Anda di halaman 1dari 9

Ramai-ramai menolak UU MD3: Dari petisi, usulan Perppu, dan uji materi

Sri Lestari
BBC Indonesia
22 Februari 2018

DPR kini memiliki wewenang pemanggilan paksa.

Petisi yang menolak UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD -atau MD3- yang digagas
sejumlah organisasi masyarakat sipil melalui situs change.org telah mencapai lebih dari
180.000 penandatangan di internet dengan target 200.000.

Bivitri Susanti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan PSHK -salah satu elemen masyarakat
yang membuat petisi penolakan UU MD3 itu- mengecam pasal yang mengatur pemeriksaan
atas anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, yang dapat dilakukan atas seizin
presiden dan juga pertimbangan dari Majelis Kehormatan Dewan atau MKD.

"Adanya pasal seperti itu maka ada dampak politik juga yang timbul di kalangan masyarakat
sipil seakan mereka menempatkan DPR di atas orang-orang yang diwakilinya dan tidak dapat
direndahkan, dalam arti mungkin dikritik dan sebagainya."

Selain itu, pasal lain yang dinilai bermasalah adalah bahwa orang-orang yang mengkritik
DPR dapat diserahkan pada penegak hukum dan wewenang pemanggilan paksa oleh DPR.

"Ada pasal lain, mereka bisa memanggil paksa setiap orang yang dipanggil oleh DPR dalam
konteks fungsi tertentu. Memanggil paksa ini dengan menggunakan kewenangan oleh
kepolisian, jadi kepolisian wajib untuk memenuhi request (permintaan) mereka bila ada
pemanggilan paksa, yang menurut kami merusak demokrasi di Indonesia," jelas Bivitri.
Dia menambahkan UU MD3 seharusnya mengatur institusi MPR/DPR/DPD agar dapat
menjalankan fungsinya sebagai representasi rakyat yang memilihnya, dan bukan sebaliknya.

"Justru ini menjauhkan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya," tegasnya.

Dengan UU MD3 maka orang-orang yang mengkritik DPR dapat diserahkan pada penegak
hukum.

Selain tentang isi UU yang dianggap kontroversial, menurut Bivitri proses pembahasannya
juga tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik.

Selain PSHK, petisi yang dibuat Masyarakat Sipil untuk UU MD3 juga didukung oleh
Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, Yappika, dan FITRA.

Petisi menargetkan 200.000 tanda tangan dan setelah jumlah itu terpenuhi maka akan
diserahkan kepada DPR -yang diharapkan Bivitri- akan mengagendakan pembahasan kembali
revisi UU MD3 yang baru disahkan itu bersama pemerintah.

"Jadi keduanya harus segera mengagendakan lagi dan segera membahas reviusi UU untuk
membahas pasal-pasal yang saya sebut merusak iklim demokrasi di Indonesia," tutur Bivitri.

Perlukah Perppu?
Kritik terhadap UU MD3 -terutama terkait tiga pasalnya yang kontroversial- juga
disampaikan oleh dua partai di DPR yaitu PPP dan Partai Nasdem, yang mengusulkan agar
presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu.
Arsul Sani dari PPP mengatakan kepada para wartawan harapannya agar presiden
mengeluarkan Perppu untuk mengganti pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3.
"PPP berharap presiden keluarkan Perppu untuk ganti ketentuan yang dianggap kontroversial,
dan kemudian DPR dapat merevisi kembali dengan membuka ruang konsultasi publik secara
luas," jelas Arsul.

Dalam sidang pengesahan revisi UU MD3, Nasdem melakukan walk out karena
permintaannya menunda RUU MD3 tidak dipenuhi. PPP juga meminta penundaan.

Sekretaris Jenderal Nasdem, Jhonny G Plate, menjelaskan partainya menolak pengesahan


revisi UU MD3 karena dapat memberikan persepsi buruk ke publik.

"Kalau tidak dirumuskan dengan baik dia berpotensi digunakan secara salah. Baik oleh
anggota DPR-nya maupun oleh persepsi publik," kata Jhonny kepada BBC Indonesia Senin
(12/02).

Namun, Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas Padjadjaran, Indra Prawira, menilai
pembuatan Perppu harus memenuhi syarat 'kegentingan yang memaksa'.

"Kalau Perppu itu kan juga harus disetujui DPR, nah mampu tidak partai-partai itu ngeblok.
Nasdem dan PPP, katakanlah mereka tidak sepakat, dan sementara mereka itu kan buang-
buang waktu. Saya sarankan institusinya jangan bikin Perppu, masyarakat yang merasa
dirugikan ajukan saja ke MK," jelas Indra.

Dia menyebutkan Perppu yang pernah dibuat pemerintah juga belum tentu menyelesaikan
masalah, seperti Perppu ormas yang melarang organisasi anti-Pancasila.

"Kita masih inget dulu Perppu Ormas demikian kontroversialnya dan dampaknya sampai
sekarang yang dilarang ya masih eksis saja, hanya lembaganya saja dan tidak dapat
menghentikan dakwah-dakwah. Balik lagi ke kegentingan yang memaksa (sebagai alasan
pembuatan Perppu)," jelas Indra.

Senada dengan Indra, Bivitri menilai Perppu tak perlu diterbitkan untuk UU MD3 karena
tidak memehuni syarat pembuatannya, yang berbeda dengan Perppu Pilkada yang dibuat
Susilo Bambang Yudhoyono menjelang akhir masa jabatannya.

"Kalau ingat saat itu SBY mengeluarkan di saat terakhir masa pemerintahannya. Jadi peluang
untuk mengadakan negosiasi politik yang normal juga sempit, pelaksanaan pilkadanya juga
agak mepet. Sebenarnya sekarang tak ada situasi seperti itu, Pak Jokowi masih punya waktu
paling tidak satu tahun ini untuk bekerja," jelas Bivitri.
Dia juga menilai Perppu bukan jalan yang baik untuk proses legislasi.

Jokowi menyarankan agar masyarakat yang tidak sepakat UU MD3 untuk mengajukan uji
materi ke Mahkamah Konstitusi.

Jokowi belum tanda tangan dan dorong uji materi


Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengaku belum menandatangani UU MD3 dan
memahami kritik yang disampaikan masyarakat

"Saya memahami keresahan-keresahan yang ada di masyarakat. Banyak yang mengatakan


hukum dan etika dicampur aduk, ada yang mengatakan hukum dan etika dicampur aduk, itu
pendapat yang saya baca yang saya dengar di masyarakat, kita semua tidak ingin ada
penurunan kualitas demokrasi kita," jelas Jokowi.

Jokowi juga mendorong masyarakat yang tidak setuju agar mengajukan uji materi UU MD3
kepada Mahkamah Konstitusi.

Namun ketika ditanya apakah akan menerbitkan Perppu, Jokowi mengatakan "Saya rasa tidak
sampai ke sana… yang tidak setuju silakan datang ke MK untuk judicial review".

Bivitri menganggap sikap Jokowi tersebut seperti 'membuang badan' karena pembahasan UU
dilakukan DPR bersama dengan pemerintah dan ajakan agar masyarakat mengajukan uji
materi menunjukkan pemerintah yang 'tidak profesional'.

"Kalau dia tidak setuju dengan pasal-pasal itu harusnya kerja keras untuk segera merevisi UU
agar langsung masuk agenda dan segera dibahas lagi. Dan terkait dengan judicial review,
saya kira seperti memberi pekerjaan kepada masyarakat, yang seharusnya merupakan
pekerjaan dari pemerintah. Ini menadakan pemerintah kurang profesional."
Indra juga mempertanyakan sikap Jokowi yang seolah tidak mengetahui proses pembahasan
pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3 tersebut.

"Aneh, mestinya presiden tidak bisa tidak tahu dong, itu tidak boleh (buang badan) karena
merugikan bagi Jokowi sendiri untuk Pilpres di 2019. Di mana tanggung jawab dia sebagai
presiden karena itu kan disetujui bersama pemerintah dan DPR. Itu naif banget," ungkap
Indra.

Sumber:
Lestari, Sri. 2018. Ramai-ramai menolak UU MD3: Dari petisi, usulan Perppu, dan uji
materi. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43153986), diakses 23 Februari
2019.
David Easton
Input :
UU MD3 adalah Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Undang-undang
ini berisi aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan
DPD. Hak, kewajiban, kode etik serta detil dari pelaksanaan tugas juga diatur.
Aturan ini menggantikan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 mengenai MD3 yang
dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum.
UU ini terdiri atas 428 pasal, dan disahkan pada 5 Agustus 2014 oleh Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono. Revisi terakhirnya disahkan oleh DPR pada Senin, 12 Februari
2018.
Ramai-ramai menolak UU MD3: Dari petisi, usulan Perppu, dan uji materi UU MD3
merupakan 'kriminalisasi' terhadap rakyat yang kritis pada DPR'
Proses :
Demo menolak UU MD3 dilakukan oleh mahasiswa di banyak daerah. Di Medan,
mahasiswa menumbangkan gerbang DPRD.
Kemudian empat mahasiswa di Bengkulu sempat ditangkap polisi pada 5 Maret karena
demo berujung ricuh. Mahasiswa Surabaya menutup jalan di depan DPRD saat menolak
revisi UU MD3, akhir Februari lalu.

Selain ditolak oleh para aktivis, mahasiswa dan pakar hukum, revisi ini ditolak oleh
masyarakat melalui beberapa petisi di Change.org.
Petisi "Tolak revisi UU MD3, DPR tidak boleh mempidanakan kritik!" ditandatangani
oleh 203 ribu orang, sedangkan petisi "Tolak Revisi RUU MD3! Ajukan Judicial Review
ke Mahkamah Konstitusi' ditandatangani 78 ribu pendukung.

Dari 10 fraksi, delapan di antaranya mendukung pengesahan. Partai yang mendukung


revisi UU MD3 adalah PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, PKS dan
Hanura.
Partai Nasional Demokrat dan PPP meminta pengesahan ditunda. Karena tidak
dikabulkan, Nasdem walkout saat UU tersebut disahkan.
"Pembahasan RUU ini oleh DPR membuat undang-undang untuk menciptakan lowongan
jabatan yang akan diisi sendiri, " kata Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate kepada
Kompas.com.

Kritik terhadap UU MD3 juga disampaikan oleh dua partai di DPR yaitu PPP dan Partai
Nasdem, yang mengusulkan agar presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang atau Perppu.
"PPP berharap presiden keluarkan Perppu untuk ganti ketentuan yang dianggap
kontroversial, dan kemudian DPR dapat merevisi kembali dengan membuka ruang
konsultasi publik secara luas," jelas Arsul Sani dari Fraksi PPP.
Namun, Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas Padjadjaran, Indra Prawira,
menilai pembuatan Perppu harus memenuhi syarat 'kegentingan yang memaksa'.
"Kalau Perppu itu kan juga harus disetujui DPR, nah mampu tidak partai-partai itu
ngeblok. Nasdem dan PPP, katakanlah mereka tidak sepakat, dan sementara mereka itu
kan buang-buang waktu. Saya sarankan institusinya jangan bikin Perppu, masyarakat
yang merasa dirugikan ajukan saja ke MK," kata Indra.

Presiden malah mendorong pihak yang tidak setuju untuk menggugat ke Mahkamah
Konstitusi. "Yang tidak setuju silakan datang ke MK untuk judicial review".
Sikap Jokowi ini dipertanyakan karena pembahasan UU dilakukan oleh DPR bersama
pemerintah. Di mana tanggung jawab dia sebagai presiden karena itu kan disetujui
bersama pemerintah dan DPR. Itu naif banget," kata Indra.
Tanpa tanda-tangan Presiden pun, aturan ini akan otomatis sah pada 14 Maret 2018.

Output :
Dibahas dan disahkan oleh DPR pada 12 Februari 2018.
Gabriel Abraham Almond

Pada analisis terkait artikel mengenai UU MD3 yang ramai-ramai ditolak oleh
masyarakat. Masyarakat resah mengenai revisi UU MD3. Hal ini dikarenakan terdapat
Revisi yang paling memicu kontroversi. Revisi Pasal 122 k terkait tugas MKD dalam
revisi UU MD3 menuai kontroversi karena DPR dianggap menjadi antikritik dan kebal
hukum. Pengamat menganggapnya sebagai upaya kriminalisasi terhadap praktik
demokrasi, khususnya rakyat yang kritis terhadap DPR.
Pasal yang memuat perihal penghinaan terhadap parlemen berisi tambahan peraturan
yang memerintahkan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk:
"mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota
DPR".
Dari uraian tersebut bahwa masyarakat tidak menunjukkan bersifat apatis melainkan aktif
dalam menganalisa terhadap UU yang direvisi.

Dipengaruhi oleh lingkungan yang dalam penerapannya ketika dianalisa bahwa UU


MD3 merupakan 'kriminalisasi' terhadap rakyat yang kritis pada DPR' dan berpotensi
menjadikan anggota DPR kebal hukum.
Inputnya berupa UU MD3 adalah Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD.
Undang-undang ini berisi aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR,
DPR, DPRD dan DPD. Hak, kewajiban, kode etik serta detil dari pelaksanaan tugas juga
diatur.
Aturan ini menggantikan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 mengenai MD3 yang
dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum.
UU ini terdiri atas 428 pasal, dan disahkan pada 5 Agustus 2014 oleh Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono. Revisi terakhirnya disahkan oleh DPR pada Senin, 12 Februari
2018.
Ramai-ramai menolak UU MD3: Dari petisi, usulan Perppu, dan uji materi UU MD3
merupakan 'kriminalisasi' terhadap rakyat yang kritis pada DPR'
Berkaitan dengan Artikulasi Kepentingan ini dikaitkan dengan Kelompok
Kepentingan yaitu dari 10 fraksi, delapan di antaranya mendukung pengesahan. Partai
yang mendukung revisi UU MD3 adalah PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN,
PKS dan Hanura.
Partai Nasional Demokrat dan PPP meminta pengesahan ditunda. Karena tidak
dikabulkan, Nasdem walkout saat UU tersebut disahkan.
"Pembahasan RUU ini oleh DPR membuat undang-undang untuk menciptakan lowongan
jabatan yang akan diisi sendiri, " kata Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate kepada
Kompas.com.
Kritik terhadap UU MD3 juga disampaikan oleh dua partai di DPR yaitu PPP dan Partai
Nasdem, yang mengusulkan agar presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang atau Perppu.
"PPP berharap presiden keluarkan Perppu untuk ganti ketentuan yang dianggap
kontroversial, dan kemudian DPR dapat merevisi kembali dengan membuka ruang
konsultasi publik secara luas," jelas Arsul Sani dari Fraksi PPP.
Namun, Ketua Pusat Studi Kebijakan Negara Universitas Padjadjaran, Indra Prawira,
menilai pembuatan Perppu harus memenuhi syarat 'kegentingan yang memaksa'.
"Kalau Perppu itu kan juga harus disetujui DPR, nah mampu tidak partai-partai itu
ngeblok. Nasdem dan PPP, katakanlah mereka tidak sepakat, dan sementara mereka itu
kan buang-buang waktu. Saya sarankan institusinya jangan bikin Perppu, masyarakat
yang merasa dirugikan ajukan saja ke MK," kata Indra.
Agregasi Kepentingan

Anda mungkin juga menyukai