Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otak manusia adalah struktur pusat pengaturan yang memiliki volume
sekitar 1.350cc dan terdiri atas 100 juta sel saraf atau neuron. Otak mengatur
dan mengkordinir sebagian besar, gerakan, perilaku dan fungsi tubuh
homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan
tubuh dan suhu tubuh. Otak manusia bertanggung jawab terhadap
pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu terdapat
kaitan erat antara otak dan pemikiran. Otak dan sel saraf di dalamnya
dipercayai dapat memengaruhi kognisi manusia. Pengetahuan mengenai
otak memengaruhi perkembangan psikologi kognitif. Otak juga
bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi. ingatan,
pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya.
Otak terbentuk dari dua jenis sel: glia dan neuron. Glia berfungsi
untuk menunjang dan melindungi neuron, sedangkan neuron membawa
informasi dalam bentuk pulsa listrik yang di kenal sebagai potensi aksi.
Mereka berkomunikasi dengan neuron yang lain dan keseluruh tubuh
dengan mengirimkan berbagai macam bahan kimia yang disebut
neurotransmiter. Neurotransmiter ini dikirimkan pada celah yang dikenal
sebagai sinapsis. Avertebrata seperti serangga mungkin mempunyai jutaan
neuron pada otaknya, vertebrata besar bisa mempunyai hingga seratus
miliar neuron.
Salah satu gangguan yang terjadi pada sistem syaraf pada otak yaitu
epilepsy. Epilepsy adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak
sehat atau sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat
oleh disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motorik ,
sensorik, otonomik atau psikis yang abnormal. (Satyanegara,2010).
Menurut penelitian dari World Health Organization (WHO), ditemukan
sekitar 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi. Sekitar 80% dari

1
total penderita epilepsi di seluruh dunia ditemukan di negara berkembang.
Prevalensi penderita epilepsi yang terdapat di Amerika Latin dan Afrika
berkisar 3-9/1.000 anak sekolah.3,4 Prevalensi penderita epilepsi di
beberapa negara Asia yang sedang berkembang terbilang tinggi. Prevalensi
penderita epilepsi di Pakistan rata-rata sebesar 8,5/1.000 anak sekolah. Hal
yang serupa terdapat di Sri Lanka didapat angka yang tinggi yaitu rata-rata
sebesar 9 per 1.000 anak sekolah.
Untuk penderita epilepsi di negara Asia Tenggara, prevalensi yang
didapatkan di Thailand sebesar 7,2 per 1.000 anak sekolah, sedangkan di
Singapura didapatkan prevalensi sebesar 3,5 per 1.000 anak
sekolah.Sedangkan di Indonesia, prevalensi penderita epilepsi di Indonesia
berkisar antara 0,5 – 4 % dengan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000
penduduk. Bila jumlah penduduk di Indonesia berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah penderita epilepsi per tahunnya adalah 250.000 Angka
tersebut terbilang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand dan
Singapura sebagai sesama negara Asia Tenggara.
Melihat banyaknya prevalensi yang terjadi penulis akan menggali
lebih lanjut mengenai penyakit epilepsy untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan yang dapat dipelajari secara teoritis.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui teori dan rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan system persyarafan penyakit Epilepsy
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian dari Epilepsi
b. Mengetahui etiologi dari Epilepsi
c. Mengetahui faktor resiko dari Epilepsi
d. Mengetahui patofisiologi dari Epilepsi
e. Mengetahui manifestasi klinis dari Epilepsi
f. Mengetahui bentuk komplikasi dari Epilepsi

2
g. Mengetahui penatalaksanaan dari Epilepsi
h. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari Epilepsi

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Epilepsi
Epilepsy adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat
atau sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh
disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motorik , sensorik,
otonomik atau psikis yang abnormal. (Satyanegara,2010)
Epilepsy adalah gejala komplek dari gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikan oleh kejang berulang. Sehingga epilepsy bukan penyakit
tetapi suatu gejala. (Brunner&Sudarth2009)
Definisi fisiologis epilepsy masih beul berubah dari definisi yang
diberikan oleh Hughlings Jackson pada abad ke-19 ; ‘epilepsi adalah istilah
untuk cetusan listrik local pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-
waktu, mendadak, dan cepat’
Secara klinis, epilepsy merupakan gangguan paroksimal dimana
cetusan neuron kompleks serebri mengakibatkan serangan penurunan
kesadaran, perubahan fungsi motoric atau sensorik, prilaku atau emosional
yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi
sendiri dan tendensi kejang berulang yang berupa epilepsy.

B. Klasifikasi Epilepsi
Epilepsy dikelompokan menjadi 2, yaitu Klasifikasi berdasarkan tipe
bangkitan epilepsy dan Klasifikasi Epilepsi dan sindrom epilepsy.
Penjabaran lengkapnya adalah sebagai berikut :

4
1. Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsy
a. Kejang Parsial
Kejang parsial merupakan tipe epilepsi paling umum. Perubahan
klinis dan elektroensefalogram pertama menunjukan aktivasi awal
dari sel-sel saraf pada satu bagian hemisfer serebral. Ada 4 tipe
kejang :
1) Kejang dengan gejala motoric
2) Gejala Somatosensoris
3) Gejala Otonom
4) Gejala Psikis
b. Kejang Parsial Kompleks
Ciri paling khas pada parsial kompleks adalah adanya automatisme :
a) Perilaku automatisme dapat berupa gerakan berulag tanpa tujuan
seperti memukul bibir, mengunyah,menepuk bagian tubuh
tertentu, memilih pakaian saat sedang tidur mimpi.
b) Dapat ditemukan perilaku menyimpang dan antisosial.
c) Berlangsung 2-3 mnt tetapi dapat berlangsung hinggan 15 mnt.
d) Klien tidak sadar akan aktivitas selama kejang dan dapat menjadi
kebingungan atau mengantuk.
e) Yang berlanjut menjadi kejang umum
f) Berasal dari fokus tertentu dan kemudian pelepasan listrik akan
menyebar diseluruh otak.
g) Klien pertama menunjukan gejala fokal, misalnya satu sisi wajah
bergerak dan kemudian seluruh tubuh akan ikut terlibat.
h) Kesadaran akan hilang jika sinyal listrik menyebar keseluruh
otak.
c. Kejang Umum
Menyebabkan hilangnya kesadaran. Kejang umum melibatkan kedua
hemisfer. Sekitar sepertiga dari kejang adalah kejang umum. Tipe dari
kejang umum :

5
1) Absens
Adalah suatu periode tak tertentu dari sadar dan tidak sadar.
Berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit. Terjadi pada
anak anak dan remaja awal.
2) Mioklonik
Melibatkan gerakan menyentak yang tiba-tiba dan tidak dapat di
control, dapat menyebabkan klien terjatuh, kehilangan kesadaran
beberapa saat dan kemudian merasa kebingungan setelah kejang,
sering terjadi pagi hari, sering melaporkan bahwa mereka
menumpahkan kopi saat terjadi kejang ini.
3) Klonik
Gejala klnis meliputi kontraksi dan relaksasi otot ritmik,
berlangsung beberapa menit
4) Tonik
Meliputi peningkatan mendadak dari tonus dan kontraksi otot,
terdapat kehilangan kesadaran dan adanya gejala otonom,
berlangsung 30 detik hingga beberapa menit.
5) Tonik-klonik
Kejang “grand mal”, kejang yang paling berhubungan dengan
epilepsy. Biasa terjadi sebagai berikut : Terjadi kehilangan
kesadaran secara tiba-tiba, pada fase tonik, badan jadi kaku, klien
akan jatuh dengan kaku ke lantai, dapat terdengar tangisan,
pernapasan terganggu sementara dan klien menjadi sianotik,
rahang kaku dan tangan mengepal, rata terbuka lebar,b
erlangsung 30-60 detik, akhir fase ini klien akan bernapas dalam
6) Atonik
Jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot
dan terjatuh secara tiba-tiba

6
2. Klasifikasi Epilepsi dan sindrom epilepsy
a. Sindrom epilepsi umum
1) Idiopatik
2) Simtomatik
b. Sindrom Khusus

C. Etiologi Epilepsi
Epilepsi dapat disebabkan oleh proses apapun yg mengganggu
stabilitas membran sel neuronal. Suatu cedera dapat mengakibatkan
perubahan patologik yang berlangsung lama pada sistem saraf pusat (SSP)
yang mengubah jaringan saraf yang sebelumnya normal menjadi jaringan
hipereksitabel yang abnormal. Epilepsi banyak terjadi saat bayi, dibawah
usia 20 tahun, dan usia diatas 65 tahun. Kejang yang dipalsukan dapat
terjadi pada klien gangguan psikiatris. Disebut sebagai “kejang-semu”
1. Sebagian besar pada anak. Tidak memiliki sebab yang jelas
2. Faktor herediter. Beberapa penyaki yang bersifat heriditer disertai
bangkitan kejang
3. Faktor genetic
4. Kelainan kongenital otak : Atropi, Porensefali, agenesis korpus kaalosum
5. Gangguan metabolic : Hipiglikemia, Hipikalsemia, Hiponatremia
6. Infeksi. Radang yang disebebkan bakteri atau virus pada otak &
selaputnya
7. Cedera otak Traumatik: Kontusio serebri, Hematoma subaraknoid,
Hematoma subdural
8. Kelainan pembuluh darah: Malformasi/ penyakit kolagen
9. Keracunan: timbal (Pb), kapur barus, fenotiazin

7
D. Patofisiologi Epilepsi
Otak merupakan pusat penerima pesan (implus sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (implus motoric). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakikatnya tugas neuron ialah
menyalurkan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan
yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmitter. Acetylcholin dan noreprinefrin adalah neurotransmitter
eksitaktif, sedangkan zat lain yakni GABA (Gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitor terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps.
Bangkitan epilepsy dicetuskan dalam suatu sumber daya listrik saran di otak
dinamakan focus epileptogenic. Dari focus ini aktivitas listrik akan
menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuron-neuron di sekitarnya dan
demikian selanjutnya samapai seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian
akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh atau anggota gerak tubuh yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti
pada thalamus yang selanjutnya akan menyebarkan implus-implus ke
bagian otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang
umum yangdisertai penurunan kesadaran.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari
sebuah focus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadan patologis. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tangah, thalamus dan korteks sesbrum
kemungkinan besar bersifat epileptogenic, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membrane sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimkiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktivan.

8
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan kekuatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam GAMA aminobutirat (GABA)
4. Ketidak seimbangan ion yang merubah keseimbangan asam – basa atau
erektolit yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi menurun. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
depresi neurotransmitter inhibitor.

Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera


setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy
akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolic secara
drastic meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motoric dapat
meningkat menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga
respirasi dan glikolisis jaringan. Atetilcolin muncul di cairan serebrospinal
(CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami
depresi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsy. Bukti
histopatologi menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan structural. Belum ada faktor patologis yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilcolin
dijumpai diantara kejang. Focus kejang tampaknya sangat peka terhadap
asetilcolin, suatu neurotransmitter fasilitarorik, focus-fokus tersebut lambat
meningkat dan menyingkirkan asetilcolin.

9
E. Manifestasi Klinis Epilepsi
1. Kejang Parsial Sederhana
a. satu tangan yang bergetar
b. Mulut terhentak-hentak secara tidak terkontrol
c. Berbicara kacau
d. Pening
e. Mengalami penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tidak biasa
tanpa kehilangan kesadaran
2. Kejang parsial Kompleks
a. Tidak dapat bergerak/bergerak secara otomatis tetapi tidak sesuai
waktu dan tempat
b. Mengalami emosi ketakutan
c. Kemarahan
d. Elasi/kesenangan
e. Iritabilitas yang berlebihan
f. Tidak mengingat episode kapan kejang tersebut berakhir
3. Kejang Umum (Kejang Grand Mall)
a. Mengenai kedua hemisfer otak
b. Kekakuan yang intens di seluruh tubuh diikuti dengan perubahan
relaksasi dan kontraksi otot (kontraksi tonik-klonik umum)
c. Lidah terkunyah, pasien mengalami inkontinensia urine dan feses
d. Pergerakan konvulsif berlangsung selama 1 atau 2 menit
e. Pasien kemudian relaks dan terbaring dalam kondisi koma yang
dalam, bernapas dengan berisik

Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsi dibagi
menjadi:

1. Kejang Umum (generalized seizure)


a. Tonic-clonic convulsion (grand mall)

10
Pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur,
sianosis, ngompol, menggigit lidah terjadi beberapa menit, lemah,
kebingungan, sakit kepala.
b. Abscense attack/lena (petit mal)
Tiba-tiba melotot, matang berkedip-kedip, kepala terkulai beberapa
detik, bahkan tidak disadari.
c. Myoclonic seizure
Terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami
sentakan yang tiba-tiba.
d. Tonic seizure
Jarang terjadi pada pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh,
tapi bisa segera recovered
2. Kejang Parsial/focal
a. Simple Partial Seizures
Pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada
bagian tertentu dari tubuh
b. Complex Partial Seizures
Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali, gerakan
mengunyah, meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran.

F. Komplikasi Epilepsi
1. Kematian atau kematian mendadak
Kematian, terjadi apabila epilepsi kambuh pada saat penderita
melakukan aktivitas seperti menaiki/menuruni tangga atau
mengendarai kendaraan sehingga barakibart kematian. Kematian
mendadak, beberapa ahli mengemukakan kematian mendadak yang
dialami para penderita epilepsi berkaitan dengan dampak pada jantung
dan pernapasan akibat kejang
2. Keguguran atau kecacatan janin
Epilepsi pada ibu hamil beresiko menggugurkan bayi yang sedang
dikandung dan juga mengancam nyawa sang ibu. Beberapa jenis obat

11
anti epilepsi pun ada yang beresiko membuat janin mengalami
kecacatan
3. Defisit neurologis atau psikologis
Penderita epilepsi dapat merasakan depresi dengan kondisinya
tersebut, gangguan kognitif dan perubahan kepribdian.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi rutin, kadar gula darah dan elektrolit sesuai
indikasi, pemeriksaan cairan serebrospinal. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada anak dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi
yang merupakan salah satu penyebab dari epilepsi. Hitung darah lengkap
dilakukan pada klien dengan trauma kepala karena dapat terjadi
peningkatan atau penurunan yang mencolok pada jumlah hematokrit dan
trombosit. Elektrolit seperti Ca total, dan magnesium serum sering kali
diperiksa pada saat pertama kali terjadi serangan kejang karena akan
terdapat perubahan pada jumlah elektrolit tersebut., uji glukosa biasa
dilakukan pada bayi dan anak kecil yang mengalami epilepsi untuk
mendeteksi adanya hipoglikemia yang biasanya terjadi.
2. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi melengkapi bukti diagnostik dalam proporsi
substansial dari pasien epilepsy dan membantu dalam
mengklasifikasikan tipe kejang. Kelainan EEG yang sering dijumpai
pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform
activity.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis, pada foto tengkorak diperhatikan
kesimetrisan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium
yang abnormal, tanda peninggian tekanan intracranial seperti pelebaran
sutura, erosi sela tursika, pneumoensefalografi dan ventrikulografi untuk

12
melihat gambaran system ventrikel, rongga subaraknoid, serta gambaran
otak, arteriografi untuk melihat keadaan pembuluh darah otak apakah ada
peranjatan, sumbatan, peregangan, anomali pembuluh darah.
4. Pemeriksaan CT-Scan
Digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebro vascular abnormal, dan perubahan degeneratif cerebral.
Pemindaian Ct-scan digunakan mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan
yang sering terjadi pada klien dengan epilepsi.
5. Dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi, hematologi dan pemeriksaan
serologic
6. Pemeriksaan jasmani meliputi pemeriksaan pediatric dan neurologis dan
bisa dikonsulkan ke bagian mata, THT, hematologi, endokrinologi, dan
pemeriksaan jasmani lain spt; TTV, janbtung, paru, perut, hati, limpa dan
anggota gerak lainya.

H. Penatalaksanaan Epilepsi
1. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE)
baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara
efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE
harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang
berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat
dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang
dapat mengatasi kejang
2. Hidantoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum,
kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma
kepala/bedah saraf. Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat

13
kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+
kedalam membran sel berkurang, dan menghambat terjadinya potensial
aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Efek samping: pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada
SSP,sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian
fenitoin dosis tinggi = menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan
nystagmus. Dosis : Dewasa : 300-600mg/hari , Anak : max 300mg/hari
3. Barbiturat
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan
kejang tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang
murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe
epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya
menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak. Aksi utama
fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan
Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai
efek langsung terhadap reseptor GABA.
Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis
pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari Efek samping SSP merupakan
hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Terjadi kelelahan,
mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-
anak dapat menyebabkan hiperaktivitas
4. Deoksibarbiturat
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-
klonik. Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori.
Efek anti kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun
kurang poten. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing,
mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan
dikulit, dan impotensi
5. Iminostilben

14
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan
trisiklik (4). Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada
terapi kejang parsial dan tonik-klonik (11). Karbamazepin menghambat
kanal Na+ (7), yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+
kedalam membran sel berkurang (11) dan menghambat terjadinya
potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Dosis : <6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, 6-12 tahun dosis awal
200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. >12 tahun dan
dewasa 400 mg 2 kali sehari Efek samping yang sering terjadi pada
penggunaan karbamazepin : gangguan penglihatan (penglihatan
berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri
tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan usia
6. Suksinimid
Etosuksinimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal
kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid
menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam
pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada
kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan
mengurangi sentakan pada kejang absens.
Dosis usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20
mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak
dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari . Efek samping
penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh,
mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak),
pusing dan cegukan.
7. Asam valproate
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang
parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam
valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya

15
atau mengaktivasi sintesis GABA.MAsam valproat juga berpotensi
terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan
membran serta mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam
valproat 10-15 mg/kg/hari .
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan
(>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan.
Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai
efek gangguan kognitif yang ringan. Penggunaan fenitoin dan valproat
secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat
memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat
menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin
8. Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin
merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin
akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis
benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun
0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40
mg/hari . Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan
benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi,
mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual
9. Terapi Bedah
Pembedahan diindikasikan ketika epilepsy disebabkan oleh tumor,
abses, atau kista pengangkatan tons epileptolik secara bedah dilakukan
untuk kejang yang berasal dari dalam area otak yang dapat dieksisi tanpa
menimbulkan defek neurologis yang signifikan

16
I. PENGKAJIAN
Anamnese
1. Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada bayi dan
neonatus), jenios kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk RS, nomor register, asuransi kesehatan,
dan diagnosis medis.
2. Keluhan Utama: kejang, demam.
3. Riwayat kesehatan
4. Riwayat keluarga dengan kejang
5. Riwayat kejang demam
6. Tumor intracranial
7. Trauma kepal terbuka, stroke
8. Riwayat kejang
9. Berapa sering terjadi kejang
10. Gambaran kejang seperti apa
11. Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
12. Apa yang dilakuakn pasien setelah kejang
13. Riwayat penggunaan obat
14. Nama obat yang dipakai
15. Dosis obat
16. Berapa kali penggunaan obat
17. Kapan putus obat
Pemeriksaan fisik
1. B1 (BREATHING)
Inspeksi apakah klien batuk,produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan penngkatan frekuensi pernapasan
yang sering didapatkan pada klien epilepsy disertai dengan
gangguan system pernapasan.
2. B2 (BLOOD)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada
klien epilepsy tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok

17
3. B3 (BRAIN)
Tingkat kesadaran
Tingkat kesedaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah
indicator paling sensitive untuk menilai disfungsi system persarafan.
Beberapa system dogunakan untuk membuat peringkat perubahan
dalam kewaspadaan dan kesadaran.
Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien, nloai
gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik pada
klien eplepsi tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status
mental seperti adanya gangguan prilaku, alam perasaan dan persepsi
Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien eplepsi tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
Saraf III, IV, dan VI. Dengan alas an yang tidak diketahui, klien
epilepsy mengeluh mengalam fotofobia,( sensitive yang berlebihan
terhadap cahaya )
Saraf V. Biasanya tidak didapatkan paralysis otot wajah dan reflex
kornea biasanya tidak ada kelainan
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
System motorik
Kekutan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
eplepsi tahap lanjut mengalami perubahan

18
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
dan periosteum, derajat reflex pada respons normal
System sensorik
Basanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal,
tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh, perasaan
propriosetif normal, dan perasaan diskriminatif normal. Pada
rangsang cahaya merupakan tanda khas dari epilepsy. Pascakejang
sering dkeluhkan adanya nyeri kepala yang bersifat akut.
4. B4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada system kemih didapatkan berkurangnya volume
output urin, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal
5. B5 (BOWEL)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien pada epilepsy
menurun karena anoreksia dan adanya kejang
6. B6 (BONE)
Pada fase akut setelah kejang biasanya ddapatkan adanya penurunan
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktivitas perawatan diri.

Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler
abnormal, gangguan degeneratif serebral
2. Elektroensefalogram(EEG)
Untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
3. Magnetik resonance imaging (MRI)
4. Kimia darah : hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.

19
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala skunder respons
pasca kejang
2. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan konfusi, malas bangun
sekunder respon pasca kejang
3. Ketakutan b/d terjadinya kejang berulang
4. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat
epilepsy
5. Resiko injury dengan aktivitas kejang berulang
K. INTERVENSI KEPERAWATAN

Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala skunder respons


pascakejang

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan


keluhan nyeri berkurang/rasa sakit terkontrol
Kriteri hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks dank lien
memverbalisasikan penurunan rasa sakit
Intervensi Rasional
Usahakan membuat lingkungan yang Menurunkan reaksi terhadap
aman dan tenang rangsangan eksternal atau sensitivitas
terhadap cahaya dan menganjurkan
klien untuk beristirahat
Lakukan manajemen nyeri, dengan Membantu menurunkan stimulasi
metode distraksi dan relaksasi napas sensasi nyeri
dalam
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif Dapat membantu relaksasi otot-otot
sesuai kondisi dengan lembut dan yang tegang dan dapat menurunkan
hati-hati rasa sakit/tidak nyaman
Kolaborasi pemberan analgetik Untuk menurunkan rasa sakit.

20
Catatan : narkotika merupakan
kontraindikasi karena berdampak
tehadap status neurologis sehingga
sukar untuk dikaji

Koping individu tidak efektf yang berhubungan dengan depresi akibat


epilepsy

Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi harga diri klien meningkat
Criteria hasil : mampu mengkomunikasikan dengan orang-orang terdekat
tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan
penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke
dalam konsep diri dengan cara akurat tanpa harga diri yang negative
Intervensi Rasional
Kaji perubahan dari gangguan persepsi Menentukan bantuan individual
dan hubungan dengan derajat dalam menyusun rencana perawatan
ketidakmampuan atau pemilihan intervensi
Identifikasi arti dari kehilangan atau Beberapa klien dapat menerima dan
disfungsi pada klien mengatur perubahan fungsi secara
efektif dengan sedikt penyesuaian
diri, sedangkan yangn lain
mempunya kesulitan
membandingkan, mengenal, dan
mengatur kekurangan
Anjurkan klien untuk Menunjukkan penerimaan,
mengekspresikanperasaan termasuk membantu klien untuk mengenal
hostlty dan kemarahan dan mula menyesuaikan dengan
perasaan tersebut
Catat ketika klien menyatakan Mendukung penolakan terhadap
terpengaruh seperti sekarat atau bagian tubuh atau perasaan negative
terhadap gambaran tubuh dan

21
mengingkari dan menyatakan inilah kemampuan yang menunjukan
kematian kebutuhan dan intervensi serta
dukungan emosional
Pernyataan pengakuan terhadap Membantu klien untuk melihat
penolakan tubuh, mengingatka kembali bahwa perawat menerima kedua
fakta kejadian tentang realitas bahwa bagian sebagai bagian dari seluruh
masih dapat menggunakan sisi yang tubuh. Mengizinkan klien untuk
sakit dan belajar mengontrol sisi yang merasakan adanya harapan dan mulai
sehat. menerima situasi yang baru
Bantu dan anjurkan perawatan yang Membantu meningkatkan perasaan
baik dan memperbaiki kebiasaan harga diri dan mengontrol lebih dari
satu area kehdupan
Anjurkan orang yang terdekat untuk Menghidupkan kembali perasaan
mengizinkan klien melakukan hal untuk kemandirian dan membantu
dirinya sebanyak-banyaknya perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehablitasi
Dukung perilaku atau usaha seperti Klien dapat beradaptasi tehadap
peningkatan minat atau partisipasi perubahan dan pengertian tentang
dalam aktivitas rehabilitasi peran individu masa mendatang
Monitor gangguan tidur peningkatan Dapat mengindikasikan terjadinya
kesulitan konsentrasi, letargi, dan depresi umumnya terjadi sebagai
withdrawal pengaruh dari stroke dimana
memerlukan intervensi dan evaluasi
lebih lanjut
Kolaborasi : rujuk pada ahli Dapat memfasilitasi perubahan peran
neuropsikologi dan konseling bila ada yang penting untuk perkembangan
indikasi perasaan

Resiko tinggi injuri yang berhubungan dengan kejang berulang

22
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam perawatan klien bebas dari injuri yang
disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Criteria hasil : klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari
stimulus kejang, melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas
kejang
Intervensi Rasional
Kaji tngkat pengetahuan klien dan Data dasar untuk intervensi
keluarga cara penanganan saat kejang selanjutnya
Ajarkan klien dan keluarga metode Orang tua dengan anak yang pernah
mengontrol demam mengalami kejang demam harus
diintstrusikan tentang metode untuk
mengontrol demam ( kompres dingin,
obat antipiretik )
Anjurkan kontroling pasca cedera Cedera kepala merupakan salah satu
kepala penyebab utama yang dapat dicegah.
Malalui program yang memberikan
keamanan yang tinggi dan tindakan
pencegahan yang aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsy
akibat cedera kepala
Anjurkan keluarga agar Melindungi klien bla terjadi kejang
mempersiapkan lingkungan yang
aman sepert batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat klien
Anjurkan untuk menghndari rangsang Klien mengalami peka terhadap
cahaya yang berlebihan rangsang cahaya yang silau. Dengan
menggunakan kaca mata hitam atau
menutup salah satu mata dapat
membantu mengontrol masalah ini

23
Anjurkan mempertahankan bedrest Mengurang resiko jatuh, jika vertigo,
total selama fase akut sncope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi pemberian terapi fenitoin Untuk mengontrol menurunkan
(dilantin) respons kejangb berulang

24
DAFTAR PUSTAKA

Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Nanda Nic-Noc. Jilid 1. Jakarta

Brooker. 2011. Kamus saku keperawatan, Edisi 31. Jakarta;EGC.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3.
Jakarta : EGC

Catherino, Jeffrey M. 2003. Emergency Medicine Handbook. USA: Lippincott


Williams

Diakses pada tanggal 2 Juni 2018 http://www.aafp.org/afp/2003/0801/p469.pdf

Diakses pada tanggal 2 Juni 2018 https://books.google.co.id/books?id=-


8fn_73yc6cC&pg=PA79&dq=epilepsi&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjQh
JSb247UAhULvY8KHc9KAggQ6AEIPzAG#v=onepage&q=epilepsi&f=f
alse

Dorland. 2002 .Kamus Saku Kedokteran. Jakarta:EGC

Nurarif & Kusuma. 2015. Nanda Noc-nic, Edisi 1. Jogja;Mediaction.

Price, Sylvia A & Lorraine M. Wilson.1994.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit.Jakarta:EGC

Scheets,Lynda J.2002.Panduan Belajar Keperawatan Emergency.Jakarta: EGC

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta:EGC

Wong. Dona, 2012. Pedoman Medis Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta

25

Anda mungkin juga menyukai