Anda di halaman 1dari 32

Fiqih Al-Wajiz (T.

Ari mardiah joban)

Thaharah:
 Pentingnya mengetahui tentang fiqh adalah kita bisa mengerti tentang hukum-
hukum yg berkaitan dengan ibadah di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
 Thaharah secara bahasa: suci dan bersih dari kotoran.
 Secara istilah: mengangkat hadast/menghilangkan najis

Hukum Air
Air merupakan alat untuk bersuci.
Semua air yg turun dari langit dan keluar dari tanah  suci. Firman Allah
dalam surat Al-Furqan ayat 48 “Dan Kami turunkan dari langit air yg suci”
Air yg keluar dari tanahsuci.
Air yg suci adalah air yg sesuai bentuk aslinya.
Air lautsuci. Rasulullah bersabda “Air laut itu suci dan menyucikan dan
halal bangkainya” (Shahih: An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Abi Dawud,
At-Tirmidzi)
Air sumur”Sesungguhnya semua air itu suci dan menyucikan tidak
dinajiskan oleh sesuatu apapun”
Air tetap dalam kesuciannya sekalipun bercampur dengan sesuatu yg suci
akan tetapi tidak merubah keasliannya. Dalil: Rasulullah ketika para wanita
akan memandikan jenazah anak beliau “mandikanlah 3kali, 5kali atau lebih
dengan air dan bidara jika perlu. Dan jadikan basuhan terakhir dengan air
kapur barus,” (Muttafaq Alaihi) air tidak dihukum najis.
Air bercampur najis bisa dihukumi suci bila si najis tidak merusak
kemutlakan air. Diriwayatkan oleh Abu Sa’id “Wahai Rasulullah bolehkah
berwudhu di sumur Budha’ah? (sumur yg sering dipakai untuk membuang
pembalut wanita, daging anjing, kotoran). Rasulullah menjawab “Air itu suci
dan tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu apapun.” (Sunnah Abi Dawud, At-
tirmidzi, An-nasa’i)

Bab Najis
An-Najaasaat adalah bentuk plural dari najasah, yaitu semua yang dianggap
menjijikkan oleh orang yang bertabiat normal. Mereka menjaga diri darinya dan
mencuci pakaian mereka jika terkena olehnya, seperti kotoran dan air seni.

Hukum asal segala sesuatu adalah boleh dan suci. Barangsiapa menyatakan
najisnya suatu materi, maka ia harus mendatangkan dalil. Jika sesuai, maka ia
benar. Karena hukum najis adalah hukum pembebanan yang terkait dengan
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
(seharusnya diketahui) semua orang. Maka, tidak boleh mengatakan tentang
najisnya sesuatu kecuali dengan dalil.

Hal-hal yg termasuk najis berdasarkan dalil:

1. Kencing manusia
hadits Anas Radhiyallahu anhu : “Seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu
segolongan orang menghampirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas bersabda, ‘Biarkanlah ia, jangan kalian hentikan kencingnya.’” Anas
melanjutkan, “Tatkala ia sudah menyelesaikan kencingnya, beliau
memerintahkan agar dibawakan setimba air lalu diguyurkan di
atasnya.”(Muttafaq Alaih)
2. Kotoran manusia
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian menginjak al-adzaa (najis)
dengan sandalnya, maka tanah adalah penyucinya.”(Sunnah Abi Dawud)
Al-Adzaa adalah segala sesuatu yang engkau merasa tersakiti olehnya, seperti
najis, kotoran, batu, duri, dan sebagainya.
3. Madzi
Madzi, yaitu cairan putih (bening), encer, dan lengket yang keluar ketika
naiknya syahwat. Dia tidak keluar dengan syahwat, tidak menyembur, dan tidak
pula diikuti lemas. Terkadang keluar tanpa terasa. Dialami pria maupun wanita.
Madzi adalah najis. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyuruh membasuh kemaluan darinya.
‘Ali Radhiyallahu anhu berkata, “Aku adalah laki-laki yang sering keluar madzi.
Aku malu menanyakannya pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
kedudukan puteri beliau. Lalu kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad untuk
menanyakannya.
Beliau lantas bersabda: ‘Dia harus membasuh kemaluannya dan
berwudhu.’”(Muttafaq Alaih)
4. Wadi
Sedangkan wadi adalah cairan putih (bening) dan kental yang keluar setelah
kencing.Wadi adalah najis.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Mani, wadi, dan madzi.
Adapun mani, maka wajib mandi. Sedangkan untuk wadi dan madzi, beliau (Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda:
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
‘Basuhlah dzakar atau kemaluanmu dan wudhulah sebagaimana engkau
berwudhu untuk shalat.’”
5. Kotoran hewan yg diharamkan untuk dimakan
Dari ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam hendak buang hajat, beliau berkata, ‘Bawakan aku tiga batu.’ Aku
menemukan dua batu dan sebuah kotoran keledai. Lalu beliau mengambil kedua
batu itu dan membuang kotoran tadi lalu berkata:
“(Kotoran) itu najis.”(HR.
6. Darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Seorang wanita
datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Baju seorang di
antara kami terkena darah haidh, apa yang harus ia lakukan?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Keriklah, kucek dengan air, lalu guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju)
itu.”
7. Air liur anjing
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda: “(Cara) menyucikan bejana salah seorang di antara
kalian jika dijilat anjing adalah membasuhnya tujuh kali. Yang pertama dengan
tanah.”
8. Bangkai
Yaitu segala sesuatu yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Dasarnya
adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika (al-ihaaab) telah
disamak, maka sucilah ia.” Al-ihaaab adalah kulit hewan yang telah mati
(bangkai).

Dikecualikan dari hal ini:


Pertama : Bangkai ikan dan jangkrik.
Dasarnya adalah hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Kedua bangkai itu adalah
ikan dan jangkrik. Sedangkan kedua darah tersebut adalah hati dan
limpa.”(HR.
Kedua : Bangkai hewan yang tidak berdarah.
Seperti lalat, semut, lebah, dan sebagainya. Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
bersabda: “Jika seekor lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang di antara
kalian, maka benamkan semua lalu buanglah ia. Karena pada salah satu
sayapnya terdapat penyakit, sedangkan pada sisi lainnya terdapat
penawar.”

Ketiga : Tulang bangkai, tanduk, kuku, rambut dan bulunya.


Semuanya suci, merujuk pada keasliannya, yaitu suci. Dasarnya hadits yang
diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq. Dia mengatakan bahwa az-Zuhri
berkata tentang tulang bangkai -seperti gajah dan sebagainya-, “Aku
mendapati beberapa kalangan ulama terdahulu bersisir dan berminyak
dengannya. Mereka tidak mempermasalahkannya.” Hammad berkata,
“Tidak ada masalah dengan bulu bangkai.”

Cara Membersihkan Najis


Allah yang telah mengajarkan kita tentang kenajisan materi juga
menunjukkan cara bersuci darinya. Kita wajib mengikuti dan menjalankan-
Nya.
Apa-apa yang disebutkan di dalamnya membasuh hingga tidak terdapat
bau, warna dan rasa maka itulah cara membersihkannya.
Dan apa-apa yang didalamnya terdapat kata mengguyur, memercikkanm
mengerik, menggosok ke tanah atau sekedar berjalan di atas tanah yg suci,
maka begitulah cara bersuci darinya..
Rasulullah telah menyifatkannya, “Allah telah menciptakan air dalam
keadaan suci lagi menyucikan”(As-sailul Jarrar)
Tidak dibenarkan bersuci dengan selain air, kecuali jika syariat
menetapkannya. Jika tidak ada dalil maka tidak boleh.
Sifat-sifat menyucikan benda najis:
1. Menyucikan kulit bangkai dengan samak
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa ia
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kulit
bangkai apa saja jika disamak, maka ia suci.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad,
At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Shahih)
2. Menyucikan bejana yang dijilat anjing
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “(Cara) menyucikan bejana seorang di antara kalian
jika dijilat anjing adalah membasuhnya tujuh kali. Yang pertama dengan
tanah.” (3)
3. Menyucikan baju yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seorang
wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
‘Baju salah seorang di antara kami terkena darah haid. Apakah yang
harus dia lakukan?’ Beliau bersabda: “Keriklah, kucek dengan air, lalu
guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju) itu.” [4]

Jika setelah itu masih ada bekasnya, maka tidak masalah.


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Khaulah binti Yasar berkata,
“Wahai Rasulullah, saya hanya mempunyai satu baju. Saya memakainya
ketika haidh.” Beliau bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah tempat
yang terkena darah itu, lalu shalatlah dengannya.” Dia berkata, “Wahai
Rasulullah, jika bekasnya tidak hilang?” Beliau bersabda: “Air telah
mencukupimu dan bekasnya tidak masalah bagimu.”(HR. Abu Daud dan
Al-Baihaqi,Shahih)
4. Menyucikan bagian bawah pakaian wanita
Dari Ummu Walad (budak wanita yang melahirkan anak majikannya)
milik Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Dia berkata kepada Ummu
Salamah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saya adalah wanita
yang berpakaian panjang dan saya berjalan di tempat kotor.” Ummu
Salamah Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “(Ujung pakaian yang terkena kotoran tadi)
disucikan oleh (tanah) yang berikutnya.”(HR. Ibnu Majah, Imam Malik,
Abi Daud, Tirmidzi, Shahih)
5. Menyucikan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki yang masih
menyusu
Dari Abu as-Samh, pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia
mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Air
kencing bayi perempuan dicuci. Sedangkan air kencing bayi laki-laki
diperciki.”(HR: Abi Daud dan Nasa’i, Shahih)
6. Menyucikan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, dia berkata, “Aku mengalami kesulitan karena
madzi. Aku sering mandi karenanya. Kuadukan masalahku ini kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Cukuplah
bagimu wudhu.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang
mengenai pakaian saya?” Beliau bersabda: “Cukup ambil segenggam air
lalu guyurkan (percikkan) pada pakaianmu yang terkena olehnya.” (HR.
Ibnu Majah, Abi Dawud, At-tirmidzi:Hasan)
7. Menyucikan bagian bawah sandal
Dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian datang ke masjid,
hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika melihat kotoran
padanya, hendaklah ia gosokkan ke tanah, lalu shalat dengannya.” (HR.
Abi Daud, Shahih)
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
8. Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seorang Arab
Badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang lantas
menghardiknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada mereka:
“Biarkan dia. Guyurkan setimba atau seember air pada kencingnya.
Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan, bukan menyusahkan.”
(HR. Muttafaq Alaihi,An-Nasa’i, Abi Daud, At-tirmidzi, Shahih)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal tersebut agar


kesucian tanah segera terealisir. Jika dibiarkan hingga kering dan bekas
najis hilang, maka tanah itupun suci kembali. Berdasarkan hadits Ibnu
‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, banyak anjing yang kencing dan berlalu-lalang dalam
masjid. Mereka tidak mengguyurkan air sedikit pun di atasnya.”(HR. Abi
Daud, Al Bukhari,Shahih)

Perkara-perkara Fitrah
 Dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Lima (perilaku)
fitrah: mencukur bulu kemaluan, khitan, mencukur kumis, mencabut bulu
ketiak, dan memotong kuku.”(Muttafaq ‘alaihi, Abu Dawud)
 Dari Zakaria bin Abi Za-idah, dari Mush’ab bin Syaibah, dari Thalq bin Habib,
dari Ibnu az-Zubair, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sepuluh (perilaku)
fithrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, menghirup air ke
hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh sela-sela jari, mencabut bulu
ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan bersuci dengan air -cebok- Zakaria
mengatakan bahwa Mush’ab berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, mungkin
berkumur-kumur.” [Hasan: Shahih Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-
Nasai, Ibnu Majah]
1. Khitan
 Khitan wajib bagi pria dan wanita. Karena ia merupakan ciri
ke-Islaman.
 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki yang
baru memeluk Islam: “Campakkanlah rambut kekufuran [model rambut
yg menjadi ciri khas orang kafir] darimu dan berkhitanlah.” [Shahih al-
Jaami’ush Shaghiir, Abu Dawud, Al baihaqi]
 Perbuatan ini termasuk ajaran Nabi Ibrahim Alaihissallam.
 Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ibrahim, Khalilurrahman (kekasih Allah) berkhitan setelah
berumur delapan puluh tahun.” [Muttafaq Alaihi]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
 Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus).’ Dan bukanlah dia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” [An-Nahl: 123]
 Disukai bila khitan dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran.
Berdasarka hadist Jabir: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengaqikahi serta mengkhitan Hasan dan Husain pada hari ketujuh.”
[Ath-Thabrani]
 Dari Ibnu ‘Abbas berkata: “Tujuh dari perkara-perkara sunnah untuk
bayi pada hari ketujuh adalah memberi nama dan mengkhitan.” [Ath-
Thabrani]

2. Memanjangkan jenggot
 Memanjangkan jenggot hukumnya wajib dan mencukurnya hukumnya
haram.
 Karena (termasuk) merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan
syaitan, di mana Allah mengabarkan tentang perkataan syaitan: “Dan
aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka
(memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar
memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan
menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita
kerugian yang nyata.” [An-Nisaa’: 119].
 Mencukurnya termasuk menyerupai wanita. “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.”[Shahih Al-
Bukhari, At-tirmidzi, Al-Jaami’ush Shaghir]
 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan memanjangkan
jenggot. Sedangkan perintah menunjukkan wajib, sebagaimana
diketahui. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pangkaslah kumis dan
panjangkan jenggot. Selisihilah orang-orang majusi.”[Shahih Muslim]
 Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau bersabda: “Selisihilah orang-orang musyrik. Panjangkan
jenggot dan potonglah kumis.”[Muttafaq Alaihi]
3. Siwak
Bersiwak disukai pada semua keadaan. Lebih disukai pada saat-saat
berikut:
Ketika Wudhu
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya tidak memberatkan
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap wudhu.” [Jami’ush
Shaghir, Imam Ahmad]
Ketika Shalat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Seandainya tidak memberatkan umatku,
niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap akan shalat.”[Muttafaq
Alaihi]
Ketika membaca al-Qur’an
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintah kami bersiwak dan bersabda: “Sesungguhnya seorang
hamba ketika hendak melakukan shalat, datanglah Malaikat padanya.
Lalu ia berdiri di belakangnya untuk mendengarkan al-Qur-an. Ia
mendekat dan tetap mendengarkan serta mendekat hingga ia letakkan
mulutnya ke mulut hamba tadi. Tidaklah ia membaca ayat melainkan
ayat tersebut sampai ke perut Malaikat itu.” [Ash-Shahihah, Al-
Baihaqi]
Ketika memasuki rumah
Dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya. Dia berkata, aku bertanya
kepada ‘Aisyah: “Dengan apa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengawali masuk rumah beliau?” Dia berkata, “Dengan bersiwak.”
[Ibnu Majah, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i]
Ketika Shalat Malam
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila hendak shalat, beliau membersihkan mulutnya
dengan siwak.” [Muttafaq Alaihi, Abu Dawud, An-Nasa’i]
4. Dimakruhkan mencabut uban
 Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah
kalian mencabut uban. Karena tidaklah seorang muslim beruban dalam
Islam walaupun sehelai, melainkan ia akan menjadi cahaya baginya di
hari Kiamat.” [Al-Jaami’ah Shaghir, Abi Dawud, An-Nasai]
 Dibolehkan menyemir uban dengan pacar, inai, atau sejenisnya dan
diharamkan menggunakan warna hitam
 Dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bahan terbaik yang kalian
gunakan untuk menyemir uban adalah pacar dan inai.” [Al-Jami’ush
Shaghir,Abi Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah]
 Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah
mereka.” [Muttafaq Alaih]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
 Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Pada hari penaklukan
Makkah, Abu Quhafah didatangkan. Rambut dan jenggotnya telah
memutih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda:
“Rubahlah (rambut) ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.”
[Jami’ush Shaghir, Muslim, Abi dawud, An-nasa’i, Ibnu Majah]
 Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada akhir masa
kelak akan ada kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti
tembolok merpati. Mereka tidak mencium aroma Surga.”[Jami’ush
Shaghir, Abi Dawud, An-Nasa’i]

Adab-Adab Buang Hajat


1. Disunnahkan bagi orang yang hendak memasuki al-khalaa’ (kamar kecil/WC)
agar membaca:
“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
syaitan laki-laki dan syaitan perempuan.”
Do’a ini berdasarkan hadits ‘Ali Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Penghalang antara jin dan aurat anak Adam jika salah
seorang dari kalian memasuki al khalaa’ adalah ia mengucapkan,
“Bismillah”.”[1]
Juga hadits Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Jika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak masuk ke kamar kecil, beliau mengucapkan, “Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan”.[2]
2. Disunnahkan jika keluar darinya mengucapkan: “Ghufranaka”(Ya Allah, aku
mengharap ampunan-Mu). Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,
dia berkata: “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kamar kecil,
beliau mengucapkan, ‘(Ya Allah, aku mengharap) ampunan-Mu’.” [3]
3. Disunnahkan mendahulukan kaki kiri ketika masuk, dan kaki kanan ketika
keluar.
Karena adanya sunnah yang memerintah agar mendahulukan yang kanan untuk
hal mulia, dan mendahulukan yang kiri untuk hal yang tidak mulia. Banyak
riwayat yang menunjukkan hal tersebut secara global. [4]
4. Jika ditempat terbuka, maka disunnahkan menjauh hingga tidak terlihat
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak buang hajat di lapangan terbuka melainkan
bersembunyi hingga tidak terlihat.” [5]
5. Disunnahkan tidak mengangkat pakaian kecuali setelah dekat dengan tanah.
Dari Ibnu ‘Umar: “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak buang hajat,
beliau tidak mengangkat pakaiannya kecuali setelah dekat dengan tanah.” [6]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Tidak boleh menghadap dan membelakangi kiblat, baik di lapangan terbuka
maupun dalam bangunan.
Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Jika kalian hendak buang hajat, janganlah
menghadap dan membelakangi kiblat. Tapi, menghadaplah ke timur atau ke
barat.” [7]
Abu Ayyub berkata, “Kami datang ke Syam, kami dapati banyak WC yang
dibangun menghadap Kiblat. Kami pun miring darinya dan beristighfar kepada
Allah Ta’ala.” [8]
6. Dilarang buang hajat di jalan yang dilalui manusia dan tempat berteduh
mereka
Dari Abu Hurairah Raddhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Jauhilah dua perkara yang mengundang laknat. Mereka bertanya,
‘Apakah dua perkara yang mengundang laknat itu, ya Rasulullah?.’” Beliau
berkata, “Orang yang buang hajat di jalan orang-orang atau di tempat
berteduh mereka.” [9]
7. Dimakruhkan jika seseorang kencing di tempat mandinya
Dari Humaid al-Himyari, dia berkata, “Aku menjumpai seorang yang telah
menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Abu Hurairah
menyertai beliau. Dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang salah seorang dari kami bersisir setiap hari dan kencing di tempat
mandinya.” [10]
8. Dilarang kencing di air yang tidak mengalir
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Beliau
melarang kencing di air yang menggenang.” [11]
9. Diperbolehkan kencing sambil berdiri, tapi duduk (jongkok) lebih utama
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di
tempat pembuangan sampah sebuah kaum lalu kencing sambil berdiri, dan aku
pun menjauh. Beliau lantas berkata, ‘Mendekatlah.’ Lalu aku mendekat hingga
aku berdiri dekat kaki beliau. Beliau kemudian berwudhu dan membasuh
bagian atas kedua khuf (sepatu panjang) beliau.” [12]
Kita katakan bahwa duduk lebih utama karena begitulah kebanyakan
perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma berkata: “Barangsiapa mengatakan kepada kalian bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri, maka janganlah
kalian mempercayainya. Beliau tidak pernah kencing melainkan dengan duduk.”
[13]
Perkataan ‘Aisyah tidak menafikan apa yang dibawakan oleh Khudzaifah.
Karena ‘Aisyah hanya mengabarkan apa yang dia lihat. Dan Khudzaifah juga
mengabarkan apa yang dia lihat. Sebagaimana diketahui (dalam kaidah) bahwa
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
yang menetapkan lebih diutamakan daripada yang menafikan. Karena pada
yang menetapkan itu terdapat ilmu yang lebih
10. Diwajibkan bersuci dari kencing
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melalui dua kubur, lalu bersabda: “Sesungguhnya mereka berdua
diadzab. Mereka tidak diadzab karena dosa besar. Salah seorang di antara
mereka diadzab karena tidak bersuci dari kencingnya. Sedang yang lain
karena suka menggunjing di antara manusia.” [14]
11. Tidak boleh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing. Dan
tidak menggunakan ketika bercebok
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian
kencing, janganlah ia menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya. Dan
jangan pula ia cebok dengan tangan kanannya.” [15]
12. Diperbolehkan bersuci dengan air, dan batu atau yg serupa dengan batu,
namun air lebih utama.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah memasuki WC. Lalu aku dan anak lain yang seusia denganku
membawakan beliau setimba air dan sebuah tombak kecil. Beliau lantas
bersuci dengan air.” [16]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian hendak buang hajat, maka
hendaklah membawa tiga buah batu. Dan hendaklah ia bersuci dengannya,
karena itu mencukupinya.” [17]
13. Tidak boleh menggunakan kurang dari 3 batu
Dari Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu, dikatakan kepadanya, “Nabi kalian
telah mengajari kalian segala hal hingga masalah buang air besar?” Dia
menjawab: “Benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika kencing
atau buang hajat, bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan kurang dari
tiga buah batu, dan bersuci dengan kotoran atau tulang.” [18]
14. Tiak boleh bersuci dengan tulang atau kotoran
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang bersuci dengan tulang atau kotoran.” [19]

Bab Bejana
 Boleh menggunakan semua bejana selain bejana emas dan perak. Diharamkan
menggunakan keduanya untuk makan dan minum.
 Namun tidak diharamkan menggunakan keduanya selain untuk makan dan
minum.
 Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian minum dari bejana emas dan perak. Dan jangan pula
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
mengenakan sutera. Karena semua itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di
akhirat.” [20]
 Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Orang yang minum dari bejana perak, sesungguhnya api
Jahannam bergejolak dalam perutnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. [21]
 Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Sesungguhnya orang yang makan atau
minum dari bejana perak dan emas…” Muslim berkata, “Tidak seorang pun pada
sebuah hadits menyebutkan lafazh: “makan dan emas” kecuali dalam hadits
Ibnu Mushir.”
 Al-Albani berkata, “Dari segi ilmu riwayat, tambahan ini syadz sekalipun
maknanya benar dari segi ilmu diraayah. Karena “makan dan emas” lebih berat
dan berbahaya daripada “minum dan perak” sebagaimana yang tampak jelas.”
[22]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)

WUDHU
TATA CARA:
Dari Humran bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu : “‘Utsman bin
‘Affan Radhiyallahu anhu minta diambilkan air wudhu lalu berwudhu.
1. Dia basuh kedua telapak tangannya tiga kali.
2. Kemudian berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung lalu
mengeluarkannya.
3. Lalu membasuh wajahnya tiga kali,
4. kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke siku tiga kali, begitupula
dengan tangan kirinya.
5. Setelah itu, ia usap kepalanya lantas membasuh kaki kanannya hingga ke mata
kaki tiga kali, begitupula dengan kaki kirinya.
Dia kemudian berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian Rasulullah bersabda,
‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua raka’at dan
tidak berkata-kata dalam hati [1] dalam kedua raka’at tadi, maka diampunilah
dosa-dosanya yang telah lalu.’”
Ibnu Syihab mengatakan bahwa ulama-ulama kita berkata, “Wudhu ini adalah
wudhu paling sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat.” [2]

SYARAT SAHNYA:
1. Niat
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam : “Sesungguhnya
perbuatan itu tergantung pada niat.” [3]
Tidak disyari’atkan mengucapkannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah mengerjakannya.
2. Mengucapkan basmalah
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak sah shalat
seseorang tanpa wudhu. Dan tidak ada wudhu untuk seseorang yang tidak
menyebut nama Allah.” [4]
3. Berkesinambungan(tidak terputus)
Berdasarkan hadits Khalid bin Ma’dan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat, sedangkan pada punggung
telapak kakinya ada bagian sebesar uang dirham yang tidak terkena air. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menyuruhnya mengulang wudhu dan
shalatnya.” [5]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Rukun-rukunnya:
1, 2. Membasuh wajah, termasuk berkumur dan menghirup air melalui hidung.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku.[6]
4, 5. Mengusap seluruh kepala. Dan telinga termasuk kepala.
6. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” [Al-Maa-idah: 6]

Adapun berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, maka disebabkan keduanya
masih termasuk wajah, hingga wajiblah keduanya. Karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memerintahkan membasuhnya dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan telah
valid bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dalam wudhu secara
terus-menerus. Semua yang meriwayatkan serta menjelaskan tata cara wudhu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkannya. Itu semua menunjukkan
bahwa membasuh wajah yang diperintahkan dalam al-Qur-an adalah dengan
berkumur dan menghirup air ke dalam hidung. [7]

Juga terdapat perintah mengerjakan keduanya dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa


sallam : “Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, jadikanlah (hiruplah) air
ke dalam hidungnya, lalu semburkanlah.” [8]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hiruplah air ke hidung dengan
sangat, kecuali jika kau sedang berpuasa.”[9]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika engkau berwudhu, maka
berkumurlah.” [10]

Wajib mengusap kepala secara merata, karena perintah mengusap dalam al-Qur-
an masih global. Maka penjelasannya dikembalikan ke Sunnah. Disebutkan dalam
ash-Shahihain dan yang lainnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
kepala beliau secara merata. Di sini terdapat dalil atas wajibnya mengusap kepala
secara sempurna.

Jika ada yang berkata, “Dalam hadits al-Mughirah disebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubun dan bagian atas sorban beliau?”

Jawabannya, “Beliau mencukupkan mengusap ubun-ubun saja karena membasuh


sisa kepala telah sempurna dengan mengusap bagian atas sorban. Inilah pendapat
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
kami. Bukan berarti ini adalah dalil atas bolehnya mencukupkan mengusap ubun-
ubun atau sebagian kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap bagian
atas sorban.” [11]

Kesimpulannya, wajib mengusap kepala secara merata. Dan orang yang mengusap,
jika suka, dia boleh mengusap kepala saja, atau bagian atas sorban saja, atau
boleh juga kepala dan bagian atas sorban. Semuanya benar dan ada dalilnya.

Kedua telinga adalah bagian dari kepala. Maka wajib mengusap keduanya.
Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kedua telinga adalah
bagian dari kepala.” [12]

7. Menyela-nyela jenggot
Berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu : “Jika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau ambil segenggam air lalu
memasukkannya ke bawah dagunya. Dengan air itu beliau sela-selai jenggotnya.
Beliau lantas bersabda: “Begitulah Rabb-ku Azza wa Jalla memerintahku.” [13]

8.Menyela-nyela jari jemari kedua tangan dan kaki


Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sempurnakanlah wudhu,
sela-selai jari-jemari, dan hiruplah air ke dalam hidung dengan kuat, kecuali jika
engkau sedang berpuasa.”

Sunnah-Sunnah Wudhu:
1. Bersiwak
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya tidak memberatkan
umatku, niscaya kuperintahkan mereka bersiwak tiap kali berwudhu.”

2. Membasuh kedua telapak tangan 3kali pada awal wudhu


Dasarnya adalah riwayat dari ‘Utsman Radhiyallahu anhu dalam ceritanya
tentang tata cara wudhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Beliau membasuh
kedua telapak tangannya tiga kali.”

3. Menggabungkan berkumur dan menghirup air kedalam hidung dengan


segenggam air 3kali
Dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid saat dia mengajarkan wudhu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salla : “Beliau berkumur dan menghirup air ke
dalam hidung dari satu genggam tangan. Dan beliau melakukannya sebanyak
tiga kali.” [14]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
4. Melakukan keduanya dengan sangat bagi yang tidak puasa
Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hiruplah air ke
dalam hidung dengan kuat, kecuali jika engkau sedang puasa.”

5. Mendahulukan yg kanan daripada yang kiri


Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma : “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian kanan saat memakai sandal,
menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua hal.” [15]
Juga dalam kisah ‘Utsman saat menceritakan tata cara wudhu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Beliau membasuh bagian kanan kemudian bagian kiri.”

6. Menggosok
Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Zaid: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
diberi tiga mudd air. Beliau lalu berwudhu dan menggosok kedua
tangannya.”[16]

7. Membasuh 3 kali
Berdasarkan hadits ‘Utsman Radhiyallahu anhu : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam wudhu dengan membasuh tiga kali.”
Ada juga dalil shahih yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah wudhu dengan membasuh sekali atau dua kali. [17]
Disunnahkan mengulang usapan kepala secara kadang-kadang. Berdasarkan
riwayat shahih dari ‘Utsman. Bahwa dia berwudhu lalu mengusap kepala tiga
kali. Dia kemudian berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu seperti ini.” [18]

8. Berurutan
Karena begitulah kebanyakan wudhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana dikisahkan orang yang menceritakan tata cara wudhu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun terdapat riwayat shahih dari al-Miqdam
bin Ma’dikarib: “Dia membawakan air wudhu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau lantas berwudhu dan membasuh kedua telapak tangannya tiga
kali. Membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh kedua tangannya tiga kali.
Beliau kemudian berkumur dan (menghirup air ke dalam hidung lalu)
menyemburkannya. Setelah itu mengusap kepala dan kedua telinganya…” [19]

9. Berdo’a setelah selesai


Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah seorang di
antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berdo’a:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak dibadahi dengan benar kecuali
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.” Melainkan dibukakan baginya delapan pintu Surga. Dia
memasukinya dari arah mana saja yang ia kehendaki.” [20]

At-Tirmidzi menambahkan: “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang


yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.” [21]

Dari Abu Sa’id, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa


berwudhu lalu mengucap: “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang
bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.” [21]

Dari Abu Sa’id, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa


berwudhu lalu mengucap:

10. Shalat dua raka’at setelahnya


Berdasarkan hadits ‘Utsman Radhiyallahu anhu setelah mengajari mereka
tata cara wudhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Aku melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini. Dan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa berwudhu sebagaimana
wudhuku ini, lalu shalat dua raka’at, sedang dia tidak berkata-kata dalam hati
(tentang urusan dunia) ketika melakukannya, maka diampunilah dosa-dosanya
yang telah lalu.”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


berkata kepada Bilal ketika hendak shalat Shubuh, “Wahai Bilal, beritahulah
aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan
dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di
hadapanku di Surga.” Dia menjawab, “Tidaklah aku melakukan amalan yang
paling aku harapkan (pahalanya). Hanya saja, aku tidaklah bersuci, baik saat
petang maupun siang, melainkan aku shalat (sunnah) dengannya apa-apa yang
sudah dituliskan (ditakdir-kan) tentang shalatku.” [23]

PEMBATAL WUDHU:
1. Semua yang keluar dari dua jalan “qubul dan dubur (kemaluan dan anus)”. Baik
air seni, kotoran (tinja), atau angin.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “… atau dalam perjalanan


kembali dari tempat buang air (kakus)…” [Al-Maa-idah: 6].
Al-Ghaa-ith Yaitu kiasan dari buang hajat.
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah tidak menerima shalat
salah seorang di antara kalian jika ia berhadats hingga dia berwudhu”

Seorang laki-laki dari Hadhramaut berkata, “Apakah hadats itu, wahai Abu
Hurairah?” Dia menjawab, “Kentut, baik yang bersuara ataupun tidak.” [1]

Keluarnya madzi dan mani juga membatalkan wudhu:

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma,, dia berkata, “Mani, wadi, dan madzi.
Adapun mani, maka ia mewajibkan mandi. Sedangkan wadi dan madzi, beliau
berkata: ‘Basuhlah alat kelamin atau kemaluanmu dan berwudhulah
sebagaimana wudhumu untuk shalat’.”

2. Tidur Nyenyak
Yaitu, tidur yang menghilangkan kesadaran. Baik dalam keadaan duduk di atas
lantai ataupun tidak.

Dasarnya adalah hadits Shafwan bin ‘Assal Radhiyallahu anhu. Dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami jika kami dalam
keadaan safar agar tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam.
Kecuali dalam keadaan junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan tidur.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan antara tidur, kencing, dan
buang hajat. [2]\

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda: “Mata adalah wikaa’nya sah. Barangsiapa tertidur
hendaklah berwudhu’.”[3]

Al-Wikaa,’ dengan wawu dikasrah, yaitu benang pengikat tempat air minum
dari kulit.

As-Sah, dengan siin tidak bertitik yang difat-hah dan ha’ yang dikasrahkan
serta tidak bertasydid, yaitu dubur.

Artinya, keadaan jaga adalah wikaa’-nya dubur. Yaitu, menjaga apa yang di
dalamnya agar tidak keluar. Karena selama dia terjaga dia bisa merasakan
apa yang keluar darinya. [4]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
3. Hilangnya kesadaran karena mabuk atau sakit
Karena hilangnya kesadaran oleh sebab-sebab ini lebih parah daripada tidur.

4. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang dengan syahwat


Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm : “Barangsiapa
menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu.” [5]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ia tidak lebih dari salah satu
anggota tubuhmu.” [6]

Ia adalah salah satu bagian tubuh Anda jika tidak disertai syahwat saat
menyentuhnya. Karena dalam keadaan ini, dapat disamakan antara
menyentuhkan satu bagian tubuh dengan bagian tubuh yang lain. Lain halnya
jika menyentuhnya disertai syahwat. Maka dalam keadaan seperti itu tidak
diserupakan antara menyentuh satu bagian tubuh dengan menyentuh bagian
tubuh lain yang biasanya tidak disertai dengan syahwat. Ini adalah perkara
yang jelas, sebagaimana Anda lihat. [7]

5. Makan daging unta


Berdasarkan hadits al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berwudhulah karena
(makan) daging unta. Dan janganlah berwudhu karena (makan) daging
kambing.” [8]
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, seorang laki-laki bertanya kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haruskah aku berwudhu karena (makan)
daging kambing?” Beliau menjawab, “Kalau kau suka berwudhulah. Jika tidak,
maka janganlah berwudhu.” Dia berkata lagi: “Haruskah aku berwudhu karena
(makan) daging unta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah karena (makan)
daging unta.”[9]

HAL-HAL YG MEWAJIBKAN WUDHU (hal-hal yg diharamkan atas orang


berhadast)
1. Shalat
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerja-kan shalat,

maka basuhlah mukamu…” [Al-Maa-idah: 6]

Dan sabda Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam : “Allah tidak menerima shalat
tanpa bersuci (wudhu)”.
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
2. Thawaf di Baitullah
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Thawaf di
Baitullah adalah shalat. Hanya saja Allah menghalalkan bicara di
dalamnya.” [10]

Hal-hal yg Disunnahkan Wudhu di Dalamnya


1. Berdzikir kepada Allah
Berdasarkan hadits al-Muhajir bin Qunfudz. Dia mengucapkan salam
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berwudhu. Beliau
tidak menjawab salamnya hingga menuntaskan wudhunya. Beliau lalu
menjawabnya dan berkata: “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku
untuk menjawabmu. Hanya saja aku tidak suka menyebut nama Allah
kecuali dalam keadaan suci.” [11]

2. Ketika hendak tidur


Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu
anhu. Dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika engkau mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana
engkau berwudhu untuk shalat. Kemudian tidurlah di atas sisi kananmu, lalu
ucapkan: “Ya Allah, kuserahkan jiwaku pada-Mu, dan kuhadapkan wajahku
pada-Mu. Kupasrahkan urusanku pada-Mu, dan ku-sandarkan punggungku
pada-Mu, dengan harap dan cemas kapada-Mu. Tidak ada tempat
bersandar dan berlindung dari-Mu kecuali kepada-Mu. Ya Allah, aku
beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan. Dan Nabi-Mu yang
Engkau utus.”

Jika engkau meninggal pada malam itu, maka engkau meninggal dalam
keadaan fithrah. Jadikanlah ia akhir pembicaraanmu.”[12]

3. Junub
Disunnahkan ketika hendak makan, minum, tidur, atau mengulang jima’.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam junub dan ingin makan, minum, atau tidur, beliau berwudhu
sebagaimana berwudhu untuk shalat.” [13]

Dan dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi keringanan bagi orang yang sedang junub jika ingin makan,
minum, atau tidur untuk berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.”
[14]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
Juga dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian telah
mendatangi isterinya (berjima’) dan ingin mengulangi, maka hendaklah ia
berwudhu.” [15]

4. Sebelum mandi baik mandi wajib maupun sunnah


Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua
tangannya. Kemudian beliau kucurkan air dari tangan kanan ke tangan
kirinya, lantas membasuh kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana
berwudhu untuk shalat.” [16]

5. Makan makanan yang tersentuh api


Berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berwudhulah karena memakan makanan yang tersentuh api’.” [17]

Perintah ini mengandung makna sunnah. Berdasarkan hadits ‘Amr bin


Umayyah adh-Dhamri, dia berkata, “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengiris paha kambing. Beliau kemudian makan sebagian darinya lalu
mengumandangkan seruan untuk shalat. Beliau berdiri dan meletakkan
pisau lantas shalat dan tidak berwudhu.” [18]

6. Setiap shalat
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dulu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu pada tiap shalat. Ketika hari
penaklukan (Makkah) beliau berwudhu dan mengusap sepatunya lalu
melakukan semua shalat dengan satu wudhu.” ‘Umar berkata padanya,
“Wahai Rasulullah, engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau
lakukan.” Beliau berkata, “Aku sengaja melakukannya, hai ‘Umar.” [19]

7. Setiap berhadast
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu
pagi hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Bilal dan
berkata, ‘Wahai Bilal, dengan apa engkau mendahuluiku ke Surga? Kemarin
malam aku masuk Surga dan kudengar suara gerakanmu di depanku’. Bilal
berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku adzan kecuali aku shalat dua
raka’at. Tidaklah aku berhadats melainkan aku berwudhu saat itu juga.’
Rasulullah j berkata, ‘Karena inilah’.”[20]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
8. Muntah
Berdasarkan hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Darda’, dia
menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah,
kemudian berbuka dan berwudhu. Lalu kutemui Tsauban di masjid
Damaskus dan kuceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu berkata, “Benar.
Akulah yang menuangkan air wudhu beliau’.” [21]

9. Membawa mayit
berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa
memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi. Dan barangsiapa
membawanya, maka hendaklah berwudhu.” [22]

Mengusap Khuf
Al-Imam an-Nawawi rahimahulla berkata dalam Syarah Muslim (III/ 164),
“Ulama yang diperhitungkan dalam ijma’ (mu’tabar) telah sepakat tentang
bolehnya mengusap khuff dalam safar maupun menetap. Baik untuk suatu
kebutuhan ataupun tidak. Bahkan boleh bagi perempuan yang senantiasa berada
dalam rumahnya. Demikian pula orang lumpuh yang tidak bisa berjalan. Hanya
orang-orang syi’ah dan khawarij yang mengingkari hal ini. Dan penyesilihan
mereka itu tidak dianggap.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, ‘Aku diberitahu oleh tujuh puluh
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengusap kedua khuff ‘.”

Dalil yang paling bagus untuk dijadikan sandaran tentang mengusap khuff adalah
apa yang diriwayatkan Muslim dari al-A’masy dari Ibrahim dari Hammam, dia
berkata, “Jarir kencing, kemudian berwudhu dan mengusap kedua khuffnya. Dia
lalu ditanya, “Kau melakukan ini?” Dia menjawab, “Ya. Aku melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing kemudian berwudhu dan mengusap kedua
khuffnya.” Al-A’masy mengatakan bahwa Ibrahim berkata, “Hadits ini mem-buat
mereka senang. Karena ke-Islaman Jarir terjadi setelah turunnya surat al-Maa-
idah.” [1]

An-Nawawi berkata [2], “Artinya, Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Maa-
idah: … (Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.) Jika ke-Islaman
Jarir lebih dulu daripada turunnya surat al-Maa-idah, maka haditsnya tentang
mengusap khuff bisa jadi mansukh oleh ayat dalam surat al-Maa-idah tadi.
Namun, ketika ternyata ke-Islaman Jarir lebih akhir, maka kita ketahui bahwa
haditsnya bisa diamalkan. Karena dia berfungsi sebagai penjelas bahwa maksud
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
ayat tersebut bukanlah bagi pemakai khuff. Maka sunnah menjadi pengkhusus
bagi keumuman ayat tersebut. Wallahu a’lam.

a. Syarat-syarat
Disyaratkan bagi bolehnya mengusap khuff agar pelaku mengenakannya
dalam keadaan memiliki wudhu.
Dari al-Mughirah bin Syu’bah ia berkata: “Pada suatu malam aku pernah
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan.
Kutuangkan timba padanya. Lantas beliau membasuh wajah dan kedua
tangannya lalu mengusap kepalanya. Kemudian aku merendah untuk melepas
kedua khuff beliau. Beliau lantas berkata: ‘Biarkan dia, karena
sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.’ Beliau lalu
mengusap keduanya.” [3]

b. Masa Berlakunya
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan tiga hari tiga malam bagi musafir,
dan sehari semalam bagi yang menetap.” [4]

c. Bagian yg diusap dan tata caranya


Bagian yang disyari’atkan untuk diusap adalah bagian atas khuff.
Berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu : “Jika memang
agama adalah akal, maka bagian bawah khuff tentu lebih layak untuk
diusap daripada bagian atasnya. Sungguh, aku pernah melihat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khuff beliau.” [5]

Yang wajib tentang cara mengusap adalah melakukan apa yang dinamakan
“mengusap” (secara umum).

d. Mengusap kaos kaki dan sandal


Sebagaimana diperbolehkan mengusap khuff, diperbolehkan pula mengusap
kaos kaki dan sandal.

Berdasarkan hadits al-Mughirah bin Syu’bah, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam berwudhu dan mengusap kaos kaki dan sandal.” [6]

Dari ‘Ubaid bin Juraij, dikatakan pada Ibnu ‘Umar, “Kami melihatmu
melakukan sesuatu yang tidak pernah seorang pun kami lihat melakukannya
kecuali engkau.” Dia berkata, “Apakah itu?” Mereka berkata, “Kami
melihatmu mengenakan sandal kulit.” Dia berkata, “Sesungguhnya aku
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakannya,
berwudhu dengannya dan mengusapnya.”

e. Hal-hal yg membatalkan mengusap


1) Mengusap bisa batal dengan salah satu dari tiga hal berikut ini:
Habis masa berlakunya. Karena mengusap memiliki masa tertentu,
sebagaimana Anda ketahui. Maka tidak boleh memperpanjang waktu
yang telah ditentukan.

2) Junub
Berdasarkan hadits Shafwan Radhiyallahu anhu: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyuruh kami, jika kami dalam keadaan safar
agar tidak melepas khuff kami selama tiga hari tiga malam kecuali jika
junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan tidur.” [7]

3) Menanggalkannya dari kaki


Karena jika ia menanggalkannya kemudian mengenakannya kembali,
maka ia tidak memasukkan kedua kakinya dalam keadaan suci.

Catatan:
Habisnya masa dan menanggalkan kedua khuff membatalkan hukum ini
dengan sendirinya. Tidak boleh mengusap khuff hingga berwudhu dan
membasuh kedua kakinya lalu mengenakannya. Namun, jika dia dalam
keadaan memiliki wudhu ketika menanggalkannya atau habis masanya,
maka dia tetap dalam wudhunya. Dia boleh shalat dengan khuff selama
dia suka sampai dia berhadats.

Catatan:
Barangsiapa mengenakan sepasang kaos kaki dalam keadaan suci,
kemudian mengusapnya dan melepas bagian atasnya setelah mengusap,
maka boleh meneruskan masa berlakunya dengan mengusap bagian
bawahnya. Karena bisa dikatakan bahwa dia memasukkan kedua kakinya
dalam keadaan suci. Adapun jika mengenakan sebelah kaos kaki dan
mengusapnya, kemudian mengenakan kaos kaki sebelahnya yang belum
diusap, maka tidak boleh. Karena tidak bisa dikatakan bahwa dia
memasukkan keduanya dalam keadaan suci. [8]
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)

MANDI

Hal-hal Yang Mewajibkannya:


Keluar mani baik pada saat terjaga maupun saat tidur.

Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,:

 “Sesungguhnya air (mandi) itu disebabkan air (keluarnya mani)” (HR.Al-

Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi)

 Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma, berkata, “Wahai Rasulullah,

sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah seorang

wanita wajib mandi jika mimpi bersetubuh?” Beliau berkata, “Ya, jika dia

melihat air.”

 “Jika engkau memancarkan air (mani), maka mandilah karena junub. Jika

tidak memancarkannya, maka engkau tidak wajib mandi.” (Nailul Authar).

Asy-Syaukani berkata, yang dimaksud dengan memancarkan adalah

dengan melontarkan. Dan tidak mungkin terjadi bila tidak diikuti dengan

syahwat.

 Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapati basah

(bekas air mani) sedangkan dia tidak ingat apakah ia mimpi bersetubuh.

Beliau menjawab, ‘Dia wajib mandi.’ Dan tentang seorang laki-laki yang

mimpi bersetubuh namun tidak mendapati basah (bekas air mani). Beliau

menjawab, ‘Dia tidak wajib mandi”. (HR. Muslim). Maksudnya

barangsiapa mimpi bersetubuh dan tidak melihat adanya air mani, maka

dia tidak wajib mandi. Dan barang siapa melihat air mani, sedangkan dia

tidak ingat apakah dia mimpi bersetubuh, maka dia tetap wajib mandi.

Jima’ walaupun tidak mengeluarkan air mani


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

bersabda: “Jika ia telah duduk di antara keempat cabang istrinya,


Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
kemudian ia membuatnya kepayahan (kiasan untuk bersetubuh), maka ia

wajib mandi. Meskipun tidak keluar air mani.”

Masuk Islamnya orang kafir


Dari Qais bin ‘Ashim, ia menceritakan bahwa ketika masuk Islam, Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya mandi dengan air dan bidara. (HR

Bukhari, Muslim, Abu Dawud).

Terputusnya haidh dan nifas


Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa sallam berkata kepada Fathimah binti Abi Khubaisy:“Jika datang haidh,

maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah lewat, maka mandi dan shalatlah.”

(HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud).

Nifas menurut ijma’ ulama disamakan dengan haidh. Sehingga bila

seseorang selesai masa nifasnya, maka diwajibkan baginya untuk mandi

junub.

Hari Jum’at
Dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda:“Mandi hari Jum’at wajib bagi setiap orang yang telah baligh.”

(HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud).

Rukun-rukun dalam mandi:

1. Niat

2. Meratakan air pada seluruh badan

Tata cara yang disunnahkan ketika mandi:

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu, jika Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wasallam hendak mandi janabah (junub), beliau memulainya dengan:

1. Membasuh kedua tangan


2. Menuangkan air dari tangan kanan ke tangan kiri
3. Membasuh kemaluan
4. Berwudhu seperti wudhu untuk sholat
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
5. Mengambil air dan memasukkan jari-jarinya ke pangkal rambut sampai
dirasa cukup

6. Menuangkan air ke kepala 3 kali tuangan


7. Mengguyur seluruh badan
8. Membasuh kedua kakinya. (HR. Muslim, Shahih)
Dengan catatan:

Tidak wajib bagi seorang wanita mengurai rambutnya ketika mandi junub. Namun

hukumnya menjadi wajib bila mandi karena selesai haidh.

 Dalil yang menunjukkan bahwa tidak perlu mengurai rambut:

Dari Ummu Salamah dia berkata “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah

wanita berkepang dengan kepang yang sulit diurai. Apakah aku harus

mengurainya ketika mandi janabah? Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wasallam menjawab, “Tidak, cukuplah kamu menuangkan air 3 kali pada

kepalamu. Kemudian guyurkan pada seluruh tubuhmu. Maka sucilah engkau”

(HR. Muslim)

 Dalil yang menunjukkan mandi junub karena haidh:

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asma’ bertanya kepada Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi setelah selesai haidh. Beliau lalu

bersabda:

1. Hendaklah salah seorang dari kalian mengambil air dan bidaranya lalu

bersuci dengan sebaik-baiknya.

2. Kemudian mengucurkannya ke atas kepala dan menguceknya kuat-kuat

hingga ke pangkal kepalanya.

3. Lantas mengguyur seluruh badannya dengan air.

4. Setelah itu hendaklah ia mengambil secarik kapas yang diberi minyak

misk, lalu bersuci dengannya.”

Asma’ berkata, “Bagaimana cara dia bersuci dengannya?” Beliau berkata:

“Subhaanallaah, bersucilah dengannya.” ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata


Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
sambil seolah berbisik, “Ikutilah bekas-bekas darah itu dengannya.” (HR. Abu

Dawud).

Dalam dua hadist diatas terdapat perbedaan. Dimana untuk mandi haidh,

diperintahkan untuk menggosoknya dengan kuat karena dikhawatirkan air

tidak masuk kedalam pangkal rambut. Sementara untuk mandi junub, tidak

perlu diurai tidak apa-apa.

Mandi-mandi yang disunnahkan:

1. Mandi setiap selesai jima’.

Berdasarkan hadits Abu Rafi’: “Pada suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa sallam menggilir isteri-isterinya. Beliau mandi setiap selesai dari

fulanah dan dari si fulanah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda

tidak mandi sekali saja?” Beliau berkata, “Yang seperti ini lebih suci, lebih

baik, dan lebih bersih.”

2. Mandinya wanita mustahadh setiap akan shalat

Atau sekali mandi untuk shalat Zhuhur dan ‘Ashar (Zhuhur diakhirkan dan

‘Ashar diawalkan). Juga sekali mandi untuk shalat Maghrib dan ‘Isya’

(Maghrib diakhirkan dan ‘Isya’ diawalkan). Serta untuk Shubuh sekali

mandi.

3. Mandi setelah pingsan

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam sakit parah. Beliau lalu berkata, ‘Apakah orang-orang sudah shalat?’

Kami berkata, ‘Belum, mereka menunggu Anda, wahai Rasulullah.’ Beliau

berkata, ‘Letakkanlah air di bejana untukku.’ Kami pun melakukannya.

Beliau lalu mandi lantas bangkit dengan semangat. Namun beliau pingsan

lagi, lalu tersadar dan berkata, ‘Apakah orang-orang sudah shalat?’ Kami

berkata, ‘Belum. Mereka menunggu Anda, wahai Rasulullah.'” ‘Aisyah lalu

menyebutkan penisbatan hadits ini ke Abu Bakar dan kelanjutannya.


Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
4. Mandi setelah menguburkan orang musyrik

‘Ali bin Thalib Radhiyallahu anhu. Dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi

wa salalm dan berkata, “Sesungguhnya Abu Thalib telah meninggal dunia.”

Beliau berkata, “Pergi dan kuburkan dia.” Ketika aku telah

menguburkannya, aku kembali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau bersabda, “Mandilah.”

5. Mandi pada dua hari raya dan hari arafah

Seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ali Radhiyallahu anhu tentang mandi.

‘Ali menjawab, “Mandilah tiap hari jika kau suka.” Dia berkata, “Bukan,

maksud saya mandi yang benar-benar mandi (yang disyari’atkan dalam

agama).” Dia berkata, “(Mandi) hari jum’at, hari ‘Arafah, hari raya Qurban,

dan hari ‘Idul Fithri.”

6. Mandi setelah memandikan jenazah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa memandikan

mayat, maka hendaklah ia mandi.”

7. Mandi untuk ihram umrah dan haji

Berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, “Dia melihat Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas pakaian berjahit dan mengenakan

pakaian ihram) serta mandi untuk ihram.”

8. Mandi ketika memasuki Makkah

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa dia tidak mendatangi Makkah

kecuali bermalam di Dzu Thuwa hingga datang pagi dan dia pun mandi.

Kemudian dia memasuki Makkah pada siang hari. Dia menyebutkan bahwa

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya.


Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)

TAYAMUM

1. Landasan Persyari’atnya
“… dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu…” [Al-Maa-idah: 6]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya tanah


yang suci adalah sarana bersuci bagi seorang muslim. Meskipun ia tidak
menemukan air selama sepuluh tahun.” [1]

2. Sebab memperbolehkan tayamum


Tayammum diperbolehkan ketika tidak mampu menggunakan air, baik
disebabkan ketiadaannya atau karena dikhawatirkan parahnya penyakit yang
di derita, atau dingin yang menggigit.

Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kami bersama


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Beliau lalu
shalat mengimami kami. Tiba-tiba terlihat ada seorang pria yang menyendiri.
Lalu beliau bertanya, ‘Apa yang menghalangimu untuk shalat?’ Dia menjawab,
‘Saya sedang junub dan tidak mendapatkan air.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Gunakanlah tanah. Sesungguhnya itu mencukupimu.” [2]

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami keluar dalam sebuah


perjalanan. Salah seorang di antara kami terkena batu hingga kepalanya
terluka parah. Dia kemudian mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada para
sahabatnya, ‘Apakah kalian melihat adanya keringanan bagiku untuk
bertayammum?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkan keringanan
bagimu, sedang kau mampu menggunakan air.’ Kemudian dia mandi lalu wafat.
Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal itu diadukan
kepada beliau. Lalu beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya. Semoga
Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya jika memang tidak
tahu?! Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya. Sesungguhnya
cukuplah baginya untuk bertayammum.’” [3]

Dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika dia diutus dalam
perang Dzaatus Salaasil dia berkata, “Pada suatu malam yang sangat dingin,
aku mimpi basah. Aku merasa jika aku mandi maka aku akan celaka. Aku lalu
bertayammum kemudian menjadi imam shalat shubuh bagi para sahabatku.
Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
menceritakan hal itu kepadanya. Beliau berkata, ‘Wahai ‘Amr, kau mengimami
para sahabatmu dalam keadaan junub?’ Aku berkata, “Saya teringat firman
Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa


(membunuh) ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni
Neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.”
[Al-Maa-idah: 29]

Kemudian aku bertayammum dan shalat. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam tertawa dan tidak mengkritik sedikit pun.” [4]

3. Apakah yg dimaksud ash=Sha’iid


Dalam Lisaanul ‘Arab disebutkan: Ash-Sha’iid artinya tanah. Ada yang
menyatakan: tanah yang suci. Ada pula yang mengatakan: semua debu yang
suci. Dalam al-Qur-an: “… Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih)…” [Al-Maa-idah: 6]

Abu Ishaq berkata, “Ash-Sha’iid adalah permukaan bumi. Diwajibkan bagi


seseorang yang bertayammum untuk menepukkan kedua tangannya pada
permukaan bumi. Tidak perlu dipedulikan apakah pada tempat itu terdapat
debu atau tidak. Karena ash-Sha’iid bukanlah debu. Ia adalah permukaan
bumi. Baik debu atau selainnya. Dia melanjutkan, “Seandainya seluruh
permukaan tanah adalah batu yang tidak ada debu di atasnya. Lalu orang yang
hendak bertayammum menepukkan tangannya ke atas batu itu, maka hal itu
sudah menjadi penyuci baginya jika ia mengusapkan pada wajahnya.”

4. Tata cara Tayamum


Dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku junub dan tidak
memiliki air. Aku lantas berguling-guling di atas tanah lalu shalat. Kuceritakan
hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau berkata:
“Sesungguhnya, cukuplah kau lakukan begini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menepukkan kedua telapak tangannya ke atas tanah lalu meniupnya. Kemudian
beliau usap dengannya wajah dan kedua telapak tangan beliau.” [5]

Catatan:
Hukum asal tayammum adalah sebagai pengganti wudhu. Perkara-perkara
yang boleh dilakukan dengan wudhu juga boleh dilakukan dengan tayammum.
Diperbolehkan tayammum sebelum masuk waktu shalat sebagaimana wudhu
juga dibolehkan. Juga dibolehkan shalat sesuka hati dengan (sekali)
tayammum (selama tidak batal) sebagaimana shalat dengan wudhu.
Fiqih Al-Wajiz (T. Ari mardiah joban)
5. Hal-hal yg membatalkan Tayamum
“Sesungguhnya, cukuplah kau lakukan begini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menepukkan kedua telapak tangannya ke atas tanah lalu meniupnya. Kemudian
beliau usap dengannya wajah dan kedua telapak tangan beliau.” [5]

Catatan:
Hukum asal tayammum adalah sebagai pengganti wudhu. Perkara-perkara
yang boleh dilakukan dengan wudhu juga boleh dilakukan dengan tayammum.
Diperbolehkan tayammum sebelum masuk waktu shalat sebagaimana wudhu
juga dibolehkan. Juga dibolehkan shalat sesuka hati dengan (sekali)
tayammum (selama tidak batal) sebagaimana shalat dengan wudhu.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.


Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya…” [Al-Baqarah: 286]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kuperintah kalian


terhadap suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” [7]

Maka dengan al-Qur-an dan Sunnah, gugurlah semua kewajiban yang


seseorang merasa tidak mampu melakukannya. Kewajiban pengganti termasuk
syari’at. Sedangkan syari’at tidak mewajibkan sesuatu melainkan dengan al-
Qur-an dan Sunnah. Dan al-Qur-an dan Sunnah tidak menyebutkan bahwa
mengusap gips atau pengobatan sejenisnya adalah pengganti dari membasuh
anggota tubuh yang (secara medis) tidak bisa dibasuh. Maka gugurlah
pendapat tersebut. [8]

6. Dibolehkan Tayamum dengan Tembok


Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku dan ‘Abdullah bin Yasar,
mantan budak Maimunah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
menemui Abu Juhaim bin al-Harits bin ash-Shimmah al-Anshari. Lalu
berkatalah Abul Juhaim, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari arah
sumur Jamal [9]. Kemudian seorang laki-laki berjumpa dengannya dan
mengucap salam pada beliau. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menjawab salamnya hingga mendatangi sebuah tembok dan mengusap wajah
dan kedua tangannya. Setelah itu beliau menjawab salamnya’.” [10]

Anda mungkin juga menyukai