan
evaluasi melalui participatory appraisal merupakan salah satu kunci suksesnya
implementasi sistem Alley cropping di lahan kering DAS bagian hulu.

DAFTAR PUSTAKA

Alegre, J.C., M.R. Rao. 1996. Soil and water conservation by countour ledging in the humid
tropics of Peru. Agriculture, Acosystem and Environment 57 : 17-25. Elsevier Science. BV.

Akyeampong, E. and L.Hitimana. 1996. Agronomic and economic appraisal of alley cropping
with Leucaena diversifolia on an acid soil in the highlands of Burundi. Agroforestry System
33 : 1 – 11. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Agus. F., D.K. Cassel, and D.P. Garrity. 1997. Soil water and soil physical properties under

countour hedgerow system on stoping oxisols. Soil and Tillage Research 40 : 185 – 199.
International Soil Tillage Research Organization (ISRO).

Comia, R.A., E.P. Paningbatan, and I. Hakansson. 1994. Erosion and crop yield response
to soil conditions under alley cropping system in the Philippines. Soil & Tillage Research 31
: 249 – 261. International Soil Tillage Research Organization (ISRO).

Chamshama, S.A.O., A.G. Mugasha, A.Klovstad, O. Haveraaen and S.M.S. Maliondo. 1998.
Growth and Yield of Maize Alley Cropped with Leucaena Leucocephala and Faidherbia Albida
in Morogoro, Tanzania. Agroforestry System 40 : 215-225. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands.

Garrity, D.P. 1996 Tree-Soil-Crop Interactions on Slopes. In Ong and Huxley (Eds) Tree-Crop
Interactions. A Physiological Approach. P: 299 – 318. (AB. International and ICRAF).

Hawkins, R., H. Sembiring, D. Lubis, and Suwardjo. 1990. The Potensial of Alley cropping in
the Uplands of East and Central Java. A Review. Agency for Agricultural Research and
Development. Department of Agriculture.

Hauzar, S., D.O. Asawalam and B. Vanlauwe. 1998. Spatial and temporal gradients of earth
worm casting vetivity in alley cropping system. Agroforestry System 41 : 127 – 137. Kluwer
Academic Publishers. Netherlands.

Hairiah, K., S.R. Utami, D. Suprayogo, Widianto, SM. Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana,. R.
Mulia, M. Van Noordwijk and G. Cadisch. 2000. Agroforestry on Acid Soils in the Humid
Tropics : Managing tree-soil-crop interactions. International Center for Research in
Agroforestry (ICRAF).

Kang, B.T. , G.F. Wilson, and T.L. Lawson. 1984. Alley Cropping a Stable Alternative to
Shifting Cultivation. International Institute of Tropical Agriculture (IITA). Ibadan, Nigeria.

Kang, B.T., L. Reynolds, and A.N. Atta-Krah. 1990. Alley Farming. Advances in Agronomy
Vol 43 : 315 – 359.

Lasco, R.D., M. Okazaki and R.P. Furoc. 1996. Alley copping system in the Philippines. In

Anase et al., (eds). Rehabilitation and Development of Upland and Highland Ecosystem. Tokyo
University of Agriculture Press, Japan.

Mc-Intyre, B.D., SJ. Riha, C.K. Ong. 1996. Light Interception and Evapotranspiration in
Hedgerow Agroforestry System. Agricultural and Forest Meteorology 81 (1996) : 31 – 40.
Elsevier Science. BV.

Mapa, R.B. and H.P.M. Gunasena. 1995. Effect of alley cropping on soil agregate stability of
a tropical alfisol. Agroforestry System 32 : 237 –245. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands.

Mercado, A., M. Stark, and Garrity 1997. Enchancing Sloping Land Management Technologi
Adoption and Dissemination. In Sajjapongse (Ed.). Farmers’ Adoption of Soil-Conservation
Technologies. Proceedings of the 9th Annual Meeting of ASIALAND Management of Sloping
Land Network. Bogor, Indonesia. 15 – 21 September 1997. IBSRAM Proceedings 17 : 25 –
45.

Mercado Jr, A.R., M. Patindol, D.P. Garrity. 2000. The Lancare Experience in the Philippines
: Technical and Stitutional Innovations. For Conservation Farming. Paper presented during the
International Landcare Conference Held at Melbourne, Australia, 2 – 5 March 2000.

Nelson, R.A., P.G. Grist, K.M. Menz, R.A. Cramb, E.P. Paningbatan and M.A. Mamicpic.
1997. A Cost-benefit analysis of hedgerow intercropping in the Philippines uplands using the
SCUAF model. Agroforestry System 35 : 203 – 220. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1998. Statistik Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.

Rosemeyer, M., N. Viaene, H. Swartz, J. Kattler. 2000. The effect of slash/mulch and alley
cropping bean production systems on soil microbiota in the tropics. Applied Soil Ecology 15
(2000) : 49 – 59. Elsevier Science. BV.

Sukmana, S., and H. Suwardjo. 1991. Prospect of Vegetative Soil Conservation Method for
Sustainable Upland Agriculture. IARD Journal . 13 : 1 – 7.

Salazar, A., L.T. Szott and C.A. Palm. 1993. Crop – tree – interactions in alley cropping system
on alluvial soils of the upper Amazon Basin. Agroforestry System 22 : 67 – 82. Kluwer
Academic Publishers. Netherlands.

Sanchez, P.A. 1995. Science in Agroforestry. Agroforestry System 30 : 5 – 55. Kluwer


Academic Publishers. Netherlands.

Santoso, D. and Yin Dixin. 1997. The impotance of strong linkage coordination for widespread
adoption of sloping lands management (SLM) technologies. IBSRAM Proceedings 17 : 107 –
120.

Tonye, J., P. Titi-Nwel. 1995. Agronomic and Economic Evaluation of Method of Establishing
Alley Cropping under a Maize / Groundnut Intercrop System. Agriculture, Ecosystems and
Environment 56 (1995) : 29 – 36. Elsevier Science B.V.

Van Noordwijk, M., K. Hairiah, B. Lusiana and G. Cadish. 1998. Tree-soil crop interactions in
sequential and simultaneous agroforestry system. P. 173 – 190 ln L. Bergstrom and H.
Kirchmann (eds). Carbon and Nutrient Dynamich in Natural and Agricultural Tropical
Ecosystems. CAB International Wallingford, UK.

Wiersum, K.F. 1994. Farmer adoption of hedgerow intercropping, a case study from east
Indonesia. Agroforestry System 27 : 163 – 182. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai