Anda di halaman 1dari 11

MUHAMMAD NAUFAL RAMADHAN

1703015004

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang


Tanah ditemukan di mana-mana di sekitar kita dan mempunyai arti yang sangat
penting bagi kehidupan manusia. Kebanyakan orang tidak pernah berusaha
menentukan apakah tanah itu, darimana asal dan sifatnya. Mereka tidak
memperhatikan bagaimana tanah di suatu tempat berbeda dengan tanah di tempat
lain. Pasti sedikit saja atau bahkan tidak mungkin ada di antara kita yang mengetahui
sebab perbedaan ini. Air merupakan sumber daya alam yang cukup banyak di dunia
ini, ditandai dengan adanya lautan, sungai, danau dan lain-lain sebagainya. Tanah
memegang peranan penting dalam melakukan prespitasi air yang masuk ke dalam
tanah, selanjutnya sekitar 70% dari air yang diterima di evaporasi dan dikembalikan ke
atmosfer berupa air, dan tanah memegang peranan penting dalam refersi dan
penyimpanan. Sisanya itulah yang digunakan untuk kebutuhan tranpirasi,evaporasi dan
pertumbuhan tanaman.
Agregat dapat menciptakan lingkungan fisik yang baik untuk perkembangan
akar tanaman melalui pengaruhnya terhadap porositas, aerasi dan daya menahan air.
Tanah yang agregatnya kurang stabil bila terkena gangguan maka agregat tanah
tersebut akan mudah hancur. Butir-butir halus hasil hancuran akan menghambat pori-
pori tanah sehingga bobot isi tanah meningkat, aerasi buruk dan permeabilitas menjadi
lambat. Kemantapan agregat juga sangat menentukan tingkat kepekaan tanah terhadap
erosi. Kemampuan agregat untuk bertahan dari gaya perusak dari luar stabilitas
sehingga dapat ditentukan secara kuantitatif melalui Aggregate Stability Inde
(ASI). Indeks ini merupakan penilaian secara kuantitatif terhadap kemantapan
agregat. Agregat tanah terbentuk jika partikel-partikel tanah menyatu membentuk unit-
unit yang lebih besar. Agregat tanah sebagai kesatuan partikel tanah yang melekat satu
dengan lainnya lebih kuat dibandingkan dengan partikel sekitarnya. Dua proses
dipertimbangkan sebagai proses awal dari pembentukan agregat tanah, yaitu flokulasi
dan fragmentasi. Flokulasi terjadi jika partikel tanah yang pada awalnya dalam keadaan
terdispersi, kemudian bergabung membentuk agregat. Sedangkan fragmentasi
terjadi jika

tanah dalam keadaan masif, kemudian terpecah-pecah membentuk agregat yang lebih
kecil. Tanah yang teragregasi dengan baik biasanya dicirikan oleh tingkat infiltrasi,
permeabilitas, dan ketersediaan air yang tinggi. Sifat lain tanah tersebut adalah mudah
diolah, aerasi baik, menyediakan media respirasi akar dan aktivitas mikrobia tanah
yang baik. Untuk dapat mempertahankan kondisi tanah seperti itu, maka perbaikan
kemantapan agregat tanah perlu diperhatikan.
Kemantapan agregat tanah dapat didefinisikan sebagai kemampuan tanah
untuk bertahan terhadap gaya-gaya yang akan merusaknya. Gaya-gaya tersebut dapat
berupa kikisan angin, pukulan hujan, daya urai air pengairan, dan beban pengolahan
tanah. Agregat tanah yang mantap akan mempertahankan sifat-sifat tanah yang baik
untuk pertumbuhan tanaman, seperti porositas dan ketersediaan air lebih lama
dibandingkan dengan agregat tanah tidak mantap. Semakin mantap suatu agregat
tanah, makin rendah kepekaannya terhadap erosi (erodibilitas tanah) parameter-
parameter kemantapan agregat (berat diameter rata-rata dan ketidakmantapan agregat
kering dan basah) adalah lebih besar korelasinya terhadap erodibilitas dibandingkan
dengan kandungan liat, debu, debu dan pasir sangat halus, bahan organik, struktur dan
permeabilitas.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Agrergat Tanah


Agregat merupakan kumpulan pasir, pasir halus, tanah liat serta partikel
organik seperti sel mikroba sendiri yang menggumpal karena adanya gum, polisakarida
atau metabolit lainnya yang disekresi mikroba. Agregat yang dibentuk sangat
ditentukan oleh batuan induk penyusunnya, iklim dan aktivitas biologis yang
berlangsung dilingkungan tersebut. Agregat tanah yang terbentuk ditentukan oleh
batuan induk penyusunnya, iklim, dan aktivitas biologi yang langsung di lingkungan
tersebut. Distribusi materi pasir, pasir halus (slit) dan tanah liat merupakan tekstur
tanah, sedangkan tekstur tanah menunjukkan sifat agregat (Irianto, 2009). Agregat
tanah dihasilkan dari interaksi komunitas mikrobial tanah, mineral tanah, tumbuh-
tumbuhan alami yang jatuh ke tanah, dan ekosistem yang terkombinasi acak pada
organik tanah dan komponen mineral yang berkumpul ke dalam mikroagregat
(diameter < 50 μm) dan makroagregat (diameter > 50 μm).
Peranan agregat bagi ekosistem tanah adalah untuk mikroba sendiri,
mikroagregat tanah dapat melindungi mikroba terutama bakteri dari protozoa
pemangsa, selain itu interaksi yang menguntungkan (simbiosis mutualisme) diantara
mikroorganisme (Budiyanto 2008), menambahkan agregat tanah juga berperan dalam
pengontrol kandungan unsur hara tanah, menjaga stabilitas tanah dan aerasi. Beberapa
contoh jamur yang berperan penting dalam proses pembentukan agregat tanah adalah
Aspergillus sp., Fusarium sp., Phytium dan Actinomycetes. Sedangkan beberapa
bakteri yang berperan dalam proses agregat tanah yaitu Bacillus sp., Clostridium sp.,
dan Pseudomonas sp. Penambahan suspensi jamur menghasilkan tekstur tanah yang
cukup padat, keras dan mampu membentuk agregat yang lebih luas dibandingkan
penambahan suspensi bakteri.
Buckman dan Brady (2007), menyatakan bahwa peranan jamur berfilamen
dalam tanah lebih penting dibanding bakteri. Jamur berfilamen ini berperan dalam
pembentukan humus, kemantapan agregat dan aerasi tanah. hal ini dikarenakan jamur
memiliki filamen dan mampu menghasilkan enzim ekstraseluler.

2.2. Agregat Utuh


Contoh tanah agregat utuh adalah contoh tanah berupa bongkahan alami yang
kokoh dan tidak mudah pecah. Contoh tanah ini diperuntukkan bagi analisis indeks
kestabilitas agregat (IKA). Contoh diambil menggunakan cangkul pada kedalaman 0-
20 cm (Suganda et al, 2007).
Bongkahan tanah dimasukkan ke dalam boks yang terbuat dari kotak seng,
kotak kayu atau kantong plastik tebal. Dalam mengangkut contoh tanah yang
dimasukkan ke dalam kantong plastik harus hati-hati, agar bongkahan tanah tidak
hancur di perjalanan, dengan cara dimasukkan ke dalam peti kayu atau kardus yang
kokoh. Untuk analisis IKA dibutuhkan 2 kg contoh tanah (Suganda et al, 2007).

2.3. Tanah Terganggu


Contoh tanah terganggu dapat juga digunakan untuk analisis sifat-sifat kimia
tanah. Kondisi contoh tanah terganggu tidak sama dengan keadaan di lapangan, karena
sudah terganggu sejak dalam pengambilan contoh. Contoh tanah ini dapat dikemas
menggunakan kantong plastik tebal atau tipis. Kemudian diberi label yang berisikan
informasi tentang lokasi, tanggal pengambilan, dan kedalaman tanah. Label
ditempatkan di dalam atau di luar kantong plastik. Jika label dimasukkan ke dalam
kantong plastik bersamaan dengan dimasukkannya contoh tanah, maka label dalam ini
perlu dibungkus dengan kantong plastik kecil, agar informasi yang telah tercatat tidak
hilang karena terganggu oleh kelembapan air tanah. Pengangkutan semua contoh tanah
hendaknya berpegang kepada prinsip dasar, bahwa contoh tanah tidak boleh tercampur
satu sama lain dan tidak mengalami perubahan apapun selama dalam perjalanan
(Suganda et al, 2007).
Contoh tanah terganggu lebih dikenal sebagai contoh tanah biasa (disturbed soil
sample), merupakan contoh tanah yang diambil dengan menggunakan cangkul, sekop
atau bor tanah dari kedalaman tertentu sebanyak 1-2 kg.

2.4. Tekstur Tanah


Tekstur, atau ukuran butir, seringkali mempunyai peranan yang penting dalam
pengklasifikasian tanah serta mempengaruhi sifat-sifat teknis tanah. Secara umum,
tekstur telah digunakan untuk membagi tanah menjadi dua kelompok besar, yaitu tanah
berbutir kasar dan tanah berbutir halus. Ukuran dan distribusi butir-butir mineral yang
terdapat pada tanah tergantung pada banyak faktor, termasuk komposisi mineral, cuaca,
lama pelapukan dan cara pemindahan (Junaedi, 2015).
Sesuai dengan ukuran butirnya, tanah berbutir kasar dibagi menjadi bongkah
(boulder), kerikil (gravel) dan pasir. Sifat teknis tanah berbutir kasar seringkali
sdipengaruhi oleh tekstur dan gradasinya. Tanah berbutir halus dibagi menjadi lanau
dan lempung. Butir-butir yang membentuk lanau dan lempung mempunyai ukuran
yang sangat kecil sehingga tidak bisa dibedakan dengan mata telanjang. Sifat-sifat
teknis lanau dan lempung lebih dipengaruhi oleh kekuatan permukaan dan kekuatan
listrik butiran daripada oleh kekuatan gravitasi sebagaimana yang berlaku pada tanah
berbutir kasar. Tekstur tanah berbutir halus mempunyai pengaruh yang lebih kecil
terhadap sifat-sifat teknis daripada tekstur tanah berbutir kasar. Lanau biasanya
mempunyai plastisitas yang lebih rendah daripada lempung dan dalam keadaan kering
mempunyai kekuatan yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai kekuatan
(Junaedi, 2015).
Meskipun ukuran hanyalah pilihan, namun nilai-nilai tersebut diusulkan dalam
rangka menyeragamkan definisi. Perbedaan utama antara lanau dengan lempung
adalah plastisitasnya. Lanau pada dasarnya terbentuk melalui pelapukan mekanis,
sehingga sebagian besar sifat-sifatnya menyerupai sifat-sifat bahan induknya,
sedangkan lempung dihasilkan melalui pelapukan mekanis dan kimia dan pada
dasarnya berukuran kolodial (Adha, 2009).

2.5. Senyawa Penyusun Tanah


Tanah secara umum tersusun oleh senyawa anorganik, senyawa organik, udara,
dan air serta mengandung bagian yang terbentuk jasad hidup yang secara umum terdiri
dari mikroorganisme. Mikroba tanah terdiri dari bakteri, jamur dan mikroalgae. Sifat-
sifat tanah bergantung pada besar kecilnya partikel-partikel yang merupakan
komponen-komponen tanah tersebut; misalnya, tanah pasir berbeda dengan tanah liat
dalam hal kemampuan menahan air, kemampuan mengurung udara, dan karenanya
juga berbeda dalam hal menahan panas. Komponen-komponen anorganik maupun
organik tanah merupakan substrat ataupun medium yang baik bagi kehidupan
mikroorganisme (Dwidjoseputro, 2008). Agregat tanah adalah sekelompok
partikel primer tanah yang mengikat bersama satu sama lain membentuk patikel
sekunder (agregat). Stabilitas agregat mengacu pada kemampuan agregat tanah untuk
bertahan terhadap disintegrasi ketika ada gaya-gaya “penghancur” seperti pengolahan
tanah dan air hujan atau erosi angin. Stabilitas agregat basah menunjukkan seberapa
baik agregat tanah yang dapat menahan dampak pukulan air hujan dan erosi air.
Tanah terdiri atas beberapa lapisan, lapisan pertama yang merupakan lapisan
teratas disebut sebagai lapisan O, yaitu lapisan yang kaya akan bahan organik. Di
bawah lapisan O terdapat lapisan A. Lapisan A terdiri dari komposisi mineral dan
bahan organik terdekomposisi. faktor-faktor lingkungan dan aktivitas organisme,
memiliki sifat kaya akan nutrien dan cukup oksigen sehingga lapisan ini selalu
mengalami pelapukan. Lapisan dibawah lapisan A adalah lapisan E, yaitu lapisan ini
mengalami pengkayaan mineral yang berasal dari penindihan mineral. Di bawahnya
disebut lapisan B yang memiliki cukup mineral, senyawa organik dan karbonat sebagai
akibat dari pencucian dan pelapukan lapisan di atasnya. Lapisan selanjutnya adalah
lapisan C. Lapisan ini dicirikan dengan mineral-mineral yang tidak mengalami
pelapukan dan terletak di atas batuan induk.
Agregat merupakan kumpulan pasir, pasir halus, tanah liat serta partikel
organik seperti sel mikroba sendiri yang menggumpal karena adanya gum, polisakarida
atau metabolit lainnya yang disekresi mikroba. Agregat yang dibentuk sangat
ditentukan oleh batuan induk penyusunnya, iklim dan aktivitas biologis yang
berlangsung dilingkungan tersebut. Agregat tanah yang terbentuk ditentukan oleh
batuan induk penyusunnya, iklim, dan aktivitas biologi yang langsung di lingkungan
tersebut. Distribusi materi pasir, pasir halus (slit) dan tanah liat merupakan tekstur
tanah, sedangkan tekstur tanah menunjukkan sifat agregat.
2.6. Metode Penetapan Agregat Tanah
Dalam penuntun ini akan dikemukakan dua metode penetapkan kemantapan
agregat. Metode pertama adalah metode pengayakan ganda (multiple-sieve) yang
dikemukakan oleh De Leeheer dan De Boodt (1959), sedangkan yang kedua adalah
metode pengayakan tunggal yang dikemukakan oleh Kemper dan Rosenau (1986).
Penentuan kemantapan agregat menggunakan saringan dikembangkan pertama kali
oleh Yoder (1936). Satu set ayakan, yang terdiri atas enam ayakan, dipasang pada suatu
dudukan, kemudian dimasukkan ke dalam kontainer berisi air. Alat dilengkapi dengan
motor penggerak yang dihubungkan kedudukan ayakan. Motor ini berfungsi untuk
menaik-turunkan ayakan di dalam air. Tanah yang tertahan pada masing-masing
ayakan setelah pengayakan dilakukan, kemudian dikeringkan dan ditimbang.
Kemantapan agregat dihitung menggunakan berat diameter rata-rata. De Leeheer dan
De Boodt (1959) memodifikasi cara Yoder (1936) dengan melakukan pengayakan
kering sebelum dilakukan pengayakan basah untuk mendekati kondisi lapangan yang
sebenarnya.
Cara pengayakan ganda, selain membutuhkan waktu lama dan pekerjaan rumit
juga memerlukan investasi yang relatif besar dalam pengadaan alatnya. Beberapa
peneliti kemudian mengembangkan metode pengayakan tunggal. Disimpulkan
kemantapan agregat tanah dapat ditentukan menggunakan satu ukuran ayakan, hasilnya
pun lebih erat korelasinya dengan fenomena-fenomena penting di lapangan. Cara ini
selain lebih mudah karena tidak memerlukan perhitungan yang rumit, juga relatif
murah dalam hal investasi alatnya. Penyaringan merupakan metode yang biasanya
secara langsung untuk menentukan ukuran partikel dengan didasarkan pada batas-batas
bawah ukuran lubang saringan yang digunakan. Batas terbawah dalam saringan adalah
ukuran terkecil untuk partikel pasir (Handayani dan Sunarminto, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN
Agregat merupakan kumpulan pasir, pasir halus, tanah liat serta partikel
organik seperti sel mikroba sendiri yang menggumpal karena adanya gum, polisakarida
atau metabolit lainnya yang disekresi mikroba. Agregat yang dibentuk sangat
ditentukan oleh batuan induk penyusunnya, iklim dan aktivitas biologis yang
berlangsung dilingkungan tersebut. Agregat tanah yang terbentuk ditentukan oleh
batuan induk penyusunnya, iklim, dan aktivitas biologi yang langsung di lingkungan
tersebut. Distribusi materi pasir, pasir halus (slit) dan tanah liat merupakan tekstur
tanah, sedangkan tekstur tanah menunjukkan sifat agregat. Agregat tanah dihasilkan
dari interaksi komunitas mikrobial tanah, mineral tanah, tumbuh-tumbuhan alami yang
jatuh ke tanah, dan ekosistem yang terkombinasi acak pada organik tanah dan
komponen mineral yang berkumpul ke dalam mikroagregat (diameter < 50 μm) dan
makroagregat (diameter > 50 μm).
Peranan agregat bagi ekosistem tanah adalah untuk mikroba sendiri,
mikroagregat tanah dapat melindungi mikroba terutama bakteri dari protozoa
pemangsa, selain itu interaksi yang menguntungkan (simbiosis mutualisme) diantara
mikroorganisme, menambahkan agregat tanah juga berperan dalam pengontrol
kandungan unsur hara tanah, menjaga stabilitas tanah dan aerasi. Beberapa contoh
jamur yang berperan penting dalam proses pembentukan agregat tanah adalah
Aspergillus sp., Fusarium sp., Phytium dan Actinomycetes. Sedangkan beberapa
bakteri yang berperan dalam proses agregat tanah yaitu Bacillus sp., Clostridium sp.,
dan Pseudomonas sp. Penambahan suspensi jamur menghasilkan tekstur tanah yang
cukup padat, keras dan mampu membentuk agregat yang lebih luas dibandingkan
penambahan suspensi bakteri.
Dalam penuntun ini akan dikemukakan dua metode penetapkan kemantapan
agregat. Metode pertama adalah metode pengayakan ganda (multiple-sieve) yang
dikemukakan oleh De Leeheer dan De Boodt (1959), sedangkan yang kedua adalah
metode pengayakan tunggal yang dikemukakan oleh Kemper dan Rosenau (1986).
Penentuan kemantapan agregat menggunakan saringan dikembangkan pertama kali
oleh Yoder (1936). Satu set ayakan, yang terdiri atas enam ayakan, dipasang pada suatu
dudukan, kemudian dimasukkan ke dalam kontainer berisi air. Alat dilengkapi dengan
motor penggerak yang dihubungkan kedudukan ayakan. Motor ini berfungsi untuk
menaik-turunkan ayakan di dalam air. Tanah yang tertahan pada masing-masing
ayakan setelah pengayakan dilakukan, kemudian dikeringkan dan ditimbang.
Kemantapan agregat dihitung menggunakan berat diameter rata-rata. De Leeheer dan
De Boodt (1959) memodifikasi cara Yoder (1936) dengan melakukan pengayakan
kering sebelum dilakukan pengayakan basah untuk mendekati kondisi lapangan yang
sebenarnya.
Cara pengayakan ganda, selain membutuhkan waktu lama dan pekerjaan rumit
juga memerlukan investasi yang relatif besar dalam pengadaan alatnya. Beberapa
peneliti kemudian mengembangkan metode pengayakan tunggal. Disimpulkan
kemantapan agregat tanah dapat ditentukan menggunakan satu ukuran ayakan, hasilnya
pun lebih erat korelasinya dengan fenomena-fenomena penting di lapangan. Cara ini
selain lebih mudah karena tidak memerlukan perhitungan yang rumit, juga relatif
murah dalam hal investasi alatnya. Penyaringan merupakan metode yang biasanya
secara langsung untuk menentukan ukuran partikel dengan didasarkan pada batas-batas
bawah ukuran lubang saringan yang digunakan. Batas terbawah dalam saringan adalah
ukuran terkecil untuk partikel pasir.
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, C.J., Fitzgerald, J.D. & Hipps, N.A., 2010. Potential mechanisms for
achieving agricultural benefits from biochar application to temperate soils: a
review. Plant Soil. 337: 1-18
Brodowski, S., John, B., Flessa, H & Amelung, W., 2006. Aggregate-
occluded black carbon in soil. European Journal of Soil Science 57(4) : 539-
546.
Chan, K.Y., Van Zwieten L., Meszaros I., Downie A. & Joseph S., 2007.
Agronomic values of green waste biochar as a soil amendment. Australian
Journal of Soil Research, 45, 629–634
Glaser B., Lehmann, J. & Zech W., 2002. Ameliorating physical and
chemical properties of highly weathered soils in the tropics with charcoals
A review. Biol. Fertil. Soils 2002. 35: 219 - 230.
Lehmann, J., 2007. Bioenergy in the black. Front Ecology Environment 5, 381–387
Lehmann, J., Gaunt, J & Rondon M., 2006. Biochar sequestration in terrestrial
ecosystems. A review, mitigation and adaptation strategies for global change. 11:403-
427.
Lolita, E.S dan Sukartono, 2007. Respon tanaman bawang merah (Allium
ascalonicum) yang diinokulasi MVA pada ragam cara pemberian bahan
organik dan jeda pengairan di lahan kering Pulau Lombok. Prosiding
Kongres Nasional HITI 5-7 Desember 2007, YOGYAKARTA.
Sukartono dan Suwardji (1999). Anasir-anasir yang bertanggung jawab
terhadap stabilitas agregat tanah dari berbagai jenis tanah dari Pulau
Lombok dan Sumbawa. Agroteksos. 8 (4): 1-6.
Sukartono, W.H. Utomo, Z. Kusuma, and W.H. Nugroho, 2011. Soil
fertility status, nutrient uptake, and maize (Zea mays L.) yield following
biochar and cattle manure application on sandy soils of Lombok, Indonesia
Journal of Tropical Agriculture 49 (1-2) : 47-52, 2011
Sukartono, Utomo, W.H., Nugroho, W.H. & Kusuma, Z., 2011. Simple
biochar production generated from cattle dung and coconut shell. J. Basic
Appl. Sci. Res. 10: 1680-1685.
Suwardji (2004). Olah Tanah Konservasi untuk Menuju Pertanian yang
Berkelanjutan. University Mataram Press. 128 halman.
Suwardji dan Eberbach, P.L. (1998). Seasonal changes of physical
properties of an Oxic Paleustalf after 16 years of direct drilling or
conventional cultivation. Journal Soil and Tillage Research 49: 65-77.
Suwardji, Suardiari, G & Hippi A., 2007. Meningkatkan efisiensi air irigasi
dari sumber air tanah dalam pada lahan kering pasiran Lombok Utara
menggunakan teknologi irigasi sprinkler big gun. Prosiding Kongres
Nasional HITI IX, 5-7 Desember 2007, YOGYAKARTA.
Suwardji, Tejowulan, R., Rakhman, A & Munir B., 2004. Rencana strategi
pengembangan lahan kering Provinsi NTB. Bappeda, NTB. pp157
Tisdal, J.M. dan Oades, J.M (1980). The effect of crop rotation on
aggregation in Red brown Earth. Aust J. Soil Research. 18: 423-434
Tisdal, J.M. dan Oades, J.M (1982). Organic matter and water stable
aggregate in soils. Journal Soil Science. 33: 141-163

Anda mungkin juga menyukai