Muslim Uighur Yang Tertindas
Muslim Uighur Yang Tertindas
Hari ini, berita penindasan yang dialami kelompok etnis Islam Uighur masih mewarnai sosial media
kita. Laporan terkait pelanggaran HAM oleh pemerintah Tiongkok terhadap komunitas warga Muslim
Uighur satu persatu mulai terungkap. Organisasi pemantau HAM PBB, Human Rights Watch (HRW),
Senin (10/09), mengatakan bahwa pemerintah Cina mempraktikkan pelanggaran hak asasi manusia
massal dan sistematis terhadap Muslim Uighur di provinsi Xinjiang di barat laut negara itu.
Lembaga itu menyebutkan, sebanyak 13 juta Muslim di wilayah Xinjiang menjadi sasaran
indoktrinasi politik, hukuman massal, pembatasan gerakan dan komunikasi, peningkatan pembatasan
agama dan pengawasan kolektif. Dan disebutkan juga hingga saat ini lebih dari 2 juta Muslim Uyghur
dikurung di kamp konsentrasi mirip dengan gaya Nazi. Dengan dalih “memerangi ekstremisme”
mereka dipaksa meninggalkan keyakinan mereka, diperintahkan menyanyi lagu-lagu komunis,
disuruh mengonsumsi alkohol dan daging babi.
Efeknya, tidak sedikit di antara mereka yang ditindas, disiksa atau bahkan dibunuh ketika tetap
mempertahankan idealisme agamanya. Walaupun sebagiannya ada yang terpaksa berpura-pura
mengikuti kehendak penguasa karena beratnya tekanan yang dihadapi. Berikutnya, pertanyaannya pun
muncul, bagaimana bila kondisinya benar-benar ditekan dan tidak mampu lagi bertahan, bagaimana
sikap yang harus mereka tempuh, bolehkah mereka menanggalkan syariat dan mengikuti kemauan
rezim?
”Sungguh ada di antara orang-orang yang beriman sebelum kalian yang ditangkap, lalu digalikan
tanah dan ditanam di dalamnya, kemudian dibawakan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya, lalu
orang itu dibelah dua, daging dan urat yang berada di bawah kulit disisir dengan sisir besi, namun itu
semua tidak menghalanginya dari din (agama)nya,.." (HR. Bukhari)
ِﱢﻦ ﱠ
ٌ اﷲ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ َﻋ َﺬ َ َﺎن َوَﻟ ِﻜﻦ ﻣﱠﻦ َﺷ َﺮ َح ِﺑ ْﺎﻟ ُﻜ ْﻔ ِﺮ
َﺻ ْﺪ ًرا َﻓﻌ
َ َﻠﯿ ِْﻬ ْﻢ َﻏ ْ َْ ْ ُ ْ ﺎﷲ ِﻣﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ إﯾﻤَﺎِﻧ ِﻪ إﻻﱠ ﻣ
ِﻣَﻦ َﻛ َﻔ َﺮ ِﺑ ﱠ
اب َﻋ ِﻈﯿ ٌﻢ َ ﻀﻀ ٌﺐ ﻣ ِ َﻦ أﻛ ِﺮ َه َوﻗﻠﺒُ ُﻪ ﻣُﻄ َﻤِﺌ ﱞﻦ ِﺑ
ِ ﺎﻹﯾﻤ ِ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya (17/306) menuliskan dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma ia berkata bahwa Allah Ta'ala telah mengabarkan siapa saja yang kufur setelah sebelumnya
beriman, maka baginya murka Allah dan siksa yang pedih. Namun siapa yang dipaksa untuk
mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan beriman, ia mengucapkannya
hanya ingin agar selamat dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Allah Ta’ala
menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia ridhai dalam hatinya.
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh sejumlah ulama yang lain. Bahkan Ibnu Hazm dalam
Maratib Al-Ijma’, hal. 61, menyatakannya bagian dari ijma’ ulama kaum muslimin.
Dalam kitab, Al-Istiqamah (2/210), Ibnu Taimiyah juga berkata, “Oleh karena itu, kami tidak ada
silang pendapat mengenai tidak dikenakannya hukum bagi orang yang dipaksa tanpa alasan yang
benar,”
kemudian dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22/182), ditegaskan bahwa para fuqaha sepakat
mengenai siapa saja yang dipaksa untuk melakukan suatu kekufuran lantas ia mengucapkan kalimat
kufur, maka tidak divonis sebagai orang kafir.”
Namun demikian tidak semua paksaan bisa menggugurkan hukum. Para ulama membahas lebih dalam
tentang kriteria paksaan (ikrah) yang menjadikan hukum gugur dari seseorang. Setidaknya ada
beberapa syarat yang harus diperhatikan, di antaranya:
● Pihak pemaksa mampu merealisasikan ancamannya.
● Pihak yang dipaksa tidak mampu untuk melawan dan punya dugaan kuat jika pemaksa akan
melakukan ancamannya bila tidak dituruti permintaanya.
● Jenis ancaman berupa sesuatu yang dapat menghilangkan keselamatan jiwa, anggota tubuh
atau harta. (Fiqh al-Islam Wal Adillatuhu, 5/269-272)
Dengan demikian apapun beban hukum bisa dianggap gugur bila dalam kondisi terpaksa. Seseorang
boleh menampakkan kekufuran atau melanggar sesuatu yang haram--sebagaimana yang dialami
sahabat Ammar bin Yasir--bila memang tekanan atau siksaan yang dialaminya sudah melewati batas
dan dapat terancam nyawanya.
Batasan-batasan paksaan yang disebutkan di atas sepertinya memang sudah dirasakan oleh umat Islam
Uighur hari ini. Pemaksaan yang mereka hadapi datang dari penguasa yang mampu merealisasikan
semua ancaman yang mereka kemukakan. Sementara kaum muslimin tidak mampu melawan
kebijakan tersebut. Kondisi mereka lemah, jika ada yang berani menantang maka rezim tidak
segan-segan menyiksa atau bahkan membunuhnya. Namun batasan-batasan tersebut hanya mampu
dirasakan oleh mereka yang mengalaminya. Bila semua kriteria paksaan di atas benar-benar mereka
alami, maka tidak masalah keringanan tersebut diambil. Walaupun pada asalnya jumhur ulama tetap
mengatakan bahwa bertahan di atas keimanan, bahkan hingga nyawanya hilang sekalipun, itu lebih
utama daripada harus melakukan kekufuran. wallahu a’lam bis shawab!