Anda di halaman 1dari 8

I.

PENDAHULUAN
Pada era reformasi muncul gumpalan aspirasi dan gugatan kuat agar pemilu sebagai
sarana paling nyata bagi pelaksanaan demokrasi harus diselenggarakan secara benar-benar
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada pemilu tahun 1999 kita boleh bergembira
karena berhasil menyelenggarakan secara ralatif fair dan bersih, terutama jika dibandingkan
dengan pemilu era Orde Baru. Meskipun harus diakui pada tingkat Panitia Pemilihan Indonesia
yang diisi dengan orang-orang parpol itu terjadi kekisruhan dalam penetapan hasil pemilu,
tetapi akal sehat publik (public commen sense) menyatakan bahwa pemilu tahun 1999 adalah
pemilu yang terbaik setelah pemilu yang pertama tahun 1955. Tetapi problem atau ancaman
bagi penyelenggaraan pemilu yang membaik itu muncul lagi sejak pemilu legislatif tahun 2004,
lalu menguat lagi pada pemilu tahun 2009, terutama terkait dengan isu politik uang (money
politic) dan gejala menguatnya oligarki di kalangan partai politik. Problem yang tidak kondusif,
bahkan mengacam demokrasi, ini bisa dilihat dari berbagai kasus yang dimuat secara telanjang
di berbagai media massa dan menjadi kasus sengketa hasil pemilu dan pemilu kepala daerah di
Mahkamah Konstitusi. Selain itu, permasalahan lain yang seringkali terjadi dalam Pemilu baik
pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu kepala daerah adalah terkait
dengan daftar pemilih yang tidak akurat (daftar pemilih tetap), manipulasi dalam perhitungan
suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara, netralisasi institusi penyelenggara, dan berbagai
permasalahan lainnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu.
Pemilihan Umum merupakan syarat minimal penyelenggaraan sistem demokrasi, di
mana para pembuat keputusan kolektif tertinggi dalam sistem itu dipilih melalui mekanisme
yang jujur, adil, dan berkala. Oleh karena itu, dalam perkembangan sejarah negara-negara
modern, pemilu dianggap sebagai tonggak bagi tegaknya sistem demokrasi. Mengaitkan
pemilu dengan demokrasi sebenarnya dapat dilihat dalam hubungan dan rumusan yang
sederhana sehingga ada yang mengatakan bahwa pemilu merupakan salah satu bentuk dan cara
yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi. Jika demokrasi diartikan sebagai
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka cara rakyat untuk menentukan pemerintahan
itu dilakukan melalui pemilu. Hal ini menjadi niscaya karena di zaman modern ini tidak ada
lagi demokrasi langsung atau demokrasi yang dilakukan sendiri oleh seluruh rakyat seperti
pada zaman polis-polis di Yunani kuno kira-kira 2.500 tahun yang lalu. Di dalam demokrasi
modern, pemilu selalu dikaitkan dengan konsep demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak
langsung (indect democracy), yang berarti keikutsertaan rakyat di dalam pemerintahan
dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih sendiri oleh rakyat secara langsung, bebas,
sehingga hasil pemilu haruslah mencerminkan konfigurasi aliran-aliran dan aspirasi politik
yang hidup di tengah-tengah rakyat. Konsep dan pemahaman yang seperti itu pulalah yang
mendasari penyelenggaraan pemilu sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terdapat beberapa alasan mengapa Pemilu menjadi penting bagi sebuah negara
demokrasi. Pertama, melalui Pemilu dapat dibangun basis dan konsep demokrasi. Tanpa
Pemilu, tanpa persaingan yang terbuka di antara kekuatan sosial dan kelompok politik, maka
tidak ada demokrasi. Kedua, Pemilu melegitimasi sistem politik. Ketiga, mengabsahkan
kepemimpinan politik. Keempat, pemilu sebagai unsur pokok partisipasi politik di negara-
negara demokrasi. Oleh karena itu, dinamika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
merupakan manifestasi dan perwujudan hak-hak politik dan demokrasi rakyat untuk
menentukan jalannya pemerintahan dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam UUD
1945. Selain itu, pemilihan kepala daerah juga dimaksudkan untuk mengukur tingkat dukungan
dan kepercayaan masyarakat terhadap seorang pemimpin.
Pemilihan umum atau pemilu adalah peristiwa politik yang kompleks. Kompleksitas
itu tercermin dari jumlah jabatan yang dipilih, sistem pemilihan yang digunakan, dan
manajemen pelaksanaan tahapan. Dalam konteks Indonesia masalahnya menjadi lebih rumit,
diantaranya :
1. Jumlah pemilih yang 186 juta tersebar di wilayah geografis yang bebeda-beda sehingga
volume dan varian pekerjaan membesar
2. Penyelenggara terdiri dari tiga lembaga sehingga kompetisi tidak hanya terjadi
antarpeserta pemilu tetapi juga anatarpenyelenggara pemilu
3. Jalur penyelesaian hukum panjang dan berbelit sehingga apapun yang diputuskan selalu
menimbulkan ketidakpuasan.

Kompleksitas pemilu di Indonesia memang tak terhindarkan. Negara ini menggunakan


sistem pemerintahan presidensial, sehingga tidak hanya membutuhkan pemilu parlemen
nasional tetapi juga pemilu presiden. Hal ini berbeda dengan negara-negara penganut sistem
pemerintahan parlementer di mana hanya membutuhkan satu kali pemilu, yakni pemilu
parlemen, selanjutnya parlemen hasil pemilu itu yang akan menunjuk perdana menteri dan
kabinet. Kompleksitas pemilu di Indonesia merambah ke provinsi dan kabupaten/kota, karena
sistem pemerintahan presidensial diduplikasi di provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya di
tingkat lokal tidak hanya digelar pemilu parlemen lokal tetapi juga pemilihan atau pemilu
kepala daerah (pilkada). Pasca Perubahan UUD 1945 sepertinya hanya ada tiga pemilu, yaitu
pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada. Namun sesungguhnya dalam kurun lima tahun
bisa digelar tujuh pemilu:
1. pemilu legislatif
2. pemilu presiden putaran pertama
3. pemilu presiden putaran kedua
4. pemilu gubernur putaran pertama
5. pemilu gubernur putaran kedua
6. pemilu bupati/walikota putaran pertama
7. pemilu bupati/walikota putaran kedua

II. PERMASALAHAN
Situasi ini tidak hanya membuat pemilih bosan, tetapi partai politik dan politisi juka
kehilangan banyak waktu untuk mengurus rakyat dan konstituen. Penyelenggaraan pemilu
yang berkali-kali tidak hanya menjadikan dana yang ditanggung negara berlipat-lipat, tetapi
juga menyebabkan politik biaya tinggi yang harus ditanggung politisi. Yang terakhir ini
melatari banyak pejabat publik terlibat korupsi. Oleh karena itu, setelah Pemilu 2004, yang
terdiri dari pemilu legislatif, pemilu presiden putaran pertama, dan pemilu presiden putaran
kedua, lalu diikuti gelombang pertama pilkada sepanjang 2005-2008, muncul gagasan untuk
menyelenggarakan pemilu serentak. Maksudnya adalah untuk menyederhanakan atau
mengurangi jumlah penyelenggaraan pemilu dalam kurun lima tahun. Dalam pengertian ini
pemilu serentak sesunggunnya bukan hal baru. Pemilu legislatif sendiri sesungguhnya pemilu
serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota. Karena
itu logis saja jika Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu mengajukan gagasan untuk menyatukan
pilkada yang berserakan sepanjang empat tahun menjadi satu dengan pemilu presiden, menjadi
pemilu eksekutif. Penyederhanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif tentu saja dapat
menghemat banyak biaya, jika memang itu yang jadi tujuan utamanya. Namun gagasan Jusuf
Kalla tersebut tidak banyak dieksplorasi oleh politisi, akademisi dan aktivis pemantau pemilu,
karena gagasan tersebut tidak menyentuh pemilu legislatif. Padahal sumber kompleksitas
pemilu justru terletak di pemilu legislatif. Pemilu yang memilih empat jabatan parlemen
nasional dan lokal ini mengharuskan KPU mencetak 760 juta lembar surat suara dengan 2.192
varian. Untuk memilih empat jabatan parlemen, dengan 12 partai seorang pemilih harus
menghadapi 150 sampai 450 calon. Inilah pemilu paling kompleks di dunia, yang menjadikan
penyelenggara kewalahan dan pemilih kebingungan. Pada akhir 2011, saat pembahasan RUU
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang dipersiapkan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014,
Pansus DPR sepakat untuk menyederhanakan waktu penyelenggaraan pemilu menjadi pemilu
nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, serta presiden
dan wakil presiden; sedang pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/walikota dan wakil bupati/wakil
walikota. Namun gagasan itu tidak bisa mereka wujudkan, karena mandat mereka adalah
menyusun RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, bukan menyusun undang-undang pemilu
secara keseluruhan. Oleh karena itu, Pansus DPR merekomandasikan agar pasca Pemilu 2014
dirancang satu undang-undang pemilu yang utuh agar dapat mengatur waktu penyelenggaraan
pemilu menuju pemilu nasional dan pemilu daerah.

III. PEMBAHASAN

Pemilihan Umum 2019 adalah pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden yang
diadakan secara serentak. Hal ini dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14 / PUU 11/2013 tentang pemilu serentak, yang bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan
negara dalam pelaksanaan pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta
politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi
birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah. Sistem pemilu yang dianut di Indonesia
saat ini adalah sistem pemilu yang dilakukan dalam tahapan pemilu legislatif (pileg), pemilu
presiden (pilpres) serta pemilihan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota
(pilkada). Pemisahan sistem pemilu tersebut, dinilai kurang efektif dan efisien dalam
pelaksanaan pemilu yang menganut pemerintahan sistem presidensial, karena menimbulkan
berbagai permasalahan, seperti konflik yang terus terjadi antara berbagai kepentingan
kelompok maupun individu, pemborosan anggaran dalam penyelenggaraannya, maraknya
politik uang, politisasi birokrasi, serta tingginya intensitas pemilu di Indonesia. Intensitas
penyelenggaraan pemilu, pilpres dan pilkada yang terlampau sering tersebut berdampak pada
rendahnya tingkat partisipasi sebagai akibat kejenuhan publik.

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia menganut Sistem Multipartai. Sistem
Multipartai adalah berbagai sebuah sistem yang terdiri atas berbagai partai politik yang berlaga
dalam pemilihan umum, dan semuanya memiliki hak untuk memegang kendali atas tugas-tugas
pemerintah, baik secara terpisah atau dalam koalisi. Menurut saya sistem multipartai tidak baik.
Karena dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan saling menjatuhkan antara partai
satu dan yang lainnya. Partai-partai politik dalam arti tidak sehat melakukan money politic dan
memberikan uang kepada rakyat agar memilih partai tersebut.
Tentang Pemilu 2019 saat ini khususnya dalam pemilihan Presiden kita periode 2019-
2024 ada banyak sekali menggunakan isu SARA baik dikehidupan nyata maupun di media
sosial itu sendiri. Tidak hanya isu SARA saja, penyebaran HOAX juga banyak terjadi di media
sosial terkait Pasangan Calon Presiden kita, baik Paslon nomor 1 maupun paslon nomor 2. Hal
yang seperti ini dapat menyebabkan perpecahan bagi bangsa kita sendiri. Sesuai dengan UUD
1945 pasal 1 ayat 1 Bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang berbentuk Republik.
Oleh sebab itu, kita sebagai bangsa Indonesia jangan mau terpecah belah hanya karna doktrin
yang tidak benar terkait isu HOAX dan isu SARA.

Terkait tentang Pemilu 2019, KPU menetapkan sejumlah aturan main bagi para peserta Pemilu
untuk kampanye yang berlangsung mulai 23 September 2018 ini hingga pada 13 April 2019.
Apa yang boleh dan tidak boleh, yaitu :

1. Dilarang beriklan kampanye di media massa sebelum massa kampanye


2. Iklan pada masa kampanye hanya boleh selama 21 hari yang berakhir dengan dimulainya
masa tenang.
3. Dilarang memasang bendera parpol dan nomor urut peserta pemilu selain ditempat-tempat
yang sudah diatur.
4. Dilarang pasang gambar pejabat negara termasuk presiden dan wakil presiden serta mantan
presiden dan wakil presiden (kecuali ketua umum partai) pada alat peraga.
5. Media massa wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam
pemutan dan penayangan iklan kampanye.
6. Dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
7. Dilarang membawa atau menggunakan tanda gambar dan atribut selain gambaratau atribut
peserta pemilu.
8. Dilarang melakukan pertemuan tertutup tanpa melapor ke KPU dan Bawaslu.
Sekian pendapat saya tentang Pemilu 2019 ini, semoga bermanfaat untuk kita.

Putusan Mahkamah Konstitusi agar Indonesia menerapkan sistem pemilihan serentak


antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden mulai tahun 2019 menyediakan momentum
dan baik untuk dijadikan alasan untuk melakukan konsolidasi kebijakan sistem pemilu
Indonesia di masa depan. Konsolidasi kebijakan itu perlu diarahkan untuk maksud konsolidasi
ke arah sistem demokrasi yang lebih efisien dan efektif dalam menciptakan sistem
pemerintahan yang kuat, efektif, tetapi akuntabel dan berintegritas. Secara lebih khusus,
konsolidasi sistem pemilihan umum itu akan turut mempengaruhi sistem demokrasi Indonesia
yang lebih sehat dan kredibel di masa depan, yang tidak hanya bertumpu pada prinsip-prinsip
demokrasi dan ‘rule of law’, tetapi juga berintegritas karena disadarkan atas prinsip-prinsip
‘rule of ethics’ yang efektif.Zaman sekarang sudah berubah sangat jauh berbeda dari masa-
masa yang sudah kita lalui.

Kecepatan perubahan terjadi, antara lain, oleh adanya revolusi dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi, khusus terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat dahsyat
pengaruhnya. Karena itu, teori-teori dan praktik-praktik yang melahirkan teori-teori baru juga
tumbuh dengan sangat cepat. Karena itu, para ilmuwan hukum dan politik jangan ketinggalan
zaman. Perkembangan-perkembangan baru harus dengan sigap dan tanggap direspons dengan
baik sehingga para ilmuwan dan dunia pendidikan tinggi kita di tanah air, khusus fakultas-
fakultas hukum dan fakultas-fakultas ekonomi, dan fakultas-fakultas ilmu sosial dan politik
dapat terus memutakhirkan diri. Misalnya, dalam kajian-kajian ilmu hukum harus mulai
dipertimbangkan adanya pembagai aspek tentang etika sebagai rohnya hukum. Bahkan tidak
ada fakultas yang lebih tepat menjadikan sistem etika modern ini sebagai objek kajian
utamanya selain fakultas hukum, sehingga mungkin saja pada suatu saat kelak akan muncul
ide untuk mengubah fakultas hukum menjadi fakultas hukum dan etika. Selain itu, dengan
globalisasi sistem informasi pengetahuan pasca modern sekarang ini, mudah bagi kita untuk
belajar dari pelbagai pemikiran dan praktik dari seluruh dunia. Namun, penting disadari bahwa
struktur dan kultur sosial ekonomi, politik, dan budaya masyarakat Indonesia yang khas tetap
saja tidak serta merta dapat menerima mentah-mentah ide-ide cemerlang dan praktik-praktik
yang baik dari realitas di luar Indonesia itu ke dalam kesadaran sejarah di Indonesia sendiri.
Karena itu, para ahli hendaklah berhati-hati menerapkan sesuatu yang belum berbentuk dalam
aneka struktur dan kultur masyarakat kita sendiri. Salah satu perspektif baru dalam kajian ilmu
sosial pasca modern sekarang ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kesadaran
kelembagaan sejarah. Inilah mazhab berpikir baru yang disebut “Historical Institutionalism”
yang mempengaruhi semua cabang ilmu-ilmu pengetahuan sosial kontemporer.
IV. SIMPULAN

Dari perspektif baru inilah muncul aliran “Institutional Economics” dalam ilmu ekonomi,
dan demikian pula dalam ilmu politik muncul kesadaran mengenai pentingnya struktur
kelembagaan dan pelembagaan sistem politik. Dari semua cabang ilmu hukum, hukum tata
negara lah yang memusatkan perhatian pada persoalan kelembagaan. Karena itu, anjuran saya
kepada semua ahli hukum tata negara, perlakukanlah hukum tata negara sebagai ilmu
pengetahuan universal (hukum tata negara umum) yang dewasa ini sedang berkembang sangat
pesat. Para sarjana hukum tata negara, hendaklah tidak hanya terpaku dan terjebak dalam
kerangka berpikir hukum tata negara positif yang mengungkung pemikiran ke dalam teks-teks
normatif yang harus dibaca dengan pendekatan ‘grammatical reading’ dengan mengabaikan
pentingnya ‘moral and philoshopical reading of the constitution’. Jadilah sarjana hukum, bukan
sarjana peraturan. Dari pada menjadi sarjana peraturan yang kadang-kadang malah mereduksi
diri menjadi sarjana kata-kata atau bahkan sarjana titik koma, jauh lebih baik menjadi sarjana
keadilan yang tidak tergantung kepada teks. Akan tetapi, sarjana yang ideal tentulah sarjana
hukum yang hidup seimbang di antara roh dan cita-cita keadilan dengan teks-teks hukum yang
dijadikan pegangan normatif yang disepakati bersama dan menjadi sistem rujukan bersama
yang memperlakukan semua orang secara sama (non-diskriminasi) dalam peri kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.peradi.or.id/index.php/infoterkini/detail/pilkada-serentak-dan-penguatan-
demokrasi-dalam-sistem-ketatanegaraan-indonesia

http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_tim/buku-tim-public-44.pdf

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/28/18000021/pilkada-2018-pilpres-2019-dan-
demokrasi-indonesia?page=all

Anda mungkin juga menyukai