Anda di halaman 1dari 57

BAB III

KEPERAWATAN KRITIS PADA GAGAL GINJAL


I. GAGAL GINJAL AKUT
A. Konsep Dasar Teori
1. Pengertian
Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom
klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya
dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat.
Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar
kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea
darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. (Sylvia Anderson Price.
2006)
Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah
sekumpulan gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak
(Nursalam, 2006).
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan
makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu
kronik dan akut. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal
yang progresif dan lambat pada setiap nefron (biasanya berlangsung beberapa
tahun dan tidak reversible ). Gagal ginjal akut sering kali berkaitan dengan
penyakit kritis, berkembang cepat dalam hitungan beberapa hari hingga
minggu dan biasanya reversible bila pasien dapat bertahan dengan penyakit
kritisnya. ( Price & Wilson,2006. Dalam buku Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda,2015)
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu syndrome klinik akibat adanya
gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam
sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolism nitrogen
(urea kratinin) dan non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri.
Gagal ginjal akut adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal secara
mendadak akibat kegagalan sirkulasi renal, serta gangguan fungsi tubulus
dan glomerulus dengan manifestasi penurunan produksi urine dan terjadi
azotemia (peningkatan kadar nitrogen darah, peningkatan kreatinin serum,
dan retensi produk metabolik yang harus diekresikan oleh ginjal)
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik
yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba Glomerular Filtration Rate
(GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk
mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh.
Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal
yang ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta
terjadinya azotemia. (Davidson, 1984).
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan mendadak faal ginjal dalam
48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl (≥26,4µmol/l),
presentasi kenaikan kreatinin serum ≥50% (1,5 x kenaikan dari nilai dasar),
atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat ≤0,5ml/kg/jam dalam
waktu lebih dari 6 jam).
2. Etiologi
Menurut Price (2006), penyebab ARF umumnya dipertimbangkan dalam
tiga kategori diagnostic azotemia prarenal, azotemia pascarenal, dan ARF
intrinsic (kotak 49-1) klasifikasi ini menekankan bahwa hanya pada kategori
ketiga (renal) terjadi keruskan parenkim ginjal yang cukup berat untuk
menyebabkan kegagalan fungsi ginjal, jika faktor-faktor prarenal dan
pascarenal lama kemungkinan menyebabkan gagal ginjal intrinsic, tetapi
dengan diagnosis yang tepat, akan cepat pulih kembali, penyakit ginjal
instrinsik tersering yang menyebabkan ARF adalah nekrosis tubular akut
(ATN) yang menyebabkan lensi ginjal sebagai respon terhadap iskemia yang
lama atau pemajaman terhadap nefrotoksin, diagnosis ATN ditegaskan
berdasarkan peda pengecualian penyebab azotenia prarenal dan pascarenal
yang diikuti dengan pengecualian penyebab lain dari gagal ginjal intrinsic/
penyakit ginjal tubuloin teristisial, glomerular vascular).
Azotemia prarenal merupakan satu-satunya penyebab tersering azotemia
akul (> 50% kasus), yang dapat menyebabkan terjadinya ARF tipe ATN
petunjuk lazim penyebab prarenal. ARF adalah iskemia ginjal yang lama akibat
penurunan perfusi ginjal. Beberapa keadaan prarenal yang paling sering dengan
peningkatan resiko ARF adalah pembedahan aorta abdominalis, operasi
jantung terbuka, syok kardiogenik, luka bakar berat dan syok septic, sebagian
besar keadaan ini berkaitan dengan hipotensi sistemik dengan aktivitasi
kompensatorik sistem saraf simpatis dan sistem rennin-angiotesnsin aldosteron
menyebabkan retensi garam dan air. Respons ini didesain untuk
mempertahankan tekanan arteri rata-rata sistemik dan pefusi keorgan-organ
yang penting. Pada waktu yang sama, mekanisme autoregulasi ginjal diaktifkan
untuk mempertahankan GFR dan melindungi ginjal terhadap adanya iskemia.
Angiotensin II menyebabkan terjadinya konstriksi arleriol glomerulus
(sehingga meningkatkan tekanan intraglomerulus dan GRFR) dan pada waktu
yang sama merangsang produksi prostaglandin ginjal vasodilator. Efek
protektif prostaglandin pada ginjal dapat dinetralkan dengan pemberian obat-
obat antiinflasi nonsteroid (NSAID), seperti aspirin, yang memperhambat
produksi hormon-hormon ini. Oleh karena itu, pemberian NSAID pada
keadaan hipoperfusi ginjal dengan penyebab prarenal telah lebih dikenali
sebagai pencetus kerusakan ginjal akibat iskemia pada ARF. Obat-obatan
penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACE), yang menghambat
angiotensin II, juga dapat mencetuskan ARF dalam keadaan hipoperfusi ginjal
atau obstruksi vaskular ginjal sehingga harus digunakan dengan hati-hati.
Pengobatan awal azotemia prarenal dapat mencegah perkembangannya
menjadi ARF.
Penyebab pascarenal azotemia yang dapat menyebabkan ARF lebih jarang
terjadi (5%) dari pada penyebab prarenal dan mengarah pada obstruksi aliran
urine disetiap tempat pada saluran kemih. Pembesaran prostat (akibat hipertrofi
jinak atau kanker) merupakan penyebab tersering obstruksi aliran keluar
kandung kemih. Kanker serviks juga dapat menyebabkan obstruksi saluran
kemih. Obstruksi di atas kandung kemih (biasanya disebabkan oleh batu) harus
terjadi bilateral untuk dapat menyebabkan obstruksi aliran keluar urine, kecuali
bila hanya terdapat satu ginjal yang berfungsi. Penting disadari bahwa
obstruksi aliran keluar urine dalam waktu lama akan menyebabkan
hidronefrosis, kerusakan berat parenkim ginjal, dan ARF. Oleh karena itu,
identifikasi awal dan koreksi obstruksi saluran kemih sangat penting dilakukan.
Nekrosis Tabular Akut (ATN) merupakan lesi ginjal yang paling sering
menyebabkan (75%). ATN terjadi akibat iskemia ginjal yang terjadi dalam
waktu yang lama (akibat kondisi prarenal yang telah disebutkan) atau akibat
pemajanan terhadap nefroloksin. Sayangnya, penggunaan istilah ATN dan
ARF dapat saling bertukar di klinis, walaupun hal ini tidak benar. ATN
mengarah pada jenis lesi yang lazim tetapi tidak selalu berkaitan dengan ARF
(lihat pembahasan selanjutnya). ARF dapat timbul tanpa disertai ATN.
Penyebab ARF tanpa nekrosis tubular yang berasal dari intrinsik ginjal lainnya
adalah penyakit vaskular atau glomerular ginjal primer seperti
glomerulonefritis pascatreplokokus akut atau hipertensi maligna (secara
berurutan). Serangan akut pada gagal ginjal kronik juga dapat disebabkan oleh
stres seperti infeksi atau kehilangan cairan akibat muntah atau diare pada
pasien gagal ginjal kronik dan cadangan ginjal yang sedikit. Nefritis tubulo-
interstisial akut yang disebabkan oleh reaksi alergi terhadap antibiotik atau
pielonefritis akut juga dapat menyebab ARF. Penyebab ARF dari non-ATN
lain ini harus disingkirkan sebelum menegakkan diagnosis ATN.
Penyebab nefrotoksik pada ATN adalah nefrotoksin eksogen maupun
endogen yang biasanya menyebabkan ARF tipe non-oligurik. Nefrotoksin
eksogen dikelompokkan menjadi empat kelompok utama: antibiotik, bahan
kontras, logam berat dan pelarut.
Patologi Nekrosis Tubular Akut yaitu; Istilah nekrosis tubular akut (acute
tubular necrosis, ATN) biasanya digunakan baik untuk cedera ginjal iskemik
maupun nefrotoksik, sekalipun tidak mencerminkan sifat serta keparahan
perubahan yang terjadi ditubulus. Dua jenis lesi histologik yang sering
ditemukan pada ATN adalah nekrosis epitel tubulus dan memberana basalis
yang sering disertai iskemia ginjal.
Derajat kerusakan tubulus pada ATN yang disebabkan oleh nefrotoksin
sangat bervariasi dan prognosisnya bervariasi sesuai dengan kerusakan
tersebut. Epitel tubulus proksimal dapat saja mengalami nekrosis dan sembuh
sempurna dalam 3 atau 4 minggu. Lesi jenis ini sering disebabkan oleh merkuri
biklorida dan karbon tetraklorida. Prognosis biasanya baik apabila ditangani
secara konservatif atau dengan dialisi suportif. Sebaliknya, racun-racun lain
seperti glikol dapat menimbulkan gagal ginjal ireversibel, disertai infark
seluruh nefron yang disebut sebagai nekrosis koeteks akut. Prognosis kasus ini
sangat buruk.
Kerusakan tubulus yang disebabkan oleh iskemenia ginjal juga sangat
bervariasi. Hali ini bergantung pada luas dan durasi penrunan aliran darah
ginjal dan iskemia ginjal juga sangat bervariasi. Hal ini bergantung pada luas
dan durasi penurunan aliran darah ginjal dan iskemia. Kerusakan dapat berupa
destruksi berbecak atau luas nekrosis korteks. Banyak kasus nekrosis korteks
akut merupakan kelanjutan dari komplikasi korteks akut merupakan kelanjutan
dari komplikasi kehamilan, terutama solusio plasenta, perdarahan post parfum,
eklamsia dan abortus septic. Bila membrane basalis rusak, maka akan terjadi
regenerasi epitel secara acak dan membahayakan serta seringkali
mengakibatkan obstruksi nefron di tempat nekrosis. Prognosis bergantung
luasnya perubahan pada tipe ini.
Terapi, antibiotika minoglikosida dipersulit oleh ARF pada sekitar 10%
perjalanan klinisnya (misal, gentamisin, kanamisin, tobramisin). Berbagai
logam berat merupakan nefrotoksin yang kuat dan menyebabkan terjadinya
ARF dengan ATN. Sisplatin (garam platinum), suatu obat yang digunakan
untuk mengobati neoplasma padat tertentu, merupakan agen yang paling sering
digunakan dalam kategori ini. ATN akibat merkuri, arsen, kromium atau
uranium biasanya disebabkan oleh pemajanan okupasional atau zat tersebut
diingesti dalam usaha bunuh diri. Siklosporin (untuk mengobati penolakan
transplantasi) dan bahan kontras dapat berperan dalam menyebabkan ARF
dengan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi intrarenal. Pasien diabetes
terutama rentan terhadap nefropati akibat pemakaian bahan kontras. Faktor
risiko tambahan untuk nefropati bahan kontras mencakup insufsiensi ginjal
yang telah ada sebelumnya, usia yang lebih tua, deplesi volume, mieloma
multipel dan pemajanan multipel terhadap bahan kontras dalam waktu pendek.
Cedera tubular nefrotoksik dapat terjadi akibat ingesti palrut seperti etilene
glikol (antibeku) atau metanol (alkohol kayu). Inhalasi uap dari karbon
tetraklorida (CCI), yaitu bahan lazim yang digunakan dalam larutan penghilang
noda atau pembersih lainnya, disertai oleh ingesti etil alcohol (CH3CH2OH),
sangat berbahaya karena reaksi kimia antara kedua senyawa ini yang
membentuk suatu nefrotoksin yang kuat. Keadaan ini (misal, ingesti alkohol
saat pesta dan menghilangkan noda pakaian dengan penghilang noda)
menyebabkan ARF pada sejumlah orang yang tidak diduga. Oleh karena alasan
yang sama, orang yang memiliki kegemaran menggunakan lem dan pelarut
organic harus bekerja dalam ruang yang berventilasi baik dan menaham diri
untuk tidak minum alkohol pada waktu yang bersamaan.
Nefrotoksin endogen mencakup hemoglobin, mioglobin dan protein Bence
Jones (Imunoglobulin, abnormal yang dihasilkan dalam myeloma multiple).
Hemolisis eritrosit dengan lepasnya hemoglobin ke dalam serum darah
biasanya disebabkan oleh ketidakcocokan transfusi darah. Sejumlah besar
mioglobin terkandung di dalam otot dan dapat dilepaskan setelah cedera remuk
berat (rabdomiolisi). Bila hemoglobin, mioglobin atau protein bence jones
dieksresikan dalam urine, terjadi efek toksik langsung pada sel tubular ginjal
dan menyebabkan ARF. Yang terakhir, pengendapan kristal asam urat dalam
tubulas ginjal yang menyebabkan obstruksi dan ARF dapat mempersulit
keganasan tertentu dengan “pergantian sel yang cepat” (misal leukimia) atau
kemoteraspi yang lebih sering dilakukan dengan agen sitotoksik. Pada kedua
situasi ini, lisis sel massif menyebabkan lepasnya sejumlah besar precursor
asam urat purian. Asam urat lebih mudah mengkristal dalam lingkungan asam
sehingga pengendapan dapat dicegah dengan memberikan alopurinol
(menghambat sintesis asam urat) sebelum kemoterapi atau dengan memberikan
natrium bikarbonat supaya urine menjadi alkali dan mendorong cairan.

Penyebab lazim gagal ginjal akut


a. Azotemia Prarenal (Penurunan Perfusi Ginjal)
1) Deplesi volume cairan ekstra sel (ECF) absolute
a) Perdarahan : operasi besar, trauma, trauma pasca partum
b) Diuresis berlebihan
c) Kehilangan cairan dari gastroentistinal yang berat : muntah, diare.
d) Kehilangan cairan dari ruang ke tiga : luka bakar, peritonitis,
pankretitis
2) Penurunan volume sirkulasi arteri yang efektif
a) Penurunan curah jantung : infark miokardium, distritmia, gagal
jantung kongestif, tanponade jantung, emboli paru.
b) Vasodilatasi perifer : sepsis, anafilaksis, obat anastesi,
antihipertensi, nitrat
c) Hipoalbuminemia : sindrom nefrotik, gagal hati (sirosis)
3) Perubahan hemodinamik ginjal perifer
a) Penghambat sistem prostaglandin, aspirin dan obat NSAID lain
b) Vasodilatasi arteriol eferen : penghambat enzim pengkonversi
angiotensin, misalnya kaptopril
c) Obat vasokonstriksi : obat alfa-adrenergik (misal, norepinefrin)
angiotensin II
d) Sindrioma hepatorenal
4) Obstruksi vascular ginjal bilateral
a) Stenosis arteri ginjal, emboli, thrombosis
b) Thrombosis vena renalis bilateral
b. Azotemia Pasca Renal (Obstruksi Saluran Kemih)
1) Obstruksi uretra : katup uretra, striktur uretra
2) Obstruksi aliran keluar kandung kemih : hipertrofi prostat, karsinoma
3) Obstruksi ureter bilateral (unilateral jika saat ginjal berfungsi)
a) Intraureter : batu, bekuan darah
b) Ekstraureter (kompresi) : fibrosis retroperitoneal, neoplasma
kandung kemih, prostat atau serviks ligasi bedah yang tidak di
sengaja atau cedera
4) Kandung kemih neurogenik
c. Gagal Ginjal Akut Intrinsic
1) Nekrososis Tubular Akut
a) Paskaiskemik. Syok, sepsis, bedah jantung terbuka, bedah aorta
(semua penyebab azotemia prarenal berat)
b) Nefrotoksis
(1) Nefrotoksis eksogen
(a) Antibody : aminoglikosida, amfoterisisn B
(b) Media kontras teriodinasi (terutama pada penderita
diabetes)
(c) Logam berat : sisplatinbiklorida merkuri, arsen
(d) Siklosporin : takrolimus
(e) Pelarut : karbon tetraklorida, etilene glikol, methanol
(2) Nefrotoksin endogen
(a) Pigmen intratubular : hemoglobin, mioglobin
(b) Protein intratubular : myeloma multiple
(c) Kristal intratubular : asam urat
2) Penyakit vaskular atau glomerulus ginjal primer
a) Glomerulonefritis progresif cepat atau pascastreptokokus akut
b) Hipertensi maligna
c) Serangan akut pada gagal ginjal kronis yang terkait pembatasan
garam atau air
3) Nefritis tubulointerstisial akut
a) Alergi : beta-laktam (penisilin, sefalosporin, sulfonamide)
b) Infeksi (misal : pielonefritis akut)
(Dalam buku Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda, 2015)
3. Tanda dan Gejala
Perjalanan klinis gagal ginjal akut biasanya terbagi menjadi 3 stadium:
oliguria, dierisis, dan pemulihan. Pembagian ini dipakai pada penjelasan
dibawah ini, tetapi harus diingat bahwa gagal ginjal akut azotemia dapat saja
terjadi saat keluaran urine lebih dari 400ml/24 jam.
a. Stadium oliguria
Oliguri timbul dalam waktu 24-48 jam sesudah trauma dan disertai
azotemia
b. Stadium deuresis
1) Stadium GGA di mulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
2) Berlangsung 2-3 minggu
3) Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak
mengalami hidrasi yang berlebih
4) Tinggi kadar urea darah
5) Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air
6) Selama stadium dini dieresis kadar BUN mungkin meningkatkan terus
c. Stadium penyembuhan
d. Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun dan selama
itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit
membaik
(Dalam buku Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda, 2015)
4. Pathway
5. Patofisiologi
Menurut Price (2006) patofisiologi gagal ginjal akut yaitu:
Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal ARF
tipe ATN, tetapi masih ada kontroversi mengenai potogenesis penekanan
fungsi ginjal dan oliguria yang biasa menyertai. Sebagaian besar konsep
modern mengenai faktor – faktor penyebab yang mungkin didasarkan pada
penyelidikan menggunakan model hewan percobaan, dengan menyebabkan
gagal ginjal akut nefrotoksik melalui penyuntikan merkuri klorida, uranil nitrat,
atau kromat, sedangkan kerusakan iskemik ditimbulkan dengan menyuntikan
gliserol atau menjepit arteria renalis. Beberapa toeri telah diajukan untuk
menjelaskan penurunan aliran darah ginjal dan GFR baik pada percobaan
dengan manusia maupun hewan, yaitu (1) obstruksi tubulus; (2) kebocoran
cairan tubuh; (3) penurunan permeabilitas glomerulus; (4) disfungsi vasomor;
dan (5) umpan balik lubuloglomerulus. Tidak satupun dari mekanisme di atas
yang dapat menyelsaikan semua aspek ARF tipe ATN yang bervariasi itu
(Schrier, 1986).
Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa ATN mengakibatkan sel
tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, yang kemudian membentuk
silinder – silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan selular akibat
iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat
iskemia. Tekanan intrabulus meningkat, sehingga tekanan filtrasi glomerulus
menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting pada ARF yang
disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia berkepanjangan.
Hipotesis kebocoron tubulus menyatakan bahwa filtrasi glomerulus terus
berlangsung normal tetapi cairan tubulus “bocor” keluar dari lumen melalui
sel–sel tubulus yang rusak dan masuk ke dalam sirkulasi peritubular.
Kerusakan membran basalis dapat terlihat pad ATN yang berat, yang
merupakan dasar anatomik mekanisme ini.
Meskipun sindrom ATN menyatakan adanya abnormalitas tubulus ginjal,
bukti–bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu
menyatakan bahwa sel–sel edfotel kapiler glomerulus dan/atau sel–sel
membran basalis mengalami perubahan yang mengakibatkan menurunnya
permeabilitas luas permukaan filtrasi. Hal ini mengakibatkan penurunan
ultrafiltrasi glomerulus.
Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari normal
pada ARF oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR yang cukup besar.
Pada kenyataannya, DBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau
lebih rendah dari pada bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau
berkurang. Selain itu, bukti–bukti percobaan menunjukan bahwa RBF harus
kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan perenkim ginjal (Merrill, 1971).
Dengan demikian, hipoperfungsi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan
GFR dan lesi–lesi tubulus yang terjadi pada ARF. Meskipun demikian, terdapat
bukti perubahan bermakna pada distribusi aliran darah internal dari korteks ke
medula selama hipotensi akut dan memanjang. Hal ini dapat dilihat kembali
pada Bab 44 bahwa, pada ginjal normal, kira–kira 90% darah didistribusi ke
korteks (letak glomeruli) dan 10% menuju ke medula. Dengan demikian, ginjal
dapat memekarkan urine dan menjalankan fungsi. Sebaliknya, pada ARF
perbandingan antara distribusi korteks dan medua ginjal menjadi terbalik,
sehingga terjadi iskemia relatif pada korteks ginjal. Konstriksi arteriol aferen
merupakan dasar vaskular dari penurunan nyata GFR. Iskemia ginjal akan
mengaktivasi sistem renin angiotansi dan memperberat iskemia korteks setelah
hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditentukan pada korteks luar
ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF
pada hewan maupun manusia (Schrirer, 1996). Beberapa penulis mengajukan
teori mengenai prostaglandin dalam disfungsi vasomor pada ARF (Harter,
Martin, 1982). Dalam keadaan normal, hipoksia ginjal merangsang sintesis
prostaglandin E dan prostaglandin A (PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang
kuat) sehingga aliran darah ginjal diredstribusikan ke korteks yang
mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia akut yang berat atau
berkepanjangan dapat memperlambat sintesis prostaglandin ginjal tersebut.
Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat menurunkan RBF
pada orang normal dan dapat menyebabkan ATN (Schrier, 1996).
Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke
nefron distal diregulasi oleh reseptor dalam makula densa tubulus distal, yang
terletak berdekatan dengan ujung glomerulus. Apabila peningkatan aliran filtrat
tubulus ke arah distal dan duktus koligentes dapat melimpah dan menyebabkan
terjadinya deplesi volume cairan ekstra sel. Oleh kerena itu TGF merupakan
mekanisme protektif. Pada ATN, kerusakan tubulus proksimal sangat
menurunkan kapasitas absorpsi tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan
dalam menurunnya GFR pada keadaan ATN dengan menyebabkan kontriksi
arteriol aferen atau kontaksi mesangial atau keduanya, yang berturut – turut
menurunkan permeabilitas dan tekanan kapilir intraglomerulus (Pgc). Oleh
karena itu, penurunan GFR akibat TGF dapat dipertimbangkan sebagai
mekanisme adaptif pada ATN.
Gambar 49-1 melukiskan skema kombinasi berbagai faktor yang terlibat
dalam patogenesis ARF. Kejadian awal umumnya adalah gangguan iskemia
atau fefrotoksin yang merusak tubulus atau glomeruli atau menurunkan aliran
darah ginjal. Gagal ginjal akut kemudian menetap melalui beberapa mekanisme
yang dapat terjadi atau tidak dan merupakan akibat cedera awal. Setiap
mekanisme berbeda kepentingan dalam patogenesis, sesuai dengan teori–teori
yang akan dikemukakan di atas. Agaknya kepentingan dari mekanisme–
mekanisme ini bervariasi sesuai keadaan dan bergantung pada evolusi proses
penyakit dan derajat kerusakan patologik. Banyak hal yang belum diketahui
mengenai patofisiologi ARF dan masih harus diteliti lebih jauh untuk
mengetahui hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Renal ischemi artinya bila aliran darah ke ginjal berkurang. Respon dari
ginjal yang normal adalah vasokonstriksi yang menambah masalah
berkurangnya aliran darah ke ginjal dan meningkatkan ischemi renal. Masalah
perfusi mempengaruhi kedua ginjal. Bila ischemi berkepanjangan jaringan
tubulus renal mati dan terjadilah kegagalan ginjal yang nyata.
Bahan-bahan yang toksis terhadap sel-sel tubulus renal mempengaruhi
bilateral ginjal. Ginjal yang memiliki aliran darah yang besar dan kemampuan
memekatkan cairan dibagian medula (dimana terdapat tubulus-tubulus) timbul
kondisi dimana sel-sel tubulus bertemu dengan toksin sangat minim.
Kerusakan dari sel-sel berakibat permeabilitas dari glomerulus berkurang dan
timbul sumbatan kepada tubulus.
Perjalanan kegagalan ginjal biasanya ditandai pada awal dengan fase
oliguri dan setelah beberapa hari atau minggu menjadi periode diuretik.
Masalah yang besar pada fase oliguri adalah ketidakmampuan beban ekskresi
cairan guna pengaturan elektrolit dan mengekskresi bahan-bahan sisa
metabolik. Pada saat fase deuretik sejumlah cairan dan elektrolit terbuang.
a. Fase Oliguri
1) Ketidak mampuan ekskresi beban cairan
Karena berkurangnya fungsi ginjal cairan tertahan dari dalam
tubuh, berdampak kebanyakan cairan dan terjadi udema. Bila
kebanyakan cairan sangat besar bisa terjadi kegagalan jantung
kongestif dan bisa timbul udema paru-paru. Hipertensi menyertai
kegagalan ginjal akut bila orang mengalami hipervolumik, walaupun
ini tidak menjadi temuan yang lumrah bila keseimbangan cairan
terkendali.
Ketidakmampuan ekskresi beban cairan berakibat berkurangnya
output urine. Secara klasik pasien dengan kegagalan ginjal akut
memperlihatkan berkurangnya output urine dalam 1 atau 2 hari
sampai 50-400 ml/hari. B.D urine rendah (1,010) dan osmolalitas dari
urine mendekati serum dari orang (280 sampai 320 mOsm). B.D dan
osmolalitas urine tetap pada kadar tertentu dan berdampak kerusakan
tubulus disertai ketidakmampuan mempekatkan cairan.
2) Ketidakseimbangan Elektrolit
Ketiga masalah utama elektrolit adalah retensi potassium, eksresi
sodium dan asidosis.
a) Ketidakseimbangan potassium, pada individu yang normal
pertukaran terjadi pada distal dari tubulus yang berbelok-belok
dari nefron baik untuk ion-ion sodium atau hidrogen, untuk orang
yang sehat tidak terdapat mekanisme di dalam tubuh untuk
menahan potassium ion. Pada orang dengan kegagalan ginjal akut
dimana terdapat banyak sekali sel-sel tubulus yang sudah tidak
berfungsi, tidak terdapat mekanisme untuk membuang potassium
dari tubuh. Dianggap terjadi hiperkalemi bila konsentrasi dalam
serum dari ion-ion 5.5 mEq/L atau lebih tinggi. Konsentrasi
dalam serum 7 sampai 10 mEq/L dapat cepat menjadi kegagalan
ginjal akut atau tidak dapat diimbangi oleh fungsi kardiak yang
normal dan oleh kehidupan.
Pada pemantauan gejala-gejala keracunan potassium,
elektrokardiografi dan pemeriksaan di laboratorium dari
potassium dalam serum merupakan indikator yang paling dapat
dipercaya. Jarang sekali pasien jadi menderita gejala-gejala dan
perubahan nadi tidak bisa dipercaya untuk menyatakan
peningkatan kadar potassium dalam sistem pasien.
b) Ketidakseimbangan sodium, hiponatermia pada kegagalan ginjal
akut adalah yang paling sering terjadi pada pasien yang
kebanyakan cairan. Pasien oliguri tidak dapat mengeksresi jumlah
volume urine yang besar, bila pemberian larutan intravena yang
bebas sodium atau yang rendah kadar sodium atau per oral cairan
terus bertambah pada orang itu, serum menjadi cair dan
konsentrasi sodium dalam serum berkurang. Pada situasi itu
hiponatermia bertambah yang disebabkan oleh hipervolumia.
Pada orang yang sangat gawat penyakitnya kondisi biasanya
timbul bila orang itu mendapat banyak obat-obatan dan cairan
sebagai usaha mengatasi kondisi yang mengancam hidup. Bila
volume obat-obatan dan cairan tidak bisa dikurangi sampai
tingkat yang aman, dialise diperlukan untuk membuang cairan
yang berlebihan dan mengembalikan kadar sodium yang
seimbang. Tanda dan gejala hiponatermia terdiri dari kulit panas,
lembab, kemerah-merahan, kelemahan otot, otot berdenyut-
denyut, terjadi perubahan perilaku, bingung, delirium, coma dan
kejang-kejang. Konsentrasi sodium dalam serum akan terjadi
dibawah 130 mEq/L. Nilai hematokrit dan hemoglobin mendadak
turun tanpa terjadi perdarahan, ini terjadi oleh hemodilusi. Terjadi
juga peningkatan kandungan total sodium dalam tubuh pada
kegagalan ginjal. Biasanya terjadi bila pasien mendapat
pengobatan yang kandungan sodiumnya tinggi dan kebanyakan
sodium dalam diit. Udema dan peningkatan tekanan darah
menunjukkan terjadi retensi urine sodium dan cairan, walaupun
konsentrasi sodium dalam darah normal atau di bawah normal.
c) Asidosis metabolic, asidosis timbul bila sekresi ion hidrogen dan
produksi ion bikarbonat berkurang pada sel-sel tubulus. pH darah
berkurang kandungan karbondioksida berkurang dan gejala-gejala
sistem saraf sentral timbul, seperti ngantuk yang bertambah
menjadi stupor dan coma. Walaupun paru-paru tidak dapat
membuat kompensasi yang sempurna terhadap beban asam yang
terus meningkat, itu dapat menentukan tingkat perkembangan
asidosis dan mendesaknya kebutuhan dialise. Sebagai kompensasi
terhadap peningkatan beban asam, paru-paru berusaha untuk
mengeluarkan lebih banyak karbon dioxide. Terjadilah
pernapasan kussmaul.
3) Ketidakmampuan Membuang Sisa Metabolik
Menurunnya fungsi ginjal merubah kemampuan tubuh untuk
membuang bahan-bahan sisa metabolik, menimbulkan tanda dan
gejala uremia. BUN dan kreatinin serum meningkat dengan tajam.
Pada orang yang sudah sakit dan menderita trauma, bila/nilai BUN
akan meningkat sampai 30 mg/100ml/hari. Tanda dan gejala terdiri
dari manifestasi neurologis, seperti bingung, kejang-kejang, coma
arterixis. Dapat terjadi perdarahan saluran pencernaan akibat gastritis
atau colitis oleh uremi. Imunitas seluler berkurang sehingga
mempermudah terjadinya infeksi. Goresan dan perdarahan akibat
perubahan faktor-faktor coagulasi. Pericarditis suka timbul, diduga
akibat iritasi pericardium oleh tumpukan sisa-sisa metabolisme.
b. Fase Diuretik
Setelah periode oliguri atau anuri yang bisa berlangsung beberapa hari
sampai 2 minggu pasien sembuh fungsi renalnya berlalu kepada fase yang
lain yang khas dari penyakit yang ditandai dengan peningkatan output
urine. Peningkatan output urine berarti bahwa nefron-nefron yang rusak
membaik dan mulai mampu mengekskresi urine. Pada mulanya
peningkatan volume urine berlangsung lamban walaupun dalam 1 sampai
2 hari terjadi diuresis sampai atau lebih dari 4 sampai 5 L/hari. Walaupun
cairan bisa diekskresi ginjal masih belum baik. Seringkali masih terjadi
ketidakmampuan ekskresi jumlah yang proporsional dari bahan-bahan sisa
dan BUN dapat meningkat atau tetap tinggi pada waktu jumlah urine
meningkat. Sewaktu-waktu terjadi ekskresi sodium dan potasium yang
berlebihan pada waktu masih diuresis. Penyumbatan yang sempurna dari
fungsi ginjal sangat lambat dan memerlukan waktu beberapa hari sampai
beberapa bulan. Kembalinya fungsi renal sampai normal atau hampir
normal akan terbukti bila ginjal mampu menahan dan melarutkan urine
dan bila elektrolit dalam serum dan kadar nonprotein nitrogen sudah
normal.
6. Komplikasi
a. Berhentinya fungsi ginjal
b. Ketidakseimbangan komplikasi ginjal
c. Asidosis metabolic
d. Edema paru akut
e. Krisis hipertensi
f. Infeksi
(Dalam buku Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda,2015)
7. Penatalaksanaan
a. Menatalaksanakan penurunan curah jantung
Faktor –faktor seperti disritmia jantung,infark miokard akut, dan
temponade perikardial akut,semuanya ini menurunkan curah jantung,
mukin berhubungan dengan penurunan aliran darah ginjal. Oleh karennya
reversibilitas ( kemampuan untuk kembali keadaan normal ) dari gagagl
ginjal tergantung pada kemampuan untuk meningkatkan fungsi jantung.
Pada kondisi ini, curah jantung biasanya ternganggu secara akut dan
sangat payah, bila curah jantung ternganggu sampai batasyang lebih kecil
selama priode waktu lama, bagaimana pun terjaadi gambaran gagal
jantung kongestif, sekali lagi,disini terjadi penurunan perfusi ginjal
meskipun sampai batas yang terkecil. Gambaran utama dari keadaan ini,
daraspek ginjal, makin menyerap natrium yang mengakibatkanpeningkatan
volume cairan eksraseluler, kenaikan tekanan vena sentral, dan edema
Beberapa mekanisme bertanggung jawab terhadap peningkatan
reabsorpi tubular terhadap natrium.pertama, terjadi penuruna lebi besar
dalam aliran darah ginjal dari pada dalamfiltrasi glomerulus, membawa
mekanisme yang telah dibicarakan sebelumnya . kedua, setelah diduga
bahwa aliran darah ke kortek superfisial menurun, sementara aliran darah
ke area kortikal dalam meningkat. Selain itu diperkirakan bahwa nefro
pada region kortikal dalam menyerap natrium terfiltrasi dalam presentase
yang lebih besar dari pada nefron di korteks luar ginjal.
Faktor-faktor lain termasuk peningkatan reabsorpsi natrium tubulus
distal dan proksimal. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
peningkatan reabsorpsi natrium tubulus proksimal sebagai besar
terngantung pada peningkatan tekanan onkotik posglomerular ; namun
aldosteron paling bertanggung terhadap peningkatan reabsorpsi natrium
tubulus distal. Dapat dilihat bahwa berbagai mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap peningkatan reabsorpsi natrium tubulan pada gagal jantung
kongestif.
Terapi diarahkan utama pada meningkatkan ekskreasi natrium urien.
Kadang-kadang, keadaan ini dapat diselesaikan dengan memperbaikan
curah jantung, yang selanjutnya meningkatkan fungsi ginjal, namun hal ini
tidak memukinkan.
Diuretik sering digunakan untuk meningkatkan ekskreasi natrium,
agen ini secara langsung menghambat reabsorpsi natrium dalam tubuh
tubulus ginjal, potensi diuretik ditentukan terutama oleh tempat di tubulus
ginjal dimana reabsorpsi natrium dihambat, kedua diuretik yang paling
poten yang sekarang ada adalah furosemid (lasix;hoechst-roussel
pharmaceuticals,somerville,NJ) dan asam etakrinika (edecrin;merck sharp
& dohme, west poit,PA) agen ini menghambat reabsorpsi natrium pada
paras asenden ansa henle dan pada tubulusmempunyaiefek pada tubulus
proksimal diueretik tiazid mempunyai kerja utama pada tubulus distal oleh
karenannya agen ini agak kurang poten dari agen di atas.
Diuretik lain yang umum adalah spironolakton (aldactone;searle
laboratories, chicago IL) yang meningkatkan natrium urien dengan
memnghambat efek aldosteron ditubulus ginja`
Spironolakton harus digunakan denga hari-hari pada pasien dengan
penurunan curah jantung dan perfusi gijalyang lemah karena diuerik ini
menurunkan ekskresi kalium dan dapat menyebabkan hiperklimia yang
mengancam hidup pada pasien seperti ini keadaan yang sama juga terjadi
untuk teriamteren, diuretik hemat kalium.
b. Menatalaksanakan perubahan tahanan vaskuler perifer
Perfusi ginjal tergantung pada keadaan ini sebagai akibat meningkatan
ukuran kompatemen intravaskuler dan redistribusi volume darah, ini
munkin merupakan konsuensi septikemia, dan gamgguan elektrolit seperti
asidosis.
Penatalaksanakan diarahkan terutama untuk mngobatin gangguan
daerah dengan terapi usus yang tepat ditambah penggantian cairan,
elektrolit, dan koloid. Pertentangan dalam hal penggunaan seteroid dalam
berbagai agen menekan pada sepsis geram negatif adalah diluar cakupan
pembicaraan ini .
c. Menatalaksanakan hipovolemia dan hemoragi
Pemulihan cairan ektraselular dan volume darah adalah
menatalaksanakan yang paling penting pada setiap keadaan hipoperfusi.
Bukti untuk penurunan volume ektraselular biasa didapatkan dari riwayat
kesehatan dan pemeriksaan fisik.
Berdasarkan riwayat kesehatan, pasien dapat memberikan bukti
adanya kehilangan natrium dan air eksternal sebagai akibat muntah, diare,
berkeringat banyak, atau prosedur pembedahan. Volume darah juga dapat
ternganggu akibat redistribusi cairan, seperti yang terlihat pada luka bakar
da proses inplamtri abdomen seperti pangreastitis atau pritonitis. Temuan-
temuan fisik yang berkaitan dengan penurunan volume ektraselular adalah
mata cekoung ,mulut kering , turgo kulit buruk, dan takikardia. Mukin juga
di temukan hipotensi posturar.
Terapi dilakukan diarahkan pada pergantian air dan natrium atau
daerahbila hemoragik menjadi penyebabnya. Repon terhadap pengobatan
dapat di nilai dengan perubahan volum urine, berat jenis, tekanan vena
sentral dan temuan-temuan fisik yang di temukan diatas.
d. Mempertahankan aliran urien
Kadag-kadang, mestipun telah adekuat volume urien tetap rendah, ini
mukin diakibatkan berlanjutny fungsional pada priode hipoperfusi atau
kerusakan parenkim ginjal akibat karena hipoferfusi, perlu untuk
membedakan dengan keadaan ini satu sama lain karena oligulia yang
berkepanjangan, bila di biarkan akhirnya dapat mengarah pada
NTA,manitor dan furosemit telah di gunakan pada situasi baik untuk
diagnosis maupun memelihara urien.
Manitol adalah bentuk turunan dari gula enam rantai karbo, manosa,
manitol. Distribusi dalam cairan ektraselular dan secara ensensial tidak
dimetabolisme. Manitol bebas filter pada glomerulus dan tidak reabsopsi
oleh tubulus,karena ukuran molekul kecil manitol memberi efek osmotik
yang bermakna dan, selanjutnya meningkatkan aliran urien.
Manitor biasanya diinfus sedikit lebih cepatmakin cepat infus
diberikan maka tinggi kadar dalam darah dan seterusnya, terfilter penuh.
Aliran urien tergantung pada jumlah manitol yang terfilter , dan bila d
infus terlalu lama, perubahan laju alisan urien akan melambat dan kurang
tampak.
Pemeriksaan yang lazim adalah 0,2 g/kg diberikan secara intravena
sebagai larutan 25% selama 3 sampai 5 menit. Bila aliran urien meningkat
lebih besra dari 40 ml/jam , pasien dianggap telah pulih dari gagal ginjal
dan volume urien kemudian di pertahankan 100ml/jam dengan tambahan
manitol dan pergantian cairan sesuai indikasi.
Baru-baru ini, furosemit dan asam etakrinik secara luas telah
megantikan manitol pada diagnosis gagal ginjal refesibel. Sejumlah pasien
yang mengalamai kegagalan diuresis setelah pengingfusan manitol akan
mengalami peingkata voulme urien yang dapat di terima peningkatan
furosemid atau asam etakrinik.
Setalah perbaikan kekurangan volume, diberikan furosemid dengan
dosis 200 samap1000 mg secara intravena puncak diuresis biasanya terjadi
dua jam setelah pemberian, bila furosemid efektif dalam meningkatkan
volume urien memberian ini diulang pada interval 4- sampai 6 jam untuk
mempertahankan lanjut aliran urien sejalan pemberian carian untuk
mempertahankan urien
Pada pasein gagal berspons terhada furosemid maka harus
dipertimbakan diagnosis NTA. Pada pasien yang berspons terhadap
furosemid dan monito, adalah penting menganti kehilangan natrium dan
air untuk menghidari kekurangan. Biasanya , volume urie di gantikan
dengan normal selain berkekuatan tengah. Selain itu, sering kali
dibutuhkan peganti kalium.
e. Penatalaksanaan jika terjadi komplikasi nekrosis tubular akut
1) Penggantian volume
Setelah terjadi NTA, pertimbangan utama adalah pemeliharaan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Selama fase oliguria, volume urin
biasa nya kurang dari 300 ml/hari. Kehilangan yang tidak terlihat rata
rata 800-1000 ml/hari dan sebar nya bebas elektrolit.
Secara umum , penggantian cairan harus mendekati 500 ml/hari.
Selain air akan di dapat dari air yang terdapat dalam makanan
ditambah air oksidasi dari metabolisme. Karena penggunaan protein
dan lemak tubuh,pasien ideal nya harus kehilangan 2,2 lb(1 kg) per
hari untuk mempertahan kan keseimbangan air. Bahaya kelebihan air
dengan akibat gagal jantung kongestif dan edema paru terdapat
sepanjang periode oliguria. Sebaiknya , selama NTA fase deuretik,
pemborosan natrium lebih jauh dapat terjadi berkaitan dengan
peningkatan volume urine. Itu lah sebabnya perlu ,mempertahan kan
pencatatan asupan dan haluaran secara akurat serta penimbangan berat
badan setiap hari pada kedua fase. Hal ini terutama penting bila pada
kesempatan lain untuk kehilangan cairan dan elektrolit seperti muntah,
diare, penghisapan nasogstrik, dan drainase dari fistula. Secara umum,
kehilangan terjadi sebagai akibat dari masalah masalah ini harus
diganti penuh.
2) Terapi Nutrisi
Selain penggantian cairan dan elektrolit, masukan diarahkan pada
pesuplaian pasien dengan kalori dalam bentuk karbohidrat dan lemak
untuk menunjukan laju pemecahan protein tubuh. Karena 1 gr urea di
bentuk dari setiap 6 gr protein yang di metabolism asupan protein
biasa nya di batasi untuk mencegah peningkatan BUN yang terlalu
cepat.
Dengan pengembangan tim nutrisi, telah terjadi kecenderungan
yang berkembang untuk memberikan lebih banyak kalori dan protein
dalam bentuk parenteral atau hiperalimentasi enternal dalam upaya
untuk, meningkatkan kondisi umum pasien dan untuk mempercepat
pemulihan fungsi ginjal. Mengandung 2000-3000 kalori/hari dengan
40-60 gr protein atau asam amino esensial telah di gunakan dengan
frekuensi yang meningkat. Diet ini mengandung lebih dari 500 ml
cairan yang di anjurkan sebelum nya. Oleh karenanya, hiperalimentasi
memerlukan lebih sering dialysis, khusus nya dalam periode
oliguria,sering dalam kombinasi dengan hemofiltrasi.
3) Kontrol Asidosis
Asidosis Metabolik dengan keparahan sedang sedang biasanya
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal. Hal ini merupakan akibat dari
ketidakmampuan ginjal untuk mengeksresi ikatan asam (seperti
H2PO4) yang dihasilkan dari proses metabolik normal.
Asidosis biasanya dapat dikontrol dengan mudah dengan
memberi pasien natrium bikarbonat 30-60 mEq setiap hari tapi tidak
memerlukan pengobatan kecuali HC03¯ turun dibawah 12-15 mEq/L.
4) Kontrol Hiperkalemia
Hiperkalemia umumnya terjadi pada pasien dengan NTA. Ini
merupakan konsekuensi baik karena penurunan kemampuan ginjal
mengeksresi kalium dan pelepasan kalium intraseluler karena asidosis
dan kerusakan jaringan. Asidosis mengakibatkan perpindahan ion
hydrogen ke dalam sel, sehingga menggantikan kalium ke dalam
cairan intraseluler. Keadaan ini mempertahankan netralitas elektron
tetapi meningkatkan keadaan hiperkalemia.
Selain mekanisme untuk menyebabkan hiperkalemia, sering
terabaikan pada pasien sakit akut adalah pembatasan kalori terutama
pembatasan glukosa. Perpindahan glukosa dan asam amino ke dalam
sel-sel disertai dengan kalium. Pada sakit akut, pasien katabolic, bila
asupan diit dibatasi atau terapi cairan intravena dihentikan, kegagalan
perpindahan kalium intraseluler dapat menunjang hiperkalemia.
Karena proses ini membutuhkan insulin, maka difisiensi insulin
mempunyai konsekuensi yang sama, dan penderita diabetic dapat
lebih rentan untuk mengalami gangguan akut keseimbangan kalium
bila terjadi gagal ginjal.
Dengan menggangu translokasi chatecholamineinduced kalium
ke dalam sel-sel, β-bloker juga dapat memperberat hiperkalemia dan
harus dihindari pada pasien GGA.
Hiperkalemia secara klinis dimanifestasikan oleh perubahan
jantung dan neuromuscular. Baik gangguan konduksi jantung maupun
kuadriplegia flaksid akut merupakan kompilkasi yang mengancam
hidup. Perubahan hiperkalemia ini cepat dapat pulih dengan
pemberian kalium glukonas intravena, yang mempunyai efek
antagonis langsung dalam aksi kalium. Kalium serum dapat
diturunkan dalam pemberian natrium bikarbonat intravena untuk
pengobatan asidosis. 4erubahan hiperkalemia ini cepat dapat pulih
dengan pemberian kalium glukonas intravena, yang mempunyai efek
antagonis langsung dalam aksi kalium. Kalium serum dapat
diturunkan dalam pemberian natrium bikarbonat intravena untuk
pengobatan asidosis. Selain itu, pemberian glukosa dan insulin dengan
sering digunakan sebgai metode tambahan perpindahan kalium
eksraseluler ke intraseluler.
Natirum polistiren sulfonat resin (Kayexalate Winthrop
Pharmaceuticals) diberikan peroral (25 gr empat kali sehari dalam 10
ml sorbitol 10%) dapat mengurangi kalium tubuh lebih lambat dan
harus dilakukan bila hiperkalemia mulai terjadi. Selain itu, bila
hiperkalemia yang mengancam terjadi dan pengobatan ini gagal atau
tiak memeperbaiki kalium serum menjadi normal, harus intervensi
kedaruratan baik hemodialisis atau dialysis peritoneal, dialysis
peritoneal umumnya dapat dilakukan lebih cepat. Karena kalium
plasma diseimbangkan denagn cepat oleh cairan peritoneal, kalium
serum dapat diturunkan dengan cepat.
Hiperkalemia selalu dapat dicegah dengan menghindari suplemen
kalium, pemberian terapi kronik untuk asidosis, dan penggunaan
natrium polistiren sulfonat resin bila kalium serum agak sedikit
meningkat.
5) Diuresis Air dan Natrium
Selama NTA fase oilguria, dapat terjadi retensi natrium. Dengan
awitan periode diuretic, bagaimanapun volume urine dan eksresi
natrium dapat mengkat dengan jelas.
Volume urine sebagian besar ditemukan oleh status hidrasi pada
awitan periode diuretic karena konsentarasi natrium secara relative
tetap, kehilangan natrium kebanyakan ditentukan oleh volume urine.
Oleh karenannya jika pasien pada awitan fase diuretic mengalami over
hidrasi dengan jelas, maka kehilangan natrium akan berat. Secara
klinis kekurangan natirum ditandai baik oleh kekurangan volume
ekstraseluler, seperti yang termanifestasi oleh takikardia ddan
hipotensi postural, atau intoksikasi air bila kehilangan natrium
melebihi kehilangan air. Sindrom yang terakhir ini ditandai oleh
menurunnya konsentrasi natrium yang jelas dalam hubungannya
dengan perubahan keperibadian, kejang, koma, dan kematian bila
dibiarkan berlanjut tanpa pengobatan.
Dengan intosikasi air akut, pengobatan ditunjukan untuk
meningkatkan konsentrasi natrium serum dengan pemberian cairan
natirum klorida hipertonik (3%-5%) secara intravena.
6) Sindrom Uremik
Selain gangguan keseimbangan elektrolit, pasien dapat
mengalami gejala uremia. Temuan-temuan awal adalah mual,
anoreksia, dan muntah. Gejala-gejala lanjut stupor, kejang, dan koma.
Selain itu, dapat terjadi abnormalitas perdarahan penumonitis uremik
perikarditis, dan pleuritis.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Darah : ureum, kreatini, elektrolit, serta osmolaritis.
2) Urin : ureum, kreatini, elektrolit, osmolaritis dan berat jenis.
3) Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
4) Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
5) Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia
atau hiponatremia, hipokalesemia dan hiperfosfatemia.
6) Volume urin biasnya kurang dari 400ml/24 jam yang terjadi dalam
24 jam setelah ginjal rusak.
7) Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya
darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
8) Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukkan penyakit gagal
ginjal, contoh: glimerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangan
kemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan berat.
9) PH Urine : lebih dari ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal,
dan gagal ginjal kronik.
10) Osmolarits urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan
kerusakan ginjal, dan retio urine/serum sering 1:1
11) Klirens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun
sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukn peningkatan
bermakna.
12) Natrium urine : biasanya menurun tetapi dapat lebih lebih dari 40
mEq/L bila gijal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
13) Bikarbonat urine : meningkat bila ada asidosis metabolik.
14) SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau
peningkatan GF.
15) Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada.
Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi
atau nefritis intersisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria
minimal.
16) Warna tambahan: biasanya tanpa penyakit ginjal atau infeksi.
Warna tambahan seluler dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah
sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tabahan warna
merah diduga glumerulonefritis.
b. Darah
1) Hb : menurun pada adanya anemia.
2) Sel darah merah : sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan / penurunan hidup.
3) PH : asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena
penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dn
hasil khir metbolisme.
4) BUN / kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1.
5) Osmolaritas serum : lebih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama
dengan urine.
6) Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan selular (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis
sel darah merah).
7) Natrium : biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi.
8) Ph : kalium, dan bikarbonat menurun, klorida, fosfat dan
magnesium meningkat.
9) Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan, dan penurunan sistensi, karena kekurangan asam
amino esensial.
c. CT scan
d. MRI
e. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidak seimbangan elektrolit
dan asam / basa.
9. Pencegahan
Pencegahan gagal ginjal akut meliputi jumlah kasus kegagalan ginjal akut
dapat berkurang melalui pengenalan dan observasi populasi yang beresiko dan
pengenalan serta pengendalian lingkungan faktor-faktor resiko. Kasus
kegagalan ginjal yang terbesar dari kegagalan ginjal akut terjadi pada orang-
orang yang pernah menderita trauma, luka bakar yang ekstensif, bedah aorta,
banyak kehilangan darah masif atau miocardial infark yang parah disertai atau
tanpa disertai aritmia. Kegagalan ginjal akut juga sering pada pasien yang
menderita koagulasi intravaskuler yang abnormal, DIC, karena orang-orang
yang menderita penyakit akut tersebut merupakan calon-calon utama yang
akan mengalami perfusi ginjal yang tidak sempurna. Pemantauan output urine
yang sering dan pendektesian kehilangan cairan tubuh yang banyak akan dapat
membantu mengenal perfusi ginjal yang tidak sempurna sebelum timbul
kegagalan ginjal.
Faktor yang nyata dalam pencegahan populasi umum terdiri dari
pengendalian obat-obat yang nefrotoksis, peningkatan supervisi medis dari
orang-orang dengan faringitis, infeksi saluran nafas atas dan peningkatan
temuan kasus serta pengobatan individu dengan bakteriuria dan obstruktif dari
sistem perkemihan. Usaha-usaha untuk pengendalian dan distribusi serta
identifikasi dari obat-obat nefrotoksis dan bahan-bahan kimia yang
dilaksanakan melalui the Food and Drug Administration (FDA). Identifikasi
obat-obat dan bahan-bahan kimia yang nefrotoksis, mendesak pemasangan
tanda pengenal bahan-bahan itu, dan penjualan obat-obat itu hanya memalui
resep merupakan usaha-usaha dari lembaga dalam peningkatan kesehatan.
Pemasangan tanda pengenal dan penyimpanan obat-obat dan bahan-bahan
kimia dirumah tangga dapat mengurangi sejumlah kasus ketidaksengajaan
memakan bahan-bahan yang nefrotoksis.
(Dalam Buku Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses
keperawatan, 2007)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
Pada pasien gagal ginjal akut terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal
akut sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien
b. Pola nutrisi dan metabolism
Pada pasien gagal ginjal akut biasanya terjadi anoreksi, mual, muntah dan
rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang kurang dan mudah lelah.
Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien. Biasanya
pasien dipasangi NGT untuk pemasukan nutrisi pasien.
c. Pola eliminasi
Pada pasien gagal ginjal akut, ginjal mengalami kehilangan kemampuan
untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal.
Sehingga urine sulit di kelurkan, Terjadi penurunan frekuensi urine dan
penahanan cairan dan natrium. Selain itu pasien gagal ginjal akut juga
mengalami diare dan konstipasi.
d. Pola aktivitas dan latihan
Pada pasien gagal ginjal akut pasien mudah mengalami kelelahan dan
lemas menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari
secara maksimal.
e. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien gagal ginjal biasanya mengalami Gangguan tidur seperti;
insomnia atau gelisah atau somnolen. Nafas dangkal atau sesak nafas,
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot atau nyeri kaki, dan gelisah dapat
mengganggu istirahat klien.
f. Pola kognitif dan persepsi sensori
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan atau kekaburan
pandangan, Sakit kepala, Kram otot/kejang, sindrom kaki gelisah, kebas
rasa terbakar pada telapak kaki, Kebas/kesemutan dan kelemahan
khususnya ekstrimitas bawah (neuropati perifer). Gangguan status mental,
contohnya ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, penurunan lapang perhatian, stupor, koma
g. Pola konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
h. Pola hubungan dan peran
Biasanya pasien akan mengalami gejala kesulitan menentukan kondisi.
(tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran).
i. Pola seksual
Pada pasien gagal ginjal akut angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh
darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi
seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada
proses ejakulasi serta orgasme.
j. Pola mekanisme koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa
marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan
klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif
atau adaptif.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta
gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah
maupun mempengaruhi pola ibadah klien.

Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV
sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering
didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami
peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu
tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi
ringan sampai berat.
b. Kepala
Pada penderita gagal ginjal akut biasanya mengalami retinopati,
konjungtiva anemis, sklera ikterik kadang disertai memerah, rambut
rontok, wajah sembab atau moonface, dan nafas bau amoniak.
c. Leher
Pada pemeriksaan leher mengidentifikasi terjadi peningkatan JVP atau
tidak.
d. Dada
Pada pemeriksaan dada dapat diketahui adanya ronkhi basah atau kering,
serta pada paru mengalami odema.
e. Abdomen
Pada pemeriksaan bagian abdomen dapat diketahui adanya ketegangan,
acites pada penderita gagal ginjal akut, serta klien mengalami mual dan
muntah.
f. Kulit
Pasien yang menderita gagal ginjal akut akan mengalami gangguan pada
kulit yaitu gatal-gatal, kulit akan mudah sekali berdarah, kering dan
bersisik serta perubahan turgor kulit.
g. Ekstremitas
Pada bagian ektrimitas pasien mengalami kelemahan gerak, mudah kram,
terjadi odema. Dan juga adanya akses vaskuler pada ekstremitas atas.
Pemeriksaan Pola Fungsi
a. B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas
dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom
akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering
didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan
menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
b. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi
perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering
didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut
merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari
penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan
usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1.
Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung
akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
c. B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa).
Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit
kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan
terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.
d. B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan
frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada
periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan
jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus.
Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih
pekat/gelap.
e. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
f. B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi. Terdapat odema dan
adanya akses vaskuler pada ekstremitas atas.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
c. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
d. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung.
3. Rencana Keperawatan
DX 1 Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat
mempertahankan pola pernapasan yang efektif
b. Kriteria Hasil :
1) Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
2) Adanya penurunan dispneu
3) Gas-gas darah dalam batas normal
c. Intervensi :
1) Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola
pernapasan.
2) Kaji tanda vital dan tingkat kesadaran setiap jam dan prn
3) Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60
mmHg
4) Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan
pesanan
5) Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan
kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
6) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam
7) Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30
sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan
8) Berikan dorongan untuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk
memegang dada selama batuk
9) Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau
bibir
10) Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan
PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat
dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan
keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.
DX 2 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
a. Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
b. Kriteria Hasil :
1) Bunyi paru bersih
2) Warna kulit normal
3) Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
c. Intervensi :
1) Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
2) Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn,
laporkan perubahan tingkat kesadaran pada dokter.
3) Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan
kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
4) Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji
perlunya CPAP atau PEEP.
5) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
6) Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan
peningkatan atau penyimpangan
7) Pantau irama jantung
8) Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
9) Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
10) Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan
oksigen.
DX 3 Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
a. Tujuan: setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi
kelebihan volume cairan
b. Kriteria Hasil :
1) TTV normal
2) Balance cairan dalam batas normal
3) Tidak terjadi edema
c. Intervensi :
1) Timbang BB tiap hari
2) Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
3) Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
4) Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
5) Monitor parameter hemodinamik
6) Kolaborasi untuk pemberian cairandan elektrolit
DX 4 Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung.
a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu
mempertahankan perfusi jaringan.
b. Kriteria Hasil :
1) Status hemodinamik dalam bata normal
2) TTV normal
c. Intervensi :
1) Kaji tingkat kesadaran
2) Kaji penurunan perfusi jaringan
3) Kaji status hemodinamik
4) Kaji irama EKG
5) Kaji sistem gastrointestinal
II. GAGAL GINJAL KRONIK
A. Konsep Dasar Teori
1. Pengertian
Gagal ginjal yaitu ketika ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan
asupanmakanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi dua kategori yaitu gagal
ginjal kronik dan gagal ginjal akut. Gagal ginjal kronik merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung
beberapa tahun. (Price & Wilson, 2006)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merup akan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2005)
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal
dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar
dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi
ginjal). (Nursalam, 2006)
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (ERDS) adalah istilah
yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsi ginjal yang diakibatkan
oleh proses ireversibel. (Patricia, 2006)
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung perlahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap
yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksin uremik) sehingga
ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala
sakit (Hudak & Gallo, 2007).
Gagal ginjal kronik yaitu destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus
menerus. (Corwin, 2006)
Gagal ginjal kronis terjadi apabila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan
pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi sehat ke
status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu
beberaapa tahun. (Barbara, C. Long, 2006)
Penyakit ginjal kronik adalah proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, dkk, 2006)
Penyakit ginjal kronik (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang
terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate/GFR)
dengan manifestasi kelainan patologis atau terdapat tanda-tanda kelainan
ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi kimia darah, atau urin, atau
kelainan radiologis (wibowo, 2010).
2. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagi berikut glomerulonefritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%). (Roesli, 2008)
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbsgsi penyakit ginjal
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan
gambaran histopalogi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
mellitus, lupus eritematosus sistemik (LES), myeloma multiple, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefrits
mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan
urine rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medic yang harus
memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialysis (Sukandar, 2006)
b. Diabetes mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005) diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua – duanya. Diabetes mellitus sering disebut
sebagai the great imitator,karena penyakit ini dapat mengenai semua organ
tubuh dan mengakibatkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan – lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan
yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolic ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
dapat diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertnsi sekunder atau
disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan
atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan
ini dapat ditemukan kista – kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di
korteks maupun di medulla. Selain oleh karena kelainan genetic, kista
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjalpolkistik
merupakan kelainan genetic yang paling sering didapatkan. Nama lain
yanh lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult
polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi
pada usia diatas 30 tahun.ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus,
bayidan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai
daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).
3. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala dari gagal ginjal kronis menurut Brunner and
Suddarth (2005) yaitu :
a. Kardiovaskuler
1) Hipertensi
2) Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
3) Edema periorbital
4) Friction rub pericardial
5) Pembesaran vena leher
b. Integument
1) Warna kulit abu-abu mengkilat
2) Kulit kering, bersisik
3) Pruritus
4) Ekimosis
5) Kuku tipis dan rapuh
6) Rambut tipis dan kasar
c. Pulmoner
1) Krekels
2) Sputum kental dan liat
3) Napas dangkal
4) Pernapasan kussmaul
d. Gastrointestinal
1) Napas berbau ammonia
2) Ulserasi dan perdarahan pada mulut
3) Anoreksia, mual dan muntah
4) Konstipasi dan diare
5) Perdarahan dari saluran GI
e. Neurologi
1) Kelemahan dan keletihan
2) Konfusi
3) Disorientasi
4) Kejang
5) Kelemahan pada tungkai
6) Rasa panas pada telapak kaki
7) Perubahan perilaku
f. Musculoskeletal
1) Kram otot
2) Kekuatan otot hilang
3) Fraktur tulang
4) Foot drop
g. Reproduktif
1) Amenore
2) Otrofi testikuler

Manifestasi klinis gagal ginjal kronis menurut NANDA NIC-NOC (2013),


yaitu:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, lupus
eritomatosus sistemik (LES)
b. Sindrom uremia, yan terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain: hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida)
4. Pathway
5. Patofisiologi
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolism protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun daam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik
setelah dialisis.
Gangguan klirens renal, banyak masalah muncul apada gagal ginjal
sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan
oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi gromerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya
filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan
menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu kadar nitrogen
urea darah (BUN) biasanya meningkat. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh
penyakit renal, tetapi juga oleh masukan proteindalam diet, katabolisme
(jaringan dan luka RBC) danmedikasi seperti steroid.
Retensi Cairan dan Natrium. Ginjal juga tidak mampu untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit
ginjal tahap akhir; respons ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium
dan cairan, meningkatan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan
hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin
dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecendrungan untuk kehilangan garam ; mencetuskan resiko
hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan
air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis. Dengan semakin berkembangnya penyakit renal,terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengsekresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi ammonia (NH3-) dan
mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan eksresi fosfat dan asam
organic lainnya juga terjadi.
Anemia. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi normal
yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan
sel darah merah. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia
berat terjadi, disertai keletihan, angina dan napas sesak.
Ketidakseimbangan Kalsiuim dan Fosfat. Abnormalitas utama yang lain
pada gagal ginjal kronis adalah gangguana metabolism kalsium dan fosfat.
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik;
jika salah satunya meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya
filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat penignkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum
menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian,
pada dadl ginjal, tubuh tudak berespon secara normal terhadap peningkatan
sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium ditulang menurun., menyebabkan
perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin
D (1,25-dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun
seiring dengan berkembangnya gagal ginjal.
Penyakit tulang uremik, sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari
perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis
berkaitan dengan gangguan yang mendasari, eksresi protein dalm urin, dan
adanya hipertensi. Pasien yang mengeksresikan secara signifikan sejumlah
protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung kan cepat
memburuk daripada mereka yang tidak mengalami kondisi ini.
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi lima stadium
yaitu:
a. Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan
lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan
hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat
menyebabkan glomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus
matriks mesangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membran
basalin kapiler.
b. Stadium 2, insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah
rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum
meningkat.
c. Stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan.
Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan
terjadi hipertensi.
d. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati
dan hipertensi hampir selalu ditemui.
e. Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan
kreatinin plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat.
6. Klasifikasi
Adapun kriteria penyakit ginjal kronik menurut Smeltzer & Bare (2006) Yaitu:
a. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan
struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LGF), berdasarkan :
1) Kelainan patologik atau
2) Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah
atau urin, atau kelainan pada pemerikasaan pencitaraan.
b. LFG <60 ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal. Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis adalah adanya kerusakan fungsi
ginjal secara progresif sehingga tubuh akan mengalami gangguan karena
ginjal tidak mampu mempertahnkan substansi tubuh dalam keadaan
nomal. Penyakit ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible di mana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia/ retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah.
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit Sumber :
Suwitra dalam Sudoyo (2006)
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29
5 PGTA < 15

7. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2001)
yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolic, katabolisme,
dan masukan diet berlebihan
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensis-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan
kehilangan darah selama hemodialisis
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan
peningkatan kadar alumunium.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik menurut Arif Mansjoer (2005) yaitu :
a. Tentukan dan tata laksananya.
b. Optimalisai dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.
Biasanya diusahakan hingga tekanan vena jugularis sedikit meningkat
dan terdapat edema betis ringan. Pada beberapa pasien, furosemid dosis
besar (2500-1000mg/hari) atau deuretik loop (bumetamid,asam etakrinat)
diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan,sementara pasien lain
mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau natrium
bikarbonat.pengawasan dilakukan melalui berat badan, urin dan pencatatan
keseimbanan cairan (masukan melebihi keluaran sekitar 500ml).
c. Diet tinggi kalori dan rendah protein
Diet rendah protein (20-40g/hri) dan tinggi kalori menghilangkan
anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan
perbaikan gejala.hindari masukan berlebih dari kalium dan garam.
d. Kontrol hipertensi
Bila tidak terkontrol dapat terakselerasi dengan hasil gagal jantung
kiri. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam
dan cairan diatur sendiri tanpa tergantung tekanan darah. sering diperlukan
diuretik loop,selain obat antihipertensi.
e. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat untuk
mencegah hiperkalemia dihindari masukan kalium yang besar (batasi
hingga 60 mol/hari) deuretik hemat kalium, obat – obat yang berhubungan
dengan ekresi kalium (misalnya, penghambat ACE dan obat antiinflamsi
nonosteroid) asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan
pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar
kalium plasma dan EKG. Gejala – gejala asidosis baru jelas bila
bikarbonat plasma kurang dari 15mol/liter biasanya terjadi pada pasien
yang sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki spontan dengan
dehidrasi. Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.
f. Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti
aliminium hidroksida (300-1800mg) atau kalsium karbonat (500 – 300
mg) pada setiap makan. Namun hati – hati pada toksititas obat
tersebut.diberikan suplemen vitanin D dan dilakukan paratidektomi atas
indikasi.
g. Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imunosupresif dan diterapi
lebih ketat.
h. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal
Banyak obat- obatan yang harus diturunkan dosisnya karena
metaboliknya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal misalna digoksin
aminoglikosid, analgesik opiat,amfoteresin, dan alopurinol juga obat
obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah misalnya
tetrasiklin, kortikosteroid, dan sitostatik.
i. Deteksi dan terapi komplikasi
Awasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati uremia, perikarditis
neuropati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang
meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan,
sehingga diperlukan dialisis.
j. Persiapkan dialisis dan program transplantasi
Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik diteteksi. Lakukan
dialisis biasanya adalah gagal ginjal dengan gejala klinis yang jelas meski
telah dilakukan terapi konservatif, atau terjadi komplikasi.
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium : Sementara massa nefron dan fungsi ginjal
berkurang, ginjal menjadi tidak mampu mengatur cairan, elektrolit, dan
sekresi hormon.
1) Natrium. Bila GFR turun di bawah 20-25 mL/menit, ginjal menjadi
tidak mampu mengekskresi beban natrium ataupun menyimpan
natrium; ini sering menyebabkan retensi natrium dengan akibat
edema, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sejumlah kecil pasien
(1-2%) menderita nefropati “membuang garam” (salt wasting
nephropathy), yang mengakibatkan kekurangan natrium meskipun diet
natrium tak dibatasi. Pasien ini biasanya memilki penyakit ginjal
interstisial yang mendasari dan mungkin membutuhkan tambahan
garam dalam diet untuk mempertahankan keseimbangan natrium.
2) Air. Sementara fungsi ginjal memburuk, kemampuan ginjal untuk
memekatkan dan mengencerkan urin menjadi terganggu, dan kadar
urin menjadi isotonik. Tetapi, mekanisme rasa haus yang masih utuh
biasanya dapat mempertahankan keseimbangan air sampai perjalanan
penyakit telah lanjut. Pembatasan air yang berat dapat mengakibatkan
hipernatremia, menurunnya ekskresisolut, dan kenaikan BUN dan
kreatinin serum; sementara asupan air yang terlalu banyak
menyebabkan hiponatremia.
3) Kalium. Keseimbangan kalium dipertahankan oleh peningkatan
sekresi di tubulus distal dan peningkatan ekskresi gastrointestinal
lewat peningkatan kadar aldosteron. Tetapi, bila GFR turun sampai 10
mL/menit pasien dapat mengalami hiperkalemia kalau sistemnya
diberi tekanan oleh beban kalium akibat peningkatan konsumsi buah,
sayur-mayur, atau garam kalium (pengganti garam) ; pemberian obat
tertentu misalnya antagonis-aldosteron (spironolakton, triamterin) dan
penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEis); asidosis
metabolik; atau asidosis tubulus ginjal tipe IV.
4) Keseimbangan Asam-Basa. Asidosis hiperkloremik. Asidosis
metabolik hiperkloremik tanpa celah anion (nonanion gap) dapat
terjadi pada awal gagal ginjal, terutama pada pasien dengan penyakit
tubulointestinal yang kronik. Ini terjadi karena ginjal tidak mampu
meningkatkan produksi amonia dan ekskresi ion hidrogen. Asidosis
dengan kenaikan celah anion. Asidosis metabolik celah anion terjadi
akibat akumulasi anion fosfat dan sulfat yang tak terukur.
5) Kalsium, Fosfor, dan Mangnesium. Hipokalsemia terjadi akibat
menurunnya produksi 1,25-dihidroksikolekalsiferol (vitamin D) oleh
ginjal, yang menyebabkan berkurangnya absorpsi kalsium oleh sistem
gastrointestinal. Sementara GFR menurun, ekskresi fosfat juga
berkurang, mengakibatkan peningkatan fosfor serum. Hiperfosfatemi
juga menybabkan kadar ion kalsium dalam serum. Hipokalsemia
merangsang absorpsi sekresi hormon patiroid (PTH), yang
mengakibatkan penyakit tulang hiperparatiroid (oeteitis fibrosa).
Hipermagnesemia biasanya ringan dan asimptomatis. Pemberian
laksatif, enema, atau antasida yang mengandung magnesium dapat
menyebabkan hipermagnesia simptomatis yang mengakibatkan gejala
neuromuskuler (letargi, kelemahan, paralisis, kegagalan pernapasan).
6) Darah ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas.
b. Urin : ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
c. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
d. Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
e. Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia, atau
hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia
f. Urine
1) Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam
24 jam setelah ginjal rusak.
2) Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah,
Hb, Mioglobin, porfirin.
3) Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal,
contoh : glomerulonefritis, piolonefritis dengan
kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada
1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.
4) PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal,
dan gagal ginjal kronik.
5) Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan
ginjal, dan ratio urine/serum sering 1:1.
6) Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum
BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
7) Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L
bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
8) Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
9) SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau
peningkatan GF.
10) Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan
kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada.
Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau
nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
11) Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna
tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel
tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah
diduga nefritis glomular.
g. Darah :
1) Hb. : menurun pada adanya anemia.
2) Sel Darah Merah : Sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan/penurunan hidup.
3) PH : Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena
penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan
hasil akhir metabolisme.
4) BUN/Kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1
5) Osmolaritas serum : lebih beras dari 285 mOsm/kg; sering sama
dengan urine.
6) Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan selular ( asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis
sel darah merah).
7) Natrium : Biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi
8) Ph; kalium, dan bikarbonat menurun.
9) Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
10) Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan
penurunan sintesis,karena kekurangan asam amino esensial.
h. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
2) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filtrat glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
3) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
4) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
menegcil, korteks yang menipis, adanya hidronefritis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi.
5) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
i. Pemeriksaan Lainnya
DPL, ureum, kreatinin, UL, Tes klirens kreatinin (TTK) ukur,
elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula darah,
AGD, SI, TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG
ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostatis lengkap, foto polos abdomen,
renogram, foto toraks, EKG, ekokardiografi, biopsi ginjal, HbsAg, Anti
HCV, Anti HIV.
1) Magnesium / Fosfat : Meningkat
2) Kalsium : Menurun
3) Protein (Khususnya albumin) : kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam
amino esensial.
4) Osmolalitas serum : lebih besar dari 285 mOsm / kg ; sering sama
dengan urine.
5) KUB foto ; menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obstruksi ( batu).
6) Pielogram retrograt : menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter.
7) Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengindentifikasi
ekstravaskular, massa.
8) Sistouretrogram berkemih : menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluks ke dalam ureter, retensi.
9) Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya massa kista,
opstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
10) Biopsi ginjal : mungkin di lakukan secara endoskopik untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologist.
11) Endoskopi ginjal, nefroskopi : di lakukan untuk menentukan pelvis
ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
12) EKG : mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit
dan asam atau basa.
13) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan : dapat
menunjukkan demineralisasi, klasifikasi.
(Barbara C Long, 2001)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat penyakit sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi
c. Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Nutrisi
Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edema), penuruna berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak
sedap di mulut (pernapasan amonia), penggunaan diuretic.
Tanda : Distensi abdomen/asites, pembesaran hati, perubahan turgor
kulit/kelembaban, edema (umum,tergantung), ulserasi gusi,
perdarahan gusi/lidah, penurunan oto, penurunan lemak subkutan,
penampilan tak bertenaga.
2) Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen
kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, cokelat,
berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.
3) Aktivitas
Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur
(insomnia / gelisah atau somnolen)
4) Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
e. Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran : disorientasi, gelisah, letargi, samnolen sampai koma
2) Kepala : edema muka (orbita),mulut bau khas ureum
3) Dada : pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
4) Perut : adanya edema (asites)
5) Ekstrimitas : edema tungkai, spastisitas otot
6) Kulit : sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
7) Tanda vital : peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah,
hipertensi, nafas cepat dan dalam, dyspnea.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema skunder
c. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah.
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kurangnya suplai O2 ke
jaringan
e. Gangguan pertukaran gas berubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat, keletihan
3. Rencana Keperawatan
DX1 Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
a. Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
b. Kriteria hasil :
1) Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal
2) Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
c. Intervensi:
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru
Rasional : Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
2) Kaji adanya hipertensi
Rasional : Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya
(skala 0-10)
Rasional : HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
4) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
Rasional : Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
DX 2 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan
H2O)
a. Tujuan : mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan
b. Kriteria hasil :
1) Tidak ada edema
2) keseimbangan antara input dan output.
c. Intervensi:
1) Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
Rasional : mengetahui tanda-tanda dehidrasi
2) Batasi masukan cairan
Rasional : Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran
urin, dan respon terhadap terapi
3) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan
4) Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
DX 3 Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah
a. Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan
b. Kriteria hasil : Menunjukan BB stabil
c. Intervensi:
1) Awasi konsumsi makanan/cairan
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
2) Perhatikan adanya mual dan muntah
Rasional : Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang
dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan
intervensi
3) Berikan makanan sedikit tapi serin
Rasional : Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
4) Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
Rasional : Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
5) Berikan perawatan mulut sering
Rasional : Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak
disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
DX 4 Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kurangnya suplai O2 ke
jaringan
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di harapkan
integritas kulit dapat terjaga.
b. Kriteria hasil :
1) Mempertahankan kulit tubuh
2) Menunjukan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit
c. Intervensi:
1) Inpeksi kulit terhadap perubahan warna,turgor, vaskuler, perhatikan
keadaan kemerahan
Rasional : Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang
dapat menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan memberan mukosa
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hisrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
3) Inspeksi area tergantung terhadap oedema
Rasional : Jaringan odem lebih ccendrung rusak atau robek
4) Ubah posisi sesering mungkin
Rasional : Menurunkan tekanan pada odem, jaringan dengan perfusi
buruk untuk menurunkan iskemia
5) Berikan perawatan kulit
Rasional : Menghindari terjadinya kulit yang bersisik
6) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area prutitis
7) Rasional : mencegah terjadinya kerusakan intehritas kulit
DX 5 Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
a. Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
b. Kriteria hasil
1) Pernafasan teratur
2) Tidak menggunakan otot bantu pernafasan
3) RR = 26 – 24 x/menit
c. Intervensi:
1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
Rasional : Menyatakan adanya pengumpulan sekret
2) Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
Rasional : Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
3) Atur posisi senyaman mungkin
Rasional : Mencegah terjadinya sesak nafas
4) Batasi untuk beraktivitas
Rasional : Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak
atau hipoksia
DX 6 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
a. Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga
b. Kriteria hasil :
1) Mempertahankan kulit utuh
2) Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
c. Intervensi:
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler,
perhatikan kadanya kemerahan
Rasional : Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang
dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
3) Inspeksi area tergantung terhadap udem
Rasional : Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
4) Ubah posisi sesering mungkin
Rasional : Menurunkan tekanan pada udem, jaringan dengan perfusi
buruk untuk menurunkan iskemia
5) Berikan perawatan kulit
Rasional : Mengurangi pengeringan , robekan kulit
6) Pertahankan linen kering
Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
7) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area pruritis.
Rasional : Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko
cedera
8) Anjurkan memakai pakaian katun longgar
Rasional : Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan
evaporasi lembab pada kulit
DX 7 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat, keletihan
a. Tujuan : pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
b. Kriteria Hasil
1) Nadi = 60 – 100 x/menit
2) TD dalam rentang normal
3) Tidak mudah lelah
c. Intervensi:
1) Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
2) Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
4) Pertahankan status nutrisi yang adekuat

Anda mungkin juga menyukai