Anda di halaman 1dari 16

TUTORIAL KLINIK

PERITONSILER INFILTRAT

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:
Ribka Rosita Siregar
42170122

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Arin Dwi Iswarini, Sp.THT-KL., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2018
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. M
No. Rekam Medis : 00786XXX
Tanggal Lahir : 14 April 1951
Usia : 66 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Namburan Kidul No 16 B
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Periksa : 5 Januari 2018

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri telan

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien nyeri telan sejak 3 hari yang lalu. Pasien merasa seperti ada yang mengganjal
dan keluar lendir berwarna bening tetapi pagi hari lendir agak kental. 1 hari yang
lalu pasien sempat mengeluh nyeri pada telinga kiri tetapi pada hari saat periksa ke
poli telinga sudah tidak nyeri. Pasien tidak mengeluh sesak nafas, tidak mengorok
ketika tidur. Sebelum nyeri telan, pasien sempat makan nasi padang dan minum es
jeruk. Setelah itu pasien merasa nyeri telan.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Keluhan serupa : (-)
 Riwayat telinga mengeluarkan cairan : (+)
 Vertigo : (+)
 Stroke ringan : (+)
 Alergi : (-)
 Maag : (-)
 Hipertensi : (-)
 Diabetes melitus : (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluhan serupa : (-)
 Hipertensi : (-)
 Diabetes melitus : (-)
 Alergi : (-)

E. Riwayat Pengobatan
 Riwayat operasi : (-)
 Riwayat opname : (-)

F. Life Style
 Pasien bekerja sebagai penjual makanan keliling.
 Pasien makan teratur 3 kali sehari dengan lauk pauk dan sayur. Pasien suka
makanan pedas dan suka gorengan. Pasien sudah mulai mengurangi makan
gorengan. Pasien jarang minum minuman dingin.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Cukup
BB : 81 kg
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Respirasi : 16x/menit

STATUS GENERALIS
a. Kepala
 Ukuran kepala : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),injeksi
konjungtiva (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+),
gerakan bola mata baik kesegala arah.
 Hidung : Deformitas (-), rhinorhea (-), epistaksis (-), nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
 Mulut : Mukosa basah (+), Sianosis (-)
 Telinga : Discharge (-), Deformitas (-), nyeri tekan mastoid (-/-),
Nyeri tekan auricular (-/-)
 Leher : Limfonodi tidak teraba, nyeri tekan (-), pembesaran tyroid (-).

b. Thorax
 Inspeksi : dada simetris, ketinggalan gerak (-)
 Palpasi : fremitus kanan-kiri normal, ictus cordis teraba di SIC 5 linea
midclavicularis sinistra
 Perkusi : sonor (+/+), batas jantung normal
 Auskultasi : suara paru vesikuler (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-), suara
jantung S1 dan S2 reguler tunggal, bising (-)

c. Abdomen
 Inspeksi : supel (+), distensi (-), jejas (-), massa (-)
 Auskultasi : peristaltik usus normal
 Perkusi : timpani
 Palpasi : nyeri tekan (-)

d. Ekstremitas
 Atas : Akral teraba hangat, edema (-), CRT < 2 detik
 Bawah : Akral teraba hangat, edema (-), CRT < 2 detik

STATUS LOKALIS
 Telinga

Pemeriksaan Dextra Sinistra


Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Can. Aud. Externa edema (-), Hiperemis (-) edema (-), Hiperemis (-),
Membrana timpani Perforasi (-), Hiperemis (-), RC Perforasi (-),Hiperemis (-),
(+) RC (+)

Tes Pelana Dextra Sinistra


Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Scwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Kesan: AD dan AS dalam batas normal

 Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan Dextra Sinistra

HIDUNG

Dorsum Nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)

Cavum Nasi Discharge (-) Discharge (-)

Rhinoskopi Anterior

Vestibulum Nasi Discharge (-), edema (-), hiperemis (-)

Septum Nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)

Meatus Nasi Inferior Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),

discharge (-) discharge (-)

Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)

Meatus Nasi Media Hiperemis (-), polip (-), Hiperemis (-), discharge (-),

discharge (-), edema (-) polip (-), edema (-)

Konka Media Edema (-), hiperemis (-) Edema (-),hiperemis (-)


Rhinoskopi Posterior : Tidak dilakukan

Fossa Rossenmuller

Torus Tubarius

Muara Tuba
Eustachius

Adenoid

Konka Superior

Choana

SINUS
PARANASAL

Inspeksi Eritema (-), edema (-) Eritema (-), edema (-)

Perkusi Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

Transluminasi Tidak dilakukan

Kesan:Hidung dan sinus dalam batas normal

 Oropharynx

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING

Bibir Bibir sianosis dan kering (-), stomatitis (-)

Mukosa Oral Stomatitis (-), warna merah muda

Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-)

Dasar Mulut Ulkus (-)

Uvula Hiperemis (+), deviasi (-)


Tonsila Palatina T1, hiperemis (-), detritus (-) T1, hiperemis (+), detritus (+)

Peritonsil Abses (-) Abses (-), detritus (+),


hiperemis (+)

Faring Hiperemis (-)

Kesan: peritonsil infiltrat sinistra

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS
Peritonsiler infiltrat

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Tonsilitis akut
 Peritonsiler abses

VII. PENATALAKSANAAN
 Antibiotik untuk menangani infeksi
Contoh: Amoksisilin 500 mg, 3x1
 Antiinflamasi untuk mengurangi peradangan
Contoh: Ibuprofen 400 mg, 3x1

VIII. EDUKASI
 Menghindari makanan yang memicu peradangan seperti makanan pedas, berminyak,
mengandung pengawet dan minuman dingin.
 Minum obat teratur dan istirahat yang cukup

IX. PLANNING
 Memantau keadaan pasien jika tidak membaik dan curiga ada abses maka rujuk ke
dokter spesialis THT

X. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kripta di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid),
tonsil palatina, tonsil tubaria dan tonsil lingual, ketiganya membentuk lingkaran yang
disebut cincin Waldeyer.

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Gambar 2. Cincin Waldeyer


 Tonsilla palatina, terletak pada isthmus faucium antara arcus glosso palatinus dan
arcus glossopharingicus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-
masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring, dibatasi
oleh :
Lateral : muskulus konstriktor faring superior
Anterior : muskulus palatoglosus
Posterior : muskulus palatofaringeus
Superior : palatum mole
Inferior : tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan
ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma
jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.
 Tonsillla lingualis, terletak pada radix linguae. Tonsil lingual terletak di dasar lidah
dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di
sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papilla sirkumvalata.
 Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat
dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan
ikat retikular dan jaringan limfatik difus.
 Fosa tonsil, dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal.

B. IMUNOLOGI TONSIL
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat
germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon,
lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada
tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada
folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik.

C. RUANG PERITONSIL
Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun secara anatomi terletak di
antara fasia leher dalam. Dinding medial ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang
terbentuk dari fasia faringo-basilar dan menutupi bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang
peritonsil dibentuk oleh serabut horizontal otot konstriktor superior dan serabut vertikal otot
palatofaringeal. Pada sepertiga bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-serabut otot
palatofaringeal meninggalkan dinding lateral dan meluas secara horizontal menyeberangi
ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul tonsil. Hubungan ini disebut ligamen
triangular atau ikatan tonsilofaring. Batas-batas superior, inferior, anterior dan posterior
ruang peritonsil ini juga dibentuk oleh pilar-pilar anterior dan posterior tonsil.

D. PERITONSILER ABSES
1. DEFINISI
Peritonsilar abses atau Quinsy adalah kumpulan nanah dalam ruang peritonsil, diantara
fossa tonsilaris dan muskulus konstriktor faring superior, biasanya pada bagian kutub
atas.

Gambar 3. Peritonsilar abses


2. ETIOLOGI
Peritonsilar abses terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan
penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Kuman aerob yang paling sering menyebabkan peritonsilar abses adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-Hemolitik Streptococcus), Staphylococcus aureus dan
Haemophilus Influenza. Sedangkan kuman anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas dan Peptostreptococcus sp. Kebanyakan
peritonsilar abses diduga disebabkan kombinasi antara kuman aerob dan anaerob.

3. PATOLOGI
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, sehingga
infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, dan
tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat
terbentuk di bagian inferior.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkak tampak permukaannya
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral.
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada muskulus pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah
spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.

4. GEJALA KLINIK
Waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar 2 – 8 hari. Terdapat riwayat
faringitis akur, tonsilitis dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral
yang semakin memburuk (Hermani, 2004).
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia (nyeri telan)
yang hebat. Biasanya pada sisi yang sama juga terdapat nyeri telinga (otalgia), mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi),
suara gumam (hot potato voice) dan kadang sukar membuka mulut (trismus) karena
adanya inflamasi dinding lateral faring dan muskulus pterigoid interna, serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
5. PEMERIKSAAN
Inspeksi daerah yang membengkak mungkin sulit karena pasien trismus. Pada
pemeriksaan cavum oral didapatkan hiperemis. Palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan dan bawah. Peritonsilar abses biasanya unilateral dan terletak di kutub
superior dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler.

Gambar 4. Tonsilitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan)

Pemeriksaan penunjang dengan aspirasi jarum. Tempat yang akan dilakukan aspirasi di
anestesi dengan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16 – 18
yang biasanya menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen
merupakan tanda khas dan dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
penyabab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada pasien peritonsilar abses
perlu dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, kultur darah, throat swab and culture
untuk identifikasi organisme penyebab dan pemilihan antibiotik yang tepat, plain
radiographs (foto jaringan lunak lateral) dari nasofaring dan orofaring dapat membantuk
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. CT scan biasanya tampak kumpulan
cairan hipodens di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil
yang terkena serta dapat terlihat pembesaran asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat
membantu untuk rencana operasi.
Gambar 5. CT scan abses peritonsilar dextra

6. TATA LAKSANA
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik golongan penisilin atau klindamisin dan
obat simtomatik. Juga perlu berkumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg.
Bila telah terbentuk abses, dolakukan pungsi pada daerah abses. Kemudian dilakukan
insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah daerah yang paling menonjol dan
lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham
atas terakhir pada sisi yang sakit.
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama
tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’ chaud.” Bila tonsilektomi dilakukan 3 –
4 hari sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a’ tiede.” Dan bila tonsilektomi 4 –
6 minggu sesudah drainase abses disebut “a’ froid.” Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2 – 3 minggu setelah drainase abses. Indikasi
untuk dilakukannya tonsilektomi segera pada pasien abses peritonsilar, yaitu:
 Obstruksi jalan nafas atas
 Sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher dalam
 Riwayat abses peritonsilar sebelumnya
 Riwayat faringitis eksudatifa yang berulang

Gambar 6. Insisi abses

7. KOMPLIKASI
 Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau pyema
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis dan abses otak.
DAFTAR PUSTAKA

Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit
THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal 333

Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-Hidung-
Tenggorokan Edisi VII, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2012.

Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth and pharynx. In:
Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a pocket reference. 2nd rev.ed. New York:
Thieme Flexibook 1994:307 -315

Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam Cummings
Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby Inc.; 2005.

Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam Cummings
Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby Inc.; 2005.

Anda mungkin juga menyukai