Abstrak
Steven-Johnson Syndrom (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis
dan pelepasan epidermis, dikenal dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium, dan mata, disertai gejala
umum berat. Insidensi kejadian SJS sangat jarang, di Indonesia sekitar 12 kasus per tahun. Etiologi dan patogenesis SJS
belum diketahui secara pasti namun ada beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi, salah satunya adalah alergi
obat. Di Indonesia obat yang diperkirakan paling sering menyebabkan SJS adalah antipiretik dan analgetik. Seorang
perempuan berusia 24 tahun datang ke Rumah Sakit Dr. H. Abdul Moeloek (RSAM) Provinsi Lampung dengan keluhan bibir
melepuh sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai mata perih dan sulit dibuka serta kulit wajah terasa
panas dan sekujur tubuh terasa menggigil. Keluhan dirasakan setelah pasien meminum obat paracetamol. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran komposmentis, pemeriksaan tanda vital dalam
batas normal. Pada regio fasial, regio coli pars anterior, regio toraks, regio abdomen pars epigastrium, dan regio lumbal,
terdapat krusta hemoragik, sedikit tebal, sulit dilepas, batas ireguler, multipel, ukuran 0,5 sampai 1 cm. Pada regio coli pars
anterior dan toraks, terdapat bula flaccid [Nikolsky sign (-)], berukuran 0,5 sampai 1 cm, multipel, iregular, diskret, simetris.
Pada regio labiaris superior ad inferior terdapat krusta hemoragik, multiple, tebal, sulit dilepas, batas iregular, sebagian
erosi, berukuran 0,5 sampai 1 cm. Pasien dalam kasus ini diberikan terapi kortikosteroid topikal dan sistemik serta antibiotik
sistemik. Setelah diberikan terapi, keadaan pasien perlahan membaik.
Korespondensi: Novita Dwiswara Putri, S. Ked., alamat Jl. Majapahit No. 45, RT. 5, Kel. Majapahit, Kec. Lubuklinggau Timur,
Lubuklinggau, Sumatera Selatan, HP 082186660961, e-mail novitadwiswaraputri@gmail.com
Pendahuluan
Steven-Johnson’s Syndrome (SJS) disertai gejala umum berat. Stevens dan
merupakan suatu penyakit akut yang dapat Johnson pertama kali melaporkan dua buah
mengancam jiwa yang ditandai dengan kasus erupsi kutaneus yang disertai erosif
nekrosis dan pelepasan epidermis yang dikenal stomatitis dan kelainan pada mata. Pada tahun
dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, 1956, Lyell mendeskripsikan pasien dengan
mukosa orifisium dan mata kehilangan epidermis hingga nekrosis
Kalium 4 mEq/L.
10
+
limfosit yang diaktifkan, pada
gilirannya dapat menginduksi apoptosis dari
sel epidermis melalui beberapa mekanisme,
Apoptosis keratinosit yang bibir pasien. Pada kulit pasien terdapat krusta
dimediasi oleh limfosit T sitotoksik pada regio fasial, regio coli pars anterior, regio
(CD8) pada SJS dan TEN dimodulasi oleh toraks, regio abdomen pars epigastrium dan
TNF-alpha plasma dan interferon- regio lumbal, batas irreguler, multiple, ukuran
gamma, yang meningkat pada pasien 0,5 sampai 1 cm. Terdapat juga bula extended
dengan SJS dan TEN. Proses ini pada pada regio coli pars anterior dan toraks,
hipotesis terbaru menyatakan bahwa berukuran 0,5 sampai 1 cm, multiple, irregular,
kemungkinan terjadi melalui 3 jalur, diskret, simetris. Pada pemeriksaan fisik mata
yaitu: interaksi ligan Fas-Fas; terlihat konjungtiva hiperemis dan
perforin/granzim B; dan mediasi mengeluarkan sekret purulen berwarna kuning
granulisin.Gejala klinis yang didapatkan kehijauan. Bibir pasien terlihat berwarna
dari anamnesis menimbulkan diagnosa kehitaman dan menebal, dimana dari hasil
banding Stevens-Johnson Syndrome, pemeriksaan terdapat krusta tebal
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), hiperpigmentasi pada labium oris, berukuran
Generalized fixated bullous drug 0,5 sampai 1 cm batas tegas, multipel.
eruption. Pada Generalized fixated Secara teori, SJS memiliki trias kelainan
bullous drug eruption, dapat ditemukan berupa kelainan pada kulit, kelainan mata,
adanya gambaran eritema dan bula dan kelainan pada selaput lendir di orifisium.
yang berbentuk bulat atau lonjong dan Kelainan kulit dapat berupa adanya eritema,
biasanya numular dan kemudian vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
meninggalkan bercak hiperpigmentasi memecah sehingga terjadi erosi yang luas.
yang lama baru hilang. Predileksinya Disamping itu dapat pula terjadi purpura.
pada mulut, bibir, dan genital. Pada bentuk yang berat, kelainannya
Sementara SJS dan TEN hanya dapat generalisata. Kelainan selaput lendir di
dibedakan dari seberapa besar Total orifisium yang paling sering adalah pada
Body Surface Area yang terkena.Dari mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh
pemeriksaan fisik pasien ditemukan kelainan di lubang alat genital (50%),
beberapa kelainan pada kulit, mata, dan sedangkan lubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%). Rawat inap bertujuan agar dokter dapat
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang memantau setiap hari keadaan penderita.
cepat memecah hingga menjadi erosi dan Penggunaan preparat kortikosteroid
ekskoriasi dan krusta kehitaman.Pada mukosa merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid
mulut dapat pula terbentuk pseudomembran. yang biasa digunakan berupa deksametason
Kelainan yang paling sering tampak di bibir secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x
adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Lesi 5 mg/hari. Masa kritis biasanya dapat segera
di mukosa mulut dapat pula terdapat di faring, diatasi dalam 2-3 hari, apabila keadaan umum
traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. membaik, tidak timbul lesi baru dan lesi lama
Dapat pula terjadi stomatitis yang mengalami involusi, maka dosis segera
menyebabkan pasien sukar/tidak dapat diturunkan 5 mg setiap hari.Setelah dosis
menelan. Adanya pseudomembran di faring mencapai 5 mg sehari kemudian diganti
dapat menyebabkan keluhan berupa sulit dengan kortikosteroid sediaan tablet seperti
bernapas. prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg
Kelainan mata merupakan 80% diantara sehari, kemudian diturunkan menjadi 10 mg
semua kasus, yang tersering adalah pada hari berikutnya selanjutnya pemberian
konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat pula obat dihentikan (tappering off). Lama
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira
simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan berlangsung selama 10 hari.Penggunaan
iridosiklitis.Pada kasus ini diberikan terapi preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi
berupa terapi umum dan terapi khusus. terapi menyebabkan imunitas penderita menurun,
umum berupa terapi nonfarmakalogi, meliputi maka antibiotik harus diberikan untuk
perawatan pasien selama berada di rawat inap mencegah terjadinya infeksi sekunder,
yaitu perawatan ditempat khusus untuk misalnya bronkopneumonia yang dapat
mencegah infeksi, mengidentifikasi dan menyebabkan kematian. Antibiotik yang
menghentikan penggunaan obat penyebab diberikan hendaknya yang jarang
serta perbaikan terhadap keseimbangan menyebabkan alergi, berspektrum luas,
cairan, elektrolit, dan protein. Pasien bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik.
ditempatkan di ruang isolasi, namun pasien Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut
tidak sendirian di dalam ruangan, di ruangan antara lain siprofloksasin dengan dosis 2x400
tersebut pasien bersama dengan 3 orang mg intravena, klindamisin dengan dosis 2x600
pasien lainnya sehingga kemungkinan untuk mg intravena dan gentamisin dengan dosis
terjadi infeksi masih ada. Obat penyebab 2x80 mg.Penderita juga dapat diberikan
terjadinya SJS pada pasien sudah di transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
identifikasi dan sudah dihentikan. berturut- turut, khususnya pada kasus yang
Pasien mendapat terapi cairan berupa disertai purpura yang luas dan leukopenia.
infus Ringer Laktat (RL) sehingga kekurangan Pada kasus, tidak terdapat purpura yang luas
cairan dan elektrolit pada pasien cukup dapat dan juga tidak terjadi leukopenia sehingga
diatasi. Pada pasien juga diberikan terapi tidak diberikan transfusi darah.Penderita
farmakologi, berupa terapi sistemik dan yang menggunakan
dermatoterapi. Terapi sistemik pada pasien kortikosteroid umumnya (namun tidak semua)
berupa pemberian antibiotik gentamisin 80 mengalami penurunan kalium atau
mg diberikan setiap 12 jam dan deksametason hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis
5 mg setiap 8 jam. Untuk dermatoterapi pada 3x500 mg sehari per-oral. Agen hemostatik
pasien diberikan topikal Triamsinolon. terutama diberikan pada penderita disertai
Penatalaksanaan SJS didasarkan atas purpura yang luas. Agen hemostatik yang
tingkat keparahan penyakit yang secara umum sering digunakan adalah vitamin K. Kedua
meliputi rawat inap, preparat kortikosteroid, terapi ini merupakan terapi pilihan tergantung
antibiotik, transfusi darah, preparat KCL, dan dari tingkat keparahan dari SJS yang terjadi. 11
agen hemostatik. 12
5
6 8
preparat KCL dan agen hemostatik tidak diberikan.
7
Novita, Hanna, Hasudungan, Hendra dan Asep | Sindrom Steven Johnson et causa Paracetamol