Thaharah:
Pentingnya mengetahui tentang fiqh adalah kita bisa mengerti tentang hukum-
hukum yg berkaitan dengan ibadah di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Thaharah secara bahasa: suci dan bersih dari kotoran.
Secara istilah: mengangkat hadast/menghilangkan najis
Hukum Air
Air merupakan alat untuk bersuci.
Semua air yg turun dari langit dan keluar dari tanah suci. Firman Allah
dalam surat Al-Furqan ayat 48 “Dan Kami turunkan dari langit air yg suci”
Air yg keluar dari tanahsuci.
Air yg suci adalah air yg sesuai bentuk aslinya.
Air lautsuci. Rasulullah bersabda “Air laut itu suci dan menyucikan dan
halal bangkainya” (Shahih: An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Abi Dawud,
At-Tirmidzi)
Air sumur”Sesungguhnya semua air itu suci dan menyucikan tidak
dinajiskan oleh sesuatu apapun”
Air tetap dalam kesuciannya sekalipun bercampur dengan sesuatu yg suci
akan tetapi tidak merubah keasliannya. Dalil: Rasulullah ketika para wanita
akan memandikan jenazah anak beliau “mandikanlah 3kali, 5kali atau lebih
dengan air dan bidara jika perlu. Dan jadikan basuhan terakhir dengan air
kapur barus,” (Muttafaq Alaihi) air tidak dihukum najis.
Air bercampur najis bisa dihukumi suci bila si najis tidak merusak
kemutlakan air. Diriwayatkan oleh Abu Sa’id “Wahai Rasulullah bolehkah
berwudhu di sumur Budha’ah? (sumur yg sering dipakai untuk membuang
pembalut wanita, daging anjing, kotoran). Rasulullah menjawab “Air itu suci
dan tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu apapun.” (Sunnah Abi Dawud, At-
tirmidzi, An-nasa’i)
Bab Najis
An-Najaasaat adalah bentuk plural dari najasah, yaitu semua yang dianggap
menjijikkan oleh orang yang bertabiat normal. Mereka menjaga diri darinya dan
mencuci pakaian mereka jika terkena olehnya, seperti kotoran dan air seni.
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh dan suci. Barangsiapa menyatakan
najisnya suatu materi, maka ia harus mendatangkan dalil. Jika sesuai, maka ia
benar. Karena hukum najis adalah hukum pembebanan yang terkait dengan
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
(seharusnya diketahui) semua orang. Maka, tidak boleh mengatakan tentang
najisnya sesuatu kecuali dengan dalil.
1. Kencing manusia
hadits Anas Radhiyallahu anhu : “Seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu
segolongan orang menghampirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas bersabda, ‘Biarkanlah ia, jangan kalian hentikan kencingnya.’” Anas
melanjutkan, “Tatkala ia sudah menyelesaikan kencingnya, beliau
memerintahkan agar dibawakan setimba air lalu diguyurkan di
atasnya.”(Muttafaq Alaih)
2. Kotoran manusia
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian menginjak al-adzaa (najis)
dengan sandalnya, maka tanah adalah penyucinya.”(Sunnah Abi Dawud)
Al-Adzaa adalah segala sesuatu yang engkau merasa tersakiti olehnya, seperti
najis, kotoran, batu, duri, dan sebagainya.
3. Madzi
Madzi, yaitu cairan putih (bening), encer, dan lengket yang keluar ketika
naiknya syahwat. Dia tidak keluar dengan syahwat, tidak menyembur, dan tidak
pula diikuti lemas. Terkadang keluar tanpa terasa. Dialami pria maupun wanita.
Madzi adalah najis. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyuruh membasuh kemaluan darinya.
‘Ali Radhiyallahu anhu berkata, “Aku adalah laki-laki yang sering keluar madzi.
Aku malu menanyakannya pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
kedudukan puteri beliau. Lalu kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad untuk
menanyakannya.
Beliau lantas bersabda: ‘Dia harus membasuh kemaluannya dan
berwudhu.’”(Muttafaq Alaih)
4. Wadi
Sedangkan wadi adalah cairan putih (bening) dan kental yang keluar setelah
kencing.Wadi adalah najis.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Mani, wadi, dan madzi.
Adapun mani, maka wajib mandi. Sedangkan untuk wadi dan madzi, beliau (Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda:
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
‘Basuhlah dzakar atau kemaluanmu dan wudhulah sebagaimana engkau
berwudhu untuk shalat.’”
5. Kotoran hewan yg diharamkan untuk dimakan
Dari ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam hendak buang hajat, beliau berkata, ‘Bawakan aku tiga batu.’ Aku
menemukan dua batu dan sebuah kotoran keledai. Lalu beliau mengambil kedua
batu itu dan membuang kotoran tadi lalu berkata:
“(Kotoran) itu najis.”(HR.
6. Darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Seorang wanita
datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Baju seorang di
antara kami terkena darah haidh, apa yang harus ia lakukan?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Keriklah, kucek dengan air, lalu guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju)
itu.”
7. Air liur anjing
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda: “(Cara) menyucikan bejana salah seorang di antara
kalian jika dijilat anjing adalah membasuhnya tujuh kali. Yang pertama dengan
tanah.”
8. Bangkai
Yaitu segala sesuatu yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Dasarnya
adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika (al-ihaaab) telah
disamak, maka sucilah ia.” Al-ihaaab adalah kulit hewan yang telah mati
(bangkai).
Perkara-perkara Fitrah
Dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Lima (perilaku)
fitrah: mencukur bulu kemaluan, khitan, mencukur kumis, mencabut bulu
ketiak, dan memotong kuku.”(Muttafaq ‘alaihi, Abu Dawud)
Dari Zakaria bin Abi Za-idah, dari Mush’ab bin Syaibah, dari Thalq bin Habib,
dari Ibnu az-Zubair, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sepuluh (perilaku)
fithrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, menghirup air ke
hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh sela-sela jari, mencabut bulu
ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan bersuci dengan air -cebok- Zakaria
mengatakan bahwa Mush’ab berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, mungkin
berkumur-kumur.” [Hasan: Shahih Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-
Nasai, Ibnu Majah]
1. Khitan
Khitan wajib bagi pria dan wanita. Karena ia merupakan ciri
ke-Islaman.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki yang
baru memeluk Islam: “Campakkanlah rambut kekufuran [model rambut
yg menjadi ciri khas orang kafir] darimu dan berkhitanlah.” [Shahih al-
Jaami’ush Shaghiir, Abu Dawud, Al baihaqi]
Perbuatan ini termasuk ajaran Nabi Ibrahim Alaihissallam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ibrahim, Khalilurrahman (kekasih Allah) berkhitan setelah
berumur delapan puluh tahun.” [Muttafaq Alaihi]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus).’ Dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” [An-Nahl: 123]
Disukai bila khitan dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran.
Berdasarka hadist Jabir: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengaqikahi serta mengkhitan Hasan dan Husain pada hari ketujuh.”
[Ath-Thabrani]
Dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Tujuh dari perkara-perkara sunnah untuk
bayi pada hari ketujuh adalah memberi nama dan mengkhitan.” [Ath-
Thabrani]
2. Memanjangkan jenggot
Memanjangkan jenggot hukumnya wajib dan mencukurnya hukumnya
haram.
Karena (termasuk) merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan
syaitan, di mana Allah mengabarkan tentang perkataan syaitan: “Dan
aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka
(memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar
memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan
menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita
kerugian yang nyata.” [An-Nisaa’: 119].
Mencukurnya termasuk menyerupai wanita. “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.”[Shahih Al-
Bukhari, At-tirmidzi, Al-Jaami’ush Shaghir]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan memanjangkan
jenggot. Sedangkan perintah menunjukkan wajib, sebagaimana
diketahui. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pangkaslah kumis dan
panjangkan jenggot. Selisihilah orang-orang majusi.”[Shahih Muslim]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau bersabda: “Selisihilah orang-orang musyrik. Panjangkan
jenggot dan potonglah kumis.”[Muttafaq Alaihi]
3. Siwak
Bersiwak disukai pada semua keadaan. Lebih disukai pada saat-saat
berikut:
Ketika Wudhu
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya tidak memberatkan
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap wudhu.” [Jami’ush
Shaghir, Imam Ahmad]
Ketika Shalat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Seandainya tidak memberatkan umatku,
niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap akan shalat.”[Muttafaq
Alaihi]
Ketika membaca al-Qur’an
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintah kami bersiwak dan bersabda: “Sesungguhnya seorang
hamba ketika hendak melakukan shalat, datanglah Malaikat padanya.
Lalu ia berdiri di belakangnya untuk mendengarkan al-Qur-an. Ia
mendekat dan tetap mendengarkan serta mendekat hingga ia letakkan
mulutnya ke mulut hamba tadi. Tidaklah ia membaca ayat melainkan
ayat tersebut sampai ke perut Malaikat itu.” [Ash-Shahihah, Al-
Baihaqi]
Ketika memasuki rumah
Dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya. Dia berkata, aku bertanya
kepada ‘Aisyah: “Dengan apa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengawali masuk rumah beliau?” Dia berkata, “Dengan bersiwak.”
[Ibnu Majah, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i]
Ketika Shalat Malam
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila hendak shalat, beliau membersihkan mulutnya
dengan siwak.” [Muttafaq Alaihi, Abu Dawud, An-Nasa’i]
4. Dimakruhkan mencabut uban
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah
kalian mencabut uban. Karena tidaklah seorang muslim beruban dalam
Islam walaupun sehelai, melainkan ia akan menjadi cahaya baginya di
hari Kiamat.” [Al-Jaami’ah Shaghir, Abi Dawud, An-Nasai]
Dibolehkan menyemir uban dengan pacar, inai, atau sejenisnya dan
diharamkan menggunakan warna hitam
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bahan terbaik yang kalian
gunakan untuk menyemir uban adalah pacar dan inai.” [Al-Jami’ush
Shaghir,Abi Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah
mereka.” [Muttafaq Alaih]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Pada hari penaklukan
Makkah, Abu Quhafah didatangkan. Rambut dan jenggotnya telah
memutih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda:
“Rubahlah (rambut) ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.”
[Jami’ush Shaghir, Muslim, Abi dawud, An-nasa’i, Ibnu Majah]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada akhir masa
kelak akan ada kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti
tembolok merpati. Mereka tidak mencium aroma Surga.”[Jami’ush
Shaghir, Abi Dawud, An-Nasa’i]
Bab Bejana
Boleh menggunakan semua bejana selain bejana emas dan perak. Diharamkan
menggunakan keduanya untuk makan dan minum.
Namun tidak diharamkan menggunakan keduanya selain untuk makan dan
minum.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian minum dari bejana emas dan perak. Dan jangan pula
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
mengenakan sutera. Karena semua itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di
akhirat.” [20]
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Orang yang minum dari bejana perak, sesungguhnya api
Jahannam bergejolak dalam perutnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. [21]
Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Sesungguhnya orang yang makan atau
minum dari bejana perak dan emas…” Muslim berkata, “Tidak seorang pun pada
sebuah hadits menyebutkan lafazh: “makan dan emas” kecuali dalam hadits
Ibnu Mushir.”
Al-Albani berkata, “Dari segi ilmu riwayat, tambahan ini syadz sekalipun
maknanya benar dari segi ilmu diraayah. Karena “makan dan emas” lebih berat
dan berbahaya daripada “minum dan perak” sebagaimana yang tampak jelas.”
[22]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
WUDHU
TATA CARA:
Dari Humran bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu : “‘Utsman bin
‘Affan Radhiyallahu anhu minta diambilkan air wudhu lalu berwudhu.
1. Dia basuh kedua telapak tangannya tiga kali.
2. Kemudian berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung lalu
mengeluarkannya.
3. Lalu membasuh wajahnya tiga kali,
4. kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke siku tiga kali, begitupula
dengan tangan kirinya.
5. Setelah itu, ia usap kepalanya lantas membasuh kaki kanannya hingga ke mata
kaki tiga kali, begitupula dengan kaki kirinya.
Dia kemudian berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian Rasulullah bersabda,
‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua raka’at dan
tidak berkata-kata dalam hati [1] dalam kedua raka’at tadi, maka diampunilah
dosa-dosanya yang telah lalu.’”
Ibnu Syihab mengatakan bahwa ulama-ulama kita berkata, “Wudhu ini adalah
wudhu paling sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat.” [2]
SYARAT SAHNYA:
1. Niat
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam : “Sesungguhnya
perbuatan itu tergantung pada niat.” [3]
Tidak disyari’atkan mengucapkannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah mengerjakannya.
2. Mengucapkan basmalah
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sah shalat
seseorang tanpa wudhu. Dan tidak ada wudhu untuk seseorang yang tidak
menyebut nama Allah.” [4]
3. Berkesinambungan(tidak terputus)
Berdasarkan hadits Khalid bin Ma’dan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat, sedangkan pada punggung
telapak kakinya ada bagian sebesar uang dirham yang tidak terkena air. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menyuruhnya mengulang wudhu dan
shalatnya.” [5]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Rukun-rukunnya:
1, 2. Membasuh wajah, termasuk berkumur dan menghirup air melalui hidung.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku.[6]
4, 5. Mengusap seluruh kepala. Dan telinga termasuk kepala.
6. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” [Al-Maa-idah: 6]
Adapun berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, maka disebabkan keduanya
masih termasuk wajah, hingga wajiblah keduanya. Karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memerintahkan membasuhnya dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan telah
valid bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dalam wudhu secara
terus-menerus. Semua yang meriwayatkan serta menjelaskan tata cara wudhu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkannya. Itu semua menunjukkan
bahwa membasuh wajah yang diperintahkan dalam al-Qur-an adalah dengan
berkumur dan menghirup air ke dalam hidung. [7]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hiruplah air ke hidung dengan
sangat, kecuali jika kau sedang berpuasa.”[9]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika engkau berwudhu, maka
berkumurlah.” [10]
Wajib mengusap kepala secara merata, karena perintah mengusap dalam al-Qur-
an masih global. Maka penjelasannya dikembalikan ke Sunnah. Disebutkan dalam
ash-Shahihain dan yang lainnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
kepala beliau secara merata. Di sini terdapat dalil atas wajibnya mengusap kepala
secara sempurna.
Jika ada yang berkata, “Dalam hadits al-Mughirah disebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubun dan bagian atas sorban beliau?”
Kesimpulannya, wajib mengusap kepala secara merata. Dan orang yang mengusap,
jika suka, dia boleh mengusap kepala saja, atau bagian atas sorban saja, atau
boleh juga kepala dan bagian atas sorban. Semuanya benar dan ada dalilnya.
Kedua telinga adalah bagian dari kepala. Maka wajib mengusap keduanya.
Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kedua telinga adalah
bagian dari kepala.” [12]
7. Menyela-nyela jenggot
Berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu : “Jika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau ambil segenggam air lalu
memasukkannya ke bawah dagunya. Dengan air itu beliau sela-selai jenggotnya.
Beliau lantas bersabda: “Begitulah Rabb-ku Azza wa Jalla memerintahku.” [13]
Sunnah-Sunnah Wudhu:
1. Bersiwak
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya tidak memberatkan
umatku, niscaya kuperintahkan mereka bersiwak tiap kali berwudhu.”
6. Menggosok
Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Zaid: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
diberi tiga mudd air. Beliau lalu berwudhu dan menggosok kedua
tangannya.”[16]
7. Membasuh 3 kali
Berdasarkan hadits ‘Utsman Radhiyallahu anhu : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam wudhu dengan membasuh tiga kali.”
Ada juga dalil shahih yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah wudhu dengan membasuh sekali atau dua kali. [17]
Disunnahkan mengulang usapan kepala secara kadang-kadang. Berdasarkan
riwayat shahih dari ‘Utsman. Bahwa dia berwudhu lalu mengusap kepala tiga
kali. Dia kemudian berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu seperti ini.” [18]
8. Berurutan
Karena begitulah kebanyakan wudhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana dikisahkan orang yang menceritakan tata cara wudhu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun terdapat riwayat shahih dari al-Miqdam
bin Ma’dikarib: “Dia membawakan air wudhu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau lantas berwudhu dan membasuh kedua telapak tangannya tiga
kali. Membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh kedua tangannya tiga kali.
Beliau kemudian berkumur dan (menghirup air ke dalam hidung lalu)
menyemburkannya. Setelah itu mengusap kepala dan kedua telinganya…” [19]
PEMBATAL WUDHU:
1. Semua yang keluar dari dua jalan “qubul dan dubur (kemaluan dan anus)”. Baik
air seni, kotoran (tinja), atau angin.
Seorang laki-laki dari Hadhramaut berkata, “Apakah hadats itu, wahai Abu
Hurairah?” Dia menjawab, “Kentut, baik yang bersuara ataupun tidak.” [1]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma,, dia berkata, “Mani, wadi, dan madzi.
Adapun mani, maka ia mewajibkan mandi. Sedangkan wadi dan madzi, beliau
berkata: ‘Basuhlah alat kelamin atau kemaluanmu dan berwudhulah
sebagaimana wudhumu untuk shalat’.”
2. Tidur Nyenyak
Yaitu, tidur yang menghilangkan kesadaran. Baik dalam keadaan duduk di atas
lantai ataupun tidak.
Dasarnya adalah hadits Shafwan bin ‘Assal Radhiyallahu anhu. Dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami jika kami dalam
keadaan safar agar tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam.
Kecuali dalam keadaan junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan tidur.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan antara tidur, kencing, dan
buang hajat. [2]\
Al-Wikaa,’ dengan wawu dikasrah, yaitu benang pengikat tempat air minum
dari kulit.
As-Sah, dengan siin tidak bertitik yang difat-hah dan ha’ yang dikasrahkan
serta tidak bertasydid, yaitu dubur.
Artinya, keadaan jaga adalah wikaa’-nya dubur. Yaitu, menjaga apa yang di
dalamnya agar tidak keluar. Karena selama dia terjaga dia bisa merasakan
apa yang keluar darinya. [4]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
3. Hilangnya kesadaran karena mabuk atau sakit
Karena hilangnya kesadaran oleh sebab-sebab ini lebih parah daripada tidur.
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ia tidak lebih dari salah satu
anggota tubuhmu.” [6]
Ia adalah salah satu bagian tubuh Anda jika tidak disertai syahwat saat
menyentuhnya. Karena dalam keadaan ini, dapat disamakan antara
menyentuhkan satu bagian tubuh dengan bagian tubuh yang lain. Lain halnya
jika menyentuhnya disertai syahwat. Maka dalam keadaan seperti itu tidak
diserupakan antara menyentuh satu bagian tubuh dengan menyentuh bagian
tubuh lain yang biasanya tidak disertai dengan syahwat. Ini adalah perkara
yang jelas, sebagaimana Anda lihat. [7]
Dan sabda Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam : “Allah tidak menerima shalat
tanpa bersuci (wudhu)”.
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
2. Thawaf di Baitullah
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Thawaf di
Baitullah adalah shalat. Hanya saja Allah menghalalkan bicara di
dalamnya.” [10]
Jika engkau meninggal pada malam itu, maka engkau meninggal dalam
keadaan fithrah. Jadikanlah ia akhir pembicaraanmu.”[12]
3. Junub
Disunnahkan ketika hendak makan, minum, tidur, atau mengulang jima’.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam junub dan ingin makan, minum, atau tidur, beliau berwudhu
sebagaimana berwudhu untuk shalat.” [13]
Dan dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi keringanan bagi orang yang sedang junub jika ingin makan,
minum, atau tidur untuk berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.”
[14]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Juga dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian telah
mendatangi isterinya (berjima’) dan ingin mengulangi, maka hendaklah ia
berwudhu.” [15]
6. Setiap shalat
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dulu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu pada tiap shalat. Ketika hari
penaklukan (Makkah) beliau berwudhu dan mengusap sepatunya lalu
melakukan semua shalat dengan satu wudhu.” ‘Umar berkata padanya,
“Wahai Rasulullah, engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau
lakukan.” Beliau berkata, “Aku sengaja melakukannya, hai ‘Umar.” [19]
7. Setiap berhadast
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu
pagi hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Bilal dan
berkata, ‘Wahai Bilal, dengan apa engkau mendahuluiku ke Surga? Kemarin
malam aku masuk Surga dan kudengar suara gerakanmu di depanku’. Bilal
berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku adzan kecuali aku shalat dua
raka’at. Tidaklah aku berhadats melainkan aku berwudhu saat itu juga.’
Rasulullah j berkata, ‘Karena inilah’.”[20]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
8. Muntah
Berdasarkan hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Darda’, dia
menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah,
kemudian berbuka dan berwudhu. Lalu kutemui Tsauban di masjid
Damaskus dan kuceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu berkata, “Benar.
Akulah yang menuangkan air wudhu beliau’.” [21]
9. Membawa mayit
berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa
memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi. Dan barangsiapa
membawanya, maka hendaklah berwudhu.” [22]
Mengusap Khuf
Al-Imam an-Nawawi rahimahulla berkata dalam Syarah Muslim (III/ 164),
“Ulama yang diperhitungkan dalam ijma’ (mu’tabar) telah sepakat tentang
bolehnya mengusap khuff dalam safar maupun menetap. Baik untuk suatu
kebutuhan ataupun tidak. Bahkan boleh bagi perempuan yang senantiasa berada
dalam rumahnya. Demikian pula orang lumpuh yang tidak bisa berjalan. Hanya
orang-orang syi’ah dan khawarij yang mengingkari hal ini. Dan penyesilihan
mereka itu tidak dianggap.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, ‘Aku diberitahu oleh tujuh puluh
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengusap kedua khuff ‘.”
Dalil yang paling bagus untuk dijadikan sandaran tentang mengusap khuff adalah
apa yang diriwayatkan Muslim dari al-A’masy dari Ibrahim dari Hammam, dia
berkata, “Jarir kencing, kemudian berwudhu dan mengusap kedua khuffnya. Dia
lalu ditanya, “Kau melakukan ini?” Dia menjawab, “Ya. Aku melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing kemudian berwudhu dan mengusap kedua
khuffnya.” Al-A’masy mengatakan bahwa Ibrahim berkata, “Hadits ini mem-buat
mereka senang. Karena ke-Islaman Jarir terjadi setelah turunnya surat al-Maa-
idah.” [1]
An-Nawawi berkata [2], “Artinya, Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Maa-
idah: … (Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.) Jika ke-Islaman
Jarir lebih dulu daripada turunnya surat al-Maa-idah, maka haditsnya tentang
mengusap khuff bisa jadi mansukh oleh ayat dalam surat al-Maa-idah tadi.
Namun, ketika ternyata ke-Islaman Jarir lebih akhir, maka kita ketahui bahwa
haditsnya bisa diamalkan. Karena dia berfungsi sebagai penjelas bahwa maksud
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
ayat tersebut bukanlah bagi pemakai khuff. Maka sunnah menjadi pengkhusus
bagi keumuman ayat tersebut. Wallahu a’lam.
a. Syarat-syarat
Disyaratkan bagi bolehnya mengusap khuff agar pelaku mengenakannya
dalam keadaan memiliki wudhu.
Dari al-Mughirah bin Syu’bah ia berkata: “Pada suatu malam aku pernah
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan.
Kutuangkan timba padanya. Lantas beliau membasuh wajah dan kedua
tangannya lalu mengusap kepalanya. Kemudian aku merendah untuk melepas
kedua khuff beliau. Beliau lantas berkata: ‘Biarkan dia, karena
sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.’ Beliau lalu
mengusap keduanya.” [3]
b. Masa Berlakunya
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan tiga hari tiga malam bagi musafir,
dan sehari semalam bagi yang menetap.” [4]
Yang wajib tentang cara mengusap adalah melakukan apa yang dinamakan
“mengusap” (secara umum).
Dari ‘Ubaid bin Juraij, dikatakan pada Ibnu ‘Umar, “Kami melihatmu
melakukan sesuatu yang tidak pernah seorang pun kami lihat melakukannya
kecuali engkau.” Dia berkata, “Apakah itu?” Mereka berkata, “Kami
melihatmu mengenakan sandal kulit.” Dia berkata, “Sesungguhnya aku
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakannya,
berwudhu dengannya dan mengusapnya.”
2) Junub
Berdasarkan hadits Shafwan Radhiyallahu anhu: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyuruh kami, jika kami dalam keadaan safar
agar tidak melepas khuff kami selama tiga hari tiga malam kecuali jika
junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan tidur.” [7]
Catatan:
Habisnya masa dan menanggalkan kedua khuff membatalkan hukum ini
dengan sendirinya. Tidak boleh mengusap khuff hingga berwudhu dan
membasuh kedua kakinya lalu mengenakannya. Namun, jika dia dalam
keadaan memiliki wudhu ketika menanggalkannya atau habis masanya,
maka dia tetap dalam wudhunya. Dia boleh shalat dengan khuff selama
dia suka sampai dia berhadats.
Catatan:
Barangsiapa mengenakan sepasang kaos kaki dalam keadaan suci,
kemudian mengusapnya dan melepas bagian atasnya setelah mengusap,
maka boleh meneruskan masa berlakunya dengan mengusap bagian
bawahnya. Karena bisa dikatakan bahwa dia memasukkan kedua kakinya
dalam keadaan suci. Adapun jika mengenakan sebelah kaos kaki dan
mengusapnya, kemudian mengenakan kaos kaki sebelahnya yang belum
diusap, maka tidak boleh. Karena tidak bisa dikatakan bahwa dia
memasukkan keduanya dalam keadaan suci. [8]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
MANDI
wanita wajib mandi jika mimpi bersetubuh?” Beliau berkata, “Ya, jika dia
melihat air.”
“Jika engkau memancarkan air (mani), maka mandilah karena junub. Jika
dengan melontarkan. Dan tidak mungkin terjadi bila tidak diikuti dengan
syahwat.
(bekas air mani) sedangkan dia tidak ingat apakah ia mimpi bersetubuh.
Beliau menjawab, ‘Dia wajib mandi.’ Dan tentang seorang laki-laki yang
mimpi bersetubuh namun tidak mendapati basah (bekas air mani). Beliau
barangsiapa mimpi bersetubuh dan tidak melihat adanya air mani, maka
dia tidak wajib mandi. Dan barang siapa melihat air mani, sedangkan dia
tidak ingat apakah dia mimpi bersetubuh, maka dia tetap wajib mandi.
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya mandi dengan air dan bidara. (HR
maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah lewat, maka mandi dan shalatlah.”
junub.
Hari Jum’at
Dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:“Mandi hari Jum’at wajib bagi setiap orang yang telah baligh.”
1. Niat
Tidak wajib bagi seorang wanita mengurai rambutnya ketika mandi junub. Namun
Dari Ummu Salamah dia berkata “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah
wanita berkepang dengan kepang yang sulit diurai. Apakah aku harus
(HR. Muslim)
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi setelah selesai haidh. Beliau lalu
bersabda:
1. Hendaklah salah seorang dari kalian mengambil air dan bidaranya lalu
Dawud).
Dalam dua hadist diatas terdapat perbedaan. Dimana untuk mandi haidh,
tidak masuk kedalam pangkal rambut. Sementara untuk mandi junub, tidak
Berdasarkan hadits Abu Rafi’: “Pada suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi
fulanah dan dari si fulanah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda
tidak mandi sekali saja?” Beliau berkata, “Yang seperti ini lebih suci, lebih
Atau sekali mandi untuk shalat Zhuhur dan ‘Ashar (Zhuhur diakhirkan dan
‘Ashar diawalkan). Juga sekali mandi untuk shalat Maghrib dan ‘Isya’
mandi.
sallam sakit parah. Beliau lalu berkata, ‘Apakah orang-orang sudah shalat?’
Beliau lalu mandi lantas bangkit dengan semangat. Namun beliau pingsan
lagi, lalu tersadar dan berkata, ‘Apakah orang-orang sudah shalat?’ Kami
‘Ali bin Thalib Radhiyallahu anhu. Dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi
‘Ali menjawab, “Mandilah tiap hari jika kau suka.” Dia berkata, “Bukan,
agama).” Dia berkata, “(Mandi) hari jum’at, hari ‘Arafah, hari raya Qurban,
Berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, “Dia melihat Nabi
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa dia tidak mendatangi Makkah
kecuali bermalam di Dzu Thuwa hingga datang pagi dan dia pun mandi.
Kemudian dia memasuki Makkah pada siang hari. Dia menyebutkan bahwa
TAYAMUM
1. Landasan Persyari’atnya
“… dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu…” [Al-Maa-idah: 6]
Dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika dia diutus dalam
perang Dzaatus Salaasil dia berkata, “Pada suatu malam yang sangat dingin,
aku mimpi basah. Aku merasa jika aku mandi maka aku akan celaka. Aku lalu
bertayammum kemudian menjadi imam shalat shubuh bagi para sahabatku.
Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
menceritakan hal itu kepadanya. Beliau berkata, ‘Wahai ‘Amr, kau mengimami
para sahabatmu dalam keadaan junub?’ Aku berkata, “Saya teringat firman
Allah Ta’ala:
Catatan:
Hukum asal tayammum adalah sebagai pengganti wudhu. Perkara-perkara
yang boleh dilakukan dengan wudhu juga boleh dilakukan dengan tayammum.
Diperbolehkan tayammum sebelum masuk waktu shalat sebagaimana wudhu
juga dibolehkan. Juga dibolehkan shalat sesuka hati dengan (sekali)
tayammum (selama tidak batal) sebagaimana shalat dengan wudhu.
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
5. Hal-hal yg membatalkan Tayamum
“Sesungguhnya, cukuplah kau lakukan begini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menepukkan kedua telapak tangannya ke atas tanah lalu meniupnya. Kemudian
beliau usap dengannya wajah dan kedua telapak tangan beliau.” [5]
Catatan:
Hukum asal tayammum adalah sebagai pengganti wudhu. Perkara-perkara
yang boleh dilakukan dengan wudhu juga boleh dilakukan dengan tayammum.
Diperbolehkan tayammum sebelum masuk waktu shalat sebagaimana wudhu
juga dibolehkan. Juga dibolehkan shalat sesuka hati dengan (sekali)
tayammum (selama tidak batal) sebagaimana shalat dengan wudhu.