Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN HUKUM ANTARA PEMINJAM DAN PEMBERI PINJAMAN DALAM

PEER TO PEER LENDING


Abstrak
Perkembangan zaman diikuti oleh perkembangan teknologi salah satunya perkembangan dunia
digital yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan layanan maupun informasi. Bentuk
nyata dari kemudahan pelayanan yang didapatkan oleh masyarakat adalah layanan meminjam uang
berbasis teknologi atau peer to peer lending. Akan tetapi konstruksi hukum yang ada di Indonesia
belum memberikan gambaran jelas mengenai peer to peer lending. Otoritas Jasa Keuangan yang
memiliki peran sebagai pengawas sektor keuangan di Indonesia memiliki peran besar dalam
terciptanya konstruksi hukum mengenai peer to peer lending. Penelitian ini merupakan penelitian
normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyedia layanan peminjaman uang berbasis IT
atau pinjaman peer-to-peer adalah perantara di mana peminjam dan pemberi pinjaman bertemu di
pasar. Akibatnya, hubungan hukum antara para pihak dalam pinjaman pribadi berbeda dari sistem
model yang ada. Keamanan hukum sehubungan dengan pinjaman sebaya harus dipenuhi sehingga
kegiatan komersial ini tidak diklasifikasikan sebagai bank ilegal dan dapat memberikan status
hukum yang sah kepada para pihak.
Keywords: peer to peer lending; borrower; lender.
I. PENDAHULUAN
Teknologi sekarang ini sudah menjadi hal yang wajar untuk kita dengar setiap harinya.
Teknologi dapat membantu orang atau kelompok dalam bekerja secara efektif, efisien dan cepat.
Manifestasi nyata dalam pengembangan teknologi yang memfasilitasi penyediaan layanan oleh
masyarakat adalah adanya pinjaman dan layanan pinjaman berdasarkan teknologi informasi.
Melalui pinjaman yang mirip dengan yang membutuhkan kredit kecil atau mikro, mereka akan
dengan cepat mendapatkan pinjaman tanpa perlu proses untuk mengajukan kredit dari bank atau
lembaga keuangan lainnya. Selain itu, Anda dapat mengakses pinjaman ini melalui aplikasi dua
puluh empat jam tanpa henti. Ini berbeda dari fasilitas kredit atau pembiayaan bank di mana debitur
yang membutuhkan pinjaman harus pergi ke kantor bank yang diinginkan. Dalam hal agunan,
jaminan pinjaman untuk pinjaman antara pasangan tidak memerlukan jaminan, yang merupakan
pembeda penting berikutnya dengan pembiayaan di sektor perbankan yang membutuhkan
jaminan.
Saat ini lembaga keuangan di Indonesia semakin berkembang sebagai akibat dari laju
pertumbuhan perekonomian dari perkembangan zaman. Tampak dari semakin banyaknya variasi
instrument keuangan yang beredar dalam system keuangan bagik dibidang perbankan maupun
dibidang non perbankan. Perkembangan perekonomian Indonesia salah satunya bertopang pada
sektor perbankan yang ada di Indonesia sehingga keberadaan bank memiliki tujuan untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kea rah peningkatan tarah hidup rakyat banyak.1
Seiring dengan perkembangan masa di era globalisasi ini, aktivitas masyarakat tidak akan terlepas
dari bantuan teknologi. Salah satu kemajuan dalam bidang keuangan saat ini adanya adaptasi
Fintech (Financial Technology). Fintech itu sendiri berasal dari istilah Financial Technologi atau

1
Rachmadi Usman, 2012, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 291.
teknologi finansial. Menurut The National Digital Research Centre (NDRC), Fintech merupakan
suatu inovasi pada sektor finansial yang mendapat sentuhan teknologi modern.2
Perusahaan pertama di dunia yang menawarkan peer lending adalah Zopa di Inggris
ditahun 2005. Penggunaan konsep peer lending banyak diminati setelah adanya dampak krisis
finansial 2008. Namun pada tahun 2011, sebuah perusahaan bernama Quakle harus ditutup karena
tingkat kegagalan yang mencapi 100%. Akan tetapi berbeda dengan perkembangan peer to peer
lending di Amerika ada setahun setelah adanya peer to peer lending di Inggris yaitu di tahun 2006.
Ada beberapa alasan yang membuat peer to peer lending jadi industri popular dan diminati oleh
masyarakat di Amerika. Pertama, dampak krisis finansial tahun 2008 yang berakibat pada
penutupan penyaluran kredit baru dan pemberian suku bunga yang mendekati 0% bagi deposan
oleh pihak perbankan. Kedua, pembatasan yang didasarkan pada kelayakan peminjam serta
diberlakukannya standar tariff peminjam yang sangat tinggi. Ketiga, pihak investor menilai jangka
waktu peminjaman cukup lama yaitu selama sekitar 3 tahun dimana hal tersebut tidak mereka
inginkan.
Kemunculan perusahaan-perusahaan keuangan dalam bidang layanan pinjam meminjam
uang berbasis teknologi informasi atau peer to peer lending semakin mendapat perhatian public
dan regulator yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lahirnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
merupakan dasar pertama dalam layanan pinjaman peer to peer lending di Indonesia. Menurut data
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 31 Mei 2019, total jumlah penyelenggara fintech terdaftar
113 perusahaan fintech lending. 3 Platform yang berizin usaha dan terdaftar pertama kali di
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Danamas dengan nama perusahaan PT. Pasar Dana
Pinjaman yang terdaftar pada 6 Juli 2017 platform yang baru-baru ini bergabung dengan Otoritas
Jasa Keuangan yaitu Danakoo dengan nama perusahaan PT. Danakoo Mitra Artha yang terdaftar
pada 1 Februari 2019.
Peer to peer lending berbeda dari layanan pinjaman uang sesuai dengan aturan Pasal 1754
KUH Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), di mana kontrak pinjaman dan pinjaman yang
diatur oleh artikel ini memiliki hubungan hukum langsung melalui pinjaman. Pemberi pinjaman
berkewajiban untuk memberikan kepada pihak lain sejumlah aset yang telah kedaluwarsa karena
persyaratan bahwa peminjam akan mengembalikan jumlah yang sama dari jenis dan ketentuan
yang sama. Dalam kasus layanan pinjaman peer-to-peer, pemberi pinjaman tidak dapat bertemu
langsung dengan peminjam, bahkan dengan pihak-pihak yang mereka mungkin tidak tahu, karena
sistem pinjaman peer-to-peer adalah masalah lain, yaitu sama dengan Tugas yang sama untuk
menghubungkan kepentingan antara para pihak.
Dalam system perbankan, hubungan hukum antara nasabah penyimpan dana dan bank
didasarkan atas perjanjian antara nasabah penyimpan dana dan bank. Menurut Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan)
menjelaskan usaha Bank Umum meliputi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu, memberikan kredit, menerbitkan surat pengakuan hutang, membeli

2
Frianti Pandia, 2012, Manajemen Dana dan Keseharan Bank, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 199.
3
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-15-Mei-
2019.aspx diakses pada 1 Juli 2019
atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya,
memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah,
menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, menerima
pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak
ketiga, menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, melakukan kegiatan
penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak, melakukan penempatan dana
dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek,
melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat, menyediakan
pembiayaan dana tau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan melakukan kegiatan lain yang lazim
dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Perusahaan yang mengelola platform pinjaman peer-to-peer bukanlah bank, sedangkan
pinjaman dengan system P2P Lending mirip dengan bisnis perbankan komersial. Oleh karena itu,
hubungan hukum antara pemberi pinjaman dan perusahaan pemberi pinjaman adalah tentu saja,
berbeda dengan hubungan hukum antara deposan dan bank. Atas dasar unsur-unsur yang
disebutkan di atas, pembangunan hubungan hukum antara pihak-pihak dalam pinjaman peer-to-
peer adalah topik hangat yang akan dibahas berdasarkan pembangunan hubungan hukum yang
dengan jelas akan memperjelas situasi hukum masing-masing pihak serta hak dan kebebasan.
kewajiban masing-masing pihak dalam pinjaman antar individu. Atas dasar masalah ini, beberapa
elemen dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) Bagaimana perlindungan hukum antara pemberi
pinjaman dalam pinjaman peer-to-peer dari Fintech? 2) Bagaimana peran Otoritas Jasa Keuangan
dalam melindungi para pihak terhadap pinjaman antar rumah yang diberikan oleh Fintech?

II. METODE PENELITIAN


Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah yuridis normative dan dipaparkan
secara deskriptif analitis. Tahap penelitian terdiri dari penelitian kepustakaan terhadap bahan-
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier serta penelitian lapangan kepada pihak dan instansi
terkait yang digunakan untuk mengumpulkan data terkait. Data yang didapat dari hasil penelitian
tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode analisis yuridis kualitatif dan dipaparkan
secara deskriptif. Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari berbagai peraturan perundang-
undangan, literatur, jurnal, serta bahan-bahan pendukung lain seperti makalah.
 Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hokum yang mengikat terdiri dari :
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan;
2. Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

 Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya dengan bahan hokum primer
dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hokum primer terdiri atas:
1. Buku – buku mengenai hukum Perbankan, dan Buku Tentang Metodologi serta
Penulisan Karya Ilmiah;
2. Makalah dan Artikel, meliputi makalah tentang Perbankan, Perjanjian dan Transaksi
Financial Techonology;
3. Tulisan Ilmiah (Jurnal) yang berkaitan dengan Perbankan, Perjanjian dan Transaksi
Financial Techonology ;
4. Internet;
5. Bahan rujukan lainnya.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis
kualitatif. Metode analisis data kualitatif yaitu suatu metode analisis data yang dilakukan dengan
cara mengelompokan dan memilih data dari hasil penelitian yang relevan dan sesuai dengan tujuan
penelitian. Dari pengelompokan dan pemilihan tersebut kemudian data dicocokan dengan
permasalahan yang diteliti menurut kualitas kebenarannya sehingga dapat digunakan untuk
memberikan jawaban atas permasalahan penelitian.

III. TINJAUAN PUSTAKA


Peer to peer lending adalah salah satu produk financial technology yang mempertemukan
pemilik dana atau lender atau yang biasa disebut investor dengan peminjam dana atau kreditur
borrower atau bisa juga disebut peminjam dengan melalui sistem elektronik atau teknologi
informasi. Peer to peer lending membuat platform online untuk menyediakan fasilitas disebut
dengan istilah penyelenggara (platform) bagi pemilik dana yang akan disebut pemberi pinjaman
(lender) untuk memberikan pinjaman secara langsung kepada peminjam dengan biaya yang lebih
tinggi. Kemudian peminjam dapat mengajukan kredit secara langsung kepada pemilik dana
(lender) melalui penyelenggara atau wadah (platform) secara online dengan syarat yang relative
lebih mudah dan proses lebih cepat.
Sejak peluncuran pertama yang diluncurkan pada tahun 2005 di Inggris, peer to peer
lending telah menjadi pasar global dengan banyak model bisnis dan tingkat pertumbuhan masa
depan yang tinggi. Pinjaman pasar pada umumnya mengacu pada praktik meminjamkan uang
kepada peminjam tanpa melalui perantara keuangan tradisional seperti bank. Financial
techonology sistem peer to peer lending memiliki tujuan untuk memberikan solusi dimana bank
tidak dapat melakukannya.4 Perkembangan financial techonology di Indonesia semakin tinggi
peminatnya. Peer to peer lending merupakan salah satu permata alternative investasi di Indonesia.
Di Indonesia, peer to peer lending mulai ada sejak tahun 2015 yang saat itu beberapa perusahaan
peer to peer lending mencoba peluang tersebut dan membuka pasar di Indonesia yang ternyata
mendapat sambutan baik. Peer to peer lending menjanjikan solusi bagi orang yang memerlukan
pinjaman dan orang yang mencari alternative investasi. Peminjam mendapatkan pinjaman
terjangkau dengan proses mudah dan cepat, sedangkan pemberi pinjaman mendapatkan
pengembalian berbasis Bungan karena telah mendanai pinjaman. Dalam rangka mendukung
Strategi Nasional Keuangan Inklusi (SNKI), penyelenggara fintech peer to peer lending
diharapkan dapat membuka jaringan atau akses dana pinjaman dari luar negeri maupun daerah-
daerah di dalam negeri.

4
Alfhica Rezita Sari, 2018, Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Dalam Penyelenggaraan Financial
Techonology Berbasis Peer to Peer Lending di Indonesia, Jurnal Skripsi, Fakultas Hukum UII, hlm. 38.
Mekanisme peer to peer lending dilihat dari segi peminjam (borrower) yang harus
dipenuhi atau syarat utama melakukan perjanjian peer to peer lending adalah iktikad baik dalam
melakukan perjanjian dan tentu saja cakap dalam melakukan perbuatan hukum seperti yang tertera
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat-syarat yang perlu dilakukan oleh penerima pinjaman saat
akan bertransaksi dalam platform peer to peer lending adalah mengunggah semua dokumen yang
dibutuhkan untuk mengajukan pinjaman secara online yaitu dokumen berisi laporan keuangan
dalam jangka waktu tertentu dan tujuan pinjaman tersebut. Permohonan tersebut bisa saja diterima
maupun ditolak. Berdasarkan Pengelolaan Data dan Informasi dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi
Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Data dan Informasi pribadi pengguna yang dibutuhkan untuk mendaftar permohonan
tersebut dibagi menjadi 2 (dua) yaitu data perseorangan dan korporasi. Jika permintaan peminjam
diterima, suku bunga pinjaman akan diterapkan dan aplikasi pinjaman penerima pinjaman akan
dimasukkan dalam pasar yang tersedia sehingga semua pemberi pinjaman dapat melihat aplikasi
penerima pinjaman. Setelah menerima dana yang diinginkan, peminjam harus membayar sesuai
dengan ketentuan pembayaran dan pada saat pembayaran. Sebagai pemberi pinjaman menurut
peraturan Otoritas Pengawas Keuangan Swedia No. 77 / POJK.01 / 2016 tentang layanan pinjaman
dan peminjaman berbasis teknologi informasi, dinyatakan bahwa kondisi bagi investor yang ingin
mengakhiri perjanjian pinjaman peer-to-peer tidak terdaftar, tetapi platform berbeda yang
menyediakan layanan untuk pembiayaan pinjaman peer-to-peer. Memiliki potensi untuk
menghadirkan dirinya sebagai investor (pemberi pinjaman).
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menjelaskan bahwa munculnya jenis layanan
peminjaman uang online dengan pijakan yang sama berasal dari rendahnya penetrasi kartu kredit
di Indonesia. Sehingga layanan pinjaman dapat dibandingkan dengan kebutuhan pembiayaan di
Indonesia dan membuka akses bagi mereka yang tidak terpukul tetapi solven. Pencapaian adalah
kewajiban yang lahir dari komitmen baik oleh hukum atau perjanjian. Berdasarkan Pasal 1234,
KUHP menyatakan bahwa komitmen tersebut dimaksudkan untuk memberikan sesuatu,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Namun, kebalikan dari kinerja adalah standar,
yang berarti bahwa debitur menyatakan Kelalaian dengan tindakan atau tindakan yang sama atau
berdasarkan kekuatan dalam perjanjian mereka sendiri, yaitu, jika perjanjian itu berarti bahwa
debitur dianggap lalai ketika waktu yang ditentukan berlalu. Wanprestasi adalah salah satu risiko
yang dapat timbul saat menggunakan platform fintech peer to peer lending dan salah satu
contohnya adalah nilai default. Kegagalan yang disebabkan oleh debitur sendiri disebabkan oleh
kurangnya peraturan yang mengatur fintech untuk menyediakan jaminan hukum. Untuk
menghindari kesalahan yang disebabkan oleh debitur, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyediakan
fasilitas melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) bagi operator fintech untuk mencari
tahu tentang sejarah kreditor mereka. dan tidak akan mencakup kemungkinan ketidakpatuhan
karena penyelenggara dapat menjadi masalah besar.5
Sesuai dengan Pasal 1 Ayat 28 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, amandemen
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Rahasia Bank adalah semua aspek yang
terkait dengan informasi tentang penabung dan simpanan. Menurut Undang-Undang Bank, bank
harus menjaga kerahasiaan deposan dan simpanannya. Tetapi kewajiban untuk merahasiakannya

5
Neni Sri Imaniyati, 2010, Pengantar Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Reika Aditama, hlm. 2.
bukan tanpa pengecualian. Dalam hal ini, pengecualiannya adalah dalam hal bunga pajak,
penyelesaian utang bank diajukan kepada komite utang dan lelang / utang pemerintah (UPLN /
PUPN). Teknologi keuangan telah mengatur kerahasiaan klien, terutama dalam Pasal 26, paragraf
a Peraturan No 77 / POJK.01 / 2016, oleh Otoritas Jasa Keuangan (POJK) sehubungan dengan
layanan pinjaman dan penyewaan uang dalam teknologi informasi yang menjaga kerahasiaan,
integritas dan ketersediaan data pribadi. data transaksi dan data keuangan yang ditangani sejak saat
data diterima hingga data dihancurkan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77 / POJK.01 / 2016 tentang Peminjaman
Uang dan Layanan Pinjaman Berbasis Teknologi Informasi telah disetujui untuk penggunaan dan
perlindungan data pengguna pribadi transaksi yang meminjam uang secara online. Data pribadi
tidak boleh diteruskan ke pihak ketiga kecuali mereka telah menerima informasi dari pemilik data
pribadi. Dalam UU No. 11 tahun 2008, yang memverifikasi informasi dan di mana Transaction
Electronics menyarankan setiap peminjam potensial yang memulihkan platform aplikasi untuk
meminjam uang secara online, beberapa masalah persetujuan akan diposting untuk memungkinkan
akses ke informasi pribadi. Jika calon peminjam setuju bahwa hal tersebut sesuai dengan
perubahan yang dibuat pada UU No. 11 tahun 2008 oleh UU No. 19 tahun 2016, informasi yang
berkaitan dengan transaksi elektronik selain koordinasi Fintech dapat digunakan secara resmi.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Perlindungan Hukum Antara Pemberi Pinjaman Dalam Fintech Peer to Peer Lending
Era globalisasi tidak bisa lepas dari teknologi, termasuk dalam hal finansial. Berbagai cara
baru diciptakan guna membantu dalam kemudahan masyarakat mendapatkan kepastian dalam hal
finansial. Ketidakmampuan dalam memenuhi keinginan karena ada masalah dalam finansial
menjadi suatu hal yang sulit bagi masyarakat. Kesulitan tersebut bagi masyarakat menimbulkan
peluang baru dalam sektor keuangan dengan cara pinjam-meminjam uang atau kredit dari berbagai
sumber yang sudah ada selama ini. Lembaga yang menyediakan produk pinjaman berasal dari
bank atau lembaga pembiayaan lain seperti Bank Umum, BPR, Pegadaian dan sebagainya.
Alternative tersebut memang membantu masyarakat, akan tetapi tidak sedikit juga yang tidak
menggunakan opsi tersebut karena ada berbagai pertimbangan seperti bunga terlalu besar maupun
proses yang berbelit dan syarat yang sulit dipenuhi. Seiring berkembanganya waktu tingkat
kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi menimbulkan suatu alternative baru yaitu layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau peer to peer lending. Kemunculan peer
to peer lending ini memudahkan masyarakat dalam menyelesaikan masalah finansial yang ada di
masyarakat.
Semenjak 29 Desember 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengeluarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi. Keluarnya POJK Fintech ini menjawab peranan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sebagai regulator untuk memberikan paying hukum terhadap maraknya
perkembangan fintech karena belum adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai
pennyelenggaraan fintech di Indonesia. Undang-Undang Perbankan merupakan undang-undang
lembaga keuangan bagi sektor bank, sedangkan perbankan dan financial technology merupakan
suatu penyelenggara kredit yang berbeda satu sama lain. Dalam Pasal 7 POJK Fintech
menyebutkan bahwa penyelenggara wajib melakukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK,
dengan demikian penyelenggara fintech peer to peer lending harus terdaftar dan mendapatkan izin
sebagai penyelenggara fintech peer to peer lending oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelum
mengoperasikan usahanya.
Banyaknya penyelenggara fintech peer to peer lending yang belum terdaftar maupun
berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan menimbulkan permasalahan hukum baru yang
harus dihadapi. Apabila penyelenggara fintech peer to peer lending tidak melakukan pendaftaran
dan perizinan di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan Pasal 7 POJK Fintech yaitu:
1. OJK tidak akan mengawasi penyelenggara yang tidak terdaftar dan jika ada kerugian
terhadap konsumen maka itu berada diluar tanggung jawab OJK;
2. Jika ada penyelenggara fintech peer to peer lending yang tidak terdaftar dan berizin dari
OJK maka kegiatan operasinya akan diberhentikan oleh OJK;
3. OJK akan memberikan surat rekomendasi kepada Kementrian Komunikasi dan
Informatikan untuk menghapus aplikasi atau layanan penyelenggara fintech peer to peer
lending pada media social maupun elektronik.
Peer to peer merupakan pola kerjasama satu pihak dengan pihak yang lain. Peer to peer lending
melibatkan pemberi pinjaman yang memberikan uang secara langsung kepada peminjam tanpa
proses dan struktur lembaga tradisional.
Seiring dengan berkembangnya teknologi, kegiatan peminjaman turut berkembang secara
online dalam bentuk platform melalui suatu wadah atau marketplace.

Peer to peer lending merupakan gambaran pasar online dimana pemberi pinjaman yang juga
disebut sebagai lender dapat meminjamkan kepada individu atau usaha kecil (borrower).6 Dalam
hal ini para peminjam bisa mendapatkan pendanaan dari banyak individu. Berdasarkan hubungan
bisnis yang terbentuk melalui layanan fintech, memiliki bentuk yang berbeda tergantung pada sifat
subjek yang memanfaatkannya. Terdapat empat klasifikasi, yaitu:7
1. P2P – person to person service, contoh pada layanan peer to peer lending berbasis online
dimana seseorang dapat meminjamkan kepada seseorang yang membutuhkan dana di suatu
perusahaan penyedia platform peer to peer lending;
2. B2P – business to person, contoh layanan ATM pada perbankan. Nasabah dapat dengan
sangat mudah mengakses ATM, menarik uang, dan melakukan berbagai transaksi
keuangan secara konsisten menghemat waktu dan sumber daya;
3. P2B – person to business, contohnya pada layanan berbasis crowdfunding dimana
seseorang sebagai sumber dana dapat berinvestasi di suatu perusahaan;

6
Alexandra Mateescu, 2015, Peer to Peer Lending, New York: Data & Society Research Institute, hlm. 2.
7
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi
4. B2B – business to business services yang merupakan hubungan yang mengacu ada
transasksi ekonomi antara dua atau lebih perusahaan.
Prinsip dasar dalam perlindungan pengguna layanan pinjaman Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi adalah milik penyelenggara harus melaksanakan prinsip-prinsip dasar
transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, dan resolusi
perselisihan pengguna cepat, sederhana, dan terjangkau. Penyelenggara berkewajiban untuk
memberikan informasi terbaru yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan. Jika ada
penerimaan, penundaan, atau penolakan terhadap aplikasi layanan pinjaman Informasi Uang
Berbasis Teknologi Pinjam yang wajib dimiliki penyelenggara menyampaikan informasi itu
kepada pengguna.
Perlindungan hukum menururt Philipus M. Hadjon dibagi menjadi 2 preventif dan represif,
sehingga perlindungan hukum bagi pengguna layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi dalam praktek di Indonesia yaitu:
1. Perlindungan hukum preventif
Perlindungan hukum preventif merupakan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengajukan suatu keberatan atas pendapat mereka sendiri atau secara berkelompok sebelum ada
suatu keputusan pemerintah yang mendapat bentuk definitif. Tujuan dari perlindungan hukum ini
untuk mencegah terjadinya sengketa yang besar dengan adanya upaya preventif ini dapat
mendorong pemerintah agar lebih berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan yang mendesak.
Perlindungan hukum preventif ini merupakan perlindungan yang memiliki sifat yaitu pencegahan
dimana sebelum seseorang itu atau kelompok melakukan suatu kegiatan atau tindakan yang
bersifat negative atau melakukan suatu kejahatan yang diniatkan di dalamnya sehingga akan dapat
menghindarkan atau meniadakan kejadian perbuat yang konkrit.8
Dalam perlindungan hukum ini pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
pemerintah menerbitkan beberapa peraturan terkait P2P Lending yaitu POJK LPMUBTI, SEOJK
Tata Kelola LPMUBTI, dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi terdapat poin-poin perlindungan
yang meliputi mitigasi risiko, tata kelola system teknologi informasi penyelenggaraan layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, edukasi dan perlindungan pengguna layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, prinsip dan teknis pengenalan nasabah,
larangan dalam penyelenggaran layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dan
laporan berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Mitigasi risiko adalah suatu tindakan terencana dan berkelanjutan yang dilakukan oleh
pemilik risiko agar bisa mengurangi dampak dari suatu kejadian yang berpotensi atau telah
merugikan atau membahayakan. Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
menyatakan bahwa Penyelenggara dan Pengguna peer to peer lending harus melakukan mitigasi
risiko. Dalam mitigasi risiko yang ada dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

8
Jadzil Baihaqi, “Financial Techonology Peer-To-Peer Lending Berbasis Syariah di Indonesia”, Journal of Sharia
Economic Law: Volume 1, Nomor 2, September 2018, hlm. 119.
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
mengenai pertanggung jawaban maupun perlindungan hukum bagi pemberi modal tidak ada dan
juga tindakan berencana jika penerima pinjaman melakukan gagal bayar di tengah-tengah
perjanjian.9
Penyelenggara wajib menyediakan rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatannya di
dalam Sistem Elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Rekam
jejak audit ini memiliki fungsi untuk keperluan pengawasan, penyelesaian sengketa, verifikasi,
penegakan hukum, pengujian dan pemeriksaan lainnya. Sistem ini harus mencakup prosedur,
system pencegahan, dan penanggulangan terhadap adanya ancaman dan serangan yang telah
menimbulkan gangguan, kegagalan, dan kerugian bagi pengguna. Penyelenggara harus dapat
menjalankan prosedur dan sarana untuk pengamanan layanan P2P Lending untuk menghindari
suatu kegagalan, gangguan dan juga kerugian bagi para pihak khususnya pengguna layanan P2P
Lending.10
Berbagai penyelenggara P2P Lending yang telah terdaftar di OJK mengharuskan
penyelenggara berpotensi tidak bertanggung jawab atas kerugian apa pun yang terjadi jika terjadi
kesalahan baik kesalahan yang terjadi akibat gagalnya teknologi informasi maupun gagal bayar
oleh penerima pinjaman hal ini termuat dalam Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, jika
kesalahan dan/atau kelalaian dari Direksi dan/atau dari Pegawai Penyelenggara. Berarti jika gagal
bayar atau tidak dibayarkannya uang kredit yang diperjanjikan oleh penerima pinjaman, maka
tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak pemberi pinjaman atau investor. Penyelenggara tidak
mau bertanggung jawab atas gagal bayar yang dilakukan oleh penerima pinjaman atau peminjam.
Pemberi pinjaman harus diberikan jalan keluar atas penyelesaian jika terjadi gagal bayar yang
dilakukan oleh peminjam.
Penyelenggara yang menyatukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dapat juga
sebagai penyedia layanan P2P Lending disebut organizer sistem elektronik. Memahami
Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap orang, penyelenggara negara, entitas bisnis, dan
komunitas yang menyediakan, mengelola, dan / atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik
secara individu maupun bersama-sama dengan pengguna Sistem elektronik untuk kebutuhan pihak
lain. Berbagai langkah telah diambil untuk memudahkan pengguna layanan teratas untuk layanan
pembiayaan P2P Lending yang mendasar adalah adanya akuntabilitas baik dari direktur pelaksana
dan penyelenggara yang harus memenuhi berbagai fasilitas meminimalkan risiko yang akan terjadi
pada teknologi informasi yang digunakan karena transaksi elektronik ini. Direksi mengawasi risiko
Teknologi Informasi dan juga memastikan bahwa fungsi Teknologi Informasi mampu untuk
mendukung strategi dan sasaran bisnis dalam transaksi elektronik. Direktur juga bertanggung
jawab atas perlindungan dan tanggung jawab data dan informasi bertanggung jawab untuk
menerapkan manajemen risiko Teknologi Informasi agar aman, andal, berkelanjutan, dan stabil.
Prinsip layanan P2P Lending setidaknya termasuk:
 Keterbukaan,

9
Nurul Widyaningsih, “Analisi Mitigasi Resiko Financial Technology Peer To Peer Lending Dalam Penyaluran
Kredit Terhadap UMKM di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya: Volume 6 Nomor 2
2018, hlm. 8.
10
Ibid. hlm. 12.
 akurat,
 obyektif,
 dipercaya,
 ketersediaan,
 mudah dimengerti,
 integritas, dan
 kompetensi.
Dalam peraturan otoritas layanan Perlindungan finansial dari sektor jasa keuangan
konsumen ini sebenarnya belum menetapkan aturan tentang fintech di dalamnya. Tapi itu bisa
Layanan Pinjaman P2P didefinisikan menjadi produk lembaga keuangan. Dalam pasal 1 angka 15
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan dalam bentuk Pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
seperti itu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang institusi pembiayaan." Aturan-
aturan ini menunjukkan bahwa perlindungan harus dilakukan sehingga tidak ada kerugian di sektor
jasa keuangan adalah perannya penyelenggara pinjaman P2P penting yang perlu menggunakan
templat langkah risiko dan produk disesuaikan dengan pengguna. Ingat layanan pinjaman
pinjaman didasarkan pada teknologi informasi menggunakan media Internet sebagai penghubung,
juga dokumen dan bukti segalanya digunakan adalah bukti elektronik dan bukan bukti tertulis
otentik dengan tinta basah yang biasa digunakan. Dokumen elektronik, Sertifikat elektronik dan
tanda tangan elektronik adalah kunci untuk perjanjian ini.
2. Perlindungan Hukum Represif
Fungsi dari perlindungan hukum represif untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa
kemudian hari agar dapat menjalankan perlindungan hukum yang represif untuk kepentingan
masyarakat Indonesia, terdapat berbagai badan hukum yang secara parsial mengurus
permasalahan-permasalahan yang timbul. Badan yang berwenang selanjutnya dikelompokkan
menjadi 2 bagian, yaitu :
 Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum
 Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi
Sanksi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dalam Pasal 47 ayat (1)
atas pelanggaran kewajiban dan larangan peraturan OJK yaitu mengenakan sanksi administratif
terhadap penyelenggara berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, dan
pencabutan izin.
B. Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Melindungi Pihak-Pihak Yang Ada Dalam
Fintech Peer to Peer Lending
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang merupakan pengawas lembaga keuangan seperti bank,
perusahaan asuransi atau lembaga keuangan lainnya. Meningkatnya teknologi keuangan di
Indonesia berisiko merusak kepercayaan warga terhadap sistem keuangan dan stabilitas ekonomi.
Harus dipastikan bahwa pengguna FinTech mendapatkan perlindungan konsumen yang tepat,
yaitu untuk memberikan informasi lengkap tentang fitur-fitur produk dan layanan yang digunakan,
mengenai keuntungan, risiko, biaya, dan keamanan data. Dalam konteks ini, otoritas keuangan
harus memperkuat peran mereka dalam pengawasan teknologi keuangan, memberikan perhatian
khusus pada faktor-faktor kunci seperti aspek keamanan, perlindungan konsumen, layanan dan
pengurangan risiko, khususnya risiko yang terkait dengan teknologi informasi dan kejahatan
komputer.
Maka dari itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus meninjau praktik pengawasan teknologi
keuangan dengan cara yang berbeda dari yang lain yang telah mengembangkan dan menerapkan
regulasi dan perlindungan konsumen yang ditandatangani oleh FinTech, kedua teknologi tersebut
diterapkan dari jasa keuangan di bawah pengawasan pihak berwenang untuk mendapatkan izin.
Penyanyi dianggap penting karena pengembangan teknologi keuangan adalah bagian dari Strategi
PETA Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan.
Perlindungan hak-hak konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan dalam pendidikan perlindungan
dan diperkenalkan ke masyarakat konsumen. Dengan kemajuan teknologi keuangan di Indonesia,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membentuk tim pengembangan inovasi ekonomi dan
keuangan digital (PIDEK) yang mempelajari dan mempelajari perkembangan teknologi keuangan,
mengembangkan peraturan dan mengembangkan strategi pengembangannya.11
Meningkatnya permintaan untuk pendaftaran dan perizinan perusahaan teknologi
keuangan baru, kebutuhan untuk pengawasan teknologi keuangan dan pertumbuhan pertumbuhan
teknologi keuangan di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan bahwa
pengembangan diperlukan. Organisasi internal di dalam OJK yang mengelola teknologi keuangan.
Dengan demikian, OJK telah menciptakan dua unit kerja baru yang terkait dengan teknologi
keuangan, yaitu Kelompok Inovasi dalam Keuangan Digital dan Keuangan Mikro dan Manajemen
Peraturan Fintech, Perizinan dan Pengawasan. Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk Forum
Penasihat Teknologi Finansial sebagai forum untuk pengembangan manajemen industri teknologi
keuangan, yang akan memfasilitasi dan memastikan koordinasi antar lembaga, kementerian dan
pihak. terkait dengan bisnis baru yang konstruktif.12
Tugas-tugas Forum Pakar Fintech meliputi:
 Sebelum membahas masalah yang terkait dengan pengembangan fintech dan arah
pengembangan industri fintech;
 Memfasilitasi koordinasi antara lembaga dan kementerian, serta pemangku kepentingan
lainnya, untuk memastikan bahwa potensi teknologi keuangan dapat dioptimalkan dalam
lingkungan bisnisnya yang kompleks. dan

11
Redaksi Otoritas Jasa Keuangan, 2017, Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan : Perlindungan
Konsumen Pada Fintech, Jakarta: Departemen Perlindungan Konsumen OJK, hlm. 48.
12
Candrika Radita, “Tanggung Gugat Penyelenggara Peer to Peer Lending Jika Penerima Pinjaman Melakukan
Wanprestasi”, Jurist-Diction, Volume 1 Nomor 2 November 2018, hlm. 467.
 Pastikan partisipasi dan komunikasi secara koheren dan konstruktif antara kementerian /
lembaga terkait dan pihak terkait lainnya dengan perusahaan baru FinTech.
Dalam menjalankan fungsi pengaturannya, Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan
peraturan teknologi keuangan berikut:
 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
POJK nomor 77 / POJK.01 / 2016 tentang pinjaman dan layanan pinjaman berdasarkan
teknologi informasi adalah langkah pertama, yang kemudian memiliki regulasi turunan yang
serupa, Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 18 / SEPJK.02 / 2017. Terbitnya POJK P2P Lending
adalah karena fakta bahwa OJK mengakui urgensi ketentuan yang mengatur pinjaman dan
pinjaman Fintech. Persyaratan wajib untuk kegiatan peminjaman P2P fintech dalam POJK ini
adalah sebagai berikut:

 kejelasan orang hukum, properti dan bentuk modal;

 Menyerahkan pendaftaran dan lisensi ke OJK;

 Ketersediaan sumber daya manusia dengan pengalaman atau sejarah komputer;

 dokumen elektronik;

 Ada akses ke informasi untuk pemberi pinjaman, pemberi pinjaman dan peminjam;

 Pusat data dan rencana pemulihan bencana di Indonesia memenuhi standar minimum,
manajemen risiko dan praktik TI, serta ketahanan terhadap gangguan dan kegagalan
sistem, dan manajemen sistem TI;

 Menjaga kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data
keuangan saat data diperoleh hingga data dihancurkan.

 sistem keamanan yang mencakup prosedur, sistem pencegahan, dan penanggulangan


terhadap serangan yang menyebabkan gangguan, gangguan dan kerugian;

 Manajer menerapkan prinsip-prinsip dasar perlindungan pengguna di sektor jasa


keuangan;

 Kontrak dibuat menggunakan tanda tangan digital.


Setelah pendaftaran, penyelenggara harus secara berkala menyampaikan laporan setiap tiga
bulan kepada OJK. Karena itu, selambat-lambatnya satu tahun setelah pendaftaran, penyelenggara
wajib membuat otorisasi. Jika penyelenggara tidak memberikan lisensi kepada OJK untuk jangka
waktu yang telah ditentukan, surat pendaftarannya dianggap batal dan tidak dapat mengirimkan
aplikasi pendaftaran ke OJK.

Jika bank komersial ingin menggunakan teknologi informasi sebagai sarana untuk
memasarkan dan menjual produknya, selain berkonsultasi dengan peraturan tentang kegiatan
komersial bank komersial dan organisasi RBB, bank komersial juga harus merujuk POJK Nomor
38 / POJK.03 / 2016 tentang manajemen risiko yang terkait dengan penggunaan teknologi
informasi oleh bank umum. Terkait dengan aspek perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan,
OJK menerapkan peraturan lain, termasuk:
 POJK Nomor 1 / POJK.07 / 2013 tentang perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan
 POJK Nomor 77 / POJK.01 / 2016 tentang Pinjaman Teknologi Informasi dan Layanan
Pinjaman berdasarkan SEOJK Nomor 18 / SEOJK.02 / 2017 tentang Manajemen
Teknologi Informasi dan Teknologi Informasi. manajemen risiko dalam meminjamkan dan
meminjamkan layanan uang berdasarkan teknologi informasi.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Perlindungan hukum antara pemberi pinjaman dalam fintech peer to peer lending Dalam Pasal
7 POJK Fintech menyebutkan bahwa penyelenggara wajib melakukan pendaftaran dan
perizinan kepada OJK, dengan demikian penyelenggara fintech peer to peer lending harus
terdaftar dan mendapatkan izin sebagai penyelenggara fintech peer to peer lending oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelum mengoperasikan usahanya. Penyelenggara fintech
peer to peer lending tidak melakukan pendaftaran dan perizinan di Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sesuai dengan Pasal 7 POJK Fintech. Perlindungan hukum menururt Philipus M.
Hadjon dibagi menjadi 2 preventif dan represif, sehingga perlindungan hukum bagi pengguna
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dalam praktek di Indonesia OJK
tidak akan mengawasi penyelenggara yang tidak terdaftar dan jika ada kerugian terhadap
konsumen maka itu berada diluar tanggung jawab OJK, jika ada penyelenggara fintech peer
to peer lending yang tidak terdaftar dan berizin dari OJK maka kegiatan operasinya akan
diberhentikan oleh OJK, dan OJK akan memberikan surat rekomendasi kepada Kementrian
Komunikasi dan Informatikan untuk menghapus aplikasi atau layanan penyelenggara fintech
peer to peer lending pada media social maupun elektronik.
2. Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam melindungi pihak-pihak yang ada dalam fintech peer to
peer lending Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang merupakan pengawas lembaga keuangan
seperti bank, perusahaan asuransi atau lembaga keuangan lainnya. Dalam konteks ini, otoritas
keuangan harus memperkuat peran mereka dalam pengawasan teknologi keuangan,
memberikan perhatian khusus pada faktor-faktor kunci seperti aspek keamanan, perlindungan
konsumen, layanan dan pengurangan risiko, khususnya risiko. terkait dengan teknologi
informasi dan kejahatan komputer.Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan peraturan
teknologi keuangan seperti POJK nomor 77 / POJK.01 / 2016 tentang pinjaman dan layanan
pinjaman Jika bank komersial ingin menggunakan teknologi informasi sebagai sarana untuk
memasarkan dan menjual produknya, selain berkonsultasi dengan peraturan tentang kegiatan
komersial bank komersial dan organisasi RBB, bank komersial juga harus merujuk POJK
Nomor 38 / POJK.03 / 2016 tentang manajemen risiko yang terkait dengan penggunaan
teknologi informasi oleh bank umum. Terkait dengan aspek perlindungan konsumen di sektor
jasa keuangan, OJK menerapkan peraturan lain yaitu POJK Nomor 1 / POJK.07 / 2013 tentang
perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan dan POJK Nomor 77 / POJK.01 / 2016
tentang Pinjaman Teknologi Informasi dan Layanan Pinjaman berdasarkan SEOJK Nomor 18
/ SEOJK.02 / 2017 tentang Manajemen Teknologi Informasi dan Teknologi Informasi.
manajemen risiko dalam meminjamkan dan meminjamkan layanan uang berdasarkan
teknologi informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Imaniyati, Neni Sri. Pengantar Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Reika Aditama, 2010.
Mateescu, Alexandra. Peer to Peer Lending, New York: Data & Society Research Institute, 2015.
Pandia, Frianti. Manajemen Dana dan Keseharan Bank, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Usman, Rachmadi. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Jurnal dan Majalah

Baihaqi, Jadzil. Financial Techonology Peer-To-Peer Lending Berbasis Syariah di Indonesia.


Journal of Sharia Economic Law: Volume 1, Nomor 2, September 2018.
OJK, Redaksi. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan : Perlindungan Konsumen
Pada Fintech, Jakarta: Departemen Perlindungan Konsumen OJK, 2017.
Radita, Candrika. Tanggung Gugat Penyelenggara Peer to Peer Lending Jika Penerima Pinjaman
Melakukan Wanprestasi. Jurist-Diction, Volume 1 Nomor 2 November 2018.

Sari, Alfhica Rezita. Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Dalam Penyelenggaraan
Financial Techonology Berbasis Peer to Peer Lending di Indonesia, Jurnal Skripsi, Fakultas
Hukum UII, 2018.
Widyaningsih, Nurul. Analisi Mitigasi Resiko Financial Technology Peer To Peer Lending Dalam
Penyaluran Kredit Terhadap UMKM di Indonesia.. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB
Universitas Brawijaya: Volume 6 Nomor 2, 2018.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan;

Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi;

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Sumber Lainnya
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-
di-OJK-per-15-Mei-2019.aspx diakses pada 1 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai