Anda di halaman 1dari 3

Perdebatan besar kedua dalam hubungan internasional adalah perdebatan yang bersifat

“metodologi” yang menampilkan perdebatan antara paradigma tradisionalis versus behavioralis.


Kisaran perdebatan terpusat pada usaha dari kedua paradigma ini dalam menjawab pertanyaan
“apakah hubungan internasional itu sebuah ilmu?. Kalau memang ilmu, perangkat teoritik-
metodologi apa yang digunakan untuk memahami fenomena hubungan internasional?”. Dalam
menjawab kedua pertanyaan tersebut, para pengikut paradigma tradisionalis dan paradigma
behaavioralis berbeda pendapat dan cenderung saling serang dan adu argumentasi ilmiah5 .

Dalam pandangan para pengikut paradigma tradisionalis, dinyatakan bahwa disiplin ilmu
hubungan internasional merupakan rumpun ilmu sosial (dan bukan ilmu eksakta / ilmu pasti). Oleh
karena itu, cara “mendekati” ilmu HI harus dengan menggunakan “pranata” dan “metodologi “
ilmiah sebagaimana yang ada dan lazim dalam Ilmu Sosial. Ilmu HI harus didekati, ditelaah, dan
dianalisis dengan menggunakan perangkat teoritik dan metodologik yang biasa dipergunakan
dalam Ilmu Sosial. Penganut paradigma tradisionalis menyatakan bahwa obyek studi ilmu HI
(seperti ilmu sosial yang lain) hakekatnya adalah manusia / orang. Manusia / orang adalah makhluk
yang sarat nilai / value loaded. Artinya punya kepentingan, keinginan, kebutuhan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, ilmuwan / peneliti HI tidak terlepas dari nilai / value. Setiap ilmuwan HI dalam
melakukan riset, kajian, dan penelitian tentang fenomena HI pasti akan bersifat subyektif /
memihak / terpengaruhi oleh kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan agama, dan
lain-lain. Pendek kata, ilmuwan HI tidak bisa membebaskan diri dari nilai yang ada / melekat
dalam dirinya (value loaded).

Paradigma tradisionalis menekankan pada metodologi kualitatif dalam menganalisis gejala


hubungan internasional. Teknik pengumpulan data lebih mengutamakan pada wawancara
mendalam, observasi partisipatory, dan studi literature. Data yang dipergunakan adalah data
kualitatif / data huruf / data uraian kata-kata dan bukan data angka. Paradigma tradisionalis
menekankan ilmu terapan. Artinya, ilmuwan / peneliti HI harus melakukan pemihakan terhadap
suatu negara / suatu pihak. Ilmuwan HI harus membuat riset yang bersifat problem solving
(pemecahan masalah) sehingga hasil penelitiannya harus menyatakan baik dan buruk / benar dan
salah terhadap suatu aktor HI. Ilmuwan HI harus membela aktor HI yang benar dan mengutuk
aktor HI yang salah dalam hubungan antar negara.
Paradigma tradisionalis menekankan aspek historis. Artinya, setiap ilmuwan HI harus
menggunakan analisis “sejarah” dalam menganalisis gejala hubungan internasional. Polapola
perulangan sejarah atau adagium “sejarah pasti berulang” diyakini oleh penganut paradigma
idealis. Logikanya, “kejadian hari ini terkait dengan kejadian masa lalu” dan “ kejadian masa depan
pasti berasal atau ada hubungannya dengan kejadian saat ini”. Sebagai contoh : ilmuwan HI yang
akan meneliti konflik Israel – Palestina, maka sangat penting dan mutlak untuk mengetahui sejarah
Israel dan sejarah Palestina sejak zaman Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad.

Berbeda dengan paradigma tradisionalis, paradigma behavioralis menyatakan bahwa


displin ilmu HI memang merupakan bagian dari rumpun ilmu sosial. Namun demikian, agar
supaya Ilmu HI bisa dikatakan “ilmiah” / “saintifik”, maka Ilmu HI harus membuka diri dan
mengembangkan “metodologi” ilmiah yang terdapat dalam ilmu alam. Agar supaya ilmu HI
memiliki bobot ilmiah yang kuat, maka disarankan ilmu HI “meminjam” / menggunakan perangkat
teoritik dari ilmu-ilmu alam. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat banyak disiplin ilmu yang
masuk kategori rumpun ilmu sosial menggunakan metode dari ilmu alam, seperti ilmu ekonomi,
ilmu psikologi, ilmu sosiologi, dan lain-lain. Paradigma behavioralis menyatakan bahwa ilmuwan
HI harus “bebas nilai” / value free dalam menganalisis gejala hubungan internasional. Sebagai
contoh, seorang Ilmuwan HI yang berasal dari etnis Arab dan beragama Islam, harus obyektif
dalam menganalisis tentang konflik Israel-Palestina. Ilmuwan HI tersebut harus netral /
independen / obyektif / tidak boleh memihak atau subyektif dengan mendukung Palestina hanya
gara-gara masalah persamaan etnis dan agama dengan Palestina. Dukungan peneliti terhadap
Palestina harus benar-benar didasarkan pada fakta yang terjadi.

Nilai yang terdapat dalam diri peneliti dapat dihindarkan dengan metode
“intersubyektifitas”. Paradigma behavioralis menyarankan adanya penggunaan metode kuantitatif
sebagaimana yang lazim dalam ilmu alam. Dalam melakukan penelitian HI, ilmuwan HI harus
menggunakan teknik statistik, logika kalkulatif, analisis matematik, dan teknik kuantifikasi,
sehingga data yang diperolah dapat dihitung dan dapat diukur (validitas dan reliabilitas tinggi).
Bahkan, kalau perlu dan memungkinkan, diadakan uji eksperimentasi dalam setiap penelitian HI
sehingga akan kuat bobot ilmiah / santifiknya. Paradigma Behavioralis menegaskan bahwa ilmu
HI adalah ilmu murni. Artinya, ilmuwan HI harus obyektif, netral, dan independen dalam meneliti
gejala hubungan internasional. Hasil penelitian tidak boleh direkayasa, dimanipulasi, dan dibuat
untuk kepentingan negara tertentu. Hal ini sejalan dengan pameo saat ini, yakni : “peneliti boleh
salah tapi tidak boleh bohong” dalam setiap riset yang dikembangkan.

Paradigma behavioralis menekankan aspek sosiologis, psikologis, dan empiris dalam


menganalisis gejala hubungan internasional. Sebagai contoh, ketika mempelajari organisasi
internasional, misal PBB, maka ilmuwan HI harus menganalisis bagaimana kinerja badanbadan
PBB? Mengapa PBB gagal dalam menciptakan perdamaian dunia? Mengapa diperlukan reformasi
PBB?. Hal ini tentu berbeda dengan paradigma tradisionalis yang lebih menyoroti aspek normatif,
seperti tugas dan fungsi PBB, organ-organ dalam PBB, dan penyelenggaraan sidang-sidang PBB.

Anda mungkin juga menyukai