Anda di halaman 1dari 4

Di Indonesia kemampuan berproduksi setiap daerah berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, bahkan

menimbulkan kecenderungan terjadinya kesenjangan pembangunan (development gap) antar propinsi. Perbedaan
laju pembangunan antar daerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kesejahteraan antar
daerah terutama antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa.

Isu mengenai apakah karakteristik regional mempengaruhi terjadinya perbedaan upah regional menjadi penting
untuk diketahui mengingat adanya otonomi daerah, dimana daerah harus mampu menggali dan mengembangkan
faktor-faktor endowment yang dimiliki untuk mencapai efisiensi dalam proses produksi. Permasalahan yang ingin
dikaji dalam penelitian ini adalah untuk mencari jawaban apakah karakteristik regional, terutama karakteristik
pekerja berdasarkan tingkat keahlian dan pendidikan (skilled level) di masing-masing wilayah menjadi penyebab
terjadinya perbedaan upah (spatial wage differential) di Indonesia.

Upah regional memiliki hubungan yang sangat kuat dengan karakteristik regional. Moazzami (1998), Moller
(2002), dan Queiroz (2002) melakukan studi antar wilayah dan antar daerah dalam satu negara. Ada tiga model
yang dapat dirangkum dari penelitian mereka, antara lain; pertama, model sumber daya manusia (human capital)
memperlihatkan bagaimana ketimpangan tingkat dan distribusi human capital antar wilayah mempengaruhi upah
lokal. Dua, struktur pasar tenaga kerja lokal mempengaruhi perbedaan upah dan kesenjangan upah. Ketiga,
perbedaan upah regional mengimbangi/mengganti kerugian perbedaan biaya hidup dan fasilitas kota lintas
wilayah.

Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Feriyanto (1997), Wibisono (2001) dan Syafii (2002), mengatakan
ada beberapa komponen yang dianggap mampu mempengaruhi besarnya upah regional yaitu Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM), Indeks Harga Konsumen (IHK), Pertumbuhan Ekonomi Regional (PED) dan kemampuan
pengusaha di daerah.

Dampak Kenaikan Upah Minimum Bagi Perusahaan


Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kenaikan upah minimum yang terjadi setiap tahunnya bukan hanya menjadi
beban psikologis bagi pengusaha namun juga secara nyata berdampak pada kemampuan perusahaan untuk
berinvestasi pada mesin-mesin produksi yang menggunakan teknologi yang lebih baru. Besarnya tekanan yang
dihadapi oleh pengusaha menjelang penentuan upah minimum setiap tahun lebih disebabkan karena ancaman
mogok dan aksi yang akan dilakukan buruh jika kenaikan upah tersebut tidak sesuai dengan yang mereka
inginkan. Dan ini sudah menjadi pemandangan yang rutin setiap tahunnya terutama pada bulan oktober sampai
dengan Nopember dimana pada saat itu dewan pengupahan mulai menjalankan tugasnya.

Kenaikan upah minimum bukan hanya tidak berdampak terhadap produktifitas tenaga kerja dan terjadinya
mutasi tenaga kerja tetapi juga berdampak negatif terhadap daya saing perusahaan. Pelan namun pasti, kenaikan
ini akan menggerogoti modal kerja perusahaan. Hal ini terjadi karena kenaikan upah hanya berpotensi untuk
meningkatkan biaya produksi. Tanpa diikuti oleh kenaikan volume penjualan maka dalam beberapa tahun
kedepan perusahaan akan mengalami kesulitan karena tingginya komponen biaya produksi dan akhirnya ditutup
kerena sudah tidak mampu membayar upah. Karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kita telah gagal
dalam mempertahankan daya saing industri tekstil.
Kenaikan upah minimum bukan hanya terjadi dalam 5 tahun terkahir, tetapi sudah ada sejak dikeluarkannya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 Tahun 1999 Tentang Upah Minimum. Ini berarti bahwa kenaikan
upah minimum sudah terjadi selama 14 tahun, dan dalam kurun waktu tersebut memang ada banyak perusahaan
tekstil yang harus ditutup karena sudah tidak mampu bersaing. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Sari dalam
Hermawan 2011, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terdapat 227 pabrik tekstil yang berlokasi di Jawa Barat
yang ditutup. Angka ini juga didukung oleh data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat
bahwa pada tahun 2005 terdapat 3.025 perusahaan TPT di Jawa Barat dan pada tahun 2010 tersisa 713 perusahaan.
Data tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat 670 perusahaan yang bergerak dibidang tekstil dan produk
tekstil di Jawa Barat. Artinya, keberadaan perusahaan tekstil di Jawa Barat menunjukkan adanya penurunan
jumlah dari tahun ke tahun. Jumlah ini akan semakin turun jika perusahaan yang ada sekarang tidak segera
melakukan perubahan dan beroperasi secara efisien. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
menurunkan biaya tenaga kerja.

Tujuan dari aturan pengupahan adalah untuk melindungi tenaga kerja. Namun aturan juga jangan sampai
menghalangi pertumbuhan perusahaan sehingga daya saingnya menjadi rendah dan kemampuan untuk menerima
tenaga kerja dan membayar upah juga rendah. Menurut Steiner & Steiner, aturan ketenagakerjaan harus bisa
menyeimbangkan antara perlindungan pekerja dan daya saing Karena itu fleksibelitas tenaga akan lebih
menguntungkan baik bagi pekerja maupun bagi perusahaan, meskipun untuk sementara waktu hal ini tidak
menyenangkan bagi pekerja.

Adanya wacana untuk membawa perusahaan kearah penggunaan mesin produksi yang lebih moderen nampaknya
sudah menjadi suatu keharusan untuk mengurangi biaya tenaga kerja dan menjadikan perusahaan lebih efisien.
Kenaikan upah yang progresif setiap tahunnya baru akan dirasakan perusahaan dalam 5 tahun ke depan, yaitu
semakin berkurangnya kemampuan untuk berinvestasi dan mempertahankan eksistensinya. Saat ini perusahaan
harus mempekerjakan karyawan yang tidak terampil yang jumlahnya banyak dan minta upah yang sama dengan
pekerja yang terampil. Oleh sebab itu, strategi yang paling tepat adalah dengan mengurangi penggunaan tenaga
kerja yang tidak terampil dan menggantikannya dengan mesin-mesin yang dijalankan oleh karyawan yang
terampil. Apa yang diungkapkan oleh pengusaha tekstil ini bukanlah reaksi yang berlebihan atas pelaksanaan
upah minimum. Datta, dkk1 juga mengatakan bahwa untuk bisa meningkatkan daya saing industri tekstil, maka
perusahaan dengan mengurangi intensitas tenaga kerja dan bergerak ke arah intensitas produksi yang lebih padat
modal dan teknologi.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menawarkan kesempatan yang luas bagi suatu negara untuk memulai
industrialisasi ekonominya. Industri ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan orientasi ekspor
khususnya di negara-negara Asia. Jumlah penduduk negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
yang mencapai sekitar 612 juta jiwa1 dan kesepakatan penghapusan tarif bea masuk 0% menjadi peluang besar
bagi pasar TPT2.
Di Indonesia, perkembangan industri TPT juga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi domestik.
Pada tahun 2009, industri TPT berkontribusi sebesar 12,72 persen dalam perolehan devisa terhadap ekspor hasil
industri tidak termasuk minyak dan gas (migas) dan sebesar 9,58 persen terhadap total ekspor non migas,
meskipun 85 persen bahan baku berupa kapas masih diimpor. Bermodal 248.5 juta jiwa atau setara dengan 40.6%
dari total populasi penduduk ASEAN, Indonesia menyediakan banyak tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan
industri ini3.
Provinsi Jawa Barat memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi untuk manufaktur termasuk khususnya industri
TPT. Jawa Barat menyumbang hampir seperempat dari nilai total hasil produksi Indonesia di sektor non migas.
Komoditas ekspor utama Jawa Barat adalah tekstil yaitu sekitar 55,45% dari total ekspor dan sisanya adalah besi
baja, alas kaki, furnitur, rotan, elektronika, komponen pesawat dan lainnya. Namun demikian, belakangan ini
marak terjadi relokasi pabrik yang dilakukan industri TPT Jawa Barat ke beberapa daerah di Jawa Tengah karena
makin tingginya upah minimum provinsi (UMP) Jawa Barat. Selisih UMP antara Jawa Barat dan Jawa Tengah
mencapai sekitar Rp 1.000.000,00 per karyawan. Kisaran UMP di Jawa Barat adalah Rp 2.200.000,00 sedangkan
di Jawa Tengah hanya Rp 1.200.000,00. Investasi yang dikeluarkan untuk membangun pabrik baru adalah sekitar
Rp 10 miliar, relatif kecil jika dibandingkan dengan kompensasi yang harus dibayarkan jika tetap
mempertahankan operasional pabrik di Jawa Barat dan sekitarnya. Tidak melulu karena tarif, Jawa Tengah dinilai
memiliki iklim investasi yang kondusif dan cocok untuk industri padat karya4. (4Maulana, A. G. 2014. Industri
di Jawa Barat Ramai Direlokasi ke Jawa Tengah. Dikutip dari
http://kabar24.bisnis.com/read/20141008/78/263254/industri-di-jawa-barat-ramai-direlokasi-ke-jawa-tengah.
Diakses pada 21 Januari 2015. )

1 PRB. 2013. World Population Data Sheet 2013. Washington DC: Population Reference Bureau.
2 Ekspor hasil industri pakaian jadi dan tekstil lainnya.
3 Hermawan, I. 2011. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil
Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.

Penyerapan Tenaga Kerja (Y)


Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan TPK (X1)
Upah Minimum Regional (X2)
Total Output Industri Pengolahan TPK (X3)
Investasi Industri Pengolahan TPK(X4)

Anda mungkin juga menyukai