Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV
sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering
didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami
peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu
tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi
ringan sampai berat.
b. Kepala
Pada penderita gagal ginjal akut biasanya mengalami retinopati,
konjungtiva anemis, sklera ikterik kadang disertai memerah, rambut
rontok, wajah sembab atau moonface, dan nafas bau amoniak.
c. Leher
Pada pemeriksaan leher mengidentifikasi terjadi peningkatan JVP atau
tidak.
d. Dada
Pada pemeriksaan dada dapat diketahui adanya ronkhi basah atau kering,
serta pada paru mengalami odema.
e. Abdomen
Pada pemeriksaan bagian abdomen dapat diketahui adanya ketegangan,
acites pada penderita gagal ginjal akut, serta klien mengalami mual dan
muntah.
f. Kulit
Pasien yang menderita gagal ginjal akut akan mengalami gangguan pada
kulit yaitu gatal-gatal, kulit akan mudah sekali berdarah, kering dan
bersisik serta perubahan turgor kulit.
g. Ekstremitas
Pada bagian ektrimitas pasien mengalami kelemahan gerak, mudah kram,
terjadi odema. Dan juga adanya akses vaskuler pada ekstremitas atas.
Pemeriksaan Pola Fungsi
a. B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas
dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom
akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering
didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan
menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
b. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi
perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering
didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut
merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari
penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan
usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1.
Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung
akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
c. B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa).
Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit
kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan
terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.
d. B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan
frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada
periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan
jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus.
Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih
pekat/gelap.
e. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
f. B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi. Terdapat odema dan
adanya akses vaskuler pada ekstremitas atas.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
c. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
d. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung.
3. Rencana Keperawatan
DX 1 Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat
mempertahankan pola pernapasan yang efektif
b. Kriteria Hasil :
1) Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
2) Adanya penurunan dispneu
3) Gas-gas darah dalam batas normal
c. Intervensi :
1) Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola
pernapasan.
2) Kaji tanda vital dan tingkat kesadaran setiap jam dan prn
3) Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60
mmHg
4) Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan
pesanan
5) Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan
kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
6) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam
7) Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30
sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan
8) Berikan dorongan untuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk
memegang dada selama batuk
9) Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau
bibir
10) Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan
PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat
dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan
keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.
DX 2 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
a. Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
b. Kriteria Hasil :
1) Bunyi paru bersih
2) Warna kulit normal
3) Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
c. Intervensi :
1) Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
2) Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn,
laporkan perubahan tingkat kesadaran pada dokter.
3) Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan
kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
4) Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji
perlunya CPAP atau PEEP.
5) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
6) Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan
peningkatan atau penyimpangan
7) Pantau irama jantung
8) Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
9) Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
10) Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan
oksigen.
DX 3 Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
a. Tujuan: setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi
kelebihan volume cairan
b. Kriteria Hasil :
1) TTV normal
2) Balance cairan dalam batas normal
3) Tidak terjadi edema
c. Intervensi :
1) Timbang BB tiap hari
2) Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
3) Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
4) Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
5) Monitor parameter hemodinamik
6) Kolaborasi untuk pemberian cairandan elektrolit
DX 4 Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung.
a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu
mempertahankan perfusi jaringan.
b. Kriteria Hasil :
1) Status hemodinamik dalam bata normal
2) TTV normal
c. Intervensi :
1) Kaji tingkat kesadaran
2) Kaji penurunan perfusi jaringan
3) Kaji status hemodinamik
4) Kaji irama EKG
5) Kaji sistem gastrointestinal
II. GAGAL GINJAL KRONIK
A. Konsep Dasar Teori
1. Pengertian
Gagal ginjal yaitu ketika ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan
asupanmakanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi dua kategori yaitu gagal
ginjal kronik dan gagal ginjal akut. Gagal ginjal kronik merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung
beberapa tahun. (Price & Wilson, 2006)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merup akan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2005)
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal
dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar
dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi
ginjal). (Nursalam, 2006)
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (ERDS) adalah istilah
yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsi ginjal yang diakibatkan
oleh proses ireversibel. (Patricia, 2006)
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung perlahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap
yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksin uremik) sehingga
ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala
sakit (Hudak & Gallo, 2007).
Gagal ginjal kronik yaitu destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus
menerus. (Corwin, 2006)
Gagal ginjal kronis terjadi apabila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan
pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi sehat ke
status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu
beberaapa tahun. (Barbara, C. Long, 2006)
Penyakit ginjal kronik adalah proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, dkk, 2006)
Penyakit ginjal kronik (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal yang
terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate/GFR)
dengan manifestasi kelainan patologis atau terdapat tanda-tanda kelainan
ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi kimia darah, atau urin, atau
kelainan radiologis (wibowo, 2010).
2. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagi berikut glomerulonefritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%). (Roesli, 2008)
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbsgsi penyakit ginjal
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan
gambaran histopalogi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
mellitus, lupus eritematosus sistemik (LES), myeloma multiple, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefrits
mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan
urine rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medic yang harus
memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialysis (Sukandar, 2006)
b. Diabetes mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005) diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua – duanya. Diabetes mellitus sering disebut
sebagai the great imitator,karena penyakit ini dapat mengenai semua organ
tubuh dan mengakibatkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan – lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan
yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolic ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
dapat diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertnsi sekunder atau
disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan
atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan
ini dapat ditemukan kista – kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di
korteks maupun di medulla. Selain oleh karena kelainan genetic, kista
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjalpolkistik
merupakan kelainan genetic yang paling sering didapatkan. Nama lain
yanh lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult
polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi
pada usia diatas 30 tahun.ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus,
bayidan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai
daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).
3. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala dari gagal ginjal kronis menurut Brunner and
Suddarth (2005) yaitu :
a. Kardiovaskuler
1) Hipertensi
2) Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
3) Edema periorbital
4) Friction rub pericardial
5) Pembesaran vena leher
b. Integument
1) Warna kulit abu-abu mengkilat
2) Kulit kering, bersisik
3) Pruritus
4) Ekimosis
5) Kuku tipis dan rapuh
6) Rambut tipis dan kasar
c. Pulmoner
1) Krekels
2) Sputum kental dan liat
3) Napas dangkal
4) Pernapasan kussmaul
d. Gastrointestinal
1) Napas berbau ammonia
2) Ulserasi dan perdarahan pada mulut
3) Anoreksia, mual dan muntah
4) Konstipasi dan diare
5) Perdarahan dari saluran GI
e. Neurologi
1) Kelemahan dan keletihan
2) Konfusi
3) Disorientasi
4) Kejang
5) Kelemahan pada tungkai
6) Rasa panas pada telapak kaki
7) Perubahan perilaku
f. Musculoskeletal
1) Kram otot
2) Kekuatan otot hilang
3) Fraktur tulang
4) Foot drop
g. Reproduktif
1) Amenore
2) Otrofi testikuler
7. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2001)
yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolic, katabolisme,
dan masukan diet berlebihan
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensis-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan
kehilangan darah selama hemodialisis
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan
peningkatan kadar alumunium.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik menurut Arif Mansjoer (2005) yaitu :
a. Tentukan dan tata laksananya.
b. Optimalisai dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.
Biasanya diusahakan hingga tekanan vena jugularis sedikit meningkat
dan terdapat edema betis ringan. Pada beberapa pasien, furosemid dosis
besar (2500-1000mg/hari) atau deuretik loop (bumetamid,asam etakrinat)
diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan,sementara pasien lain
mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau natrium
bikarbonat.pengawasan dilakukan melalui berat badan, urin dan pencatatan
keseimbanan cairan (masukan melebihi keluaran sekitar 500ml).
c. Diet tinggi kalori dan rendah protein
Diet rendah protein (20-40g/hri) dan tinggi kalori menghilangkan
anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan
perbaikan gejala.hindari masukan berlebih dari kalium dan garam.
d. Kontrol hipertensi
Bila tidak terkontrol dapat terakselerasi dengan hasil gagal jantung
kiri. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam
dan cairan diatur sendiri tanpa tergantung tekanan darah. sering diperlukan
diuretik loop,selain obat antihipertensi.
e. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat untuk
mencegah hiperkalemia dihindari masukan kalium yang besar (batasi
hingga 60 mol/hari) deuretik hemat kalium, obat – obat yang berhubungan
dengan ekresi kalium (misalnya, penghambat ACE dan obat antiinflamsi
nonosteroid) asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan
pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar
kalium plasma dan EKG. Gejala – gejala asidosis baru jelas bila
bikarbonat plasma kurang dari 15mol/liter biasanya terjadi pada pasien
yang sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki spontan dengan
dehidrasi. Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.
f. Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti
aliminium hidroksida (300-1800mg) atau kalsium karbonat (500 – 300
mg) pada setiap makan. Namun hati – hati pada toksititas obat
tersebut.diberikan suplemen vitanin D dan dilakukan paratidektomi atas
indikasi.
g. Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imunosupresif dan diterapi
lebih ketat.
h. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal
Banyak obat- obatan yang harus diturunkan dosisnya karena
metaboliknya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal misalna digoksin
aminoglikosid, analgesik opiat,amfoteresin, dan alopurinol juga obat
obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah misalnya
tetrasiklin, kortikosteroid, dan sitostatik.
i. Deteksi dan terapi komplikasi
Awasi dengan ketat kemungkinan ensefalopati uremia, perikarditis
neuropati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang
meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan,
sehingga diperlukan dialisis.
j. Persiapkan dialisis dan program transplantasi
Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik diteteksi. Lakukan
dialisis biasanya adalah gagal ginjal dengan gejala klinis yang jelas meski
telah dilakukan terapi konservatif, atau terjadi komplikasi.
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium : Sementara massa nefron dan fungsi ginjal
berkurang, ginjal menjadi tidak mampu mengatur cairan, elektrolit, dan
sekresi hormon.
1) Natrium. Bila GFR turun di bawah 20-25 mL/menit, ginjal menjadi
tidak mampu mengekskresi beban natrium ataupun menyimpan
natrium; ini sering menyebabkan retensi natrium dengan akibat
edema, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sejumlah kecil pasien
(1-2%) menderita nefropati “membuang garam” (salt wasting
nephropathy), yang mengakibatkan kekurangan natrium meskipun diet
natrium tak dibatasi. Pasien ini biasanya memilki penyakit ginjal
interstisial yang mendasari dan mungkin membutuhkan tambahan
garam dalam diet untuk mempertahankan keseimbangan natrium.
2) Air. Sementara fungsi ginjal memburuk, kemampuan ginjal untuk
memekatkan dan mengencerkan urin menjadi terganggu, dan kadar
urin menjadi isotonik. Tetapi, mekanisme rasa haus yang masih utuh
biasanya dapat mempertahankan keseimbangan air sampai perjalanan
penyakit telah lanjut. Pembatasan air yang berat dapat mengakibatkan
hipernatremia, menurunnya ekskresisolut, dan kenaikan BUN dan
kreatinin serum; sementara asupan air yang terlalu banyak
menyebabkan hiponatremia.
3) Kalium. Keseimbangan kalium dipertahankan oleh peningkatan
sekresi di tubulus distal dan peningkatan ekskresi gastrointestinal
lewat peningkatan kadar aldosteron. Tetapi, bila GFR turun sampai 10
mL/menit pasien dapat mengalami hiperkalemia kalau sistemnya
diberi tekanan oleh beban kalium akibat peningkatan konsumsi buah,
sayur-mayur, atau garam kalium (pengganti garam) ; pemberian obat
tertentu misalnya antagonis-aldosteron (spironolakton, triamterin) dan
penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEis); asidosis
metabolik; atau asidosis tubulus ginjal tipe IV.
4) Keseimbangan Asam-Basa. Asidosis hiperkloremik. Asidosis
metabolik hiperkloremik tanpa celah anion (nonanion gap) dapat
terjadi pada awal gagal ginjal, terutama pada pasien dengan penyakit
tubulointestinal yang kronik. Ini terjadi karena ginjal tidak mampu
meningkatkan produksi amonia dan ekskresi ion hidrogen. Asidosis
dengan kenaikan celah anion. Asidosis metabolik celah anion terjadi
akibat akumulasi anion fosfat dan sulfat yang tak terukur.
5) Kalsium, Fosfor, dan Mangnesium. Hipokalsemia terjadi akibat
menurunnya produksi 1,25-dihidroksikolekalsiferol (vitamin D) oleh
ginjal, yang menyebabkan berkurangnya absorpsi kalsium oleh sistem
gastrointestinal. Sementara GFR menurun, ekskresi fosfat juga
berkurang, mengakibatkan peningkatan fosfor serum. Hiperfosfatemi
juga menybabkan kadar ion kalsium dalam serum. Hipokalsemia
merangsang absorpsi sekresi hormon patiroid (PTH), yang
mengakibatkan penyakit tulang hiperparatiroid (oeteitis fibrosa).
Hipermagnesemia biasanya ringan dan asimptomatis. Pemberian
laksatif, enema, atau antasida yang mengandung magnesium dapat
menyebabkan hipermagnesia simptomatis yang mengakibatkan gejala
neuromuskuler (letargi, kelemahan, paralisis, kegagalan pernapasan).
6) Darah ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas.
b. Urin : ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
c. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
d. Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
e. Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia, atau
hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia
f. Urine
1) Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam
24 jam setelah ginjal rusak.
2) Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah,
Hb, Mioglobin, porfirin.
3) Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal,
contoh : glomerulonefritis, piolonefritis dengan
kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada
1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.
4) PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal,
dan gagal ginjal kronik.
5) Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan
ginjal, dan ratio urine/serum sering 1:1.
6) Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum
BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
7) Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L
bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
8) Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
9) SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau
peningkatan GF.
10) Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan
kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada.
Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau
nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
11) Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna
tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel
tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah
diduga nefritis glomular.
g. Darah :
1) Hb. : menurun pada adanya anemia.
2) Sel Darah Merah : Sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan/penurunan hidup.
3) PH : Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena
penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan
hasil akhir metabolisme.
4) BUN/Kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1
5) Osmolaritas serum : lebih beras dari 285 mOsm/kg; sering sama
dengan urine.
6) Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan selular ( asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis
sel darah merah).
7) Natrium : Biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi
8) Ph; kalium, dan bikarbonat menurun.
9) Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
10) Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan
penurunan sintesis,karena kekurangan asam amino esensial.
h. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
2) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filtrat glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
3) Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
4) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
menegcil, korteks yang menipis, adanya hidronefritis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi.
5) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
i. Pemeriksaan Lainnya
DPL, ureum, kreatinin, UL, Tes klirens kreatinin (TTK) ukur,
elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula darah,
AGD, SI, TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG
ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostatis lengkap, foto polos abdomen,
renogram, foto toraks, EKG, ekokardiografi, biopsi ginjal, HbsAg, Anti
HCV, Anti HIV.
1) Magnesium / Fosfat : Meningkat
2) Kalsium : Menurun
3) Protein (Khususnya albumin) : kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan,
penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam
amino esensial.
4) Osmolalitas serum : lebih besar dari 285 mOsm / kg ; sering sama
dengan urine.
5) KUB foto ; menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obstruksi ( batu).
6) Pielogram retrograt : menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter.
7) Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengindentifikasi
ekstravaskular, massa.
8) Sistouretrogram berkemih : menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluks ke dalam ureter, retensi.
9) Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya massa kista,
opstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
10) Biopsi ginjal : mungkin di lakukan secara endoskopik untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologist.
11) Endoskopi ginjal, nefroskopi : di lakukan untuk menentukan pelvis
ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
12) EKG : mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit
dan asam atau basa.
13) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan : dapat
menunjukkan demineralisasi, klasifikasi.
(Barbara C Long, 2001)
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat penyakit sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi
c. Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Nutrisi
Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edema), penuruna berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak
sedap di mulut (pernapasan amonia), penggunaan diuretic.
Tanda : Distensi abdomen/asites, pembesaran hati, perubahan turgor
kulit/kelembaban, edema (umum,tergantung), ulserasi gusi,
perdarahan gusi/lidah, penurunan oto, penurunan lemak subkutan,
penampilan tak bertenaga.
2) Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen
kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, cokelat,
berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.
3) Aktivitas
Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur
(insomnia / gelisah atau somnolen)
4) Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
e. Pemeriksaan fisik
1) Kesadaran : disorientasi, gelisah, letargi, samnolen sampai koma
2) Kepala : edema muka (orbita),mulut bau khas ureum
3) Dada : pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
4) Perut : adanya edema (asites)
5) Ekstrimitas : edema tungkai, spastisitas otot
6) Kulit : sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
7) Tanda vital : peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah,
hipertensi, nafas cepat dan dalam, dyspnea.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema skunder
c. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah.
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kurangnya suplai O2 ke
jaringan
e. Gangguan pertukaran gas berubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat, keletihan
3. Rencana Keperawatan
DX1 Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
a. Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
b. Kriteria hasil :
1) Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal
2) Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
c. Intervensi:
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru
Rasional : Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
2) Kaji adanya hipertensi
Rasional : Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya
(skala 0-10)
Rasional : HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
4) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
Rasional : Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
DX 2 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan
H2O)
a. Tujuan : mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan
b. Kriteria hasil :
1) Tidak ada edema
2) keseimbangan antara input dan output.
c. Intervensi:
1) Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
Rasional : mengetahui tanda-tanda dehidrasi
2) Batasi masukan cairan
Rasional : Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran
urin, dan respon terhadap terapi
3) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan
4) Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
DX 3 Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah
a. Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan
b. Kriteria hasil : Menunjukan BB stabil
c. Intervensi:
1) Awasi konsumsi makanan/cairan
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
2) Perhatikan adanya mual dan muntah
Rasional : Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang
dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan
intervensi
3) Berikan makanan sedikit tapi serin
Rasional : Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
4) Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
Rasional : Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
5) Berikan perawatan mulut sering
Rasional : Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak
disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
DX 4 Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kurangnya suplai O2 ke
jaringan
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di harapkan
integritas kulit dapat terjaga.
b. Kriteria hasil :
1) Mempertahankan kulit tubuh
2) Menunjukan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit
c. Intervensi:
1) Inpeksi kulit terhadap perubahan warna,turgor, vaskuler, perhatikan
keadaan kemerahan
Rasional : Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang
dapat menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan memberan mukosa
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hisrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
3) Inspeksi area tergantung terhadap oedema
Rasional : Jaringan odem lebih ccendrung rusak atau robek
4) Ubah posisi sesering mungkin
Rasional : Menurunkan tekanan pada odem, jaringan dengan perfusi
buruk untuk menurunkan iskemia
5) Berikan perawatan kulit
Rasional : Menghindari terjadinya kulit yang bersisik
6) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area prutitis
7) Rasional : mencegah terjadinya kerusakan intehritas kulit
DX 5 Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
a. Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
b. Kriteria hasil
1) Pernafasan teratur
2) Tidak menggunakan otot bantu pernafasan
3) RR = 26 – 24 x/menit
c. Intervensi:
1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
Rasional : Menyatakan adanya pengumpulan sekret
2) Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
Rasional : Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
3) Atur posisi senyaman mungkin
Rasional : Mencegah terjadinya sesak nafas
4) Batasi untuk beraktivitas
Rasional : Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak
atau hipoksia
DX 6 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
a. Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga
b. Kriteria hasil :
1) Mempertahankan kulit utuh
2) Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
c. Intervensi:
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler,
perhatikan kadanya kemerahan
Rasional : Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang
dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
3) Inspeksi area tergantung terhadap udem
Rasional : Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
4) Ubah posisi sesering mungkin
Rasional : Menurunkan tekanan pada udem, jaringan dengan perfusi
buruk untuk menurunkan iskemia
5) Berikan perawatan kulit
Rasional : Mengurangi pengeringan , robekan kulit
6) Pertahankan linen kering
Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
7) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area pruritis.
Rasional : Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko
cedera
8) Anjurkan memakai pakaian katun longgar
Rasional : Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan
evaporasi lembab pada kulit
DX 7 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat, keletihan
a. Tujuan : pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
b. Kriteria Hasil
1) Nadi = 60 – 100 x/menit
2) TD dalam rentang normal
3) Tidak mudah lelah
c. Intervensi:
1) Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
2) Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
4) Pertahankan status nutrisi yang adekuat