Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Respirasi merupakan proses ganda, yaitu terjadinya pertukaran gas di dalam jaringan
atau pernapasan dalam dan di dalam paru-paru atau pernaasan luar.
Obstruksi Nasal adalah Perjalanan udara melalui nostril sering kali tersumbat oleh
deviasi septum nasi, hipertrofi tulang turbinat, atau tekanan polip, yaitu pembengkakan
seperti buah jeruk yang timbul dari membran mukosa sinus, terutama etmoid. Obstruksi ini
juga dapat mengarah pada kondisi infeksi kronis hidung dan mengakibatkan episode
nasofaringitis yang sering. Seringkali, infeksi meluas sampai sinus-sinus hidung (rongga yang
dilapisi lendir yang dipenuhi oleh udara yang normalnya mengalir ke dalam hidung). Bila
terjadi sinusitis dan drainase dari rongga ini terhambat oleh deformitas atau pembengkakan di
dalam hidun, maka nyeri akan dialami pada region sinus yang sakit. Obstruksi Laring Adalah
adanya penyumbatan pada ruang sempit pita suara yang berupa pembengkakan membran
mukosa laring, dapat menutup di jalan dengan rapat mengarah pada astiksia.
Fraktur Nasal adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma yang ditandai
dengan patahnya tulang hidung baik sederhana maupun kominunitiva
Polip Nasal adalah Penonjolan membrane mukosa yang melapisi hidung ayau sinus
pranasal dan apat terajdi sebagai lesitunggal atau multiple.
Septum Nasi didefinisikan sebagaibentuk septum yang tidak lurus di tengah sehingga
membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung yang
mengakibatkanpenyempitan pada rongga hidung

B. Rumusan masalah
1. Apa Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi?
2. Apa Asuhan keperawatan septum deviasi?
3. Bagaimana Asuhan keperawatan polip nasi?
4. Apa Asuhan keperawatan corpus alineum
5. Bagaimana Asuhan keperawata epistaksis
6. Bagaimana Asuhan keperawata fraktur hidung
7. Bagaimana Asuhan keperawatan Obtruksi laring

1
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi.
2. Menjelaskan . Apa Asuhan keperawatan septum deviasi?
3. Menjelaskan Asuhan keperawatan polip nasi?
4. Menjelaskan Asuhan keperawatan corpus alineum
5. Menjelaskan Asuhan keperawata epistaksis
6. Menjelaskan Asuhan keperawata fraktur hidung
8. Menjelaskan Asuhan keperawatan Obtruksi laring..

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi


Oksigen yang terdapat di udara masuk ke dalam sistem respirasi tubuh manusia untuk
selanjutnya digunakan dalam proses metabolisme oleh jaringan dan pada saat yang sama
karboondioksida dan uap air akan dikeluarkan. Proses pernapasan dapat terjadi karena adanya
berbagai organ yang berperan penting dalam proses tersebut. Adapun struktur yang
membentuk sistem respirasi antara lain:

1. Cavitas Nasi/ Cavum Nasi


Cavitas nasi merupakan rongga didalam nasal yang menghubungkan bagian luar
tubuh dengan nasopharynx. DI bagian depannya terdapat lubang yang disebut dengan nares
anterior dan bagian posteriornya disebut nares posterior. Nares anterior dibatasi oleh
cartilago, nasalis dan pada linea mediana dipisahkan oleh septum nasi. Cavum nasi
mempunyai dinidng medial, dinding lateral dan lantai. Lantainya dibentuk oleh palatum
durum. Dinding medialnya dibentuk oleh septum nasi yang merupakan pembatas vertikal,
terletak di tengah dan membagi cavum nasi menjadi 2 bagian.
Di dalam tulang sekitar cavum nasi, terdapat rongga yang disebut sinus paranasalis.
Yang termasuk sinus paranasalis adalah Sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis,
sinus maxillaries.

a. Pharynx
Pharynx adalah struktur yang terletak disebelah dorsal choanae. Pharynx dibagi
menjadi tiga bagian yaitu nasopharynx, oropharynx dan laryongpharynx. Pharynx
mempunyai hubungan dengan cavum oris, cavum nasi dan larynx. Dengan demikian pharynx
dapat dianggap sebagai suatu tabung yang berfungsi ganda, yaitu tempat lewatnya udara
respirasi dan makanan (dari cavum oris melalui pharynx menuju esophagus.
Pada dinding lateral nasopharynx terdapat muara dari tuba eustachius (tuba auditiva)
yang menghubungkan nasopharynx dengan cavum timpani, sehingga membrana tympani
mendapat tekanan udara yang sama pada kedua permukaannya.

3
b. Larynx
Larynx merupakan organ yang dilewati oleh udara respirasi dan mengalami
modifikasi untuk dapat menghasilkan suara. Dibentuk oleh cartilago, ligamentum otot, dan
membrana mucosa. Terletak di sebelah ventral pharynx, berhadapan dengan vertebra
cervicalis 3-6.
Cartilago laryngx dibentuk oleh 3 buah cartilago yang tunggal yaitu cartilago
thyroidea yaitu cartilago yang membentuk prominentia laryngealis atau jakun, cartilago
cricoidea dan cartilago epiglottica.

c. Trachea
Trachea adalah suatu pipa yang dibentuk dari cartilago dan jaringan ikat, yang
dimulai dari tepi caudal larynx, yaitu setinggi tepi caudal cartilago cricoidea setinggi vertebra
cervicalis VI sampai setinggi tepi cranial vertebra thoracalis V dan disini terbentuk bifucartio
menjadi bronchus dexter dan bronchus sinister. Trachea mempunyai ukuran panjang 11 cm
dan diameter 2-2.5 cm. Pada pria bentuknya lebih besar daripada wanita, terdiri dari 20 buah
cincin cartilago yang berbentuk huruf “U” membuka ke dorsal, ditutupi oleh jaringan ikat dan
bersentuhan dengan esophagus.

d. Bronchus
Bronchus terbagi menjadi dua cabang yaitu bronchus dexter yang mempunyai bentuk
lebih besar, lebih pendek dan lebih vertical daripada bronchus sinister. Letaknya lebih
vertical oleh karena desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan
sehingga menyebabkan mudahnya benda asing masuk ke dalam hilus pulmo dexter.
Bronchus sinister mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih
panjang daripada bronchus dexter. Bronchus sinister bercabang dua menjadi bronchus
sekunder superior dan inferior.
Untuk vascularisasi diperoleh dari arteri thyroidea inferior. Innervasi oleh n.vags,
n.recurrens dan trunchus sympathicus.

e. Pulmo
Pulmo adalah parenchym yang berada bersama-sama dengan bronchus dan
percabangan-percabangannya. Dibungkus oleh pleura, mengikuti gerakan dinding thorax
pada waktu inspirasi dan expirasi. Bentuknya dipengaruhi oleh organ-organ yang berada di

4
sekitarnya. Pulmo mempunyai beberapa bagian yaitu apex, basis, facies costalis, facies
mediastinalis, margo anterior, margo inferior dan margo pulmonis.
Pulmo juga terbagi menjadi dua yaitu pulmo dexter dan pulmo sinister. Pulmo dexter
terdiri dari 3 buah lobus, yaitu lobus superior, lobus medius dan lobus inferior yang dibagi
oleh dua buah incisurae interlobares. Fissur horixontalis memisahkan obus superior daripada
lobus medius, terletak horizontal ujung dorsal bertemu dengsn fissura oblique, ujung ventral
terletak setinggi pars cartilaginis costa IV, dan pada facies medastinalis fissura tersebut
melampaui bagian dorsal hilus polmanis.
Pulmo sinister terdiri atas dua lobus yaitu 1. Lobus superior dan lobus inferior yang
dipisahkan oleh fissura obliqua. Lobus inferior lebih besar daripada lobus superior dan
meliputi sebagian besar dari facie costalis, hampir seluruh facies diaphragmatica dan
sebagian dari facies mediastinalis (bagian dorsalnya).

2. Obstruksi atau Trauma jalan Nafas Atas


a. Septum Deviasi
1) Defenisi
Septum hidung biasanya membagi hidung menjadi dua bagian yang sama. Deviasi
septum nasi didefinisikan sebagaibentuk septum yang tidak lurus di tengah sehingga
membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung yang
mengakibatkanpenyempitan pada rongga hidung.Bentuk septum normal adalah lurus di
tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum anasi tidak lurus sempurna
di tengah. Angka kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya
terdapat pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum nasi. Bila kejadian ini tidak
menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal. Pada inspeksi,
tulang rawan septum menonjol atau menyimpang ke satu sisi, menciptakan obstruksi parsial
atau total nares. Deviasi ringan dari garis tengah umumnya tidak menunjukkan gejala. Pada
beberapa klien, penyumbatan saluran udara melalui satu sisi menyebabkan pernafasan yang
bising selama jam bangun dan mendengkur saat tidur. Deviasi mayor dapat menyebabkan
rasa sakit karena sumbatan sinus atau infeksi. Mereka juga dapat menyebabkan mimisan
karena kekeringan mukosa hidung kadang-kadang, cacat mungkin cukup parah untuk
menyebabkan kelainan bentuk kosmetik.

5
2) Etiologi deviasi septum nasi yaitu :
Deviasi dan dislokasi septum nasi dapat disebabkan oleh gangguan pertumbuhan yang
tidak seimbang antara kartilago dengan tulang septum, . Namun, itu biasanya akibat trauma
akibat fraktur fasial, fraktur nasal, fraktur septum atau trauma saat lahir. Deviasi septum
hidung juga dimungkinkan merupakan kondisi bawaan.
3) Manifestasi Klinis : Saluran udara yang tersumbat akan menyebabkan suara bising saat
bernafas di waktu sadar dan suara mendengkur di waktu tidur. Deviasi yang cukup berat
dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan estetik wajah karena tampilan hidung
menjadi bengkok. Gejala sumbatan hidung dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas
penderita karena deviasi septum nasi yang sifatnya cukup berat dapat berakibat pada
inadekuatnya jalan nafas. Sehingga oksigen yang masuk ke dalam tubuh juga akan
berkurang.
4) Klasifikasi Deviasi septum hidung menurut Mladina tergantung dari letak deviasi :
a) Tipe I. Benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
b) Tipe II. Benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum
menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
c) Tipe III. Deviasi pada konka media / area osteomeatal.
d) Tipe IV. Disebut juga tipe S dimana septum bagian posterior dan anterior berada pada
sisi yang berbeda.
e) Tipe V. Tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih
normal.
f) Tipe VI. Tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan
rongga
yang asimetri.
g) Tipe VII. Kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe Itipe VI.
5) Gejala utama adalah dari deviasi septum nasal ini yaitu hidung tersumbat, biasanya
unilateral dan dapat intermitten, hiposmia atau anosmia dan sakit kepala. Sumbatan dapat
unilateral dan dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi,
sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme
kompensasi Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan sekitar mata. Selain itu
penciuman dapat terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi
septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya
sinusitis.

6
6) Penatalaksanaan :
Intervensi bedah diindikasikan untuk deviasi septum yang menyebabkan manifestasi
yang signifikan atau yang mempengaruhi konsep diri dan citra tubuh klien. Baik reseksi
submukosa (SMR) atau septoplasti dapat dilakukan di bawah anestesi lokal untuk
memperbaiki cacat. Septoplasti melibatkan insisi satu sisi septum, mengangkat selaput lendir,
dan mengangkat atau meluruskan bagian deviasi kartilago septum. Dalam reseksi submukosa,
tulang dan tulang rawan dihilangkan. Dalam kedua prosedur, pengepakan diterapkan pada
kedua sisi hidung untuk mencegah pendarahan dan untuk menjaga mukosa septum pada
posisi garis tengah.

7) Asuhan keperawatan
a) Pengkajian
Adapun pengkajian pada penyakit septum deviasi secara teoritis adalah :
(1) biodata
- Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pendidikan,status pendidikan dan
pekerjaan klien
(2) Kaji riwayat kelainan kongenial
- Misalnya agenesis hidung, kista, kelainan pertumbuhan
(3) Kaji riwayat infeksi
- Seperti sinusitis kronik, selulitis, TBC, dll
a) Kaji kelainan bentuk hidung
- Apakah ada septum deviasi, hematoma septum, impaksi septum
(4) Kaji adanya riwayat trauma dan perdarahan hidung
- Apakah pasien pernah mengalami trauma atau benturan yang menyebabkan
perdarahan hidung
(5) Kaji adanya gangguan penciuman
- Kaji apakah pasien bisa mencium bau dan membedakannya dengan bau yang lain
(anosmia).
(6) Kaji riwayat masuknya benda asing kedalam hidung
- Apakah pasien pernah mengalami masuknya benda asing kedalam hidung dan
bagaimana cara mengatasinya

b) Diagnosa keperawatan pada pasien yang terkena septum deviasi


Masalah keperawatan yang muncul pada pasien deviasi septum teoritis adalah :

7
(1) ketidak efektifan pola pernafasan
(2) Risiko tinngi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
(3) kurang pengetahuan (kebutuhan belajar)
Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan okstruksi hidung akibat
kelainan bentuk atau posisi septum.
 Defenisi: inspirasi dan/atau eksprasi yang tidak emberi ventilasi adekuat.
(1) Batasan karakteristik:
(a) pernapasan bibir
(b) pola napas abnormal
(c) dispnea
(2) hasil NOC
(a) status pernapasan :,irama pernapasan,suara napas tambahan, pernapasan dengan
bibir kerucut
(b) kepatenan jalan napas : frekuensi pernapasan, irama pernapasan,
(3) intervensi NIC
(a) manajemen jalan napas
(b) monitor pernapasan
c) Evaluasi
Adapun hal yang dievaluasikan pada pasien dengan deveasi septum adalah :
(1) Apakah pasien merasa nyaman
(2) Pasien dapat menjelaskan perawatan yang diperlukan dirumah setealah menjalani
pembedahan
(3) Pasien dapat menjelaskan cara-cara untuk mencegah timbulnya pendarahan hidung
(4) Pasien dapat menjelaskan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya efek
kosmetik yang baik setelah menjalankan nimoplasti.

b. Polip Nasi
1) Definisi
Penonjolan membrane mukosa yang melapisi hidung ayau sinus pranasal dan apat
terajdi sebagai lesitunggal atau multiple. Polip dapat mengalamieksaserba dengan
manisfestasi alergi, walaupun tidak disebabkan oleh alergi. Kebanyakan orang yang
mengalami polip mencari pertolongan kesehatan karena obstruksi napas dari hidung.
Manajemen medis klien dengan polip nasal bersifat simtomasi. Usaha mengurangi
ukuran polip adalah dengan mengeliminasi atau merawat factor penyebab (alergi). Pada

8
banyak klien, diperlukan pembedahan untuk mengangkat polip nasal untuk mengenbalikan
pernapasan hidung sebelum terapi alergi.

2) Etiologi
Terjadi akibat reaksi hipertensif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Pplip dapat
ditimbulkan pada penderita laki-laku maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia
lanjut. Bila ada polip pada anak dibawah umur 2 tahaun, harus disingkirkan kemungkinan
meningokel atau meningoensefalokel.
Polip disebabkan oleh alergi atau reaksi radang. Bentuknya bertangkai, tidak
mengandung pembuluh darah. Dihidung polip dapat tumbuh banyak, apalagi bila asalnya dari
sinus etmoid. Bila asalnya dari sinus maksila, maka polip itu tumbuh hanya satu, dan berada
di lubang hidung yang menghadap nasofaring (konka). Keadaan keadaan ini disebut polip
konka. Polip konka biasanya lebih beast dari polip hidung. Polip iyu harus dikeluarkan, oleh
karena bila tidak, sebagai komplikasinya dapat terjadi sinusitis. Polip itu dapat tumbuh
banyak, sehingga kadang-kadang tampak hidung penderita membesar, dan apabila
penyebaannya tidak diobati setah polip dekeluarkan , ia dapat tumbuh kembali.
Yang dapat menjadi factor prediposisi terjadinya polip antara lain :
a) Alergi terutama rhinitis alergi.
b) Sinusitis kronik
c) Iritasi
d) Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hioertrofi konka.

3) Klasifikasi polip
Menurut subhan polip hidung terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
a) Polip hidung tunggal adalah jumlah polipnya hanya satu, berasal dari sel-sel permukaan
dingding sinus tulang pipi.
b) Polip hidung multiple adalah jumlah polip lebih dari atu berasal dari permukaan
dingdingrongga hidung bagian atas (etmoid).

4) Manifestasi klinis
ketika terjadi polip nasi maka akan tampak seperti air mata dan jika telah matang,
bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan. Polip hidung biasanya dapt
dideteksi sewaktu endoskopi hidung rutin. Jarang menimbulkan masala-masalah yang

9
berarti. Namun, polip hidung yang lebih besar biasanya menimbulkan gejala-gejala sebagai
berikut:
a) Penyumbatan hidung, karena indera peraba berhubungan dengan indera penciumana,
maka penderita juga mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman
b) Rasa sakit tidak nyaman dibagian wajahatau kening
c) Hilangnya indra penciumana (hiposmia)
d) Bau busuk dari hidung
e) Menyebakan penyumbatan darinase lender dari sionus ke hidung
Penyumbatan ini menyebakan tertimbunya lender di dalam sinus . lender yang terlalu lama
di sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis.
f) Sering bersuara sengau dan bernapas melalui mulutnya.
g) Snoring (ngorok), gangguan tidur dan penurunan kulaitas hidup.
Bagi penderita Polip biasanya mengeluhkan hidung tersumbat, penurunan indra
penciuman, dan gangguan pernapasan. Akibatnya penderita bersuara sengau.polip biasanya
tumbuh di daerah dimana selaput lendi membengkak akibat oenimbunan cairan, seperti
daerah sekitar lubang sinus pada romgga hidung.

5) Patofisologi
Pembentukan polip sering diasosasikan dengan inflamasi kronik,disfungsi saraf
otonom serta predoposisi genetic. Menurut teori bemstrem, terjadi perubahan mukosa hidung
akibat perdangan atau aliran udara yang bertubulensi, terutama di daerah sempit komplikes
ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitalisasi dan pembentukan
kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang
berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Secara makroskopik polip terlihat sebagai massa yang lunak berwarna pitih atau keab-
abuan. Sedangkan secara makroskopik tampak submukosa hipertopri dan sembab. Sel tidak
bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit dan sel plasma sedangkan
letaknya berjauhan dipisahkan ioleh cairan intraseluler. Pembuluh darah, syaraf dan kelenjar
sangat sedikit dalam polip dan dilapisi oleh epitel thorak berlapis semu.
a) Gejala
Timbulnya gejala biasanya pelan dan imsidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah
infeksi akut. Sumbayan di hidung adalah gejala utama dimana dirasakan semakin hari
semakin berar. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh, sengau,sakit

10
kepala, pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposimia atau anosmia, rasa lndir di
tenggorokan.
b) Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanan polip hidung adalah mengurangi gejala klinik,
mencegah komplikasi dan kekambuhan,penganan dilakukan dengan cara pembedahan,
medikamentosa atau kombinasi keduanya.
Medikamentosa polip hidung adalah dengan menggunakan preparat kortikosteroid
baik lokal maupun sistemik, pemberiannya bisa jangka lama ataupun jangka pendek .
penggunaan steroid tipikal dapat mengurangi ukuran polip dan keluhan gejala akibat polip.
Hal ini terutama bermanfaat bagi penderita yang sering mengalami pilupektomi sehingga
mengurangi kekambuhan, preparat steroid lokal yang sering digunakan beclomethase
dipionate,budesoneiddan mometason furoat.
 Pembedahan
Teknik pembedahan dapat dilakukan dengan pendekatan eksternal atau intranasal.
Beberapa cara pembedahan polip hidung adalag sebagai berikut :
 Polip ekstraksi
Tindakan ini paling sederhana dalam membersihkan polip hidung dilakukan dengan
pembiusan lokal ataupun umum dan ekstraksi polip dilakukan dengan jerat polip ataupun
forcepblaskesly.
 Etmoidektomi
Tujuannya adalah untuk mengangkat semua jaringan polip dengan semua sellulae
etmoid, menjamin drainase labirin etmoid ke rongga hidung, mencegah komplikasi ke orbitu
dan sinus frontal dan maksila.
Ada beberapa teknik operasi etmodektomo ekstranasal, dan kombinasi intranasal.
Pada etmoidektomi intranasal. Pada etmoidektomi intranasal lebih simple dan bisa dilakukan
dengan pembiusan lokal serta tidak menibulkan parut pada muka. Sedangkan pada
etmoidektomi ekstranasal lapangan operasi lebih luas dan lebih aman tetapi teknik operasi ini
lebih rumit
 Operasi caldwey-luc
Prinsip operasi ini adalah dengan membuka maksia melalui fossa kanina, dan
dilakukan pada polip dengan sinusitis maksilla kronis yang mukosanya sudah irrevesebel.
 Bedah sinus endoskopi

11
Hal ini dilakukan untuk kasus-kasus dimana polip hidung disertai sinusitis akut
maupun kronik dari polip-polip kecil pada meatus medius. Prinsip ini membersihkan
kompleks ostiomeatal sehingga tidak ada lagi hambatan ventilasi.
6) Asuhan keperawatan
a) Pengkajian
Adapun pengkajian pada penyakit Polip Nasi menurut McClay JE (2007):
(1 Biodata : Nama, umur, alamat, suku, bangsa , pendidiksn, pekerjaan.
(2 Riwayat penyekit sekarang :
(3 Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh sulit bernafas dan nyeri.
(4 Riwayat penyakit dahulu :
1. Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma.
2. Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
3. Pernah menderita sakit gigi graham.
(5 Riwayat keluarga : adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang
mungkin ada hubungannnya dengan penyakit klien sekarang.
(6 Pemeriksaan fisik
1) status kesehatan umum : keadaan umum , tanda vital, kesadaran.
2) Pemeriksaan fisik data focus hidung : rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).

Data subyektif :
a) Hidung terasa tersumbat, susah bernafas
b) Keluhan gangguan penciuman
c) Merasa banyak lender, keluar darah
d) Klien merasa lesu, tidak nafsu makan
e) Merasa pusing

Data Obyektif
a) Demam, drainage ada : Serous, Mukppurulen, Purulen
b) Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan sinus
yang mengalami radang ? Pucat, edema keluar dari hidung atau mukosa sinus.
c) Kemerahan dan edema membran mukosa
d) Pemeriksaan penunjung :Kultur organisme hidung dan tenggorokan.

12
b) Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan menurunnya
nafsu makan
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya massa dalam hidung

Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh


Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic
Karakteristik :
Hasil NOC
 Tingkat ketidaknyamanan : nyeri,sesak napas,merasa kesilitan bernapas,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
 Tingkat nyeri : nyeri yang dilaporkan, frekuensi napas, ekspresi nyeri wajah
Intervensi NIC
 Manajemen gangguan makan

Ketidakefektifan bersihan jalan napas


Definisi : ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas
untuk mempertahankan bersihan jalan napas
Karakteristik :
 Infeksi
 Alergi jalan napas
 Trauma
Hasil NOC
 Status pernapasan : ventilasi
 Status pernapasan : kepatenan
Intervensi NIC
 Manajemen jalan napas
 Monitor pernapasan

c. Corpus Alienum
1) Pengertian
Corpus alineum atau benda asing adalah benda yang berasal dari luar atau dalam
tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing dalam suatu organ

13
dapat terbagi atas benda asing eksogen (dari luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam
tubuh). Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas.
2) Etiologi
Berdasarkan jenis bendanya, etiologi corpus alienum di hidung dapat di bagi menjadi:
 Benda asing hidup (benda organik)
 Larva lalat
 Linta
 Cacing
 Benda asing tak hidup (benda anorganik)
Benda asing tak hidup yang tersering adalah manik-manik, baterai logam, dan
kancing baju. Kasus baterai logam di hidung merupakan salah satu kegawatan yang harus
segera dikeluarkan karena kandungan zat kimianya yang dapat bereaksi terhadap mukosa
hidung.Patofisiologi Daerah hidung merupakan daerah yang mudah diakses karena lokasinya
yang berada di wajah. Memasukkan badan asing ke dalam cavum nasi sering kali terjadi pada
pasien anak yang kurang dari 5 tahun disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rasa
penasaran untuk mengekspolarsi orifisium atau lubang. Hal ini disebabkan pula oleh
mudahnya akses terhadap benda asing tersebut, kurang perhatian saat pengasuhan anak. Hal–
hal lain yang menjadi penyebab antara lain kebosanan, untuk membuat lelucon, retardasi
mental, gangguan jiwa, dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Benda
asing hidung dapat ditemukan di setiap bagian rongga hidung, sebagian besar ditemukan di
dasar hidung, tepat di bawah konka inferior atau di bagian atas fossa nasal anterior hingga ke
bagian depan konka media. Benda-benda kecil yang masuk ke bagian anterior rongga hidung
dapat dengan mudah dikeluarkan dari hidung.
Beberapa benda asing menetap di dalam rongga hidung tanpa menimbulkan
perubahan mukosa. Namun, kebanyakan objek yang berupa benda mati menyebabkan
kongesti dan edema pada mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi, epistaksis, jaringan granulasi,
erosi, dan dapat berlanjut menjadi sinusitis. Sekret yang tertinggal, dekomposisi benda asing,
dan ulserasi yang menyertai dapat menghasilkan fetor yang berbau busuk. Benda asing yang
berupa benda hidup, menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat bervariasi, dari infeksi
lokal sampai destruksi masif tulang rawan dan tulang hidung dengan membentuk daerah
supurasi yang dalam dan berbau. Cacing askaris di hidung dapat menimbulkan iritasi dengan
derajat yang bervariasi karena gerakannya. Perubahan-perubahan ini apabila lebih lanjut,
maka akan memengaruhi benda asing karena dikelilingi oleh udema, granulasi, dan kotoran.

14
Benda asing organik, seperti kacang-kacangan, mempunyai sifat higroskopik, mudah menjadi
lunak dan mengembang oleh air, serta menyebabkan iritasi pada mukosa. Kadang-kadang,
reaksi inflamasi dapat menghasilkan toksik.
3) Manifestasi Klinis
Gejala sumbatan benda asing tergantung pada lokasi benda asing, derajat sumbatan
(total atau sebagian), sifat, bentuk, dan ukuran benda asing. Gejala yang timbul bervariasi,
dari tanpa gejala sampai kematian sebelum diberi pertolongan, akibat sumbatan total. Benda
asing di hidung pada anak sering luput dari perhatian otang tua karena tidak ada gejala dan
bertahan untuk waktu yang lama. Dapat timbul rinolith di sekitar benda asing. Gejala yang
paling sering adalah hidung tersumbat, rinore unilateral, dengan cairan kental dan berbau.
Kadangkadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis, bersin, dan disertai bekuan darah.
Akan tetapi, adanya benda asing dalam hidung terkadang tidak menimbulkan nyeri, terbukti
dengan adanya kasus benda asing yang telah berada dalam hidung selama bertahun-tahun
tanpa adanya gejala apapun. Namun, walaupun jarang ditemukan, nyeri dan sakit kepala pada
sisi yang terlibat disertai dengan epistaksis intermitten dan bersin pernah ditemukan dalam
beberapa kasus. Pada pasien dengan benda asing hidung yang hidup, gejala-gejala yang
muncul biasanya terdapat pada hidung bilateral. Hidung tersumbat, sakit kepala, dan bersin
dengan kotoran seropurulen biasanya merupakan gejala yang tampak. Peningkatan suhu
tubuh dan adanya bau tidak sedap yang berasal dari rongga hidung dapat pula muncul.
Leukositosis dapat terjadi akibat adanya infeksi sekunder.

15
PATHWAY CORPUS ALIENUM

Tersedak Muntahan Bekuan Darah Epiglottis Sekret Kental Edema Karsinoma Laring
makanan 4. Trakea/La
ring

Jalan Napas Tersumbat

Batuk hebat secara tiba – tiba,


rasa tercekik, rasa tersumbat di
tenggorokan 5.

CORPUS ALIENUM JALAN NAPAS

Total Parsial

Spasme Laring Sumbatan Jalan Napas


Sebagian

Apnea dan Sianosis


Batuk + Sesak Napas

Tidak Dapat Napas


Spontan Dispnea

Kematian Mendadak Gangguan Pola Napas

16
4) Asuhan Keperawatan
Pada klien dengan penyakit corpus alineum perawat harus mengobservasi untuk mengakaji tanda
dan gejala dari corpus alineum tersebut, antara lain melakukan pemeriksaan fisik berupa inspeksi, palpasi,
dan auskultasi.
Benda asing yang teraspirasi dan tersangkut di laring dapat menyebabkan sumbatan total atau parsial
pada saluran pernafasan. Jenis sumbatan ini bergantung dari ukuran, bentuk, dan posisi benda asing pada rima
glotis. Kadang-kadang sentuhan benda asing pada pita suara bisa menyebabkan spasme laring, sehingga
benda asing tersebut terjepit di antara kedua pita suara.
Asuhan keperawatan yang dapat di lakukan pada penyakit corpus alineum adalah sebagai berikut :
Pengkajian
a) biodata
dapat berupa nama, umur, jenis kelamin, alamat, kepercayaan, status pendidikan, dan
pekerjaan klien.
b) Keluhan Utama atau riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama pada klien ca. Laring meliputi nyeri tenggorok. sulit menelan,sulit
bernapas,suara serak,hemoptisis dan batuk ,penurunan berat badan, nyeri tenggorok, lemah.
c) Riwayat Penyakit yang lalu
 Tanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi kronis
 Tanyakan pola hidup klien (merokok, minum alkohol)
d) Pemeriksaan Fisik
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan fisik :
1) Periksa kepala dan leher
Gejala : Adanya lesi,
Tanda : Kesulitan menelan, mudah tersedak, sakit menelan, sakit tenggorok yang
menetap.Bengkak, luka. Inflamasi atau drainase oral, kebersihan gigi buruk.
Pembengkakan lidah dan gangguan reflek.
2) Ada nyeri
Gejala : kesulitan menelan
3) Bunyi napas tambahan
e) Pemeriksaan Penunjang
1. Laringoskop : Untuk menilai lokasi tumor, penyebaran tumor.
2. Foto thoraks : Untuk menilai keadaan paru, ada atau tidaknya proses spesifik dan
metastasis di paru.

17
3. CT-Scan : Memperlihatkan keadaan tumor/penjalaran tumor pada tulang rawan tiroid
dan daerah pre-epiglotis serta metastasis kelenjar getah bening leher.
ketidakefektifan pola napas
Definisi : inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat
Batasan karakteristik:
1. Pola napas abnormal
2. Penurunan kapasitas vital
3. Dispnea
4. Pernpasan cuping hidung
5. Pernapasan bibir
6. Takipnea
7. Ansietas
8. Nyeri
outcome yang diharapkan :
1. pola pernapasan normal
2. kapasitas vital kembali normal
3. irama pernapasan normal
Intervensi NIC :
1. monitor kondisi yang mengindikasihkan perlunya dukungan ventilasi
2. monitor apakah terdapat gagal napas
3. konsultasikan dengan petugas kesehatan yang lain dalam hal pemilihan jenis ventilator
4. berikan asuhan untuk mengilangkan distres pasien

d. Epistaksis
1) Defenisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana
hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Hidung memiliki suplai darah yang kaya, menerima
pembuluh arteri utama dari sistem arteri karotis internal dan eksternal. Epistaksis, mimisan,
dapat disebabkan oleh sejumlah faktor. Trauma (memetik hidung atau trauma tumpul) dapat
menyebabkan epistaksis, seperti pengeringan mukosa hidung, membran, infeksi,
penyalahgunaan zat (mis. Kokain), arteriosklerosis, atau hipertensi. Epistaksis juga dapat
mengindikasikan kelainan perdarahan yang berkaitan dengan leukimia akut, trombositopenia,

18
anemia aplastik, atau penyakit hati yang parah. Selain itu, pengobatan dengan obat
antikoagulan atau antiplatelet dapat menyebabkan mimisan. Pada orang dewasa, pria lebih
sering mengalami mimisan daripada wanita.
2) Patofisiologi dan manifestasi klinis
f)
EPISTAKSIS
Pendarahan hidung yang
terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum
(kelainan sistemik)

Epistaksis Anterior Epistaksis Posterior

Trauma g)
Minor Sistemik

h) yang
Mukosa hidung Tekanan vaskuler Hipertensi, Influensa,
rapuh benda
i) asing meningkat Tumor hidung

Fleksus Kiesselbach Nyeri Akut Arteri Sfenopalatina


j)

Posisi duduk
k) Terjadi perdarahan

Resiko perdarahan
l) Perdarahan (depan/belakang)

Lewat hidung
m) Masuk tenggorokan

Lambung
n) Paru – paru

o) darah
Mual/muntah Darah menumpuk di
faring

Ansietas

Ketidakefektifan
Kematian
Bersihan Jalan Napas

19
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana
hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Sembilan puluh persen dari semua mimisan muncul di
septum nasal anterior dari daerah Kiesselbach, pleksus vaskular yang kaya pembuluh darah.
Karena lokasinya, pembuluh-pembuluh ini rentan terhadap trauma dari pemetikan hidung,
pengeringan, dan infeksi. Epistaksis posterior lebih sering berkembang sekunder akibat
gangguan sistemik seperti diskrasia darah, hipertensi, atau diabetes. Pada epistaksis posterior,
perdarahan berasal dari cabang terminal sphenopalatine dan arteri maksila internal. Epistaksis
posterior cenderung lebih parah dan terjadi lebih sering pada orang dewasa yang lebih tua.
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian
anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior
sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.
Mimisan anterior biasanya menghasilkan perdarahan yang jelas dari nares, serta
perdarahan ke faring nasal dan oral posterior. Pendarahan dari mimisan posterior mungkin
kurang jelas, dengan sebagian besar darah mengalir ke nasofaring posterior dan ditelan oleh
pasien. Mual dan muntah dapat terjadi karena tertelan darah.
3) Klasifikasi :
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
a) Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian
anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari
bagian depan konkha inferior.Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada
tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan
trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan.
b) Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada
pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
(Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.
4) Etiologi
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan
kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas.

20
Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan
trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta
granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis.
5) Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang datang dengan
epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan
dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah.
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan
kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada
kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa
protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.
Penatalaksanaan epistaksis tergantung pada lokasi tempat perdarahan. Spekulum nasal
atau head-light dapat digunakan untuk menetukan letak perdarahan di dalam rongga nasal.
Sebagian besar perdarahan hidung berasal dari bagian anterior hidung. Penanganan awal
termasuk memberikan tekanan secara langsung. Pasien duduk tegak dengan kepala
didongakkan ke arah depan untuk mencegah tertelan dan aspirasi darah dan diarahkan untuk
memencet hidung ke arah tengah septum selama 5 samapai 10 menit terus menerus. Jika
tindakan ini tidak berhasil, diperlukan tindakan tambahan. Pada perdarahan hidung anterior,
area mungkin diatasi dengan penggunaan aplikator perak nitrat dan gelfoam, atau dengan
elektrokauteri. Vasokonstriktor topikal seperti adrenalin (1 : 1000), kokain (0.5%) dan
fenilefrin mungkin diresepkan.
Jika perdarahan terjadi di bagian posterior, penyumbat kapas yang dibasahi dengan
larutan vasokonstriktor dapat dimasukkan ke dalam hidung untuk mengurangi aliran darah
dan memperbaiki pandangan pemeriksa ke dalam letak perdarahan. Atau tampon kapas
mungkin digunakan untuk mencoba menghentikan perdarahan. Suksion dapat membuang
darah berlebihan dan bekuan dari lapang inspeksi. Pencarian terhadap sumber pendarahan
harus diarahkan dari kuadran anteroinferior ke anterosuperior, kemudian posterosuperior dan
kahirnya ke area posteroinferior. Bidang tersebut diajaga agar bersih dengan menggunakan

21
suksion dan dengan menggunakan tampon kapas. Namun demikian, hanya sekitar 60% dari
total rongga hidung yang aktualnya dapat terlihat.
Jika asal dari perdarahan belum dapat diidentifikasi, hidung mungkin disumbat
dengan kasa yang dicelupkan ke dalam petrolatum, sprei anastesi topikal dan dekongestan
mungkin digunakan sebelum memasukkan sumbat kasa atau mungkin juga digunakan balon
kateter yang dikembangkan. Sumbat tersebut didiamkan selama 48 jam atau sampai 5 atau 6
hari jika diperlukan untuk mengontrol perdarahan.
 Pengkajian :
a. Status Demografi klien. Seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku
bangsa, bahasa yang dipakai sehari-hari, pekerjaan, dan pendidikan.
b. Riwayat penyakit saat ini meliputi keluhan yang dirasakan saat ini. Pada pasien dengan
epistaksis biasanya akan terjadi kesusahan bernafas, mual dan muntah karena
disebabkan tertelannya darah, kecemasan, dsb
c. Riwayat penyakit dahulu : Perlu ditanyakan apakah klien memiliki riwayat penyakit
yang bisa menyebabkan epistaksis seperti leukimia, limfoma, karsinoma nasofaring,
tumor di rongga hidung, operasi hidung, fractur hidung, dll
d. Kaji kesadaran, rembesan darah pada lubang hidung, proses bernafas, dan tanda-tanda
vital
 Pemeriksaan Fisik :
a. Apakah ada nyeri atau bengkak pada hidung
b. Pola nafas,
c. Kepatenan jalan nafas utamanya di bagian hidung,
d. Tidak terdapat perdarahan atau muntahan darah di rongga mulut
e. Kaji bunyi nafas di paru-paru dengan auskultasi
f. Inspeksi pergerakan dinding dada
 Pemeriksaan Penunjang :
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
b. Pemeriksaan radiologi hidung, sinus paranasalis, dan nasopharing.
Masalah keperawatan : bersihan jalan napas tidak efektif
outcome yang diharapkan :
1. Frekuansi pernapasan kembali normal
2. Irama pernapasan normal
3. Tidak tersedak dan tidak mengalami ansietas

22
Intervensi NIC :
1. Posisikan pasien dan kepala sesuai dengan kebutuhan
2. Monitor adanya sesak napas
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentng prosedur suction atau tubeendotrakeal
4. Kolaborasikan dengan dokter untuk memilih dengan cara yang tepat suction atau
tubeendotrakeal
Masalah keperawatan : Ansietas
Defenisi : Rasa tidak nyaman atau khawatir yang samar disertai respon otonom
(sumber seringkali tidak spesifik tau tidak diketahui oleh individu) perasaan takut yang
disebabkan oleh antisipasi terhada bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang
memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak
menghadapi ancaman.
Batasan karakteristik :
1. Tampak waspada
2. Gelisah
3. Ketakutan
Outcome yang diharapkan :
1. Pasien sudah data beristirahat dengan tenang
2. Perasaan gelisah menghilang
3. Tidak berwajah tegang
4. Tidak kesulitan dalam berkonsentrasi
Intervensi nic :
1. Pertahankan sikap yang tenang dan hati –hati
2. Kurangi stimuli yang menciptakan persaan takut maupun cemas
3. Yakinkan keselamatan dan keamanan klaen
4. Identifikasih orang-orang terdekat klaen yang bisa membantu klaen.
Masalah keperawatnan : risiko pendarahan
Definisi : rentan mengalami penurunan volume , yang dapat menganggu kesehatan
Batasan karakteristik:
1. Kurang pengetahuan tentang kewaspadaan perdarahan
2. Koagulopati inhere
outcome yang diharapkan :
1. Tidak adanya kehilangan darah yang terlihat
2. Tidak terjadi penurunan tekanan darah sistolik dan diastolic

23
3. Tidak terjadi hemoptysis
4. Tidak terjadi hematemesis
Nic :
1. Monitor tanda-tan da vital
2. Monitor jumlah darah yang keluar dan Monitor jumlah darah yang teraspirasi
3. Minta pasien mengurangi aktivitas jika diperlukan
4. Ajarkan pasien atau keluarga tentang tanda- tanda perdarahan dan tindakan
yang harus dilakukan jika perdarahan berlanjut
Masalah keperawatan : nyeri akut
Definisi : pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau potensial atau yang di gambarkan sebagai kerusakan (
international association for the study of pain ): awitan yang tiba-tiba atau lambat dengan
intensitas ringan hingga berat, dengan berakhirnya dapat diantisipasi atau diprediksi dengan
durasi kurang dari 3 bulan.
Batasan karakteristik:
1. perubahan selera makan
2. Diaphoresis
3. Ekspresi wajah nyeri
outcome yang diharapkan :
1. Ekspresi wajah tidak menunjukan rasa nyeri
2. Bisa beristirahat dengan tenang
Intervensi Nic:
1. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesit yang
diresepkan
2. Cek adanya riwayat alergi obat
3. Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat membantu
relaksasi utnuk mengurangi sensasi nyeri.

e. Fraktur Nasal
1) Defenisi
Fraktur nasal adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma yang ditandai
dengan patahnya tulang hidung baik sederhana maupun kominunitiva. Fraktur nasal dapat
ditemukan dan berhubungan dengan fraktur tulang wajah yang lain. Oleh karena itu fraktur
nasal sering tidak terdiagnosa dan tidak mendapat penanganan karena pada beberapa pasien

24
sering tidak menunjukkan gejala klinis. Jenis fraktur nasal tergantung pada arah pukulan yang
mengenai hidung. Fraktur laterla biasanya merupakan fraktur nasal tertutup yang mencapai
tulang frontalis dan maksillaris.
2) Etiologi
Penyebab dari fraktur tulang hidung berkaitan dengan trauma langsung pada hidung
atau muka. Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Penyebab fraktur tulang
hidung yang paling sering yaitu dapat berupa cedera saat olahraga, akibat perkelahian,
kecelakaan lau lintas, terjatuh, masalah kelahiran, maupun iatrogenik.
Ada beberapa hal yang menyebabkan fraktur tulang hidung dapat terjadi yaitu:
1) Struktur tulang hidung dan tulang rawan rentan untuk fraktur karena posisi yang lebih
menonjol dan letaknya di pusat wajah.
2) Struktur ini cukup rapuh terhadap tahanan langsung ke wajah
3) Kemudahan tulang hidung untuk rusak dapat membantu melindungi integritas dari
leher, mata dan otak, oleh karena itu hidung bertindak sebagai mekanisme
perlindungan.
4) Fraktur hidung terjadi dalam salah satu dari dua pola utam-dari lateral atau dari depan.
Pada trauma lateral, hidung bergesar menjauhi garis tengah pada sisi yang cedera, di
trauma depan, tulang hidung terdorong dan terentang sehingga hidung atas (bridge)
tampak meluas, namun ketinggian hidung menjadi curam (deformitas saddle nose).
Pada dua kasus tersebut, septum biasanya fraktur dan mengalami pergeseran.
5) Tulang hidung terdiri dari dua bagian, bagian superior yang tebal dan bagian inferior
yang tipis. Linea interkantus membatasi dua bagian ini. Fraktur biasanya muncul di
bawah garis ini.

25
PATHWAY FRAKTUR NASAL

kondisi patologis, Trauma Facial


osteoporosis, neoplasma
Langsung/tidak langsung

Absorbsi calcium

Rentan fraktur Fraktur nasal perdarahan

Bersihan jalan nafas


inefektif
Deprasi saraf nyeri reposisi

Port de entre kuman

Gangguan Deficit
rasa nyaman : pengetahuan
Resti infeksi
nyeri fiksasi

cemas

Pemasangan
tampon pada
hidung

nyeri
Pola nafas tidak efektif Perubahan
persepsi sensori ;
penciuman
Nafsu makan

Gangguan
pemenuhan nutrisi :
kurang dari
kebutuhan

26
Asuhan keperawatan fraktur nasal
1. Pengkajian
a) biodata
dapat berupa nama, umur, jenis kelamin, alamat, kepercayaan, status pendidikan, dan
pekerjaan klien.
b) Keluhan Utama atau riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama pada klien fraktur nasal adalah kesulitan bernapas saat insiprasi
maupun ekspirasi, nyeri pada hidung, dan terjadi pembengkakan.
c) Riwayat penyakit yang lalu
 Tanyakan apakah klien pernah mendapat serangan seperti dipukul atau ditinju.
 Tanyakan apakah klien pernah mengalami kecelakaan lalu lintas.
d) Pemeriksaan Fisik
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan fisik : apakah ada nyeri atau
pembengkakan pada hidung, perubahan warna lokal pada kulit, pola napas saat inspirasi
maupun ekspirasi, dan bersihan jalan napas terutama pada hidung.
e) Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Rongent
2) Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior lateral.
3) CT Scan tulang, fomogram MRI : Untuk melihat dengan jelas daerah yang
mengalami kerusakan.
2. Diagnosa keperawatan pada pasien yang terkena fraktur nasal
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Definisi : ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas
 Batasan karakteristik :
o Perubahan pola napas
o Perubahan frekuensi napas
o Penurunan bunyi napas
 Hasil NOC : Status pernafasan : frekuensi pernafasan, irama pernafasan, kepatenan jalan
nafas, penggunaan otot bantu nafas
 Intervensi NIC :
a. Manajemen jalan nafas : pencegahan aspirasi
b. Stabilisasi dan membuka jalan nafas

27
c. Terapi oksigen
d. Monitor pernafasan : bantuan ventilasi
3) Manifestasi Klinis
Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum nasal karena adanya pergeseran
septum dan fraktur septum. Pada jenis fraktur nasal kominunitiva, proceccus frontalis os
maksilla dan lamina prependikularis os ethmoidalis dan vomer biasanya mengalami fraktur.
Pada pemeriksaan di dapatkan pembengkakan, epistaksis, nyeri tekan, Deformitas atau
perpindahan ke satu sisi, edema periorbital dan ekimosis, ketidakstabilan jembatan hidung,
crepitus dan teraba garis fraktur.
4) Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi fraktur tulang hidung antara lain :
1) Klasifikasi Stranc dan Robertson
Stranc dan Robertson mengatakan bahwa gaya lateral menyebabkan mayoritas fraktur
tulang hidung. Mereka juga menyimpulkan bahwa pasien yang lebih muda cenderung meiliki
fraktur dislokasi melibatkan segmen besar sementara pasien yang lebih tua cenderung
memiliki fraktur tulang kominutif. Klasifikasi ini didasarkan pada pemeriksaan klinis dari
hidung dan wajah, tanpa memperhatikan gambaran radiologi.
 Tipe I : Fraktur tipe ini tidak memanjang hingga kebelakang garis imajiner yang ditarik
dari ujung bawah tulang hidung ke tulang hidung anterior. Dalam jenis cedera beban
serangan ditanggung oleh bagian tulang rawan lebih rendah dari rongga hidung dan
ujung dari tulang hidung.
 Tipe II : Jenis cedera ini melibatkan hidung bagian luar, septum hidung dan spina
anterior hidung. Pasien tipe ini memiliki deviasi yang melibatkan bagian dorsum
hidung termasuk splaying tulang hidung.
 Tipe III : Cedera ini melibatkan orbita dan struktur intrakranial
2) Klasifikasi Modifikasi Murray
Kriteria modifikasi Murray menggambarkan klasifikasi fraktur nasal berdasarkan
kriteria penemuan klinis.
Tipe Deskripsi
Tipe I Perlukaan terbatas pada jaringan lunak
Tipe Iia Fraktur tanpa pergeseran sederhana, unilateral
Tipe Iib Fraktur tanpa pergeseran sederhana, bilateral
Tipe III Fraktur sederhana, bergeser

28
Tipe IV Fraktur kominutif tertutup
Tipe V Fraktur kominutif terbuka atau dengan
komplikasi

5) Penatalaksanaan
Untuk pemeriksaan eksternal dalam kasus fraktur hidung, ada bukti trauma pada
wajah pertengahan. Seringkali deformitas pada hidung memberikan petunjuk terbesar. Tanda-
tanda lainnya termasuk edema, ekimosis, epistaksis, dan cerebrospinal fluid (CSF)
rhinorrhea. Epistaksis menunjukkan adanya gangguan mukosa, hal ini meningkatkan
kecurigaan terhadap adanya fraktur hidung, termasuk kemungkinan fraktur septum hidung.
Edema akut dapat menyembunyikan fraktur hidung, sehingga pencarian yang seksama
untuk cedera intranasal harus dilakukan. Pencahayaan yang cukup harus tersedia, dan pasien
harus ditempatkan dalam posisi berbaring. Perdarahan dapat dikontrol dengan kapas topikal
yang direndam dalam vasokonstriktor yang juga berefek anastesi seperti fenilefrin 0.25%.
Pembekuan darah harus dihapus dengan suction atau swabbing. Setiap deformitas atau
hematoma septum harus dicari, namun deviasi septum tidak secara otomatis menentukan
fraktur. Perdarahan akibat fraktur hidung dapat dikendalikan dengan nasal packing.
Dalam kasus dengan jumlah yang signifikan perdarahan atau di mana pasien mungkin
memerlukan intervensi operasi, tes darah berikut harus diperoleh :
a. Sel darah merah lengkap (CBC) Untuk memeriksa hemoglobin dan platelet
b. Pemeriksaan koagulasi (PT/APTT)
c. Golongan darah, apabila dibutuhkan transfusi darah.
Pemeriksaan radiologi juga dibutuhkan pada fraktur nasal tanpa komplikasi. Adapun
pemeriksaan radiologi yang dapat dijalani yaitu X-Ray posisi Water, X-Ray posisi lateral,
dan CT Scan kepala.

f. Obtruksi Laring
1) Definisi
Obstruksi laring adalah adanya penyumbatan pada ruang sempit pita suara yang
berupa pembengkakan membran mukosa laring, dapat menutup jalan dengan rapat mengarah
pada astiksia. (Arif Mansjoer, dkk, 1999)
Obstruksi laring dapat bersifat total ataupun parsial. Obstruksi total di laring akan
menimbulkan keadaan gawat, dan apabila tidak ditatalaksana dalam 4 menit akan

29
menyebabkan kematian akibat asfiksia. Obstruksi parsial di laring dapat menyebabkan gejala
suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai sesak, odinofagia, mengi, sianosis,
hemoptisis dan rasa subjektif benda asing.
Obstruksi laring dapat disebabkan oleh berbagai penyebab antara lain radang akut,
dan radang kronis, benda asing, trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri
dengan senjata tajam, trauma akibat tindakan medis, tumor laring, dan kelumpuhan
nervusrekuren bilateral.
2) Etiologi
Obstruksi laring disebabkan oleh :
1. Kelainan congenital Laringomalasia
Kondisi ini lebih merupakan keadaan laring neonatus yang terlalu lunak dan kendur
jika dibandingakan normalnya. Saat bayi menarik nafas, laring yang lunak akan saling
menempel, mempersempit aditus dan timbul stridor.
2. Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan atau
pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma
sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun
menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini
terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi.
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi
yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume tinggi
tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakeapada tipe trauma ini, namun trauma
intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi.
Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau
trauma intubasi.
Saat ini tersedia cuff plastic bertekanan rendah untuk tuba trakeostomi. Cuff ini
dirancang untuk memelihara tekanan pada trakea agar tetap di bawah 25cmHO sehingga
mengurangi insiden stenosis akibat cuff trakea. Tekanan cuff harus dipantau sedikitnya 8 jam
dengan menempelkan diameter tekanan genggam pada pilot balon sedang atau melakukan
teknik penggunaan volume kebocoran minimal atau volume oklusi minimal. Secara umum
dapat dikatakan bahwa intubasi endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya
sebaiknya dilakukan trakeostomi.

30
Pathway obstruksi laring
a.
Kelainan congenital Trauma intubasi Infeksi pada laring Tumor laring
Laringomalasia b.

Penyempitan saluran Sumbatan jalan nafas Kesulitan menelan


nafas

Pola napas tidak Ketidakefektifan Pemenuhan nutrisi


efektif Bersihan jalan nafas kurang dari kebutuhan
tubuh

3) Penyakit infeksi pada laring


a) Laryngitis akut
Pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan pada orang dewasa tidak
secepat pada anak. Penyebabnya adalah bakteri yang menyebabkan radang lokal dan virus
yang menyebabkan radang sistemik. Gejala dan tanda-tandanya berupa demam, malaise,
suara parau sampai afoni, nyeri menelan atau berbicara, batuk kering yang lama kelamaan
disertai dahak kental dan gejala sumbatan laring.
b) Laringitis kronik
Dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau
bronkitis kronis, dan penyalah gunaan suara (ocal abuse), sinusitis, reflux, dan polusi
lingkungan. Gejalanya adalah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok
sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang menebal.
c) Croup
Infeksi menular melalui inhalasi, masuk melalui hidung dan nasofaring. Infeksi
menyebar dan akhirnya melibatkan laring dan trakea. Meskipun saluran pernafasan lebih
rendah, mungkin akan terpengaruh. Peradangan dan edema pada laring dan trakea subglotik,
khususnya yang dekat dengan tulang rawan krikoid, yang paling klinis signifikan. Virus Para
influenzae mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat penyerapan natrium melintasi
epitel trakea, berkontribusi terhadap edema jalan napas. Ini adalah bagian paling sempit dari
saluran napas anak. Dengan demikian, pembengkakan dapat secara signifikan mengurangi
diameter, membatasi aliran udara. Ini menyebabkan aliran udara turbulen dan stridor, retraksi
dada, dan batuk. kerusakan endotel dan hilangnya fungsi silia terjadi.

31
Eksudat fibrin memenuhi sebagian lumen trakea. Selain itu terdapat penurunan
mobilitas dari pita suara karena edema. Pada penyakit yang berat, eksudat fibrinous dan
pseudo membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas yang lebih besar. Hipoksemia
dapat terjadi karena penyempitan lumen yang progresif, ventilasi alveolar yang terganggu dan
ketidak seimbangan ventilasi-perfusi.
Gejalanya yaitu stridor inspirasi atau bifase, demam subfebril, batuk (terutamapada
malam hari), suara serak.
d) Tumor laring
Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring, adenoma, kondroma, mioblastoma
sel granuler, hemangioma, lipoma, dan neurofibrom . Tumor ganas laring diantaranya tumor
supraglotik, tumor glotik, tumor subglotik, dan tumor ganas transglotik.
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh para ahli
bahwa perokok, peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan risiko tinggi
terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologik menggambarkan beberapa hal yang
diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat ialah rokok, alkohol, dan
terpajan oleh sinar radioaktif.
4) Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda sumbatan laring secara umum ialah :
a) Suara serak (disfonia) sampai afoni
b) Sesak nafas (dispnea)
c) Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
d) Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal
e) Gelisah karena pasien haus udara (air hunger ).
f) Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
5) Penatalaksanaan
Prinsip Penatalaksanaan adanya benda asing disaluran napas adalah dengan segera
mengeluarkan benda asing tersebut. Bila sumbatan total berlangsung lebih dari lima menit
pada orang dewasa atau delapan menit pada anak, maka akan terjadi kerusakan pada jaringan
otak dan jantung berhenti. Oleh karena itu, diperlukan ketepatan dalam menegakkan
diagnosis dan kecepatan dalam melakukan tindakan pertolongan. Bila peristiwa ini terjadi
dimana tidak terdapat peralatan laringoskopi langsung, maka dapat dilakukan:

32
a. Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver)
mekanisme perasat Heimlich adalah dengan memberikan tekanan pada paru-paru.
Pada Perasat Heimlich lakukanlah tekanan kedalam dan keatas rongga perut sehingga
menyebabkan diafragma terdorong keatas. Tenaga dorongan ini akan mendesak udara dalam
paru keluar. Perasat Heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan juga pada anak.
b. Krikotirotomi

Krikotirotomi adalah tindakan ‘life saving’ untuk mengatasi sumbatan jalan napas
dilaring. Hal tersebut dilakukan dengan cara membuka membrane krikotiroid secara cepat.
Penderita dibaringkan telentang dengan leher ekstensi. Kartilago tiroid diraba, dibuat sayatan
kulit tepat dibawahnya. Jaringan dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah. Setelah
tepi bawah kartilago tiroid terlihat tusukan pisau dengan arah kebawah untuk menghindari
tersayatnya pita suara. Masukkan corong atau pipa plastik sebagai ganti kanul.
c. Laringoskopi
Laringoskopi merupakan cara terbaik untuk mengeluarkan benda yang tersangkut
dilaring. Oleh karena itu benda asing tersebut langsung dapat dikeluarkan dengan bantuan
cunam. Untuk tindakan ini penderita dirujuk kerumah sakit.
6) Asuhan Keperawatan
Pada klien dengan penyakit obstruksi laring, perawat harus mengobservasi untuk mengakaji tanda
dan gejala dari obstruksi jalan nafas tersebut, antara lain melakukan pemeriksaan fisik berupa inspeksi,
palpasi, dan auskultasi.
Benda asing yang teraspirasi dan tersangkut di laring dapat menyebabkan sumbatan total atau parsial
pada saluran pernafasan. Jenis sumbatan ini bergantung dari ukuran, bentuk, dan posisi benda asing pada rima
glotis. Kadang-kadang sentuhan benda asing pada pita suara bisa menyebabkan spasme laring, sehingga
benda asing tersebut terjepit di antara kedua pita suara.

33
Asuhan keperawatan yang dapat di lakukan pada penyakit obstruksi laring adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian
a) biodata
dapat berupa nama, umur, jenis kelamin, alamat, kepercayaan, status pendidikan, dan
pekerjaan klien.
b) Keluhan Utama atau riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama pada klien ca. Laring meliputi nyeri tenggorok. sulit menelan,sulit
bernapas,suara serak,hemoptisis dan batuk ,penurunan berat badan, nyeri tenggorok, lemah.
Biasanya suara serak adalah hal yang akan Nampak pada pasien dengan kanker pada
daerah glottis, pasien mungkin mengeluhkan nyeri dan rasa terbakar pada tenggorokan, suatu
gumpalan mungkin teraba di belakang leher. Gejala lanjut meiputi disfagia, dispnoe,
penurunan berat badan.
c) Riwayat Penyakit yang lalu
 Tanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi kronis
 Tanyakan pola hidup klien (merokok, minum alkohol)
d) Pemeriksaan Fisik
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan fisik :
1) Sistem pencernaan
Gejala : Adanya Kesulitan menelan.
Tanda : Kesulitan menelan, mudah tersedak, sakit menelan, sakit tenggorok yang
menetap.Bengkak, luka. Inflamasi atau drainase oral, kebersihan gigi buruk.
Pembengkakan lidah dan gangguan reflek.
2) Neurosensori
Gejala : Diplopia (penglihatan ganda), ketulian.
Tanda : Hemiparesis wajah (keterlibatan parotid dan submandibular). Parau
menetap atau kehilangan suara (gejala dominan dan dini kanker laring intrinsik).
Kesulitan menelan. Kerusakan membran mukosa.
3) Sistem Pernapasan
Adanya benjolan di leher, Asimetri leher, Nyeri tekan pada leher, Adanya
pembesaran kelenjar limfe, dipsnoe, sakit tenggorokan, suara tidak ada
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Laringoskop : Untuk menilai lokasi tumor, penyebaran tumor.
b) Foto thoraks : Untuk menilai keadaan paru, ada atau tidaknya proses spesifik
dan metastasis di paru.

34
c) CT-Scan : Memperlihatkan keadaan tumor/penjalaran tumor pada tulang rawan
tiroid dan daerah pre-epiglotis serta metastasis kelenjar getah bening leher.
2. Diagnosa keperawatan pada pasien yang terkena obstruksi laring
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekret atau mucus yang
berlebihan.
b. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia
atau kelemahan otot untuk menelan
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Definisi : ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas
Batasan karakteristik :
 Kesulitan verbalisasi
 Sputum dalam jumlah yang berlebihan
 Sianosis
Hasil NOC :
 Status pernafasan : kepatenan jalan nafas, akumulasi sputum, sianosis
 Pencegahan aspirasi : memposisikan tubuh tetap tegak ketika makan dan minum, memilih
makanan sesuai dengan kemampuan menelan
Intervensi NIC :
a. Stabilisasi dan membuka jalan nafas
b. Manajemen jalan nafas : penghisapan lendir pada jalan nafas, penghisapan aspirasi,
fisioterapi dada, manajemen jalan nafas buatan
c. Monitor pernafasan : bantuan ventilasi
d. Kontrol infeksi
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic
Batasan karakteristik : kelemahan otot untuk menelan
Hasil NOC :
a. Status menelan : menangani sekresi mulut, kemampuan untuk membersihkan rongga mulut
b. Tingkat nyeri : menggosok area yang terkena dampak, mengerang, fokus menyempit,
ketegangan otot, frekuensi nafas.

35
Intervensi NIC :
a. Manajemen nutrisi ; terapi menelan
b. Pengaturan posisi
c. Manajemen pengobatan

36
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Proses pernapasan dapat terjadi karena adanya berbagai organ yang berperan penting
dalam proses tersebut. Adapun struktur yang membentuk sistem respirasi antara lain :
a. Cavitas Nasi/ Cavum Nasi
b. Pharynx
c. Larynx
d. Trachea
e. Bronchus
f. Pulmo

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat membantu pembaca dalam mengetahui
anatomi system respirasi dan asuahn keperawatan obstruksi atau trauma jalan napas atas,
septum deviasi, polip nasi, corpusalineum, epistaksis, fraktur hidung, obstruksi laring.
Semoga makalah ini berguna bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa. Kami menyadari
bahwa dalam makalah ini masih terdapat kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya

37
DAFTAR PUSTAKA

Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa. Jakarta : EGC.


Arif Mansjoer. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Budiman J. Bestari, & Ade Asyari. (2012). Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi
Septum Nasi. Jurnal Kesehatan Andalas, 16-18.
Doengoes, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
perencanaan Keperawatan dan masalah kolaboratif. Alih Bahasa : I Made Kanosa,
Edisi III. EGC Jakarta.
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan untuk
perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Alih bahasa : Kariasa, I.M.,
Sumarwati,N.M. Jakarta : EGC.
Munir Delfitri, dkk. “Epistaksis,” Majalah Kedokteran Nusantara Vol.39 , 247-275 (Medan,
September 2006)
LeMone Priscilla. Karen M. Burke. 2003. Medical Surgical Nursing : Critical thinking care.
California.Prentice Hall
Smelzer C. Suzanne, Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Vol.1.terj. Agung Waluyo. Jakarta: EGC
Sudart dan Burnner, (1996). Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Vol 3. EGC : Jakarta.

38

Anda mungkin juga menyukai