Skripsi Diare Dan Asi 6 UI PDF
Skripsi Diare Dan Asi 6 UI PDF
SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi
Riwayat Pendidikan :
1. TK Taman Siswa Bekasi 1995-1996
2. SDN Bumi Bekasi Baru VI, Bekasi 1996-1999
3. SDN Kalibata 07 Pagi, Jakarta 1999-2002
4. SMP Negeri 182 Jakarta 2002-2005
5. SMA Negeri 38 Jakarta 2005-2008
6. FKM UI Program Studi Gizi 2008-2012
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Status
Gizi, ASI Eksklusif, dan Faktor Lain Terhadap Frekuensi Diare pada Anak 10-23
Bulan di Puskesmas Tugu, Depok Tahun 2012” dengan baik. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Gizi, Program Studi Gizi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Sripsi ini dibuat berkat bantuan dari berbagai pihak mulai dari proses
persiapan, pengambilan data, sampai penyusunan laporan ini selesai. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. drg. Sandra Fikawati, MPH selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi
yang telah banyak membantu, membimbing, mengarahkan, dan memberikan
masukan dalam penulisan skripsi ini.
2. Prof. Dr. dr. Kusharisupeni, MSc selaku penguji yang bersedia meluangkan
waktunya untuk menjadi penguji dalam sidang skripsi penulis serta
memberikan masukan yang konstruktif untuk penelitian ini.
3. dr. Dewi Damayanti selaku penguji yang bersedia meluangkan waktunya
untuk menjadi penguji dalam sidang skripsi penulis serta memberikan
masukan yang konstruktif untuk penelitian ini.
4. drg. Trisakti Budi Setyorini selaku Kepala Puskesmas Tugu yang telah
membuka kesempatan untuk penulis agar dapat melakukan penelitian di
Puskesmas Tugu dan telah banyak membantu dalam pengumpulan data awal
juga proses penelitian.
5. dr. Ika, Ibu Siti, Mba Nisa, Ibu Yun, dan seluruh petugas Puskesmas Tugu
lainnya yang membantu penulis dalam pengumpulan data.
6. Pihak FKM UI, Dinas Kesehatan Depok, Kesbangpol Linmas Depok yang
telah banyak membantu proses izin penelitian.
7. Seluruh dosen, asisten dosen, dan segenap staf Departemen Gizi Kesehatan
Masyarakat FKM UI yang selama 4 tahun ini telah mengajar, membimbing,
vi
Penulis
vii
Kata Kunci : Frekuensi diare, diare, status gizi, dan ASI eksklusif
ix Universitas Indonesia
The objective of this study was to identify factors which associated with
with diarrhea frequency among children 10-23 months. The method used in this
study is cross sectional design which was conducted with 95 respondents which
took with pusposive sampling at Tugu Community Health Center, Depok in
March 20th until April 27th 2012. Data were collected through interview referring
to the questionnaire, house observation, and measurement of nutritional status
(weight and length). The result of this study showed that 35,8% people were
experience diarrhea more than once in the last 4 months (more than the frequency
of world median). There were significant association between children factors
(baby birth weight (OR=4,0), nutritional status W/A average in last 4 months
(OR=5,8), current nutritional status of W/A (OR=8,3), nutritional status H/A
average in last 4 months (OR=16,8), current nutritional status of H/A (OR=14,8),
and exclusive breastfeeding (OR=5,2)), maternal factors (maternal behavior
(OR=4,3)), family factors (economics status of the family (OR=4,3) and number
of under five in the family (OR=8,3)), and environmental status (source of clean
water (OR=6,4), condition of latrines (OR=4,6), waste disposal facilities
(OR=6,2), household waste treatment (OR=5,5), and the density of habitation
(OR=3,7)) with diarrhea frequency. The author suggest to Tugu Community
Health Center to conduct health promotion and education through education and
counseling program for decreasing the incidence of diarrhea in children 10-23
months.
x Universitas Indonesia
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN.................................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................... viii
ABSTRAK .......................................................................................................... ix
ABSTRACT ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii
DAFTAR RUMUS ............................................................................................xviii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix
xi Universitas Indonesia
xv Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
underweight yang terjadi pada periode waktu yang singkat yaitu sebelum lahir hingga
kurang lebih umur 2 tahun (Kusharisupeni, 2002).
Prevalensi diare di Indonesia adalah 9% (rentang 4,2% - 18,9%), tertinggi di
Provinsi NAD dan terendah di DI Yogyakarta. Prevalensi diare paling tinggi terjadi
pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 16,7% dan kelompok umur kurang dari 1
tahun sebesar 16,5% (Depkes, 2007b). Median insiden diare secara keseluruhan pada
anak di bawah 5 tahun adalah 3,2 episode per tahun (Parashar et al., 2003 dalam
Agtini, 2011).
Angka kesakitan akibat diare cenderung meningkat setiap tahun, survei
morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia dari tahun 2000 sampai 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada
tahun 2000 kejadian penyakit diare 301 per 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi
374 per 1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 per 1000 penduduk dan tahun
2010 menjadi 411 per 1000 penduduk. Untuk angka kesakitan diare balita tidak
menunjukkan pola kenaikan maupun pola penurunan (berfluktuasi). Pada tahun 2010,
proporsi terbesar penderita diare dari semua kelompok umur adalah kelompok umur
6-11 bulan yaitu sebesar 21,65%.
Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare dalam waktu
dua minggu sebelum survey (Depkes, 2008a), 3% lebih tinggi dari temuan SDKI
2002-2003 yaitu sebesar 11% (Depkes, 2003). Prevalensi diare tertinggi adalah pada
anak umur 12-23 bulan (20,7%), diikuti umur 6-11 bulan (17,6%), dan umur 23-45
bulan (15,3%). Dengan demikian, diare banyak diderita oleh kelompok umur 6-35
bulan karena anak mulai aktif bermain dan berisiko terkena infeksi (Depkes, 2008).
Penyebab penyakit diare tidak berdiri sendiri akan tetapi saling terkait dan
sangat kompleks (Suherna et al., 2005). Berat lahir merupakan faktor resiko kejadian
sakit termasuk diare. Sebuah penelitian menunjukkan trend peningkatan frekuensi
penyakit infeksi diare dan ISPA yang lebih besar pada bayi dengan berat badan lahir
rendah daripada berat badan lahir normal (Salehah, 2002). Penelitian yang dilakukan
Siti Fadilah (2009) yang melakukan analisis terhadap data Riskesdas 2007
menunjukkan balita dengan berat lahir rendah memiliki resiko diare 1,061 kali lebih
Universitas Indonesia
besar daripada balita dengan berat lahir normal. Penelitian lain yang meneliti
hubungan berat lahir dan diare masih kurang dalam sepuluh tahun terakhir di
Indonesia.
Status gizi bayi memiliki peranan dalam kejadian sakit. Sebuah penelitian
yang dilaksanakan di Peruvian menunjukkan adanya hubungan antara status gizi
dengan kejadian diare pada bayi. Dalam penelitian ini menunjukkan frekuensi diare
meningkat setiap penurunan 15% z score berdasarkan TB/U (Checkley et al., 2001).
Keadaan malnutrition pada bayi berhubungan dengan tingkat keparahan diare (Black
et al., 1984 dalam Brown, 2003). Penelitian terbaru yang dilaksanakan di Klaten
menunjukkan hasil yang sama yaitu status gizi memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian diare dimana status gizi yang tidak baik akan rentan terhadap
kejadian diare (Hamisah, 2011).
Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian diare adalah pemberian ASI
eksklusif pada bayi. Penelitian yang dilakukan di daerah kumuh Kota Dhaka,
Bangladesh menunjukkan bayi yang tidak ASI eksklusif (ASI parsial dan tidak ASI)
berhubungan dengan 2,23 kali resiko bayi meninggal karna semua kasus, 2,40 kali
resiko meninggal karena ISPA, dan 3,94 kali resiko meninggal karena diare (Arifeen
et al., 2001). Penelitian lainnya di Bangladesh menunjukkan prevalensi kejadian diare
berhubungan signifikan dengan tidak diberikan ASI eksklusif (Mihrshahi et al.,
2003). Sebuah penelitian di Qatar menunjukkan resiko diare lebih tinggi dan secara
signifikan berhubungan dengan bayi yang diberikan ASI parsial dan tidak diberikan
ASI (Ethlayel, 2009).
Sebuah penelitian di Indonesia menunjukkan semakin lama bayi yang diberi
ASI secara eksklusif semakin kecil kemungkinan bayi untuk terkena kejadian diare,
dikarenakan ASI mengandung zat antibodi yang bisa meningkatkan sistem
pertahanan tubuh anak (Kamalia, 2005). Penelitian lain menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian
diare pada bayi yaitu tingkat diare yang lebih rendah pada bayi yang diberikan ASI
eksklusif dibandingkan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif (Wijayanti, 2010).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
serupa yang dilakukan Dewi (2011) menunjukkan resiko balita terkena diare lebih
besar 6,44 kali pada keluarga dengan jumlah balita lebih dari satu.
Faktor lingkungan juga memiliki peranan penting dalam kejadian penyakit
infeksi. Variabel sumber air bersih, kondisi jamban, dan kepadatan hunian secara
statistik berhubungan dengan kejadian diare pada penelitian yang dilakukan di
Palembang (Fitriyani, 2005). Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan
Dewi (2011), melalui penelitian yang dilakukan dihasilkan faktor lingkungan yang
berhubungan signifikan dengan kejadian diare adalah sumber air bersih, kondisi
jamban keluarga, pengolahan sampah rumah tangga, dan sarana pembuangan air
limbah. Faktor kepadatan huni juga merupakan faktor resiko diare yang ditunjukkan
oleh penelitian Irianto (2000), penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara kepadatan huni dengan kejadian diare pada balita
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Depok tahun 2009, Kota Depok
memiliki angka kejadian diare pada bayi dan balita yang lebih tinggi (22,4%)
daripada angka nasional (16,5%) pada tahun 2008 (Dinas Kesehatan Kota Depok,
2009). Wilayah kerja Puskesmas Tugu merupakan Puskesmas yang memiliki jumlah
penduduk terbanyak, hanya memiliki satu kelurahan, dan memiliki prevalensi kasus
diare tertinggi di tahun 2008. Pada tahun 2011, prevalensi diare pada bayi di wilayah
ini sebesar 29,7% dan pada anak 1-4 tahun sebesar 21,4%. Tingginya kasus diare ini
membuat peneliti perlu melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan.
Universitas Indonesia
kelompok usia 1-4 tahun, prevalensi diare juga lebih tinggi dari angka nasional yaitu
21,4%. Selain itu, diare juga merupakan penyakit terbanyak yang diderita pada bayi
di Puskesmas Tugu tahun 2011 sebesar 723 kasus.
Berdasarkan besarnya dampak dan masalah prevalensi diare yang tinggi,
maka peneliti perlu melakukan penelitian mengenai hubungan antara faktor anak
(berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, dan imunisasi campak), faktor ibu (perilaku
ibu), faktor keluarga (status ekonomi keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), dan
faktor lingkungan (sumber air bersih, kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah,
pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni) terhadap frekuensi diare pada
anak usia 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kesehatan mengenai kebutuhan gizi pra konsepsi, kebutuhan gizi bayi, dan perilaku
hidup bersih sehat (PHBS).
Universitas Indonesia
2.1 Diare
2.1.1 Definisi Diare
Diare berasal dari bahasa Yunani yaitu diarroi yang berarti mengalir terus.
Terdapat beberapa definisi mengenai pengertian diare. Hipocrates mendefinisikan
diare sebagai buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan
konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair.
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang
lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih
dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai
dengan muntah atau tinja yang berdarah yang merupakan gejala infeksi
gastrointestinal. Diare disebabkan oleh berbagai organisme bakteri, virus dan
parasit yang menyebar melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau
dari orang ke orang sebagai akibat dari kebersihan yang buruk.
Menurut Depkes RI (2007a) diare adalah buang air besar lembek/cair
bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan
berlangsung kurang dari 14 hari. Diare yang berlangsung antara satu sampai dua
minggu dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002). Diare paling
sering terjadi pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa
mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang, 2004). Pada bayi, volume tinja
lebih dari 15 g/kg/24 jam disebut diare (Behrman et al., 1996). Penyebab tersering
diare adalah infeksi virus atau bakteri di usus halus distal atau usus besar (Corwin,
2009).
9 Universitas Indonesia
2.1.2.2 Disentri
Menurut Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) Departemen Kesehatan
RI (1999), disentri umumnya diawali oleh diare cair, lalu pada hari kedua atau
ketiga akan muncul darah, disertai dengan atau tanpa lendir, sakit perut, yang
kemudian diikuti munculnya tenesmus. Selain itu, penderita disentri juga
mengalami kenaikan suhu tubuh disertai dengan hilangnya nafsu makan dan
badan terasa lemah. Pada saat tenesmus terjadi, pada kebanyakan penderita akan
mengalami penurunan volume diarenya dan mungkin feses hanya berupa darah
dan lendir. Disentri dapat disertai gejala infeksi saluran nafas akut. Disentri dapat
menimbulkan dehidrasi, dari yang ringan sampai dengan dehidrasi berat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Makanan
Salmonella, Campylobacter dan Shigella
Poultry species
Sapi Enterohemorrhagic E coli, Taenia Saginata
Babi Cacing pita
Makanan laut dan shellfish Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus dan
(termasuk sushidan ikan Vibrio vulnificu, Salmonella species, cacing
mentah) pita, dan cacing anisakiasis
Keju Listeria species
Telur Salmonella species
Makanan dan krim Staphylococcus dan Clostridium, Salmonella
mengandung mayonnaise
Salmonella, Campylobacter,
Pie Cryptosporidium, dan Giardia species
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b. Diare terjadi akibat rangsangan tertentu seperti toksin pada dinding usus. Hal
ini dapat menyebabkan peningkatan air dan elektrolit ke dalam rongga usus
dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
c. Diare terjadi karena adanya gangguan motalitas usus. Pada mekanisme ini
terjadi gerakan hiperperistaltik yang akan mengakibatkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Gerakan
peristaltik usus yang menurun juga dapat menimbulkan diare karena akan
mengakibatkan bakteri timbul secara berlebihan.
d. Diare juga dapat terjadi akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus
setelah berhasil melewati asam lambung. Mikroorganisme tersebut berkembang
biak kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi
yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Penyebab tersering diare pada anak adalah disebabkan oleh rotavirus.
Virus ini menyebabkan 40-60% dari kasus diare pada bayi dan anak-anak
(Simatupang, 2004). Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke
dalam tubuh bersama dengan makanan dan minuman. Kemudian virus itu akan
sampai ke sel-sel epitel usus halus dan akan menyebabkan infeksi dan merusakkan
sel-sel epitel tersebut. Sel-sel epitel yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit
baru yang berbentuk kuboid atau sel epitel gepeng yang belum matang sehingga
fungsi sel-sel ini masih belum bagus. Hal ini menyebabkan vili-vili usus halus
mengalami atrofi dan tidak dapat menyerap cairan dan makanan dengan baik.
Cairan dan makanan tadi akan terkumpul di usus halus dan akan meningkatkan
tekanan osmotik usus. Hal ini dapat menyebabkan banyaknya cairan yang ditarik
ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya hiperperistaltik usus.
Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan didorong keluar melalui anus
dan terjadilah diare (Kliegman et al, 2006).
Universitas Indonesia
yang dapat menyebabkan perforasi pada saluran usus. Hal ini sangat berbahaya
dan mengancam nyawa. Muntah yang berat dapat menyebabkan aspirasi dan
robekan pada esofagus (Kliegman et al., 2006).
Pada diare akut, dapat terjadi kehilangan cairan secara mendadak sehingga
menyebabkan syok hipovolemik yang cepat. Kehilangan cairan dan elektrolit
melalui feses akan mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik. Pada
kejadian diare yang terlambat ditangani petugas medis, syok hipovolemik yang
sudah tidak dapat diatasi lagi akan menimbulkan Tubular Nekrosis Akut pada
ginjal yang selanjutnya menyebabkan gagal multi organ. Komplikasi ini dapat
juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tercapai rehidrasi yang optimal (Zein, 2004). Selain itu, diare juga dapat
menyebabkan malnutrisi energi protein karena selain diare dan muntah, penderita
juga mengalami kelaparan (FKUI, 1985). Hal ini ditandai dengan penurunan
jumlah otot dan lemak atau adanya bengkak di kaki dan tangan, yang merupakan
pertanda adanya gangguan penyerapan karbohidrat, lemak, dan protein.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kurang gizi merupakan salah satu masalah di Indonesia selain anemia zat
gizi besi, kekurangan vitamin A (KVA), dan gangguang akibat kekurangan
yodium (GAKY). Bayi dan balita yang mengalami kurang gizi lebih mudah
terjangkit penyakit dibandingkan dengan bayi dan balita dengan gizi baik.
Keadaan kurang gizi dapat meningkatkan beratnya penyakit, lama, dan resiko
kematian terutama pada gizi buruk (Depkes RI, 2007a).
Sebuah penelitian yang dilakukan di Peruvian menunjukkan adanya
hubungan antara status gizi dengan frekuensi diare pada bayi. Hasil penelitian ini
menunjukkan frekuensi diare meningkat setiap penurunan 15% z score
berdasarkan TB/U (Checkley et al., 2001). Penelitian yang dilakukan Fitriyani
(2005) di Puskesmas wilayah Palembang menunjukkan hubungan yang signifikan
antara status gizi dan kejadian diare. Selain itu penelitian lain di Bali
menunjukkan hubungan yang signifikan juga antara status gizi dengan kejadian
diare (OR: 5,46; 3,03-9,84) yang artinya bayi dengan gizi kurang memiliki resiko
diare 5,46 kali lebih besar dibandingkan dengan gizi baik (Dewi, 2011).
Universitas Indonesia
yang tidak diberikan imunisasi campak memiliki resiko 2,09 kali untuk terkena
diare dibandingkan dengan balita yang mendapat imunisasi campak. Namun,
berdasarkan penelitian Rini (2001) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pemberian imunisasi campak dengan kejadian diare pada anak 1-4 tahun dengan
nilai p 0,140. Hasil tidak adanya hubungan yang signifikan antara imunisasi
campak dengan diare pada balita juga ditunjukkan oleh penelitian Suciyanti
(2009) dengan nilai p 0,163.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
karena masyarakat lebih banyak menggunakan sumber air minum tidak terlindung
yaitu sumur, sebagai sumber air utama keluarga.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sehat Sakit
Pencegahan
Pengobatan
Gagal Kematian
Kontrol
Tumbuh
Penyakit
Personal
Universitas Indonesia
Faktor
Genetik/Keturunan
Faktor Pelayanan
Faktor Lingkungan Kesehatan
Fisik Promotif
STATUS KESEHATAN
Biologis Preventif
DAN GIZI
Sosio kultural Kuratif
Rehabilitatif
Faktor Perilaku
Sikap
Gaya hidup
Bagan 2.2 Kerangka Teori Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan dan
Gizi
Sumber: Blum, HL. 1974. Planning For Health : Development Application of Social Change
Theory. New York: Human Services Press.
Universitas Indonesia
Berat lahir
ASI eksklusif
Keluarga
Status gizi
Lingkungan
Agen :
Anak
- Biologis Sumber air
- Kimia bersih
DIARE
Kepadatan huni Tanah
Infeksi
Universitas Indonesia
Faktor Anak:
- Berat lahir
- Status gizi
- ASI eksklusif
- Imunisasi campak
Faktor Ibu:
- Perilaku ibu
Frekuensi Diare pada
Anak Usia 10-23 Bulan di
Faktor Keluarga: Puskesmas Tugu, Depok
- Status ekonomi keluarga
- Jumlah balita dalam
keluarga
Faktor Lingkungan:
- Sumber air bersih
- Kondisi jamban
- Sarana pembuangan air
limbah
- Pengolahan sampah
rumah tangga
- Kepadatan huni
33 Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
34
Universitas Indonesia
Tabel 3.1 Definisi Operasional, Alat Ukur, Cara Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur Penelitian
Variabel Dependen
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 Frekuensi Diare Jumlah kejadian diare Hasil diagnosa Kuesioner no 1. Lebih dari sekali dalam 4 Ordinal
(penyakit yang ditandai tenaga A1-A3 dan bulan terakhir, jika anak
dengan buang air besar kesehatan data rekam didiagnosa menderita diare
lembek atau cair dengan Puskesmas medik pasien dengan frekuensi lebih dari
frekuensi lebih sering dari Tugu dan data dalam kartu frekuensi median dunia.
biasanya yaitu tiga kali rekam medik status pasien 2. Sekali dalam 4 bulan
atau lebih dalam sehari) pasien di rawat jalan terakhir, jika anak
dalam kurun waktu Puskesmas didiagnosa menderita diare
tertentu. Tugu dengan frekuensi kurang
dari frekuensi median
(Depkes RI, 2007) dunia.
( IDAI, 2004)
Universitas Indonesia
2 Status Gizi Keadaan yang dihasilkan Pengukuran - Data KMS Nilai Z-score berdasarkan Ordinal
dari keseimbangan intake status gizi dan selama 4 bulan BB/U
dan output yang diperoleh data KMS terakhir 1. Gizi Kurang: < -2,0 SD
dari berat badan dibagi - Timbangan 2. Gizi Baik: > -2,0 SD
umur sesuai dengan KMS - Baby length
berdasarkan standar board Nilai Z-score berdasarkan PB
WHO-NCHS. - Software WHO 1. Pendek/stunted: < -2,0 SD
anthro 2. Normal: > -2,0 SD
- Kuesioner
nomor C1-C2 (Depkes RI, 2011a)
3 ASI Eksklusif Memberikan bayi hanya Wawancara Kuesioner nomor 1. Tidak ASI eksklusif, jika Ordinal
ASI saja sampai usia 6 D5 bayi diberikan makanan
bulan, tanpa memberikan atau minuman lain selain
bayi makanan atau ASI eksklusif sampai usia
minuman lain, termasuk 6 bulan.
air putih (kecuali obat- 2. ASI eksklusif, jika bayi
obatan dan vitamin atau hanya diberikan ASI saja
mineral tetes; ASI perah sampai usia 6 bulan, tanpa
juga diperbolehkan). memberikan bayi makanan
atau minuman lain,
termasuk air putih (kecuali
obat-obatan dan vitamin
atau mineral tetes; ASI
perah juga diperbolehkan).
(Depkes, 2010)
Universitas Indonesia
4 Imunisasi Imunisasi untuk mencegah Wawancara Kuesioner 1. Tidak imunisasi, jika Ordinal
Campak penyakit campak yang nomor E1 sampel tidak mendapatkan
dilakukan pada bayi segera imunisasi campak segera
saat usia > 9 bulan. saat usia > 9 bulan.
2. Sudah imunisasi, jika
sampel telah imunisasi
campak segera saat usia >
9 bulan.
(Depkes, 2011)
5 Perilaku Ibu Kebiasaan ibu dalam Wawancara Kuesioner 1. Perilaku buruk, jika nilai Ordinal
pencegahan diare termasuk nomor F1-F13 perilaku ibu kurang dari
kebiasaan mencuci tangan rata-rata (mean) (< 72,77).
dengan menggunakan air 2. Perilaku baik, jika nilai
dan sabun, serta perilaku perilaku ibu lebih atau
membersihkan peralatan sama dengan rata-rata
makan dan minum. (mean) (> 72,77).
(Dewi, 2011)
6 Status Ekonomi Besarnya penghasilan Wawancara Kuesioner 1. Status ekonomi rendah, jika Ordinal
Keluarga keluarga yang ditinjau nomor G1 pengeluaran perbulan <
berdasarkan jumlah Rp. 1.380.000.
pengeluaran keluarga 2. Status ekonomi tinggi, jika
setiap bulan. pengeluaran perbulan > Rp.
1.380.000.
Universitas Indonesia
7 Jumlah Balita Jumlah balita yang Wawancara Kuesioner 1. Beresiko, jika jumlah balita Ordinal
Dalam Keluarga dimiliki oleh keluarga nomor H1 dalam keluarga lebih dari
responden pada saat satu.
penelitian. Sebaiknya 2. Tidak beresiko, jika jumlah
hanya terdapat satu balita balita dalam keluarga
dalam keluarga. hanya satu.
(Notoatmodjo, 2007a)
Universitas Indonesia
9 Kondisi Tempat buang air besar Wawancara Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat, jika Ordinal
Jamban/WC yang digunakan keluarga. dan Observasi nomor J1-J3 keluarga tidak memiliki
jamban sendiri, bukan
jamban leher angsa, serta
tidak memiliki septic tank.
2. Memenuhi syarat, jika
keluarga memiliki jamban
sendiri, jamban leher angsa,
serta memiliki septic tank.
(Kusnoputranto, 1986)
10 Sarana Pembuangan limbah Wawancara Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat, Ordinal
Pembuangan Air keluarga yang memiliki dan Observasi nomor K1 jika keluarga tidak
Limbah saluran yang tertutup serta memiliki saluran
mempunyai tempat pembuangan air limbah
penampungan khusus tertutup dengan tempat
untuk menghindari penampungan khusus, atau
pencemaran air tanah. membuang air limbah di
sembarang tempat.
2. Memenuhi syarat, jika
keluarga memiliki saluran
pembuangan air limbah
tertutup dengan tempat
penampungan khusus.
(Kusnoputranto, 1986)
Universitas Indonesia
11 Pengolahan Upaya yang dilakukan Wawancara Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat, Ordinal
Sampah Rumah keluarga dalam mengolah dan Observasi nomor L1-L2 jika keluarga tidak
Tangga sampah padat mulai dari memiliki tempat sampah
pengumpulan, tertutup, membuang
pengangkutan, sampai sampah di sembarang
pemusnahan sampah. tempat (baik di kali, di
selokan, di pekarangan
rumah, maupun lahan
kosong.
2. Memenuhi syarat, jika
keluarga memiliki tempat
sampah tertutup, sampah
diangkut oleh petugas
kebersihan khusus, atau
sampah dikelola sendiri
oleh keluarga dengan baik
seperti menimbun maupun
dijadikan kompos.
(Notoatmodjo, 2007a)
12 Kepadatan Huni Jumlah orang yang Wawancara Kuesioner 1. Hunian padat, jika luas Ordinal
menghuni dalam satu dan Observasi nomor M1- kamar anak untuk tidur < 8
rumah. Cara perhitungan M2 m2 dan anak tidur dengan
kepadatan hunian, yakni orang dewasa > 2 orang.
luas rumah dibagi 2. Hunian tidak padat jika luas
penghuni rumah. kamar anak untuk tidur > 8
m2 dan anak tidur dengan
orang dewasa < 2 orang.
(Depkes, 1999)
Universitas Indonesia
3.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep yang diajukan di atas, maka hipotesis dalam
penelitian ini yaitu ada hubungan antara faktor anak (berat lahir, status gizi, ASI
eksklusif, dan imunisasi campak), faktor ibu (perilaku ibu), faktor keluarga (status
ekonomi keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), dan faktor lingkungan (sumber air
bersih, kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah, pengolahan sampah rumah
tangga, dan kepadatan huni) dengan frekuensi diare pada anak usia 10-23 bulan di
Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.
Universitas Indonesia
42
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
43
Universitas Indonesia
(4.1)
Keterangan :
n = jumlah sampel
𝑍1−𝛼/2 = nilai Z dari pada derajat kemaknaan (CI) 95% atau α = 0,05 yaitu 1,96
𝑍1−𝛽 = nilai Z pada kekuatan uji 1-β = 80% yaitu 0,842
P1 = proporsi diare dengan kualitas sumber air yang buruk adalah
sebesar 57,1% (Suciyanti, 2009)
P2 = proporsi diare dengan kualitas sumber air yang baik adalah
sebesar 27,6% (Suciyanti, 2009)
P = (P1 + P2) / 2
Universitas Indonesia
diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Seluruh anak usia 10-23 bulan yang
telah memenuhi kriteria sampel kemudian ditetapkan menjadi sampel penelitian
lalu responden di wawancara, dilakukan pengukuran status gizi anak (BB dan
PB), dan observasi rumah sesuai dengan waktu yang disepakati. Sampel
dikumpulkan setiap hari Senin-Sabtu hingga jumlah sampel minimal terpenuhi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b. Pelaksanaan penelitian
1. Persiapan tempat
Peneliti berada di Ruang Poli Anak khusus Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) Puskesmas Tugu setiap hari Senin-Sabtu. Peneliti
mempersiapkan timbangan bayi dan baby length board sesuai prosedur,
serta mempersiapkan meja dan kursi untuk peneliti dan responden.
2. Pemilihan responden
Peneliti memilih responden sesuai dengan kriteria yang telah dibuat.
Pasien yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan Puskesmas Tugu menderita
diare dan telah diberikan resep obat kemudian diarahkan untuk menuju
meja peneliti untuk dilakukan wawancara. Peneliti menanyakan frekuensi
diare yang dialami oleh sampel dalam 4 bulan terakhir kemudian
memastikan kebenarannya dalam Kartu Pasien Rawat Jalan. Setelah
sampel sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, peneliti meminta izin
kepada responden melalui lembar kesediaan menjadi responden sebelum
dilakukan pengambilan data. Rata-rata sampel yang memenuhi kriteria di
Puskesmas Tugu adalah sekitar 3-4 orang sehari. Pengumpulan responden
di Puskesmas Tugu dilakukan setiap Senin-Jumat pukul 08.00-11.00 dan
Sabtu pukul 08.00-10.00. Setelah wawancara, peneliti akan membuat janji
kepada responden untuk melakukan observasi rumah pada hari tersebut.
3. Antropometri (berat badan dan panjang badan)
Pengukuran antropometri dilakukan saat sampel telah memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan. Peneliti menimbang berat badan sampel dengan
timbangan dan panjang badan dengan baby length board kemudian data
ini dicatat dalam kuesioner. Data ini digunakan untuk mengetahui status
gizi saat ini berdasarkan BB/U dan PB/U. Selain itu status gizi juga dilihat
rata-rata dalam 4 bulan terakhir melalui data pengukuran BB dan PB
dalam KMS.
4. Pengambilan data melalui wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun
oleh peneliti selama + 15 menit wawancara. Pengumpulan responden di
Puskesmas Tugu dilakukan setiap Senin-Jumat pukul 08.00-11.00 dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dan gizi kurang (gabungan gizi kurang dan gizi buruk). Status gizi rata-
rata selama 4 bulan terakhir dilihat berdasarkan rata-rata nilai z score yang
kemudian dikategorikan.
Status gizi berdasarkan PB/U: jika tergolong pendek diberi kode “1”,
namun jika normal maka diberi kode “2”. Status gizi berdasarkan PB/U
pada dasarnya memiliki empat kategori, yaitu tinggi, normal, pendek, dan
sangat pendek (Depkes, 2011b). Namun, untuk memudahkan analisis
bivariat maka status gizi berdasarkan PB/U dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu normal (gabungan normal dan tinggi) dan pendek (gabungan
pendek dan sangat pendek). Status gizi rata-rata selama 4 bulan terakhir
dilihat berdasarkan rata-rata nilai z score yang kemudian dikategorikan.
ASI eksklusif: jika tidak diberikan ASI eksklusif diberi kode “1”, namun
jika diberikan ASI eksklusif maka diberi kode “2”.
Imunisasi campak: jika tidak imunisasi campak diberi kode “1”, namun
jika sudah imunisasi campak maka diberi kode “2”.
Perilaku ibu: jika perilaku ibu buruk diberi kode “1”, namun jika perilaku
ibu baik maka diberi kode “2”. Perilaku ibu memiliki 14 pertanyaan.
Jumlah kumulatif dari variabel perilaku ibu kemudian dikategorikan
menjadi dua kategori yang didasarkan pada nilai mean (72,77) karena data
yang dihasilkan menunjukkan distribusi normal (Sabri dan Sutanto, 2006).
Jika total skor perilaku ibu lebih atau sama dengan nilai mean maka
tergolong “perilaku kebersihan baik” dan total skor kurang dari nilai mean
maka tergolong “perilaku kebersihan buruk”.
Status ekonomi keluarga: jika status ekonomi rendah (pengeluaran
perbulan < Rp. 1.380.000) diberi kode “1”, namun jika status ekonomi
tinggi (pengeluaran perbulan > Rp. 1.380.000) maka diberi kode “2”.
Jumlah balita dalam keluarga: jika beresiko (memiliki lebih dari satu
balita dalam keluarga) diberi kode “1”, namun jika tidak beresiko
(memiliki hanya satu balita dalam keluarga) diberi kode “2”.
Sumber air bersih: Pertanyaan mengenai sumber air bersih terdiri dari 5
pertanyaan yang kemudian dikelompokkan menjadi memenuhi syarat dan
Universitas Indonesia
tidak memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat diberi kode “1”,
namun jika memenuhi syarat maka diberi kode “2”.
Kondisi jamban/WC: Pertanyaan mengenai kondisi jamban/WC terdiri
dari 3 pertanyaan yang kemudian dikelompokkan menjadi memenuhi
syarat dan tidak memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat diberi kode
“1”, namun jika memenuhi syarat maka diberi kode “2”.
Sarana pembuangan air limbah: Pertanyaan mengenai sarana
pembuangan air limbah terdiri dari 1 pertanyaan yang kemudian
dikelompokkan menjadi memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat. Jika
tidak memenuhi syarat diberi kode “1”, namun jika memenuhi syarat maka
diberi kode “2”.
Pengolahan sampah rumah tangga: Pertanyaan mengenai pengolahan
sampah rumah tangga terdiri dari 2 pertanyaan yang kemudian
dikelompokkan menjadi memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat. Jika
tidak memenuhi syarat diberi kode “1”, namun jika memenuhi syarat maka
diberi kode “2”.
Kepadatan huni: Pertanyaan mengenai kepadatan huni terdiri dari 2
pertanyaan yang kemudian dikategorikan. Jika hunian padat (luas kamar
anak untuk tidur < 8 m2 dan anak tidur dengan orang dewasa > 2 orang)
diberi kode “1”, namun jika hunian tidak padat (luas kamar anak untuk
tidur > 8 m2 dan anak tidur dengan orang dewasa < 2 orang ) maka diberi
kode “2”.
Universitas Indonesia
Dalam tahap ini, dilakukan pemeriksaan kembali pada data yang telah
dimasukkan apakah terdapat kesalahan dalam memberi kode atau belum
dilakukan pengodean. Tahap ini dilakukan agar tidak mengganggu proses
pengolahan data selanjutnya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
57 Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
58
5.1.2 Kependudukan
Wilayah kerja Puskesmas Tugu terdiri dari 19 RW dan 168 RT. Jumlah
penduduk Kelurahan Tugu tahun 2011 adalah sebanyak 92.232 jiwa dengan
24.196 jumlah rumah tangga. Terdapat rata-rata 3,81 jiwa per rumah tangga.
Kepadatan penduduk di kelurahan ini adalah 176,35 jiwa per km2. Jumlah
penduduk laki-laki adalah sebesar 47.174 jiwa dan penduduk perempuan sebesar
45.058 jiwa. Terdapat 1243 bayi dan 7509 anak usia 12-59 bulan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 5.1 Distribusi Data Frekuensi Diare pada Anak 10-23 Bulan di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012
Tabel 5.2 Distribusi Data Berat lahir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012
Berat Lahir n %
Berat lahir rendah 14 14,2
Berat lahir normal 81 85,8
Jumlah 95 100
Rata-rata (mean) berat lahir dalam penelitian adalah 2960 gram dengan
berat lahir terendah (minimum) 2100 gram dan berat lahir tertinggi (maximum)
3500 gram. Berdasarkan Tabel 5.2, dapat dilihat bahwa sampel yang tergolong
memiliki berat lahir normal (> 2500 gram) adalah sebesar 85,5% dan sampel yang
memiliki berat lahir rendah (< 2500 gram) adalah sebesar 14,7%.
Universitas Indonesia
Tabel 5.3 Distribusi Data Status Gizi Rata-Rata 4 Bulan Terakhir pada Anak
10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 5.3, dapat terlihat distribusi status gizi rata-rata dalam 4
bulan terakhir yang tercatat dalam KMS. Rata-rata status gizi diambil dari rata-
rata nilai z-score BB/U dan PB/U dalam 4 bulan terakhir. Rata-rata (mean) z score
BB/U dalam penelitian adalah -1,87 SD SD dengan nilai z score BB/U terendah
(minimum) -3,15 SD dan nilai z score BB/U tertinggi (maximum) 2,57 SD.
Berdasarkan Tabel 5.3, sampel yang tergolong memiliki status gizi baik adalah
sebesar 72,6% dan sampel yang tergolong memiliki status gizi kurang adalah
sebesar 27,4%. Sedangkan rata-rata (mean) z score PB/U dalam penelitian adalah
1,17 SD dengan nilai z score PB/U terendah (minimum) -2,45 SD dan nilai z score
PB/U tertinggi (maximum) 2,15 SD. Tabel 5.3 menunjukkan sampel yang
tergolong memiliki panjang badan normal adalah sebesar 70,5% dan yang
tergolong pendek sebesar 29,5%.
Universitas Indonesia
Tabel 5.4 di bawah ini menjukkan status gizi anak 10-23 bulan saat
dilakukan penelitian yang diukur secara langsung oleh peneliti dan bantuan tenaga
kesehatan di Puskesmas Tugu.
Tabel 5.4 Distribusi Data Status Gizi Saat Ini pada Anak 10-23 Bulan
di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 5.4, dapat dilihat distribusi status gizi sampel berupa
pengukuran berat badan dan panjang badan yang diukur saat pengambilan data di
Puskesmas Tugu. Status gizi digolongkan berdasarkan BB/U dan PB/U. Rata-rata
(mean) z score BB/U dalam penelitian adalah -1,32 SD SD dengan nilai z score
BB/U terendah (minimum) -3,50 SD dan nilai z score BB/U tertinggi (maximum)
1,65 SD. Sampel yang tergolong memiliki status gizi baik adalah sebesar 65,3%
dan sampel yang tergolong memiliki status gizi kurang adalah sebesar 34,7%.
Sedangkan rata-rata (mean) z score PB/U dalam penelitian adalah 1,35 SD dengan
nilai z score PB/U terendah (minimum) -2,25 SD dan nilai z score PB/U tertinggi
(maximum) 2,40 SD. Tabel 5.4 menunjukkan sampel yang tergolong memiliki
panjang badan normal adalah sebesar 71,6% dan yang tergolong pendek sebesar
28,4%.
Universitas Indonesia
Tabel 5.5 Distribusi Data ASI Eksklusif pada Anak 10-23 Bulan di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012
Variabel n=95 %
ASI eksklusif (memberikan bayi hanya
ASI saja tanpa tambahan makanan atau
minuman lain sampai usia 6 bulan)
Ya 17 17,9
Tidak 78 82,1
Pernah menyusui
Ya 93 97,9
Tidak 2 2,1
Alasan tidak menyusui
ASI tidak keluar 2 100
Anak sakit 0 0
Ibu sakit 0 0
Inisiasi menyusu dini (IMD)
Ya 70 73,7
Tidak 25 26,3
Memberikan kolostrum
Ya 67 70,5
Tidak 28 29,5
Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat bahwa hanya sebesar 2,1% responden
yang tidak pernah menyusui dan hampir seluruh responden yaitu 97,9% pernah
menyusui. Seluruh responden yang tidak pernah menyusui karena alasan ASI
tidak keluar sehingga bayi diberikan susu formula. Sebanyak 73,7% responden
melakukan IMD dan 26,3% responden tidak IMD. IMD erat kaitannya dengan
kesuksesan pemberian ASI eksklusif begitu pula dengan memberikan kolostrum
yang mempunyai efek proteksi terhadap penyakit melalui kandungan antibodi.
Responden yang memberikan kolostrum adalah sebesar 70% dan yang tidak
memberikan kolostrum sebesar 29,5%. Sebagian besar responden tidak
memberikan ASI eksklusif yaitu sebesar 82,1% dan yang berhasil memberikan
ASI eksklusif sebesar 17,9%.
Universitas Indonesia
Tabel 5.6 Distribusi Data Imunisasi Campak Pada Anak 10-23 Bulan
di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012
Imunisasi Campak n %
Tidak imunisasi campak 5 5,3
Sudah imunisasi campak 90 94,7
Jumlah 95 100
Berdasarkan Tabel 5.6, dapat dilihat bahwa hanya sebesar 5,3% sampel
yang tidak imunisasi campak. Sedangkan sebagian besar responden sudah
melakukan imunisasi campak yaitu sebesar 94,7%. Imunisasi campak dilakukan
responden di Puskesmas Tugu, Posyandu, atau Bidan terdekat dengan lokasi
rumah responden.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Perilaku ibu n %
Perilaku buruk 46 48,4
Perilaku baik 49 51,6
Jumlah 95 100
Rata-rata (mean) nilai perilaku ibu dalam penelitian ini adalah 72,77
sedangkan median 76,90 dengan nilai terendah (minimum) 38,50 dan nilai
tertinggi (maximum) 100. Dalam penelitian ini digunakan nilai mean untuk
mengategorikan perilaku ibu karena distribusi data penelitian ini normal.
Berdasarkan Tabel 5.8, sebanyak 51,6% responden memiliki perilaku baik dan
sebanyak 48,4% responden memiliki perilaku buruk.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kondisi Jamban/WC n %
Tidak memenuhi syarat 23 24,2
Memenuhi syarat 72 75,8
Jumlah 95 100
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Berdasarkan Tabel 5.19, dapat dilihat bahwa hanya 3,2% luas kamar anak
tidur kurang dari 8 m2 dan 96,8% luas kamar anak tidur > 8 m2. Sebanyak 30,5%
anak tidur dengan lebih dari 2 orang dewasa dan sebanyak 69,5% anak tidur
dengan kurang dari sama dengan 2 orang dewasa. Hasil distribusi responden
Universitas Indonesia
Kepadatan Huni n %
Hunian padat 30 31,6
Hunian tidak padat 65 68,4
Jumlah 95 100
Universitas Indonesia
Tabel 5.21 Tabulasi Silang antara Faktor Anak dengan Frekuensi Diare dalam 4
Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 5.22 Tabulasi Silang antara Faktor Ibu dengan Frekuensi Diare dalam 4
Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012
Universitas Indonesia
sebesar 4,3 dengan 95% CI antara 1,7-10,5 yang artinya anak dengan perilaku ibu
yang buruk berisiko 4,3 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4
bulan dibandingkan dengan anak dengan perilaku ibu yang baik. Berdasarkan
kedua uji tersebut menunjukkan bahwa perilaku ibu mempunyai hubungan
bermakna dengan frekuensi diare dan merupakan faktor risiko (OR >1).
Tabel 5.23 Tabulasi Silang antara Faktor Keluarga dengan Frekuensi Diare dalam 4
Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 5.24 Tabulasi Silang antara Faktor Lingkungan dengan Frekuensi Diare
dalam 4 Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012
Universitas Indonesia
Berdasarkan Tabel 5.24, dapat dilihat bahwa frekuensi diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan kondisi
jamban/WC keluarga tidak memenuhi syarat (62,5%) dibandingkan dengan
sampel dengan kondisi jamban/WC keluarga memenuhi syarat (26,8%). Data
statistik memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara kondisi
jamban/WC keluarga dengan frekuensi diare dengan p value 0,004. Odds ratio
untuk kondisi jamban/WC sebesar 4,6 dengan 95% CI antara 1,7-12,1 yang
artinya anak yang memiliki kondisi jamban/WC tidak memenuhi syarat berisiko
4,6 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan
dengan anak yang memiliki kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat.
Tabel 5.24 menunjukkan bahwa sampel yang menderita diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak yang memiliki pengolahan sampah
rumah tangga tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 51,9% dibandingkan dengan
sampel yang memiliki pengolahan sampah rumah tangga memenuhi syarat yaitu
hanya sebesar 16,3%. Data statistik memperlihatkan adanya hubungan yang
signifikan antara pengolahan sampah rumah tangga dengan frekuensi diare dengan
Universitas Indonesia
p value 0,001. Odds ratio untuk pengolahan sampah rumah tangga sebesar 5,5
dengan 95% CI antara 2,1-14,7 yang artinya anak yang memiliki pengolahan
sampah rumah tangga tidak memenuhi syarat berisiko 5,5 kali lebih besar
menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang
memiliki pengolahan sampah rumah tangga yang memenuhi syarat.
Berdasarkan Tabel 5.24, dapat dilihat bahwa sampel dengan hunian padat,
sebanyak 56,7% menderita diare dengan frekuensi lebih dari sekali dalam 4 bulan
terakhir memiliki. Sementara itu, sampel dengan hunian tidak padat hanya 26,2%
yang menderita diare dengan frekuensi tersebut. Data statistik memperlihatkan
adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan huni dengan frekuensi diare
dengan p value 0,008. Odds ratio untuk kepadatan huni sebesar 3,7 dengan 95%
CI antara 1,5-9,2, artinya anak yang memiliki kepadatan huni tergolong padat
berisiko 3,7 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
dibandingkan dengan anak yang memiliki kepadatan huni yang tergolong tidak
padat.
Universitas Indonesia
85 Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
86
Pada saat dilakukan diagnosa terhadap penyakit diare pada anak 10-23
bulan ini, dokter atau tenaga kesehatan juga mengelompokkan diare menjadi tiga
kategori, yaitu: (1) diare berdarah yang dikenal juga dengan disentri yaitu diare
yang disertai darah dalam tinjanya, (2) diare sewaktu atau diare akut yaitu diare
yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari), dan (3) diare
persisten yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus.
Pada penelitian ini, semua kasus diare (100%) tergolong dalam diare sewaktu atau
diare akut. Diare akut ini juga ada yang disertai dengan penyakit lain seperti
demam dan ISPA yaitu sebanyak 23,2%. Sampel yang dalam waktu 3 hari masih
menderita diare setelah berobat dianjurkan untuk melakukan kunjungan ulang.
Dalam penelitian ini, terdapat 7,4% sampel yang melakukan kunjungan ulang ke
Puskesmas Tugu.
Masih sangat sedikit penelitian lain yang meneliti tentang hubungan
faktor-faktor resiko diare dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan.
Penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana hubungan antara faktor-faktor resiko
yaitu berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, imunisasi campak, perilaku ibu, status
ekonomi keluarga, jumlah balita dalam keluarga, sumber air bersih, kondisi
jamban/WC, sarana pembuangan air limbah, pengolahan sampah rumah tangga,
dan kepadatan huni dengan frekuensi diare. Penjelasan tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu
akan dijelaskan di bawah ini.
Universitas Indonesia
Dalam penelitian ini terdapat 42,9% dari proporsi berat lahir rendah yang
merupakan sampel laki-laki. Sementara itu, sebesar 57,1% proporsi berat lahir
rendah merupakan perempuan. Hal ini sejalan dengan data Riskesdas (2007) yang
menunjukkan bahwa persentase BBLR lebih tinggi pada bayi perempuan
dibandingkan dengan bayi laki-laki.
Berdasarkan tabulasi silang pada Tabel 5.21 dapat dilihat bahwa sampel
dengan berat lahir rendah yang mengalami diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
terakhir adalah sebanyak 64,3%. Sementara itu, sampel yang tergolong berat lahir
normal sebanyak 30,9%.
Melalui uji statistik dengan melihat nilai p value, terlihat adanya hubungan
yang signifikan antara berat lahir dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan
dengan p value 0,031. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Salehah (2002) yang menunjukkan adanya trend peningkatan
frekuensi penyakit infeksi (diare dan ISPA) yang lebih besar pada bayi dengan
berat lahir rendah (< 2500 gram).
Hasil odds ratio menunjukkan anak dengan berat lahir rendah berisiko 4
kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan
dengan anak dengan berat lahir normal. Hal ini juga sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Siti Fadilah (2009) yang melakukan analisis terhadap data
Riskesdas 2007. Penelitian ini menunjukkan balita dengan berat lahir rendah
memiliki resiko diare 1,061 kali lebih besar daripada balita dengan berat lahir
normal.
Berdasarkan hasil penelitian dan penelitian terdahulu, berat lahir rendah
memiliki hubungan dengan kejadian diare karena anak dengan berat lahir rendah
memiliki pertumbuhan dan pematangan (maturasi) organ dan alat – alat tubuh
belum sempurna, akibatnya bayi berat lahir rendah sering mengalami komplikasi
dan infeksi yang dapat berakhir dengan kematian seperti yang diungkapkan oleh
Depkes RI dalam Sadono et al (2005).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dalam 2 waktu berbeda dengan frekuensi diare. Persentasi status gizi berdasarkan
BB/U lebih banyak pada anak dengan status gizi baik juga ditunjukkan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) dimana sampel kasus atau yang
menderita diare sebanyak 57,3% memiliki status gizi baik dan 42,7% memiliki
status gizi kurang.
Proporsi sampel dengan dengan frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir yang memiliki rata-rata status gizi kurang adalah sebesar 65,4%
sedangkan yang memiliki rata-rata status gizi baik hanya sebesar 24,6%.
Berdasarkan status gizi (BB/U) saat ini, sampel yang tergolong memiliki status
gizi kurang, sebanyak 66,7% menderita diare dengan frekuensi lebih dari sekali
dalam 4 bulan terakhir. Sedangkan sampel dengan status gizi baik hanya 19,4%
yang menderita diare dengan frekuensi tersebut. Data statistik menunjukkan
variabel rata-rata status gizi (BB/U) maupun status gizi (BB/U) saat ini memiliki
hubungan yang signifikan dengan frekuensi diare (nilai p < 0,05). OR untuk rata-
rata status gizi (BB/U) sebesar 5,8 dengan 95% CI antara 2,2-15,3 sedangkan OR
untuk status gizi (BB/U) saat ini sebesar 8,3 dengan 95% CI antara 3,2-21,8. Data
tersebut menunjukkan status gizi (BB/U) saat ini memiliki resiko lebih besar
terhadap frekuensi diare dibandingkan rata-rata status gizi (BB/U).
Berdasarkan rata-rata status gizi (PB/U), frekuensi diare lebih dari sekali
dalam 4 bulan terakhir hanya diderita oleh 17,9% sampel yang tergolong normal
namun diderita oleh 78,6% sampel yang memiliki status gizi PB/U pendek.
Berdasarkan status gizi (PB/U) saat ini, sampel yang tergolong pendek, sebanyak
77,8% menderita diare dengan frekuensi lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir.
Sedangkan sampel yang tergolong normal hanya 19,1% yang menderita diare
dengan frekuensi tersebut. Kedua variabel status gizi tersebut baik rata-rata
maupun saat ini memiliki hubungan yang signifikan dengan frekuensi diare (nilai
p < 0,05). OR untuk rata-rata status gizi (PB/U) sebesar 16,8 dengan 95% CI
antara 5,6-50,4 sedangkan OR untuk status gizi (PB/U) saat ini sebesar 14,8
dengan 95% CI antara 4,9-44,0. Berdasarkan OR tersebut dapat terlihat bahwa
rata-rata status gizi (PB/U) memiliki resiko lebih besar terhadap frekuensi diare
dibandingkan status gizi (PB/U) saat ini.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan dengan p value 0,045. Anak yang
tidak diberikan ASI eksklusif berisiko 5,2 kali lebih besar menderita diare lebih
dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI
eksklusif.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di
daerah kumuh Kota Dhaka, Bangladesh menunjukkan bayi yang tidak ASI
eksklusif (ASI parsial dan tidak ASI) berhubungan dengan 2,23 kali resiko bayi
meninggal karna semua kasus, 2,40 kali resiko meninggal karena ISPA, dan 3,94
kali resiko meninggal karena diare (Arifeen et al., 2001). Penelitian lain di
Indonesia menunjukkan semakin lama bayi yang diberi ASI secara eksklusif
semakin kecil kemungkinan bayi untuk terkena kejadian diare, dikarenakan ASI
mengandung zat antibodi yang bisa meningkatkan sistem pertahanan tubuh anak
(Kamalia, 2005). Penelitian yang dilakukan di RSUP Adam Malik Medan
menunjukkan dari 60 balita diare, 25% mendapatkan ASI eksklusif dan 75% tidak
ASI eksklusif (Akmal, 2009). Tingkat kejadian diare yang lebih sering artinya
dapat meningkatkan frekuensi kejadian diare.
Menurut Depkes RI (2010), memberikan ASI eksklusif akan memberikan
kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI adalah
cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh (Lactobacillus bifidus, Lactoferin,
dan Lisozim/muramidase), dan beberapa antibodi lain yang dapat melindungi bayi
dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit.
Pemberian ASI eksklusif ini sangat penting untuk digalakkan pada
kelompok ibu menyusui karena peranannya yang sangat penting bagi kekebalan
imunitas anak sehingga dapat mencegah anak dari terjangkit penyakit. Untuk
meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif pada bayi diperlukan adanya
kerjasama antara tenaga kesehatan di Dinkes dan Puksesmas Tugu untuk
melakukan promosi kesehatan mengenai ASI eksklusif khususnya kepada ibu
hamil yang kelak akan menyusui anaknya. Promosi kesehatan ini dapat berupa
penyuluhan maupun konseling di Puskesmas, dengan demikian dapat menurunkan
angka kejadian diare pada anak.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
wilayah (herd immunity) terhadap penyakit sesuai dengan imunisasi yang telah
diberikan (Dewi, 2011).
Imunisasi campak merupakan langkah penting untuk melindungi dari
episode diare dan kematian akibat diare (WHO,2002). Imunisasi campak
diperkirakan dapat mencegah 44,64 jumlah kasus campak dan 0,6-3,8% jumlah
kejadian diare (Depkes dalam Suparjo, 2000). Pemberian imunisasi campak pada
bayi sangat penting agar anak tidak menderita campak. Anak yang campak
seringkali disertai dengan diare (Depkes RI, 2011a). Oleh karena itu, sangat
penting untuk melakukan imunisasi campak segera ketika bayi berusia 9 bulan.
Universitas Indonesia
bahwa perilaku mencuci tangan dapat menurunkan insiden penyakit diare sebesar
14-48% (Feacher, 1983 dalam Setiawati, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan
perilaku cuci tangan responden sudah baik yang dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Mencuci alat makan dan minum merupakan salah satu perilaku kebersihan
yang juga harus diperhatikan agar tidak menimbulkan kontaminasi. Pencucian alat
makan dan minum memiliki peranan penting dalam mencegah timbulnya penyakit
akibat kuman atau bakteri yang terdapat dalam alat makan dan minum tersebut.
Peralatan makan dan minum dapat menjadi faktor penyebab diare jika cara
membersihkannya tidak benar dan menggunakan sumber air yang tidak memenuhi
syarat. Sedangkan hasil penelitian menunjukkan masih terdapat banyak responden
yang salah dalam mencuci peralatan makan dan minum terutama dalam mencuci
botol susu anak.
Menurut Depkes RI (2007), pencucian botol susu yang tidak benar juga
merupakan salah satu faktor yang dapat memudahkan pencemaran bakteri patogen
yang berakibat pada kejadian diare. Tempat buang air besar juga merupakan salah
satu perilaku kebersihan yang berhubungan dengan diare. Selain itu, perilaku ibu
yang berhubungan dengan frekuensi diare adalah perilaku dalam memberikan
makanan dan minuman yang sesuai untuk anak diare, serta perilaku membawa
anak berobat ketika diare.
Data statistik penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara variabel perilaku ibu dengan frekuensi diare dengan p value
0,001. Uji statistik juga menunjukkan bahwa anak dengan perilaku ibu yang buruk
berisiko 4,3 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
dibandingkan dengan anak dengan perilaku ibu yang baik.
Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian yang meneliti
tentang kejadian diare. Menurut penelitian Muhajirin (2002), ada hubungan antara
praktek personal hygiene ibu dengan kejadian diare di kecamatan Maos Kab
Cilacap dengan OR=2,983 yang artinya balita memiliki resiko terkena diare 2,983
kali lebih besar pada ibu dengan praktek personal hygiene yang buruk
dibandingkan praktek personal hygiene yang baik. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Hendrayani (2006) juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara
perilaku ibu dengan kejadian diare (p=0,001). Hasil serupa juga ditunjukkan oleh
Universitas Indonesia
penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara perilaku ibu dengan kejadian diare (p=0,000).
Universitas Indonesia
pendapatan perkapita responden dengan kejadian diare pada anak balita dengan p
value 0,007. Penelitian Dewi (2011) juga menunjukkan status sosial ekonomi
memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian diare balita dan balita yang
berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah memiliki resiko diare
lebih besar 4,95 kali dibandingkan dengan balita yang berasal dari keluarga
dengan status ekonomi tinggi.
Status ekonomi keluarga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
kejadian diare dimana status ekonomi ini berhubungan dengan daya beli keluarga
dan akhirnya berdapak pada status gizi anak (Satoto, 1990 dalam Susilawati,
2002). Daya beli keluarga yang rendah dapat mengakibatkan status gizi anak
kurang sehingga dapat memengaruhi anak mudah terjangkit penyakit termasuk
diare (Depkes RI, 2007a). Pada umumnya, tidak semua makanan bergizi mahal
harganya, karena makanan bergizi dapat diperoleh dari tempe, tahu, dan sayur-
sayuran yang harganya tidak tergolong mahal. Namun, seringkali status ekonomi
rendah diikuti dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga memengaruhi
dalam pemilihan makanan untuk mencapai status gizi optimal.
Selain berdampak pada status gizi anak, status ekonomi keluarga juga
berdampak pada pemenuhan fasilitas keluarga termasuk sumber air bersih yang
memenuhi syarat, kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat, SPAL yang
memenuhi syarat, pengolahan sampah rumah tangga yang memenuhi syarat, dan
kepadatan huni yang tidak tergolong padat.
Universitas Indonesia
terfokus untuk mengurus satu anak saja. Hal ini berdampak pada kejadian sakit
pada balita.
Dalam penelitian ini, jumlah keluarga dengan balita lebih dari satu lebih
sedikit daripada keluarga dengan jumlah balita hanya satu. Hasil analisis univariat
ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) yang
menunjukkan lebih banyak proporsi responden yang memiliki jumlah balita dalam
keluarga berisiko (62,7%) dibandingkan dengan proporsi responden dengan
jumlah balita dalam keluarga tidak berisiko (37,3%).
Data statistik menggunakan chi square memperlihatkan adanya hubungan
yang signifikan antara perilaku ibu dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan
dengan p value 0,000. Anak yang memiliki jumlah balita dalam keluarga lebih
dari satu berisiko 8,3 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4
bulan dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu balita dalam keluarga.
Hasil tabulasi silang antara jumlah balita dalam keluarga dan frekuensi
diare pada Tabel 5.23 menunjukkan bahwa frekuensi diare lebih dari sekali dalam
4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan keluarga yang memiliki
lebih dari satu balita yaitu sebesar 66,7% dibandingkan dengan sampel dengan
keluarga yang memiliki hanya satu balita yaitu sebesar 19,4%.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Warouw (2002) yang menunjukkan keluarga yang memiliki lebih dari satu balita
memiliki resiko terjadi diare 1,23 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga
yang hanya memiliki satu balita. Penelitian ini juga didukung oleh Dewi (2011),
dimana balita terkena diare lebih besar 6,44 kali pada keluarga dengan jumlah
balita lebih dari satu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Brazil juga
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara jumlah anak dalam keluarga
dengan kejadian diare dengan nilai p 0,015 (Atwil et al., 2007).
Jumlah balita dalam keluarga merupakan salah satu resiko kejadian diare.
Anak bawah lima tahun membutuhkan perhatian dan pola asuh yang intensif
karena pada usia tersebut anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang pesat. Pertumbuhan dan perkembangan ini dapat berlangsung baik jika anak
memiliki status gizi yang baik, kesehatan yang baik, lingkungan yang sehat dan
keluarga yang melakukan pola asuh yang baik (Depkes RI, 2008c).
Universitas Indonesia
Jika dalam keluarga terdapat lebih dari satu balita, dikhawatirkan ibu
sebagai orang yang mengasuh balita perhatiannya akan terbagi karena harus
mengasuh balita yang lainnya. Padahal semua aktivitas balita memerlukan
perhatian lebih. Kejadian diare pada balita dapat terjadi karena perilaku
kebersihan yang tidak baik seperti tidak mencuci tangan memakai sabun sebelum
makan. Penyebab tersebut dapat dilakukan oleh anak yang pada usia bawah dua
tahun dimana pada usia ini anak mulai aktif bermain dan suka memasukkan
makanan ke mulut tanpa mencuci tangan. Sehingga diperlukan perhatian lebih
dari ibu maupun keluarga yang mengasuh anak.
Universitas Indonesia
Dari hasil analisis bivariat antara sumber air bersih dengan frekuensi diare
dapat terlihat bahwa hanya 19,3% sampel dengan sumber air bersih memenuhi
syarat menderita diare dengan frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
terakhir. Sementara itu, sampel dengan frekuensi diare tersebut diderita oleh
60,5% sampel yang memiliki sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat.
Data statistik dari penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan yang
signifikan antara sumber air bersih dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan
dengan p value 0,000. Penelitian ini juga menunjukkan sampel yang memiliki
sumber air bersih tidak memenuhi syarat berisiko 6,4 kali lebih besar menderita
diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan sampel yang memiliki
sumber air bersih memenuhi syarat.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan beberapa penelitian yang telah
dilakukan seperti penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani (2005) dan Dewi (2011)
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sumber air bersih yang
digunakan keluarga dengan kejadian infeksi. Penelitian serupa yang dilakukan
oleh Wulandari (2009) juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara sumber air bersih dengan kejadian diare di Desa Blimbing dengan nilai p =
0,01.
Sumber air bersih memiliki dampak pada kesehatan. Terdapat beberapa
penyakit yang dapat ditularkan melalui air antara lain adalah diare, kolera,
disentri, hepatitis, penyakit kulit, penyakit mata, dan beberapa penyakit lain
(Depkes RI, 2011a).
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko
menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak
mendapatkan air bersih (Andrianto, 1995). Hal ini dapat terjadi karena penularan
kuman infeksius penyebab diare ditularkan jika kuman masuk ke dalam mulut
melalui makanan, minuman, atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jari-
jari tangan yang tidak dicuci dengan sabun dan makanan dengan wadah yang
dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2011a). Sumber air bersih yang memenuhi
syarat akan meminimalisir adanya kuman penyebab penyakit tersebut.
Pengetahuan mengenai sumber air bersih yang memenuhi syarat harus dapat
Universitas Indonesia
diketahui oleh seluruh masyarakat untuk mengurangi angka sakit akibat infeksi
kuman penyakit termasuk diare.
Dalam Buletin Situasi Diare di Indonesia, menjelaskan bahwa keluraga
harus memperhatikan beberapa hal berikut ini terkait sumber air bersih agar dapat
mencegah diare, yaitu: (1) Ambil air dari sumber air yang bersih, (2) Simpan air
dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung khusus untuk
mengambil air, (3) Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk
mandi anak-anak, (4) Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih),
dan (5) Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang bersih
dan cukup (Depkes RI, 2011a).
Universitas Indonesia
menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan sampel yang
memiliki kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat.
Hubungan yang signifikan antara kondisi jamban/WC dengan frekuensi
diare ini relevan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap
kejadian diare. Penelitian yang dilakukan Nilton et al (2008) di Desa Klopo
Sepuluh menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki jamban kejadian
diarenya lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki jamban.
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Wulandari (2009) yang menyatakan
adanya hubungan jenis tempat pembuagan tinja dengan kejadian diare di Desa
Blimbing yaitu dengan nilai p = 0,001.
Penelitian ini juga dilakukan oleh SDKI tahun 2007 yang menunjukkan
bahwa balita yang tinggal di rumah dengan fasilitas jamban yang tidak memenuhi
syarat memiliki persentase diare lebih tinggi dibandingkan balita yang memiliki
jamban memenuhi syarat. Pengalaman dibeberapa negara juga membuktikan
bahwa penggunaan jamban/WC yang memenuhi syarat mempunyai dampak yang
besar dalam penurunan resiko kejadian diare (Depkes RI, 2011a).
Kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat harus diperhatikan oleh
seluruh warga masyarakat. Kotoran manusia dapat mencemari tanah dan sumber
air lainnya jika tidak dibuang dengan baik. Selain itu, kondisi jamban/WC yang
tidak memenuhi syarat dapat mencemari lingkungan melalui vektor seperti lalat
yang dapat membawa kuman sumber penyakit jika hinggap pada makanan
(Kusnoputranto, 1986). Diperlukan adanya informasi yang dapat diketahui oleh
masyarakat secara menyuluruh mengenai kondisi jamban/WC yang memenuhi
syarat melalui penyuluhan maupun konsultasi.
Beberapa penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak besar dalam penurunan resiko terhadap
kejadian diare (Depkes RI, 2011a). Beberapa hal yang harus diperhatikan keluarga
adalah (1) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat
dipakai oleh seluruh anggota keluarga, (2) Bersihkan jamban secara teratur, dan
(3) Gunakan alas kaki jika buang air besar.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dari anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya (Notoatmodjo, 2007a).
Kepadatan hunian seringkali digunakan untuk menggambarkan tingkat sanitasi
pada sanitasi wilayah. Menurut Whaley dan Wong (1987) dalam Irianto (2000),
umumnya hunian padat disertai dengan fasilitas sanitasi yang rendah yang pada
akhirnya meningkatkan angka kesakitan dan kematian.
Universitas Indonesia
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan ASI eksklusif, status gizi,
dan faktor lain terhadap frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas
Tugu, Depok tahun 2012, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat 35,8% anak 10-23 bulan dengan frekuensi diare lebih dari sekali
dalam 4 bulan terakhir dan sebanyak 64,2% anak menderita diare dengan
frekuensi diare sekali dalam 4 bulan terakhir.
2. Berdasarkan faktor anak, terdapat hubungan yang signifikan antara berat lahir,
status gizi berdasarkan rata-rata z score BB/U dalam 4 bulan terakhir, status
gizi berdasarkan rata-rata z score PB/U dalam 4 bulan terakhir, status gizi
berdasarkan z score BB/U saat ini, status gizi berdasarkan z score PB/U saat
ini, dan ASI eksklusif dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di
Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012. Namun, tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara imunisasi campak dengan frekuensi diare pada anak 10-23
bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.
3. Berdasarkan faktor ibu, terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku ibu
dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok
tahun 2012.
4. Berdasarkan faktor keluarga, terdapat hubungan yang signifikan antara status
ekonomi keluarga dan jumlah balita dalam keluarga dengan frekuensi diare
pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.
5. Berdasarkan faktor lingkungan, terdapat hubungan yang signifikan antara
sumber air bersih, kondisi jamban/WC, saluran pembuangan air limbah
(SPAL), pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni dengan
frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Penelitian dan Peneliti Lain
1. Penelitian ini hanya dilakukan di satu kelurahan yaitu Kelurahan Tugu,
diharapkan peneliti lain dapat melakukan penelitian di tempat yang lebih
luas sehingga dapat menggambarkan hubungan faktor resiko dengan
frekuensi diare pada bayi dengan lebih general.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan disain yang dapat
menggambarkan hubungan kausalitas untuk mengetahui faktor yang
menjadi penyebab frekuensi diare sekali atau lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir.
3. Perlu dilakukan pengembangan dari penelitian mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan frekuensi diare pada baduta, karena masih
sangat sedikit penelitian mengenai masalah ini. Selain itu juga diperlukan
analisis untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap
frekuensi diare.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Depkes RI. 2004. Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2007a. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2007b. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2008a. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2008b. DTPS-KIBBLA Referensi Advokasi Anggaran dan Kebijakan
(Perencanaan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak dengan
Pemecahan Masalah melalui Pendekatan Tim Kabupaten/Kota). Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2011a. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: Situasi Diare
di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2011b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1995/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Standar Penilaian Status Gizi Anak.
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dewi, Ni Putu Eka Purnama. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Mengwi I,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali Tahun 2011. Skripsi
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Dinas Kesehatan Kota Depok. 2009. Profil Kesehatan Kota Depok. Depok:
Dinkes Kota Depok.
Ehlayel, Mohammad S., Bener, Abdulbari., dan Abdulrahman, Hatim M. 2009.
Protective Effect of Breastfeeding on Diarrhea Among Children in A
Rapidly Growing Newly Developed Society. The Turkish Journal of
Pediatrics (51):527-33. Diakses pada 8 Januari 2012 dari ProQuest
Information and Learning Company.
Fadilah, Siti. 2009. Dampak Berat Badan Lahir Terhadap Status Gizi Bayi.
Makassar: Universitas Hassanudin.
Fatmasari, H. 2008. Hubungan Beberapa Faktor Resiko dengan Kejadian Diare
pada Anak Balita di Ruang Rawat Inap Puskesmas Kecamatan Jati Barang
Kabupaten Brebes Tahun 2008. Tesis Universitas Muhammadiyah
Semarang. Diakses pada 10 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Maryunani, A. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta: Trans Info
Media.
Mihrshahi, Seema., et al. 2003. Prevalence of Exclusive Breastfeeding in
Bangladesh and Its Association with Diarrhoea and Acute Respiratory
Infection: Results of the Multiple Indicator Cluster Survey 2003. Journal of
Health Population Nutrition 2007 (2):195-204. Diakses pada 8 Januari 2012
dari ProQuest Information and Learning Company.
Mosley, W. Henry dan Chen, Lincoln C. 1984. An Analytical Framework for the
Study of Child Survival in Developing Countries. Population and
Development Review; 10 Suppl: 25-45.
Muhajirin, Muhajirin. 2007. Hubungan antara Praktek Personal Hygiene Ibu
Balita dan Sarana Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Anak
Balita di Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap. Tesis Universitas
Diponegoro. Diakses pada 10 Januari 2011 dari http://scholar.google.co.id
Murwanti, Ipuk Dwiana. 2005. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Praktek
Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi 0-4 Bulan di Desa Paremono
Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang. Skripsi Universitas
Diponegoro. Diakses pada 29 April 2012 dari http://scholar.google.co.id
Nainggolan, Maria Christin Dianiati. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Penyakit Infeksi pada Anak Balita di Desa Mangkai Baru
Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara Tahun 2010. Skripsi
Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 19 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Nilton., et al. 2008. Faktor-Faktor Sanitasi yang Berpengaruh Terhadap
Timbulnya Penyakit Diare di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono
Kabupaten Sidoarjo. Laporan Penelitian Universitas Uniwijaya Kusuma.
Diakses pada 14 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Noor, Nur Nasry. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007a. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007b. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineke
Cipta
Universitas Indonesia
Palupi, Astya., Hadi, Hamam., Soenarto, Sri Suparyati. 2009. Status Gizi dan
Hubungannya dengan Kejadian Diare pada Anak Diare Akut di Ruang
Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
Vol 6 No 1. Juli 2009: hal 1-7.
Rini, Lestiyo. 2011. Hubungan Status Imunisasi Campak dengan Kejadian
Penyakit Diare (Campak, Ispa Dan Diare) dan Status Gizi Anak Usia 1-4
Tahun di Desa Karang Duren Kecamatan Tenggaran Kabupaten Semarang.
Tesis Universitas Diponegoro. Diakses pada 10 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Roesli, Utami. 2005. Mengenal ASI eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya,
Anggota IKAPI.
Sabri, L., dan Sutanto, P.H. (2008). Statistik Kesehatan Edisi 2. Jakarta: Rajawali
Pers.
Sadono., Adi, M Sakundarno., dan Zain, M Sidhartani. 2005. Bayi Berat Lahir
Rendah sebagai Salah Satu Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernafasan Akut
pada Bayi (Studi Kasus Di Kabupaten Blora). Diakses pada 8 Januari 2012
dari http://scholar.google.co.id
Salehah, Anna. 2002. Hubungan antara Berat Lahir dengan Kejadian Infeksi
(Diare & Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada Bayi Usia 1-12 Bulan
(Studi Kasus Di Rsup Kariadi Semarang Tahun 2001. Tesis Universitas
Diponegoro. Diakses pada 10 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Setiawati, Sri. 2011. Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan yang Berhubungan
dengan Kejadian Diare di Kecamatan Sepatan dan Paku Haji Kabupaten
Tangerang Banten Tahun 2011. Tesis Program Pasca Sarjana Kesehatan
Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Simatupang, Meiyati. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan
Kejadian Diare Pada Balita Di Kota Sibolga Tahun 2003. Tesis Universitas
Sumatera Utara. Diakses pada 10 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Sinthamurniwaty. 2010. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Diare Akut pada Balita
(Studi Kasus di Kabupaten Semarang). Tesis Universitas Diponogoro.
Diakses pada 10 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Sitinjak, Lely Herlina. 2011. Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
dengan Kejadian Diare di Desa Pardede Onan Kecamatan Balige Tahun
2011. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 10 Januari 2012
dari http://scholar.google.co.id
Slamet, JS. 2000. Kesehatan Lingkungan Cetakan Keempat. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Soegijanto, S. 2002. Ilmu Penyakit Anak Edisi I. Jakarta: Medika.
Universitas Indonesia
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Suciyanti, Sri. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Cimahi Selatan Kota Cimahi
Tahun 2008. Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Suherna, Cucu., Febry, Fatmalina., dan Mutahar, Rini. 2009. Hubungan antara
Pemberian Susu Formula dengan Kejadian Diare pada Anak Usia 0-24
Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Balai Agung Sekayu Tahun 2009.
Diakses pada 8 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Suparjo. 2000. Gambaran Epidemiologi Penyakit Diare dan Hubungannya
dengan Cakupan Program Kesehatan Lingkungan dan Imunisasi di
Kabupaten Lampung Barat Tahun 1996-2000. Skripsi Program Sarjana
Kesehatan Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Susilawati, W.T. 2002. Hubungan Kualitas Mikrobiologis Air dan Faktor-Faktor
Lain terhadap Penyakit Diare Balita, Studi Kasus Kontrol pada Balita di
RW 10, 11, 12 Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan Tahun 2002. Tesis
Program Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok: Program Pasca
Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Syam, Ari Fahrial. 2006. Pengobatan Diare yang Tepat. Diakses pada 18 Januari
2012 http://www.medicastore.com.
Warouw, S. P. 2002. Hubungan Faktor Lingkungan dan Sosial Ekonomi dengan
Morbiditas (Keluhan ISPA dan Diare). Direktorat Penyehatan Lingkungan,
Ditjen P2M-PL Departemen Kesehatan RI.
WHO. 1991. Dialogue on Diarrhoea. London: AHRTAG.
WHO. 1992. Readings on Diarrhoea. Geneva: World Health Organisation.
WHO. 2008. Global Burden of Disease: 2004 update. Geneva: World Health
Organisation.
WHO. 2011. World Health Statistic. Diakses pada 8 Januari 2012 dari
http://www.who.int
Wibowo, T.A, Sunarto, S.S., dan Pramono, D. 2004. Faktor-faktor Resiko
Kejadian Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten Sleman.
BKM/XX/01/1-48.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasannya. Surabaya: Erlangga.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dengan hormat,
Saya mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Program
Studi Ilmu Gizi. Saya sedang melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara
Status Gizi, ASI Eksklusif, dan Faktor Lain terhadap Frekuensi Diare pada Anak
Usia 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Depok Tahun 2012” sebagai syarat untuk
mendapatkan Gelar Sarjana Gizi.
Terkait penelitian tersebut, saya akan meminta data Ibu dan bayi antara lain :
1. Data berat lahir, ASI eksklusif, imunisasi campak, perilaku ibu, status
ekonomi keluarga, dan jumlah balita dalam keluarga dikumpulkan dengan
wawancara.
2. Data sumber air bersih, kondisi jamban/WC, saluran pembuangan air
limbah, pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni
dikumpulkan dengan wawancara dan observasi rumah. Observasi rumah
dilakukan sesuai dengan kesepakatan waktu.
3. Data status gizi bayi berupa panjang badan dan berat badan melalui
penimbangan dan pengukuran yang dilakukan oleh peneliti dan data status
gizi pada KMS selama 4 bulan terakhir.
Kerahasiaan
Data-data yang diambil akan dipublikasikan secara terbatas namun tanpa
menyebutkan nama, alamat, nomor telepon atau identitas penting lainnya yang
dianggap rahasia. Oleh karena itu, kerahasiaan sangat dijaga dalam penelitian ini.
Partisipasi Sukarela
Tidak terdapat paksaan untuk bagi Ibu untuk ikut serta dalam penelitian ini. Jika
di awal Ibu bersedia ikut dalam penelitian ini kemudian tiba-tiba berubah pikiran
untuk tidak mengikuti kelanjutan penelitian maka Ibu berhak untuk tidak
berpartisipasi.
Nama :
Jenis kelamin :
Umur :
Alamat :
No Telp/HP :
Peneliti Responden
Universitas Indonesia
Dengan hormat,
Saya Mutia Imro Atussoleha, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Gizi. Saya sedang melakukan penelitian
mengenai “Hubungan antara Status Gizi, ASI eksklusif, dan Faktor Lain terhadap
Frekuensi Diare pada Anak Usia 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Depok Tahun 2012”
sebagai syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana Gizi. Penelitian ini berupa wawancara,
observasi rumah, dan pengukuran atropometri (panjang badan dan berat badan) bayi.
Berdasarkan hal tersebut, saya mengharapkan bantuan Ibu untuk berpartisipasi menjadi
responden.
Atas kesediaan Ibu untuk terlibat dalam penelitian ini, saya mengucapkan terima
kasih.
0806460875
Tanggal wawancara:
Lingkari jawaban yang menurut Anda sesuai. Contoh:
1 2 3 4
Koding
IR. Identifikasi Responden (Ibu)
(Diisi oleh petugas)
IR1 Nama [ ]
IR2 Alamat
[ ]
Universitas Indonesia
B. Berat lahir
B1 Berapa berat bayi saat lahir? ..... gram
1. Berat lahir rendah 2. Berat lahir normal [ ]
D. ASI Eksklusif
D1 Apakah ibu pernah menyusui?
1. Ya, lanjut ke D3 2. Tidak, lanjut ke D2 [ ]
D2 Mengapa ibu tidak memberikan ASI?
1. ASI tidak keluar 3. Ibu sakit
[ ]
2. Anak sakit 4. Lainnya, sebutkan .....
Universitas Indonesia
E. Imunisasi Campak
E1 Apakah anak ibu sudah mendapatkan imunisasi campak segera saat usia > 9 bulan?
1. Tidak imunisasi 2. Sudah imunisasi [ ]
F. Perilaku Ibu
F1 Apabila anak balita ibu mengalami diare, tindakan pertama apa yang ibu lakukan?
1. Memberikan cairan 3. Memberikan jamu
tambahan tradisional
[ ]
2. Memberikan tambahan 4. Lainnya, sebutkan .....
makanan
F2 Apabila seandainya balita diberikan susu formula, apakah susu formula yang diberikan
pada saat balita diare sama dengan susu formula pada saat balita tidak sedang diare?
1. Ya 2. Tidak [ ]
F3 Bila bayi sedang diare, bagaimana pemberian makanannya?
1. Tetap 3. Tidak diberikan
[ ]
2. Dikurangi 4. Lainnya, sebutkan .....
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
I1 Berapakah jarak sumber air bersih (selain PDAM) dengan sumber pencemaran seperti
septic tank, tempat pembuangan sampah atau tempat penampungan air limbah?
1. < 10 meter 2. > 10 meter [ ]
I2 Apakah ada sumber pencemaran lain, (seperti: kotoran hewan dan sampah) di sekitar
sumber air bersih?
1. Ya 2. Tidak [ ]
I3 Apakah air bersih yang disimpan di rumah, ditempatkan dalam wadah yang tertutup?
1. Ya 2. Tidak [ ]
I4 Apakah air yang digunakan sehari-hari sebagai air minum, tampak jernih?
1. Ya 2. Tidak [ ]
I5 Apakah ada rasa (seperti asin, atau rasa yang lain) atau bau yang tidak sedap pada air
yang digunakan sehari-hari sebagai sumber air bersih?
1. Ya 2. Tidak [ ]
J. Kondisi Jamban/WC
J1 Apakah keluarga mempunyai jamban/WC?
1. Ya 2. Tidak [ ]
J2 Jika ya, apakah jenis WC yang dipergunakan?
1. Leher angsa dengan septic 3. Leher angsa tanpa septic
tank tank
[ ]
2. WC cemplung 4. WC empang
5. Lain-lain, sebutkan ...
J3 Milik siapakah jamban yang ibu dan keluarga gunakan?
1. Sendiri 2. Bersama/keluarga lain [ ]
Universitas Indonesia
M. Kepadatan Huni
M1 Berapa luas kamar anak biasa tidur? .... m2 [ ][ ][ ]
M2 Berapa jumlah orang yang tidur bersama bayi? .... orang [ ]
Universitas Indonesia
Tabel 1. Tabulasi Silang antara Inisiasi Menyusu Dini dengan ASI Eksklusif di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012