Anda di halaman 1dari 155

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI, ASI EKSKLUSIF, DAN


FAKTOR LAIN TERHADAP FREKUENSI DIARE PADA
ANAK USIA 10-23 BULAN DI PUSKESMAS TUGU, DEPOK
TAHUN 2012

SKRIPSI

MUTIA IMRO ATUSSOLEHA


0806460875

PROGRAM STUDI GIZI


DEPARTEMEN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2012

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI, ASI EKSKLUSIF, DAN


FAKTOR LAIN TERHADAP FREKUENSI DIARE PADA
ANAK USIA 10-23 BULAN DI PUSKESMAS TUGU, DEPOK
TAHUN 2012

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

MUTIA IMRO ATUSSOLEHA


0806460875

PROGRAM STUDI GIZI


DEPARTEMEN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JUNI 2012

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mutia Imro Atussoleha


Tempat dan tanggal lahir : Jakarta, 13 Oktober 1990
Alamat : Jl. Seno I C-70. Kelurahan Pejaten Timur,
Kecamatan Pasar Minggu. Jakarta Selatan.
No telepon : 085710181550
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Email : mutia.imroa@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :
1. TK Taman Siswa Bekasi 1995-1996
2. SDN Bumi Bekasi Baru VI, Bekasi 1996-1999
3. SDN Kalibata 07 Pagi, Jakarta 1999-2002
4. SMP Negeri 182 Jakarta 2002-2005
5. SMA Negeri 38 Jakarta 2005-2008
6. FKM UI Program Studi Gizi 2008-2012

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Status
Gizi, ASI Eksklusif, dan Faktor Lain Terhadap Frekuensi Diare pada Anak 10-23
Bulan di Puskesmas Tugu, Depok Tahun 2012” dengan baik. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Gizi, Program Studi Gizi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Sripsi ini dibuat berkat bantuan dari berbagai pihak mulai dari proses
persiapan, pengambilan data, sampai penyusunan laporan ini selesai. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. drg. Sandra Fikawati, MPH selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi
yang telah banyak membantu, membimbing, mengarahkan, dan memberikan
masukan dalam penulisan skripsi ini.
2. Prof. Dr. dr. Kusharisupeni, MSc selaku penguji yang bersedia meluangkan
waktunya untuk menjadi penguji dalam sidang skripsi penulis serta
memberikan masukan yang konstruktif untuk penelitian ini.
3. dr. Dewi Damayanti selaku penguji yang bersedia meluangkan waktunya
untuk menjadi penguji dalam sidang skripsi penulis serta memberikan
masukan yang konstruktif untuk penelitian ini.
4. drg. Trisakti Budi Setyorini selaku Kepala Puskesmas Tugu yang telah
membuka kesempatan untuk penulis agar dapat melakukan penelitian di
Puskesmas Tugu dan telah banyak membantu dalam pengumpulan data awal
juga proses penelitian.
5. dr. Ika, Ibu Siti, Mba Nisa, Ibu Yun, dan seluruh petugas Puskesmas Tugu
lainnya yang membantu penulis dalam pengumpulan data.
6. Pihak FKM UI, Dinas Kesehatan Depok, Kesbangpol Linmas Depok yang
telah banyak membantu proses izin penelitian.
7. Seluruh dosen, asisten dosen, dan segenap staf Departemen Gizi Kesehatan
Masyarakat FKM UI yang selama 4 tahun ini telah mengajar, membimbing,

vi

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


dan membantu dalam kegiatan perkuliahan sehingga dapat memperkaya ilmu
penulis.
8. Orang tua dan kedua adik penulis yang selalu memberikan semangat, juga
memberikan dukungan tak terhingga baik moril maupun materil serta selalu
mendoakan kelancaran dalam penyusunan skripsi ini.
9. dr. Marina Damajanti Wangsadinata, MKM yang siap sedia memberikan
waktunya untuk penulis dapat berkonsultasi.
10. Ranggaswara Prasetya atas dukungan semangat yang telah diberikan, semua
waktu untuk mengerjakan skripsi bersama dan refreshing bersama disaat jenuh
dan stress mengerjakan skripsi.
11. Teman-teman dekat penulis Kartika, Alfa, Seala, Tasya, Ridanti, Vita, dan
Rhiza atas waktu chit-chat bersama yang dapat mengalihkan sejenak dari
pusingnya urusan skripsi dan atas dukungannya dalam proses pengerjaan
skripsi.
12. Teman-teman satu bimbingan yaitu Uchi, Dian Ika, Ayu, Rita, Aisyah, Puji,
Eko, dan Imam Akbari yang telah berjuang bersama – sama selama
bimbingan.
13. Semua teman-teman Gizi 2008, angkatan pioneer, atas semua dukungan dan
semoga kita dapat lulus dengan lancar serta nilai yang memuaskan.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala


kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari masih banyak
ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karenanya, masukan berupa
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar skripsi ini menjadi lebih
baik. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.

Depok, 28 Juni 2012

Penulis

vii

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
ABSTRAK

Nama : Mutia Imro Atussoleha


Program Studi : Gizi
Judul : Hubungan antara Status Gizi, ASI Eksklusif, dan Faktor Lain
terhadap Frekuensi Diare pada Anak Usia 10-23 Bulan di
Puskesmas Tugu, Depok Tahun 2012

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan


dengan dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan. Desain penelitian yang
digunakan adalah cross sectional yang dilakukan terhadap 95 responden yang
dilakukan secara purposive sampling di Puskesmas Tugu, Depok pada 20 Maret –
27 April 2012. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan
kuesioner, observasi rumah, dan pengukuran status gizi (berat badan dan panjang
badan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 35,8% sampel menderita
diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir (lebih dari median frekuensi dunia).
Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor anak (berat bayi lahir (OR=4,0),
status gizi BB/U rata-rata 4 bulan terakhir (OR=5,8), status gizi BB/U saat ini
(OR=8,3), status gizi PB/U rata-rata 4 bulan terakhir (OR=16,8), status gizi PB/U
saat ini (OR=14,8), dan ASI eksklusif (OR=5,2)), faktor ibu (perilaku ibu
(OR=4,3)), faktor keluarga (status ekonomi keluarga (OR=4,3) dan jumlah balita
dalam keluarga (OR=8,3)), dan faktor lingkungan (sumber air bersih (OR=6,4),
kondisi jamban/WC (OR=4,6), sarana pembuangan air limbah (OR=6,2),
pengolahan sampah rumah tangga (OR=5,5), dan kepadatan huni (OR=3,7))
dengan frekuensi diare. Penulis menyarankan kepada Puskesmas Tugu untuk
melakukan promosi kesehatan dan edukasi melalui penyuluhan dan konseling
untuk menurunkan angka kejadian diare pada anak 10-23 bulan.

Kata Kunci : Frekuensi diare, diare, status gizi, dan ASI eksklusif

ix Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


ABSTRACT

Name : Mutia Imro Atussoleha


Study Program : Nutrition
Title : Nutritional Status, Exclusive Breastfeeding, and Other Factors
in Relation to Diarrhea Frequency among Children 10-23
Months at Tugu Community Health Center, Depok in 2012

The objective of this study was to identify factors which associated with
with diarrhea frequency among children 10-23 months. The method used in this
study is cross sectional design which was conducted with 95 respondents which
took with pusposive sampling at Tugu Community Health Center, Depok in
March 20th until April 27th 2012. Data were collected through interview referring
to the questionnaire, house observation, and measurement of nutritional status
(weight and length). The result of this study showed that 35,8% people were
experience diarrhea more than once in the last 4 months (more than the frequency
of world median). There were significant association between children factors
(baby birth weight (OR=4,0), nutritional status W/A average in last 4 months
(OR=5,8), current nutritional status of W/A (OR=8,3), nutritional status H/A
average in last 4 months (OR=16,8), current nutritional status of H/A (OR=14,8),
and exclusive breastfeeding (OR=5,2)), maternal factors (maternal behavior
(OR=4,3)), family factors (economics status of the family (OR=4,3) and number
of under five in the family (OR=8,3)), and environmental status (source of clean
water (OR=6,4), condition of latrines (OR=4,6), waste disposal facilities
(OR=6,2), household waste treatment (OR=5,5), and the density of habitation
(OR=3,7)) with diarrhea frequency. The author suggest to Tugu Community
Health Center to conduct health promotion and education through education and
counseling program for decreasing the incidence of diarrhea in children 10-23
months.

Keywords : Diarrhea frequency, diarrhea, nutritional status, and exclusive


breastfeeding

x Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN.................................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................... viii
ABSTRAK .......................................................................................................... ix
ABSTRACT ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii
DAFTAR RUMUS ............................................................................................xviii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Umum ..................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Khusus .................................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 7
1.5.1 Bagi Institusi ....................................................................................... 7
1.5.2 Bagi Masyarakat................................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9


2.1 Diare .............................................................................................................. 9
2.1.1 Definisi Diare ...................................................................................... 9
2.1.2 Klasifikasi Diare ................................................................................. 10
2.1.2.1 Diare Akut .............................................................................. 10
2.1.2.2 Disentri .................................................................................. 10
2.1.2.3 Diare Persisten ........................................................................ 10
2.1.2.4 Diare dengan Masalah Lain .................................................... 11
2.1.3 Etiologi Diare ...................................................................................... 11
2.1.3.1 Faktor Infeksi ......................................................................... 11
2.1.3.2 Faktor Malabsorbsi ................................................................. 11
2.1.3.3 Faktor Alergi .......................................................................... 12
2.1.3.4 Faktor Keracunan ................................................................... 12
2.1.3.5 Faktor Imunodefisiensi ........................................................... 12
2.1.3.6 Sebab-Sebab Lain ................................................................... 12
2.1.4 Epidemiologi Diare ............................................................................. 13
2.1.4.1 Penyebaran Kuman yang Menyebabkan Diare ...................... 13
2.1.4.2 Faktor Pejamu yang Meningkatkan Kerentanan Terhadap

xi Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Diare ....................................................................................... 14
2.1.4.3 Faktor Lingkungan dan Perilaku ............................................ 14
2.1.5 Patofisiologi Diare ............................................................................. 14
2.1.6 Komplikasi Diare ................................................................................ 15
2.1.7 Penanggulangan Diare Berdasarkan Tingkat Dehidrasi
(WHO, 2005) ...................................................................................... 16
2.1.7.1 Tanpa Dehidrasi ...................................................................... 16
2.1.7.2 Dehidrasi Ringan .................................................................... 16
2.1.7.3 Dehidrasi Sedang .................................................................... 17
2.1.7.4 Dehidrasi Berat ....................................................................... 17
2.1.8 Pencegahan Diare ................................................................................ 17
2.1.8.1 Pencegahan Primer ................................................................. 17
2.1.8.2 Pencegahan Sekunder ............................................................. 19
2.1.8.3 Pencegahan Tersier ................................................................. 19
2.2 Faktor-Faktor Resiko Diare........................................................................... 20
2.2.1 Berat Lahir .......................................................................................... 20
2.2.2 ASI Eksklusif ...................................................................................... 20
2.2.3 Status Gizi ........................................................................................... 21
2.2.4 Imunisasi Campak .............................................................................. 22
2.2.5 Pendidikan Ibu .................................................................................... 23
2.2.6 Pengetahuan Ibu .................................................................................. 23
2.2.7 Pekerjaan Ibu ...................................................................................... 24
2.2.8 Perilaku Ibu ......................................................................................... 24
2.2.9 Status Ekonomi Keluarga ................................................................... 25
2.2.10 Jumlah Balita Dalam Keluarga ......................................................... 26
2.2.11 Sumber Air Bersih ............................................................................ 26
2.2.12 Kondisi Jamban ................................................................................. 27
2.2.13 Sarana Pembuangan Air Limbah ...................................................... 28
2.2.14 Pengolahan Sampah Rumah Tangga................................................. 28
2.2.15 Kepadatan Huni ................................................................................ 29
2.3 Kerangka Teori Kejadian Diare .................................................................... 30
2.3.1 Determinan Kematian Bayi dan Balita Menurut Mosley dan Chen ... 30
2.3.2 Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan dan Gizi Menurut
HL Blum ............................................................................................. 31
2.3.3 Paradigma Diare Menurut WHO dan Depkes RI ............................... 31

BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERSIONAL


DAN HIPOTESIS ......................................................................................... 33
3.1 Kerangka Konsep .......................................................................................... 33
3.2 Definisi Operasional...................................................................................... 34
3.3 Hipotesis........................................................................................................ 41

4. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 42


4.1 Desain Penelitian ........................................................................................... 42
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................ 42
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................... 43

xii Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


4.3.1 Populasi Penelitian .............................................................................. 43
4.3.2 Sampel Penelitian................................................................................ 43
4.3.3 Responden Penelitian .......................................................................... 45
4.4 Pengumpulan Data ........................................................................................ 45
4.4.1 Petugas Pengumpulan Data ................................................................. 45
4.4.2 Sumber Data ........................................................................................ 45
4.4.3 Instrumen Penelitian ........................................................................... 46
4.4.4 Cara Pengumpulan Data ..................................................................... 47
4.5 Teknik Manajemen Data ............................................................................... 52
4.5.1 Pengolahan Data Hasil Penelitian ....................................................... 52
4.5.2 Pengkodean Data (Data Coding) ........................................................ 52
4.5.3 Penyuntingan Data (Data Editing)...................................................... 54
4.5.4 Pemasukan Data (Data Entry) ............................................................ 55
4.5.5 Pembersihan Data (Data Cleaning) .................................................... 55
4.6 Analisis Data ................................................................................................. 55
4.6.1 Analisis Data Univariat ....................................................................... 55
4.6.2 Analisis Data Bivariat ......................................................................... 55

BAB 5 HASIL PENELITIAN .......................................................................... 57


5.1 Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas Tugu Kota Depok ................ 57
5.1.1 Letak Wilayah ..................................................................................... 57
5.1.2 Kependudukan .................................................................................... 58
5.1.3 Sarana Pelayanan Kesehatan ............................................................... 58
5.2 Subjek Aktual Penelitian (Actual Subject) .................................................... 59
5.3 Analisis Univariat.......................................................................................... 59
5.3.1 Gambaran Frekuensi Diare ................................................................. 59
5.3.2 Gambaran Faktor Anak ....................................................................... 60
5.3.2.1 Berat Lahir .............................................................................. 60
5.3.2.2 Status Gizi .............................................................................. 61
5.3.2.3 ASI Eksklusif .......................................................................... 62
5.3.2.4 Imunisasi Campak .................................................................. 63
5.3.3 Gambaran Faktor Ibu .......................................................................... 64
5.3.3.1 Perilaku Ibu ............................................................................ 64
5.3.4 Gambaran Faktor Keluarga ................................................................. 67
5.3.4.1 Status Ekonomi Keluarga ....................................................... 67
5.3.4.2 Jumlah Balita dalam Keluarga ................................................ 68
5.3.5 Gambaran Faktor Lingkungan ............................................................ 68
5.3.5.1 Sumber Air Bersih .................................................................. 68
5.3.5.2 Kondisi Jamban/WC ............................................................... 70
5.3.5.3 Sarana Pembuangan Air Limbah ............................................ 71
5.3.5.4 Pengolahan Sampah Rumah Tangga ...................................... 73
5.3.5.5 Kepadatan Huni ...................................................................... 74
5.4 Analisis Bivariat ............................................................................................ 75
5.4.1 Faktor Anak ........................................................................................ 75
5.4.1.1 Hubungan Berat Lahir dengan Frekuensi Diare ..................... 77
5.4.1.2 Hubungan Status Gizi dengan Frekuensi Diare ...................... 77
5.4.1.3 Hubungan ASI Eksklusif dengan Frekuensi Diare ................. 78

xiii Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


5.4.1.4 Hubungan Imunisasi Campak dengan Frekuensi Diare ......... 79
5.4.2 Faktor Ibu ............................................................................................ 79
5.4.2.1 Hubungan Perilaku Ibu dengan Frekuensi Diare .................... 79
5.4.3 Faktor Keluarga .................................................................................. 80
5.4.3.1 Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Frekuensi
Diare ................................................................................................... 81
5.4.3.2 Hubungan Jumlah Balita dalam Keluarga dengan
Frekuensi Diare .................................................................................. 81
5.4.4 Faktor Lingkungan .............................................................................. 81
5.4.4.1 Hubungan Sumber Air Bersih dengan Frekuensi Diare ......... 82
5.4.4.2 Hubungan Kondisi Jamban/WC dengan Frekuensi Diare ...... 83
5.4.4.3 Hubungan Sarana Pembuangan Air Limbah dengan
Frekuensi Diare .................................................................................. 83
5.4.4.4 Hubungan Pengolahan Sampah Rumah Tangga
dengan Frekuensi Diare ...................................................................... 83
5.4.4.5 Hubungan Kepadatan Huni dengan Frekuensi Diare ............. 84

BAB 6 PEMBAHASAN .................................................................................... 85


6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................................. 85
6.2 Frekuensi Diare ............................................................................................. 85
6.3Berat Lahir ..................................................................................................... 86
6.4 Status Gizi ..................................................................................................... 88
6.5 ASI Eksklusif ................................................................................................ 91
6.6 Imunisasi Campak ......................................................................................... 93
6.7 Perilaku Ibu ................................................................................................... 94
6.8 Status Ekonomi Keluarga .............................................................................. 96
6.9 Jumlah Balita dalam Keluarga ...................................................................... 97
6.10 Sumber Air Bersih ...................................................................................... 99
6.11 Kondisi Jamban/WC ................................................................................... 101
6.12 Sarana Pembuangan Air Limbah ................................................................ 103
6.13 Pengolahan Sampah Rumah Tangga ........................................................... 104
6.14 Kepadatan Huni ........................................................................................... 106

BAB 7 PENUTUP.............................................................................................. 108


7.1 Kesimpulan ................................................................................................... 108
7.2 Saran .............................................................................................................. 109

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 111

xiv Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Epidimiologi Penyebab Diare Berdasarkan Infeksi ................ 13


Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Bayi ................................... 21
Tabel 3.1 Definisi Operasional, Alat Ukur, Cara Ukur, Hasil Ukur, dan Skala
Ukur Penelitian ................................................................................... 35
Tabel 5.1 Distribusi Data Frekuensi Diare pada Anak 10-23 Bulan di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 .......... 60
Tabel 5.2 Distribusi Data Berat Lahir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ............................ 60
Tabel 5.3 Distribusi Data Status Gizi Rata-Rata 4 Bulan Terakhir pada Anak
10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok
Tahun 2012 ......................................................................................... 61
Tabel 5.4 Distribusi Data Status Gizi Saat Ini pada Anak 10-23 Bulan di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 .......... 62
Tabel 5.5 Distribusi Data ASI Eksklusif pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ............................ 63
Tabel 5.6 Distribusi Data Imunisasi Campak pada Anak 10-23 Bulan di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 .......... 64
Tabel 5.7 Distribusi Data Perilaku Ibu di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012 .......................................................... 64
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Ibu di Puskesmas Tugu,
Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ....................................... 67
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Status Ekonomi Keluarga di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 .......... 67
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Balita Dalam Keluarga
di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ..... 68
Tabel 5.11 Distribusi Data Sumber Air Bersih Responden di Puskesmas Tugu,
Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ....................................... 69
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Air Bersih di Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ............................ 70
Tabel 5.13 Distribusi Data Kondisi Jamban/WC Responden di Puskesmas Tugu,
Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ....................................... 70
Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Jamban/WC di Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ............................ 71
Tabel 5.15 Distribusi Data Sarana Pembuangan Air Limbah Responden di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 .......... 72
Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Sarana Pembuangan Air Limbah
di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ..... 72
Tabel 5.17 Distribusi Data Pengolahan Sampah Rumah Tangga Responden di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 .......... 73
Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Pengolahan Sampah Rumah
Tangga di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun
2012 .................................................................................................... 74
Tabel 5.19 Distribusi Data Kepadatan Huni Responden di Puskesmas Tugu,
Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ....................................... 74

xv Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Huni di Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012 ............................ 75
Tabel 5.21 Tabulasi Silang antara Faktor Anak dengan Frekuensi Diare pada
Anak 10-23 Bulan Di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis,
Depok Tahun 2012 ............................................................................. 76
Tabel 5.22 Tabulasi Silang antara Faktor Ibu dengan Frekuensi Diare pada
Anak 10-23 Bulan Di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis,
Depok Tahun 2012 ............................................................................. 79
Tabel 5.23 Tabulasi Silang antara Faktor Keluarga dengan Frekuensi Diare
pada Anak 10-23 Bulan Di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis,
Depok Tahun 2012 ............................................................................. 80
Tabel 5.24 Tabulasi Silang antara Faktor Lingkungan dengan Frekuensi Diare
pada Anak 10-23 Bulan Di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis,
Depok Tahun 2012 ............................................................................. 82

xvi Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori Determinan Kematian Bayi dan Balita................ 30


Gambar 2.2 Kerangka Teori Faktor Yang Memengaruhi Status Kesehatan dan
Gizi ................................................................................................ 31
Gambar 2.3 Kerangka Teori Paradigma Kejadian Diare .................................. 32
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................... 33

xvii Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


DAFTAR RUMUS

(4.1) Rumus Uji Hipotesis Perbedaan 2 Proporsi ..................................... 44


(4.2) Rumus Uji Statistik Chi-Square ....................................................... 56

xviii Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Indonesia
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian dari Kesbangpol dan Linmas Kota Depok
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Depok
Lampiran 4 Informed Consent
Lampiran 5 Kuesioner Penelitian
Lampiran 6 Kartu Pasien Rawat Jalan Puskesmas Tugu
Lampiran 7 Kartu Tatalaksana Balita Sakit Usia 2 Bulan – 5 Tahun
Lampiran 8 Hasil Bivariat Variabel IMD dan Kolostrum

xix Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang digunakan
untuk menggambarkan status kesehatan masyarakat. Wilayah Asia Tenggara
memiliki AKB yang tergolong tinggi dibandingkan wilayah lain. Indonesia memiliki
AKB yang tinggi daripada beberapa negara di Asia Tenggara lainnya yaitu sebesar 30
per 1000 kelahiran hidup. Negara di Asia Tenggara yang memiliki AKB lebih rendah
dari Indonesia diantaranya adalah Thailand yang memiliki nilai AKB sebesar 12 per
1000 kelahiran hidup, Malaysia memiliki nilai AKB 6 per 1000 kelahiran hidup,
Brunei Darussalam memiliki nilai AKB 5 per 1000 kelahiran hidup, dan Singapura
memiliki nilai AKB 2 per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2011).
Kematian bayi dapat disebabkan karena diare. Diare menyebabkan 1,5 juta
kematian dan 21% kematian pada kelompok bayi dan balita (WHO, 2008). Penyakit
diare masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di negara berkembang.
Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan (morbiditas) dan
kematian (mortalitas) akibat diare (Apriyanti et al., 2009).
Dalam data statistik kesehatan WHO, diare merupakan pembunuh kedua
terbesar pada bayi dan balita yaitu sebesar 15% setelah pneumonia sebesar 18%
menyebabkan kematian pada tahun 2008 (WHO, 2011). Hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 menunjukkan angka kematian akibat diare 23 per
100 ribu penduduk dan pada balita 75 per 100 ribu balita (Depkes, 2004). Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan penyebab kematian bayi di
Indonesia akibat diare adalah sebesar 31,4% dan akibat pneumonia sebesar 23,8%
(Depkes, 2007b).
Dampak lain yang dapat disebabkan oleh keadaan sakit termasuk diare juga
kejadian growth faltering atau kegagalan pertumbuhan pada bayi dan balita (Mosley
dan Chen, 1984). Growth faltering mengakibatkan terjadinya stunting atau

1 Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


2

underweight yang terjadi pada periode waktu yang singkat yaitu sebelum lahir hingga
kurang lebih umur 2 tahun (Kusharisupeni, 2002).
Prevalensi diare di Indonesia adalah 9% (rentang 4,2% - 18,9%), tertinggi di
Provinsi NAD dan terendah di DI Yogyakarta. Prevalensi diare paling tinggi terjadi
pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 16,7% dan kelompok umur kurang dari 1
tahun sebesar 16,5% (Depkes, 2007b). Median insiden diare secara keseluruhan pada
anak di bawah 5 tahun adalah 3,2 episode per tahun (Parashar et al., 2003 dalam
Agtini, 2011).
Angka kesakitan akibat diare cenderung meningkat setiap tahun, survei
morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia dari tahun 2000 sampai 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada
tahun 2000 kejadian penyakit diare 301 per 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi
374 per 1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 per 1000 penduduk dan tahun
2010 menjadi 411 per 1000 penduduk. Untuk angka kesakitan diare balita tidak
menunjukkan pola kenaikan maupun pola penurunan (berfluktuasi). Pada tahun 2010,
proporsi terbesar penderita diare dari semua kelompok umur adalah kelompok umur
6-11 bulan yaitu sebesar 21,65%.
Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare dalam waktu
dua minggu sebelum survey (Depkes, 2008a), 3% lebih tinggi dari temuan SDKI
2002-2003 yaitu sebesar 11% (Depkes, 2003). Prevalensi diare tertinggi adalah pada
anak umur 12-23 bulan (20,7%), diikuti umur 6-11 bulan (17,6%), dan umur 23-45
bulan (15,3%). Dengan demikian, diare banyak diderita oleh kelompok umur 6-35
bulan karena anak mulai aktif bermain dan berisiko terkena infeksi (Depkes, 2008).
Penyebab penyakit diare tidak berdiri sendiri akan tetapi saling terkait dan
sangat kompleks (Suherna et al., 2005). Berat lahir merupakan faktor resiko kejadian
sakit termasuk diare. Sebuah penelitian menunjukkan trend peningkatan frekuensi
penyakit infeksi diare dan ISPA yang lebih besar pada bayi dengan berat badan lahir
rendah daripada berat badan lahir normal (Salehah, 2002). Penelitian yang dilakukan
Siti Fadilah (2009) yang melakukan analisis terhadap data Riskesdas 2007
menunjukkan balita dengan berat lahir rendah memiliki resiko diare 1,061 kali lebih

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


3

besar daripada balita dengan berat lahir normal. Penelitian lain yang meneliti
hubungan berat lahir dan diare masih kurang dalam sepuluh tahun terakhir di
Indonesia.
Status gizi bayi memiliki peranan dalam kejadian sakit. Sebuah penelitian
yang dilaksanakan di Peruvian menunjukkan adanya hubungan antara status gizi
dengan kejadian diare pada bayi. Dalam penelitian ini menunjukkan frekuensi diare
meningkat setiap penurunan 15% z score berdasarkan TB/U (Checkley et al., 2001).
Keadaan malnutrition pada bayi berhubungan dengan tingkat keparahan diare (Black
et al., 1984 dalam Brown, 2003). Penelitian terbaru yang dilaksanakan di Klaten
menunjukkan hasil yang sama yaitu status gizi memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian diare dimana status gizi yang tidak baik akan rentan terhadap
kejadian diare (Hamisah, 2011).
Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian diare adalah pemberian ASI
eksklusif pada bayi. Penelitian yang dilakukan di daerah kumuh Kota Dhaka,
Bangladesh menunjukkan bayi yang tidak ASI eksklusif (ASI parsial dan tidak ASI)
berhubungan dengan 2,23 kali resiko bayi meninggal karna semua kasus, 2,40 kali
resiko meninggal karena ISPA, dan 3,94 kali resiko meninggal karena diare (Arifeen
et al., 2001). Penelitian lainnya di Bangladesh menunjukkan prevalensi kejadian diare
berhubungan signifikan dengan tidak diberikan ASI eksklusif (Mihrshahi et al.,
2003). Sebuah penelitian di Qatar menunjukkan resiko diare lebih tinggi dan secara
signifikan berhubungan dengan bayi yang diberikan ASI parsial dan tidak diberikan
ASI (Ethlayel, 2009).
Sebuah penelitian di Indonesia menunjukkan semakin lama bayi yang diberi
ASI secara eksklusif semakin kecil kemungkinan bayi untuk terkena kejadian diare,
dikarenakan ASI mengandung zat antibodi yang bisa meningkatkan sistem
pertahanan tubuh anak (Kamalia, 2005). Penelitian lain menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian
diare pada bayi yaitu tingkat diare yang lebih rendah pada bayi yang diberikan ASI
eksklusif dibandingkan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif (Wijayanti, 2010).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


4

Permasalahan yang ada adalah pelaksanaan ASI eksklusif di Indonesia masih


cenderung rendah. Berdasarkan SDKI 2002-2003, rata-rata bayi di Indonesia hanya
menerima ASI eksklusif selama 1,6 bulan, bayi yang diberikan susu lain selain ASI
kurang dari 4 bulan dan 6 bulan masing-masing sebesar 12,8% dan 8,4%.
Faktor anak yang juga merupakan faktor resiko diare adalah status imunisasi.
Imunisasi yang erat kaitannya dengan diare adalah imunisasi campak. Anak yang
sakit campak sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat
mencegah diare. Imunisasi campak harus segera diberikan setelah bayi berumur 9
bulan (Depkes, 2011a). Menurut penelitian yang dilakukan Cahyono (2003), terdapat
hubungan yang signifikan antara imunisasi campak dengan kejadian diare pada balita
(nilai p < 0,05).
Perilaku ibu juga merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam kejadian
diare. Perilaku ibu mencakup kebiasaan mencuci tangan, menghisap jari,
membersihkan peralatan makan dan minum, dan sebagainya. Dalam suatu penelitian
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan cuci tangan dengan
kejadian diare (Apriyanti et al., 2009). Penelitian lain yang dilakukan di Bali
menunjukkan perilaku ibu memiliki hubungan signifikan (p=0,000) dengan kejadian
diare (Dewi, 2011). Hubungan antara perilaku ibu dan kejadian diare juga dibuktikan
oleh penelitian yang dilakukan Muhajirin (2002) yaitu adanya hubungan antara
praktek personal hygiene ibu dengan kejadian diare di kecamatan Maos Kab Cilacap
dengan OR=2,983 yang artinya balita memiliki resiko terkena diare 2,983 kali lebih
besar pada ibu dengan praktek personal hygiene yang buruk dibandingkan praktek
personal hygiene yang baik.
Faktor keluarga meliputi status ekonomi dan jumlah balita dalam keluarga.
Ada hubungan yang bermakna (p value 0,007) antara pendapatan per kapita dengan
kejadian diare pada balita (Fatmasari, 2008). Sebuah penelitian yang mencari
hubungan antara jumlah balita dalam keluarga menghasilkan kesimpulan bahwa
keluarga yang memiliki balita lebih dari satu memiliki resiko terkena diare 1,23 kali
daripada keluarga yang mempunyai balita hanya satu (Warouw, 2002). Penelitian

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


5

serupa yang dilakukan Dewi (2011) menunjukkan resiko balita terkena diare lebih
besar 6,44 kali pada keluarga dengan jumlah balita lebih dari satu.
Faktor lingkungan juga memiliki peranan penting dalam kejadian penyakit
infeksi. Variabel sumber air bersih, kondisi jamban, dan kepadatan hunian secara
statistik berhubungan dengan kejadian diare pada penelitian yang dilakukan di
Palembang (Fitriyani, 2005). Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan
Dewi (2011), melalui penelitian yang dilakukan dihasilkan faktor lingkungan yang
berhubungan signifikan dengan kejadian diare adalah sumber air bersih, kondisi
jamban keluarga, pengolahan sampah rumah tangga, dan sarana pembuangan air
limbah. Faktor kepadatan huni juga merupakan faktor resiko diare yang ditunjukkan
oleh penelitian Irianto (2000), penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara kepadatan huni dengan kejadian diare pada balita
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Depok tahun 2009, Kota Depok
memiliki angka kejadian diare pada bayi dan balita yang lebih tinggi (22,4%)
daripada angka nasional (16,5%) pada tahun 2008 (Dinas Kesehatan Kota Depok,
2009). Wilayah kerja Puskesmas Tugu merupakan Puskesmas yang memiliki jumlah
penduduk terbanyak, hanya memiliki satu kelurahan, dan memiliki prevalensi kasus
diare tertinggi di tahun 2008. Pada tahun 2011, prevalensi diare pada bayi di wilayah
ini sebesar 29,7% dan pada anak 1-4 tahun sebesar 21,4%. Tingginya kasus diare ini
membuat peneliti perlu melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan.

1.2 Rumusan Masalah


Diare merupakan penyakit nomor dua terbesar yang menyebabkan kematian
balita yaitu sebesar 15% setelah pneumonia sebesar 18% pada tahun 2008 (WHO,
2011). Dampak lain dari diare adalah kejadian growth faltering pada bayi dan balita
(Mosley dan Chen, 1984). Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok karena memiliki angka prevalensi kejadian diare yang lebih tinggi
dari angka nasional. Pada tahun 2010, wilayah kerja Puskesmas Tugu memiliki
prevalensi diare pada bayi sebesar 31% dan tahun 2011 sebesar 29,7%. Pada

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


6

kelompok usia 1-4 tahun, prevalensi diare juga lebih tinggi dari angka nasional yaitu
21,4%. Selain itu, diare juga merupakan penyakit terbanyak yang diderita pada bayi
di Puskesmas Tugu tahun 2011 sebesar 723 kasus.
Berdasarkan besarnya dampak dan masalah prevalensi diare yang tinggi,
maka peneliti perlu melakukan penelitian mengenai hubungan antara faktor anak
(berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, dan imunisasi campak), faktor ibu (perilaku
ibu), faktor keluarga (status ekonomi keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), dan
faktor lingkungan (sumber air bersih, kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah,
pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni) terhadap frekuensi diare pada
anak usia 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian kali ini yaitu:
1. Berapa proporsi frekuensi diare pada anak usia 10-23 bulan di Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok tahun 2012?
2. Bagaimana gambaran faktor anak (berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, dan
imunisasi campak), faktor ibu (perilaku ibu), faktor keluarga (status ekonomi
keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), dan faktor lingkungan (sumber
air bersih, kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah, pengolahan
sampah rumah tangga, dan kepadatan huni) pada anak usia 10-23 bulan di
Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012?
3. Bagaimana hubungan faktor anak (berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, dan
imunisasi campak), faktor ibu (perilaku ibu), faktor keluarga (status ekonomi
keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), dan faktor lingkungan (sumber
air bersih, kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah, pengolahan
sampah rumah tangga, dan kepadatan huni) dengan frekuensi diare pada anak
usia 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012?

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


7

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran frekuensi diare dan faktor-faktor yang berhubungan
dengan frekuensi diare pada anak usia 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun
2012.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Diketahuinya proporsi frekuensi diare pada anak usia 10-23 bulan di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok tahun 2012.
2. Diketahuinya gambaran faktor anak (berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, dan
imunisasi campak), faktor ibu (perilaku ibu), faktor keluarga (status ekonomi
keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), dan faktor lingkungan (sumber
air bersih, kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah, pengolahan
sampah rumah tangga, dan kepadatan huni) pada anak usia 10-23 bulan di
Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.
3. Diketahuinya hubungan faktor anak (berat lahir, status gizi, ASI eksklusif,
dan imunisasi campak), faktor ibu (perilaku ibu), faktor keluarga (status
ekonomi keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), dan faktor lingkungan
(sumber air bersih, kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah,
pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni) dengan frekuensi
diare pada anak usia 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi Institusi
Bagi Dinas Kesehatan Kota Depok dan Puskesmas Tugu Kecamatan
Cimanggis, penelitian ini dapat menggambarkan faktor resiko diare pada bayi.
Beberapa faktor resiko dapat dikontrol dan berdampak pada menurunnya angka
growth faltering dan kematian bayi. Oleh karena itu, penelitian ini dapat memicu
institusi terkait untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya promosi

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


8

kesehatan mengenai kebutuhan gizi pra konsepsi, kebutuhan gizi bayi, dan perilaku
hidup bersih sehat (PHBS).

1.5.2 Bagi Masyarakat


Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan
pengetahuan mengenai faktor-faktor resiko diare pada anak usia 10-23 bulan.
Sehingga melalui penelitian ini, masyarakat dapat mengontrol dan mencegah agar
faktor tersebut tidak menyebabkan diare.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara
faktor anak, faktor ibu, faktor keluarga, dan faktor lingkungan dengan frekuensi diare
pada bayi 10-23 bulan. Penelitian dilakukan di Ruang Poli Anak (MTBS) Puskesmas
Tugu pada 20 Maret - 27 April 2012. Penelitian ini menggunakan studi analitik
kuantitatif dengan menggunakan pendekatan observasional, yang dilakukan secara
cross sectional. Sampel pada penelitian ini adalah anak usia 10-23 bulan yang
didiagnosa menderita diare oleh tenaga kesehatan Puskesmas Tugu dan telah
memenuhi kriteria sampel lainnya. Responden penelitian ini adalah ibu dari anak usia
10-23 bulan yang telah memenuhi kriteria sampel. Pengambilan sampel dilakukan
secara purposive sampling dan diperoleh actual subject selama pengambilan data
sebanyak 95 responden. Petugas pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri.
Pengambilan data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data sekunder berupa
angka diare pada baduta dan jumlah anak usia 10-23 bulan di Puskesmas Tugu
melalui Dinas Kesehatan Kota Depok dan data kunjungan pasien di Puskesmas Tugu
sebagai data awal. Data sekunder yang digunakan juga data rekam medik pasien yang
ditulis dalam kartu pasien rawat jalan di Puskesmas Tugu sebagai penegakan
diagnosis diare dan data status gizi (BB dan PB) melalui KMS. Sedangkan
pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara dan observasi rumah
menggunakan kuesioner.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare
2.1.1 Definisi Diare
Diare berasal dari bahasa Yunani yaitu diarroi yang berarti mengalir terus.
Terdapat beberapa definisi mengenai pengertian diare. Hipocrates mendefinisikan
diare sebagai buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan
konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair.
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang
lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih
dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai
dengan muntah atau tinja yang berdarah yang merupakan gejala infeksi
gastrointestinal. Diare disebabkan oleh berbagai organisme bakteri, virus dan
parasit yang menyebar melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau
dari orang ke orang sebagai akibat dari kebersihan yang buruk.
Menurut Depkes RI (2007a) diare adalah buang air besar lembek/cair
bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan
berlangsung kurang dari 14 hari. Diare yang berlangsung antara satu sampai dua
minggu dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002). Diare paling
sering terjadi pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa
mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang, 2004). Pada bayi, volume tinja
lebih dari 15 g/kg/24 jam disebut diare (Behrman et al., 1996). Penyebab tersering
diare adalah infeksi virus atau bakteri di usus halus distal atau usus besar (Corwin,
2009).

2.1.2 Klasifikasi Diare


WHO (2005), mengklasifikasikan jenis diare menjadi empat kelompok
yaitu diare akut, disentri, diare persisten dan diare dengan masalah lain.

9 Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


10

2.1.2.1 Diare akut


Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya
kurang dari 7 hari). Menurut Soegijanto (2002) diare akut dapat mengakibatkan
beberapa hal, yaitu:
a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia.
b. Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat
diare dengan atau tanpa disertai muntah
c. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan
muntah
Sebanyak 90% penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan
akan disertai dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen. Penyebab lain
sebesar 10% disebabkan oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain
(Ahlquist et al., 2005).

2.1.2.2 Disentri
Menurut Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) Departemen Kesehatan
RI (1999), disentri umumnya diawali oleh diare cair, lalu pada hari kedua atau
ketiga akan muncul darah, disertai dengan atau tanpa lendir, sakit perut, yang
kemudian diikuti munculnya tenesmus. Selain itu, penderita disentri juga
mengalami kenaikan suhu tubuh disertai dengan hilangnya nafsu makan dan
badan terasa lemah. Pada saat tenesmus terjadi, pada kebanyakan penderita akan
mengalami penurunan volume diarenya dan mungkin feses hanya berupa darah
dan lendir. Disentri dapat disertai gejala infeksi saluran nafas akut. Disentri dapat
menimbulkan dehidrasi, dari yang ringan sampai dengan dehidrasi berat.

2.1.2.3 Diare persisten


Diare persisten adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara
terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan
metabolisme.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


11

2.1.2.4 Diare dengan masalah lain


Anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga
disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

2.1.3 Etiologi Diare


Penyebab diare pada bayi dapat dikelompokkan menjadi enam faktor,
yaitu faktor infeksi, malabsorbsi, alergi dan makanan, keracunan, imunodefisiensi,
dan sebab-sebab lain (Depkes RI, 2007a; Widoyono, 2008).
2.1.3.1 Faktor infeksi
Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama
diare yang disebabkan sebagai berikut :
a. Infeksi bakteri : Vibrio cholerae, E. Coli, Salmonella, Shigella sp.,
Campilobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya.
b. Infeksi virus : Rotavirus, Adenovirus.
c. Infeksi parasit : cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastsistis
huminis, protozoa, Entamoeba histolitica, Giardia labila, Belantudium coli dan
Crypto.
d. Worm: A. Lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichiura, S. Stercoralis,
dll.
e. Fungus: Kandida/moniliasis.

2.1.3.2 Faktor Malabsorsi


Terdapat 2 jenis malabsorbsi yang menyebabkan diare yaitu malabsorpsi
karbohidrat dan malabsorbsi lemak. Malabsorpsi karbohidrat pada balita terjadi
karena kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula sehingga
menyebabkan diare. Gejalanya dari malabsorbsi ini berupa diare berat, tinja
berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak
dapat terjadi jika dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida.
Triglyserida, dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles
yang siap diabsorpsi usus. Diare dapat muncul jika tidak ada lipase dan terjadi
kerusakan mukosa usus karena lemak tidak terserap dengan baik.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


12

2.1.3.3 Faktor alergi


Alergi yang menyebabkan diare dapat terjadi karena tubuh tidak tahan
terhadap zat makanan tertentu seperti laktosa pada susu sapi yang biasa disebut
lactose intolerance.

2.1.3.4 Faktor keracunan


Faktor keracunan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu keracunan
bahan kimia dan keracunan bahan oleh racun yang dikandung dan diproduksi.
Racun tersebut dapat dihasilkan oleh jasad renik, algae, ikan, buah-buahan, dan
sayur-sayuran.

2.1.3.5 Faktor imunodefisiensi


Penurunan daya tahan tubuh dapat menyebabkan seseorang lebih mudah
terserang penyakit termasuk penyakit diare. Imunodefisiensi dapat bersifat
sementara (misalnya sesudah infeksi virus), atau bahkan berlangsung lama seperti
pada penderita HIV/AIDS.

2.1.3.6 Sebab-sebab lain


Menurut Depkes RI (2007a), faktor perilaku yang dapat menyebabkan
penyebaran bakteri pathogen dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah
sebagai berikut :
a. Tidak memberikan ASI saja selama 4-6 bulan pada pertama kehidupan.
b. Menggunakan botol susu yang memudahkan pencemaran bakteri pathogen,
karena botol susu susah dibersihkan.
c. Menyimpan makanan pada suhu kamar, yang jika didiamkan beberapa jam
bakteri pathogen akan berkembang biak.
d. Menggunakan air minum yang tercemar.
e. Tidak mencuci tangan setelah buang air besar atau sebelum makan dan
menyuapi anak.
f. Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


13

2.1.4 Epidemiologi Diare


2.1.4.1 Penyebaran Kuman yang Menyebabkan Diare
World Gastroenterology Organization global guidelines 2005 membuat
daftar epidemiologi penyebab diare berdasarkan infeksi seperti ditunjukkan pada
Tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Daftar Epidemiologi Penyebab Diare Berdasarkan Infeksi


Perantara (vehicle) Patogen klasik
Air (termasuk sampah makanan Vibrio cholerae, Norwalk agent, Giardia
pada air tersebut) lamblia dan Cryptosporidium species

Makanan
Salmonella, Campylobacter dan Shigella
Poultry species
Sapi Enterohemorrhagic E coli, Taenia Saginata
Babi Cacing pita
Makanan laut dan shellfish Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus dan
(termasuk sushidan ikan Vibrio vulnificu, Salmonella species, cacing
mentah) pita, dan cacing anisakiasis
Keju Listeria species
Telur Salmonella species
Makanan dan krim Staphylococcus dan Clostridium, Salmonella
mengandung mayonnaise
Salmonella, Campylobacter,
Pie Cryptosporidium, dan Giardia species

Binatang ke manusia (binatang Kebanyakan bakteri enterik, virus, dan parasit


piaraan dan livestock)

Manusia ke manusia (termasuk


kontak seksual)
Pusat perawatan harian Shigella, Campylobacter, Cryptosporodium,
dan Giardia species, virus, Clostridium
difficile
Rumah sakit, antibiotik, atau C. Difficile
kemoterapi
Kolam renang Giardia dan Cryptosporodium species
E. coli berbagai tipe, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Giardia,Cryptosporodium
Berpergian ke luar negeri species, dan Entamoeba hystolitica

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


14

Penyebaran kuman penyebab diare seperti yang telah ditunjukkan dalam


Tabel 2.1 di atas dapat terjadi karena faktor perilaku. Beberapa perilaku yang
dapat meningkatkan risiko terjadinya diare telah dijelaskan dalam sub bab 2.1.3.6
di atas.

2.1.4.2 Faktor Pejamu yang Meningkatkan Kerentanan Terhadap Diare


Terdapat beberapa faktor pejamu yang dapat meningkatkan insiden diare
(Depkes RI, 2007a), yaitu:
a. Tidak memberikan ASI eksklusif dan melanjutkan ASI sampai 2 tahun
b. Kurang gizi
c. Campak
d. Imunodefisiensi/imunosupresi
e. Umur

2.1.4.3 Faktor Lingkungan dan Perilaku


Faktor lingkungan yang tercemar dengan kuman infeksi penyakit
merupakan hal penting yang menyebabkan diare pada bayi. Selain itu, perilaku
manusia yang tidak sehat seperti perilaku mencuci tangan, pemberian ASI
eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, dan sebagainya dapat meningkatkan resiko
insiden diare.

2.1.5 Patofisiologi Diare


Mekanisme dasar kejadian diare dapat dijelaskan sebagai berikut
(Kusmaul, 2002):
a. Diare dapat terjadi karena gangguan osmotik. Hal ini dapat terjadi akibat
terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap tubuh sehingga
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat, sehingga terjadi
pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


15

b. Diare terjadi akibat rangsangan tertentu seperti toksin pada dinding usus. Hal
ini dapat menyebabkan peningkatan air dan elektrolit ke dalam rongga usus
dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
c. Diare terjadi karena adanya gangguan motalitas usus. Pada mekanisme ini
terjadi gerakan hiperperistaltik yang akan mengakibatkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Gerakan
peristaltik usus yang menurun juga dapat menimbulkan diare karena akan
mengakibatkan bakteri timbul secara berlebihan.
d. Diare juga dapat terjadi akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus
setelah berhasil melewati asam lambung. Mikroorganisme tersebut berkembang
biak kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi
yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Penyebab tersering diare pada anak adalah disebabkan oleh rotavirus.
Virus ini menyebabkan 40-60% dari kasus diare pada bayi dan anak-anak
(Simatupang, 2004). Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke
dalam tubuh bersama dengan makanan dan minuman. Kemudian virus itu akan
sampai ke sel-sel epitel usus halus dan akan menyebabkan infeksi dan merusakkan
sel-sel epitel tersebut. Sel-sel epitel yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit
baru yang berbentuk kuboid atau sel epitel gepeng yang belum matang sehingga
fungsi sel-sel ini masih belum bagus. Hal ini menyebabkan vili-vili usus halus
mengalami atrofi dan tidak dapat menyerap cairan dan makanan dengan baik.
Cairan dan makanan tadi akan terkumpul di usus halus dan akan meningkatkan
tekanan osmotik usus. Hal ini dapat menyebabkan banyaknya cairan yang ditarik
ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya hiperperistaltik usus.
Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan didorong keluar melalui anus
dan terjadilah diare (Kliegman et al, 2006).

2.1.6 Komplikasi Diare


Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama
diare, terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Apabila diare itu disebabkan oleh
Shigella, demam tinggi dan kejang bisa timbul. Abses pada saluran usus juga
dapat timbul akibat infeksi shigella dan salmonella terutama pada demam tifoid

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


16

yang dapat menyebabkan perforasi pada saluran usus. Hal ini sangat berbahaya
dan mengancam nyawa. Muntah yang berat dapat menyebabkan aspirasi dan
robekan pada esofagus (Kliegman et al., 2006).
Pada diare akut, dapat terjadi kehilangan cairan secara mendadak sehingga
menyebabkan syok hipovolemik yang cepat. Kehilangan cairan dan elektrolit
melalui feses akan mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik. Pada
kejadian diare yang terlambat ditangani petugas medis, syok hipovolemik yang
sudah tidak dapat diatasi lagi akan menimbulkan Tubular Nekrosis Akut pada
ginjal yang selanjutnya menyebabkan gagal multi organ. Komplikasi ini dapat
juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tercapai rehidrasi yang optimal (Zein, 2004). Selain itu, diare juga dapat
menyebabkan malnutrisi energi protein karena selain diare dan muntah, penderita
juga mengalami kelaparan (FKUI, 1985). Hal ini ditandai dengan penurunan
jumlah otot dan lemak atau adanya bengkak di kaki dan tangan, yang merupakan
pertanda adanya gangguan penyerapan karbohidrat, lemak, dan protein.

2.1.7 Penanggulangan Diare berdasarkan Tingkat Dehidrasi (WHO, 2005)


2.1.7.1 Tanpa Dehidrasi
Anak-anak yang berumur di bawah 2 tahun dapat diberikan larutan oralit
50-100ml/kali diare dan untuk usia yang lebih dari 2 tahun diberikan larutan yang
sama dengan dosis 100-200ml/kali diare.

2.1.7.2 Dehidrasi Ringan


Pada keadaan dehidrasi ringan diperlukan oralit secara oral bersama
larutan kristaloid Ringer Laktat ataupun Ringer Asetat dengan formula lengkap
yang mengandung glukosa dan elektrolit. Formula tersebut diberikan sebanyak
mungkin sesuai dengan kemampuan anak serta dianjurkan ibu untuk meneruskan
pemberian ASI. Berdasarkan WHO, larutan oralit seharusnya mengandung
90mEq/L natrium, 20mEq/L kalium klorida dan 111mEq/L glukosa.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


17

2.1.7.3 Dehidrasi Sedang


Pasien yang mengalami dehidrasi sedang memerlukan perhatian yang
lebih khusus. Selain itu, pemberian oralit hendaknya dilakukan oleh petugas di
sarana kesehatan dan penderita perlu diawasi selama 3-4 jam. Jika penderita sudah
lebih baik keadaannya, penderita dapat dibawa pulang untuk dirawat di rumah
dengan pemberian oralit. Untuk umur kurang dari 1 tahun, setiap buang air besar
diberikan oralit dengan dosis 50-100ml.

2.1.7.4 Dehidrasi berat


Pada keadaan dehidrasi berat, pasien akan diberikan larutan hidrasi secara
intravena (intravenous hydration) dengan kadar 100ml/kgBB/3-6 jam. Dosis
pemberian cairan untuk umur kurang dari 1 tahun adalah 30ml/kg BB untuk 1 jam
yang pertama dan seterusnya diberikan 75ml/kgBB setiap 5 jam.

2.1.8 Pencegahan Diare


Terdapat tiga tingkatan upaya pencegahan penyakit yaitu: pencegahan
primer (primary prevention), pencegahan sekunder (secondary prevention), dan
pencegahan tersier (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat
dan rehabilitasi (Noor, 2006).
2.1.8.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer pada penyakit diare ditujukan untuk faktor penyebab,
faktor lingkungan dan faktor pejamu. Dilakukan upaya agar mikroorganisme
penyebab diare dihilangkan pada faktor penyebab. Kemudian untuk dilakukan
pencegahan pada faktor lingkungan, dilakukan penyediaan sumber air bersih,
sanitasi lingkungan, serta perilaku kebersihan yang baik. Dari faktor pejamu dapat
dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi. Secara rinci,
pencegahan primer dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Penyediaan sumber air bersih
Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari
sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Masyarakat yang terjangkau
oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


18

dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Andrianto,


1995).
2. Tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat dapat berpengaruh
terhadap insiden penyakit diare yang penularannya melalui tinja (Haryoto, 1983
dalam Gunawan, 2010). Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat
sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita
sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai tempat
pembuangan tinja yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2004).
3. Status gizi
Status gizi bayi didefinisikan sebagai keadaan yang dihasilkan antara
keseimbangan intake dan output yang diperoleh dari berat badan dibagi umur
sesuai dengan KMS berdasarkan standar WHO-NCHS (Depkes, 2011b). Semakin
buruk gizi anak, maka akan semakin banyak frekuensi diare yang dialami.
Mortalitas bayi umumnya kecil di negara yang memiliki prevalensi kurang energi
protein (KEP) rendah. Anak yang mengalami malnutrisi, kelenjar timusnya akan
mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sehingga kemampuan untuk
melawan bakteri berkurang (Suharyono, 1986 dalam Gunawan, 2010).
4. Pemberian air susu ibu (ASI)
Menurut Depkes RI (2000), makanan yang paling baik untuk bayi adalah
ASI. ASI mengandung komponen zat makanan dalam bentuk yang ideal dan
seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI dapat
mencegah serangan virus dan bakteri penyebab penyakit dengan adanya
kandungan antibodi dan zat-zat lainnya. ASI juga memberikan perlindungan
terhadap kejadian diare, pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara
eksklusif mempunyai perlindungan empat kali lebih besar terhadap diare daripada
pemberian ASI parsial (dengan tambahan susu formula). Bayi yang tidak
diberikan ASI eksklusif beresiko terkena diare 30 kali lebih besar dibandingkan
dengan bayi yang diberikan ASI eksklusif.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


19

5. Kebiasaan mencuci tangan


Kuman infeksi penyebab diare sebagian besar ditularkan melalui jalur oral
yaitu dengan perantara air seperti melalui air minum. Penularan ini berasal dari
bahan tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen. Dalam hal ini,
tangan merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena tangan yang tidak
bersih dapat membawa masuk kuman penyakit ke tubuh manusia melalui
makanan atau minuman tercemar. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah
buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi
makan anak dan sebelum menyiapkan makanan dapat mengurangi resiko diare
(Depkes RI, 2007a).
6. Imunisasi
Pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare karena
penyakit ini sering timbul menyertai penyakit campak. Imunisasi campak harus
dilakukan segera saat bayi berusia 9 bulan (Andrianto, 1995).

2.1.8.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder pada penyakit diare ditujukan untuk anak yang telah
menderita diare. Pencegahan ini juga dilakukan pada anak yang terancam akan
menderita diare dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan
tepat, serta untuk mencegah terjadinya efek samping dan komplikasi. Prinsip
pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi)
dan mengatasi penyebab diare. Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan
dengan penyebab diare yang dialami seperti bakteri dan parasit (Syam, 2006).

2.1.8.3 Pencegahan Tersier


Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah agar penderita diare tidak
mengalami kecacatan dan kematian akibat dehidrasi. Pada tahap pencegahan ini,
dilakukan juga usaha rehabilitasi untuk mencegah efek samping dari penyakit
diare. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan terus mengonsumsi makanan
bergizi dan menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pencegahan tersier juga dapat
dilakukan dengan tetap memberikan dukungan secara mental kepada anak dalam
proses rehabilitasi (Fromm, 1995 dalam Nainggolan, 2010).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


20

2.2 Faktor-Faktor Resiko Diare


2.2.1 Berat Lahir
Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah
lahir (IDAI, 2004). Berat lahir merupakan faktor resiko kejadian sakit. Bayi
dengan berat bayi lebih dari atau sama dengan 2500 gram termasuk berat lahir
normal, sedangkan bayi yang lahir kurang dari 2500 gram digolongkan berat lahir
rendah. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki pertumbuhan dan pematangan
(maturasi) organ dan alat – alat tubuh belum sempurna, akibatnya bayi berat lahir
rendah sering mengalami komplikasi dan infeksi yang dapat berakhir dengan
kematian (Depkes RI, 1995 dalam Sadono et al., 2005). Secara keseluruhan,
proporsi bayi berat lahir rendah di Indonesia sebesar 11,5% (Depkes, 2007b).
Sebuah penelitian menunjukkan trend peningkatan frekuensi penyakit
infeksi diare dan ISPA yang lebih besar pada bayi dengan berat badan lahir rendah
daripada berat badan lahir normal (Salehah, 2002). Penelitian yang dilakukan Siti
Fadilah (2009) yang melakukan analisis terhadap data Riskesdas 2007
menunjukkan balita dengan berat lahir rendah memiliki resiko diare 1,061 kali
lebih besar daripada balita dengan berat lahir normal.

2.2.2 ASI Eksklusif


Kekebalan tubuh bayi (imunitas) didapatkan dari plasenta ibu. Namun,
kadar kekebalan tersebut akan menurun secara cepat ketika bayi lahir. Pada
kondisi ini, bayi membutuhkan ASI sebagai sumber imunitas untuk menjaga daya
tahan tubuh agar tidak mudah terserang penyakit (Roesli, 2005).
Pemberian ASI eksklusif adalah Memberikan bayi hanya ASI saja selama
usia 0-6 bulan tanpa makanan dan minuman lain kecuali obat dan minuman
berbasis air (air putih dan air teh) (Depkes, 2010). Memberikan ASI secara
eksklusif akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam
penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang
dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan
parasit.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


21

ASI mengandung zat kekebalan (Lactobacillus bifidus, Lactoferin, dan


Lisozim/muramidase), dan beberapa antibodi lain yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen yang melindungi bayi terkena penyakit
infeksi termasuk diare.
Penelitian mengenai hubungan antara ASI eksklusif dan kejadian diare
telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan di daerah kumuh Kota Dhaka,
Bangladesh menunjukkan bayi yang tidak ASI eksklusif (ASI parsial dan tidak
ASI) berhubungan dengan 2,23 kali resiko bayi meninggal karna semua kasus,
2,40 kali resiko meninggal karena ISPA, dan 3,94 kali resiko meninggal karena
diare (Arifeen et al., 2001). Penelitian lain di Indonesia menunjukkan semakin
lama bayi yang diberi ASI secara eksklusif semakin kecil kemungkinan bayi
untuk terkena kejadian diare, dikarenakan ASI mengandung zat antibodi yang bisa
meningkatkan sistem pertahanan tubuh anak (Kamalia, 2005). Penelitian yang
dilakukan di RSUP Adam Malik Medan menunjukkan dari 60 balita diare, 25%
mendapatkan ASI eksklusif dan 75% tidak ASI eksklusif (Akmal, 2009).

2.2.3 Status Gizi


Status gizi merupakan keadaan yang dihasilkan antara keseimbangan
intake dan output yang diperoleh dari berat badan dibagi umur sesuai dengan
KMS berdasarkan standar WHO-NCHS (Depkes RI, 2011b). Kategori dan
ambang batas status gizi bayi menurut WHO-NCHS (2005) ditunjukkan pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Bayi
Ambang Batas
Indeks Kategori Status Gizi
(Z-score)
Gizi Buruk < -3SD
Berat Badan menurut
Gizi Kurang -3 SD s/d <-2 SD
Umur
Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD
(BB/U)
Gizi Lebih >-2 SD
Sangat Pendek < -3SD
Panjang Badan menurut
Pendek -3 SD s/d <-2 SD
Umur
Normal -2 SD s/d 2 SD
(PB/U)
Tinggi >-2 SD

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


22

Kurang gizi merupakan salah satu masalah di Indonesia selain anemia zat
gizi besi, kekurangan vitamin A (KVA), dan gangguang akibat kekurangan
yodium (GAKY). Bayi dan balita yang mengalami kurang gizi lebih mudah
terjangkit penyakit dibandingkan dengan bayi dan balita dengan gizi baik.
Keadaan kurang gizi dapat meningkatkan beratnya penyakit, lama, dan resiko
kematian terutama pada gizi buruk (Depkes RI, 2007a).
Sebuah penelitian yang dilakukan di Peruvian menunjukkan adanya
hubungan antara status gizi dengan frekuensi diare pada bayi. Hasil penelitian ini
menunjukkan frekuensi diare meningkat setiap penurunan 15% z score
berdasarkan TB/U (Checkley et al., 2001). Penelitian yang dilakukan Fitriyani
(2005) di Puskesmas wilayah Palembang menunjukkan hubungan yang signifikan
antara status gizi dan kejadian diare. Selain itu penelitian lain di Bali
menunjukkan hubungan yang signifikan juga antara status gizi dengan kejadian
diare (OR: 5,46; 3,03-9,84) yang artinya bayi dengan gizi kurang memiliki resiko
diare 5,46 kali lebih besar dibandingkan dengan gizi baik (Dewi, 2011).

2.2.4 Imunisasi Campak


Terdapat enam jenis vaksinasi pada balita yang berfungsi sebagai
pencegahan penyakit. Namun, imunisasi campak merupakan jenis vaksinasi yang
berhubungan dengan diare. Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting
untuk mencegah agar bayi tidak terkena penyakit campak. Anak yang menderita
campak sering disertai dengan diare, sehingga pemberian imunisasi campak juga
dapat mencegah diare. Pencegahan anak agar tidak terkena penyakit campak dapat
menurunkan angka malnutrisi dan kekurangan vitamin A yang berhubungan
dengan diare (WHO, 1991). Imunisasi campak sebaiknya segera diberikan setelah
bayi berumur 9 bulan (Depkes, 2011b). Diperkirakan imunisasi campak dapat
mencegah 44,64% jumlah kasus campak, 0,6-3,8% jumlah kejadian diare, dan 6-
26% jumlah kematian karena diare pada balita (Depkes dalam Suparjo, 2000).
Menurut WHO (2002), imunisasi campak merupakan langkah penting untuk
melindungi dari episode diare dan kematian akibat diare.
Imunisasi campak berhubungan signifikan dengan kejadian diare pada
balita dengan nilai p < 0,05 (Cahyono, 2003). Penelitian ini menunjukkan balita

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


23

yang tidak diberikan imunisasi campak memiliki resiko 2,09 kali untuk terkena
diare dibandingkan dengan balita yang mendapat imunisasi campak. Namun,
berdasarkan penelitian Rini (2001) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pemberian imunisasi campak dengan kejadian diare pada anak 1-4 tahun dengan
nilai p 0,140. Hasil tidak adanya hubungan yang signifikan antara imunisasi
campak dengan diare pada balita juga ditunjukkan oleh penelitian Suciyanti
(2009) dengan nilai p 0,163.

2.2.5 Pendidikan Ibu


Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Tingkat
pendidikan yang rendah akan menyebabkan kesulitan dalam menerima gagasan
baru, sedangkan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah dalam
menerima gagasar baru. Semakin tinggi tingkatan pendidikan seseorang maka
akan semakin tinggi pemahaman mengenai informasi yang selanjutnya
diaplikasikan dalam kehidupan (Kontjaraningrat dalam Dewi, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Irianto (2000) dan Fitriyani (2005),
pendidikan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian diare pada
balita dengan nilai p < 0,05. Di sisi lain, data SDKI 2007 menunjukkan ada
hubungan negatif antara pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita
(Depkes RI, 2008).

2.2.6 Pengetahuan Ibu


Pengetahuan adalah diperoleh melalui hasil penglihatan maupun
pendengaran dengan tingkatan pengetahuan sebagai berikut: tahu (know),
memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis
(synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan dapat
diperoleh secara langsung atau dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010).
Bedasarkan penelitian yang dilakukan Fatmasari (2008), terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengankejadian diare pada
balita dengan nilai p 0,000. Adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan
ibu dengan kejadian diare pada balita juga ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Winlar (2002).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


24

2.2.7 Pekerjaan Ibu


Jenis pekerjaan umumnya berhubungan dengan tingkat pendapatan dan
pendidikan. Jenis pekerjaan memiliki pengaruh terhadap akses dibidang kesehatan
dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah penyakit (Sunoto, 1990 dalam
Suciyanti, 2002).
Penelitian yang dilakukan Suciyanti (2002) menunjukkan bahwa balita
yang ibunya tidak bekerja beresiko 0,72 kali untuk menderita diare dibandingkan
dengan balita dengan ibu yang bekerja. Nilai OR < 1 menunjukkan bahwa
pekerjaan ibu bukan merupakan faktor resiko kejadian diare. Penelitian ini juga
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p value > 0,05) antara
pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada balita.

2.2.8 Perilaku Ibu


Perilaku dapat dipengaruhi oleh pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan
(Notoatmodjo, 2007b). Perilaku ibu sebagai orang yang mengasuh anak harus
diperhatikan agar dapat menurunkan resiko terjangkit kuman penyebab penyakit.
Kebiasaan ibu yang termasuk dalam pencegahan diare adalah kebiasaan mencuci
tangan dengan menggunakan air dan sabun, serta perilaku membersihkan
peralatan makan dan minum (Depkes RI, 2007a).
Mencuci tangan merupakan salah satu perilaku yang berperan dalam
kejadian diare karena tangan merupakan media yang berperan dalam penyebaran
penyakit melalui fecal oral. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang
air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak
dan sebelum menyiapkan makanan (Depkes RI, 2007a).
Perilaku membersihkan peralatan makan dan minum juga memiliki
pengaruh terhadap kejadian diare. Peralatan makan dan minum sebaiknya dicuci
dengan baik dan mengunakan sumber air yang bersih.
Menurut penelitian Muhajirin (2002), ada hubungan antara praktek
personal hygiene ibu dengan kejadian diare di kecamatan Maos Kab Cilacap
dengan OR=2,983 yang artinya balita memiliki resiko terkena diare 2,983 kali
lebih besar pada ibu dengan praktek personal hygiene yang buruk dibandingkan
praktek personal hygiene yang baik. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


25

Hendrayani (2006) juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara perilaku


ibu dengan kejadian diare (p=0,001). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Fitriyani (2005) menunjukkan hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara
perilaku ibu dengan kejadian diare dengan p value 0,051.

2.2.9 Status Ekonomi Keluarga


Status ekonomi dapat dikelompokkan dari berbagai pengertian. Badan
Pusat Statistik (BPS) menilai status ekonomi keluarga berdasarkan besar
penghasilan keluarga dibandingkan dengan pengeluaran keluarga setiap bulannya.
Kota Depok mengelompokkan status ekonomi keluarga berdasarkan pengeluaran
keluarga setiap bulan. Status sosial ekonomi digolongkan tinggi jika pengeluaran
lebih besar atau sama dengan upah minimum regional (UMR) Kota Depok
perbulan yaitu > Rp. 1.380.000. Sedangkan keluarga dengan status ekonomi
rendah jika pengeluaran kurang dari UMR perbulan yaitu < Rp. 1.380.000.
Faktor sosial ekonomi keluarga mempunyai pengaruh tidak langsung
terhadap kejadian diare (Satoto, 1990 dalam Susilawati, 2002). Kebanyakan anak
mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli yang rendah
(Simatupang, 2003). Bayi yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi
keluarga rendah memiliki daya beli yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi
yang berada pada keluarga dengan status ekonomi tinggi. Daya beli keluarga
berpengaruh pada status gizi bayi dan status gizi bayi dapat memengaruhi bayi
mudah atau tidak terjangkit penyakit termasuk diare (Depkes RI, 2007a).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatmasari (2008) menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara pendapatan perkapita responden dengan
kejadian diare pada anak balita dengan p value 0,007. Penelitian Dewi (2011) juga
menunjukkan status sosial ekonomi memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian diare balita. Dalam penelitian ini, balita yang berasal dari keluarga
dengan status sosial ekonomi rendah memiliki resiko diare lebih besar 4,95 kali
dibandingkan dengan balita yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi
tinggi.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


26

2.2.10 Jumlah Balita dalam Keluarga


Jumlah balita dalam keluarga merupakan salah satu faktor resiko penyebab
diare. Jumlah balita ini adalah yang miliki oleh keluarga responden pada saat
penelitian. Sebaiknya hanya terdapat satu balita dalam keluarga (Maryunani,
2010). Keluarga yang memiliki lebih dari satu balita dalam keluarga dinyatakan
beresiko karena perhatian orang tua terutama ibu bayi yang mengasuh kurang
terfokus pada bayi. Selain itu, bayi rentan tertular penyakit dari balita lain dalam
keluarga.
Menurut penelitian Warouw (2002), keluarga yang memiliki lebih dari
satu balita memiliki resiko terjadi diare 1,23 kali lebih besar dibandingkan dengan
keluarga yang hanya memiliki satu balita. Penelitian serupa yang dilakukan Dewi
(2011) menunjukkan resiko balita terkena diare lebih besar 6,44 kali pada
keluarga dengan jumlah balita lebih dari satu.

2.2.11 Sumber Air Bersih


Sumber air bersih adalah sumber air yang digunakan oleh keluarga dalam
memenuhi kehidupan keluarga seperti air minum, mandi, memasak, mencuci dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2007a). Menurut Depkes RI (2002) dalam Keputusan
Menteri Kesehatan RI tentang “Syarat-Syarat dan Pengawasa Kualitas Air”,
terdapat berbagai macam sumber air seperti air hujan, air tanah, air permukaan,
dan mata air. Air tidak hanya memberikan manfaat namun juga dapat berdampak
buruk terhadap kesehatan jika sumber air tidak memenuhi syarat. Air yang tidak
memenuhi syarat dapat menjadi media penularan penyakit termasuk diare.
Sumber air bersih yang memenuhi syarat adalah jika menggunakan air PDAM, air
kemasan, air sumur dan mata air yang terlindung (Notoatmodjo, 2007a).
Beberapa penelitian telah menjelaskan hubungan antara sumber air bersih
dan kejadian diare. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani (2005) dan
Dewi (2011) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sumber air
bersih yang digunakan keluarga dengan kejadian infeksi. Menurut Wulandari
(2009) menyatakan ada hubungan antara sumber air bersih dengan kejadian diare
di Desa Blimbing yaitu dengan nilai p = 0,01 (p < 0,05). Hal ini disebabkan

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


27

karena masyarakat lebih banyak menggunakan sumber air minum tidak terlindung
yaitu sumur, sebagai sumber air utama keluarga.

2.2.12 Kondisi Jamban


Jamban atau kakus (latrine) adalah tempat pembuangan kotoran manusia
berupa tinja dan air seni. Yang dimaksud dengan kotoran manusia adalah semua
benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari
dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007a). Di negara berkembang, masih banyak terjadi
pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat sosial ekononi yang rendah,
pengetahuan di bidang kesehatan lingkungan yang kurang, dan kebiasaan buruk
dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kondisi
jamban yang memenuhi syarat, jika keluarga memiliki jamban sendiri, jamban
duduk/jongkok dengan leher angsa, serta memiliki septic tank (Kusnoputranto,
1986).
Menurut Depkes RI (2000), terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan
oleh keluarga dalam menurunkan resiko penyakit diare, yaitu:
a. Keluarga harus memiliki jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh
seluruh anggota keluarga.
b. Bersihkan jamban teratur dengan menyiram air setelah jamban digunakan.
c. Jika keluarga tidak memiliki jamban, jangan membiarkan anak-anak pergi ke
tempat buang air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah,
jalan setapak, tempat anak-anak bermain, dan kurang lebih 10 meter dari
sumber air, serta hindari buang air besar tanpa alas kaki.
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara kondisi jamban dengan
kejadian diare. Menurut penelitian Nilton, dkk (2008) di Desa Klopo Sepuluh
menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki jamban kejadian diarenya
lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki jamban. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Wulandari (2009) menyatakan ada hubungan jenis tempat
pembuagan tinja dengan kejadian diare di Desa Blimbing yaitu dengan nilai p =
0,001. Hal ini disebabkan masyarakat masih banyak yang belum memiliki jamban
sehat (jamban dengan tangki septik atau jamban cemplung).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


28

2.2.13 Sarana Pembuangan Air Limbah


Air limbah adalah air buangan yang berasal dari rumah tangga, industri,
dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Air limbah
yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup (Notoatmodjo, 2007a). Oleh karena
itu, diperlukan sarana pembuangan air limbah yang baik agar tidak menyebarkan
vektor penyebab penyakit. Sarana pembuangan air limbah yang memenuhi syarat
jika keluarga memiliki sarana pembuangan air limbah tertutup beserta tempat
penampungan khusus. Sedangkan sarana pembuangan air limbah yang tidak
memenuhi syarat jika keluarga tidak memiliki saluran pembuangan air limbah
tertutup beserta tempat penampungan khusus, atau membuang air limbah di
sembarang tempat (Kusnoputranto, 1986).
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara saluran pembuangan air limbah dengan kejadian diare pada balita (OR
8,06; 4,64-13,98, p value 0,000) (Dewi, 2011).Hasil tersebut berarti keluarga yang
menggunakan saluran pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat
memiliki resiko diare 8,06 lebih besar dibandingan dengan keluarga dengan
saluran pembuangan air limbah memenuhi syarat. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Suciyanti (2009) juga menunjukkan resiko balita yang keluarganya tidak
memiliki sarana permbuangan air limbah berkualitas baik untuk terkena diare
adalah 1,15 kali lebih besar dibandingkan dengan yang memiliki sarana
pembuangan air limbah berkualitas baik dengan p value 0,026 dan perbedaan
resiko ini bermakna secara signifikan.

2.2.14 Pengolahan Sampah Rumah Tangga


Definisi sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai
baik berasal dari rumah tangga atau hasil proses produksi. Pengolahan sampah
menjadi hal yang penting untuk mencegah berbagai bakteri patogen dan serangga
menyebabkan penyakit. Pengolahan sampah dapat dilakukan oleh keluarga
sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007a):

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


29

1. Pengumpulan dan pengangkutan sampah


Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, tertutup rapat, dan ditempatkan di luar
rumah. Kemudian sampah akan dibawa ke tempat penampungan sementara
(TPS), kemudian dibawa ke tempat penampungan akhir (TPA) oleh petugas
kebersihan. Selain itu, sampah dapat diolah sendiri oleh keluarga.
2. Pemusnahan dan pengelolaan sampah
Dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu ditanam (landfill), dibakar
(inceneration), dan dijadikan pupuk (composting).
Pengolahan sampah yang tidak baik dapat berpengaruh buruk bagi
kesehatan, karena sampah akan menjadi tempat bagi vektor-vektor penyakit untuk
berkembang biak dan mencari makan sehingga meningkatkan kejadian penyakit
tertentu seperti penyakit saluran pencernaan (diare, kolera, dan sebagainya),
demam berdarah, penyakit jamur dan penyakit kulit.
Pengolahan sampah yang tidak baik berhubungan signifikan dengan
kejadian diare pada balita yang ditunjukkan oleh penelitian Sinthamurniwaty
(2010). Penelitian lain yang dilakukan Dewi (2011) menunjukkan keluarga yang
pengolahan sampahnya tidak baik memiliki resiko 6,84 kali lebih besar
menyebabkan diare pada balita dibandingkan dengan keluarga dengan pengolahan
sampah yang baik.

2.2.15 Kepadatan Huni


Kepadatan huni dalam di rumah menurut SK Menkes RI No. 829 tahun
1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, hunian dikatakan padat dan tidak
padat berdasarkan rasio luas kamar (Depkes, 1999). Hunian padat, jika luas kamar
anak < 8 m2 dan anak tidur dengan orang dewasa > 2 orang. Sedangkan hunian
tidak padat jika luas kamar anak > 8 m2 dan anak tidur dengan orang dewasa < 2
orang.
Semakin padat hunian maka semakin tinggi kemungkinan terkena diare.
Penelitian yang dilakukan Irianto (2000) menunjukkan hubungan yang signifikan
terhadap kejadian diare pada balita. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


30

Hendrayani (2006) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara


kepadatan huni dengan kejadian diare pada balita dengan p value 0,673.

2.3 Kerangka Teori Kejadian Diare


2.3.1 Determinan Kematian Bayi dan Balita Menurut Mosley dan Chen
Kematian bayi dan balita dapat disebabkan karena sakit dan pertumbuhan
yang terhambat yang dijelaskan dalam diagram determinan kematian bayi dan
balita menurut Mosley dan Chen (1984). Dalam diagram tersebut juga
menjelaskan faktor-faktor resiko yang menyebabkan keadaan sakit.
Faktor sosial ekonomi merupakan faktor yang memengaruhi keadaan
kesehatan baik sakit maupun sehat. Faktor sosial ekonomi meliputi faktor
maternal termasuk pola asuh ibu dan karakteristik ibu, kontaminasi lingkungan,
kurang zat gizi, dan keadaan luka. Bagan 2.1 menunjukkan determinan kematian
bayi dan balita.

Determinan Sosial Ekonomi

Faktor Kontaminasi Defisiensi Zat Gizi Keadaan


Maternal Lingkungan
Luka

Sehat Sakit

Pencegahan
Pengobatan
Gagal Kematian
Kontrol
Tumbuh
Penyakit
Personal

Bagan 2.1Kerangka Teori Determinan Kematian Bayi dan Balita


Sumber: Mosley, W. Henry., Chen, Lincoln C. 1984. An Analytical Framework for the Study of
Child Survival in Developing Countries. Population and Development Review; 10 Suppl:
25-45.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


31

2.3.2 Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan dan Gizi Menurut HL


Blum
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi status kesehatan dan gizi
seseorang. HL Blum (1974) menyatakan bahwa ada 4 faktor utama yang
memengaruhi status kesahatan dan gizi, yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku,
faktor genetik dan keterunan, serta faktor pelayanan kesehatan. Status kesehatan
termasuk kejadian diare juga dapat terjadi karena keempat faktor tersebut. Oleh
karena itu, untuk mencapai status kesehatan dan gizi yang baik maka faktor yang
memengaruhinya harus diperhatikan secara keseluruhan. Bagan 2.2 menunjukkan
faktor yang memengaruhi status kesehatan dan gizi.

Faktor
Genetik/Keturunan

Faktor Pelayanan
Faktor Lingkungan Kesehatan
 Fisik  Promotif
STATUS KESEHATAN
 Biologis  Preventif
DAN GIZI
 Sosio kultural  Kuratif
 Rehabilitatif

Faktor Perilaku
 Sikap
 Gaya hidup

Bagan 2.2 Kerangka Teori Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan dan
Gizi
Sumber: Blum, HL. 1974. Planning For Health : Development Application of Social Change
Theory. New York: Human Services Press.

2.3.3 Paradigma Diare Menurut WHO dan Depkes RI


Kejadian diare dapat disebabkan oleh beberapa faktor resiko. Berdasarkan
WHO dan Depkes RI, terdapat faktor bayi, faktor ibu, dan faktor keluarga, dan
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada bayi. Paradigma
diare ini ditunjukkan pada Bagan 2.3.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


32

Berat lahir

Status sosial Jumlah balita Status imunisasi


ekonomi dalam keluarga

ASI eksklusif

Keluarga
Status gizi

Lingkungan

Agen :
Anak
- Biologis Sumber air
- Kimia bersih

DIARE
Kepadatan huni Tanah

Jamban keluarga Alergi


Tinja
Keracunan
Pengolahan makanan
Peralatan
sampah
Vektor makan
Malabsorbsi
Saluran
pembuangan air
limbah Makanan Immunodefiensi
/minuman

Infeksi

Ibu Sebab lain

Pengetahuan Pendidikan Perilaku ibu Usia


Pekerjaan

Bagan 2.3 Kerangka Teori Paradigma Kejadian Diare


Sumber: WHO, 2006 dan Depkes RI, 2008 dalam Dewi, 2011 (telah diolah kembali)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


BAB 3
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep


Berdasarkan kerangka teori determinan kematian bayi dan balita menurut
Mosley dan Chen, faktor yang memengaruhi status kesehatan dan gizi menurut
HL Blum, dan paradigma diare menurut WHO dan Depkes RI yang telah
dipaparkan dalam BAB II, maka dirancang kerangka konsep penelitian pada
Gambar 3.1.

Faktor Anak:
- Berat lahir
- Status gizi
- ASI eksklusif
- Imunisasi campak

Faktor Ibu:
- Perilaku ibu
Frekuensi Diare pada
Anak Usia 10-23 Bulan di
Faktor Keluarga: Puskesmas Tugu, Depok
- Status ekonomi keluarga
- Jumlah balita dalam
keluarga

Faktor Lingkungan:
- Sumber air bersih
- Kondisi jamban
- Sarana pembuangan air
limbah
- Pengolahan sampah
rumah tangga
- Kepadatan huni

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

33 Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
34

Gambar 3.1 menunjukkan kerangka konsep yang merupakan integrasi dari


variabel yang akan diteliti. Frekuensi diare sebagai variabel dependen dengan
berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, imunisasi campak, perilaku ibu, status sosial
ekonomi keluarga, jumlah balita dalam keluarga, sumber air bersih, kondisi
jamban, sarana pembuangan air limbah, pengolahan sampah rumah tangga, dan
kepadatan huni sebagai variabel independen. Faktor ibu yang diteliti hanya
perilaku ibu karena perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh pendidikan,
pekerjaan, dan pengetahuan (Skiner dalam Notoatmodjo, 2007b).

3.2 Definisi Operasional


Di dalam penelitian ini dipaparkan mengenai definisi operasional guna
menghindari kesalahan persepsi mengenai variabel-variabel yang akan diteliti.
Definisi operasional penelitian ini diuraikan pada Tabel 3.1.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


35

Tabel 3.1 Definisi Operasional, Alat Ukur, Cara Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur Penelitian
Variabel Dependen
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 Frekuensi Diare Jumlah kejadian diare Hasil diagnosa Kuesioner no 1. Lebih dari sekali dalam 4 Ordinal
(penyakit yang ditandai tenaga A1-A3 dan bulan terakhir, jika anak
dengan buang air besar kesehatan data rekam didiagnosa menderita diare
lembek atau cair dengan Puskesmas medik pasien dengan frekuensi lebih dari
frekuensi lebih sering dari Tugu dan data dalam kartu frekuensi median dunia.
biasanya yaitu tiga kali rekam medik status pasien 2. Sekali dalam 4 bulan
atau lebih dalam sehari) pasien di rawat jalan terakhir, jika anak
dalam kurun waktu Puskesmas didiagnosa menderita diare
tertentu. Tugu dengan frekuensi kurang
dari frekuensi median
(Depkes RI, 2007) dunia.

(Parashar et al., 2003 dalam


Agtini, 2011)
Variabel Independen
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 Berat Lahir Berat bayi yang ditimbang Wawancara Kuesioner 1. Berat lahir rendah, jika Ordinal
dalam 1 (satu) jam setelah nomor B1 berat lahir kurang dari 2500
lahir. gram.
2. Berat lahir normal, jika
berat lahir lebih dari 2500
gram.

( IDAI, 2004)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


36

2 Status Gizi Keadaan yang dihasilkan Pengukuran - Data KMS Nilai Z-score berdasarkan Ordinal
dari keseimbangan intake status gizi dan selama 4 bulan BB/U
dan output yang diperoleh data KMS terakhir 1. Gizi Kurang: < -2,0 SD
dari berat badan dibagi - Timbangan 2. Gizi Baik: > -2,0 SD
umur sesuai dengan KMS - Baby length
berdasarkan standar board Nilai Z-score berdasarkan PB
WHO-NCHS. - Software WHO 1. Pendek/stunted: < -2,0 SD
anthro 2. Normal: > -2,0 SD
- Kuesioner
nomor C1-C2 (Depkes RI, 2011a)
3 ASI Eksklusif Memberikan bayi hanya Wawancara Kuesioner nomor 1. Tidak ASI eksklusif, jika Ordinal
ASI saja sampai usia 6 D5 bayi diberikan makanan
bulan, tanpa memberikan atau minuman lain selain
bayi makanan atau ASI eksklusif sampai usia
minuman lain, termasuk 6 bulan.
air putih (kecuali obat- 2. ASI eksklusif, jika bayi
obatan dan vitamin atau hanya diberikan ASI saja
mineral tetes; ASI perah sampai usia 6 bulan, tanpa
juga diperbolehkan). memberikan bayi makanan
atau minuman lain,
termasuk air putih (kecuali
obat-obatan dan vitamin
atau mineral tetes; ASI
perah juga diperbolehkan).

(Depkes, 2010)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


37

4 Imunisasi Imunisasi untuk mencegah Wawancara Kuesioner 1. Tidak imunisasi, jika Ordinal
Campak penyakit campak yang nomor E1 sampel tidak mendapatkan
dilakukan pada bayi segera imunisasi campak segera
saat usia > 9 bulan. saat usia > 9 bulan.
2. Sudah imunisasi, jika
sampel telah imunisasi
campak segera saat usia >
9 bulan.

(Depkes, 2011)
5 Perilaku Ibu Kebiasaan ibu dalam Wawancara Kuesioner 1. Perilaku buruk, jika nilai Ordinal
pencegahan diare termasuk nomor F1-F13 perilaku ibu kurang dari
kebiasaan mencuci tangan rata-rata (mean) (< 72,77).
dengan menggunakan air 2. Perilaku baik, jika nilai
dan sabun, serta perilaku perilaku ibu lebih atau
membersihkan peralatan sama dengan rata-rata
makan dan minum. (mean) (> 72,77).

(Dewi, 2011)
6 Status Ekonomi Besarnya penghasilan Wawancara Kuesioner 1. Status ekonomi rendah, jika Ordinal
Keluarga keluarga yang ditinjau nomor G1 pengeluaran perbulan <
berdasarkan jumlah Rp. 1.380.000.
pengeluaran keluarga 2. Status ekonomi tinggi, jika
setiap bulan. pengeluaran perbulan > Rp.
1.380.000.

(Dinas Kesehatan Kota Depok,


2011)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


38

7 Jumlah Balita Jumlah balita yang Wawancara Kuesioner 1. Beresiko, jika jumlah balita Ordinal
Dalam Keluarga dimiliki oleh keluarga nomor H1 dalam keluarga lebih dari
responden pada saat satu.
penelitian. Sebaiknya 2. Tidak beresiko, jika jumlah
hanya terdapat satu balita balita dalam keluarga
dalam keluarga. hanya satu.

(Maryunani, 2010 dalam


Dewi, 2011)
8 Sumber Air Sumber air yang Wawancara Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat, Ordinal
Bersih digunakan oleh keluarga dan Observasi nomor I1-I5 jika menggunakan air
dalam memenuhi sungai, sumur atau mata air
kehidupan keluarga seperti yang tidak terlindung, serta
air minum, mandi, air hujan.
memasak, mencuci dan 2. Memenuhi syarat, jika
sebagainya. menggunakan air PDAM,
air kemasan, air sumur atau
mata air yang terlindung
(jarak > 10 m dengan
sumber pencemaran,
disimpan dalam wadah
tertutup, jenih, dan tanpa
rasa).

(Notoatmodjo, 2007a)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


39

9 Kondisi Tempat buang air besar Wawancara Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat, jika Ordinal
Jamban/WC yang digunakan keluarga. dan Observasi nomor J1-J3 keluarga tidak memiliki
jamban sendiri, bukan
jamban leher angsa, serta
tidak memiliki septic tank.
2. Memenuhi syarat, jika
keluarga memiliki jamban
sendiri, jamban leher angsa,
serta memiliki septic tank.

(Kusnoputranto, 1986)
10 Sarana Pembuangan limbah Wawancara Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat, Ordinal
Pembuangan Air keluarga yang memiliki dan Observasi nomor K1 jika keluarga tidak
Limbah saluran yang tertutup serta memiliki saluran
mempunyai tempat pembuangan air limbah
penampungan khusus tertutup dengan tempat
untuk menghindari penampungan khusus, atau
pencemaran air tanah. membuang air limbah di
sembarang tempat.
2. Memenuhi syarat, jika
keluarga memiliki saluran
pembuangan air limbah
tertutup dengan tempat
penampungan khusus.

(Kusnoputranto, 1986)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


40

11 Pengolahan Upaya yang dilakukan Wawancara Kuesioner 1. Tidak memenuhi syarat, Ordinal
Sampah Rumah keluarga dalam mengolah dan Observasi nomor L1-L2 jika keluarga tidak
Tangga sampah padat mulai dari memiliki tempat sampah
pengumpulan, tertutup, membuang
pengangkutan, sampai sampah di sembarang
pemusnahan sampah. tempat (baik di kali, di
selokan, di pekarangan
rumah, maupun lahan
kosong.
2. Memenuhi syarat, jika
keluarga memiliki tempat
sampah tertutup, sampah
diangkut oleh petugas
kebersihan khusus, atau
sampah dikelola sendiri
oleh keluarga dengan baik
seperti menimbun maupun
dijadikan kompos.

(Notoatmodjo, 2007a)
12 Kepadatan Huni Jumlah orang yang Wawancara Kuesioner 1. Hunian padat, jika luas Ordinal
menghuni dalam satu dan Observasi nomor M1- kamar anak untuk tidur < 8
rumah. Cara perhitungan M2 m2 dan anak tidur dengan
kepadatan hunian, yakni orang dewasa > 2 orang.
luas rumah dibagi 2. Hunian tidak padat jika luas
penghuni rumah. kamar anak untuk tidur > 8
m2 dan anak tidur dengan
orang dewasa < 2 orang.

(Depkes, 1999)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


41

3.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep yang diajukan di atas, maka hipotesis dalam
penelitian ini yaitu ada hubungan antara faktor anak (berat lahir, status gizi, ASI
eksklusif, dan imunisasi campak), faktor ibu (perilaku ibu), faktor keluarga (status
ekonomi keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), dan faktor lingkungan (sumber air
bersih, kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah, pengolahan sampah rumah
tangga, dan kepadatan huni) dengan frekuensi diare pada anak usia 10-23 bulan di
Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan studi analitik kuantitatif dengan menggunakan
pendekatan observasional, yang dilakukan secara cross sectional. Kegunaan dari
desain studi cross sectional adalah untuk memperoleh gambaran pola penyakit
dan determinan-determinannya pada populasi sasaran (Murti, 1997; Aschengrau
dan Seage, 2008). Pengukuran dan pengambilan data pada desain penelitian ini
antara variabel dependen dan independen dilakukan pada suatu waktu secara
bersamaan (Notoatmodjo, 2010).
Alasan pemilihan desain studi cross sectional karena memiliki beberapa
kelebihan yaitu, (1) mudah dilaksanakan, (2) sederhana, (3) ekonomis dalam hal
waktu, (4) hasil dapat diperoleh dengan cepat, dan (5) dapat dikumpulkan variabel
yang banyak baik independen maupun dependen dalam waktu yang bersamaan
(Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder untuk mengetahui
hubungan antara variabel dependen yaitu frekuensi diare pada anak usia 10-23
bulan dengan variabel independen berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, imunisasi
campak, perilaku ibu, status ekonomi keluarga, jumlah balita dalam keluarga,
sumber air bersih, kondisi jamban/WC, sarana pembuangan air limbah,
pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Ruang Poli Anak khusus Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok. Penelitian
dilakukan sejak tanggal 20 Maret – 27 April 2012. Pengambilan data di
Puskesmas Tugu dilakukan setiap hari Senin – Sabtu mulai loket pendaftaran
buka hingga tutup, yaitu Senin-Jumat pukul 08.00-11.00 dan hari Sabtu pukul
08.00-10.00. Kemudian dilanjutkan dengan observasi rumah responden pada hari
yang sama. Lokasi pengambilan data dipilih karena merupakan ruang khusus yang

42
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
43

menangani balita sakit sehingga diharapkan dapat memperoleh responden dengan


mudah dan dengan karakteristik responden yang sesuai.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi Penelitian
Target populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang berusia 10-
23 bulan dan tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis,
Kota Depok tahun 2012. Populasi studi dari penelitian ini adalah anak 10-23
bulan yang didiagnosis diare oleh petugas kesehatan Puskesmas Tugu saat
pengambilan data berlangsung. Intended subject merupakan hasil perhitungan
sampel minimal untuk penelitian ini.
Alasan pengambilan usia 10-23 tahun pada populasi ini adalah karena
adanya variabel independen ASI eksklusif yang harus diberikan hingga bayi
berusia 6 bulan dan variabel dependen frekuensi diare yang diukur dalam kurun
waktu 4 bulan terakhir sehingga usia sampel minimal adalah 10 bulan.

4.3.2 Sampel Penelitian


Sampel penelitian adalah seluruh anak yang berusia 10-23 bulan yang
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tugu Kecamatan Cimanggis, Kota Depok
tahun 2012 dan memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:
1. Berusia 10 sampai < 24 bulan saat dilakukan pengambilan data.
2. Tinggal di Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok.
3. Datang ke Puskesmas Tugu dan didiagnosa menderita diare oleh petugas
kesehatan Puskesmas Tugu.
Adapun kriteria eksklusi sampel adalah sebagai berikut:
1. Tidak memiliki KMS dengan data BB dan PB selama 4 bulan terakhir.
2. Pindah rumah atau melakukan perubahan pada faktor lingkungan (sumber
air bersih, kondisi jamban/WC, sarana pembuangan air limbah,
pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni) selama 4 bulan
terakhir sehingga dapat menjadi bias dalam pengambilan data.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


44

3. Tidak berada di rumah setelah dua kali peneliti mendatangi rumah


berdasarkan waktu kesepakatan observasi antara peneliti dengan
responden.
4. Tidak bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian.
Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan rumus pengujian hipotesis untuk dua proporsi populasi yang
dikembangkan oleh Lameshow, et al (1990) dalam Ariawan (2005) dengan rumus
persamaan (4.1) sebagai berikut :

(4.1)
Keterangan :
n = jumlah sampel
𝑍1−𝛼/2 = nilai Z dari pada derajat kemaknaan (CI) 95% atau α = 0,05 yaitu 1,96
𝑍1−𝛽 = nilai Z pada kekuatan uji 1-β = 80% yaitu 0,842
P1 = proporsi diare dengan kualitas sumber air yang buruk adalah
sebesar 57,1% (Suciyanti, 2009)
P2 = proporsi diare dengan kualitas sumber air yang baik adalah
sebesar 27,6% (Suciyanti, 2009)
P = (P1 + P2) / 2

Dari perhitungan menggunakan rumus di atas, didapatkan jumlah sampel


sebanyak 43 orang. Jumlah sampel tersebut dikalikan dua untuk mendapatkan
jumlah sampel pada dua proporsi sehingga minimal sampel yang dibutuhkan
adalah 86 orang. Untuk mengantisipasi adanya data yang tidak lengkap atau
kekurangan sampel, maka ditambah 10% dari jumlah sampel, sehingga sampe
minimal dalam penelitian adalah sebanyak 95 orang.
Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode non probability
sampling yaitu purposive sampling. Pengambilan sampel dengan metode
purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh
peneliti sendiri berdasarkan ciri-ciri atau sifat – sifat populasi yang sudah

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


45

diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Seluruh anak usia 10-23 bulan yang
telah memenuhi kriteria sampel kemudian ditetapkan menjadi sampel penelitian
lalu responden di wawancara, dilakukan pengukuran status gizi anak (BB dan
PB), dan observasi rumah sesuai dengan waktu yang disepakati. Sampel
dikumpulkan setiap hari Senin-Sabtu hingga jumlah sampel minimal terpenuhi.

4.3.3 Responden Penelitian


Responden dalam penelitian ini adalah ibu dari anak usia 10-23 bulan yang
telah memenuhi kriteria sampel penelitian.

4.4 Pengumpulan Data


4.4.1 Petugas Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri karena pasien
yang datang rata-rata perhari sekitar 3-4 orang sehingga masih dapat dilakukan
sendiri oleh peneliti.

4.4.2 Sumber Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data
sekunder.
1. Data primer dalam penelitian ini adalah semua variabel baik dependen
maupun independen kecuali data diare dan status gizi selama 4 bulan
terakhir. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung kepada
responden. Pengambilan data primer dilakukan dengan cara wawancara,
pengukuran status gizi, dan observasi rumah dengan rincian sebagai
berikut:
a. Variabel berat lahir, ASI eksklusif, imunisasi campak, perilaku ibu,
status ekonomi keluarga, dan jumlah balita dalam keluarga
dikumpulkan dengan wawancara.
b. Variabel status gizi saat ini diambil dengan pengukuran BB dan PB
secara langsung menggunakan timbangan dan baby length board.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


46

c. Variabel sumber air bersih, kondisi jamban/WC, sarana pembuangan


air limbah, pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni
dikumpulkan dengan wawancara dan observasi rumah.
2. Data sekunder yang dikumpulkan adalah berupa data rekam medik pasien
Puskesmas Tugu melalui Kartu Pasien Rawat Jalan dan data status gizi
(BB dan PB) dari KMS selama 4 bulan terakhir. Data lainnya
dikumpulkan melalui data Dinas Kesehatan Kota Depok dan data
kunjungan pasien di Puskesmas Tugu berupa data jumlah anak usia 10-23
bulan dan kejadian diare pada bayi di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok.

4.4.3 Instrumen Penelitian


Alat pengumpulan data menggunakan beberapa instrumen, yaitu :
1. Kuesioner
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berisi 43 pertanyaan.
Kuesioner diisi berdasarkan hasil wawancara dan observasi rumah oleh
peneliti. Kuesioner dilakukan untuk mengumpulkan data berat lahir, ASI
eksklusif, imunisasi campak, perilaku ibu, status ekonomi keluarga, jumlah
balita dalam keluarga, sumber air bersih, kondisi jamban/WC, sarana
pembuangan air limbah, pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan
huni.
2. Antropometri
Data panjang badan dan berat badan sampel saat ini diambil secara
langsung menggunakan alat yaitu timbangan bayi merk GEA dan alat ukur
panjang badan bayi (baby length board). Data ini digunakan untuk
mengukur status gizi bayi berdasarkan standar WHO-NCHS meliputi
status gizi berdasarkan BB/U dan PB/U. Timbangan bayi dan alat ukur
panjang bayi (baby length board) yang akan digunakan adalah milik
Puskesmas Tugu dan Departemen Gizi FKM UI mengingat keterbatasan
alat yang dimiliki oleh peneliti. Kedua alat tersebut sudah diuji coba dan
dikalibrasi ulang untuk menjaga keakuratannya.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


47

3. Rekam Medik Pasien (Kartu Pasien Rawat Jalan)


Rekam medik pasien digunakan untuk melihat diagnosis diare sampel baik
diagnosis sakit diare saat pengambilan data maupun selama 4 bulan
terakhir. Instrumen ini untuk mengumpulkan data frekuensi diare.
4. Kartu Menuju Sehat (KMS)
KMS digunakan untuk mengumpulkan data status gizi berupa BB dan PB
sampel selama 4 bulan terakhir sebelum pengambilan data primer.

4.4.4 Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data akan dilakukan oleh peneliti dan dengan bantuan tenaga
kesehatan di Puskesmas Tugu. Pengumpulan data akan dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut :
a. Persiapan penelitian
1. Persiapan awal yang dilakukan adalah dengan permohonan izin melakukan
penelitian melalui izin dari Dinas Kesehatan Depok dan Kesbangpol
Linmas Depok sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
2. Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan survei awal dengan
pengumpulan data sekunder berupa jumlah anak usia 10-23 bulan dan
jumlah kejadian diare pada anak usia 10-23 bulan di Puskesmas Tugu.
3. Peneliti melakukan survei pendahuluan untuk memperoleh gambaran
frekuensi diare dan karakteristik sampel yang menderita diare. Survei
pendahuluan dilakukan kepada 20 orang anak 10-23 bulan yang
didiagnosis menderita diare di Puskesmas Tugu pada tanggal 5 Maret – 9
Maret 2012.
4. Setelah proposal penelitian telah disetujui, peneliti melakukan uji coba
kuesioner yang dilakukan pada anak usia 24-59 bulan yang didiagnosis
diare di Puskesmas Tugu.
5. Peneliti melakukan uji coba keakuratan timbangan bayi dan baby length
board.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


48

b. Pelaksanaan penelitian
1. Persiapan tempat
Peneliti berada di Ruang Poli Anak khusus Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) Puskesmas Tugu setiap hari Senin-Sabtu. Peneliti
mempersiapkan timbangan bayi dan baby length board sesuai prosedur,
serta mempersiapkan meja dan kursi untuk peneliti dan responden.
2. Pemilihan responden
Peneliti memilih responden sesuai dengan kriteria yang telah dibuat.
Pasien yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan Puskesmas Tugu menderita
diare dan telah diberikan resep obat kemudian diarahkan untuk menuju
meja peneliti untuk dilakukan wawancara. Peneliti menanyakan frekuensi
diare yang dialami oleh sampel dalam 4 bulan terakhir kemudian
memastikan kebenarannya dalam Kartu Pasien Rawat Jalan. Setelah
sampel sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, peneliti meminta izin
kepada responden melalui lembar kesediaan menjadi responden sebelum
dilakukan pengambilan data. Rata-rata sampel yang memenuhi kriteria di
Puskesmas Tugu adalah sekitar 3-4 orang sehari. Pengumpulan responden
di Puskesmas Tugu dilakukan setiap Senin-Jumat pukul 08.00-11.00 dan
Sabtu pukul 08.00-10.00. Setelah wawancara, peneliti akan membuat janji
kepada responden untuk melakukan observasi rumah pada hari tersebut.
3. Antropometri (berat badan dan panjang badan)
Pengukuran antropometri dilakukan saat sampel telah memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan. Peneliti menimbang berat badan sampel dengan
timbangan dan panjang badan dengan baby length board kemudian data
ini dicatat dalam kuesioner. Data ini digunakan untuk mengetahui status
gizi saat ini berdasarkan BB/U dan PB/U. Selain itu status gizi juga dilihat
rata-rata dalam 4 bulan terakhir melalui data pengukuran BB dan PB
dalam KMS.
4. Pengambilan data melalui wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun
oleh peneliti selama + 15 menit wawancara. Pengumpulan responden di
Puskesmas Tugu dilakukan setiap Senin-Jumat pukul 08.00-11.00 dan

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


49

Sabtu pukul 08.00-10.00. Wawancara yang belum selesai di Puskesmas


karena anak rewel atau responden ada urusan akan dilanjutkan saat
observasi rumah. Variabel yang dikumpulkan melalui wawancara adalah
sebagai berikut:
 Berat lahir
Responden ditanyakan berat lahir sampel dalam kuesioner pada nomor
B1. Anak yang lahir kurang dari 2500 gram tergolong memiliki berat
lahir rendah sedangkan bayi yang lahir lebih dari 2500 gram tergolong
bayi dengan berat lahir normal.
 ASI eksklusif
Responden ditanya apakah hanya memberikan ASI saja kepada bayi
tanpa makanan dan minuman lain selain obat selama sampai usia 6
bulan. Jika bayi diberikan hanya ASI saja selama 6 bulan maka bayi
tergolong ASI eksklusif sedangkan bayi yang tidak mendapatkan ASI
saja selama 6 bulan tergolong tidak ASI eksklusif. Pertanyaan mengenai
data ini terdapat pada pertanyaan nomor D1-D5.
 Imunisasi campak
Peneliti menanyakan kepada responden apakah sampel sudah imunisasi
campak atau tidak. Pertanyaan mengenai imunisasi campak terdapat
pada nomor E1.
 Perilaku ibu
Perilaku ibu meliputi kebiasaan cuci tangan dengan air bersih dan
sabun, perilaku membersihkan alat makan dan minum, dan perilaku
buang air besar ada pada pertanyaan nomor F1-F13 di kuesioner. Jika
nilai perilaku lebih dari atau sama dengan mean maka tergolong baik
sedangkan jika nilai perilaku ibu kurang dari mean maka tergolong
buruk.
 Status ekonomi keluarga
Status ekonomi keluarga diukur dengan jumlah pengeluaran keluarga
setiap bulannya. Menurut data Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Depok, 2011, keluarga dengan status ekonomi tinggi, memiliki
pengeluaran setiap bulan lebih dari atau sama dengan upah minimum

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


50

regional (UMR) yaitu sebesar Rp. 1.380.000,- Sedangkan keluarga


dengan status ekonomi rendah memiliki pengeluaran setiap bulan
kurang dari UMR. Data status ekonomi keluarga berada pada nomor
G1.
 Jumlah balita dalam keluarga
Dalam pertanyaan nomor H1, responden ditanya berapa jumlah balita
yang ada dalam keluarga selain sampel. Keluarga yang memiliki lebih
dari satu balita dalam keluarga dinyatakan beresiko karena perhatian
orang tua terutama ibu kurang terfokus dan anak rentan tertular
penyakit dari balita lain dalam keluarga.
5. Pengambilan data melalui observasi rumah
Observasi rumah dilakukan sekitar pukul 11.00-16.00 setiap hari Senin-
Sabtu. Sebelum observasi rumah, peneliti akan membuat janji dengan
responden terlebih dahulu. Variabel yang diambil melalui observasi rumah
dikumpulkan dengan wawancara, mengukur, mengamati, dan mencatat di
kuesioner. Variabel yang dikumpulkan melalui observasi rumah adalah
sebagai berikut:
 Sumber air bersih
Data mengenai sumber air bersih berada pada nomor I1-I5, data ini
dikumpulkan melalui wawancara dan observasi rumah. Keluarga yang
memiliki sumber air bersih yang memenuhi syarat jika menggunakan
air PDAM, air kemasan, air sumur, serta mata air yang terlindung yaitu
jarak antara sumber air dengan sumber pencemaran > 10 m, disimpan
dalam wadah tertutup, jenih, dan tanpa rasa.
 Kondisi jamban/WC
Pada penelitian ini, ditanyakan jamban/WC yang dimiliki oleh keluarga
melalui wawancara dan observasi sesuai dengan pertanyaan nomor J1-
J3 di kuesioner. Kondisi jamban keluarga memenuhi syarat jika
keluarga memiliki jamban sendiri, jamban leher angsa, serta memiliki
septic tank.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


51

 Sarana pembuangan air limbah


Pertanyaan mengenai sarana pembuangan air limbah berada pada
nomor K1 yang ditanyakan melalui wawancara dan observasi. Saluran
pembuangan air limbah yang memenuhi syarat jika keluarga memiliki
saluran pembuangan air limbah tertutup beserta tempat penampungan
khusus. Sedangkan saluran pembuangan air limbah yang tidak
memenuhi syarat jika keluarga tidak memiliki saluran pembuangan air
limbah tertutup beserta tempat penampungan khusus, atau membuang
air limbah di sembarang tempat.
 Pengolahan sampah rumah tangga
Pengolahan sampah rumah tangga dalam kuesioner penelitian ada pada
pertanyaan nomor L1-L2. Pengumpulan data ini dilakukan dengan
wawancara dan observasi. Data ini meliputi upaya yang dilakukan oleh
keluarga dalam mengolah sampah padat mulai dari pengumpulan,
pengangkutan, sampai pemusnahan sampah. Pengolahan sampah rumah
tangga yang memenuhi syarat jika keluarga memiliki tempat sampah
tertutup, sampah diangkut oleh petugas kebersihan khusus, atau sampah
dikelola sendiri oleh keluarga dengan baik seperti menimbun maupun
dijadikan kompos. Sedangkan tidak memenuhi syarat jika keluarga
tidak memiliki tempat sampah tertutup, membuang sampah di
sembarang tempat (baik di kali, di selokan, di pekarangan rumah,
maupun lahan kosong).
 Kepadatan huni
Pertanyaan mengenai kepadatan huni ada pada nomor M1-M2 yang
diambil melalui wawancara dan observasi. Luas kamar anak diukur oleh
peneliti dan responden ditanya mengenai jumlah orang yang tidur
dengan anak . Hunian dikatakan padat dan tidak padat berdasarkan rasio
luas kamar. Hunian padat, jika luas kamar anak < 8 m2 dan anak tidur
dengan orang dewasa > 2 orang.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


52

6. Pemeriksaan kelengkapan data


Setelah semua tahap pengumpulan data selesai, peneliti akan memeriksa
kembali semua kelengkapan data. Apabila ada hal data yang kurang akan
dilengkapi kembali saat observasi rumah. Hal ini untuk menghindari
kekurangan data saat pengolahan data.

4.5 Teknik Manajemen Data


4.5.1 Pengolahan Data Hasil Penelitian
Seluruh data yang dikumpulkan baik variabel dependen maupun
independen diolah dengan memberikan skor atau langsung diberi kode (penjelasan
mengenai tahap ini secara lengkap dibahas pada bagian 4.5.2 pengodean atau
coding). Namun, untuk variabel status gizi terlebih dahulu ditentukan nilai z score
BB/U dan PB/U melalui software who anthro, kemudian diberikan kode.

4.5.2 Pengodean Data (data coding)


Pada tahap ini, masing-masih data yang terkumpul dalam kuesioner
diberikan kode dengan mengklasifikasin jawaban dari responden ke dalam
kategori yang telah ditentukan dalam definisi operasional. Tujuan dari mengkode
setiap data adalah untuk memudahkan saat memasukkan dan menganalisis data.
Adapun pengodean data dilakukan seperti di bawah ini:
1. Variabel dependen
 Frekuensi diare: jika sekali dalam 4 bulan terakhir diberi kode “1” namun
jika lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir maka diberi kode “2”.
2. Variabel independen
 Berat lahir: jika berat lahir rendah (< 2500 gram) diberi kode “1” namun
jika berat lahir normal (> 2500 gram) maka diberi kode “2”.
 Status gizi berdasarkan BB/U: jika tergolong gizi kurang diberi kode
“1”, namun jika gizi baik maka diberi kode “2”. Status gizi berdasarkan
BB/U pada dasarnya memiliki empat kategori, yaitu gizi lebih, gizi baik,
gizi kurang, dan gizi buruk (Depkes, 2011b). Namun, untuk memudahkan
analisis bivariat maka status gizi berdasarkan BB/U dikelompokkan
menjadi dua kategori yaitu gizi baik (gabungan gizi baik dan gizi lebih)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


53

dan gizi kurang (gabungan gizi kurang dan gizi buruk). Status gizi rata-
rata selama 4 bulan terakhir dilihat berdasarkan rata-rata nilai z score yang
kemudian dikategorikan.
 Status gizi berdasarkan PB/U: jika tergolong pendek diberi kode “1”,
namun jika normal maka diberi kode “2”. Status gizi berdasarkan PB/U
pada dasarnya memiliki empat kategori, yaitu tinggi, normal, pendek, dan
sangat pendek (Depkes, 2011b). Namun, untuk memudahkan analisis
bivariat maka status gizi berdasarkan PB/U dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu normal (gabungan normal dan tinggi) dan pendek (gabungan
pendek dan sangat pendek). Status gizi rata-rata selama 4 bulan terakhir
dilihat berdasarkan rata-rata nilai z score yang kemudian dikategorikan.
 ASI eksklusif: jika tidak diberikan ASI eksklusif diberi kode “1”, namun
jika diberikan ASI eksklusif maka diberi kode “2”.
 Imunisasi campak: jika tidak imunisasi campak diberi kode “1”, namun
jika sudah imunisasi campak maka diberi kode “2”.
 Perilaku ibu: jika perilaku ibu buruk diberi kode “1”, namun jika perilaku
ibu baik maka diberi kode “2”. Perilaku ibu memiliki 14 pertanyaan.
Jumlah kumulatif dari variabel perilaku ibu kemudian dikategorikan
menjadi dua kategori yang didasarkan pada nilai mean (72,77) karena data
yang dihasilkan menunjukkan distribusi normal (Sabri dan Sutanto, 2006).
Jika total skor perilaku ibu lebih atau sama dengan nilai mean maka
tergolong “perilaku kebersihan baik” dan total skor kurang dari nilai mean
maka tergolong “perilaku kebersihan buruk”.
 Status ekonomi keluarga: jika status ekonomi rendah (pengeluaran
perbulan < Rp. 1.380.000) diberi kode “1”, namun jika status ekonomi
tinggi (pengeluaran perbulan > Rp. 1.380.000) maka diberi kode “2”.
 Jumlah balita dalam keluarga: jika beresiko (memiliki lebih dari satu
balita dalam keluarga) diberi kode “1”, namun jika tidak beresiko
(memiliki hanya satu balita dalam keluarga) diberi kode “2”.
 Sumber air bersih: Pertanyaan mengenai sumber air bersih terdiri dari 5
pertanyaan yang kemudian dikelompokkan menjadi memenuhi syarat dan

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


54

tidak memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat diberi kode “1”,
namun jika memenuhi syarat maka diberi kode “2”.
 Kondisi jamban/WC: Pertanyaan mengenai kondisi jamban/WC terdiri
dari 3 pertanyaan yang kemudian dikelompokkan menjadi memenuhi
syarat dan tidak memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat diberi kode
“1”, namun jika memenuhi syarat maka diberi kode “2”.
 Sarana pembuangan air limbah: Pertanyaan mengenai sarana
pembuangan air limbah terdiri dari 1 pertanyaan yang kemudian
dikelompokkan menjadi memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat. Jika
tidak memenuhi syarat diberi kode “1”, namun jika memenuhi syarat maka
diberi kode “2”.
 Pengolahan sampah rumah tangga: Pertanyaan mengenai pengolahan
sampah rumah tangga terdiri dari 2 pertanyaan yang kemudian
dikelompokkan menjadi memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat. Jika
tidak memenuhi syarat diberi kode “1”, namun jika memenuhi syarat maka
diberi kode “2”.
 Kepadatan huni: Pertanyaan mengenai kepadatan huni terdiri dari 2
pertanyaan yang kemudian dikategorikan. Jika hunian padat (luas kamar
anak untuk tidur < 8 m2 dan anak tidur dengan orang dewasa > 2 orang)
diberi kode “1”, namun jika hunian tidak padat (luas kamar anak untuk
tidur > 8 m2 dan anak tidur dengan orang dewasa < 2 orang ) maka diberi
kode “2”.

4.5.3 Penyuntingan Data (data editing)


Dalam tahap ini, dilakukan pemeriksaan jawaban dalam pengisian
kuesioner. Hal ini meliputi kelengkapan jawaban dan kesesuaian jawaban dengan
pertanyaan. Tahap penyuntingan dilakukan saat selesai observasi rumah
responden sebagai tahap terakhir dalam pengambilan data.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


55

4.5.4 Pemasukan Data (entry data)


Data yang telah diberi kode kemudian dimasukkan ke dalam template data
yang telah dibuat dengan bantuan software program statistik SPSS 17 for
Windows.

4.5.5 Pembersihan data (data cleaning)

Dalam tahap ini, dilakukan pemeriksaan kembali pada data yang telah
dimasukkan apakah terdapat kesalahan dalam memberi kode atau belum
dilakukan pengodean. Tahap ini dilakukan agar tidak mengganggu proses
pengolahan data selanjutnya.

4.6 Analisis Data


Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
univariat dan analisis data bivariat.
4.6.1 Analisis Data Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang
diteliti dengan melihat gambaran frekuensi semua variabel penelitian, baik
variabel dependen maupun independen. Analisis univariat akan menghasilkan
distribusi dan frekuensi dari tiap variabel yang disajikan dalam bentuk tabel
frekuensi dan narasi.

4.6.2 Analisis Data Bivariat


Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini
adalah berat lahir, status gizi bayi, ASI eksklusif, perilaku ibu, status ekonomi
keluarga, jumlah balita dalam keluarga, sumber air bersih, kondisi jamban, dan
kepadatan huni. Variabel dependen adalah frekuensi diare pada anak usia 6-24
bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok tahun 2012. Analisis
bivariat juga akan memberikan hasil mengenai pembuktian hipotesis yang
diajukan. Untuk membuktikan adanya hubungan antara dua variabel tersebut di uji
statistik Chi-square (uji Chi-kuadrat) kemudian dilanjutkan dengan Odds Ratio
(OR).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


56

a. Uji Statistik Chi-square


Data dalam penelitian merupakan data kategorik sehingga digunakan uji
statistik berupa uji Chi Square (Chi Kuadrat) (Hastono, 2006). Uji Chi-square
digunakan untuk mengetahui kemaknaan hubungan antara variabel independen
dan variabel dependen dengan derajat kemaknaan p < 0,05. Pengaruh variabel
independen terhadap dependen dilihat dari nilai signifikansi kepercayaan 95%
(α=0,05). Persamaan (4.2) merupakan rumus yang digunakan dalam uji
statistik Chi-square(Sabri dan Sutanto, 2008).
(𝑂 − 𝐸)2
𝑋2 =
𝐸
(4.2)
Keterangan :
X2 = nilai Chi-square
O = nilai yang diamati
E = nilai yang diharapkan

Uji Chi-square digunakan untuk melihat kemaknaan hubungan secara statistik


antara dua variabel. Oleh karena itu digunakan batas kemaknaan (α) = 0,05
dengan interpretasi sebagai berikut (Sabri dan Sutanto, 2008) :
 Dikatakan hubungan bermakna secara statistik, jika p-value < 0,05
 Dikatakan hubungan tidak bermakna secara statistik, jika p-value > 0,05
b. Odds Ratio (OR)
Hasil uji Chi-square hanya dapat menyimpulkan ada tidaknya hubungan atau
perbedaan proporsi antar kelompok. Dengan demikian, uji Chi-square tidak
dapat mengetahui kelompok mana yang memiliki risiko lebih besar
dibandingkan kelompok lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui derajat
hubungan antara variabel independen dengan dependen digunakan nilai Odds
Ratio (OR). Berikut ini intrpretasi nilai Odds Ratio (OR) pada Confidence
Interval (CI) 95% (Hastono, 2006) :
 OR = 1; artinya tidak ada hubungan
 OR < 1; artinya sebagai efek proteksi atau perlindungan
 OR >1; artinya sebagai faktor risiko

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas Tugu Kota Depok


5.1.1 Letak Wilayah
Puskesmas Tugu terletak di Kecamatan Cimanggis yang merupakan salah
satu wilayah dari Kota Depok. Puskesmas Tugu hanya terdiri dari satu kelurahan
yaitu Kelurahan Tugu. Kelurahan Tugu berbatasan dengan wilayah daerah khusus
Ibukota Jakarta tepatnya Jakarta Timur.
Wilayah Kerja Puskesmas Tugu memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut:
 Sebelah Utara : Berbatasan dngan Ibukota DKI Jakarta (Kelurahan
Kalisari dan Pekayon, Jakarta Timur)
 Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Mekarsari Kecamatan
Cimanggis
 Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Cisalak dan Baktijaya
Kecamatan Sukmajaya
 Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Beji dan Kelurahan Pasir
Gunung Selatan
Adapun luas wilayah kerja Puskesmas Tugu adalah 504.009 Hektar,
dengan rincian sebagai berikut:
 Pemukiman : 395.889 hektar
 Pemakaman/kuburan : 7300 hektar
 Lahan pertanian : 8200 hektar
 Perindustrian (pabrik) : 71.235 hektar
 Sarana perekonomian (pasar/pertokoan) : 8.200 hektar
 Lahan kantor kelurahan : 0.105 hektar
 Sarana prasarana umum lainnya : 11.880 hektar

57 Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
58

5.1.2 Kependudukan
Wilayah kerja Puskesmas Tugu terdiri dari 19 RW dan 168 RT. Jumlah
penduduk Kelurahan Tugu tahun 2011 adalah sebanyak 92.232 jiwa dengan
24.196 jumlah rumah tangga. Terdapat rata-rata 3,81 jiwa per rumah tangga.
Kepadatan penduduk di kelurahan ini adalah 176,35 jiwa per km2. Jumlah
penduduk laki-laki adalah sebesar 47.174 jiwa dan penduduk perempuan sebesar
45.058 jiwa. Terdapat 1243 bayi dan 7509 anak usia 12-59 bulan.

5.1.3 Sarana Pelayanan Kesehatan


Puskesmas Tugu merupakan Puskesmas yang melayani pengobatan rawat
jalan tanpa perawatan yang buka dari hari Senin sampai Sabtu. Jam buka loket
pendaftaran hari Senin-Kamis adalah pukul 08.00-11.00 sedangkan hari Jumat
dan Sabtu adalah pukul 08.00-10.00.
Puskesmas Tugu memiliki 31 Posyandu yang terdiri dari beberapa strata,
yaitu:
1. Posyandu Madya : 6 Posyandu
2. Posyandu Purnama : 5 Posyandu
3. Posyandu Mandiri : 20 Posyandu
Puskesmas Tugu juga memiliki penyuluhan kesehatan yang terdiri dari 96
kegiatan penyuluhan kelompok dan 72 kegiatan penyuluhan massa. Penyuluhan
ini diadakan untuk menjelaskan tentang berbagai macam hal mengenai promosi
kesehatan. Kegiatan ini sering dilakukan baik oleh institusi pendidikan maupun
Puskesmas melalui Posyandu. Narasumber dalam penyuluhan ini adalah
mahasiswa, kader, atau tenaga kesehatan Puskesmas.
Puskesmas Tugu memiliki jumlah tenaga kesehatan yang terdiri dari:
1. Dokter umum : 2 orang
2. Dokter gigi : 2 orang
3. Bidan : 5 orang
4. Perawat : 3 orang
5. Tenaga kefarmasian : 1 orang
6. Tenaga gizi : 1 orang
7. Tenaga sanitasi : 1 orang

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


59

5.2 Subjek Aktual Penelitian (Actual Subject)


Berdasarkan perhitungan jumlah sampel, penelitian ini membutuhkan
jumlah sampel minimal sebanyak 95 orang. Selama penelitian berlangsung yaitu
mulai 20 Maret – 27 April 2012, terdapat 98 orang sampel yang mengikuti
penelitian. Namun, sebanyak 3 orang sampel dikeluarkan (drop out) dari
penelitian karena tidak dapat dilakukan observasi rumah untuk melihat variabel
independen faktor lingkungan dan tidak melakukan pengukuran status gizi
(datang ke posyandu) dalam 4 bulan terakhir.
Jumlah subjek aktual penelitian (actual subject) dalam penelitian ini
adalah 95 orang setelah dikurang 3 orang yang telah dikeluarkan. Jumlah sebjek
aktual penelitian sudah sesuai dengan jumlah sampel minimal dan telah
memenuhi kriteria untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

5.3 Analisis Univariat


Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang
diteliti dengan melihat gambaran frekuensi semua variabel penelitian, baik
variabel dependen maupun independen. Variabel dependen berupa frekuensi diare
dan variabel independen berupa berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, imunisasi
campak, perilaku ibu, status ekonomi keluarga, jumlah balita dalam keluarga,
sumber air bersih, kondisi jamban/WC, sarana pembuangan air limbah,
pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni.

5.3.1 Gambaran Frekuensi Diare


Frekuensi diare dibagi menjadi 2 kategori yaitu frekuensi kurang dari
median frekuensi dunia jika sampel mengalami diare sekali dalam 4 bulan terakhir
dan frekuensi lebih dari median dunia jika sampel mengalami diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir. Adapun distribusi frekuensi diare pada anak 10-23
bulan di Puskesmas Tugu disajikan dalam Tabel 5.1 di bawah ini.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


60

Tabel 5.1 Distribusi Data Frekuensi Diare pada Anak 10-23 Bulan di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Frekuensi Diare dalam 4 Bulan


n %
Terakhir
> Sekali dalam 4 Bulan Terakhir 34 35,8
Sekali dalam 4 Bulan Terakhir 61 64,2
Jumlah 95 100

Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa sampel yang didiagnosis menderita


diare di Puskesmas Tugu dengan frekuensi sekali dalam 4 bulan terakhir sebanyak
64,2% dan sampel yang menderita diare dengan frekuensi lebih dari sekali yaitu 2
kali dalam 4 bulan terakhir sebanyak 35,8%. Penegakan diagnosis dilihat dari
hasil rekam medik sampel di Puskesmas Tugu melalui Kartu Status Pasien Rawat
Jalan.

5.3.2 Gambaran Faktor Anak


5.3.2.1 Berat Lahir
Berat lahir dikelompokkan berdasarkan berat lahir normal jika berat bayi
saat lahir lebih dari atau sama dengan 2500 gram dan berat lahir rendah jika berat
bayi saat lahir kurang dari 2500 gram. Di bawah ini merupakan distribusi sampel
berdasarkan berat lahir yang ditunjukkan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi Data Berat lahir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Berat Lahir n %
Berat lahir rendah 14 14,2
Berat lahir normal 81 85,8
Jumlah 95 100

Rata-rata (mean) berat lahir dalam penelitian adalah 2960 gram dengan
berat lahir terendah (minimum) 2100 gram dan berat lahir tertinggi (maximum)
3500 gram. Berdasarkan Tabel 5.2, dapat dilihat bahwa sampel yang tergolong
memiliki berat lahir normal (> 2500 gram) adalah sebesar 85,5% dan sampel yang
memiliki berat lahir rendah (< 2500 gram) adalah sebesar 14,7%.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


61

5.3.2.2 Status Gizi


Status gizi dilihat berdasarkan z score BB/U dan PB/U yang kemudian
dikategorikan menjadi status gizi baik dan status gizi buruk untuk status gizi
berdasarkan BB/U. Sedangkan status gizi berdasarkan PB/U dikategorikan
menjadi normal dan pendek. Tabel 5.3 menunjukkan status gizi rata-rata dalam 4
bulan terakhir pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu.

Tabel 5.3 Distribusi Data Status Gizi Rata-Rata 4 Bulan Terakhir pada Anak
10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Status Gizi Rata-Rata 4 Bulan


n=95 %
Terakhir
Status gizi BB/U
Gizi Kurang 26 27,4
Gizi Baik 69 72,6
Status gizi PB/U
Pendek 28 29,5
Normal 67 70,5

Berdasarkan Tabel 5.3, dapat terlihat distribusi status gizi rata-rata dalam 4
bulan terakhir yang tercatat dalam KMS. Rata-rata status gizi diambil dari rata-
rata nilai z-score BB/U dan PB/U dalam 4 bulan terakhir. Rata-rata (mean) z score
BB/U dalam penelitian adalah -1,87 SD SD dengan nilai z score BB/U terendah
(minimum) -3,15 SD dan nilai z score BB/U tertinggi (maximum) 2,57 SD.
Berdasarkan Tabel 5.3, sampel yang tergolong memiliki status gizi baik adalah
sebesar 72,6% dan sampel yang tergolong memiliki status gizi kurang adalah
sebesar 27,4%. Sedangkan rata-rata (mean) z score PB/U dalam penelitian adalah
1,17 SD dengan nilai z score PB/U terendah (minimum) -2,45 SD dan nilai z score
PB/U tertinggi (maximum) 2,15 SD. Tabel 5.3 menunjukkan sampel yang
tergolong memiliki panjang badan normal adalah sebesar 70,5% dan yang
tergolong pendek sebesar 29,5%.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


62

Tabel 5.4 di bawah ini menjukkan status gizi anak 10-23 bulan saat
dilakukan penelitian yang diukur secara langsung oleh peneliti dan bantuan tenaga
kesehatan di Puskesmas Tugu.

Tabel 5.4 Distribusi Data Status Gizi Saat Ini pada Anak 10-23 Bulan
di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Status Gizi Saat Ini n=95 %


Status gizi BB/U
Gizi Kurang 33 34,7
Gizi Baik 62 65,3
Status gizi PB/U
Pendek 27 28,4
Normal 68 71,6

Berdasarkan Tabel 5.4, dapat dilihat distribusi status gizi sampel berupa
pengukuran berat badan dan panjang badan yang diukur saat pengambilan data di
Puskesmas Tugu. Status gizi digolongkan berdasarkan BB/U dan PB/U. Rata-rata
(mean) z score BB/U dalam penelitian adalah -1,32 SD SD dengan nilai z score
BB/U terendah (minimum) -3,50 SD dan nilai z score BB/U tertinggi (maximum)
1,65 SD. Sampel yang tergolong memiliki status gizi baik adalah sebesar 65,3%
dan sampel yang tergolong memiliki status gizi kurang adalah sebesar 34,7%.
Sedangkan rata-rata (mean) z score PB/U dalam penelitian adalah 1,35 SD dengan
nilai z score PB/U terendah (minimum) -2,25 SD dan nilai z score PB/U tertinggi
(maximum) 2,40 SD. Tabel 5.4 menunjukkan sampel yang tergolong memiliki
panjang badan normal adalah sebesar 71,6% dan yang tergolong pendek sebesar
28,4%.

5.3.2.3 ASI Eksklusif


ASI eksklusif dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu ASI eksklusif dan
Tidak ASI eksklusif. Di bawah ini merupakan distribusi sampel berdasarkan ASI
eksklusif yang ditunjukkan pada Tabel 5.5.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


63

Tabel 5.5 Distribusi Data ASI Eksklusif pada Anak 10-23 Bulan di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Variabel n=95 %
ASI eksklusif (memberikan bayi hanya
ASI saja tanpa tambahan makanan atau
minuman lain sampai usia 6 bulan)
Ya 17 17,9
Tidak 78 82,1
Pernah menyusui
Ya 93 97,9
Tidak 2 2,1
Alasan tidak menyusui
ASI tidak keluar 2 100
Anak sakit 0 0
Ibu sakit 0 0
Inisiasi menyusu dini (IMD)
Ya 70 73,7
Tidak 25 26,3
Memberikan kolostrum
Ya 67 70,5
Tidak 28 29,5

Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat bahwa hanya sebesar 2,1% responden
yang tidak pernah menyusui dan hampir seluruh responden yaitu 97,9% pernah
menyusui. Seluruh responden yang tidak pernah menyusui karena alasan ASI
tidak keluar sehingga bayi diberikan susu formula. Sebanyak 73,7% responden
melakukan IMD dan 26,3% responden tidak IMD. IMD erat kaitannya dengan
kesuksesan pemberian ASI eksklusif begitu pula dengan memberikan kolostrum
yang mempunyai efek proteksi terhadap penyakit melalui kandungan antibodi.
Responden yang memberikan kolostrum adalah sebesar 70% dan yang tidak
memberikan kolostrum sebesar 29,5%. Sebagian besar responden tidak
memberikan ASI eksklusif yaitu sebesar 82,1% dan yang berhasil memberikan
ASI eksklusif sebesar 17,9%.

5.3.2.4 Imunisasi Campak


Faktor anak berdasarkan imunisasi campak dikelompokkan menjadi 2
kategori, yaitu sudah imunisasi dan tidak imunisasi. Tabel 5.6 di bawah ini
menunjukkan distribusi sampel berdasarkan imunisasi campak pada anak 10-23
bulan di Puskesmas Tugu.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


64

Tabel 5.6 Distribusi Data Imunisasi Campak Pada Anak 10-23 Bulan
di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Imunisasi Campak n %
Tidak imunisasi campak 5 5,3
Sudah imunisasi campak 90 94,7
Jumlah 95 100

Berdasarkan Tabel 5.6, dapat dilihat bahwa hanya sebesar 5,3% sampel
yang tidak imunisasi campak. Sedangkan sebagian besar responden sudah
melakukan imunisasi campak yaitu sebesar 94,7%. Imunisasi campak dilakukan
responden di Puskesmas Tugu, Posyandu, atau Bidan terdekat dengan lokasi
rumah responden.

5.3.3 Gambaran Faktor Ibu


5.3.3.1 Perilaku Ibu
Faktor ibu dilihat dari perilaku ibu yang memiliki hubungan dengan faktor
resiko kejadian sakit yaitu tindakan saat anak diare, kebiasaan mencuci tangan
dengan sabun, kebiasaan mencuci peralatan makan dan minum, tempat buang air
besar dan tempat berobat saat sakit. Perilaku kebersihan ini kemudian
dikelompokkan menjadi perilaku baik dan perilaku buruk berdasarkan rata-rata
nilai perilaku. Distribusi responden berdasarkan perilaku ibu disajikan dalam
Tabel 5.7.

Tabel 5.7 Distribusi Data Perilaku Ibu


di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Perilaku ibu n=95 %


Tindakan pertama saat anak diare
Memberikan cairan tambahan 70 73,7
Memberikan makanan tambahan 1 1,1
Memberikan jamu tradisional 24 25,3
Pemberian susu formula sama dengan saat
tidak diare
Ya 84 88,4
Tidak 11 11,6

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


65

Tabel 5.7 Distribusi Data Perilaku Ibu


di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012
(Sambungan)

Perilaku Ibu n=95 %


Pemberian makanan saat diare
Tetap 45 47,4
Dikurangi 50 52,6
Tidak diberikan 0 0
Pemberian cairan setiap anak habis buang air
besar
Kurang dari setengah gelas 41 43,2
Setengah gelas/lebih 54 56,8
Ibu mencuci tangan sebelum memberikan
makan anak
Ya 95 100
Tidak 0 0
Cara mencuci tangan
Dibasuh menggunakan air 36 37,9
Menggunakan sabun dan dibilas dibawah 59 62,1
air mengalir
Ibu mencuci tangan sebelum menyiapkan
makanan
Ya 94 98,9
Tidak 1 1,1
Cara mencuci peralatan makan dan minum
Menggunakan air 0 0
Menggunakan sabun dan dibilas dibawah 95 100
air mengalir
Cara membersihkan botol susu
Dicuci dengan air dan sabun 11 11,6
Dicuci kemudian dibilas dengan air panas 37 38,9
Dicuci dengan air dan sabun, lalu direbus 47 49,5
dalam air mendidih
Tempat buang air besar
Di WC 95 100
Di kali 0 0
Di kebun 0 0
Di sembarang tempat 0 0
Mencuci tangan menggunakan sabun setelah
buang air besar
Ya 95 100
Tidak 0 0
Air minum dimasak sebelum dikonsumsi
Ya 95 100
Tidak 0 0
Kemana anak berobat saat diare
Ke pelayanan kesehatan 95 100
Ke dukun/orang pintar 0 0
Dibiarkan saja 0 0

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


66

Berdasarkan Tabel 5.7, dapat dilihat distribusi perilaku ibu yang


merupakan salah satu faktor resiko diare. Terdapat 13 pertanyaan yang
menggambarkan perilaku ibu. Sebanyak 73,7% responden memberikan cairan
sebagai tindakan pertama saat anak diare, sebanyak 1,1 % responden memberikan
makanan tambahan, dan sebanyak 25,3% responden memberikan jamu
tradisional. Sebagian besar responden memberikan susu formula yang sama saat
anak tidak diare dan saat diare yaitu sebesar 88,4% dan sebesar 11,6% responden
memberikan susu formula berbeda saat bayi diare. Sebanyak 47,4% responden
memberikan porsi makanan tetap saat anak diare dan sebanyak 52,6% responden
mengurangi porsi makanan saat anak diare. Sebanyak 43,2% responden
memberikan cairan setelah buang air besar seesar kurang dari setengah gelas dan
56,8% responden memberikan cairan setengah gelas atau lebih.
Seluruh responden melakukan cuci tangan sabelum memberikan makanan
pada anak. Sebanyak 37,9% responden mencuci tangan hanya menggunakan air
dan 62,1% responden mencuci tangan menggunakan sabun dan dibilas dibawah
air mengalir. Hanya 1,1% responden tidak mencuci tangan sebelum menyiapkan
makanan dan 98,9% responden mencuci tangan. Seluruh responden mencuci
peralatan makan dan minum dengan menggunakan sabun dan dibilas dibawah air
mengalir. Responden yang mencuci botol susu dengan air dan sabun adalah
sebanyak 11,6%, mencuci dengan air dan sabun kemudian dibilas air panas
sebanyak 38,9%, dan mencuci dengan air dan sabun kemudian direbus dalam air
mendidih sebanyak 49,5%.
Seluruh responden buang air besar di WC dan mencuci tangan
menggunakan sabun setelah buang air besar. Seluruh responden juga memasak air
minum sebelum dikonsumsi. Saat anak diare, seluruh responden membawa
berobat ke pelayanan kesehatan. Hasil kategori perilaku ibu berdasarkan nilai rata-
rata (mean) responden dapat dilihat pada Tabel 5.8 di bawah ini.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


67

Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Perilaku Ibu di


Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Perilaku ibu n %
Perilaku buruk 46 48,4
Perilaku baik 49 51,6
Jumlah 95 100

Rata-rata (mean) nilai perilaku ibu dalam penelitian ini adalah 72,77
sedangkan median 76,90 dengan nilai terendah (minimum) 38,50 dan nilai
tertinggi (maximum) 100. Dalam penelitian ini digunakan nilai mean untuk
mengategorikan perilaku ibu karena distribusi data penelitian ini normal.
Berdasarkan Tabel 5.8, sebanyak 51,6% responden memiliki perilaku baik dan
sebanyak 48,4% responden memiliki perilaku buruk.

5.3.4 Gambaran Faktor Keluarga


5.3.4.1 Status Ekonomi Keluarga
Status ekonomi keluarga dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu status
ekonomi tinggi jika pengeluaran keluarga per bulan > Rp. 1.380.000 dan status
ekonomi rendah jika pengeluaran keluarga per bulan < Rp. 1.380.000. Tabel 5.9
menunjukkan distribusi responden berdasarkan status ekonomi keluarga.

Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Status Ekonomi


Keluarga di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Status Ekonomi Keluarga n %


Status ekonomi rendah 49 51,6
Status ekonomi tinggi 46 48,4
Jumlah 95 100

Berdasarkan Tabel 5.9, dapat dilihat bahwa responden dengan status


ekonomi keluarga tinggi yaitu dengan pengeluaran keluarga per bulan > Rp.
1.380.000 sebanyak 48,4% responden. Sedangkan respoden dengan status
ekonomi keluarga rendah yaitu dengan pengeluaran keluarga per bulan < Rp.
1.380.000 sebanyak 51,6% responden.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


68

5.3.4.2 Jumlah Balita Dalam Keluarga


Jumlah balita dalam keluarga dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu
tidak berisiko jika jumlah balita hanya satu dan berisiko jika jumlah balita lebih
dari satu dalam keluarga. Tabel 5.10 menunjukkan distribusi responden
berdasarkan jumlah balita dalam keluarga.

Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Balita dalam


Keluarga di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Jumlah Balita Dalam Keluarga n %


Berisiko (lebih dari satu) 33 34,7
Tidak berisiko (satu) 62 65,3
Jumlah 95 100

Berdasarkan Tabel 5.10, dapat dilihat bahwa sebanyak 65,3% responden


memiliki hanya satu balita dalam keluarga yang berarti tidak berisiko dan
sebanyak 34,7% responden memiliki lebih dari satu balita dalam keluarga yang
berarti berisiko.

5.3.5 Gambaran Faktor Lingkungan


5.3.5.1 Sumber Air Bersih
Faktor lingkungan berdasarkan sumber air bersih dikelompokkan menjadi
2 yaitu memenuhi syarat (jarak sumber air > 10 m dengan sumber pencemaran,
disimpan dalam wadah tertutup, jenih, dan tanpa rasa) dan tidak memenuhi syarat
jika tidak memenuhi satu atau lebih kriteria sumber air yang memenuhi syarat.
Tabel 5.11 menunjukkan distribusi responden berdasarkan sumber air bersih.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


69

Tabel 5.11 Distribusi Data Sumber Air Bersih Responden di Puskesmas


Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Sumber Air Bersih n=95 %


Jarak sumber air bersih dengan sumber
pencemaran
< 10 meter 32 33,7
> 10 meter 63 66,3
Adanya sumber pencemaran di sekitar
sumber air bersih
Ya 25 26,3
Tidak 70 73,7
Air bersih ditempatkan dalam wadah
tertutup
Ya 90 94,7
Tidak 5 5,3
Air minum tampak jernih
Ya 94 98,9
Tidak 1 1,1
Air minum ada rasa atau bau yang tidak
sedap
Ya 20 21,1
Tidak 70 78,9

Berdasarkan Tabel 5.11, dapat dilihat distribusi responden berdasarkan


sumber air bersih yang digunakan keluarga melalui 5 pertanyaan dalam kuesioner.
Sebanyak 33,7% jarak sumber air bersih dengan sumber pencemaran kurang dari
10 meter dan sebanyak 66,3% memiliki jarak lebih dari sama dengan 10 meter
antara sumber air bersih dengan sumber pencemaran. Terdapat 26,3% sumber
pencemaran di sekitar sumber air bersih dan 73,7% tidak terdapat sumber
pencemaran di sekitar sumber air bersih. Sebagian besar responden menempatkan
air bersih dalam wadah tertutup yaitu sebesar 94,7% dan hanya 5,3% responden
tidak menempatkan air bersih dalam wadah tertutup. Sebanyak 98,9% air minum
yang digunakan keluarga tampak jernih dan hanya 1,1% air minum yang tidak
tampak jernih. Sebanyak 78,9% air minum yang digunakan keluarga tidak ada
rasa atau bau yang tidak sedap. Namun, terdapat 21,1% air minum yang memiliki
rasa atau bau yang tidak sedap. Hasil distribusi responden berdasarkan sumber air
bersih kemudian di kategorikan menjadi tidak memenuhi syarat dan memenuhi
syarat yang dapat dilihat pada Tabel 5.12.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


70

Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sumber Air Bersih


di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Sumber Air Bersih n %


Tidak memenuhi syarat 38 40
Memenuhi syarat 57 60
Jumlah 95 100

Tabel 5.12 menunjukkan bahwa terdapat 40% keluarga yang memiliki


sumber air bersih tidak memenuhi syarat dan sebanyak 60% memenuhi syarat.
Kategori sumber air bersih memenuhi syarat jika keluarga memiliki sumber air
bersih yang terlindungi (jarak dengan sumber pencemaran > 10 meter, tidak ada
sumber pencemaran di dekat sumber air bersih, ditempatkan dalam posisi tertutup,
tampak jernih, dan tidak ada rasa atau bau yang tidak sedap.

5.3.5.2 Kondisi Jamban/WC


Kondisi jamban dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu memenuhi syarat
jika keluarga memiliki jamban sendiri, jamban leher angsa, serta memiliki septic
tank dan tidak memenuhi syarat jika tidak memenuhi satu atau lebih kriteria
kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat. Tabel 5.13 menunjukkan distribusi
responden berdasarkan kondisi jamban/WC.

Tabel 5.13 Distribusi Data Kondisi Jamban/WC Responden di Puskesmas


Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Kondisi Jamban/WC n=95 %


Mempunyai jamban/WC
Ya 95 100
Tidak 0 0
Jenis jamban/WC yang digunakan
Leher angsa dengan septic tank 95 100
WC cemplung 0 0
Leher angsa tanpa septic tank 0 0
WC empang 0 0
Kepemilikan jamban/WC
Sendiri 72 75,8
Bersama keluarga lain 23 24,2

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


71

Berdasarkan Tabel 5.11, dapat dilihat bahwa seluruh responden


mempunyai jamban/WC dengan jenis jamban leher angsa yang dilengkapi dengan
septic tank. Sebanyak 75,8% responden memiliki jamban/WC sendiri dan
sebanyak 24,2% responden memiliki jamban/WC dengan keluarga lain di rumah.
Hasil distribusi responden berdasarkan kondisi jamban/WC kemudian di
kategorikan menjadi tidak memenuhi syarat dan memenuhi syarat yang dapat
dilihat pada Tabel 5.14 di bawah ini.

Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kondisi Jamban/WC


di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Kondisi Jamban/WC n %
Tidak memenuhi syarat 23 24,2
Memenuhi syarat 72 75,8
Jumlah 95 100

Berdasarkan Tabel 5.14 di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 75,8%


responden memiliki jamban/WC yang memenuhi syarat dan sebanyak 24,2%
responden memiliki jamban/WC yang tidak memenuhi syarat. Kategori kondisi
jamban/WC memenuhi syarat jika keluarga memiliki jamban sendiri, jamban
leher angsa, serta memiliki septic tank.

5.3.5.3 Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)


SPAL dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu memenuhi syarat jika
keluarga memiliki sarana pembuangan air limbah tertutup dengan tempat
penampungan khusus dan tidak memenuhi syarat jika tidak memenuhi satu atau
lebih kriteria SPAL yang memenuhi syarat. Tabel 5.15 menunjukkan distribusi
responden berdasarkan SPAL.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


72

Tabel 5.15 Distribusi Data Sarana Pembuangan Air Limbah Responden di


Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Sarana Pembuangan Air Limbah n=95 %


Tempat pembuangan limbah rumah
tangga
Ke tanah kosong 0 0
Ke lubang yang dibuat di belakang 4 4,2
rumah
Dialirkan ke got 38 40
Ke saluran khusus tertutup yang 53 55,8
dilengkapi dengan tempat
penampungan khusus

Berdasarkan Tabel 5.15, dapat dilihat bahwa sebanyak 4,2% responden


membuang limbah rumah tangga ke lubang yang dibuat di belakang rumah,
sebanyak 40% responden mengalirkan limbah rumah tangga ke got, dan sebanyak
55,8% responden membuang limbah rumah tangga ke saluran khusus tertutup
yang dilengkapi dengan tempat penampungan khusus. Hasil distribusi responden
berdasarkan sarana pembuangan air limbah kemudian di kategorikan menjadi
tidak memenuhi syarat dan memenuhi syarat yang dapat dilihat pada Tabel 5.16 di
bawah ini.

Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sarana Pembuangan


Air Limbah di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Sarana Pembuangan Air Limbah n %


Tidak memenuhi syarat 42 43,2
Memenuhi syarat 53 55,8
Jumlah 95 100

Tabel 5.16 di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki sarana


pembungan air limbah memenuhi syarat sebanyak 55,8% dan yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 43,2%. Kategori SPAL memenuhi syarat jika keluarga
memiliki tempat pembuangan sampah rumah tangga ke saluran khusus tertutup
yang dilengkapi dengan tempat penampungan khusus.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


73

5.3.5.4 Pengolahan Sampah Rumah Tangga


Pengolahan sampah rumah tangga dikelompokkan menjadi 2 kategori
yaitu memenuhi syarat jika keluarga memiliki tempat sampah tertutup, sampah
diangkut oleh petugas kebersihan khusus, atau sampah dikelola sendiri oleh
keluarga dengan baik seperti membakar, menimbun, maupun dijadikan kompos
dan tidak memenuhi syarat jika tidak memenuhi satu atau lebih kriteria
pengolahan sampah rumah tangga yang memenuhi syarat. Tabel 5.17
menunjukkan distribusi responden berdasarkan pengolahan sampah rumah tangga.

Tabel 5.17 Distribusi Data Pengolahan Sampah Rumah Tangga Responden


di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Pengolahan Sampah Rumah Tangga n=95 %


Tempat sampah di dalam rumah disertai
tutup
Ya 44 46,3
Tidak 51 53,7
Cara mengolah sampah rumah tangga
Dikumpulkan, kemudian diangkut 92 96,8
oleh petugas kebersihan atau
ditimbun.
Dibuang ke sembarang tempat 3 3,2

Berdasarkan Tabel 5.17, terlihat bahwa sebanyak 46,3% responden


memeliki tempat sampah yang disertai tutup dan sebanyak 53,7% memiliki
tempat sampah yang tidak disertai tutup. Sebagian besar responden yaitu 96,8%
mengolah sampah rumah tangga dengan dikumpulkan kemudian diangkut oleh
petugas kebersihan atau ditimbun. Hanya sebanyak 3,2% responden yang
membuang sampah ke sembarang tempat. Hasil distribusi responden berdasarkan
pengolahan sampah rumah tangga kemudian di kategorikan menjadi tidak
memenuhi syarat dan memenuhi syarat yang dapat dilihat pada Tabel 5.18 di
bawah ini.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


74

Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengolahan Sampah


Rumah Tangga di Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun
2012

Pengolahan Sampah Rumah Tangga n %


Tidak memenuhi syarat 52 54,7
Memenuhi syarat 43 45,3
Jumlah 95 100

Tabel 5.18 di atas menunjukkan bahwa sebanyak 45,3% memiliki


pengolahan sampah rumah tangga yang memenuhi syarat dan sebanyak 54,7%
tidak memenuhi syarat. Kategori pengolahan sampah rumah tangga memenuhi
syarat jika keluarga memiliki tempat sampah tertutup dan membuang sampah
dengan cara dikumpulkan, kemudian diangkut oleh petugas kebersihan atau
ditimbun.

5.3.5.5 Kepadatan Huni


Kepadatan huni dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu hunian tidak
padat jika luas kamar anak untuk tidur > 8 m2 dan anak tidur dengan orang
dewasa < 2 orang dan hunian padat jika luas kamar anak untuk tidur < 8 m2 dan
anak tidur dengan orang dewasa > 2 orang. Tabel 5.19 menunjukkan distribusi
responden berdasarkan kepadatan huni.

Tabel 5.19 Distribusi Data Kepadatan Huni Responden di Puskesmas Tugu,


Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Kepadatan Huni n=95 %


Luas kamar anak biasa tidur
< 8m2 3 3,2
> 8 m2 92 96,8
Jumlah orang yang tidur bersama anak
> 2 orang dewasa 29 30,5
< 2 orang dewasa 66 69,5

Berdasarkan Tabel 5.19, dapat dilihat bahwa hanya 3,2% luas kamar anak
tidur kurang dari 8 m2 dan 96,8% luas kamar anak tidur > 8 m2. Sebanyak 30,5%
anak tidur dengan lebih dari 2 orang dewasa dan sebanyak 69,5% anak tidur
dengan kurang dari sama dengan 2 orang dewasa. Hasil distribusi responden

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


75

berdasarkan kepadatan huni kemudian di kategorikan menjadi tidak memenuhi


syarat dan memenuhi syarat yang dapat dilihat pada Tabel 5.20 di bawah ini.

Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kepadatan Huni di


Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Kepadatan Huni n %
Hunian padat 30 31,6
Hunian tidak padat 65 68,4
Jumlah 95 100

Tabel 5.20 di atas menunjukkan bahwa terdapat 68,4% kepadatan huni


yang tergolong hunian tidak padat dan sebanyak 31,6% kepadatan huni tergolong
hunian padat. Kategori hunian yang tergolong tidak padat jika luas kamar anak
untuk tidur > 8 m2 dan anak tidur dengan orang dewasa < 2 orang.

5.4 Analisis Bivariat


Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah uji Chi-Square dan Odds Ratio (OR). Berikut ini merupakan penyajian
analisis bivariat dari setiap variabel yang diteliti.
5.4.1 Faktor Anak
Faktor anak terhadap frekuensi diare yang diteliti dalam peneltian ini
adalah berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, dan imunisasi campak. Hasil tabulasi
silang antara variabel faktor anak dengan frekuensi diare ditunjukkan pada Tabel
5.21.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


76

Tabel 5.21 Tabulasi Silang antara Faktor Anak dengan Frekuensi Diare dalam 4
Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012

Variabel Frekuensi Diare Jumlah P value OR


Faktor Anak > Sekali Sekali (95% CI)
dalam 4 dalam 4
Bulan Bulan
Terakhir Terakhir
n=34 % n=61 % n=95 %
Berat lahir
- Berat lahir 9 64,3 5 35,7 14 100 0,035* 4,0
rendah 1,2-13,3
- Berat lahir 25 30,9 56 69,1 81 100
normal
Status gizi rata-
rata 4 bulan
terakhir (BB/U)
- Gizi Kurang 17 65,4 9 34,6 26 100 0,001* 5,8
- Gizi Baik 17 24,6 52 75,4 69 100 2,2-15,3
Status gizi rata-
rata 4 bulan
terakhir (PB/U)
- Pendek 22 78,6 6 21,4 28 100 0,000* 16,8
- Normal 12 17,9 55 82,1 67 100 5,6- 50,4
Status gizi saat
ini (BB/U)
- Gizi Kurang 22 66,7 11 33,3 33 100 0,000* 8,3
- Gizi Baik 12 19,4 50 80,6 62 100 3,2-21,8
Status gizi saat
ini (PB/U)
- Pendek 21 77,8 6 22,2 27 100 0,000* 14,8
- Normal 13 19,1 55 80,9 68 100 4,9-44,0
ASI eksklusif
- Tidak 32 41,0 46 59,0 78 100 0,045* 5,2
- Ya 2 11,8 15 88,2 17 100 1,1-24,4
Imunisasi
Campak
- Tidak 4 80,0 1 20,0 5 100 0,054 8,0
Imunisasi 0,9-74,7
- Sudah 30 33,3 60 66,7 90 100
Imunisasi
Keterangan :
*) Hubungan bermakna signifikan (p value < 0,05)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


77

5.4.1.1 Hubungan Berat Lahir dengan Frekuensi Diare


Berdasarkan Tabel 5.21, dapat dilihat bahwa sampel dengan frekuensi
diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh anak
dengan berat lahir rendah (64,3%) dibandingkan dengan anak dengan berat lahir
normal (30,9%). Data statistik memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan
antara berat lahir dengan frekuensi diare dengan p value 0,035. Odds ratio untuk
berat lahir sebesar 4,0 dengan 95% CI antara 1,2-13,3 yang artinya anak dengan
berat lahir rendah berisiko 4 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali
dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak dengan berat lahir normal.

5.4.1.2 Hubungan Status Gizi dengan Frekuensi Diare


a. Status Gizi Rata-Rata 4 Bulan Terakhir
Berdasarkan Tabel 5.21, dapat dilihat bahwa sampel dengan frekuensi
diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita anak yang
memiliki rata-rata status gizi kurang (65,4%) dibandingkan dengan sampel yang
tergolong memiliki rata-rata status gizi baik (24,6%). Data statistik
memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara rata-rata status gizi
berdasarkan BB/U dengan frekuensi diare dengan p value 0,001. Odds ratio untuk
status gizi berdasarkan BB/U sebesar 5,8 dengan 95% CI antara 2,2-15,3, artinya
anak yang memiliki rata-rata status gizi kurang berisiko 5,8 kali lebih besar
menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang
memiliki status gizi baik.
Tabel 5.21 juga menunjukkan frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir diderita oleh sampel yang tergolong memiliki rata-rata PB/U
pendek sebesar 78,6% dan hanya diderita oleh 17,9% sampel yang tergolong
normal. Data statistik memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara
rata-rata status gizi berdasarkan PB/U dengan frekuensi diare dengan p value
0,000. Odds ratio untuk status gizi berdasarkan PB/U sebesar 16,8 dengan 95%
CI antara 5,6-50,4, artinya anak yang tergolong pendek berisiko 16,8 kali lebih
besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak
yang memiliki tinggi normal.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


78

b. Status Gizi Saat Ini


Status gizi saat ini diukur saat pengambilan data berlangsung yang
dilakukan di Puskesmas Tugu. Berdasarkan Tabel 5.21 dapat dilihat bahwa
frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh
sampel yang memiliki rata-rata status gizi kurang (66,7%) dibandingkan sampel
yang tergolong memiliki rata-rata status gizi baik (19,4%). Data statistik
memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara rata-rata status gizi
berdasarkan BB/U dengan frekuensi diare dengan p value 0,000. Odds ratio untuk
status gizi berdasarkan BB/U sebesar 8,3 dengan 95% CI antara 3,2-21,8, artinya
anak yang memiliki status gizi kurang berisiko 8,3 kali lebih besar menderita
diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang memiliki
status gizi baik.
Tabel 5.21 juga menunjukkan frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir diderita oleh sampel yang tergolong memiliki PB/U saat ini pendek
sebesar 77,8% dan hanya diderita oleh 19,1% sampel yang tergolong normal. Data
statistik memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara rata-rata status
gizi berdasarkan PB/U dengan frekuensi diare dengan p value 0,000. Odds ratio
untuk status gizi berdasarkan PB/U sebesar 14,8 dengan 95% CI antara 4,9-44,0,
artinya anak yang tergolong pendek berisiko 14,8 kali lebih besar menderita diare
lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang memiliki tinggi
normal.

5.4.1.3 Hubungan ASI Eksklusif dengan Frekuensi Diare


Berdasarkan Tabel 5.21, dapat dilihat bahwa frekuensi diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita pada anak yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif (41%) dibandingan dengan anak yang diberikan ASI
eksklusif (11,8%). Data statistik memperlihatkan adanya hubungan yang
signifikan antara ASI eksklusif dengan frekuensi diare dengan p value 0,045.
Odds ratio untuk ASI eksklusif sebesar 5,2 dengan 95% CI antara 1,1-24,4 yang
artinya anak yang tidak diberikan ASI eksklusif berisiko 4 kali lebih besar
menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang
diberikan ASI eksklusif.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


79

5.4.1.4 Hubungan Imunisasi Campak dengan Frekuensi Diare


Berdasarkan Tabel 5.21, dapat dilihat bahwa sampel dengan frekuensi
diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel
yang tidak mendapatkan imunisasi campak (80%) dibandingkan sampel yang
sudah imunisasi campak yaitu hanya (33,3%) Data statistik memperlihatkan
adanya hubungan yang tidak signifikan antara imunisasi campak dengan frekuensi
diare dengan p value 0,054.

5.4.2 Faktor Ibu


Faktor ibu terhadap frekuensi diare yang diteliti dalam penelitian ini
adalah perilaku ibu.
5.4.2.1 Hubungan Perilaku Ibu dengan Frekuensi Diare
Hubungan antara perilaku ibu dengan frekuensi diare dianalisis
menggunakan tabulasi silang pada uji Chi-Square dan Odds Ratio (OR). Hasil
tabulasi silang antara perilaku ibu dengan frekuensi diare ditunjukkan pada tabel
5.22 di bawah ini.

Tabel 5.22 Tabulasi Silang antara Faktor Ibu dengan Frekuensi Diare dalam 4
Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012

Variabel Faktor Frekuensi Diare Jumlah P value OR


Ibu > Sekali Sekali (95% CI)
dalam 4 dalam 4
Bulan Bulan
Terakhir Terakhir
n=34 % n=61 % n=95 %
Perilaku Ibu
- Perilaku Buruk 24 52,2 22 47,8 46 100 0,003* 4,3
- Perilaku Baik 10 20,4 39 79,6 49 100 1,7-10,5
Keterangan :
*) Hubungan bermakna signifikan (p value < 0,05)

Berdasarkan Tabel 5.22 di atas menunjukkan bahwa frekuensi diare lebih


dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan
perilaku ibu buruk (52,2%) dibandingkan dengan perilaku baik (20,4%). Data
statistik memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku ibu
dengan frekuensi diare dengan p value 0,003. Odds ratio untuk perilaku ibu

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


80

sebesar 4,3 dengan 95% CI antara 1,7-10,5 yang artinya anak dengan perilaku ibu
yang buruk berisiko 4,3 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4
bulan dibandingkan dengan anak dengan perilaku ibu yang baik. Berdasarkan
kedua uji tersebut menunjukkan bahwa perilaku ibu mempunyai hubungan
bermakna dengan frekuensi diare dan merupakan faktor risiko (OR >1).

5.4.3 Faktor Keluarga


Faktor keluarga terhadap frekuensi diare yang diteliti dalam peneltian ini
adalah status ekonomi keluarga dan jumlah balita dalam keluarga. Hasil tabulasi
silang antara variabel faktor keluarga dengan frekuensi diare ditunjukkan pada
Tabel 5.23 di bawah ini.

Tabel 5.23 Tabulasi Silang antara Faktor Keluarga dengan Frekuensi Diare dalam 4
Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012

Variabel Frekuensi Diare Jumlah P value OR


Faktor > Sekali Sekali (95%
Keluarga dalam 4 dalam 4 CI)
Bulan Bulan
Terakhir Terakhir
n=34 % n=61 % n=95 %
Status ekonomi
keluarga
- Rendah 25 51,0 24 49,0 49 100 0,003* 4,3
- Tinggi 9 19,6 37 80,4 46 100 1,7-10,7
Jumlah balita
dalam keluarga
- Berisiko (lebih 22 66,7 11 33,3 33 100 0,000* 8,3
dari satu) 3,2-21,8
- Tidak berisiko 12 19,4 50 80,6 62 100
(satu)
Keterangan :
*) Hubungan bermakna signifikan (p value < 0,05)

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


81

5.4.3.1 Hubungan Status Ekonomi Keluarga dengan Frekuensi Diare


Berdasarkan Tabel 5.23, dapat dilihat bahwa frekuensi diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan status
ekonomi keluarga rendah (51%) dibandingkan dengan sampel dengan status
ekonomi keluarga tinggi (19,6%). Data statistik memperlihatkan adanya hubungan
yang signifikan antara status ekonomi keluarga dengan frekuensi diare dengan p
value 0,003. Odds ratio untuk perilaku ibu sebesar 4,3 dengan 95% CI antara 1,7-
10,7 yang artinya anak dengan status ekonomi keluarga rendah berisiko 4,3 kali
lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan
anak dengan status ekonomi keluarga tinggi.

5.4.3.2 Hubungan Jumlah Balita dalam Keluarga dengan Frekuensi Diare


Tabel 5.23 menunjukkan bahwa frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan keluarga yang memiliki
lebih dari satu balita yaitu sebesar 66,7% dibandingkan dengan sampel dengan
keluarga yang memiliki hanya satu balita yaitu sebesar 19,4%. Data statistik
memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah balita dalam
keluarga dengan frekuensi diare dengan p value 0,000. Odds ratio untuk jumlah
balita dalam keluarga sebesar 8,3 dengan 95% CI antara 3,2-21,8 yang artinya
anak yang memiliki jumlah balita dalam keluarga lebih dari satu berisiko 8,3 kali
lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan
anak yang hanya memiliki satu balita dalam keluarga.

5.4.4 Faktor Lingkungan


Faktor lingkungan terhadap frekuensi diare yang diteliti dalam peneltian
ini adalah sumber air bersih, kondisi jamban/WC, sarana pembuangan air limbah
(SPAL), pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni. Hasil tabulasi
silang antara variabel faktor lingkungan dengan frekuensi diare ditunjukkan pada
Tabel 5.24 di bawah ini.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


82

Tabel 5.24 Tabulasi Silang antara Faktor Lingkungan dengan Frekuensi Diare
dalam 4 Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012

Variabel Frekuensi Diare Jumlah P value OR


Faktor > Sekali Sekali (95% CI)
Lingkungan dalam 4 dalam 4
Bulan Bulan
Terakhir Terakhir
n=34 % n=61 % n=95 %
Sumber air
bersih
- TMS 23 60,5 15 39,5 38 100 0,000* 6,4
- MS 11 19,3 46 80,7 57 100 2,5-16,2
Kondisi
jamban/WC
- TMS 15 62,5 9 37,5 24 100 0,004* 4,6
- MS 19 26,8 52 73,2 71 100 1,7-12,1
SPAL
- TMS 24 58,5 17 41,5 41 100 0,000* 6,2
- MS 10 18,5 44 81,5 54 100 2,5-15,7
Pengolahan
sampah rumah
tangga
- TMS 27 51,9 25 48,1 52 100 0,001* 5,5
- MS 7 16,3 36 83,7 43 100 2,1-14,7
Kepadatan huni
- Hunian padat 17 56,7 13 43,3 30 100 0,008* 3,7
- Hunian tidak 17 26,2 48 73,8 65 100 1,5-9,2
padat
Keterangan:
- MS : Memenuhi syarat
- TMS : Tidak memenuhi syarat
*) Hubungan bermakna signifikan (p value < 0,05)

5.4.4.1 Hubungan Sumber Air Bersih dengan Frekuensi Diare


Tabel 5.24 menunjukkan bahwa frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel yang memiliki sumber air bersih
tidak memenuhi syarat (60,5%) dibandingkan dengan sampel yang memiliki
sumber air bersih memenuhi syarat (19,3%). Data statistik memperlihatkan
adanya hubungan yang signifikan antara sumber air bersih dengan frekuensi diare
dengan p value 0,000. Odds ratio untuk sumber air bersih sebesar 6,4 dengan 95%
CI antara 2,5-16,2 yang artinya anak yang memiliki sumber air bersih tidak
memenuhi syarat berisiko 6,4 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali
dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang memiliki sumber air bersih
memenuhi syarat.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


83

5.4.4.2 Hubungan Kondisi Jamban/WC dengan Frekuensi Diare

Berdasarkan Tabel 5.24, dapat dilihat bahwa frekuensi diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan kondisi
jamban/WC keluarga tidak memenuhi syarat (62,5%) dibandingkan dengan
sampel dengan kondisi jamban/WC keluarga memenuhi syarat (26,8%). Data
statistik memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara kondisi
jamban/WC keluarga dengan frekuensi diare dengan p value 0,004. Odds ratio
untuk kondisi jamban/WC sebesar 4,6 dengan 95% CI antara 1,7-12,1 yang
artinya anak yang memiliki kondisi jamban/WC tidak memenuhi syarat berisiko
4,6 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan
dengan anak yang memiliki kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat.

5.4.4.3 Hubungan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) dengan


Frekuensi Diare
Tabel 5.24 menunjukkan bahwa sampel yang menderita diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak yang memiliki SPAL tidak memenuhi
syarat (58,5%) dibandingkan dengan sampel yang memiliki SPAL memenuhi
syarat (18,5%). Data statistik memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan
antara SPAL dengan frekuensi diare dengan p value 0,000. Odds ratio untuk
SPAL sebesar 6,2 dengan 95% CI antara 2,5-15,7 yang artinya anak yang
memiliki SPAL tidak memenuhi syarat berisiko 6,2 kali lebih besar menderita
diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang memiliki
SPAL yang memenuhi syarat.

5.4.4.4 Hubungan Pengolahan Sampah Rumah Tangga dengan Frekuensi


Diare

Tabel 5.24 menunjukkan bahwa sampel yang menderita diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak yang memiliki pengolahan sampah
rumah tangga tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 51,9% dibandingkan dengan
sampel yang memiliki pengolahan sampah rumah tangga memenuhi syarat yaitu
hanya sebesar 16,3%. Data statistik memperlihatkan adanya hubungan yang
signifikan antara pengolahan sampah rumah tangga dengan frekuensi diare dengan

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


84

p value 0,001. Odds ratio untuk pengolahan sampah rumah tangga sebesar 5,5
dengan 95% CI antara 2,1-14,7 yang artinya anak yang memiliki pengolahan
sampah rumah tangga tidak memenuhi syarat berisiko 5,5 kali lebih besar
menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang
memiliki pengolahan sampah rumah tangga yang memenuhi syarat.

5.4.4.5 Hubungan Kepadatan Huni dengan Frekuensi Diare

Berdasarkan Tabel 5.24, dapat dilihat bahwa sampel dengan hunian padat,
sebanyak 56,7% menderita diare dengan frekuensi lebih dari sekali dalam 4 bulan
terakhir memiliki. Sementara itu, sampel dengan hunian tidak padat hanya 26,2%
yang menderita diare dengan frekuensi tersebut. Data statistik memperlihatkan
adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan huni dengan frekuensi diare
dengan p value 0,008. Odds ratio untuk kepadatan huni sebesar 3,7 dengan 95%
CI antara 1,5-9,2, artinya anak yang memiliki kepadatan huni tergolong padat
berisiko 3,7 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
dibandingkan dengan anak yang memiliki kepadatan huni yang tergolong tidak
padat.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


BAB 6
PEMBAHASAN

6.1.1 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini menggunakan data primer yang kualitas datanya sangat
tergantung pada kejujuran responden dalam memberikan informasi dan
keterampilan peneliti dalam menggali informasi melalui wawancara dan
melakukan pengamatan terhadap beberapa variabel independen.

6.2 Frekuensi Diare


Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan
konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang
air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin
dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah yang merupakan gejala
infeksi gastrointestinal (WHO, 2008). Median insiden diare secara keseluruhan
pada anak di bawah 5 tahun adalah 3,2 episode per tahun (Parashar et al., 2003
dalam Agtini, 2011). Dari data frekuensi tersebut, penelitian ini mengelompokkan
frekuensi diare menjadi frekuensi sekali dalam 4 bulan terakhir yaitu frekuensi
kurang dari median dunia dan frekuensi lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir
yaitu frekuensi lebih dari median dunia.
Pada penelitian ini, kasus diare diambil berdasarkan penegakan diagnosis
yang dilakukan oleh dokter maupun tenaga kesehatan di Puskesmas Tugu
khususya di Poli Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Sampel penelitian
diambil berdasarkan purposive sampling yaitu anak 10-23 bulan yang saat
penelitian berlangsung didignosa menderita diare. Selain itu, peneliti juga melihat
rekam medik pasien melalui kartu status pasien rawat jalan untuk melihat ada atau
tidaknya diagnosa diare selama 4 bulan terakhir.
Hasil penelitian ini menunjukkan sampel yang menderita diare dengan
frekuensi sekali dalam 4 bulan terakhir sebanyak 64,2% dan frekuensi lebih dari
sekali dalam 4 bulan terakhir sebanyak 35,8%. Seluruh sampel (100%) yang
tergolong frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir ini mengalami
diare dua kali dalam 4 bulan terakhir.

85 Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
86

Pada saat dilakukan diagnosa terhadap penyakit diare pada anak 10-23
bulan ini, dokter atau tenaga kesehatan juga mengelompokkan diare menjadi tiga
kategori, yaitu: (1) diare berdarah yang dikenal juga dengan disentri yaitu diare
yang disertai darah dalam tinjanya, (2) diare sewaktu atau diare akut yaitu diare
yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari), dan (3) diare
persisten yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus.
Pada penelitian ini, semua kasus diare (100%) tergolong dalam diare sewaktu atau
diare akut. Diare akut ini juga ada yang disertai dengan penyakit lain seperti
demam dan ISPA yaitu sebanyak 23,2%. Sampel yang dalam waktu 3 hari masih
menderita diare setelah berobat dianjurkan untuk melakukan kunjungan ulang.
Dalam penelitian ini, terdapat 7,4% sampel yang melakukan kunjungan ulang ke
Puskesmas Tugu.
Masih sangat sedikit penelitian lain yang meneliti tentang hubungan
faktor-faktor resiko diare dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan.
Penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana hubungan antara faktor-faktor resiko
yaitu berat lahir, status gizi, ASI eksklusif, imunisasi campak, perilaku ibu, status
ekonomi keluarga, jumlah balita dalam keluarga, sumber air bersih, kondisi
jamban/WC, sarana pembuangan air limbah, pengolahan sampah rumah tangga,
dan kepadatan huni dengan frekuensi diare. Penjelasan tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu
akan dijelaskan di bawah ini.

6.3 Berat Lahir


Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 14,2% anak dengan berat lahir
rendah yaitu kurang dari 2500 gram dan 85,8% anak dengan berat lahir normal
yaitu lebih dari 2500 gram. Persentase nasional berat lahir rendah (<2500 gram)
adalah 11,5% (Depkes RI, 2007b). Terdapat 16 provinsi di Indonesia yang
memiliki persentase berat lahir rendah lebih tinggi dari angka nasional termasuk
Jawa Barat. Dalam penelitian ini di Puskesmas Tugu, Cimanggis, Kota Depok
menunukkan persentase berat lahir rendah lebih tinggi dibandingkan dengan
angka nasional.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


87

Dalam penelitian ini terdapat 42,9% dari proporsi berat lahir rendah yang
merupakan sampel laki-laki. Sementara itu, sebesar 57,1% proporsi berat lahir
rendah merupakan perempuan. Hal ini sejalan dengan data Riskesdas (2007) yang
menunjukkan bahwa persentase BBLR lebih tinggi pada bayi perempuan
dibandingkan dengan bayi laki-laki.
Berdasarkan tabulasi silang pada Tabel 5.21 dapat dilihat bahwa sampel
dengan berat lahir rendah yang mengalami diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
terakhir adalah sebanyak 64,3%. Sementara itu, sampel yang tergolong berat lahir
normal sebanyak 30,9%.
Melalui uji statistik dengan melihat nilai p value, terlihat adanya hubungan
yang signifikan antara berat lahir dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan
dengan p value 0,031. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Salehah (2002) yang menunjukkan adanya trend peningkatan
frekuensi penyakit infeksi (diare dan ISPA) yang lebih besar pada bayi dengan
berat lahir rendah (< 2500 gram).
Hasil odds ratio menunjukkan anak dengan berat lahir rendah berisiko 4
kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan
dengan anak dengan berat lahir normal. Hal ini juga sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Siti Fadilah (2009) yang melakukan analisis terhadap data
Riskesdas 2007. Penelitian ini menunjukkan balita dengan berat lahir rendah
memiliki resiko diare 1,061 kali lebih besar daripada balita dengan berat lahir
normal.
Berdasarkan hasil penelitian dan penelitian terdahulu, berat lahir rendah
memiliki hubungan dengan kejadian diare karena anak dengan berat lahir rendah
memiliki pertumbuhan dan pematangan (maturasi) organ dan alat – alat tubuh
belum sempurna, akibatnya bayi berat lahir rendah sering mengalami komplikasi
dan infeksi yang dapat berakhir dengan kematian seperti yang diungkapkan oleh
Depkes RI dalam Sadono et al (2005).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


88

6.4 Status Gizi


Variabel status gizi dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan status
gizi BB/U dan status gizi PB/U. Hasil pengukuran status gizi ini juga dibagi
menjadi 2 yaitu pengukuran rata-rata z score selama 4 bulan terakhir dan
pengukuran saat penelitian berlangsung. Data status gizi rata-rata 4 bulan terakhir
dilihat dari KMS yang diukur saat melakukan kunjungan ke Posyandu dan status
gizi saat penelitian diambil melalui pengukuran langsung dengan timbangan dan
baby length board oleh peneliti dan dibantu oleh tenaga kesehatan Puskesmas
Tugu.
Data status gizi diambil dalam 2 waktu pengukuran yang berbeda agar
dapat diketahui apakah status gizi rata-rata dalam 4 bulan terakhir atau status gizi
saat penelitian yang memiliki resiko lebih tinggi dalam frekuensi diare yang
dilihat dari nilai p value dan odds ratio. Pada status gizi rata-rata dalam 4 bulan
terakhir, sampel yang menderita diare dan memiliki status gizi baik sebanyak
72,6% dan status gizi kurang sebanyak 27,4%. Sampel yang status gizi PB/U
tergolong normal dalam 4 bulan terakhir sebanyak 70,5% dan tergolong pendek
sebanyak 29,5%. Data status gizi BB/U yang dilakukan pengukuran langsung
ternyata menunjukkan adanya penurunan persentase gizi baik yaitu menjadi
65,3% dan gizi kurang meningkat menjadi 34,7%. Sedangkan status gizi PB/U
mengalami sedikit kenaikan pada kelompok normal menjadi 71,6% dan
penurunan pada kelompok pendek menjadi 28,4%.
Berdasarkan Riskesdas 2010, persentase balita dengan gizi kurang di
Indonesia adalah sebasar 13% (Depkes RI, 2010). Sedangkan target Millenium
Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 adalah sebesar 18,5%. Hasil
penelitian ini menunjukkan persentase sampel dengan gizi kurang lebih tinggi dari
angka nasional dan masih jauh untuk mencapai MDGs tahun 2015. Riskesdas
2010 juga menunjukkan balita yang tergolong pendek di Indonesia adalah sebesar
17,1%. Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa persentasi sampel pendek
lebih tinggi dari angka nasional.
Variabel status gizi pada penelitian sebelumnya yang digunakan hanya
status gizi berdasarkan BB/U dan diukur hanya pada saat penelitian dilakukan
sehingga tidak dapat dilihat bagaimana keeratan dari status gizi yang diukur

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


89

dalam 2 waktu berbeda dengan frekuensi diare. Persentasi status gizi berdasarkan
BB/U lebih banyak pada anak dengan status gizi baik juga ditunjukkan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) dimana sampel kasus atau yang
menderita diare sebanyak 57,3% memiliki status gizi baik dan 42,7% memiliki
status gizi kurang.
Proporsi sampel dengan dengan frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir yang memiliki rata-rata status gizi kurang adalah sebesar 65,4%
sedangkan yang memiliki rata-rata status gizi baik hanya sebesar 24,6%.
Berdasarkan status gizi (BB/U) saat ini, sampel yang tergolong memiliki status
gizi kurang, sebanyak 66,7% menderita diare dengan frekuensi lebih dari sekali
dalam 4 bulan terakhir. Sedangkan sampel dengan status gizi baik hanya 19,4%
yang menderita diare dengan frekuensi tersebut. Data statistik menunjukkan
variabel rata-rata status gizi (BB/U) maupun status gizi (BB/U) saat ini memiliki
hubungan yang signifikan dengan frekuensi diare (nilai p < 0,05). OR untuk rata-
rata status gizi (BB/U) sebesar 5,8 dengan 95% CI antara 2,2-15,3 sedangkan OR
untuk status gizi (BB/U) saat ini sebesar 8,3 dengan 95% CI antara 3,2-21,8. Data
tersebut menunjukkan status gizi (BB/U) saat ini memiliki resiko lebih besar
terhadap frekuensi diare dibandingkan rata-rata status gizi (BB/U).
Berdasarkan rata-rata status gizi (PB/U), frekuensi diare lebih dari sekali
dalam 4 bulan terakhir hanya diderita oleh 17,9% sampel yang tergolong normal
namun diderita oleh 78,6% sampel yang memiliki status gizi PB/U pendek.
Berdasarkan status gizi (PB/U) saat ini, sampel yang tergolong pendek, sebanyak
77,8% menderita diare dengan frekuensi lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir.
Sedangkan sampel yang tergolong normal hanya 19,1% yang menderita diare
dengan frekuensi tersebut. Kedua variabel status gizi tersebut baik rata-rata
maupun saat ini memiliki hubungan yang signifikan dengan frekuensi diare (nilai
p < 0,05). OR untuk rata-rata status gizi (PB/U) sebesar 16,8 dengan 95% CI
antara 5,6-50,4 sedangkan OR untuk status gizi (PB/U) saat ini sebesar 14,8
dengan 95% CI antara 4,9-44,0. Berdasarkan OR tersebut dapat terlihat bahwa
rata-rata status gizi (PB/U) memiliki resiko lebih besar terhadap frekuensi diare
dibandingkan status gizi (PB/U) saat ini.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


90

Beberapa penelitian menunjukkan hasil sejalan dengan penelitian ini.


Sebuah penelitian yang dilakukan di Peruvian menunjukkan adanya hubungan
antara status gizi dengan frekuensi diare pada bayi. Hasil penelitian ini
menunjukkan frekuensi diare meningkat setiap penurunan 15% z score
berdasarkan PB/U (Checkley et al., 2001). Rata-rata frekuensi diare yang dialami
oleh sampel dalam penelitian tersebut adalah 3,2 kali per tahun. Penelitian yang
dilakukan Fitriyani (2005) di Puskesmas wilayah Palembang menunjukkan
hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian diare. Selain itu
penelitian lain di Bali menunjukkan hubungan yang signifikan juga antara status
gizi dengan kejadian diare (OR: 5,46; 3,03-9,84) yang artinya bayi dengan gizi
kurang memiliki resiko diare 5,46 kali lebih besar dibandingkan dengan gizi baik
(Dewi, 2011).
Bayi dan balita yang mengalami kurang gizi lebih mudah terjangkit
penyakit dibandingkan dengan bayi dan balita dengan gizi baik. Keadaan kurang
gizi dapat meningkatkan beratnya penyakit, lama, dan resiko kematian terutama
pada gizi buruk (Depkes RI, 2007a). Semakin buruk gizi anak, maka akan
semakin banyak frekuensi diare yang dialami. Mortalitas bayi umumnya kecil di
negara yang memiliki prevalensi kurang energi protein (KEP) rendah.
Menurut Depkes RI, faktor yang menyebabkan diare pada anak malnutrisi
adalah atrofi vilus usus halus, atrofi pankreas, penurunan daya tahan tubuh, dan
gangguan absorbsi zat makanan (Depkes RI, 1999 dalam Palupi et al, 2009).
Keadaan malnutrisi dapat menimbulkan efek buruk terhadap struktur usus halus
yaitu menipisnya dinding usus halus dan atrofi mukosa. Selain itu juga terdapat
penurunan mitosis serta infiltrasi limfosit dan sel plasma pada mukosa dan
submukosa usus. Perubahan-perubuhan struktural dan fungsional tersebut disertai
dengan penurunan produksi enzim pankreas yang dapat memengaruhi absorbsi
makanan yang kemudian dapat menyebabkan diare (Brunser et al, 1991 dalam
Palupi et al, 2009).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


91

6.5 ASI Eksklusif


Hasil penelitian menunjukkan sampel yang diberikan ASI eksklusif hanya
sebesar 17,9% dan sampel yang tidak diberikan ASI eksklusif sebanyak 82,1%.
Tingkat keberhasilan ASI eksklusif juga berhubungan dengan dilakukan atau
tidaknya inisiasi menyusui dini (IMD). Ibu yang melaksanakan IMD atau
menyusui segera (immediate breastfeeding) memiliki kemungkinan 2,1 sampai
8,1 kali lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif selama 4 bulan kepada bayi
dibandingkan dengan ibu yang tidak melaksanakan IMD (Fikawati dan Syafiq,
2003). Hasil tabulasi silang antara IMD dan ASI eksklusif pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 1 pada Lampiran 8 yang menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan (nilai p=0,554). Keberhasilan ASI eksklusif juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, pengetahuan tentang ASI, kolostrum dan
ASI eksklusif yang baik, pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang baik,
bayi yang lahir normal, lama, frekuensi, dan posisi pemberian ASI yang sudah
sesuai anjuran (Murwanti, 2005).
Kolostrum juga memiliki peran penting dalam mencegah kejadian sakit
karena kolostrum kaya akan zat antibodi dan kolostrum dapat dianggap sebagai
imunisasi pertama yang diterima oleh bayi (Roesli, 2005). Sebanyak 70,5%
responden memberikan kolostrum dan 29,5% responden tidak memberikan
kolostrum. Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara pemberian kolostrum dengan frekuensi diare (nilai p = 0,000) yang dapat
dilihat pada Tabel 2 Lampiran 8.
Persentase ASI eksklusif pada penelitian ini hampir sama dengan
persentasi ASI eksklusif nasional yaitu 15,3% (Depkes RI, 2010). Penelitian yang
dilakukan oleh Dewi (2011) juga menunjukkan sampel yang diare lebih banyak
pada sampel yang tidak diberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 71,3% dan sampel
yang diberikan ASI eksklusif hanya 28,7%.
Berdasarkan tabulasi silang antara ASI eksklusif dengan frekuensi diare
pada Tabel 5.21, dapat dilihat bahwa frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir diderita oleh hanya 11,8% sampel yang mendapatkan ASI eksklusif
dan diderita oleh 41% sampel yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Data
statistik memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara ASI eksklusif

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


92

dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan dengan p value 0,045. Anak yang
tidak diberikan ASI eksklusif berisiko 5,2 kali lebih besar menderita diare lebih
dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI
eksklusif.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di
daerah kumuh Kota Dhaka, Bangladesh menunjukkan bayi yang tidak ASI
eksklusif (ASI parsial dan tidak ASI) berhubungan dengan 2,23 kali resiko bayi
meninggal karna semua kasus, 2,40 kali resiko meninggal karena ISPA, dan 3,94
kali resiko meninggal karena diare (Arifeen et al., 2001). Penelitian lain di
Indonesia menunjukkan semakin lama bayi yang diberi ASI secara eksklusif
semakin kecil kemungkinan bayi untuk terkena kejadian diare, dikarenakan ASI
mengandung zat antibodi yang bisa meningkatkan sistem pertahanan tubuh anak
(Kamalia, 2005). Penelitian yang dilakukan di RSUP Adam Malik Medan
menunjukkan dari 60 balita diare, 25% mendapatkan ASI eksklusif dan 75% tidak
ASI eksklusif (Akmal, 2009). Tingkat kejadian diare yang lebih sering artinya
dapat meningkatkan frekuensi kejadian diare.
Menurut Depkes RI (2010), memberikan ASI eksklusif akan memberikan
kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI adalah
cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh (Lactobacillus bifidus, Lactoferin,
dan Lisozim/muramidase), dan beberapa antibodi lain yang dapat melindungi bayi
dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit.
Pemberian ASI eksklusif ini sangat penting untuk digalakkan pada
kelompok ibu menyusui karena peranannya yang sangat penting bagi kekebalan
imunitas anak sehingga dapat mencegah anak dari terjangkit penyakit. Untuk
meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif pada bayi diperlukan adanya
kerjasama antara tenaga kesehatan di Dinkes dan Puksesmas Tugu untuk
melakukan promosi kesehatan mengenai ASI eksklusif khususnya kepada ibu
hamil yang kelak akan menyusui anaknya. Promosi kesehatan ini dapat berupa
penyuluhan maupun konseling di Puskesmas, dengan demikian dapat menurunkan
angka kejadian diare pada anak.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


93

6.6 Imunisasi Campak


Imunisasi campak adalah jenis imunisasi yang berhubungan dengan
pencegahan penyakit diare. Imunisasi campak hendaknya diberikan segera ketika
bayi berusia > 9 bulan. Pada penelitian diketahui bahwa hanya sebesar 5,3%
sampel yang tidak imunisasi campak sedangkan 94,7% sampel sudah imunisasi
campak.
Imunisasi campak merupakan indikator untuk kesehatan anak yang
dipantau oleh MDGs. Secara nasional, proporsi anak 12-23 bulan yang telah
memperoleh imunisasi campak adalah sebesar 74,5% (Depkes RI, 2010). Hasil
penelitian ini menunjukkan sampel yang telah memperoleh imunisasi campak
lebih besar dari angka nasional.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa sebanyak 80% sampel yang
tidak imunisasi campak mengalami diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir.
Nilai odds ratio untuk imunisasi campak adalah 8,0 dimana anak yang tidak
imunisasi campak berisiko 8 kali menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
terakhir dibandingkan dengan anak yang sudah imunisasi campak. Namun, hasil
uji chi square menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara
imunisasi campak dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas
Tugu dengan nilai p value 0,054.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rini
(2001) yang menunjukkan hasil tidak terdapat hubungan signifikan antara
pemberian imunisasi campak dengan kejadian diare pada anak 1-4 tahun dengan
nilai p 0,140. Penelitian lain dari Suciyanti (2009) juga menunjukkan hasil tidak
adanya hubungan yang signifikan antara imunisasi campak dengan diare pada
balita dengan nilai p 0,163.
Hasil ini diperoleh karena data yang homogen dimana hanya sebesar 5,3%
sampel yang tidak imunisasi campak. Menurut data Profil Kesehatan Puskesmas
Tugu tahun 2011, status imunisasi campak di wilayah Kelurahan Tugu, sudah
mencapai UCI (Universal Child Immunization). Hal ini ditunjukkan dari target
imunisasi campak sebesar 85,8% dan berhasil tercapai sebesar 97%. Daerah yang
telah mencapai UCI artinya daerah tersebut dapat memberikan kekebalan di suatu

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


94

wilayah (herd immunity) terhadap penyakit sesuai dengan imunisasi yang telah
diberikan (Dewi, 2011).
Imunisasi campak merupakan langkah penting untuk melindungi dari
episode diare dan kematian akibat diare (WHO,2002). Imunisasi campak
diperkirakan dapat mencegah 44,64 jumlah kasus campak dan 0,6-3,8% jumlah
kejadian diare (Depkes dalam Suparjo, 2000). Pemberian imunisasi campak pada
bayi sangat penting agar anak tidak menderita campak. Anak yang campak
seringkali disertai dengan diare (Depkes RI, 2011a). Oleh karena itu, sangat
penting untuk melakukan imunisasi campak segera ketika bayi berusia 9 bulan.

6.7 Perilaku Ibu


Perilaku ibu merupakan salah satu faktor penting yang berhubungan
dengan frekuensi diare pada anak. Menurut Depkes RI (2007a), perilaku ibu yang
berhubungan dengan kejadian diare adalah perilaku mencuci tangan, perilaku
membersihkan alat makan, perilaku membersihkan botol susu, dan perilaku buang
air besar.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi responden yang memiliki perilaku
baik sebesar 51,6%. Sementara itu, proporsi responden yang memiliki perilaku
buruk juga hampir sama dengan jumlah tersebut yaitu 48,4%. Hal ini
menunjukkan masih banyaknya ibu sebagai orang yang mengasuh anak memiliki
perilaku kebersihan yang buruk dan tentu saja hal ini dapat berdampak bagi
kesehatan. Perilaku tersebut dapat dipengaruhi oleh pendidikan, pekerjaan, dan
pengetahuan ibu (Notoatmodjo, 2007b).
Mencuci tangan adalah salah satu perilaku yang berperan dalam kejadian
diare karena tangan merupakan media yang berperan dalam penyebaran penyakit
melalui fecal oral. Perilaku mencuci tangan adalah kegiatan yang seharusnya
dilakukan setelah buang air besar, setelah membersihkan anak buang air besar,
setelah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan dan
sebelum memberi makan kepada anak (WHO, 1993 dalam Setiawati, 2011).
Perilaku mencuci tangan ini harus sangat diperhatikan karena tangan merupakan
media yang dapat menyebarkan kuman penyakit melalui fecal oral. Penelitian
yang dilakukan di Bangladesh, Amerika Serikat, dan Guatemala menunjukkan

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


95

bahwa perilaku mencuci tangan dapat menurunkan insiden penyakit diare sebesar
14-48% (Feacher, 1983 dalam Setiawati, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan
perilaku cuci tangan responden sudah baik yang dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Mencuci alat makan dan minum merupakan salah satu perilaku kebersihan
yang juga harus diperhatikan agar tidak menimbulkan kontaminasi. Pencucian alat
makan dan minum memiliki peranan penting dalam mencegah timbulnya penyakit
akibat kuman atau bakteri yang terdapat dalam alat makan dan minum tersebut.
Peralatan makan dan minum dapat menjadi faktor penyebab diare jika cara
membersihkannya tidak benar dan menggunakan sumber air yang tidak memenuhi
syarat. Sedangkan hasil penelitian menunjukkan masih terdapat banyak responden
yang salah dalam mencuci peralatan makan dan minum terutama dalam mencuci
botol susu anak.
Menurut Depkes RI (2007), pencucian botol susu yang tidak benar juga
merupakan salah satu faktor yang dapat memudahkan pencemaran bakteri patogen
yang berakibat pada kejadian diare. Tempat buang air besar juga merupakan salah
satu perilaku kebersihan yang berhubungan dengan diare. Selain itu, perilaku ibu
yang berhubungan dengan frekuensi diare adalah perilaku dalam memberikan
makanan dan minuman yang sesuai untuk anak diare, serta perilaku membawa
anak berobat ketika diare.
Data statistik penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara variabel perilaku ibu dengan frekuensi diare dengan p value
0,001. Uji statistik juga menunjukkan bahwa anak dengan perilaku ibu yang buruk
berisiko 4,3 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
dibandingkan dengan anak dengan perilaku ibu yang baik.
Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian yang meneliti
tentang kejadian diare. Menurut penelitian Muhajirin (2002), ada hubungan antara
praktek personal hygiene ibu dengan kejadian diare di kecamatan Maos Kab
Cilacap dengan OR=2,983 yang artinya balita memiliki resiko terkena diare 2,983
kali lebih besar pada ibu dengan praktek personal hygiene yang buruk
dibandingkan praktek personal hygiene yang baik. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Hendrayani (2006) juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara
perilaku ibu dengan kejadian diare (p=0,001). Hasil serupa juga ditunjukkan oleh

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


96

penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara perilaku ibu dengan kejadian diare (p=0,000).

6.8 Status Ekonomi Keluarga


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari status
ekonomi keluarga tinggi (pengeluaran keluarga per bulan > Rp. 1.380.000 )
adalah sebesar 48,4% dan sampel yang berasal dari status ekonomi keluarga
rendah (pengeluaran keluarga per bulan < Rp. 1.380.000) adalah sebesar 51,6%.
Status ekonomi keluarga berhubungan langsung dengan status gizi dimana
status gizi buruk banyak dialami oleh balita dari keluarga dengan status ekonomi
rumah tangga terendah (kuintil 1) (Depkes RI, 2010). Berdasarkan Riskesdas
2010, terdapat hubungan antara gizi kurang, kependekan, dan kekurusan dengan
tingkat pengeluaran keluarga per kapita, dimana semakin baik keadaan ekonomi
rumah tangga maka semakin rendah prevalensi gizi kurang, kependekan, dan
kekurusan. Selanjutnya, status gizi akan berhubungan langsung dengan frekuensi
sakit terutama diare. Menurut Riskesdas 2007, dapat langsung terlihat bahwa diare
cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pengeluaran rumah tangga lebih
rendah yaitu tertinggi di kuintil 1.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dewi (2011),
terdapat hanya sebanyak 24% responden diare yang memiliki status ekonomi
keluarga rendah dan sebanyak 76% responden diare memiliki status ekonomi
tinggi. Penelitian Belawati (2006) juga menunjukkan proporsi responden diare
yang memiliki status ekonomi keluarga tinggi lebih besar (71,1%) dibandingkan
dengan status ekonomi rendah (28,9%).
Hasil bivariat menunjukkan bahwa frekuensi diare lebih dari sekali dalam
4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan status ekonomi
keluarga rendah (51%) dibandingkan dengan sampel dengan status ekonomi
keluarga tinggi (19,6%). Data statistik memperlihatkan adanya hubungan yang
signifikan antara status ekonomi keluarga dengan frekuensi diare dengan p value
0,003.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fatmasari (2008) yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


97

pendapatan perkapita responden dengan kejadian diare pada anak balita dengan p
value 0,007. Penelitian Dewi (2011) juga menunjukkan status sosial ekonomi
memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian diare balita dan balita yang
berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah memiliki resiko diare
lebih besar 4,95 kali dibandingkan dengan balita yang berasal dari keluarga
dengan status ekonomi tinggi.
Status ekonomi keluarga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap
kejadian diare dimana status ekonomi ini berhubungan dengan daya beli keluarga
dan akhirnya berdapak pada status gizi anak (Satoto, 1990 dalam Susilawati,
2002). Daya beli keluarga yang rendah dapat mengakibatkan status gizi anak
kurang sehingga dapat memengaruhi anak mudah terjangkit penyakit termasuk
diare (Depkes RI, 2007a). Pada umumnya, tidak semua makanan bergizi mahal
harganya, karena makanan bergizi dapat diperoleh dari tempe, tahu, dan sayur-
sayuran yang harganya tidak tergolong mahal. Namun, seringkali status ekonomi
rendah diikuti dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga memengaruhi
dalam pemilihan makanan untuk mencapai status gizi optimal.
Selain berdampak pada status gizi anak, status ekonomi keluarga juga
berdampak pada pemenuhan fasilitas keluarga termasuk sumber air bersih yang
memenuhi syarat, kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat, SPAL yang
memenuhi syarat, pengolahan sampah rumah tangga yang memenuhi syarat, dan
kepadatan huni yang tidak tergolong padat.

6.9 Jumlah Balita Dalam Keluarga


Proporsi responden berdasarkan jumlah balita dalam keluarga adalah
paling banyak memiliki satu balita dalam keluarga (tidak berisiko) sebesar 65,3%
dibandingkan dengan lebih dari satu balita dalam keluarga (berisiko) yaitu sebesar
34,7%. Jumlah balita dalam keluarga merupakan salah satu faktor resiko diare
pada balita.
Menurut Maryunani (2010), keluarga yang memiliki lebih dari satu balita
dalam keluarga dinyatakan berisiko karena pada kelompok balita masih sangat
membutuhkan perhatian dari ibu sebagai orang yang mengasuh mereka. Dimana
keluarga yang memiliki lebih dari satu balita maka perhatian ibu tidak akan

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


98

terfokus untuk mengurus satu anak saja. Hal ini berdampak pada kejadian sakit
pada balita.
Dalam penelitian ini, jumlah keluarga dengan balita lebih dari satu lebih
sedikit daripada keluarga dengan jumlah balita hanya satu. Hasil analisis univariat
ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2011) yang
menunjukkan lebih banyak proporsi responden yang memiliki jumlah balita dalam
keluarga berisiko (62,7%) dibandingkan dengan proporsi responden dengan
jumlah balita dalam keluarga tidak berisiko (37,3%).
Data statistik menggunakan chi square memperlihatkan adanya hubungan
yang signifikan antara perilaku ibu dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan
dengan p value 0,000. Anak yang memiliki jumlah balita dalam keluarga lebih
dari satu berisiko 8,3 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4
bulan dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu balita dalam keluarga.
Hasil tabulasi silang antara jumlah balita dalam keluarga dan frekuensi
diare pada Tabel 5.23 menunjukkan bahwa frekuensi diare lebih dari sekali dalam
4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan keluarga yang memiliki
lebih dari satu balita yaitu sebesar 66,7% dibandingkan dengan sampel dengan
keluarga yang memiliki hanya satu balita yaitu sebesar 19,4%.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Warouw (2002) yang menunjukkan keluarga yang memiliki lebih dari satu balita
memiliki resiko terjadi diare 1,23 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga
yang hanya memiliki satu balita. Penelitian ini juga didukung oleh Dewi (2011),
dimana balita terkena diare lebih besar 6,44 kali pada keluarga dengan jumlah
balita lebih dari satu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Brazil juga
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara jumlah anak dalam keluarga
dengan kejadian diare dengan nilai p 0,015 (Atwil et al., 2007).
Jumlah balita dalam keluarga merupakan salah satu resiko kejadian diare.
Anak bawah lima tahun membutuhkan perhatian dan pola asuh yang intensif
karena pada usia tersebut anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang pesat. Pertumbuhan dan perkembangan ini dapat berlangsung baik jika anak
memiliki status gizi yang baik, kesehatan yang baik, lingkungan yang sehat dan
keluarga yang melakukan pola asuh yang baik (Depkes RI, 2008c).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


99

Jika dalam keluarga terdapat lebih dari satu balita, dikhawatirkan ibu
sebagai orang yang mengasuh balita perhatiannya akan terbagi karena harus
mengasuh balita yang lainnya. Padahal semua aktivitas balita memerlukan
perhatian lebih. Kejadian diare pada balita dapat terjadi karena perilaku
kebersihan yang tidak baik seperti tidak mencuci tangan memakai sabun sebelum
makan. Penyebab tersebut dapat dilakukan oleh anak yang pada usia bawah dua
tahun dimana pada usia ini anak mulai aktif bermain dan suka memasukkan
makanan ke mulut tanpa mencuci tangan. Sehingga diperlukan perhatian lebih
dari ibu maupun keluarga yang mengasuh anak.

6.10 Sumber Air Bersih


Hasil analisis univariat menunjukkan persentase responden sebesar 40%
memiliki sumber air bersih tidak memenuhi syarat dan sebesar 60% responden
memiliki sumber air bersih yang memenuhi syarat.
Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa terdapat 45,1% keluarga di
Indonesia yang memiliki sumber air yang memenuhi kriteria MDGs (air
perpipaan, sumur pompa, sumur gali, dan mata air terlindung dengan jarak ke
sumber pencemaran lebih dari 10 meter). Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Setiawati (2011) menunjukkan sebesar 73,74% responden diare memiliki
sumber air bersih tidak memenuhi syarat dan hanya sebesar 26,26% responden
diare memiliki sumber air bersih memenuhi syarat.
Sumber air bersih adalah sumber air yang digunakan oleh keluarga dalam
memenuhi kehidupan keluarga seperti air minum, mandi, memasak, mencuci dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2007a). Air yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi
media penularan penyakit termasuk diare. Kejadian diare dapat disebabkan karena
sumber air bersih yang tidak terlindung yaitu jarak sumber air bersih yang dekat
dengan sumber pencemaran (septic tank, kotoran hewan, atau tempat sampah),
sumber air bersih disimpan dalam wadah yang tidak tertutup, dan kondisi fisik air
yang tidak memenuhi syarat (tidak tampak jernih, memiliki rasa, maupun bau).
Jika air minum dari sumber air bersih tersebut tidak diolah/dimasak terlebih
dahulu dapat menyebabkan diare karena terkandung banyak vektor penyakit
(Purwata dalam Kusnoputranto, 1986).

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


100

Dari hasil analisis bivariat antara sumber air bersih dengan frekuensi diare
dapat terlihat bahwa hanya 19,3% sampel dengan sumber air bersih memenuhi
syarat menderita diare dengan frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
terakhir. Sementara itu, sampel dengan frekuensi diare tersebut diderita oleh
60,5% sampel yang memiliki sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat.
Data statistik dari penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan yang
signifikan antara sumber air bersih dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan
dengan p value 0,000. Penelitian ini juga menunjukkan sampel yang memiliki
sumber air bersih tidak memenuhi syarat berisiko 6,4 kali lebih besar menderita
diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan sampel yang memiliki
sumber air bersih memenuhi syarat.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan beberapa penelitian yang telah
dilakukan seperti penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani (2005) dan Dewi (2011)
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sumber air bersih yang
digunakan keluarga dengan kejadian infeksi. Penelitian serupa yang dilakukan
oleh Wulandari (2009) juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara sumber air bersih dengan kejadian diare di Desa Blimbing dengan nilai p =
0,01.
Sumber air bersih memiliki dampak pada kesehatan. Terdapat beberapa
penyakit yang dapat ditularkan melalui air antara lain adalah diare, kolera,
disentri, hepatitis, penyakit kulit, penyakit mata, dan beberapa penyakit lain
(Depkes RI, 2011a).
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko
menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak
mendapatkan air bersih (Andrianto, 1995). Hal ini dapat terjadi karena penularan
kuman infeksius penyebab diare ditularkan jika kuman masuk ke dalam mulut
melalui makanan, minuman, atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jari-
jari tangan yang tidak dicuci dengan sabun dan makanan dengan wadah yang
dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2011a). Sumber air bersih yang memenuhi
syarat akan meminimalisir adanya kuman penyebab penyakit tersebut.
Pengetahuan mengenai sumber air bersih yang memenuhi syarat harus dapat

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


101

diketahui oleh seluruh masyarakat untuk mengurangi angka sakit akibat infeksi
kuman penyakit termasuk diare.
Dalam Buletin Situasi Diare di Indonesia, menjelaskan bahwa keluraga
harus memperhatikan beberapa hal berikut ini terkait sumber air bersih agar dapat
mencegah diare, yaitu: (1) Ambil air dari sumber air yang bersih, (2) Simpan air
dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung khusus untuk
mengambil air, (3) Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk
mandi anak-anak, (4) Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih),
dan (5) Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang bersih
dan cukup (Depkes RI, 2011a).

6.11 Kondisi Jamban/WC


Hasil penelitian menunjukkan responden dengan kondisi jamban/WC
memenuhi syarat lebih besar yaitu sebesar 75,8% dibandingkan dengan responden
yang memiliki kondisi jamban/WC tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 24,2%.
Jamban/WC yang memenuhi syarat adalah keluarga memiliki jamban
sendiri, jamban leher angsa, serta memiliki septic tank (Kusnoputranto, 1986).
Hasil penelitian ini menunjukkan sebesar 24,2% responden memiliki jamban
bersama dengan keluarga lain. Sedangkan menurut data Riskesdas 2010, hanya
sebesar 8,3% proporsi responden yang memiliki jamban bersama. Hasil penelitian
juga menunjukkan sebanyak 100% responden memiliki jamban/WC leher angsa
dengan septic tank. Hal ini sudah baik mengingat kondisi jamban/WC sangat
memiliki hubungan dengan kejadian diare.
Hasil tabulasi silang antara kondisi jamban/WC dengan frekuensi diare
pada Tabel 5.24 menunjukkan bahwa frekuensi diare lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel dengan kondisi jamban/WC
keluarga tidak memenuhi syarat (62,5%) dibandingkan dengan sampel dengan
kondisi jamban/WC keluarga memenuhi syarat (26,8%).
Berdasarkan uji statistik, memperlihatkan adanya hubungan yang
signifikan antara kondisi jamban/WC keluarga dengan frekuensi diare pada anak
10-23 bulan dengan p value 0,003. Data statistik juga menunjukkan sampel yang
memiliki kondisi jamban/WC tidak memenuhi syarat berisiko 4,6 kali lebih besar

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


102

menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan sampel yang
memiliki kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat.
Hubungan yang signifikan antara kondisi jamban/WC dengan frekuensi
diare ini relevan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap
kejadian diare. Penelitian yang dilakukan Nilton et al (2008) di Desa Klopo
Sepuluh menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki jamban kejadian
diarenya lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki jamban.
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Wulandari (2009) yang menyatakan
adanya hubungan jenis tempat pembuagan tinja dengan kejadian diare di Desa
Blimbing yaitu dengan nilai p = 0,001.
Penelitian ini juga dilakukan oleh SDKI tahun 2007 yang menunjukkan
bahwa balita yang tinggal di rumah dengan fasilitas jamban yang tidak memenuhi
syarat memiliki persentase diare lebih tinggi dibandingkan balita yang memiliki
jamban memenuhi syarat. Pengalaman dibeberapa negara juga membuktikan
bahwa penggunaan jamban/WC yang memenuhi syarat mempunyai dampak yang
besar dalam penurunan resiko kejadian diare (Depkes RI, 2011a).
Kondisi jamban/WC yang memenuhi syarat harus diperhatikan oleh
seluruh warga masyarakat. Kotoran manusia dapat mencemari tanah dan sumber
air lainnya jika tidak dibuang dengan baik. Selain itu, kondisi jamban/WC yang
tidak memenuhi syarat dapat mencemari lingkungan melalui vektor seperti lalat
yang dapat membawa kuman sumber penyakit jika hinggap pada makanan
(Kusnoputranto, 1986). Diperlukan adanya informasi yang dapat diketahui oleh
masyarakat secara menyuluruh mengenai kondisi jamban/WC yang memenuhi
syarat melalui penyuluhan maupun konsultasi.
Beberapa penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak besar dalam penurunan resiko terhadap
kejadian diare (Depkes RI, 2011a). Beberapa hal yang harus diperhatikan keluarga
adalah (1) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat
dipakai oleh seluruh anggota keluarga, (2) Bersihkan jamban secara teratur, dan
(3) Gunakan alas kaki jika buang air besar.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


103

6.12 Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)


Hasil penelitian menunjukkan responden dengan SPAL memenuhi syarat
sebesar 55,8%. Sedangkan responden yang memiliki rumah dengan SPAL tidak
memenuhi syarat juga cenderung tinggi yaitu 43,2%. Berdasarkan hasil tersebut
dapat terlihat bahwa hampir setengah proporsi responden memiliki sarana
pembuangan air limbah yang tidak mememuhi syarat.
Data riskesdas 2010 juga menunjukkan proporsi responden yang memiliki
SPAL memenuhi syarat lebih besar dibandingkan yang tidak memenuhi syarat.
Hanya sebesar 13,5% responden yang memiliki SPAL memenuhi syarat.
Sementara itu, sebanyak 86,5% responden memiliki SPAL tidak memenuhi syarat
yang meliputi membuang sampah ke penampungan tertutup di pekarangan,
penampungan terbuka di pekarangan, penampungan di luar pekarangan, tanpa
penampungan, dan langsung ke got/sungai (Depkes RI, 2010).
Hasil analisis bivariat menggunakan chi square menunjukkan bahwa
sampel yang menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak
yang memiliki SPAL tidak memenuhi syarat (58,5%) dibandingkan dengan
sampel yang memiliki SPAL memenuhi syarat (18,5%). Berdasarkan data statistik
tersebut juga memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara SPAL
dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan dengan p value 0,000. Data statistik
juga menunjukkan sampel yang memiliki SPAL tidak memenuhi syarat berisiko
6,2 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan
dengan sampel yang memiliki SPAL yang memenuhi syarat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dewi (2011)
yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara saluran
pembuangan air limbah dengan kejadian diare pada balita (OR 8,06; 4,64-13,98, p
value 0,000). Hasil tersebut berarti keluarga yang menggunakan saluran
pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko diare 8,06
lebih besar dibandingan dengan keluarga dengan saluran pembuangan air limbah
memenuhi syarat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suciyanti (2009) juga
menunjukkan resiko balita yang keluarganya tidak memiliki sarana permbuangan
air limbah berkualitas baik untuk terkena diare adalah 1,15 kali lebih besar

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


104

dibandingkan dengan yang memiliki sarana pembuangan air limbah berkualitas


baik dengan p value 0,026 dan perbedaan resiko ini bermakna secara signifikan.
Air limbah baik limbah pabrik maupun rumah tangga harus dikelola
sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit. Sarana
pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat dapat mengakibatkan
beberapa hal, yaitu: (1) menjadi transmisi atau media penyebaran berbagai
penyakit terutama diare, kolera, tifus abdominalis, dan disentri basiller, (2) media
berkembang biak mikroba patogen, (3) menjadi media berkembang biak nyamuk
atau tempat hidup larva nyamuk, (4) menimbulkan bau yang tidak enak dan tidak
sedap dipandang mata, (5) merupakan sumber pencemaran air, tanah, dan
lingkungan hidup lainnya, dan (6) mengurangi produktivitas manusia, karena
orang bekerja dengan tidak nyaman (Notoatmodjo, 2007a). Sehingga diperlukan
sarana pembuangan air limbah yang baik agar tidak menyebarkan vektor
penyebab penyakit terutama penyebab penyakit diare. Sarana pembuangan air
limbah yang memenuhi syarat jika keluarga memiliki sarana pembuangan air
limbah tertutup beserta tempat penampungan khusus (Kusnoputranto, 1986).
Oleh karena itu, Puskesmas Tugu dan Dinas Kesehatan seharusnya dapat
memberikan penyuluhan atau konsultasi mengenai sarana pembuangan air limbah
yang memenuhi syarat dan dampak yang terjadi jika keluarga tidak memilikinya.

6.13 Pengolahan Sampah Rumah Tangga


Pengolahan sampah menjadi hal yang penting untuk mencegah berbagai
bakteri patogen dan serangga menyebabkan penyakit (Notoatmodjo, 2007a). Hasil
penelitian menunjukkan proporsi responden yang memiliki pengolahan sampah
rumah tangga tidak memenuhi syarat lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi
responden dengan pengolahan sampah rumah tangga memenuhi syarat. Sebesar
54,7% responden dengan pengolahan sampah rumah tangga tidak memenuhi
syarat sedangkan hanya 45,3% responden dengan pengolahan sampah rumah
tangga memenuhi syarat.
Data riskesdas 2010 menunjukkan hanya sebesar 19,2% responden dengan
pengolahan sampah rumah tangga yang tidak memenuhi syarat yaitu dengan
dibuang ke parit/kali/laut atau dibuang sembarangan. Sementara itu, terdapat

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


105

80,8% responden dengan pengolahan sampah rumah tangga memenuhi syarat


yaitu diangkut petugas, ditimbun dalam tanah, dibuat kompos, atau dibakar
(Depkes RI, 2010).
Proporsi diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak pada
sampel yang memiliki pengolahan sampah rumah tangga yang tidak memenuhi
syarat yaitu sebesar 51,9% dibandingkan dengan sampel yang memiliki
pengolahan sampah rumah tangga yang memenuhi syarat yaitu sebesar 16,3%.
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara pengolahan sampah rumah tangga dengan frekuensi diare pada
anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu dengan p value 0,000. Berdasarkan hasil
odds ratio menunjukkan sampel yang memiliki pengolahan sampah rumah tangga
tidak memenuhi syarat berisiko 5,5 kali lebih besar menderita diare lebih dari
sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan sampel yang memiliki pengolahan
sampah rumah tangga yang memenuhi syarat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu mengenai
faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian diare. Penelitian yang
dilakukan oleh Sinthamurniwaty (2010) menunjukkan pengolahan sampah yang
tidak memenuhi syarat berhubungan signifikan dengan kejadian diare pada balita
(p value < 0,05). Penelitian lain yang juga sejalan dilakukan Dewi (2011),
penelitian ini menunjukkan keluarga yang pengolahan sampahnya tidak
memenuhi syarat memiliki resiko 6,84 kali lebih besar menyebabkan diare pada
balita dibandingkan dengan keluarga dengan pengolahan sampah yang baik.
Menurut Slamet (2000), pengolahan sampah yang tidak baik dapat
memberikan pengaruh buruk bagi masyarakan dan lingkungan. Bagi masyarakat,
sampah berdampak pada kesehatan yang dikategorikan menjadi dua yaitu sebagai
dampak tidak langsung dan dampak langsung. Dampak tidak langsung sampah
adalah berupa dampak yang dirasakan oleh masyarakat akibat proses
pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah. Sedangkan dampak
langsung terhadap kesehatan adalah akibat kontak langsung dengan sampah yang
beracun, bersifat karsinogenik, atau sampah yang mengandung kuman patogen
sehingga dapat menyebabkan penyakit.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


106

Pengolahan sampah yang tidak baik dapat berpengaruh buruk bagi


kesehatan, karena sampah akan menjadi tempat bagi vektor-vektor penyakit untuk
berkembang biak dan mencari makan sehingga meningkatkan kejadian penyakit
tertentu seperti penyakit saluran pencernaan (diare, kolera, dan sebagainya),
demam berdarah, penyakit jamur dan penyakit kulit (Slamet, 2000) . Diare
merupakan salah satu penyakit yang ditularkan oleh lalat sebagai vektor yang
membawa kuman penyakit (Depkes RI, 2001). Oleh karena itu, sampah sebaiknya
dapat diolah dengan baik yaitu diletakkan dalam tempat sampah tertutup di dalam
rumah dan dibuang ke tempat pembuangan akhir atau dibakar untuk menjaga
kesehatan dan untuk keindahan lingkungan (Notoatmodjo, 2007a).

6.14 Kepadatan Huni


Hasil penelitian menunjukkan proporsi responden yang memiliki hunian
tidak padat adalah sebesar 68,4%. Sedangkan sebanyak 31,6% responden
memiliki hunian padat.
Berdasarkan hasil analisis bivariat, proporsi sampel dengan frekuensi diare
lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel yang
memiliki hunian padat yaitu sebesar 56,7% dibandingkan dengan sampel yang
memiliki hunian tidak padat yaitu sebesar 26,2%.
Data statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
kepadatan huni dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu
dengan p value 0,006. Uji statistik juga menunjukkan sampel yang memiliki
kepadatan huni tergolong padat berisiko 3,7 kali lebih besar menderita diare lebih
dari sekali dalam 4 bulan dibandingkan dengan anak yangmemiliki kepadatan
huni yang tergolong tidak padat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irianto
(2000), penelitian ini menunjukkan semakin padat hunian maka semakin tinggi
kemungkinan terkena diare. Hasil uji statistik dari penelitian ini adalah adanya
hubungan yang signifikan antara kepadatan huni dan kejadian diare pada balita (p
value < 0,05).
Luas bangunan rumah yang tidak tidak sesuai dengan jumlah penghuninya
akan menyebabkan kepadatan yang memudahkan penularan penyakit-penyakit

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


107

dari anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya (Notoatmodjo, 2007a).
Kepadatan hunian seringkali digunakan untuk menggambarkan tingkat sanitasi
pada sanitasi wilayah. Menurut Whaley dan Wong (1987) dalam Irianto (2000),
umumnya hunian padat disertai dengan fasilitas sanitasi yang rendah yang pada
akhirnya meningkatkan angka kesakitan dan kematian.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan ASI eksklusif, status gizi,
dan faktor lain terhadap frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas
Tugu, Depok tahun 2012, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat 35,8% anak 10-23 bulan dengan frekuensi diare lebih dari sekali
dalam 4 bulan terakhir dan sebanyak 64,2% anak menderita diare dengan
frekuensi diare sekali dalam 4 bulan terakhir.
2. Berdasarkan faktor anak, terdapat hubungan yang signifikan antara berat lahir,
status gizi berdasarkan rata-rata z score BB/U dalam 4 bulan terakhir, status
gizi berdasarkan rata-rata z score PB/U dalam 4 bulan terakhir, status gizi
berdasarkan z score BB/U saat ini, status gizi berdasarkan z score PB/U saat
ini, dan ASI eksklusif dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di
Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012. Namun, tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara imunisasi campak dengan frekuensi diare pada anak 10-23
bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.
3. Berdasarkan faktor ibu, terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku ibu
dengan frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok
tahun 2012.
4. Berdasarkan faktor keluarga, terdapat hubungan yang signifikan antara status
ekonomi keluarga dan jumlah balita dalam keluarga dengan frekuensi diare
pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.
5. Berdasarkan faktor lingkungan, terdapat hubungan yang signifikan antara
sumber air bersih, kondisi jamban/WC, saluran pembuangan air limbah
(SPAL), pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni dengan
frekuensi diare pada anak 10-23 bulan di Puskesmas Tugu, Depok tahun 2012.

108 Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


109

7.2 Saran
7.2.1 Bagi Penelitian dan Peneliti Lain
1. Penelitian ini hanya dilakukan di satu kelurahan yaitu Kelurahan Tugu,
diharapkan peneliti lain dapat melakukan penelitian di tempat yang lebih
luas sehingga dapat menggambarkan hubungan faktor resiko dengan
frekuensi diare pada bayi dengan lebih general.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan disain yang dapat
menggambarkan hubungan kausalitas untuk mengetahui faktor yang
menjadi penyebab frekuensi diare sekali atau lebih dari sekali dalam 4
bulan terakhir.
3. Perlu dilakukan pengembangan dari penelitian mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan frekuensi diare pada baduta, karena masih
sangat sedikit penelitian mengenai masalah ini. Selain itu juga diperlukan
analisis untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap
frekuensi diare.

7.2.2 Bagi Puskesmas Tugu


1. Puskesmas Tugu dapat melakukan promosi kesehatan melalui puskesmas
maupun posyandu. Promosi kesehatan ini dapat berupa penyuluhan
kelompok, penyuluhan massa, atau konseling mengenai perilaku hidup
bersih dan sehat untuk semua anggota keluarga, status gizi ibu hamil,
pemberian ASI eksklusif, pemantauan status gizi anak, pemberian
imunisasi lengkap, dan mengenai lingkungan rumah yang sehat. Melalui
kegiatan tersebut, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
perbaikan perilaku masyarakat sehingga dapat menurunkan angka
kejadian diare.
2. Poli anak atau manajemen terpadu balita sakit (MTBS) diharapkan selalu
melakukan prosedur pemeriksaan balita sesuai dengan Kartu Tatalaksana
Balita Sakit Umur 2 Bulan Sampai 5 Tahun, dimana semua anak ditanya
apakah mengalami diare, sehingga kasus ini dapat terdeteksi. Selain itu,
diharapkan di Poli MTBS ini selalu dilakukan pengukuran status gizi

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


110

yang kemudian disesuaikan dengan kategori status gizi sehingga dapat


terlihat status gizi anak apakah baik, kurang, atau bahkan buruk.
3. Bekerja sama dengan kader-kader posyandu agar melaporkan kasus diare
ke Puskesmas Tugu sehingga semua kasus diare dapat terdata.

7.2.3 Bagi Dinas Kesehatan


1. Perlu dilakukan pembinaan secara rutin melalui puskesmas maupun
posyandu melalui program pencegahan penyakit dan penyehatan
lingkungan (P2PL). Program ini dapat berupa penyuluhan mengenai
perilaku hidup bersih sehat, penyuluhan mengenai kebutuhan gizi bayi
termasuk pemberian ASI eksklusif, dan pemantauan status gizi bayi.
Diharapkan melalui hal ini, terdapat penurunan angka kejadian diare pada
baduta maupun balita.
2. Dinas Kesehatan perlu melakukan upaya pembentukan lingkungan sehat
dengan kegiatan membuat tempat sampah tertutup bersama dengan warga
dan program kerja bakti minimal sebulan sekali untuk membersihkan
lingkungan agar mengurangi tempat vektor penyakit tumbuh dan
berkembang biak.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


DAFTAR REFERENSI

, 2005. World Gastroenterology Organization Global Guidelines 2005.


Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid I. Jakarta:
Interna Publishing.
Agtini, Destri Magdarina. 2011. Morbiditas dan Mortalitas Diare pada Balita di
Indonesia Tahun 2000-2007. Jakarta: Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan, Badan Litbangkes.
Ahlquist D.A dan Camilleri M. 2005. Diarrhea and Constipation. In: Harrison’s
Principles Of Internal Medicine 16th ed. USA: McGraw Hill. 224-233.
Akmal, Ahmad Syafiq. 2009. Profil Penderita Diare pada Anak Balita di Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Pada Tahun 2009. Skripsi
Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 10 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Andrianto, P. 1995. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Apriyanti, Marisa., Ikob, Ridwan., dan Fajar, Nur Alam. 2009. Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Usia 6-24 Bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Swakelola 11 Ilir Palembang Tahun 2009. Jurnal
Kesehatan Masyarakat 2009. Diakses pada 8 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Ariawan, I. 2005. “Sample Size and Sample Design for Nutritional Research”
disampaikan dalam Course material for International Course on Applied
Epidemiology with Special Reference to Nutrition. SEAMEO - TROPMED-
RCCN, University of Indonesia. Jakarta, 25 April - 3 May 2005 diakses
pada 13 Februari 2012 dari http://scholar.google.co.id.
Arifeen, Shams., et al. 2001. Exclusive Breastfeeding Reduces Acute Respiratory
Infection and Diarrhea Deaths Among Infants in Dhaka Slums. Journal of
The American Academy of Pediatrics Vol 108 No 4. Diakses pada 8 Januari
2012 dari ProQuest Information and Learning Company.
Aschengrau, Ann dan Seage, George R. 2008. Essentials of Epidemiology in
Public Health Second Edition. London: John and Bartlett Publishers.
Atwil, Edward Robert., Pereira, Maria das Graas Cabral., Barbosa, Alverne
Passos. 2007. Prevalence and Associated Risk Factors for Giardia Lambia
Infection among Children Hospitalized for Diarrhea in Goiania, Goias
State, Brazil. Instituto de Medicana Tropical de Sao Paulo 49.3: 139-45.
Diakses pada 16 Januari 2012 dari ProQuest Information and Learning
Company.

111 Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


112

Behrman, Kliegman dan Arvin, Nelson. 1996. Nelson Textbook of Pediatrics, 15


Ed. Pennsylvania: W.B Sounders Company.
Belawati, Fema Solekhah. 2006. Faktor Balita, Faktor Ibu, dan Keadaan Rumah
Tangga yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Propinsi
Jawa Barat Tahun 2003 (Analisis Data Sekunder). Skripsi Program Sarjana
Kesehatan Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Blum, HL. 1974. Planning For Health : Development Aplication of Social
Change Theory. New York : Human Services Press.
Brown, Kenneth H. 2003. Diarrhea and Malnutrition. Journal of Nutrition Vol
133 Page 328S-332S.
Cahyono, Imron. 2003. Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Diare
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Gede Bekasi Tahun 2003.
Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Checkley, William,, et al. 2001. Effects of Nutritional Status on Diarrhea in
Peruvian Children. Journal of Pediatrics (8): 140-210. Diakses pada 8
Januari 2012 dari ProQuest Information and Learning Company.
Ciesla WP, Guerrant RL. 2003. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease. New York: Lange Medical Books, 225 - 68.
Corwin, Elizabeth J. 2008. Handbook of Pathophysiology, 3rd Ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins.
Depkes RI. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2000. Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Direktorat
Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2001. Pedoman Teknis Pengendalian Lalat. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2002a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
907/MENKES/PER/IX/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan
Kualitas Air. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2002b. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


113

Depkes RI. 2004. Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2007a. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2007b. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2008a. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2008b. DTPS-KIBBLA Referensi Advokasi Anggaran dan Kebijakan
(Perencanaan Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak dengan
Pemecahan Masalah melalui Pendekatan Tim Kabupaten/Kota). Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2011a. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: Situasi Diare
di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2011b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1995/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Standar Penilaian Status Gizi Anak.
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dewi, Ni Putu Eka Purnama. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Mengwi I,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali Tahun 2011. Skripsi
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Dinas Kesehatan Kota Depok. 2009. Profil Kesehatan Kota Depok. Depok:
Dinkes Kota Depok.
Ehlayel, Mohammad S., Bener, Abdulbari., dan Abdulrahman, Hatim M. 2009.
Protective Effect of Breastfeeding on Diarrhea Among Children in A
Rapidly Growing Newly Developed Society. The Turkish Journal of
Pediatrics (51):527-33. Diakses pada 8 Januari 2012 dari ProQuest
Information and Learning Company.
Fadilah, Siti. 2009. Dampak Berat Badan Lahir Terhadap Status Gizi Bayi.
Makassar: Universitas Hassanudin.
Fatmasari, H. 2008. Hubungan Beberapa Faktor Resiko dengan Kejadian Diare
pada Anak Balita di Ruang Rawat Inap Puskesmas Kecamatan Jati Barang
Kabupaten Brebes Tahun 2008. Tesis Universitas Muhammadiyah
Semarang. Diakses pada 10 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


114

Fikawati, Sandra., Syafiq, Ahmad. 2003. Hubungan Antara Menyusui Segera


(Immediate Breastfeeding) dan Pemberian ASI Eksklusif sampai dengan 4
Bulan. Jurnal Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 2003, Vol.22 No.2.
Fitriyani. 2005. Hubungan Faktor-Faktor Resiko dengan Kejadian Diare pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Boom Baru Palembang Tahun 2005.
Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.
Gunawan, Roni. 2010. Pengaruh Persepsi Ibu Balita Tentang Penyakit Diare
terhadap Tindakan Pencegahan Diare di Kelurahan Terjun Kecamatan
Medan Marelan Tahun 2010. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Diakses
pada 10 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Hamisah, Irma. 2011. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Diare Akut pada
Balita di Kabupaten Klaten. Tesis Universitas Gadjah Mada. Diakses pada
10 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Hastono, S.P. (2006). Analisis Data. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Hendrayani. 2006. Hubungan Faktor-Faktor Resiko dengan Kejadian Diare pada
Balita di Barak Lamgaboh, Barak Umong Seribee, dan Barak Bakoy
Kabupaten Aceh Besar Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Tahun 2006.
Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2004. Bayi Berat Lahir Rendah. Dalam :
Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta: hal 307-313.
Irianto, Joko. 2000. Prediksi Frekuensi Diare pada Anak Balita melalui
Kepadatan Hunian Rumah Tangga di Indonesia Tesis Program Pasca
Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Kamalia, Dina. 2005. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Diare
Pada bayi Usia 1 – 6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni I
Tahun 2004/2005. Skripsi Universitas Negeri Semarang. Diakses pada 10
Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Kliegman R.M., Marcdante K.J., and Behrman R.E. 2006. Nelson Essentials of
Pediatric. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Kusharisupeni. 2002. Growth Faltering pada Bayi di Kabupaten Indramayu Jawa
Barat. Jurnal Makara (Seri Kesehatan) Vol 6 No 1: halaman 1-5, Juni 2002.
Kusmaul. 2002. Penyakit Diare Akut. Jakarta: Puspa Swara.
Kusnoputranto, H. 1986. Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


115

Maryunani, A. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta: Trans Info
Media.
Mihrshahi, Seema., et al. 2003. Prevalence of Exclusive Breastfeeding in
Bangladesh and Its Association with Diarrhoea and Acute Respiratory
Infection: Results of the Multiple Indicator Cluster Survey 2003. Journal of
Health Population Nutrition 2007 (2):195-204. Diakses pada 8 Januari 2012
dari ProQuest Information and Learning Company.
Mosley, W. Henry dan Chen, Lincoln C. 1984. An Analytical Framework for the
Study of Child Survival in Developing Countries. Population and
Development Review; 10 Suppl: 25-45.
Muhajirin, Muhajirin. 2007. Hubungan antara Praktek Personal Hygiene Ibu
Balita dan Sarana Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Anak
Balita di Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap. Tesis Universitas
Diponegoro. Diakses pada 10 Januari 2011 dari http://scholar.google.co.id
Murwanti, Ipuk Dwiana. 2005. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Praktek
Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi 0-4 Bulan di Desa Paremono
Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang. Skripsi Universitas
Diponegoro. Diakses pada 29 April 2012 dari http://scholar.google.co.id
Nainggolan, Maria Christin Dianiati. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Penyakit Infeksi pada Anak Balita di Desa Mangkai Baru
Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara Tahun 2010. Skripsi
Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 19 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Nilton., et al. 2008. Faktor-Faktor Sanitasi yang Berpengaruh Terhadap
Timbulnya Penyakit Diare di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono
Kabupaten Sidoarjo. Laporan Penelitian Universitas Uniwijaya Kusuma.
Diakses pada 14 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Noor, Nur Nasry. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007a. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007b. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineke
Cipta

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


116

Palupi, Astya., Hadi, Hamam., Soenarto, Sri Suparyati. 2009. Status Gizi dan
Hubungannya dengan Kejadian Diare pada Anak Diare Akut di Ruang
Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
Vol 6 No 1. Juli 2009: hal 1-7.
Rini, Lestiyo. 2011. Hubungan Status Imunisasi Campak dengan Kejadian
Penyakit Diare (Campak, Ispa Dan Diare) dan Status Gizi Anak Usia 1-4
Tahun di Desa Karang Duren Kecamatan Tenggaran Kabupaten Semarang.
Tesis Universitas Diponegoro. Diakses pada 10 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Roesli, Utami. 2005. Mengenal ASI eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya,
Anggota IKAPI.
Sabri, L., dan Sutanto, P.H. (2008). Statistik Kesehatan Edisi 2. Jakarta: Rajawali
Pers.
Sadono., Adi, M Sakundarno., dan Zain, M Sidhartani. 2005. Bayi Berat Lahir
Rendah sebagai Salah Satu Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernafasan Akut
pada Bayi (Studi Kasus Di Kabupaten Blora). Diakses pada 8 Januari 2012
dari http://scholar.google.co.id
Salehah, Anna. 2002. Hubungan antara Berat Lahir dengan Kejadian Infeksi
(Diare & Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada Bayi Usia 1-12 Bulan
(Studi Kasus Di Rsup Kariadi Semarang Tahun 2001. Tesis Universitas
Diponegoro. Diakses pada 10 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Setiawati, Sri. 2011. Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan yang Berhubungan
dengan Kejadian Diare di Kecamatan Sepatan dan Paku Haji Kabupaten
Tangerang Banten Tahun 2011. Tesis Program Pasca Sarjana Kesehatan
Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Simatupang, Meiyati. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan
Kejadian Diare Pada Balita Di Kota Sibolga Tahun 2003. Tesis Universitas
Sumatera Utara. Diakses pada 10 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Sinthamurniwaty. 2010. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Diare Akut pada Balita
(Studi Kasus di Kabupaten Semarang). Tesis Universitas Diponogoro.
Diakses pada 10 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Sitinjak, Lely Herlina. 2011. Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
dengan Kejadian Diare di Desa Pardede Onan Kecamatan Balige Tahun
2011. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 10 Januari 2012
dari http://scholar.google.co.id
Slamet, JS. 2000. Kesehatan Lingkungan Cetakan Keempat. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Soegijanto, S. 2002. Ilmu Penyakit Anak Edisi I. Jakarta: Medika.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


117

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Suciyanti, Sri. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Cimahi Selatan Kota Cimahi
Tahun 2008. Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Suherna, Cucu., Febry, Fatmalina., dan Mutahar, Rini. 2009. Hubungan antara
Pemberian Susu Formula dengan Kejadian Diare pada Anak Usia 0-24
Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Balai Agung Sekayu Tahun 2009.
Diakses pada 8 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Suparjo. 2000. Gambaran Epidemiologi Penyakit Diare dan Hubungannya
dengan Cakupan Program Kesehatan Lingkungan dan Imunisasi di
Kabupaten Lampung Barat Tahun 1996-2000. Skripsi Program Sarjana
Kesehatan Masyarakat. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Susilawati, W.T. 2002. Hubungan Kualitas Mikrobiologis Air dan Faktor-Faktor
Lain terhadap Penyakit Diare Balita, Studi Kasus Kontrol pada Balita di
RW 10, 11, 12 Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan Tahun 2002. Tesis
Program Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat. Depok: Program Pasca
Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Syam, Ari Fahrial. 2006. Pengobatan Diare yang Tepat. Diakses pada 18 Januari
2012 http://www.medicastore.com.
Warouw, S. P. 2002. Hubungan Faktor Lingkungan dan Sosial Ekonomi dengan
Morbiditas (Keluhan ISPA dan Diare). Direktorat Penyehatan Lingkungan,
Ditjen P2M-PL Departemen Kesehatan RI.
WHO. 1991. Dialogue on Diarrhoea. London: AHRTAG.
WHO. 1992. Readings on Diarrhoea. Geneva: World Health Organisation.
WHO. 2008. Global Burden of Disease: 2004 update. Geneva: World Health
Organisation.
WHO. 2011. World Health Statistic. Diakses pada 8 Januari 2012 dari
http://www.who.int
Wibowo, T.A, Sunarto, S.S., dan Pramono, D. 2004. Faktor-faktor Resiko
Kejadian Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten Sleman.
BKM/XX/01/1-48.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasannya. Surabaya: Erlangga.

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


118

Wijayanti, Winda. 2010. Hubungan antara Pemberian Asi Eksklusif dengan


Angka Kejadian Diare pada Bayi Umur 0-6 Bulan di Puskesmas Gilingan
Kecamatan Banjarsari Surakarta. Skripsi Universitas Sebelas Maret.
Diakses pada 14 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Winlar, W. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak
0-2 Tahun di Kelurahan Turangga Tahun 2002. Skripsi Universitas Kristen
Maranatha. Diakses pada 18 Januari 2012 dari http://scholar.google.co.id
Wulandari, A. P. 2009. Hubungan antara Faktor Lingkungan dan Faktor
Sosiodemografi dengan Kejadian Diare di Desa Blimbing Kecamatan
Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009. Skripsi Universitas
Muhammadiyah, Surakarta. Diakses pada 14 Januari 2012 dari
http://scholar.google.co.id
Zein, U., Sagala, K.H., dan Ginting, J. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri.
Medan: Fakultas Kedokteran Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam, Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 14 Januari
2012 dari http://scholar.google.co.id

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM UI

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dari Kesbangpol Linmas Kota Depok

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Lampiran 3. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Depok

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Lampiran 4. Informed Consent

NASKAH PENJELASAN UNTUK MENDAPATKAN PERSETUJUAN


SUBJEK DAN FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)

Dengan hormat,
Saya mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Program
Studi Ilmu Gizi. Saya sedang melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara
Status Gizi, ASI Eksklusif, dan Faktor Lain terhadap Frekuensi Diare pada Anak
Usia 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Depok Tahun 2012” sebagai syarat untuk
mendapatkan Gelar Sarjana Gizi.
Terkait penelitian tersebut, saya akan meminta data Ibu dan bayi antara lain :
1. Data berat lahir, ASI eksklusif, imunisasi campak, perilaku ibu, status
ekonomi keluarga, dan jumlah balita dalam keluarga dikumpulkan dengan
wawancara.
2. Data sumber air bersih, kondisi jamban/WC, saluran pembuangan air
limbah, pengolahan sampah rumah tangga, dan kepadatan huni
dikumpulkan dengan wawancara dan observasi rumah. Observasi rumah
dilakukan sesuai dengan kesepakatan waktu.
3. Data status gizi bayi berupa panjang badan dan berat badan melalui
penimbangan dan pengukuran yang dilakukan oleh peneliti dan data status
gizi pada KMS selama 4 bulan terakhir.

Kerahasiaan
Data-data yang diambil akan dipublikasikan secara terbatas namun tanpa
menyebutkan nama, alamat, nomor telepon atau identitas penting lainnya yang
dianggap rahasia. Oleh karena itu, kerahasiaan sangat dijaga dalam penelitian ini.

Partisipasi Sukarela
Tidak terdapat paksaan untuk bagi Ibu untuk ikut serta dalam penelitian ini. Jika
di awal Ibu bersedia ikut dalam penelitian ini kemudian tiba-tiba berubah pikiran
untuk tidak mengikuti kelanjutan penelitian maka Ibu berhak untuk tidak
berpartisipasi.

Saya berharap Ibu bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


FORMULIR INFORMED CONSENT
(KESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN)

Dengan ini saya:

Nama :

Jenis kelamin :

Umur :

Alamat :

No Telp/HP :

menyatakan bersedia mengikuti kegiatan penelitian ini dengan ketentuan apabila


ada hal-hal yang tidak berkenan pada Saya, maka Saya berhak mengajukan
pengunduran diri dari kegiatan penelitian ini.

Jakarta, Maret 2012

Peneliti Responden

(Mutia Imro Atussoleha) ( )

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Lampiran 5. Kuesioner

DEPARTEMEN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA

KUESIONER PENELITIAN SKRIPSI:

HUBUNGAN STATUS GIZI, ASI EKSKLUSIF, DAN FAKTOR LAIN


TERHADAP FREKUENSI DIARE PADA ANAK USIA 10-23 BULAN DI
PUSKESMAS TUGU, DEPOK TAHUN 2012

Dengan hormat,
Saya Mutia Imro Atussoleha, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Gizi. Saya sedang melakukan penelitian
mengenai “Hubungan antara Status Gizi, ASI eksklusif, dan Faktor Lain terhadap
Frekuensi Diare pada Anak Usia 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Depok Tahun 2012”
sebagai syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana Gizi. Penelitian ini berupa wawancara,
observasi rumah, dan pengukuran atropometri (panjang badan dan berat badan) bayi.
Berdasarkan hal tersebut, saya mengharapkan bantuan Ibu untuk berpartisipasi menjadi
responden.
Atas kesediaan Ibu untuk terlibat dalam penelitian ini, saya mengucapkan terima
kasih.

Depok, Maret 2012

Mutia Imro Atussoleha

0806460875

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


No Responden
RW RT No

KUESIONER PENELITIAN SKRIPSI:

HUBUNGAN STATUS GIZI, ASI EKSKLUSIF, DAN FAKTOR LAIN


TERHADAP FREKUENSI DIARE PADA ANAK USIA 10-23 BULAN DI
PUSKESMAS TUGU, DEPOK TAHUN 2012

Tanggal wawancara:
Lingkari jawaban yang menurut Anda sesuai. Contoh:
1 2 3 4

Koding
IR. Identifikasi Responden (Ibu)
(Diisi oleh petugas)
IR1 Nama [ ]
IR2 Alamat
[ ]

IR3 Nomor telepon [ ]


IR4 Umur (tahun) [ ][ ]
IR5 Pendidikan terakhir
1. Tidak sekolah 4. Tamat SMA/sederajat
2. Tamat SD/sederajat 5. Perguruan tinggi [ ]
3. Tamat SMP/sederajat 6. Lain-lain, sebutkan ...
IR6 Pekerjaan Responden
1. Tidak bekerja 4. Pedagang
2. PNS 5. Lain-lain, sebutkan ... [ ]
3. Pegawai swasta

KB. Karakteristik Anak Koding


KB1 Nama Anak [ ]
KB2 Jenis Kelamin
1. Laki-laki 2. Perempuan [ ]
KB3 Tanggal lahir (dd/mm/yy) [ ][ ][ ][ ]
[ ][ ]

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


A. Diare
A1 Apakah anak ibu mengalami buang air besar dalam bentuk lembek/cair dengan
frekuensi tiga kali/lebih sehari serta didiagnosis diare oleh tenaga kesehatan saat
pengambilan data?
1. Ya 2. Tidak [ ]
A2 Dalam 4 bulan terakhir, berapa kali anak ibu menderita diare?......kali
1. Lebih dari sekali 2. Sekali [ ]
A3 Apakah ibu memeriksakan anak ibu ke Puskesmas Tugu saat anak ibu menderita
diare?
1. Ya 2. Tidak [ ]

B. Berat lahir
B1 Berapa berat bayi saat lahir? ..... gram
1. Berat lahir rendah 2. Berat lahir normal [ ]

C. Status Gizi (dengan melihat data KMS dan pengukuran langsung)


C1 Berapa berat anak ibu selama 4 bulan terakhir? ..... gram 1. [ ][ ][ ][ ]
2. [ ][ ][ ][ ]
3. [ ][ ][ ][ ]
4. [ ][ ][ ][ ]
C2 Berapa panjang badan anak ibu selama 4 bulan terakhir? .... cm 1. [ ][ ][ ]
2. [ ][ ][ ]
3. [ ][ ][ ]
4. [ ][ ][ ]
C3 Berapa berat anak ibu saat ini? ...... gram [ ][ ][ ][ ]
C4 Berapa panjang anak ibu saat ini? ...... cm [ ][ ][ ]

D. ASI Eksklusif
D1 Apakah ibu pernah menyusui?
1. Ya, lanjut ke D3 2. Tidak, lanjut ke D2 [ ]
D2 Mengapa ibu tidak memberikan ASI?
1. ASI tidak keluar 3. Ibu sakit
[ ]
2. Anak sakit 4. Lainnya, sebutkan .....

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


D3 Setelah melahirkan, berapa lama bayi mulai diletakkan ke payudara ibu?
1. ..... jam 3. Tidak tahu/lupa
[ ]
2. Tidak pernah 4. Lainnya, sebutkan .....
D4 Dalam 3 hari pertama, apakah ibu memberikan ASI yang keluar pertama kali (ASI yang
berwarna putih kekuningan/kolostrum) kepada bayi?
1. Ya 3. Tidak tahu/lupa
[ ]
2. Tidak 4. Lainnya, sebutkan .....
D5 Selama bayi berusia 0-6 bulan, apakah ibu hanya memberikan bayi ASI saja tanpa
tanpa tambahan makanan dan minuman lain termasuk air putih (kecuali obat-obatan dan
vitamin atau mineral tetes; ASI perah juga diperbolehkan)?
1. Ya 2. Tidak [ ]

E. Imunisasi Campak

E1 Apakah anak ibu sudah mendapatkan imunisasi campak segera saat usia > 9 bulan?
1. Tidak imunisasi 2. Sudah imunisasi [ ]

F. Perilaku Ibu
F1 Apabila anak balita ibu mengalami diare, tindakan pertama apa yang ibu lakukan?
1. Memberikan cairan 3. Memberikan jamu
tambahan tradisional
[ ]
2. Memberikan tambahan 4. Lainnya, sebutkan .....
makanan
F2 Apabila seandainya balita diberikan susu formula, apakah susu formula yang diberikan
pada saat balita diare sama dengan susu formula pada saat balita tidak sedang diare?
1. Ya 2. Tidak [ ]
F3 Bila bayi sedang diare, bagaimana pemberian makanannya?
1. Tetap 3. Tidak diberikan
[ ]
2. Dikurangi 4. Lainnya, sebutkan .....

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


F4 Apabila bayi mengalami diare, berapa banyak cairan yang ibu berikan setiap kali balita
habis buang air besar?
1. Kurang dari setengah 2. Setengah gelas/lebih (> [ ]
gelas (<100 ml) 100 ml)
F5 Apakah sebelum makan/memberikan makan pada anak. Ibu mencuci tangan?
3. Ya 4. Tidak [ ]
F6 Bagaimana cara mencuci tangan yang biasa ibu lakukan?
1. Hanya dibasuh menggunakan air saja
2. Menggunakan sabun dan dibilas dibawah air mengalir [ ]
3. Lainnya, sebutkan .....
F7 Apakah ibu mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan?
1. Ya 2. Tidak [ ]
F8 Bagaimana cara ibu mencuci peralatan makan dan minum?
1. Menggunakan air saja
2. Menggunakan sabun dan dibilas di bawah air mengalir [ ]
3. Lainnya, sebutkan .....
F9 Menurut ibu, bila menggunakan botol susu, bagaimana cara membersihkan botol susu
yang tepat agar siap untuk digunakan?
1. Dicuci dengan air dan sabun
2. Dicuci kemudian dibilas dengan air panas
3. Dicuci dengan air dan sabun, serta direbus dalam air [ ]
mendidih selama 10 menit
4. Lainnya, sebutkan .....
F10 Dimana biasanya ibu membuang air besar?
1. Di WC 4. Sembarangan tempat
2. Di kali 5. Lainnya, sebutkan ..... [ ]
3. Di kebun
F11 Apakah ibu mencuci tangan menggunakan sabun setelah buang air besar?
1. Ya 2. Tidak [ ]
F12 Apabila air minum ibu bukan merupakan air mineral, apakah air minum dimasak
sebelum dikonsumsi?
1. Ya 2. Tidak [ ]
F13 Apabila diare tidak kunjung sembuh, kemana biasanya ibu mengajak anak berobat?
1. Ke pelayanan kesehatan 3. Dibiarkan saja
[ ]
2. Ke dukun/orang pintar 4. Lainnya, sebutkan .....

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


G. Status Ekonomi Keluarga
G1 Berapa pengeluaran keluarga setiap bulannya?
1. < Rp. 1.380.000,- 2. > Rp. 1.380.000,- [ ]

H. Jumlah Balita Dalam Keluarga


H1 Berapakan jumlah balita dalam keluarga ibu?
1. Lebih dari satu 2. Hanya satu [ ]

I. Sumber Air Bersih

I1 Berapakah jarak sumber air bersih (selain PDAM) dengan sumber pencemaran seperti
septic tank, tempat pembuangan sampah atau tempat penampungan air limbah?
1. < 10 meter 2. > 10 meter [ ]
I2 Apakah ada sumber pencemaran lain, (seperti: kotoran hewan dan sampah) di sekitar
sumber air bersih?
1. Ya 2. Tidak [ ]
I3 Apakah air bersih yang disimpan di rumah, ditempatkan dalam wadah yang tertutup?
1. Ya 2. Tidak [ ]
I4 Apakah air yang digunakan sehari-hari sebagai air minum, tampak jernih?
1. Ya 2. Tidak [ ]
I5 Apakah ada rasa (seperti asin, atau rasa yang lain) atau bau yang tidak sedap pada air
yang digunakan sehari-hari sebagai sumber air bersih?
1. Ya 2. Tidak [ ]

J. Kondisi Jamban/WC
J1 Apakah keluarga mempunyai jamban/WC?
1. Ya 2. Tidak [ ]
J2 Jika ya, apakah jenis WC yang dipergunakan?
1. Leher angsa dengan septic 3. Leher angsa tanpa septic
tank tank
[ ]
2. WC cemplung 4. WC empang
5. Lain-lain, sebutkan ...
J3 Milik siapakah jamban yang ibu dan keluarga gunakan?
1. Sendiri 2. Bersama/keluarga lain [ ]

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


K. Saluran Pembuangan Air Limbah
K1 Kemana biasanya air limbah yang dihasilkan rumah tangga (seperti: air bekas mandi,
mencuci, dan memasak) dibuang?
1. Ke tanah kosong
2. Ke lubang yang dibuat di belakang rumah
3. Dialirkan ke got
[ ]
4. Ke saluran khusus tertutup yang dilengkapi dengan tempat
penampungan khusus (menyerupai septic tank)
5. Lainnya, sebutkan .....

L. Pengolahan Sampah Rumah Tangga


L1 Apakah tempat sampah yang digunakan di dalam rumah disertai tutup?
1. Ya 2. Tidak [ ]
L2 Bagaimana cara ibu mengolah sampah rumah tangga?
1. Dikumpulkan, kemudian diangkut oleh petugas [ ]
kebersihan, ditimbun, atau dijadikan kompos.
2. Dibuang di lahan kosong, atau dibuang ke kali
(sembarang tempat)
3. Lainnya, sebutkan .....

M. Kepadatan Huni
M1 Berapa luas kamar anak biasa tidur? .... m2 [ ][ ][ ]
M2 Berapa jumlah orang yang tidur bersama bayi? .... orang [ ]

Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Lampiran 6. Kartu Pasien Rawat Jalan Puskesmas Tugu

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Lampiran 7. Kartu Tatalaksana Balita Sakit Usia 2 Bulan – 5 Tahun

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012
Lampiran 8. Hasil Bivariat Variabel IMD dan Kolostrum

Tabel 1. Tabulasi Silang antara Inisiasi Menyusu Dini dengan ASI Eksklusif di
Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Depok Tahun 2012

Variabel IMD ASI Eksklusif Jumlah P value OR


Tidak Ya (95% CI)
n=78 % n=17 % n=95 %
Tidak IMD 22 88,0 3 12,0 25 100 0,554 1,8
IMD 56 80,0 14 20,0 70 100 0,5-7,0

Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa sampel yang


mendapatkan ASI eksklusif lebih banyak yang telah melakukan IMD segera
setelah lahir (20%) dibandingkan dengan yang tidak melakukan IMD (12%). Data
statistik memperlihatkan adanya hubungan yang tidak signifikan antara IMD
dengan ASI Eksklusif dengan p value 0,554.

Tabel 2. Tabulasi Silang antara Memberikan Kolostrum dengan Frekuensi Diare


dalam 4 Bulan Terakhir pada Anak 10-23 Bulan di Puskesmas Tugu, Kecamatan
Cimanggis, Depok Tahun 2012

Variabel Frekuensi Diare Jumlah P value OR


Memberikan > Sekali Sekali (95% CI)
Kolostrum dalam 4 dalam 4
Bulan Bulan
Terakhir Terakhir
n=34 % n=61 % n=95 %
Tidak 18 64,3 10 35,7 28 100 0,000* 5,7
memberikan 2,2-14,9
kolostrum
Memberikan 16 23,9 51 76,1 67 100
kolostrum
Keterangan :
*) Hubungan bermakna signifikan (p value < 0,05)

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa sampel dengan frekuensi


diare lebih dari sekali dalam 4 bulan terakhir lebih banyak diderita oleh sampel
yang tidak mendapatkan kolostrum (64,3%) dibandingkan sampel yang
mendapatkan kolostrum (23,9%). Data statistik memperlihatkan adanya hubungan
yang signifikan antara memberikan kolostrum dengan frekuensi diare dengan p
value 0,000. Odds ratio untuk variabel memberikan kolostrum sebesar 5,7 dengan
95% CI antara 2,2-14,9 yang artinya anak yang tidak mendapatkan kolostrum

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012


beresiko 5,7 kali lebih besar menderita diare lebih dari sekali dalam 4 bulan
dibandingkan dengan anak yang mendapatkan kolostrum.

Hubungan antara..., Mutia Imro Atusssoleha, FKM UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai