Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

PENATALAKSANAAN GANGGUAN SISTEM NEUROBEHAVIOUR


PSIKOFARMAKA

Disusun Oleh :
1. Aji Tanda Irwanto S16003 8. Intan Anjasmara S16032
2. Andre Setya A S16005 9. Lulu’ul Arifah S16037
3. Dwi Bayu K S16014 10. Septiana Lestari S16045
4. Dyah Permatasari S16015 11. Novia Ambarwati S16046
5. Emila Yudianti S16017 12. Siska Bela S16057
6. Febryanto Aji G S16020 13. Yudistira S16060
7. Iin Sekarsari S16027

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
waktu meskipun jauh dari kesempurnaan.
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu wadah
pembelajaran dalam menimbah ilmu utamanya dalam matakuliah Kimia Farmasi
terkhusus pada pembahasan psikofarmaka.
Saya sadar dalam makalah ini masih belum sempurna dan terdapat banyak
kekurangan, sehingga pada kesempatan ini kami membuka diri untuk menerima
kritik dan saran yang berguna untuk perbaikan dalam makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat serta memberikan pengetahuan dalam proses
pembelajaran terkhusus pada pembahasan psikofarmaka.

Surakarta, 08 Desember 2019

Tim penyusun

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………...……………………………………………...i
DAFTARISI……………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….....1
A. Latar Belakang……………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….. 2
C. Tujuan………………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Psikofarmaka……………………………………… 3
B. Klasifikasi Psikofarmaka…………………………………… 3
C. Anti-Psikotika........................................................................... 5
D. Anti-Depresan..................................................................... 11
E. Anti-Mania........................................................................ 16
F. Anti-Ansietas........................................................................... 20
G. Anti-Insmonia.............................................................................. 23
H. Anti-Panik................................................................................... 25
I. Anti-Obsesif Kompulsif.............................................................. 26
BAB III PENUTUP
Kesimpulan……………………………………………………………… 27
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan
untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau
kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk
memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia termasuk
obat tradisional.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang obat-obatan yang
digunakan dalam pasien sakit jiwa, atau disebut dengan psikofarmaka
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri
dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai
perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi
masalah yang biasa terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan
mampu.
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: kondisi fisik (somatogenik), kondisi
perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi dilingkungan
social (sosiogenik). Ketidakseimbangan pada salah satu dari ketiga faktor
tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan
pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosial. WHO memperkirakan saat ini di seluruh dunia
terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia sendiri pada
tahun 2006 diperkirakan26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan
jiwa dengan ratio populasi 1 berbanding 4 penduduk. Departemen Kesehatan
RI mengakui sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah

5
sakit jiwa (Setiawan, 2009.) Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara
maksimal sebagaimana keadaan sebelum sakit, beberapa pasein
meninggalkan gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan
mengenali realitas, serta perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada
penurunan produktivitas hidup. Hal ini ditunjang dengan data Bank Dunia
pada tahun2 001 di beberapa Negara yang menunjukkan bahwa hari-hari
produktif yang hilang Atau Dissabiliiy AdjustedLife Years (DALY's) sebesar
8,1 % dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan
jiwa (Setiawan, 2009).
Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan produktifitas
maka pada pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi sebelum
klien dipulangkan dari Rumah Sakit. Tujuannya untuk mencapai perbaikan
fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan
kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan
socials ehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan
berguna.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Psikofarmaka?
2. Apa jenis-jenis psikofarma?
3. Bagaimana mekanisme dan fungsi psikofarma?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Psikofarmaka
2. Untuk mengetahui jenis-jenis psikofarma
3. Untuk mengetahui mekanisme psikofarma
4. Untuk mengetahui fungsi psikofarma

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara
selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik
yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien.Psikofarmaka
termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat Neuroleptik (bekerja pada
sistim saraf ).Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang
meliputi :
1. Teori biologis (somatik),mencakup pemberian obat psikotik dan Elektro
Convulsi Therapi (ECT).
2. Psikoterapeutik.
3. Terapi Modalitas.
Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari management
psikoterapi.Perawat perlu mamahami konsep umum psikofarmaka. Beberapa
hal yang termasuk Neurotransmiter adalah Dopamin,Neuroeprineprin,
Serotonin dan GABA (Gama Amino Buteric Acid),dll. Meningkatnya dan
menurunnya kadar / konsentrasi neurotransmiter akan menimbulkan
kekacauan atau gangguan mental. Obat – obatan psikofarmaka efektif untuk
mengatur keseimbangan Neurotransmiter.

B. Klasifikasi
Psikofarmaka dalam arti sempit, yang utama digunakan untuk penanganan
gangguan jiwa, dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yakni :
a. Anti-Psikotis (dahulu disebut neuroleptika atau major tranquilizer) yang
bekerja sebagai antipsikosis dan sedatif. Obat ini digunakan khusus untuk
berbagai jenis antipsikosis misal schizofernia dan mania.

7
b. Anti-Depresan, yang berdaya memperbaiki suasana murung dan putus asa
terutama digunakan pada keadaan depresi, panik dan fobia.
c. Anti-Mania, digunakan untuk mengendalikan kecenderungan patologis
untuk suatu aktivitas tertentu, yang tidak dapat dikendalikan, misalnya
mengutil ( kleptomania).
d. Anti-Ansietas, digunakan untuk mengatasi kecemasan dan juga
mempunyai efek sedative, relaksasi otot, amnestic, dan antiepileptic.
e. Anti-Insomnia, digunakan untuk pesien yang mengalami gangguan susah
tidur
f. Anti-Panik
g. Anti-Obsesif Kompulsif
Tabel 1. Klasifikasi Psikofarmaka dan Obat Acuan yang digunakan

8
Antipsikotika (major transquilizer) adalah oabat-obat yang dapat menekan
fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti
berpikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan
agresi dan apat pula menghilangkan atau mengurangi gangguan jiwa seperti
impian dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang
tidak normal. Oleh karena itu anipsikotika trutam digunakan psikosis,
penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit oleh pasien, misalnya penyakit
schizofrenia dan psikosi mania depresif.

Klasifikasi
Antipsikotika biasnya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni
obat typis atau klasik dan obat atypis.
1. Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif.
pada umunya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi
sebagai berikut :
a. Derivat-fenotiazin: klopromazin, levomepromazin dan
triflupromazin, thiorizidin, dan periciazin, perfenazin dan
flufenazin, perazin, trifluoperazin, proklorperazin, dan
thietilperazin.
b. Derivat-thioxanthen : klorprotixen, dan zuklopentixol.
c. Derivat-butirofenon : haloperidol, bromperidol, pimpaperon
dan droperidol.
d. Derivat-butilpiperidin : pimozida, fluspirilen, penfluridol.
2. Antipsikotika atypis (sulpirida, klozapin, respiridon, olanzapin, dan
quetiapin) bekerja efektif melawan simtom negatif, yang praktis
kebal terhadap obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih
ringan, khususnya gangguan extrapiramidal dan dyskinesia tarda.
Sertindol setela dipasarkan hanya satu tahun lebih, akhir 1998
ditarik dari peredaran di eropa, karena dari beberapa kali
dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian mendadak. Obat atypis

9
lainnya yang sudah tersedia dinegara lain yag sudah tersedia
dinegara lain sejak 1988 adalah zotepin dan ziprasidon.

Mekanisme Kerja
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan mudah masuk kedalam
cairan cerebrospinal dan obat-obat ini melakukan kegiatnnya secara langsung
terhadap saraf otak. Mekanisme kerjanya pada taraf biokimiawi belum
diketahui dengan pasti tetapi ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini
berhubungan erat dengan kadar neurotransmitter di otak atau anatar
keseimbangannya.
Antipsikotika menghambat agak kuat reseptor dopamin disistem
limbis otak dan disamping itu juga menghambat reseptor, serotonin, muskarin
dan histamin. Tetapi pada pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah
ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut.Riset baru mengenai
otak telah menunjukkan bahwa blokade D2 tidak selalu cukup untuk
menanggulangi schizofrenia secara efektif. Untuk ini neurohormon lainnya
seperti serotonin, glutamat, GABA (gamma-butyric acid) perlu dipengaruhi.
Mulai kerjanya blokade D2 cepat, begitupula efeknya pada
keadaan gelisah. Sebaliknya kerjanya terhadap gejala psikosis lain, seperti
waham, halusinasi, dan gangguan pikiran baru nyata setelah beberapa
minggu. Mungkin efek lambat ini disebabkan sistem reseptor dopamin
menjadi kurang peka. *antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar
untuk reseptor D1 dan D2 sehingga lebih efektif dari pada obat-obat klasik
untuk melawan simtom negatif. Lagi pula obat ini lebih jarang menimbulkan
GEP dan dyskinesia tarda.
a) sulpirida terutama menghambat resptor D2 dan praktis tanpa
afinitas bagi reseptor lain. Pada dosis rendah (dibawah 600
mg/hari) terutama bekerja antagonistis terhadap reseptor
presinaptis, dan pada dosis lebih lebih tingi (diatas 800 mg/hari)
juga terhadap reseptor D2 postsinaptis, seperti obat-obat klasik.

10
Efek antipsikotis terutama dicapai pada dosis lebih tingi dan dosis
rendah berguna pada psikosis dengan tertutama simtom negatif.

Gambar 1.sulpirida

b) Klozapin ikatannya pada resptor D2 agak ringa (± 20%)


dibandingkan obat-obat klasik (60-75%). Namun efek
antipsikotisnya kuat, yang bisa dianggap paradoksal. Juga
afinitasnya pada reseptor lain dengan efek antihistamin,
antiserotonin, antikolinergis dan antiadrenergis adalah relatif
tinggi. Menurut perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh
blokade kuat dari resptor D2, D4 dan -5HT. blokade reseptor
muskarin dan D4 disuga mengurangi GEP, sedangkan blokade
5HT2 meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamin diotak. Hal ini
meniadakan sebagian blokade D2, tetapi mengurangi risiko GEP.

Gambar 2.klozapin
a. Risperidon juga terutama menghambat reseptor D2 dan -
5HT, dengan perbandingan afinitas 1:10, juga dari reseptor
–α1, –α12, –H1. Blokade α1 dan α12 dapat menimbukan

11
masing-masing hipotensi dan depresi sedangkan blokade
H1, berkaitan degan sedasi.

Gambar 3. Risperidon

c) Olanzapin menhambat semua reseptor dopamin (D1 s/d D5) dan


reseptor H1, -5HT2, adrenergis dan kolinergis, dengan afinitas
lebih itnggi untuk reseptor -5HT2 dibandingkan D2.

Gambar 4. Olanzapin

d) Reboxetin (Edronax) yang secara selektif menghambat reuptake


noradrenalin.

Gambar 5.Reboxetin

12
Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass
metabolism” di hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi
short-acting Intra muscular (IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat
anti-psikosis (seperti haloperidol dan flupenthixol), bisa diberikan larutan
ester bersama vegetable oil dalam bentuk “depot” IM yang diinjeksikan setiap
1-4 minggu. Obat-obatan depot lebih mudah untuk dimonitor. Pemilihan jenis
obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek
samping obat. Penggantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalennya.
Apabila obat psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis
optimal setelah jangka waktu memadai, dapat diganti dengan obat anti-
psikosis lainnya. Jika obat anti-psikosistersebut sebelumnya sudah terbukti
efektif dan efek sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih
kembali untuk pemakaian sekarang.
Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
 Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
 Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
 Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping,
sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi
ketergantungan sangat kecil. Jika dihentikan mendadak timbul gejala
cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusisng,
gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan anticholinergic agents
(injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet trihexylfenidil 3x2 mg/hari).
Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit
teratur makan obat atau tidak efektif dengan medikasi oral. Dosis dimulai
dengan 0,5 cc setiap bulan. Pemberiannya hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan terhadap skizofrenia.

13
Penggunaan CPZ sering menimbulkan hipotensi orthostatik pada
waktu merubah posisi tubuh. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi nor-
adrenalin (effortil IM). Haloperidol juga dapat menimbulkan sindroma
Parkinson, dan diatasi dengan tablet trihexylfenidil 3- 4x2 mg/hari.

Efek Samping
Sejumlah efek samping serius dapat membatasi penggunaan
antipsikotika dan yang paling sering terjadi adalah:
a) Gejala ekstrapiramidal (GEP)
GEP dapat berbentuk banyak macam, yaitu sebagai :
 Parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson), yakni hipokinesia
(daya gerak berkurang,berjalan langkah demi langkah ) dan
kekakuan anggota tubuh, kadang-kadang tremor tangan dan keluar
liur berlebihan. Gejala lainnya “rabbit-syndrome” (mulut membuat
gerakan mengunyah, mirip kelinci), yang dapat muncul setelah
beberapa munggu atau bulan. Terutama pada dosis tinggi dan lebih
jarang pada obat dengan kerja antikolinergis. Insidensinya 2-10%.
 Dystonia akut, yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk,
kepala miring, gangguan menelan, sukak bicara dan kejang rahang.
Guna menghindarkannya dosis harus dinaikkan dengan perlahan,
atau diberikan antikolinergika sebagai profilaksis.
 Akathisia, yakni selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam
tanpa menggerakkan kaki, tangan atau tubuh (Yun, kathisis:
duduk, a: tidak, tanpa).
Ketiga GEP tersebut dapat dikurangi dengan menurunkan dosis
dan dapat diobati dengan antikolinergika.Akathisia juga dapat
diatasi dengan propranolol atau benzosiazepin.
 Dyskinesia tarda, yakni gerakan abnormal tak-sengaja, khususnya
otot-otot muka dan mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi
permanen. Gejala ini sering muncul setelah 0,5-3 tahun dan
berkaitan antara lain dengan dosis kumulatif(total) yang telah

14
diberikan. Risiko efek samping ini meningkat pada penggunaan
lama dan tidak tergantung dari dosis, juga lebih sering terjadi pada
lansia, insidensinya tinggi (10-15%). Gejala ini lenyap dengan
menaikkan dosis , tetapi kemudian timbul kembali secara lebih
hebat. Antikolinergika juga dapat memperhebat gejala tersebut.
Pemberian vitamin E dapat mengurangi efek samping ini.
 Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot
dan GEP lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO
(tachycardia, berkeringat, fluktuasi tekanan darah, inkontinensi).
Gejala ini tak bergantug pada dosis, terutama terjadi pada pria
muda dalam waktu 2 minggu dengan insidensi 1 %. Diagnosanya
sukar , tetapi bila tidak ditangani bisa berakhir fatal.

b) Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin,


yang identik dengan PIF(Prolacting Inhibiting Factor). Sekresi
prolaktin tidak dirintangi lagi, kadarnya meningkat dan produksi air
susu bertambah banyak.
c) Sedasi yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya
klorpromazin, thioridazin.,dan klozapin. Efek sampingnya ringan pada
zat-zat difenilbutilamin.
d) Hipotensi ortostatis akibat blokade reseptor ∝, adrenergis, misalnya
klorpromazin , thioridazin, dan klozapin.
e) Efek antikolinergis akibat blokade reseptor muskarin, yang bercirikan
antara lain mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih
dan tachycardia, terutama pada lansia. Efeknya khusus kuat pada
klorpromazin,thioridazindan klozapin.
f) Efek antiseerotonin akibat blokade reseptot-5HT, yang berupa
stimulasi nafsu makan dengan akibat naiknya berat badan dan
hiperglikemia.
g) Gejala penarikan dapat timbul, meskipun obat-obat ini tidak berdaya
adiktif. Bila penggunaannya dihentikan mendadak dapat terjadi sakit

15
kepala, sukar tidur, mual, muntah, anorexia dan rasa takut. Efek ini
terutama pada obat-obat dengan kerja antikolinergis. Oleh karena itu
penghentianya selalu perlu berangsur.
h) Efek lainnya. Akhirnya masih ada beberapa efek samping yang
karakteristik bagi obat-obat tertentu, yakni:
 Fenotiazin: seringkali reaksi imunologis, seperti fotosensibilisasi,
hepatitis, kelainan darah dan dermatitis alergis, jarang pada zat-zat
thioxanten. Efek lainnya berupa kelainan mata dengan endapan
pigmen di lensa dan kornea, serta retinopati pada thioridazin(dosis
diatas 800 mg/hari).
 Klozapin: dapat menimbulkan agranulositosis (1-2%),juga
bradycardia, hipotensi ortostatis dan berhentinya jantung.
 Olanzapin dan risperidon pada lansia yang menderita Alzheimer
dapat mengakibatkan kerusakan cerebrovaskuler, yang
meningkatkan mortalitasnya dengan lebih dari dua kali, tidak
tergantung dari lama dan dosisnya penggunaan.
Kontraindikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran

 Anti-Depresan
Antidepresan terutama digunakan untuk mengobati depresi,
gangguan obsesifkompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan
panik, gangguan fobik dan pada kasus tertentu, enuresis nokturnal
(antidepresn trisiklik) dan bulimia nervosa (fluoxetine).Pengaruh
antidepressan pada neurotransmitter biogenik amin memiliki mekanisme
yang berbeda pada setiap golongan antidepressan.Terapi jangka panjang
dengan obat-obat tersebut telah membuktikan pengurangan reuptake
norepinephrine atau serotonin atau keduanya, penurunan jumlah reseptor
beta pascasinaptik, dan berkurangnya pembentukan cAMP.

16
Gambar 6. Skema diagram kemungkinan tempat kerja obat
antidepresan

Mekanisme Kerja
Trisiklik (TCA) memblokade reuptake dari noradrenalin dan
serotonin yang menuju neuron presinaps. SSRI hanya memblokade
reuptake dari serotonin. MAOI menghambat pengrusakan serotonin pada
sinaps. Mianserin dan mirtazapin memblokade reseptor alfa 2 presinaps.
Setiap mekanisme kerja dari antidepresan melibatkan modulasi pre atau
post sinaps atau disebut respon elektrofisiologis.

Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari
dan mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-
depresan jarang timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk
sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti
urutan:
Langkah 1 : golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Langkah 2 : golongan tetrasiklik (TCA)

17
Langkah 3 :golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase
Inhibitor) reversibel.

Tabel 2

Tabel 3

Pertama-tama menggunakan golongan SSRI yang efek sampingnya


sangat minimal (meningkatkan kepatuhan minum obat, bisa digunakan
pada berbagai kondisi medik), spectrum efek anti-depresi luas, dan gejala
putus obat minimal, serta “lethal dose” yang tinggi (>6000 mg) sehingga
relatif aman. Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat dalam jangka
waktu yang cukup (sekitar 3 bulan) tidak efektif, dapat beralih ke pilihan
kedua, golongan trisiklik, yang spektrum anti depresinya juga luas tetapi
efek sampingnya relatif lebih berat. Bila pilihan kedua belum berhasil,
dapat beralih ketiga dengan spectrum anti depresi yang lebih sempit, dan

18
juga efek samping lebih ringan dibandingkan trisiklik, yang teringan
adalah golongan MAOI. Disamping itu juga dipertimbangkan bahwa
pergantian SSRI ke MAOI membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat
untuk “washout period” guna mencegah timbulnya “serotonin malignant
syndrome”.

Pemberian Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
 onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
 efek sekunder (efek samping) : sekitar 12-24 jam
 waktu paruh : 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari).
Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu:
a. Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran
selama minggu I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II,
50 mg/hari pada hari III dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.
b. Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai
dosis efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin
150 mg/hari selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III
200 mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari.
c. Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama
2-3 bulan. Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal)
kemudian diturunkan sampai dosis pemeliharaan.
d. Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya
dosis pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150
mg/hari.
e. Tappering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari
initiating dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100 mg/hari
selama 1 minggu, 100 mg/hari à 75 mg/hari selama 1 minggu, 75
mg/hari à 50 mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari à 25 mg/hari
selama 1 minggu.

19
Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan
total.Kalau kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi
dari awal dan seterusnya.Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal
pada malam hari (single dose one hour before sleep), untuk golongan
trisiklik dan tetrasiklik.Untuk golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada
pagi hari setelah sarapan.Pemberian obat anti depresi dapat dilakukan
dalam jangka panjang oleh karena “addiction potential”-nya sangat
minimal.

Tabel 4. Klasifikasi Obat Anti-Depresan

20
Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang
berguna juga pada penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan
mencegah kekambuhan depresi
Efek Samping
 Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin,
penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik
(perubahan EKG, hipotensi).
 SSRI : nausea, sakit kepala
 MAOI : interaksi tiramin
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic
syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi,
delirium, confusion dan disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya:
 Gastric lavage
 Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi

 Anti-Mania
Mania merupakan gangguan mood atau perasaan ditandai dengan
aktivitas fisik yang berlebihan dan perasaan gembira yang luar biasa yang
secara keseluruhan tidak sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi.
Hal ini terjadi dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir
setiap hari terdapat keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang
meningkat ekspresif atau iritabel. Sindroma mania disebabkan oleh
tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps neuron, khususnya pada
sistem limbik, yang berdampak terhadap “dopamine receptor
supersensitivity”. Lithium karbonat merupakan obat pilihan utama untuk
meredakan sindroma mania akut dan profilaksis terhadap serangan
sindroma mania yang kambuh pada gangguan afektif bipolar. Bentuk
mania yang lebih ringan adalah hipomania. Mania seringkali merupakan
bagian dari kelainan bipolar (penyakit manik-depresif). Beberapa orang

21
yang tampaknya hanya menderita mania, mungkin sesungguhnya
mengalami episode depresi yang ringan atau singkat. Baik mania maupun
hipomania lebih jarang terjadi dibandingkan dengan depresi. Mania dan
hipomania agak sulit dikenali, kesedihan yang berat dan berkelanjutan
akan mendorong seseorang untuk berobat ke dokter, sedangkan
kegembiraan jarang mendorong seseorang untuk berobat ke dokter karena
penderita mania tidak menyadari adanya sesuatu yang salah dalam
keadaan maupun perilaku mentalnya.
Jadi Obat Antimania adalah obat yang digunakan untuk
mengendalikan kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas tertentu,
yang tidak dapat dikendalikan , misalnya mengutil ( kleptomania).

Tabel 5. Sediaan Obat Anti Mania dan Dosis Anjuran

22
Cara Penggunaan
Pada mania akut diberikan haloperidol IM atau tablet litium
karbonat. Pada gangguan afektif bipolar dengan serangan episodik mania
depresi diberi litium karbonat sebagai obat profilaks. Daapt mengurangi
frekwensi, berat dan lamanya suatu kekambuahan. Bila penggunaan obat
litium karbonat tidak memungkinkaan dapat digunakan karbamezin. Obat
ini terbukti ampuh meredakan sindroma mania akut dan profilaks serangan
sindroma mania pada gangguan afektif bipolar. Pada ganguan afektif
unipolar, pencegahan kekambuhan dapat juga denagn obat antidepresi
SSRI yang lebih ampuh daripada litium karonat. Dosis awal harus lebih
rendah pada pasien usia lanjut atau pasien gangguan fisik yang
mempengaruhi fungsi ginjal. Pengukuran serum dilakukan dengan
mengambil sampeel darah pagi hari, yaitu sebelum makan obat dan sekitar
12 jam setelah dosis petang.

Mekanisme Kerja
Lithium Carbonate merupakan obat pilihan utama untuk
meredakan Sindrom mania akut atau profilaksis terhadap serangan
Sindrom mania yang kambuhan pada gangguan afektif bipolar. Hipotesis:
Efek anti-mania dari Lithium disebabkan kemampuannya mengurangi
”dopamine receptor supersensitivity”, meningkatnya ”cholinergic-
muscarinic activity”, dan menghambat ”cyclic AMP (adenosine
monophosphate) dan phosphoinositides”.

Indikasi
Gejala sasaran: Sindrom mania. Butir-butir diagnostik terdiri dari:
 Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat
keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat, ekspresif dan
iritabel.
 Keadaan tersebut paling sedikit 4 gejala berikut:

23
 Peningkatan aktivitas (ditempat kerja, dalam hubungan sosial atau
seksual), atau ketidak-tenangan fisik
 Lebih banyak bicara dari lazimnya ataun adanya dorongan untuk
bicara terus menerus
 Lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayatan subjektif bahwa
pikirannya sedang berlomba
 Rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf
sampai waham/delusi)
 Berkurangnya kebutuhan tidur
 Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiannya terlalu cepat tertarik
kepada stimulus luar yang tidak penting
Kontraindikasi
Wanita hamil karena bersifat teratogenik. Lithium dapat melalui
plasenta dan masuk peredaran darah janin, khususnya mempengaruhi
kelenjar tiroid.
Efek Samping
 Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi
fisik pasien.
 Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama: mulut kering,
haus, gastrointestinal distress (mual, muntah, diare, feses lunak),
kelemahan otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyata
pada pasien usia lanjut dan penggunaan bersamaan dengan
neuroleptika dan antidepresan) Tidak ada efek sedasi dan gangguan
akstrapiramidal.
 Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan,
perubahan fungsi tiroid, edema pada tungkai metalic taste,
leukositosis, gangguan daya ingat dan kosentrasi pikiran
 Gejala intoksikasi
 Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk,
kosentrasi pikiran menurun, bicara sulit, pengucapan kata
tidak jelas, berjalan tidak stabil.

24
 Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala:
kesadaran menurun, oliguria, kejang-kejang.
 Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah.
 Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :
 Demam (berkeringat berlebihan)
 Diet rendah garam o Diare dan muntah-muntah
 Diet untuk menurunkan berat badan o Pemakaian bersama
diuretik, antireumatik, obat anti inflamasi nonsteroid
 Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang
faktor predisposisi, minum secukupnya, bila berkeringat dan
diuresis banyak harus diimbangi dengan minum lebih banyak,
mengenali gejala dan intoksikasi dan kontrol rutin.
 Anti-Ansietas
Antiansietas adalah obat – obat yang digunakan untuk mengatasi
kecemasan dan juga mempunyai efek sedative, relaksasi otot, amnestic,
dan antiepileptic.Antiansietas yang terutama adalah benzodiazepine.
Banyak golongan obat yang mendepresi system saraf pusat (SSP) lain
telah digunakan untuk sedasi siang hari pada pengobatan ansietas, namun
penggunaannya saat ini telah ditinggalkan. Alasannya ialah antara lain
golongan barbiturate dan meprobamat, lebih toksik pada takar lajak
(overdoses).2 Dari golongan benzodiazepine, yang dianjurkan untuk
antiansietas adalah klordiazepoksid, diazepam, oksazepam, klorazepat,
lorazepam, prazepam, alprazolam, dan halozepam. Sedangkan klorazepam
lebih dianjurkan untuk pengobatan panic disorder.

Klasifikasi
Klasifikasi yang sering dipakai adalah :
 Derivate benzodiazepine :
 Diazepam (valium)
 Bromazepam (lexotan)
 Lorazepam (ativan)

25
 Alprazolam (xanax)
 Clobazam (frisium)
 Derivate gliserol :
 Meprobamat
 Derivate berbiturat :
 Fenobarbital

Mekanisme Kerja
Mayoritas neurotransmitter yang melakukan inhibisi di otak adalah
asam amino GABA (gamma-aminobutyric acid A). Secara selektif
reseptor GABA akan membiarkan ion Chlorid masuk ke dalam sel,
sehingga terjadi hiperpolarisasi neuron dam menghambat penglepasan
transmisi neuronal. Secara umum obat – obat antiansietas ini bekerja di
reseptor GABA. Benzodiazepine menghasilkan efek pengikatan terhadap
reseptor GABA tersebut.
Cara Penggunaan
 Benzodiazepine memiliki rasio terapetik yang tinggi sebagai anti
ansietas dan kurang menimbulkan adiksi dengan toksisitas yang
rendah dibandingkan dengan meprobamate atau fenobarbital.
 Benzodiazepine sebagai “drug of choice” karena memiliki
spesifisitas, potensi dan kemanannya.
 Spectrum klinis benzodiazepine memliputi efek anti ansietas
(lorazepam, clobazam, bromazepam), antikonvulsan, anti insomnia
(nitrazepam/flurazepam), dan premedikasi tingkat operatif
(midazolam).
 Efek klinis terlihat bila kadar obat dalam darah telah mencapai
“steady state” dimana dapat dicapai 5-7 hari dengan dosis 2-3 kali
sehari. Onset of action cepat dan langsung memberikan efek.
 Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis
setiap 3-5 hari sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini
dipertahankan 2-3 minggu. Kemudian diturunkan 1/8 x dosis awal

26
setiap 2-4 minggu sehingga tercapai dosis pemeliharan. Bila
kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif pertahankan 4-8 minggu.
 Pemberian obat tidak boleh lebih dari 1-3 bulan dan penghentian
selalu secara bertahap

Efek Samping dan Kontradiksi


Pada penggunaan dosis terapi jarang timbul efek samping seperti
rasa mengantuk, tetapi pada kadar takar lajak (overdoses) benzodiazepine
menimbulkan efek depresi SSP. Efek samping akibat depresi susunan saraf
pusat berupa kantuk dan ataksia yang merupakan kelanjutan dari efek
farmakodinamik obat – obat tersebut. Efek antiansietas diazepam dapat
diharapkan terjadi bila kadar dalam darah mencapai 300-400 ng/mL dan
pada kadar ini sudah terjadi efek sedasi dan gangguan psikomotor.
Intoksikasi SSP yang menyeluruh terjadi pada kadar di atas 900-1000
ng/mL.
Hal yang ganjil adalah sesekali terjadi peningkatan ansietas.
Respon semacam ini terjadi khusus pada pasien yang merasa ketakutan
dan terjadi penumpulan daya pikir sebagai akibat efek samping sedasi
antiansietas.Efek yang unik juga adalah dimana terjadi peningkatan nafsu
makan yang mungkin ditimbulkan oleh derivate benzodiazepine secara
mental. Umumnya, toksisitas klinik benzodiazepine rendah. Bertambahnya
berat badan, yang mungkin disebabkan karena perbaikan nafsu makan,
terjadi pada beberapa pasien. Banyak efek samping yang dilaporkan pasien
tumpang tindih dengan dengan gejala ansietas, oleh sebab itu anamnesis
yang cermat sangat penting sehingga dapat dibedakan apakah benar
merupakan efek samping atau merupakan gejala ansietas.
Pemberian dalam jumlah besar dan jangka waktu lama dapat
menyebabkan toleransi dan dependensi, serta gejala putus zat apabila obat
dihentikan secara tiba – tiba. Derivate benzodiazepine sebaiknya jangan
diberikan bersama dengan alcohol, barbiturate dan atau fenotiazin.
Kombinasi ini mungkin menimbulkan efek depresi yang berlebihan. Pada

27
pasien dengan gangguan pernapasan, benzodiazepine dapat memperberat
gejala sesak napas.

Indikasi dan Sediaan


Derivate benzodiazepine digunakan untuk menimbulkan sedasi,
menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan
dengan rasa cemas. Selain sebagai antiansietas, derivate benzodiazepine
juga digunakan sebagai hipnotik, antikonvulsan, pelemas otot, dan induksi
anestesi umum yang tentunya dosis untuk masing – masing tujuan
penggunaan berbeda.
Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral
atau bila sangat diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis
25 – 100 mg sehari dalam 2 atau 4 pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20
mg sehari, dan pemberian suntik dapat diulang tiap 3-4 jam. Klorazepat
diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi.
Klodiazepoksid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg.
diazepam tersedia dalam bentuk tablet 2 mg dan 5 mg. diazepam tersedia
sebagai larutan untuk pemberian rektal pada anak dengan kejang demam.
Alprazolam tersedia dalam bentuk tablet 0,5 mg, 1 mg, dan 2 mg.
Toleransi dan Ketergantungan Fisik
Sebagai antiansietas, derivate benzodiazepine juga digunakan
sebagai hipnotik, antikonvulsan, pelemas otot, dan induksi anestesi umum
yang tentunya dosis untuk masing – masing tujuan penggunaan berbeda.
Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila
sangat diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25 – 100
mg sehari dalam 2 atau 4 pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20 mg
sehari, dan pemberian suntik dapat diulang tiap 3-4 jam. Klorazepat
diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi. Klodiazepoksid
tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. diazepam tersedia dalam
bentuk tablet 2 mg dan 5 mg. diazepam tersedia sebagai larutan untuk

28
pemberian rektal pada anak dengan kejang demam. Alprazolam tersedia
dalam bentuk tablet 0,5 mg, 1 mg, dan 2 mg.
 Anti-Insomnia
Obat Anti-Insomnia digunakan untuk mengatasi pasien yang
mengalami gangguan susah tidur. Sering disebut juga Hypnotics,
Somnifacient, Hipnotika.Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi
menjadi dua golongan yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
 Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
 Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :


 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur). Obat yang
dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu
golongan benzodiazepine (Short Acting) Misalnya pada gangguan
anxietas.
 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit
masuk kembali ke proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan
adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu
golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik).
Misalnya pada gangguan depresi.
 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres
psikososial.

Pengaturan Dosis
 Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum
pergi tidur.

29
 Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering
off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
 Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
 Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-
3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada
usia lanjut
Lama Pemberian
 Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja,
tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil.
Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan
“Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
 Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping
 Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur.
 Hati – hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan, uremia,
gangguan fungsi hati, oleh karena keadaan tersebut terjadi
penurunan fungsi SSP, dan dapat memudahkan timbulnya koma.
Pada pasien usia lanjut dapat terjadi “over sedation”, sehingga
resiko jatuh dan trauma menjadi besar, yang sering terjadi adala
“hip fracture”.
 Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik
obat anti-insomnia (waktu paruh).
Perhatian Khusus
 Kontraindikasi :
 Sleep apneu syndrome
 Congestive Heart Failure
 Chronic Respiratory Disease

30
 Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine
dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi
SSP)

 Anti-Panik
Disebut juga sebagai : Drugs Used In Panic Disorders. Obat yang menjadi
acuan untuk antipanik adalah Imipramin, selain itu juga obat lain seperti
: Clomipramin, Alprazol, Moclobemid, Setralin, Fluoxetin, Parocetin,
dan Fluvoxamine.

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat reuptake serotonin

Efek Samping
Efek samping yang ditimbulkan dalam penggunaan obat anti panik antara
lain: mengantuk, sedasi, kewaspadaanberkurang, dan Neurotoksik.

Lama pemberian
 Lamanya pemberian obat tergantung dari individual, umunya selama 6- 12
bulan,kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi
penderita sudah memungkinkan
 Dalam waktu 3 bulan bebas obat 75% penderita menunjukkan gejala
kambuh. Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semula
diulangi selama 2 tahun. Setelah itu dihentikan secara bertahap selama 3
bulan.

 Obat Anti-Obsesif Kompulsif


Disebut juga sebagai : Drugs Used In Obsessive Compulsive Disorders

31
Pengolongan Obat
Obat anti Obsesif Kompulsif yang menjadi acuan adalah klomipramin.
Obat antikompulsi dapat digolongkan menjadi :
Trisiklik : Klomipramin
SSRJ : sentralin, paroksin, Flovokamin, Fluoksetin.

Mekanisme Kerja
Menghambat re-uptake neurotransmitter serotonin sehingga gejala mereda.

32
BAB III
KESIMPULAN

1. Psikofarmaka adalah obat- obatan yang digunakan untuk klien dengan


gangguan mental.
2. Psikofarmaka dapat digolongkan dalam beberapa golongan yaitu :
dapat digolongkan dalam dua kelompok besar, yakni :
a) Antipsikotika (dahulu disebut neuroleptika atau major tranquilizer)
yang bekerja sebagai antipsikosis dan sedatif. Obat ini digunakan
khusus untuk berbagai jenis antipsikosis misal schizofernia dan
mania.
b) Antidepresan yang berdaya memperbaiki suasana murung dan
putus asa terutama digunakan pada keadaan depresi, panik dan
fobia
c) Anti-Mania, digunakan untuk mengendalikan kecenderungan
patologis untuk suatu aktivitas tertentu, yang tidak dapat
dikendalikan, misalnya mengutil ( kleptomania).
d) Anti-Ansietas, digunakan untuk mengatasi kecemasan dan juga
mempunyai efek sedative, relaksasi otot, amnestic, dan
antiepileptic.
e) Anti-Insomnia, digunakan untuk pesien yang mengalami gangguan
susah tidur
f) Anti-Panik
g) Anti-Obsesif Kompulsif

33
34
DAFTAR PUSTAKA

Hoan Tjay, Tan dan Rahardja Kirana. 2013. Obat-Obat Penting. Jakarta :
Gramedia.
Maslim R. 2004. Paduan Praktis: Penggunaan Obat Psikotropik. Edisi ketiga.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Jiwa UNIKA AMA

35

Anda mungkin juga menyukai