Anda di halaman 1dari 8

No. ID dan Nama Peserta : 2015.02.06.26.UHS / dr.

Najdah Hidayah
No. ID dan Nama Wahana : 2015.02.06.26.UHS/RSUD Kab. Barru
Topik : Peritonitis ec. Perforasi Viskus
Tanggal (kasus) : 16 September 2016
Presenter : dr. Najdah Hidayah
Tanggal Presentasi : 27 Oktober 2016 Pendamping : dr. Whendy
Wijaksono
Tempat Presentasi : RSUD Barru
Obyektif Presentasi :
◊ Keilmuan ◊ Ketrampilan ◊ Penyegaran ◊ Tinjauan Pustaka
◊ Diagnostik ◊ Manajemen ◊ Masalah ◊ Istimewa
◊ Neonatus ◊ Bayi ◊ Anak ◊ Remaja ◊ Dewasa ◊ Lansia ◊ Bumil
◊ Deskripsi :
◊ Tujuan :
Bahan Bahasan : ◊ Tinjauan Pustaka ◊ Riset ◊ Kasus ◊ Audit
Cara Membahas : ◊ Diskusi ◊ Presentasi & Diskusi ◊ E-mail ◊ Pos
Data Pasien : ◊ Nama : Tn. MA ◊ No.RM : 064362
Nama Klinik : UGD Telp. : - Terdaftar sejak : 16 September 2016
Data Utama Untuk Bahasan Diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis : nyeri seluruh bagian perut secara tiba-tiba, terus-
menerus sejak 11 jam sebelum masuk rumah sakit, disertai mual, peristaltik usus
menurun, defans muskular, nyeri tekan seluruh regio abdomen.
2. Riwayat pengobatan : -
3. Riwayat kesehatan/penyakit : Pasien sering mengkonsumsi obat-obat pereda nyeri.
Pasien memiliki riwayat penyakit asam urat.
4. Riwayat keluarga : -
5. Riwayat pekerjaan : Petani
6. Lain-lain :-
Daftar Pustaka :
1. Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill,
Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917
2. Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 6 Juni 2012.
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa
3. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment
12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
4. Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal
1459-1467
5. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-
Century Corp, Hal 784-795
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis peritonitis
2. Modalitas diagnostik dalam penegakan diagnosis peritonitis dan pemeriksaan
penunjang lainnya yang perlu.
3. Penanganan awal peritonitis.

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio :


Subyektif :
Seorang laki, laki berusia 52 tahun mrs dengan keluhan utama nyeri di seluruh bagian perut,

1
dialami sejak sekitar 11 jam lalu, secara tiba-tiba, terus-menerus, nyeri bertambah saat batuk
dan bergerak. Pasien mengalami mual, tidak ada riwayat muntah, tidak ada riwayat demam,
lemas, BAB: belum sejak 1 hari sebelumnya, BAK: kesan lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien memiliki riwayat penyakit asam urat, dan sering
mengkonsumsi obat-obatan pereda nyeri.
Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Obyektif :
Keadaan umum: Sakit sedang/ composmentis/ gizi normal
Status vitalis
1. Tekanan darah: 130/80 mmHg
2. Nadi: 88x/menit
3. Pernapasan: 28x/menit
4. Suhu: 37,00C
Status Generalis
1. Kepala-Leher
Kepala : normocephali
Mata : anemis (-) ikterus (-)
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-)

2. Thorax
Paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : fremitus vokal normal
Perkusi : pulmo: sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Pulmo : bunyi pernapasan vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : thrill tidak teraba
Perkusi : perkusi pekak, batas:
. Kanan : ICS 2 Parasternal line dextra
Kiri : ICS 4 pada midclavicula line sinistra
Atas : ICS 2 dekstra sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

3. Abdomen
Inspeksi : permukaan rata, datar, distensi (-), darm contour (-), jejas (-)
Auskultasi : BU (-) menurun
Palpasi : defans muskular, nyeri tekan di seluruh regio abdomen
Perkusi : timpani, pekak hati menghilang

4. Ekstremitas: akral hangat, edema -/-, tofus gout di MTP 1

5. Rectal Toucher : spinchter mencekik, mukosa licin, ampula dilatasi, prostat tidak teraba.
Hanschoen: feses(+) cokelat, lendir (-), darah (-)

Assessment (penalaran klinis) :


Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa seorang laki, laki berusia 52 tahun masuk
rumah sakit dengan keluhan utama nyeri di seluruh bagian perut, dialami sejak sekitar 11 jam

2
lalu, nyeri bertambah saat batuk dan bergerak. Pasien mengalami mual, tidak ada riwayat
muntah, tidak ada riwayat demam, lemas, BAB: belum sejak 1 hari sebelumnya, BAK: kesan
lancar. Pasien sering mengkonsumsi obat-obat pereda nyeri untuk mengatasi keluhan nyeri
sendi yang sering dialaminya. Pasien memiliki riwayat penyakit asam urat. Dari pemeriksaan
fisik, didapatkan tanda-tanda vital: tekanan darah: 130/80 mmHg, nadi: 88x/menit,
pernapasan: 28x/menit, dan suhu: 37,00C. Dari pemeriksaan fisis pada regio abdomen
didapatkan BU (+) kesan menurun, defans muskular, nyeri tekan di seluruh regio abdomen,
timpani, dan pekak hati menghilang. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis
(WBC: 20.700/mm^3). Pada pemeriksaan BNO 3 posisi, didapatkan psoas line tampak samar,
suatu tanda peritonitis, adanya tanda pneumoperitoneum (semilunar sign/udara di
subdafragma kanan pada foto BNO posisi erect), dan adanya free air intraperitoneal pada
daerah perut yang paling tinggi pada BNO posisi LLD mengindikasikan terjadi suatu
perforasi organ gastrointestinal.
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis.1
 Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga
peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien
dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
 Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi
gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid)
akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.2
Tabel 1. Penyebab peritonitis sekunder2

3
Berdasarkan anamnesis, diketahui pasien memiliki riwayat asam urat dan sering
mengkonsumsi analgetik, kemungkinan pasien mengalami perforasi tukak peptik. Perforasi
tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium dan
meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan
duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi
ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama
dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu
dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis
kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa pengenceran zat
asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.1
Pada peritonitis yang disebabkan oleh bakteri, respon fisiologis ditentukan oleh
beberapa faktor, termasuk virulensi kontaminan, ukuran inokulum, status kekebalan tubuh
dan kesehatan secara keseluruhan dari host. Sepsis intra-abdominal dari perforasi viskus
(yaitu, peritonitis sekunder atau peritonitis supuratif) dihasilkan dari tumpahan langsung isi
lumen ke dalam peritoneum (misalnya, perforasi ulkus peptikum, diverticulitis, usus buntu,
perforasi iatrogenik). Dengan tumpahan isi ini , bakterigram-negatif dan bakteri anaerob,
termasuk flora usus yang umum, seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae,
memasuki rongga peritoneal. Endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif
menyebabkan pelepasan sitokin yang menginduksi kaskade seluler dan humoral, yang
mengakibatkan kerusakan sel, syok septik, dan beberapa sindrom disfungsi organ (MODS).2
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri
abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, menurunnya bising usus
yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan
sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi,
oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok. Nyeri abdomen merupakan
gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-
tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian
abdomen. Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada
henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya

4
lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan
penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika
intensitasnya bertambah meningkat disertai dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis. Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat
diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh
biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.3,4
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi
dingin, dan muka yang tampak pucat. Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies
Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka
berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap
gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen. Tanda ini merupakan patognomonis untuk
peritonitis berat dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih
awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua faktor. Pertama akibat
perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang
kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata. Yang utama dari septikemia pada peritonitis
generalisata melibatkan kuman gram negatif dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap
yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian
diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau
gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia.4,5
Pada kasus ini, pasien mengalami nyeri perut yang sangat hebat di seluruh bagian
perut, dialami secara tiba-tiba dan dirasakan terus-menerus, bertambah ketika bergerak atau
batuk, dan disertai mual. Pada pasien, belum ditemukan gejala-gejala sistemik, seperti
demam, menggigil, takikardi, berkeringat, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi, hanya
mengalami gejala takipneu, kemungkinan ini masih awal dari perjalanan penyakit.
Pemeriksaan tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolik dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk
mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan
tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Tanda paling
nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi,
tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika
penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat
tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi
kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik. Auskultasi harus dilakukan
dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada
seperti obstruksi intestinal sampai hampi tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis
berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltik yang terdengar tanpa stetoskop
lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada
abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi. Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan
adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami
perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis. Jika terjadi pneumoperitoneum
karena ruptur dari organ berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah
diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang. Palpasi adalah bagian
yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan
ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada

5
daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi
yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau
spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan
yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas
dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau
yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari
peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan
perforasi lokal, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pankreatitis berat. Nyeri tekan
lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal. Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme
secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi
sangat berat seperti papan.4,5
Pada kasus ini, tanda-tanda vital pasien berupa tensi dan nadi masih dalam batas
normal yaitu tekanan darah: 130/80 mmHg, nadi: 88x/menit, kondisi pasien masih stabil
belum jatuh ke dalam kondisi syok, suhu pasien masih dalam rentang normal yaitu: 37,00C.
Hanya frekuensi napas pasien yang sedikit lebih cepat yaitu 28x/menit. Pada pemeriksaan
inspeksi abdomen, tidak ditemukan adanya distensi, namun sebagaimana dikemukakan di
atas bahwa tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis,
terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan
auskultasi pada pasien ini didapatkan peristaltik yang menurun, dan padapada palpasi
didapatkan defans muskular, spasme otot abdomen, teraba seperti papan, dan nyeri tekan di
seluruh regio abdomen yang mengindikasikan terjadinya suatu peritonitis. Selain itu, pada
perkusi abdomen juga didapatkan timpani dengan pekak hepar menghilang yang merupakan
tanda pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga. Pada pneumoperitoneum,
udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang.
Evaluasi laboratorium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit
dengan pemeriksaan fisik. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari
20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat
infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya. Pada perhitungan
diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh polimorfonuklear yang
memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan
peningkatan yang nyata. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah rutin dan didapatkan
hasil leukositosis dengan WBC sebesar 20.700/mm3.4,5
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak
PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses
pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan
menggunakan foto polos thorak diafragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau
keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan
menggunakan foto polos abdomen. Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada
peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada
kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi
berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara
bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus
besar dan usus halus. Pada kasus ini, dilakukan foto polos abdomen dan didapatkan hasil
yaitu psoas line tampak samar, suatu tanda peritonitis, adanya tanda pneumoperitoneum
(semilunar sign/udara di subdafragma kanan pada foto BNO posisi erect), dan adanya free air

6
intraperitoneal pada daerah perut yang paling tinggi pada BNO posisi LLD mengindikasikan
terjadi suatu perforasi organ gastrointestinal.5
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Pemasangan nasogastric tube
dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih
penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi
dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperatur, tekanan darah, nadi dan
respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk
serum elektrolit, kreatinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis. Pemberian
oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada
peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan
pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1)
ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya
PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO 2 kurang
dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal. Terapi primer dari peritonitis adalah
tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi
peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anastomosis
primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi
untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.4
Pada kasus ini, pasien diberikan oksigen via nasal kanul, pemasangan nasogastric
tube untuk dekompresi, antibiotik golongan cephalosporin, analgetik dan pemasangan kateter
irun untuk memantau pengeluaran urin. Pasien selanjutnya disiapkan untuk persiapan
laparatomi.
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan
awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau
apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien
yang terdiagnosis lebih awal.
Plan :
Diagnosis : Peritonitis ec. Perforasi viskus
Pengobatan : Pada pasien ini terapi yang diberikan adalah:
1. O2 3 lpm via nasal kanul
2. IVFD RL 28 tpm
3. Ranitidin 50 mg/12 jam/iv
4. Cefoperazone 1 gr/12 jam/iv
5. Metoclopramide 1 amp/8jam/iv
6. Ketorolac 30 mg/8jam/iv
7. Stop intake oral, pasang NGT-> cairan warna kuning
8. Pasang kateter urin
9. Rencana laparatomi, inform consent pasien dan keluarga pasien.
Pendidikan : Menjelaskan penyakit yang dialami pasien, prognosis dan komplikasi penyakit.
Konsultasi : Dijelaskan adanya indikasi operasi dan konsultasi dengan spesialis bedah untuk
penanganan lebih lanjut.

Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan

7
Pemberian terapi preoperatif Selama di IGD Keluhan nyeri perut
berupa terapi berkurang, dekompresi,
nonmedikamentosa maupun mencegah muntah,
medikamentosa mengurangi jumlah udara
pada usus, pencegahan
infeksi, pencegahan
hipoksemia
Nasihat Setelah pemeriksaan di IGD Pasien mendapat edukasi
tentang penyakit dan
penanganannya

Anda mungkin juga menyukai