PERITONSILER INFILTRAT
Disusun Oleh:
Ribka Rosita Siregar
42170122
I. IDENTITAS
Nama : Ny. M
No. Rekam Medis : 00786XXX
Tanggal Lahir : 14 April 1951
Usia : 66 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Namburan Kidul No 16 B
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Periksa : 5 Januari 2018
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri telan
E. Riwayat Pengobatan
Riwayat operasi : (-)
Riwayat opname : (-)
F. Life Style
Pasien bekerja sebagai penjual makanan keliling.
Pasien makan teratur 3 kali sehari dengan lauk pauk dan sayur. Pasien suka
makanan pedas dan suka gorengan. Pasien sudah mulai mengurangi makan
gorengan. Pasien jarang minum minuman dingin.
STATUS GENERALIS
a. Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),injeksi
konjungtiva (-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+),
gerakan bola mata baik kesegala arah.
Hidung : Deformitas (-), rhinorhea (-), epistaksis (-), nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
Mulut : Mukosa basah (+), Sianosis (-)
Telinga : Discharge (-), Deformitas (-), nyeri tekan mastoid (-/-),
Nyeri tekan auricular (-/-)
Leher : Limfonodi tidak teraba, nyeri tekan (-), pembesaran tyroid (-).
b. Thorax
Inspeksi : dada simetris, ketinggalan gerak (-)
Palpasi : fremitus kanan-kiri normal, ictus cordis teraba di SIC 5 linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : sonor (+/+), batas jantung normal
Auskultasi : suara paru vesikuler (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-), suara
jantung S1 dan S2 reguler tunggal, bising (-)
c. Abdomen
Inspeksi : supel (+), distensi (-), jejas (-), massa (-)
Auskultasi : peristaltik usus normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-)
d. Ekstremitas
Atas : Akral teraba hangat, edema (-), CRT < 2 detik
Bawah : Akral teraba hangat, edema (-), CRT < 2 detik
STATUS LOKALIS
Telinga
HIDUNG
Dorsum Nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Rhinoskopi Anterior
Meatus Nasi Inferior Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Meatus Nasi Media Hiperemis (-), polip (-), Hiperemis (-), discharge (-),
Fossa Rossenmuller
Torus Tubarius
Muara Tuba
Eustachius
Adenoid
Konka Superior
Choana
SINUS
PARANASAL
Oropharynx
CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
V. DIAGNOSIS
Peritonsiler infiltrat
VII. PENATALAKSANAAN
Antibiotik untuk menangani infeksi
Contoh: Amoksisilin 500 mg, 3x1
Antiinflamasi untuk mengurangi peradangan
Contoh: Ibuprofen 400 mg, 3x1
VIII. EDUKASI
Menghindari makanan yang memicu peradangan seperti makanan pedas, berminyak,
mengandung pengawet dan minuman dingin.
Minum obat teratur dan istirahat yang cukup
IX. PLANNING
Memantau keadaan pasien jika tidak membaik dan curiga ada abses maka rujuk ke
dokter spesialis THT
X. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kripta di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid),
tonsil palatina, tonsil tubaria dan tonsil lingual, ketiganya membentuk lingkaran yang
disebut cincin Waldeyer.
B. IMUNOLOGI TONSIL
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat
germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon,
lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada
tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada
folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik.
C. RUANG PERITONSIL
Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun secara anatomi terletak di
antara fasia leher dalam. Dinding medial ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang
terbentuk dari fasia faringo-basilar dan menutupi bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang
peritonsil dibentuk oleh serabut horizontal otot konstriktor superior dan serabut vertikal otot
palatofaringeal. Pada sepertiga bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-serabut otot
palatofaringeal meninggalkan dinding lateral dan meluas secara horizontal menyeberangi
ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul tonsil. Hubungan ini disebut ligamen
triangular atau ikatan tonsilofaring. Batas-batas superior, inferior, anterior dan posterior
ruang peritonsil ini juga dibentuk oleh pilar-pilar anterior dan posterior tonsil.
D. PERITONSILER ABSES
1. DEFINISI
Peritonsilar abses atau Quinsy adalah kumpulan nanah dalam ruang peritonsil, diantara
fossa tonsilaris dan muskulus konstriktor faring superior, biasanya pada bagian kutub
atas.
3. PATOLOGI
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, sehingga
infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, dan
tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat
terbentuk di bagian inferior.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkak tampak permukaannya
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral.
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada muskulus pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah
spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
4. GEJALA KLINIK
Waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar 2 – 8 hari. Terdapat riwayat
faringitis akur, tonsilitis dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral
yang semakin memburuk (Hermani, 2004).
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia (nyeri telan)
yang hebat. Biasanya pada sisi yang sama juga terdapat nyeri telinga (otalgia), mungkin
terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi),
suara gumam (hot potato voice) dan kadang sukar membuka mulut (trismus) karena
adanya inflamasi dinding lateral faring dan muskulus pterigoid interna, serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
5. PEMERIKSAAN
Inspeksi daerah yang membengkak mungkin sulit karena pasien trismus. Pada
pemeriksaan cavum oral didapatkan hiperemis. Palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan dan bawah. Peritonsilar abses biasanya unilateral dan terletak di kutub
superior dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler.
Gambar 4. Tonsilitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan)
Pemeriksaan penunjang dengan aspirasi jarum. Tempat yang akan dilakukan aspirasi di
anestesi dengan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16 – 18
yang biasanya menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen
merupakan tanda khas dan dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
penyabab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada pasien peritonsilar abses
perlu dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, kultur darah, throat swab and culture
untuk identifikasi organisme penyebab dan pemilihan antibiotik yang tepat, plain
radiographs (foto jaringan lunak lateral) dari nasofaring dan orofaring dapat membantuk
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. CT scan biasanya tampak kumpulan
cairan hipodens di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil
yang terkena serta dapat terlihat pembesaran asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat
membantu untuk rencana operasi.
Gambar 5. CT scan abses peritonsilar dextra
6. TATA LAKSANA
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik golongan penisilin atau klindamisin dan
obat simtomatik. Juga perlu berkumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg.
Bila telah terbentuk abses, dolakukan pungsi pada daerah abses. Kemudian dilakukan
insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah daerah yang paling menonjol dan
lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham
atas terakhir pada sisi yang sakit.
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama
tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’ chaud.” Bila tonsilektomi dilakukan 3 –
4 hari sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a’ tiede.” Dan bila tonsilektomi 4 –
6 minggu sesudah drainase abses disebut “a’ froid.” Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2 – 3 minggu setelah drainase abses. Indikasi
untuk dilakukannya tonsilektomi segera pada pasien abses peritonsilar, yaitu:
Obstruksi jalan nafas atas
Sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher dalam
Riwayat abses peritonsilar sebelumnya
Riwayat faringitis eksudatifa yang berulang
7. KOMPLIKASI
Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau pyema
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis dan abses otak.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit
THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal 333
Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-Hidung-
Tenggorokan Edisi VII, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2012.
Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth and pharynx. In:
Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a pocket reference. 2nd rev.ed. New York:
Thieme Flexibook 1994:307 -315
Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam Cummings
Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby Inc.; 2005.
Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam Cummings
Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby Inc.; 2005.