Anda di halaman 1dari 11

PATOMEKANISME

RESPON IMUN SPESIFIK TERHADAP MYCOBACTERIUM


TUBERCULOSIS

NAMA : KADEK HELEN YUSTIKA PRADIANTINI


NIM : 1818011015
KELAS : A

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2019
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. …… ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2
1.3 Tujuan .........................................................................................................2
1.4 Manfaat .......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Imun Spesifik……………….………………………...
2.2 Karakteristik Mycobacterium Tuberculosis .............................................. .
2.3 Respon Imun Spesifik terhadap Mycobacterium Tuberculosis ....................
2.4 Farmakologi Anti Tuberkulosis…………………………………………….
2.5 Penyebab resistensi obat Anti Tuberkulosis ..............................................
2.6 Pentingnya peran Keluarga pada pasien penderita Tuberkulosis ..............
BAB III SIMPULAN
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunitas adalah kemampuan tubuh untuk melindungi dirinya sendiri dengan
menahan atau menghilangkan benda asing (seperti bakteri dan virus) atau sel
abnormal (seperti kanker) yang berpotensi merugikan (Munasir, 2017).
Sistem imun merupakan sistem koordinasi respons biologik yang bertujuan
melindungi integritas dan identitas individu serta mencegah invasi organisme dan
zat yang berbahaya di lingkungan yang dapat merusak dirinya. Sistem imun
mempunyai sedikitnya 3 fungsi utama. Yang pertama adalah suatu fungsi yang
sangat spesifik yaitu kesanggupan untuk mengenal dan membedakan berbagai
molekul target sasaran dan juga mempunyai respons yang spesifik. Fungsi kedua
adalah kesanggupan membedakan antara antigen diri dan antigen asing. Fungsi
ketiga adalah fungsi memori yaitu kesanggupan melalui pengalaman kontak
sebelumnya dengan zat asing patogen untuk bereaksi lebih cepat dan lebih kuat
daripada kontak pertama (Munasir, 2017).
Respon imun dapat bersifat nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik
mencakup respon imun tubuh yang bereaksi segera pada pajanan terhadap agen
ancaman. Sedangkan, sistem imun menggunakan pertahanannya untuk pathogen
tertentu yang diperantarai oleh limfosit B dan T (Sherwood, 2019).
Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu contoh bakteri intraselluler
yang menyerang tubuh dan mengaktifkan respon sistem imun spesifik tubuh.
Mycobacterium tuberculosis adalah salah satu bakteri mematikan yang
menyebabkan penyakit tuberculosis pada paru-paru manusia. Penyakit
tuberculosis semakin sulit untuk diobati karena adanya resistensi bakteri
mycobacterium tuberculosis terhadap beberapa jenis OAT (obat anti
tuberculosis). Peranan kelurga sangat penting pada pasien penderita tuberculosis
paru untuk mencegah peningkatan resistensi OAT, karena menurut beberapa
penelitian peranan keluarga sangat penting untuk kepatuhan dalam meminum obat
OAT dan mencegah meningkatnya resistensi OAT pada pasien penderita
tuberculosis paru.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian sistem imun spesifik?
2. Bagaimana karakteristik Mycobacterium Tuberkulosis?
3. Bagaimana respon sistem imun spesifik terhadap Mycobacterium
Tuberculosis?
4. Apa saja jenis farmakologi anti Tuberkulosis?
5. Apa penyebab resistensi obat anti Tuberkulosis?
6. Bagaimana peran keluarga pada pasien penderita Tuberkulosis?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sistem imun spesifik.
2. Untuk mengetahui karakteristik Mycobacterium Tuberculosis.
3. Untuk mengetahui bagaimana respon imun spesifik terhadap Mycobacterium
Tuberculosis.
4. Untuk mengetahui jenis farmakologi anti Tuberkulosis.
5. Untuk mengetahui penyebab resisensi obat anti Tuberkulosis.
6. Untuk mengetahui peran keluarga pada pasien penderita Tuberkulosis.

1.4 Manfaat
1. Agar memahami pengertian sistem imun spesifik.
2. Agar memahami karakteristik dari Mycobacterium Tuberculosis.
3. Agar memahami bagaimana respon imun spesifik terhadap Mycobacterium
Tuberculosis.
4. Agar memahami jenis-jenis farmakologi anti Tuberkulosis.
5. Agar memahami penyebab dari resistensi obat anti Tuberkulosis.
6. Agar memahami bagaimana peran keluarga pada pasien penderita
Tuberkulosis.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Imun Spesifik


Sistem imun spesifik merupakan pertahanan terhadap pathogen tertentu.
Respon sistem imun spesifik diperantarai oleh limfosit B dan T. Setiap sel B dan T
dapat mengenal dan mempertahankan diri terhadap hanya satu tipe benda asing
tertentu, misalnya satu jenis bakteri. Diantara jutaan sel B dan T di tubuh, hanya yang
secara khusus dilengkapi untuk mengenal fitur molekular unik suatu agen infeksi
tertentu yang diminta bereaksi untuk mempertahankan tubuh terhadap agen ini.
Spesialisasi ini mirip dengan tentara modern yang telah dilatih secara khusus yang
dipanggil bertugas untuk melaksanakan misi yang sangat spesifik. Linfosit ynag
terpilih tersebut kemudian memperbanyak diri, meningkatkan jumlah spesialis yang
dapat melakukan serangan terarah kepada agen penginvasi tersebut (Sherwood,
2019).
Sistem imun spesifik adalah adalah alat tercanggih terhadap sebagian besar
pathogen. Ragam sel B dan T yang teraktivasi dan berekspansi terus berubah sebagai
bentuk respon terhadap berbagai pathogen yang dijumpai. Karena itu,sistem imun
spesifik beradaptasi untuk melancarkan perang terhadap pathogen-pathogen spesifik
di lingkungan masing-masing orang. Sasaran sistem imun spesifik bervariasi antar
orang, bergantung pada jenis serangan imun yang ditemui tiap-tiap orang. Selain itu,
sistem ini memperoleh kemampuan untuk secara lebih efisien memusnahkan musuh
tertentu jika kembali bertemu dengan pathogen yang sama di masa depan. Hal ini
dilakukan dengan membentuk kumpulan sel memori setelah berjumpa dengan suatu
pathogen tertentu sehingga jika pathogen tersebut kembali menyerang di masa depan,
maka sistem imun akan menghasilkan pertahanan yang lebih cepat (Sherwood, 2019).
2.2 Karakteristik Mycobacterium Tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis (Mtb), patogen bakteri paling mematikan,
semakin berbahaya karena resistensi obat dan dengan demikian menjadi fokus dalam
program pengembangan obat (Totaro, et al., 2017). Mycobacterium tuberculosis
termasuk genus Mycobacterium dari familia Mycobacteriaceae, ordo
Actinomycetales. Bersifat non-motil, aerob obligat yang tidak membentuk spora.
Dinding sel terdiri dari peptidoglikan dan mirip dengan organisme gram-positif
lainnya yang banyak mengandung polisakarida rantai cabang, protein dan lipid
(Siregar, 2015).
2.3 Respon Sistem Imun Spesifik terhadap Mycobacterium Tuberculosis
Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh
cell mediated immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit
T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang
diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon α (IFN α).
Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein
intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri
mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan.
Misalnya muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Fungsi sel limfosit T
pada CMI adalah produksi sitokin terutama IFN α. Sitokin INF α ini akan
mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang
kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi
yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah
penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan
serta fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi
kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respons imun terhadap infeksi oleh
beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi
mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara
langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium
tuberculosis akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan
proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal
dormant. Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T
yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada
lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya (Munasir, 2017).
Kekebalan terhadap TB tergantung pada beberapa faktor, termasuk sitokin, kemokin,
antibodi, makrofag, neutrofil, beberapa himpunan sel-T, dan pola spesifik migrasi sel-
T [2,3]. Inang yang terinfeksi menghasilkan respons imun tipe Th1, di mana limfosit
T antigen-spesifik mikrobakteri direkrut ke paru-paru, dan memainkan peran penting
dalam perlindungan terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis. Interferon-c (IFN-
c) dianggap sebagai korelasi penting kekebalan imunitas terhadap infeksi
mycobacterium tuberculosis dan bersama dengan sitokin lain seperti interleukin-12
(IL-12) dan tumor necrosis factor (TNF), memainkan peran penting dalam
pengembangan granuloma pelindung dan induksi aktivitas anti mikobakteri pada
makrofag. Meskipun korelasinya kurang jelas, antibodi spesifik, terutama IgA,
sekresi inmukosa telah dikaitkan dengan kekebalan perlindungan terhadap infeksi
paru (Mensah, et al., 2009).
2.4 Farmakologi Anti Tuberkulosis

2.5 Penyebab Resistensi Obat Anti Tuberkulosis


Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya, pada
pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya, kemungkinan terjadi resistensi
sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya MDR (Multiple-drug Resistance) sebesar 10
kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati (Burhan,
2010). Hasil penelitian di poliklinik MDR-TB RS Persahabatan Jakarta faktor tempat
pasien mendapat OAT (obat anti TB) mempengaruhi kejadian resistensi OAT,
didapatkan sebesar 56% mendapatkan OAT langsung di tempat praktek dokter dan
membeli sendiri obat di apotek, hal tersebut sulit di kontrol tentang jenis obat,
kombinasi obat, dosis obat serta kepastian bahwa pasien telah minum obat
(Nugrahaeni & Malik, 2013).
Faktor lain faktor penyebab kegagalan pengobatan yang meningkatkan risiko
resistensi adalah efek samping pengobatan. Semua OAT yang digunakan dalam
pengobatan pasien TB mempunyai kemungkinan untuk timbul efek samping baik
ringan, sedang maupun berat. Bila muncul efek samping pengobatan, kemungkinan
pasien akan menghentikan pengobatan secara sepihak tanpa memberitahukannya
cukup besar. Resistensi OAT secara mikrobiologi disebabkan oleh mutasi genetik dan
hal ini membuat obat tidak efektif melawan basil mutan, mutasi terjadi spontan dan
berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT. Resisten lebih dari satu OAT jarang
disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak
adekuat, dan sewaktu penggunaan OAT sebelumnya, serta individu yang telah
terinfeksi dalam jumlah besar populasi kuman Mycobacterium tuberculosis resisten
obat. Terapi TB yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan
populasi kuman resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat
menyebabkan kuman lebih resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek
penguat resistensi. Penularan kuman resisten obat pada populasi juga merupakan
sumber kasus resistensi obat baru (Nugrahaeni & Malik, 2013).
Resistansi kuman Mycobacterium tuberculosis (MTB) terhadap OAT adalah
keadaan dimana kuman tidak dapat lagi diobati dengan OAT yang efektif
mengeliminasi MTB. Jenis resisten TB diantaranya adalah: monoresisten,
poliresisten, MDR-TB, XDR-TB, dan total drug resisten. Multidrug resistant
tuberculosis (MDR TB) didefinisikan sebagai infeksi TBC yang disebabkan oleh
mikroorganisme resisten terhadap isoniazid dan rifampisin (Rahmawati et al., 2016).
Resisten terhadap Rifampisin dan Isoniazid paling banyak ditemukan, dikarenakan
kedua obat ini merupakan obat yang paling efektif untuk melawan dan mengeliminasi
Mycobacterium tuberculosis, sehingga obat tersebut sering digunakan sebagai
monoterapi (pemberian obat hanya satu jenis OAT) dan terapi singkat. Resisten
Rifampisin terjadi pada pasien TB yang mendapatkan monoterapi, dimana rendahnya
jumlah Rifampisin pada Mycobacterium tuberculosis dapat mempengaruhi
permeabilitas membran sel bakteri dan berhubungan dengan mekanisme pompa
efluks yaitu pengeluaran obat dari sel bakteri. Resistensi Isoniazid (INH) pada M.
tuberculosis disebabkan adanya mutasi gen yang berperan mengatur atau memodulasi
mekanisme efluks bakteri (Nugrahaeni & Malik, 2013).
Secara epidemiologi dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal risiko terjangkit penyakit infeksi, progresivitas penyakit,
insidensi dan kematian akibat TB, dimana pada penelitian ini, sebagian besar
penderita resistensi AOT adalah perempuan (65,4%). Perkembangan penyakit
berbeda antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan sering terlambat datang
ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki dan pada saat datang ke rumah
sakit didiagnosis menderita penyakit dengan kondisi lebih berat dibandingkan laki-
laki. Hal ini berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan pada perempuan
dibanding laki-laki, perempuan lebih sering mengalami kekhawatiran akan dikucilkan
dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya. Hambatan ekonomi dan faktor
sosial ekonomi kultural turut berperan termasuk pemahaman tentang penyakit paru.
Pada perempuan ditemukan diagnosis yang terlambat sedangkan pada laki-laki
cenderung pergi ke pelayanan kesehatan ketika mereka mengetahui pengobatan TB
gratis, sedangkan perempuan tidak (Munir, 2010).
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang menentukan keberhasilan
pengobatan MDR-TB. Penderita dengan pendidikan rendah akan sulit menerima
pengobatan MDR TB, dimana pengobatan MDR-TB memerlukan waktu yang lama
yaitu antara 18 – 24 bulan, dengan obat yang lebih toksik, lebih mahal dengan efek
sangat yang sangat besar. Penderita dengan pendidikan yang rendah, sulit mengetahui
data yang sebenarnya tentang MDR-TB, mungkin saja saat pasien dianamnesis pasien
kurang komunikatif tentang penyakitnya sehingga keterangan yang diterima dari
pasien tidak sesuai dengan kondisi atau kenyataan yang sebenarnya seperti pasien
tidak tahu tentang riwayat pernah minum OAT, apakah pernah mengalami efek
samping obat (Nugrahaeni & Malik, 2013).
Penatalaksanaan TB yang tidak adekuat sebagai penyebab terjadinya
resistensi dapat ditinjau dari sisi pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena
diagnosis tidak tepat, pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat, dosis, jenis,
jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat, dan penyuluhan kepada
pasien yang tidak adekuat. Penatalaksanaan penyakit TB dilihat dari sisi pasien, hal
ini karena penderita TB tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan, tidak
teratur menelan OAT, menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya,
dan gangguan penyerapan obat. Penatalaksanaan TB dilihat dari sisi program
penanggulangan TB, yaitu karena persediaan OAT yang kurang dan kualitas OAT
yang disediakan rendah (Nugrahaeni & Malik, 2013).
2.6 Pentingnya Peran Keluarga pada pasien penderita Tuberkulosis
BAB III SIMPULAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai