Anda di halaman 1dari 5

Nama: rizky juliansyah

Kelas: KPI 1 D

Nim: 1194020165

ULUMUL QURAN SEJARAH DAN PERKEMBANGAN NYA


Ulumul Qur'an pada masa Nabi dan Sahabat

Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya sangat mengetahui makna-makna Al-Qur'an dan ilmu-
ilmunya, sebagaimana pengetahuan para ulama sesudahnya. Hal itu disebabkan karena Rasulullah yang
menerima wahyu dari sisi Allah SWT, juga mendapatkan rahmat-Nya yang berupa jaminan dari Allah
bahwa kalian pasti bisa mengumpulkan wahyu itu ke dalam dada beliau.

Setiap Rasulullah selesai menerima wahyu ayat Al-Qur'an, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para
sahabatnya. Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al-Qur'an kepada mereka dengan sabda,
perbuatan, dan persetujuan beliau serta dengan akhlak-akhlak dan sifat beliau. Para sahabat dahulu tidak /
belum membutuhkan pembukuan Ulumul Qur'an itu adalah karena hal-hal sebagai berikut:

a) Mereka terdiri dari orang-orang Arab murni yang mempunyai beberapa keistimewaan, antara lain:

- Mempunyai daya hafalan yang kuat

- Mempunyai otak cerdas

- Mempunyai daya tangkap yang sangat tajam

- Mempunyai kemampuan bahasa yang luas terhadap segala macam bentuk ungkapan, baik prosa, puisi,
maupun sajak.

b) Kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang yang Ummi, tetapi cerdas.


c) Ketika mereka mengalami kesulitan, langsung bertanya kepada Rasulullah SAW.
d) Waktu dulu belum ada alat-alat tulis yang memadai.

b. Perintis Dasar Ulumul Qur'an dan pembukuannya

a) Perintis Dasar Ulumul Qur'an

Setelah periode pertama berlalu, datanglah masa pemerintahan kahlifah Utsman bin Affan. Negara-negara
Islam pun telah berkembang luas. Orang-orang Arab murni telah bercampur baur dengan orang-orang
asing yang tidak kenal bahasa Arab. Percampuran bangsa dan akulturasi kebudayaan ini menimbulkan
kekhawatiran-kekhawatiran. Karena itu, Kholifah Utsman bin Affan memerintahkan

Kaum muslimin agar seluruh ayat-ayat Al-Qur'an yang telah dikumpulkan pada masa Kholifah Abu Bakar
itu dikumpulkan lagi dalam satu mushhaf, kemudian di kenal dengan nama Mushhaf Utsman. Dengan
usahanya itu, berarti Kholifah Utsman bin Affan telah meletakkan dasar pertama, yang kita namakan Ilmu
Rasmil Qur'an atau Rasmil Utsmani.

b) Pembukuan Tafsir Al-Qur'an

Setelah dirintis dasar-dasar Ulumul Qur'an, kemudian datanglah masa pembukuan / penulisan cabang-
cabang Ulumul Qur'an. Cita-cita yang pertama kali mereka laksanakan ialah pembukuan Tafsir Al-Qur'an.
Sebab, tafsir Al-Qur'an dianggap sebagai induk dari ilmu-ilmu Al-Qur'an yang lain.
II. PERKEMBANGAN ULUMUL QUR’AN

Ulumul Qur’an itu sendiri bermula dari Rasulullah SAW, tetapi saat itu Rasulullah S.A.W tidak
mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dia selain Qur’an, karena ia khawatir Qur’an akan tercampur
dengan yang lain. “ Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudri, bahwa rasulullah S.A.W berkata :

“Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa yang menuliskan

dari aku selain Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa

yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa

yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya

di api neraka.”

Sekalipun sesudah itu, Rasulullah S.A.W baru mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadist,
tetapi hal yang berhubungan dengan Qur’an, para sahabat menulis tetap didasarkan pada riwayat yang
melalui petunjuk di zaman Rasulullah S.A.W., dimasa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar r.a.

Kemudian datang masa kekhalifahan Usman r.a dan keadaan menghendaki untuk menyatukan kaum
muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf imam. Salinan
salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaftersebut
dinamakan Rasmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman.r.a. Dan ini dianggap sebagai permulaan
dari ‘Ilmu Rasmil Qur’an.

Kemudian datang masa kekhalifahan Ali r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan
kaidah kaidah Nahwu, cara pengucapan yang tepat, baku, dan memberikan ketentuan harakat pada
Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ‘Ilmu I’rabil Qur’an.

Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur’an dan
penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan
tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid
mereka, yaitu para tabi’in.

Diantara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibn
Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al- Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.

Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin
Ka’b. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Qur’an yang sempurna.
Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samara dan
penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang
mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan
ijtihad dalam menafsirkan ayat.

Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal ialah Sa’id bin jubair, Mujahid, ‘Ikrimah bekas
sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Ataa’ bin Abi Rabaah.

Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Ka’b di medinah, Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah
dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi.

Dari murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad
bin Yazid, ‘Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.

Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mengenai Ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk
Mekkah, karena mereka sahabat Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Ataa’ bin Abi Rabaah, ‘Ikrimah maula Ibn
Abbas dan sahabat sahabat Ibn Abbas lainnya. Begitu juga penduduk Kufah dari sahabat Ibn Mas’ud; dan
mereka itu mempunyai kelebihan dari ahli tafsir yang lain. Ulama penduduk Medinah dalam ilmu tafsir
diantaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb.

Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu Tafsir, ilmu Gariibil Qur’an, ilmu
Asbaabun Nuzuul, ilmu Makki Wal Madani, dan ilmu Nasikh dan Mansukh. Tetapi semua itu
tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.

Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan (tadwiin)yang dimulai dengan pembukuan hadist dengan
segala babnya yang bermacam-macam; dan itu juga menyangkut hal berhubungan dengan tafsir. Maka
sebagian ulama membukukan tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dari para sahabat atau
dari para tabi’in.

Diantara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117H), Syu’bah bin Hajjaj
(wafat 160H), Waki’ bin Jarraah (wafat 197H), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198), dan ‘Abdurrazzaq bin
hammam (wafat 112H). Mereka semua adalah para ahli hadist. Sedang tafsir yang mereka susun
merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita.

Kemudian langkah mereka diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih
sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at-Tabari
(wafat 310H). Demikianlah tafsir pada mulanya dinukilkan (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut
ke mulut) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadist; selanjutnya ditulis secara
bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at-tafsir bil ma’sur (berdasarkan riwayat),
lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (berdasarkan penalaran).

Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan
tertentu yang berhubungan dengan Qur’an, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.

Pada abad ketiga hijri, ada :


§ Ali bin al-Madani (wafat 234H), guru Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbaabun nuzuul.

§ Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224H), menulis tentang Nasikh-Mansukh dan Qira’aat.

§ Ibn Qutaibah (wafat 276H), menyusun tentang problematika Qur’an / Musykilatul Qur’an.

§ Pada abad keempat hijri, ada :

§ Muhammad bin khalaf bin Marzaban (wafat 309H), menyusun al-Haawii faa ‘Uluumil Qur’an.

§ Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 351H), juga menulis tentang ilmu-ilmu Qur’an.

§ Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330H), menyusun Ghariibil Qur’an.

§ Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388H), menyusun al-Istignaa’fi ‘Uluumil Qur’an.

§ Kemudian kegiatan karang mengarang dalam hal ilmu ilmu Qur’an tetap berlangsung sesudah itu,
seperti :

§ Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403H), menyusun I’jazul Qur’an.

§ Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-Hufi (wafat 430H), menulis mengenai I’raabul Qur’an.

§ Al-Mawardi (wafat 450H), menyusun tentang tamsil-tamsil dalam Qur’an (Amsaalul Qur’an).

§ Al-‘Izz bin ‘Abdus Salam (wafat 660H), menyusun tentang majaz dalam Qur’an.

§ ‘Alamuddin as-Sakhawi (wafat 634H), menulis mengenai ilmu Qira’at (cara membaca Qur’an)
dan Aqsaaul Qur’an.

Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan
ilmu-ilmu Qur’an.

Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai ilmu-ilmu Qur’an,
semuanya atau sebagian besarnya dalam satu karangan, maka Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Aziim az-
Zarqaani menyebutkan didalam kitabnya Manaahilul ‘Irfan fi ‘Uluumil Qur’anbahwa ia telah
menemukan didalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang
terkenal dengan al-Hufi, judulnya al-Burhaan fi ‘uluumil Qur’an yang terdiri atas tiga puluh jilid.

Pengarang membicarakan ayat-ayat Qur’an menurut tertib mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Qur’an
yang dikandung ayat itu secara tersendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum
disebut dengan al-Qaul fii Qaulihi ‘Azza wa jalla (pendapat mengenai firman Allah ‘Azza wa jalla).
Kemudian dibawah judul ini dicantumkan :

- al-Qaul fil I’rab (pendapat mengenai morfologi)

- al-Qaul fil ma’naa wat Tafsir (pendapat mengenai makna dan tafsirnya)

- al-Qaul fil waqfi wat tamaam ( pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak)

Sedangkan Qira’at diletakkan dalam judul tersendiri pula, yang disebut al-Qaul fil Qira’at (pendapat
mengenai qira’at). Dan kadang ia berbicara tentang hukum-hukum dalam Qur’an.
Dengan metode seperti ini, al-Hufi (wafat 330H) dianggap sebagai orang pertama yang membukukan
‘Ulumul Qur’an/ ilmu-ilmu Qur’an. Meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti yang disebut
diatas.

Kemudian karang mengarang tentang ilmu-ilmu Qur’an terus berlanjut, seperti ada :

- Ibnul jauzi (wafat 597H), dengan menulis sebuah kitab berjudul Funuunul Afnaan fi ‘Aja’ibi
‘Uluumil Qur’an.

- Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794H), menulis sebuah kitab lengkap dengan judul al-Burhaan fi
‘Uluumil Qur’an.

- Jalaluddin al-Balqini (wafat 824H), memberikan tambahan atas kitab al-Burhan didalam
kitabnya Mawaqi’ul ‘Uluum min Mawaaqi’in Nujuum.

- Jalaluddin as-Suyuti (wafat 911H), menyusun kitab yang terkenal al-Itqaan fi Uluumil Qur’an.

Kepustakaan ilmu-ilmu Qur’an pada masa kebangkitan modern tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-
ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran islam telah mengambil
langkah yang positif dalam membahas kandungan Qur’an dengan metode baru pula, seperti :

- Kitab I’jaazul Qur’an, yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi’i.

- Kitab at-Taswiirul Fanni fil Qur’an dan Masyaahidul Qiyaamah fil Qur’an, oleh Sayid
Qutb.

- Kitab Tarjamatul Qur’an, oleh Muhammad Mustafa al-Maragi.

- Kitab Mas’alatu Tarjamatil Qur’an, oleh Mustafa Sabri.

- Kitab an-Naba’ul ‘Aziim, oleh Dr. Muhammad ‘Abdullah Daraz.

- Kitab Mukaddimah tafsir Mahaasinut Ta’wil, oleh Jamaluddin al-Qasimi.

- Kitab at-Tibyaan fi ‘uluumil Qur’an, oleh Syaikh Tahir al-Jaza’iri.

- Kitab Manhajul Furqaan fi ‘Uluumil Qur’an, oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Salamah.

- Kitab Manaahilul ‘irfan fi ‘Uluumil Qur’an, oleh Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqani.

- Kitab Muzakkiraat ‘Uluumil Qur’an, oleh Syaikh Ahmad ‘Ali.

Dan akhirnya muncul Kitab Mabaahisu fi ‘Uluumil Qur’an oleh Dr. Subhi as-Salih. Juga diikuti oleh
Ustadz Ahmad Muhammad Jaml yang menulis beberapa studi sekitar masalah “Maa’idah” dalam Qur’an.

Pembahasan-pembahasan tersebut diatas dikenal dengan sebutan ‘ULUUMUL QUR’AN, dan kata ini
telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.1

1
Makalah disampaikan pada Seminar Mata Kuliah Ulumul Quran pada hari Selasa,
tanggal 17 Februari 2009, dengan dosen pengampu Prof. DR. H. Nurwadjah
Ahmad EQ., M.A.

Anda mungkin juga menyukai