Anda di halaman 1dari 32

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung Akut


2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC), merupakan istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung dengan awitan yang
cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal jantung (Ponikowski dkk., 2016).
Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis yang
segera dan biasanya berujung pada hospitalisasi (Jessup dkk., 2009). Pada sebagian besar
kasus, gagal jantung akut terjadi sebagai akibat perburukan pada pasien yang telah terdiagnosis
dengan gagal jantung sebelumnya (baik gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang rendah/ heart
failure with reduced ejection fraction (HF-REF), maupun pada gagal jantung dengan fraksi
ejeksi yang masih baik/ heart failure with preserved ejection fraction (HF-PEF) (Jessup dkk.,
2009, Ponikowski dkk., 2016).
Presentasi klinis dari gagal jantung akut biasanya merefleksikan spektrum kondisi, dan
klasifikasinya memiliki batasan-batasan. Pasien dengan gagal jantung akut biasanya datang
dengan salah satu dari keenam kategori klinis berikut (Nunez dkk., 2015, Ponikowski dkk.,
2016):
• Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis/ADHF: biasanya terdapat
riwayat perburukan dari gagal jantung kronis dalam pengobatan, dan bukti dari
kongesti sistemik dan pulmoner. Tekanan darah rendah saat masuk biasanya
berhubungan dengan prognosis yang jelek. 

• Edema paru akut: pasien biasanya datang dengan distress pernafasan, takipneu dan
ortopneu, ronki basah halus sering ditemukan di seluruh lapang paru. Saturasi
oksigen arterial biasanya <90% dengan udara ruangan sebelum diberkan terapi
oksigen. 

• Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang disertai
peningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus simpatis dan vasokonstriksi.
Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik, dan
datang dengan tanda-tanda kongestif paru tanpa disertai kongesti sistemik. Respons
terhadap terapi medis biasanya cepat, dan tingkat kematian dirumah sakit biasanya
rendah.
• Renjatan kardiogenik (cardiogenic shock) didefinisikan sebagai bukti adanya

hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh gagal jantung setelah dilakukannya
koreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Biasanya renjatan kardiogenik
ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤90 mmHg, atau penurunan
cepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg) disertai dengan oliguria atau anuria
(<0.5 ml/kg /jam). Gangguan irama juga sering terjadi, dan bukti-bukti hipoperfusi
organ serta kongesti paru biasanya terjadi secara cepat. 

• Gagal jantung kanan teisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan curah jantung
(low output syndrome) tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan tekanan
vena juguler, dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri
yang rendah. 

• Gagal jantung akut pada sindroma koroner akut: banyak pasien datang dengan
gambaran klinis gagal jantung akut namun diserai bukti-bukti laboratorium dari
sindroma koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindroma koroner akut memiliki
tanda dan gejala gagal jantung akut, dan episode gagal jantung akut tersebut
biasanya berhubungan atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, fibrilasi atrium
atau takikardi ventrikel). 


2.1.2 Pathogenesis Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan neurohormonal


yang buruk dan mungkin diakibatkan oleh jejas pada miokard dan/ ginjal. Abnormalitas
tersebut mungkin dapat disebabkan karena iskemia, hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab
non kardiak lainnya (seperti insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan (Nunez
dkk., 2015). Beberapa mekanisme pathogenesis gagal jantung akut diantaranya adalah:

• Kongesti. Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri akan berakibat kongesti


pulmonal dan sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun merupakan
presentasi utama pada mayoritas pasien dengan gagal jantung akut (Ponikowski dkk.,
2016). Kongesti paru dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena pulmonalis
(peningkatan tekanan baji kapiler paru/ pulmonary capillary wedge pressure (PCWP))
dan akan berakibat edema interstisial dan alveolar paru. Kongesti sistemik
bermanifestasi secara klinis dengan distensi vena jugularis dengan atau tanpa edema
perifer dan peningkatan berat badan secara gradual sering ditemukan. Biasanya,
kongesti paru berat yang terjadi secara mendadak dipresipitasi oleh peningkatan
tekanan darah (afterload), terutama pada pasien dengan disfungsi diastolik. Gangguan
ginjal, abmormalitas berat dari neurohormonal dan endothelial, gangguan diet dan
beberapa obat-obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS) juga berkontribusi
terhadap kelebihan cairan (McCullough dan Jefferies, 2015).
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri yang tinggi, akan berkontribusi
terhadap progresifitas dari gagal jantung lebih lanjut dengan aktivasi neurohormonal,
iskemia subendokardial dan/ atau perubahan ukuran dan bentuk dari ventrikel kiri
(remodelling) yang pada akhirnya berakibat pada insufisiensi katup mitral
(Gheorghiade et al, 2006). Peningkatan tekanan vena sistemik (tekanan atrium kanan
bagian atas), lebih sering disebabkan karena tekanan jantung kiri yang tinggi/
pulmonary capillary wedge pressure (PCWP), yang akan berkontribusi pada terjadinya
sindroma kardio renal (SKR) (Jessup dkk., 2009, Sheerin dkk., 2014).
Berat badan biasa digunakan sebagai penanda adanya kongesti pada pasien
gagal jantung yang dirawat inap maupun rawat jalan. Bagaimanapun, beberapa
penelitian menyimpulkan hubungan yang kompleks antara berat badan, kongesti dan
keluaran pasien dengan gagal jantung (McCullough dan Jefferies, 2015).
• Cedera miokard. Pelepasan troponin sering terjadi pada kondisi gagal jantung akut,
terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Hal ini nampaknya
merefleksikan adanya cedera miokard, yang berhubungan dengan abnormalitas
hemodinamik dan/ atau neurohormonal atau sebagai akibat dari kejadian iskemia.
Cedera juga bisa terjadi sebagai akibat tingginya tekanan diastolik ventrikel kiri, yang
kemudian akan mengaktivasi stimulasi neurohormonal dan inotropik sehingga
berakibat kepada ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Verbrugge
dkk., 2013).
• Gangguan ginjal. Pada gagal jantung akut, abnormalitas ginjal akan menyebabkan
retensi natrium dan air. Gangguan struktural ginjal akibat hipertensi, diabetes dan
arteriosklerosis merupakan penyebab yang sering ditemukan, dan perburukan fungsi
ginjal terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut. Dari
penelitian akhir, 20% pasien akan mengalami perburukan fungsi ginjal segera setelah
pasien dipulangkan (Leelahavanichkul dkk., 2016). Perburukan selama perawatan atau
setelah pasien pulang mungkin diakibatkan karena penurunan curah jantung dan
peningkatan tekanan vena, yang diperparah dengan pemberian diuretik dosis tinggi
(Maisel dkk., 2016).
• Efek tidak langsung obat. Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama untuk
meringankan gejala kongestif. Bagaimanapun, efek menguntungkan tersebut
behubungan dengan abnormalitas elektrolit, aktivasi neurohormonal yang lebih lanjut
dan perburukan fungsi ginjal. Pemberian loop diuretik intravena dengan dosis besar
berhubungan dengan keluaran yang buruk pada pasien dengan gagal jantung. Namun,
hal ini mungkin suatu penanda dari keparahan dari gagal jantung itu sendiri,
dibandingkan dianggap sebagai penyebab peningkatan mortalitas. Dobutamin, milrinon
dan levosimendan akan meningkatkan profil hemodinamik, namun efek ini
berhubungan dengan peningkatan tingkat konsumsi oksigen miokard (takikardia dan
peningkatan kontraktilitas) dan hipotensi yang berhubungan dengan efek vasodilatasi.
Penurunan perfusi koroner yang berhubungan dengan hipotensi akan mengakibatkan
cedera miokard, terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang
sering memiliki miokardium yang mengalami hibernasi atau iskemia. Hipotensi yang
berhubungan dengan penggunaan vasodilator mungkin juga mengakibatkan
hipoperfusi miokardium dan ginjal sehingga menyebabkan cedera (Nunez dkk., 2015).

2.1.3 Diagnosis Gagal Jantung Akut

2.1.3.1. Tanda dan gejala


Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terjadi akibat retensi air dan natrium yang
biasanya akan membaik dengan cepat dengan pemberian terapi diuretik. Riwayat medis pasien
juga penting bagi penegakan diagnosis, dan gagal jantung tidak lazim terjadi pada pasien tanpa
adanya riwayat medis yang relevan, misalkan riwayat infark miokard yang akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya gagal jantung pada pasien dengan tanda dan gejala yang khas (Ronco
dkk., 2012, Shrestha dkk., 2012).

Setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan, sangatlah penting untuk menentukan


penyebabnya, terutama penyebab yang dapat dikoreksi. Gejala dan tanda merupakan hal
penting yang harus selalu dimonitor sebagai respon terapi dan tanda kestabilan pasien dengan
gagal jantung. Gejala yang menetap pada pasien dengan terapi gagal jantung biasanya
menandakan perlunya terapi tambahan, dan perburukan gejala membutuhkan penanganan
medis yang serius. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal jantung menurut ESC yang
dikeluarkan di tahun 2016.

Tabel 2.1. Tanda dan gejala tipikal gagal jantung (Ponikowski dkk., 2016).
Gejala Tanda
Tipikal Lebih spesifik
Sesak napas Peningkatan JVP
Ortopneu Reflek hepatojuguler
Paroksismal nocturnal dispneu Bunyi jantung 3 (gallop)
Penurunan toleransi aktivitas Impuls apical yang bergeser kelateral
Kelelahan, letih dan kebutuhan waktu
yang lebih banyak untuk istirahat Bising jantung
setelah aktivitas
Edema tungkai
Kurang tipikal Kurang spesifik
Batuk malam Edema perifer (tungkai, skrotal)
Mengi Krepitasi paru
Peningkatan berat badan >2kg/ minggu Efusi pleura
Penurunan berat badan (pada gagal
Takikardia
jantung lanjut)
Perasaan penuh Pulsasi irregular
Kurang nafsu makan Takipneu (>16 kali/ menit)
Bingung (terutama pada usia tua) Hepatomegali
Depresi Asites
Palpitasi Kakeksia
Sinkop

2.1.3.2. Uji Diagnostik

Ekokardiografi dan elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan penting untuk


menegakkan diagnosis gagal jantung. Ekokardiografi menyajikan informasi yang segera
mengenai volume ruang jantung, fungsi sistolik dan diastolik ventrikel, ketebalan otot, dan
fungsi katup (Palazzuoli dkk., 2012). Informasi ini penting dalam menentukan terapi yang
pantas untuk pasien (misal penyekat angiotensin converting enzyme (ACE) dan penyekat beta
untuk disfungsi sistolik atau operasi untuk stenosis aorta). EKG membantu untuk melihat irama
jantung dan konduksi elektrik, misal adanya penyakit sinoatrial, blok atrioventrikuler, atau
konduksi interventrikuler yang abnormal. Temuan ini juga penting untuk menentukan
penatalaksanaan (seperti kontrol irama untuk pasien dengan fibrilasi atrium, pemacuan untuk
bradikardia, dan terapi resinkronisasi jantung untuk pasien dengan left bundle branch block
(LBBB)). EKG juga menunjukkan bukti adanya hipertrofi ventrikel kiri atau gelombang Q
yang mengindikasikan adanya kehilangan miokardium yang viabel, yang membantu
memberikan bukti tentang kemungkinan etiologi dari gagal jantung (Jessup dkk., 2009).

Informasi yang disajikan oleh 2 pemeriksaan ini sudah mampu untuk menegakkan
diagnosis kerja dan perencanaan manajemen bagi mayoritas pasien. Pemeriksaan biokimiawi
dan hematologi rutin juga penting, sebagai bagian apakah penyekat sistim renin angiotensin
aldosterone (SRAA) dapat dimulai secara aman (dengan pemeriksaan fungsi ginjal dan kalium)
dan untuk mengekslusi adanya anemia (yang mirip atau dapat memperburuk gagal jantung).
Pemeriksaan penunjang lain secara umum hanya diperlukan bila diagnosis belum bisa
ditegakkan (misal bila gambaran ekokardiografi suboptimal, atau jika terdapat kausa gagal
jantung yang tidak umum) atau jika ada indikasi untuk mengevaluasi lebih jauh penyebab yang
mendasari masalah jantung pasien (misal pencitraan perfusi atau angiografi pada pasien dengan
kecurigaan PJK atau endomiokardial biopsi pada beberapa penyakit miokard (Jessup dkk.,
2009).
2.1.3.3. Peptida natriuretik

Tanda dan gejala gagal jantung dapat tidak spesifik. Banyak pasien yang dicurigai
mengalami gagal jantung dilakukan pemeriksaan ekokardiografi, namun ternyata tidak
memiliki abnormalitas dalam struktur jantung. Ketika kemampuan ekokardiografi menjadi
terbatas, pendekatan lain untuk mendiagnosis adalah dengan memeriksa konsentrasi peptida
natriuretik darah, keluarga hormon yang disekresikan berlebih bila terjadi jejas pada jantung
atau beban pada salah satu ruang jantung mengalami peningkatan (misal pada fibrilasi atrium,
emboli paru dan beberapa kondisi non- kardiak termasuk gagal ginjal). Kadar peptida
natriuretik juga akan meningkat seiring dengan usia, namun dapat menurun pada pasien dengan
obesitas. Kadar peptida natriuretik yang normal pada pasien yang belum tertangani secara
nyata mengeksklusi adanya penyakit jantung, yang akan menyebabkan pemeriksaan
ekokardiografi tidak diperlukan lagi (investigasi penyebab non-kardiak mungkin lebih
produktif pada pasien ini) (Emdin dkk., 2009, Gaggin dan Januzzi, 2013, Maisel dkk., 2016).

Banyak penelitian telah meneliti batas konsentrasi untuk mengeksklusi gagal jantung
untuk dua macam peptida natriuretik yang biasa digunakan, B-type natriuretic peptide (BNP)
dan N-terminal pro B-type natriuretic peptide (NT-proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada
pasien yang datang dengan awitan akut atau perburukan gejala dan pada pasien dengan awitan
yang lebih gradual. Untuk pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala, nilai optimal
untuk mengeksklusi adalah 300 pg/mL untuk NT-pro BNP dan100 pg/mL untuk BNP. Untuk
pasien non akut, nilai optimal untuk mengeksklusi adalah 125 pg/mL untuk NT-proBNP dan
35 pg/mL untuk BNP. Sensitifitas dan spesifisitas dari BNP dan NT-proBNP untuk diagnosis
gagal jantung juga lebih rendah pada pasien-pasien non akut (Emdin dkk., 2009, Iqbal dkk.,
2012).
2.1.3.4. Foto Thoraks

Foto thoraks memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis dari pasien dengan
kecurigaan gagal jantung. Hal ini mungkin sangat berguna dalam mengidentifikasi alternatif
keterlibatan paru untuk tanda dan gejala pasien. Pemeriksaan ini akan menunjukkan kongesti
vena pulmonalis atau edema pada pasien dengan gagal jantung. Penting untuk dicatat bahwa
disfungsi sistolik ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran kardiomegali pada
foto thoraks (Ponikowski dkk., 2016).
2.1.3.5. Pemeriksaan Rutin Laboratorium
Sebagai tambahan untuk pemeriksaan biokimiawi (natrium, kalium, kreatinin, laju
filtrasi gromerolus/ estimated glomerular filtration rate (eGFR)) dan hematologis standar
(hemoglobin, hematocrit, ferritin, leukosit dan platelet), sangatlah berguna untuk memeriksa
kadar hormon penstimulasi tiroid, dikarenakan penyakit tiroid dapat menyerupai atau
memperburuk gagal jantung. Kadar gula darah juga penting untuk diperiksa dalam penegakkan
diagnosis (Ponikowski dkk., 2016).

2.1.4. Tatalaksana Gagal Jantung Akut: Fokus pada Loop Diuretik

2.1.4.1. Loop Diuretik

Obat-obatan diuretik berfungsi untuk mempengaruhi fisiologi ginjal untuk


meningkatkan produksi urin dan ekskresi sodium yang lebih bermakna (natriuresis). Diuretik
telah lama digunakan untuk manajemen gagal jantung simtomatik dengan retensi cairan,
sebagai tambahan terapi standar seperti ACE inhibitor. Dalam kasus hipertensi, diuretik
direkomendasikan untuk terapi lini pertama, terutama setelah sebuah uji meta analisis
menemukan bahwa diuretik dosis rendah merupakan terapi paling efektif sebagai lini pertama
untuk mencegah komplikasi kardiovaskular (Shrestha dkk., 2012, Tung dkk., 2015).

Seluruh loop diuretik, bekerja dengan berikatan pada kotransporter Na+-K+-2Cl pada
bagian tebal lengkung Henle ascenden. Segmen ini bertanggung jawab untuk
mengkonsentrasikan urin, dan pengangkatan solute dari area ini akan menghasilkan cairan
interstisium medulla ginjal yang hipertonis, yang berfungsi sebagai kekuatan osmotik sehingga
akan terjadi reabsorrbsi air pada duktus kolektivus. Penghambatan proses reabsorbsi dengan
loop diuretik inilah yang akan mengganggu kemampuan ginjal untuk menghasilkan urin
terkonsentrasi yang menyebabkan natrium klorida dan ion kalium tetap berada intralumen dan
akan hilang didalam urin. Selain itu, furosemide memiliki efek venodilatasi yang bertujuan
untuk mengurangi preload pada gagal jantung kiri akut dalam waktu 5 hingga 15 menit,
mekanisme yang mendasari hal ini kemungkinan, terjadi akibat kejadian ikutan paska
vasokonstriksi reaktif (Tung dkk., 2015).

Seluruh loop diuretik secara umum berikatan dengan albumin serum (>95%), dan
sebagai konsekuensinya, untuk mendapat akses menuju tempat aksinya, loop diuretik harus
melalui sekresi aktif menuju lumen tubulus melalui transporter anion organik probenecid-
sensitif yang berlokasi di tubulus proksimal. Proses ini mungkin akan menjadi lambat pada
kondisi dimana terjadi peningkatan asam organik endogen seperti pada GGK dan penggunaan
obat-obatan yang juga menggunakan transporter yang sama, diantaranya salisilat dan OAINS
(Jessup dkk., 2009).
Perubahan hemodinamik spesifik pada mikrosirkulasi sistemik dan ginjal terjadi setelah
pemberian loop diuretik. Pertama-tama, pemberian secara intravena akan menstimulasi SRAA
di makula densa, yang akan mengakibatkan vasokonstriksi, peningkatan afterload, dan
penurunan aliran darah ginjal. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya respons terhadap
dosis inisial. Respons fase kedua akan terjadi pada 5-15 menit setelahnya dan ditandai dengan
peningkatan pelepasan vasodilator prostaglandin oleh ginjal, yang akan menyebabkan
venodilatasi dan penurunan preload dan tekanan pengisian ventrikel, hal inilah yang
menyebabkan terjadinya perbaikan gejala walaupun efek diuresis belum tejadi. Dengan
pemberian furosemide jangka panjang, akan terjadi proses adaptasi kronis yang dikenal sebagai
efek “braking”, perubahan ini merupakan kompensasi alami dalam menjaga volume
intravaskuler, yang kemudian akan menyebabkan toleransi terhadap efek diuretik. Toleransi
diuretik harus dibedakan secara klinis dari resistensi diuretik yang lebih tepat merujuk pada
yang terjadi bersamaan dengan kondisi patologis seperti gagal ginjal, sindroma nefrotik, gagal
jantung kongestif dan sirosis (Palazzuoli dkk., 2012, Ponikowski dkk., 2016).

2.1.4.2. Furosemide pada Gagal Jantung Akut dan Pengaruhnya terhadap Fungsi Ginjal
Diuretik sangat berguna pada manajemen jangka panjang pasien dengan gagal jantung
kronis stabil yang memiliki kecenderungan pola penambahan berat badan secara terus menerus
(kelebihan cairan) walaupun telah patuh dengan diet rendah natrium. Diuretik juga berguna
pada pasien dengan ADHF dimana furosemide merupakan komponen kritikal yang harus ada
pada manajemen tata laksana. Gagal jantung ringan, biasanya memiliki respon yang
menjanjikan terhadap diet rendah natrium (50-100 mmol/ hari) dan diuretik tiazid dosis rendah.
Namun, saat terjadi perburukan gagal jantung, GFR juga akan mengalami penurunan dan
pasien akan kurang responsif terhadap dosis konvensional diuretik tiazid, yang biasanya terjadi
saat GFR <30 mL/menit. Dosis loop diuretik yang lebih besar dan frekuen, ditunjang dengan
diet rendah natrium yang ketat mungkin diperlukan pada pasien dengan gagal jantung yang
progresif (Nunez dkk., 2015).

Karena adanya gangguan pada farmakokinetik dan farmakodinamik diuretik, pasien


dengan gagal jantung biasanya memiliki resistensi terhadap obat-obatan diuretik. Resistensi
diuretik pada evaluasi pasien gagal jantung dapat dilakukan dengan penghitungan intake
natrium dan air dalam diet harian. Yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis resistensi
diuretik adalah memastikan kepatuhan pasien dalam meminum dosis obat diuretik, dan pasien
tidak meminum obat yang dapat menganggu aksi dari diuretik seperti OAINS (Martensson dan
Bellomo, 2014).

Walaupun telah banyak pengalaman klinis penggunaan furosemide dalam kasus gagal
jantung, data prospektif untuk penggunaannya tidaklah kuat, dan panduan terbaru gagal
jantung hanya berdasarkan opini para ahli. Sebagai hasilnya, praktek klinis dilapangan
sangatlah bervariasi tanpa memandang jalur pemberian dan dosis. Loop diuretik dosis tinggi
mungkin memiliki efek yang membahayakan, termasuk aktivasi dari SRAA, sistem saraf
simpatis, gangguan elektrolit dan perburukan fungsi ginjal. Sebagai tambahan beberapa studi
obervasional juga telah menunjukkan hubungan antara diuretik dosis tinggi dan keluaran klinis
yang tidak diinginkan, termasuk gagal ginjal, progresifitas gagal jantung dan kematian.
Beberapa observasi memang saling tumpang tindih, apakah diuretik dosis tinggi lebih merujuk
sebagai penanda keparahan penyakit yang lebih berat atau lebih kepada mediator terjadinya
efek yang tidak diinginkan.
Gambar 2.1. Kurva Kaplan-Meier untuk gabungan titik akhir klinis dari kematian, rehospitalisasi, atau
kunjungan perawatan gawat darurat dalam jangka waktu 60 hari (Felker dkk., 2011).

Selain ketidakpastian dosis, pemberian furosemide pada ADHF juga mengalami


ketidakpastian dalam metode pemberian yang paling optimal. Data farmakologis dan
farmakodinamik menyatakan bahwa ada keuntungan potensial dari pemberian intravena secara
kontinyu bila dibandingkan dengan bolus intermiten. Pada keadaan yang tidak menentu ini,
Birhan Yilmaz dan kawan-kawan ditahun 2011, telah meneliti efek dosis terhadap kematian
jangka pendek, dan tidak didapatkan perbedaan signifikan terhadap keluaran pada pemberian
dosis tinggi (>1mg/ kg/ 24 jam) dibanding pada pemberian dosis rendah. National Heart, Lung,
and Blood Institute juga telah melakukan sebuah studi untuk mengevaluasi strategi optimalisasi
diuretik pada pasien ADHF dihubungkan dengan keluaran jangka panjang terhadap keluaran
klinis dan penanda fungsi ginjal. Hasil studi ditampilkan dalam bentuk kurva Kaplan-Meier
untuk gabungan titik akhir klinis dari kematian, rehospitalisasi, atau kunjungan perawatan
gawat darurat dalam jangka waktu 60 hari. Pasien yang mendapatkan bolus tiap 12 jam
dibandingkan dengan pasien degan pemberian kontinyu (panel A) dan pada grup yang
mendapatkan dosis rendah diuretik (ekuivalen dengan dosis harian pasien) dibandingkan
dengan kelompok yang mendapat diuretik dosis tinggi (2.5 kali dosis oral harian) (panel B)
(Gambar 2.1). Studi tersebut menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan signifikan baik
pada pemberian diuretik bolus intermiten atau kontinyu dan pemberian dosis tinggi maupun
dosis rendah (Felker dkk., 2011, Oh dan Han, 2015).
2.1.5. Prognosis

Pasien gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu
randomized trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami
dekompensasi, mortalitas 600 hari adalah 9,6%, dan apabila dikombinasi dengan perawatan
ulang 60 hari menjadi 35,2%. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang
disertai gagal jantung berat, dengan mortalitas 30% dalam 12 bulan. Pada pasien edema paru
akut, angka kematian di rumah sakit 12%, dan mortalitas 1 tahun 40% (Jessup dkk., 2009,
Fuernau dkk., 2015).

Prediktor mortalitas tinggi antara lain tekanan baji kapiler paru (Pulmonary Capillary
Wedge Pressure) yang tinggi, sama atau lebih dari 16 mmHg, kadar natrium yang rendah,
dimensi ruang ventrikel kiri yang meningkat, dan konsumsi oksigen puncak yang rendah.
Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling
tidak dua kali dalam 12 bulan pertama (Jessup dkk., 2009).

2.1.6. Penanda Biokimiawi pada Gagal Jantung

Pasien gagal jantung akut biasanya datang ke unit gawat darurat dengan manifestasi
klinis dari retensi cairan, kongesti paru, edema perifer, penurunan kapasitas latihan, dyspnea
dan cepat lelah. Akan tetapi, gejala dan tanda klinis ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas
diagnostik yang rendah. Meskipun terjadi perkembangan yang pesat dalam terapi, prognosis
pasien-pasien dengan gagal jantung tergolong buruk. Hal ini sebagian disebabkan oleh
kompleksitas pathogenesis gagal jantung yang tidak hanya disebabkan oleh peningkatan beban
tekanan atau volume yang berlebihan disertai dengan cedera miokard, tetapi juga melibatkan
interaksi dari: komponen genetik, neurohormonal, inflamasi dan perubahan biokimia yang
mempengaruhi kardiomiosit, interstisium atau kedua komponen tersebut (Cruz dkk., 2012, de
Boer dkk., 2015).

Pada beberapa dekade terakhir, studi-studi mengenai penanda biokimiawi pada gagal
jantung mulai berkembang untuk memprediksi onset dan progresifitas dari gagal jantung,
membantu diagnosis, stratifikasi risiko, pemantauan terapi maupun sebagai penanda awal
kerusakan pada target organ akibat komplikasi dari gagal jantung yang diharapkan dapat
membantu mengoptimalkan tatalaksana dan memperbaiki prognosis pasien bahkan
membalikkan proses pathogenesis gagal jantung kembali ke kondisi normal. Hal ini didukung
oleh studi-studi klinis dan eksperimental terbaru yang memperlihatkan kecenderungan
perbaikan abnormalitas struktural dan fungsional intrinsik jantung apabila diberikan terapi
pada fase awal dari abnormalitas tersebut. Diagnosis dini gagal jantung tentunya memerlukan
ketersediaan penanda/marker penyakit yang spesifik, akurat dan efektif. Beberapa studi
menyatakan bahwa penanda biokimiawi lebih sensitif dibandingkan dengan ekokardiografi
pada beberapa kondisi klinis tertentu. Penanda biokimiawi ini dapat berupa enzim, hormon,
substansi biologis, dan penanda stres kardiak, gangguan fungsi maupun cedera miosit jantung
(de Boer dkk., 2015).

Morrow dan de Lemos menyatakan tiga kriteria yang sebaiknya dipenuhi oleh penanda
biokimiawi agar bermanfaat secara klinis, yaitu: 1) dapat dilakukan pengukuran yang akurat
dan berulang dengan biaya terjangkau dan waktu perputaran yang singkat; 2) penanda
biokimiawi harus memberikan informasi yang tidak segera didapat dari pemeriksaan klinis;
dan 3) nilai pengukuran dapat membantu dalam penentuan tatalaksana pasien. Meskipun
penanda biokimiawi yang memenuhi ketiga kriteria di atas relatif sedikit, akan tetapi sebagian
besar penanda biokimiawi lainnya memberikan informasi yang penting mengenai pathogenesis
dan indentifikasi populasi pasien yang berisiko untuk terjadinya gagal jantung, memprediksi
onset dan progresifitas dari gagal jantung, membantu diagnosis, stratifikasi risiko, pemantauan
terapi maupun sebagai penanda awal kerusakan pada target organ akibat komplikasi dari gagal
jantung. Banyak penanda biokimiawi tersebut yang mungkin berperan dalam pathogenesis
penyakit yang berpotensi sebagai target terapi (Gaggin dan Januzzi, 2013).
Secara umum, penanda biokimiawi dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu: 1)
penanda biokimiawi molekuler, yaitu penanda biokimiawi yang diperiksa melalui tes
laboratorium (seperti peptida natriuretik dan troponin); 2) penanda biokimiawi fungsional,
yaitu penanda biokimiawi yang berhubungan dengan signaling, pencitraan dan tes fungsional;
dan 3) penanda biokimiawi genetik yang berhubungan dengan polimorfisme genetik dan tes
genomik lainnya. Lebih lanjut, penanda biokimiawi pada gagal jantung dapat diklasifikasikan
berdasarkan keterlibatannya dalam pathogenesis dan progesivitas gagal jantung, yaitu penanda
biokimiawi yang berperan dalam: 1) respon neuro hormonal dan auto/parakrin terhadap
kerusakan jantung yang berasal dari sistem sirkulasi koroner dan sistemik, kelenjar hipofisis,
tiroid dan adrenal; 2) nekrosis atau apoptosis sel otot jantung; 3) inflamasi, disfungsi endotel,
cedera dan remodelling matriks ekstraseluler; 4) tes genetik untuk menilai risiko kardiomiopati
dan respon terhadap pengobatan; 5) kaheksia, yang merupakan penanda fase lanjut dari gagal
jantung; 6) komorbiditas, khususnya gagal ginjal yang merupakan faktor prognostik yang
buruk pada gagal jantung, interaksi kedua kondisi tersebut dikenal dengan istilah sindroma
kardio renal (specific disease within a disease). Jenis-jenis penanda biokimiawi pada gagal
jantung ini diperlihatkan pada gambar 2.2. Peningkatan regangan dinding ventrikel adalah
peristiwa awal yang menyebabkan pelepasan biomarker yang dapat diukur untuk memantau
tingkat keparahan penyakit dan cedera miokard yang sedang berlangsung. Studi-studi yang
berkembang saat ini telah menunjukkan bahwa proses patofisiologi yang kompleks pada pasien
gagal jantung, dapat dipahami secara lebih baik dengan memantau aktivitas biomarker (Emdin
dkk., 2009).

Gambar 2.2 Skema representasi pelepasan berbagai biomarker dari organ-organ pada pasien dengan
gagal jantung (Emdin dkk., 2009).

2.2 Acute Kidney Injury

2.2.1 Definisi dan Kriteria Diagnosis


Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA,
acute renal failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam
15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insiden. Beberapa laporan dunia menunjukkan
insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat
di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif, dengan angka
kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80% (Cole dkk., 2012,
Martensson dan Bellomo, 2014).
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI
“klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas disebut
sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter
dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepus-
takaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil
penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien (Cole dkk., 2012).

Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap
lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi definisi AKI
menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap
penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi
prognosis penderita; (Epstein dkk.) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda
yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr
serum; (4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat
belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat
dilakukan di mana saja. ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE
yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang
menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada gambar 2.3 (Lopes dan
Jorge, 2013).

Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan


kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan penyakit
dan prediksi mortalitas. Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah
kolaborasi nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE
(tabel 2.2). AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan (1) kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi
AKI karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan peningkatan angka kematian 4 kali
lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5); (2) penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi
ginjal secara akut, disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam
kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan kadar Cr serum;
(Epstein dkk.) semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan
dalam AKI tahap 3; (4) pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi
karena penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis. Dengan
beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai
dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE pada kriteria RIFLE menggambarkan
hasil klinis (outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan. Klasifikasi AKI menurut
AKIN dapat dilihat pada tabel 2. Sebuah penelitian yang bertujuan membandingkan
kemanfaatan modifikasi yang dilakukan oleh AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal
menunjukkan peningkatan sensitivitas, dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN
dibandingkan dengan kriteria RIFLE (Lopes dan Jorge, 2013, Sharifipour dkk., 2013).

Gambar 2.3. Kriteria AKI menurut klasifikasi RIFLE (Sharifipour dkk., 2013).
Tabel 2.2. Kriteria AKI menurut Klasifikasi AKIN (Lopes dan Jorge, 2013).

Stadium Kreatinin serum Urin Output

1,5-1,9 kali dari awal


Atau <0,5 mL/kg/jam selama
1
Peningkatan ≥0,3 mg/dL (≥26,5 6-12 jam
μmol/ L)
<0,5mL/kg/jam selama
2 2,0-2,9 kali dari awal
≥12 jam
3,0 kali dari awal
Atau
Peningkatan kreatinin serum ≥
4,0mg/dL (≥353,6 μmol/L) < 0,3 mL/kg/jam ≥12
Atau jam
3 Penggunaan renal replacement Atau
therapy/ CRRT
Atau
pada pasien Anuria selama >12 jam
<18 tahun, dengan penurunan
eGFR hingga <35 mL/min per 1,73
m2

2.2.2 Klasifikasi Etiologi


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni:
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal, ~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik, ~40%); penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal, ~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat
pada tabel 2.3 (Sharifipour dkk., 2013).

Pada sebuah studi di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama pengamatan tahun
2005-2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis (42%), disusul
dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik (PGK) (8%), luka bakar dan
gastroenteritis akut (masing-masing 3%) (Roesli dkk., 2007).
Tabel 2.3 Klasifikasi penyebab AKI (dimodifikasi) (Lopes dan Jorge, 2013).

AKI Prarenal

I. Hipovolemia
- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular 
Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia,
obstruksi 
usus
- Kehilangan darah 

- Kehilangan cairan ke luar tubuh 
Melalui saluran cerna (muntah, diare, drainase), melalui saluran k e m i h (diuretik,
hipoadrenal, diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar) 

II. Penurunan curah jantung
- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati 

- Penyebab perikard: tamponade 

- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal 

- Aritmia 

- Penyebab katup jantung 

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik
- Penurunan resistensi vaskular perifer 
Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan 
(contoh:
barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi) 

- Vasokonstriksi ginjal 
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus, 
amphotericin B 

- Hipoperfusi ginjal lokal 
Stenosis a.renalis, hipertensi maligna 

IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal
- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen
Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik,
PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi
tor), vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus,
radiokontras) 

- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen 

- Penggunaan penyekat ACE, ARB 

- Stenosis a. renalis 

V. Sindrom hiperviskositas

- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia 


AKI Renal/intrinsik

I. Obstruksi renovaskular
- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, 
diseksi aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis
(trombosis, 
kompresi) 

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal 

- Glomerulonefritis, vaskulitis
III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)
- Iskemia (serupa AKI prarenal) 

- Toksin 

- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, 
pelarut organik, asetaminofen), endogen
(rabdomiolisis, hemo- 
lisis, asam urat, oksalat, mieloma) 

IV. Nefritis interstitial 

- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bak- teri, viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia,
sarkoidosis), idiopatik
V. Obstruksi dan deposisi intratubular

- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamide
VI. Rejeksi alograf ginjal

AKI Pascarenal

I. Obstruksi ureter
- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi 
eksternal 

II. Obstruksi leher kandung kemih 

- Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu, kegana- san, darah
III. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis
2.2.3 Penanda Biokimiawi Acute Kidney Injury
Disfungsi ginjal merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien gagal jantung dan
merupakan faktor prognostik bebas yang kuat dalam menilai kejadian yang tidak diinginkan.
Prevalensinya meningkat pada pasien yang datang dengan gagal jantung yang lebih berat.
Hospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung akut berhubungan dengan perburukan fungsi
ginjal lanjut pada 30- 50% pasien, dan hal ini berhubungan dengan pemanjangan lama rawat
inap, peningkatan biaya kesehatan dan kejadian rawat ulang, serta kematian setelah pasien
pulang (Shemin dan Dworkin, 2011, Verbrugge dkk., 2013, Tung dkk., 2015). Pada tahun
2012, sebuah penelitian yang dilakukan Breidthardt dan kawan-kawan, kejadian AKI sudah
mulai terjadi sejak pasien masuk perawatan gawat darurat pada sekitar sepertiga pasien dengan
ADHF yang akan terdeteksi saat pasien dirawat dirumah sakit. Sekitar 50% pasien dengan AKI
tersebut akan memenuhi kriteria AKI dalam waktu 48 jam pertama dirumah sakit, dan hanya
minoritas yang akan mengalami AKI setelah 48 jam (gambar 2.4) (Breidthardt dkk., 2012) .

Gambar 2.4. Grafik waktu kejadian AKI pada kondisi gagal jantung dekompensasi akut
(Breidthardt dkk., 2012).

2.2.3.1 Kreatinin Serum

Diagnosis dari AKI biasanya didasari baik dari peningkatan kreatinin serum, penurunan
glomerular filtration rate (GFR) atau deteksi adanya oliguria yang dinilai memiliki beberapa
kelemahan. Menurut kriteria AKIN, AKI didefinisikan sebagai peningkatan kadar kreatinin
serum ≥ 0.3 mg/dL dalam waktu 48 jam, atau peningkatan kadar kreatinin serum ≥ 1,5 kali dari
awal dalam jangka waktu 7 hari perawatan, atau produksi urin < 0.5 cc/kg berat badan/jam
selama 6 jam. Kreatinin serum merupakan penanda yang buruk dalam mendeteksi disfungsi
ginjal tahap awal, dikarenakan: 1) konsentrasi serum sebagian besar dipengaruhi oleh faktor-
faktor non ginjal, seperti berat badan, ras, usia, jenis kelamin, volume total tubuh, obat-obatan,
metabolism otot dan intake protein; 2) tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe
kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan glomerulus atau tubulus); 3) tidak sensitif
karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan tidak baik
dipakai sebagai parameter pemulihan (Breidthardt dkk., 2012).

Penggunaan kreatinin serum bahkan lebih buruk dalam mendeteksi AKI, dikarenakan
pasien tidak dalam kondisi basal, kreatinin serum akan jauh lebih tertinggal setelah terjadinya
cedera ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum tidak
mampu dimonitor hingga 48 -72 jam paska terjadinya kerusakan awal di ginjal. Sebagai
tambahan, penyakit ginjal signifikan dapat terjadi dengan perubahan kreatinin yang minimal
atau bahkan tidak mengalami perubahan, dikarenakan karena adanya kemampuan ginjal untuk
meningkatkan sekresi tubular dari kreatinin, atau faktor-faktor lain. Penghitungan LFG
menggunakan rumus berdasarkan kadar Cr serum merupakan perhitungan untuk pasien dengan
PGK dengan asumsi kadar Cr serum yang stabil. Perubahan kinetika Cr yang cepat terjadi tidak
dapat “ditangkap” oleh rumus-rumus yang ada. Penggunaan kriteria produksi urin tidak
menyingkirkan pengaruh faktor prarenal dan sangat dipengaruhi oleh penggunaan diuretik
(Lopes dan Jorge, 2013, Sharifipour dkk., 2013).

Keseluruhan keadaan tersebut menggambarkan kelemahan perangkat diagnosis yang


ada saat ini, yang dapat berpengaruh pada keterlambatan diagnosis dan tata laksana sehingga
dapat berpengaruh pada prognosis penderita. Sebuah penanda biokimiawi dari AKI yang
mudah untuk dihitung, tidak terpengaruh oleh variabel biologis lain, dan memungkinkan untuk
dilakukannya deteksi dini dan stratifikasi resiko akan sangat membantu dalam penegakan
diagnosis AKI (Sharifipour dkk., 2013).

American Society of Nephrology telah menetapkan pengembangan penanda biokimiawi


sebagai pendeteksi dini kejadian AKI sebagai prioritas. Beberapa penanda biokimiawi AKI
telah berhasil diidentifikasi selama beberapa tahun terakhir dimana dapat meningkat pada
kondisi cedera iskemia ginjal baik pada hewan coba maupun pada manusia dengan klinis AKI
(Sharifipour dkk., 2013). Kemampuan penanda biokimiawi untuk memprediksi AKI telah
diteliti secara intens pada beberapa kondisi klinis. Dalam menginterpretasikan hasil
pemeriksaan penunjang, penting untuk menentukan apakah pemeriksaan tersebut berguna
dalam mengkonfirmasi diagnosis AKI pada pasien yang sudah mengalami AKI, atau sebagai
prediktor awal pada pasien yang sedang mengalami AKI. Hal tersebut merupakan dua entitas
yang memiliki dampak klinis yang berbeda. Dalam aplikasi klinis penanda biokimiawi,
penanda tersebut harus mampu membuktikan dapat lebih akurat dibandingkan baku emas
pemeriksaan dengan menggunakan kreatinin serum (Breidthardt dkk., 2012).

Terdapat empat kategori utama dari penanda biokimiawi AKI yang beberapa banyak
diteliti sebagai penanda diagnosis awal dari AKI (tabel 2.4). Berdasarkan penelitian fase 2 dan
3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial
untuk membedakan penyebab AKI; NGAL, IL-18, GST-π , dan γ-GST merupakan penanda
potensial diagnosis dini AKI; NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi
kematian setelah AKI (Torregrosa dkk., 2015).

Tabel 2.4. Penanda biokimiawi AKI (Torregrosa dkk., 2015).

Tipe Penanda Biokimiawi Penanda Biokimiawi

Penanda fungsional Kreatinin serum dan plasma, Cystatin-C


serum

Protein upregulated NGAL, KIM-1, L-FABP dan IL-18

Protein dengan berat molekul rendah Cystatin-C urine

Enzym NAG, -GST, -GST dan AP

Cystatin-C, cystatin-C; NGAL, neutrofilin gelatinase associated lipocalin; KIM-1, kidney injury
molecule-1; L-FABP, Liver fatty acid binding protein; α-GST,Alpha-glutathiones-transferase; π-GST,
pi-glutathiones-transferase; AP, alkaline phosphatase.

2.2.4Acute Kidney Injury pada Gagal Jantung Akut

2.2.4.1 Sindroma Kardio Renal

Banyak pasien yang datang ke rumah sakit dengan menderita gangguan jantung dan
ginjal dalam berbagai tingkat keparahan. Interaksi antara organ tersebut memiliki fungsi yang
sangat penting dalam menjaga stabilitas hemodinamik seperti pengaturan volume darah dan
tonus vaskuler. Ganguan utama salah satu dari kedua organ ini akan menghasilkan disfungsi
atau jejas sekunder pada organ lainnya. Interaksi tersebut merepresentasikan sebuah dasar
patofisiologi untuk sebuah entitas klinis yang biasa disebut dengan sindroma kardiorenal
(SKR). Walaupun secara umum didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai dengan inisiasi
dan/ atau progresifitas dari insufisiensi ginjal sebagai akibat sekunder dari gagal jantung, istilah
SKR juga digunakan untuk mendiskripsikan efek negatif akibat berkurangnya fungsi ginjal
pada jantung dan sistem sirkulasi (Cruz dkk., 2012, Latini dkk., 2016).

Ronco dan kawan-kawan pada tahun 2008, telah membagi SKR berdasarkan kejadian
alamiah terjadinya interaksi bidireksional antara jantung dan ginjal menjadi 5 subtipe yang
merefleksikan patofisiologi sesuai alur waktu dari disfungsi jantung dan ginjal yang
konkomitan. Secara umum, SKR dapat didefinisikan sebagai gangguan patofisiologis dari
jantung dan ginjal, dimana disfungsi akut ataupun kronis salah satu organ tersebut dapat
menginduksi disfungsi akut atau kronis organ yang lain. SKR tipe 1 merefleksikan perburukan
mendadak fungsi jantung (misal pada renjatan kardiogenik dan ADHF yang mengakibatkan
cedera ginjal akut AKI. SKR tipe 2 merupakan abnormalitas kronis jantung (misal pada gagal
jantung kongestif kronik) yang menyebabkan gagal ginjal kronis progresif. SKR tipe 3
merupakan perburukan fungsi ginjal yang mendadak yang menyebabkan disfungsi jantung
akut, seperti aritmia, iskemia dan gagal jantung. SKR tipe 4 dideskripsikan sebagai kondisi
gagal ginjal kronis yang berkontribusi kepada penurunan fungsi, hipertrofi jantung dan/ atau
peningkatan resiko dari kejadian kardiovaskuler. Sedangkan SKR tipe 5 adalah kondisi
sistemik (misal: sepsis) yang menyebabkan disfungsi jantung dan ginjal secara bersamaan
(Latini dkk., 2016).

Sindroma kardio renal tipe 1 paling sering didapatkan pada pasien dengan ADHF
kemudian mengikuti kejadian iskemik (bedah jantung, infark miokard) dan non iskemik
(disfungsi katup, diseksi aorta, emboli paru, dsb) dari jantung. Lebih dari 40% dari pasien yang
dirawat dengan ADHF akan mengalami AKI. Pasien–pasien tersebut memerlukan manajemen
yang lebih kompleks dikarenakan tingginya angka mortalitas (Nunez dkk., 2015, Latini dkk.,
2016).

Mekanisme klasik dari SKR tipe 1 adalah penurunan curah jantung dan aktivasi
neurohormonal serta pelepasan substansi vasoaktif yang mengakibatkan rendahnya perfusi ke
ginjal dan kemungkinan iskemia ginjal. Sebagai tambahan, tingginya tekanan vena sentral,
akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdomen yang kemudian mengakibatkan
kongesti vena, aktivasi dari sistem saraf simpatis dan SRAA serta pelepasan substansi vasoaktif
lain seperti endotelin, Anemia dan gangguan sistem imun dan komunikasi antar sel somatik
yang bermakna juga berkontribusi secara bermakna terhadap terjadinya AKI (gambar 2.5)
(Nunez dkk., 2015).
Gambar 2.5. Mekanisme, korelasi histologi, biomarker dan keluaran dari SKR tipe 1 pada gagal
jantung dekompensasi akut. ADHF = Acute decompensated heart failure; AKI = acute kidney injury
(istilah AKI meliputi istilah ‘WRF’, ‘worsening renal function/ perburukan fungsi ginjal yang biasanya
didefinisikan peningkatan kreatinin serum dua kali lipat); AMI = acute myocardial infarction; PE =
pulmonary embo- lism; SVR = systemic vascular resistance; HF = heart failure; CKD = chronic kidney
disease; RAS = renal artery stenosis; GFR = glomerular filtration rate; NGAL = neutrophil gelatinase-
associated lipocalin; IL- 18 = interleukin-18; KIM-1 = kidney injury molecule 1; L-FABP = liver-type
fatty acid binding protein; NAG = N-acetylglucosamine (Nunez dkk., 2015).

Observasi dari beberapa percobaan dan penelitian klinis menyatakan bahwa mekanisme
hemodinamik memainkan peranan utama pada patofisiologi SKR tipe 1 pada kasus ADHF.
Beberapa percobaan dengan hewan coba menunjukkan adanya kejadian hemodinamik inisial
pada SKR tipe 1 akan menyebabkan penurunan aliran darah arterial ginjal, konsumsi oksigen
ginjal, laju filtrasi glomerulus/ glomerular filtration rate (GFR) dan peningkatan resistensi
vaskuler ginjal, namun kemampuan untuk mengkontra hemodinamik secara aktif seperti
pengalihan perfusi darah selektif menuju ginjal akan mengembalikan parameter-parameter
hemodinamik dan fungsi ginjal menuju normal kembali (Nunez dkk., 2015).

Pada gagal jantung dekompensasi akut secara umum, pendekatan melaui profil
hemodinamik yang berbeda berdasarkan penilaian klinis telah diterapkan pada pasien-pasien
secara individual. Pendekatan ini terdiri dari kategorisasi pasien- pasien yang bergantung pada
profil hemodinamik sistemiknya, termasuk kecukupan perfusi (penurunan curah jantung dan
volume cairan tersirkulasi efektif) dan juga derajat kongestif paru (peningkatan tekanan vena
sentral atau tekanan baji arteri pulmoner). Hal-hal tersebut, dapat saling dikombinasikan
menjadi empat profil hemodinamik yang terdiri dari basah atau kering dan hangat atau dingin
(gambar 2.6). Pada profil dingin, AKI dapat terjadi sebagai konsekuensi dari penurunan aliran
darah ginjal/ renal blood flow (RBF) ketika sistem autoregulasi gagal untuk mempertahankan
laju filtrasi glomerulus. Pada profil basah, peningkatan tekanan vena sentral akan
meningkatkan tekanan vena ginjal, yang akan mengurangi tekanan perfusi ginjal,
meningkatkan tekanan interstisial ginjal, dan melawan tekanan filtrasi sehingga menyebabkan
kolaps tubulus ginjal yang dapat menyebabkan SKR tipe 1 pada masing-masing profilnya. Pada
profil hangat, walaupun perfusi sistemik relatif terjaga, RBF berkurang secara diskonkordan,
sebagai akibat gangguan autoregulasi (contoh: penghambatan sistem RAA, aktivasi sistem
saraf simpatis yang berlebihan), berkurangnya mekanisme umpan balik tubuloglomerular
(missal sebagai akibat dari obat anti inflamasi non steroid (OAINS)), stenosis arteri ginjal atau
kondisi predisposisi yang menyebabkan hilangnya nefron. Yang perlu dicatat, gangguan atau
berkurangnya autoregulasi mungkin memainkan peran kunci, yang berakibat penurunan
tekanan perfusi ginjal. Mengingat sebagian besar pasien ADHF memiliki hipertensi, jika SKR
tipe 1 terjadi sebagai akibat dari penurunan RBF (dan/ atau penurunan tekanan perfusi ginjal),
hal ini setidaknya berkontribusi pada disfungsi autoregulator tubuh (Nunez dkk., 2015).

2.3. Neutrophil Gelatinase Associated-Lipocalin

2.3.1 Struktur Biokimiawi dan Fungsi Fisiologis

Neutrophil Gelatinase Associated-Lipocalin, juga disebut lipocalin-2, termasuk


dalam kelompok besar lipocalins, yang merupakan protein ekstraselular kecil dengan berbagai
fungsi. Protein fase akut ini adalah monomer glikosilasi sebesar 25 kDa dari rantai protein
sederhana yang disusun oleh 178 asam amino. NGAL awalnya ditemukan dalam granula
spesifik pada neutrofil dan terbukti berikatan secara kovalen dengan gelatinase neutrofil (enzim
dari kelompok matrix metalloproteinase-collagenase IV dengan berat molekul 92 kDa, yang
terdapat dalam neutrofil). NGAL mempunyai banyak sinonim, yaitu: neutrophil lipocalin (NL
atau HNL), lipokalin 2, protein onkogen, 24p33 atau uterokalin pada tikus dan neu-related
lipocalin. Selain dihasilkan oleh ekskresi neutrofil yang teraktivasi, pada kondisi fisiologis
NGAL juga dapat disekresikan dalam konsentrasi kecil oleh sel epitel, sel tubulus ginjal, sel
endotel, makrofag dan juga hepatosit dalam kasus peradangan atau cedera. Selain itu NGAL
juga terdeteksi dalam kadar yang rendah pada jantung, lambung, paru-paru dan kolon. Akan
tetapi, konsentrasi NGAL dapat meningkat secara signifikan setelah terjadi iskemia ginjal,
diduga NGAL berperan dalam proses repair dan nephrogenesis pada kondisi tersebut.
Konsentrasi NGAL yang tinggi juga ditemukan pada adiposit yang mungkin berhubungan
dengan resistensi insulin pada orang gemuk. Konsentrasi NGAL bergantung pada: jenis
kelamin, usia dan fungsi hati yang berkorelasi dengan parameter inflamasi (Helanova dkk.,
2014).

Kering dan hangat Basah dan hangat


 RBF secara diskordan  Tekanan vena ginjal
Baik

Disregulasi  RBF secara


Perfusi Sistemik

mikrovaskular diskordan
intrarenal Gangguan autoregulasi
Kering dan dingin Basah dan dingin
Terganggu

 RBF  RBF
Gangguan autoregulasi  Tekanan vena ginjal
Gangguan autoregulasi

Tidak Ya

Kongesti Paru

Gambar 2.6. Profil hemodinamik sistemik pada pasien ADHF dan konsekuensinya pada hemodinamik
ginjal di SKR tipe 1 (Helanova dkk., 2014).

NGAL adalah bagian penting dari sistem kekebalan antibakteri alami. Sifat
bakteriostatiknya ditentukan oleh perlekatannya pada siderophores bakteri, yang mencegah
bakteri mendapatkan besi dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, NGAL dapat ditemukan
pada jaringan yang biasanya terpapar dengan lingkungan eksternal, seperti: saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan saluran kemih. Selama perkembangan ginjal, NGAL mendukung
diferensiasi epitel sel punca mesenkhimal yang menghasilkan pembentukan glomeruli, tubulus
proksimal, lengkung Henle dan tubulus distal (Helanova dkk., 2014).
Ekspresi NGAL sangat meningkat pada kasus kerusakan sel epitel ginjal, usus besar,
hati dan paru-paru. Hal ini mungkin dimediasi oleh kelompok faktor transkripsi yaitu NF-κB
yang dapat mengaktivasi sel epitel dengan cepat setelah kerusakan akut. Fungsi penting NGAL
adalah pembentukan kompleks dengan matrix metaloproteinase 9 (MMP-9), yang
memperlambat inaktivasi MMP-9 oleh penghambat jaringan matriks metaloproteinase (TIMP-
1) dan menghasilkan efek proteolitik yang lebih lama. Aktivitas MMP-9 yang berkepanjangan
berpartisipasi dalam degradasi kolagen. Pembentukan NGAL sering diinduksi pada sejumlah
tumor manusia seperti adenoma dan epithelium yang meradang pada usus, adenokarsinoma
payudara dan karsinoma urothelial. NGAL diduga terlibat dalam perilaku invasif dari tumor
dan merupakan prediktor prognosis buruk (Helanova dkk., 2014).

2.3.2 NGAL sebagai Penanda Biokimiawi Acute Kidney Injury

Plasma NGAL difiltrasi melalui membran glomerulus dan hampir seluruhnya diserap
kembali melalui endositosis pada tubulus proksimal. Jadi, NGAL terdeteksi dalam urin hanya
mungkin bila tubulus proksimal telah rusak dan reabsorpsi terganggu, atau bila sintesis NGAL
denovo meningkat secara signifikan. Studi mengenai ekspresi gen NGAL pada gangguan ginjal
akut menunjukkan pembentukan mRNA NGAL yang cepat dan masif di nefron distal, terutama
pada lengkung asenden Henle dan duktus kolektivus. Sintesis dan sekresi protein NGAL oleh
nefron distal tampaknya merupakan sumber utama NGAL yang terdeteksi dalam urin.
Peningkatan ekspresi NGAL di tubulus distal dan sekresi cepatnya ke saluran kemih bagian
bawah sesuai dengan fungsi antimikroba dan induksi pertumbuhan sel protein ini (Kirbis dkk.,
2015).

Meskipun demikian, ginjal tampaknya bukan merupakan sumber utama yang


mempengaruhi konsentrasi NGAL dalam darah. Hal ini didukung oleh penelitian pada hewan
coba menggunakan sampel vena ginjal ipsilateral setelah iskemia unilateral yang menunjukkan
bahwa NGAL yang disintesis di ginjal tidak dilepaskan ke dalam aliran darah, namun terdeteksi
di ureter ipsilateral. Cedera ginjal akut menyebabkan peningkatan ekspresi mRNA NGAL,
terutama di hati dan paru-paru. Protein NGAL yang baru terbentuk dilepaskan ke dalam darah
yang beredar dan merupakan sumber sebagian besar plasma NGAL. Bagian lain dari NGAL
sistemik berasal dari neutrofil dan monosit, karena merupakan reaktan fase akut dan dilepaskan
ke sirkulasi sistemik oleh sel-sel ini sebagai respon imunitas. Penurunan GFR akibat kerusakan
ginjal diduga menyebabkan penurunan filtrasi NGAL oleh ginjal sehingga meningkatkan
kadarnya dalam sirkulasi sistemik meskipun mekanisme pastinya masih belum diketahui.
Informasi penting dalam hal ini adalah peningkatan konsentrasi NGAL terdeteksi dalam darah
dan urin relatif dini yaitu sekitar dua jam setelah kerusakan ginjal (iskemia, nephrotoksik atau
sepsis) sehingga lebih cepat 12-24 jam dibandingkan dengan peningkatan kadar kreatinin
serum. Implikasi klinis dari kondisi ini mungkin dapat dipertimbangkan untuk deteksi dini
nefropati kontras dengan mengukur kadar serum dan urin NGAL paling cepat 2 jam setelah
pemberian agen kontras (sensitifitas 71%, spesifisitas 100%) (Liu dkk., 2013, Martensson dan
Bellomo, 2014, Minana dkk., 2016).

Beberapa studi telah menunjukkan korelasi antara tingkat NGAL dengan luaran klinis
yang buruk, termasuk memburuknya AKI, meningkatnya kebutuhan akan terapi penggantian
ginjal dan mortalitas. Analisis data gabungan dari 2322 pasien dengan kondisi kritis
mengungkapkan bahwa pada kelompok pasien dengan AKI (menurut definisi konvensional
berdasarkan peningkatan kadar kreatinin serum), peningkatan kadar NGAL berhubungan
dengan peningkatan risiko terapi penggantian ginjal berikutnya (0,0015% vs 2,5%; odds ratio
16,4, p <0,001) dan mortalitas selama rawat inap (4,8% vs 12,4%). Sementara itu, pada pasien
yang tidak mengalami peningkatan serum kreatinin, peningkatan NGAL berhubungan dengan
terjadinya AKI subklinis dan prognosis yang buruk (Martensson dan Bellomo, 2014).

Kadar NGAL dalam urin dapat menjadi indikator awal yang sensitif pada nefrotoksisitas
gentamisin. Perubahan signifikan terjadi dalam 24 jam sebelum perubahan kreatinin serum.
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal kronis, kadar NGAL berkorelasi dengan tingkat
keparahan kerusakan ginjal, kadar kreatinin serum, filtrasi glomerulus (GFR), dan proteinuria.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa peningkatan relatif pada NGAL plasma umumnya jauh
lebih rendah daripada peningkatannya pada cedera ginjal akut (Martensson dan Bellomo,
2014).

NGAL sebagai biomarker dari cedera ginjal akut memiliki hampir semua karakteristik
ideal biomarker: mudah didapat dari sampel darah atau urin, dapat diukur dengan metode
laboratorium standar, cukup sensitif untuk pengenalan awal kerusakan ginjal, memiliki rentang
dinamis dan nilai cut-off cukup luas untuk memungkinkan stratifikasi risiko. Kerugian NGAL
sebagai biomarker dari kerusakan ginjal akut adalah bahwa tingkat NGAL plasma dapat secara
bersamaan dipengaruhi oleh kondisi medis lainnya seperti hipertensi, penyakit inflamasi
sistemik, anemia, iskemia atau keganasan (Yndestad dkk., 2009).

Misalnya, sepsis membatasi kegunaan diagnostik NGAL pada pasien septik yang sakit
parah. Sepsis sendiri merupakan faktor induksi penting ekspresi NGAL darah dan urin (NGAL
berasal tidak hanya dari ginjal yang terluka, tapi juga dari leukosit dan hati). Tingkat plasma
dan urin NGAL secara substansial lebih tinggi pada pasien dengan septik AKI dibandingkan
dengan AKI non-septik (Yndestad dkk., 2009).
2.3.3 NGAL sebagai Penanda Biokimiawi pada Penyakit kardiovaskular

Pada penyakit kardiovaskular, mungkin terdapat lebih banyak mekanisme yang


menyebabkan peningkatan kadar NGAL. Konsentrasi NGAL yang meningkat ditemukan pada
pasien hipertensi dibandingkan dengan mereka yang memiliki tekanan darah normal dan
berhubungan dengan fungsi ginjal (dinyatakan dengan filtrasi glomerulus dan kadar kreatinin
atau cystatin C), usia dan durasi hipertensi. Pada kelompok pasien dengan atherosklerosis arteri
karotid, ditemukan korelasi antara kadar NGAL serum dengan tekanan darah diastolik dan usia
(Alvelos dkk., 2013).

Dalam kasus atherosklerosis, NGAL mungkin berperan dalam remodeling vaskular dan
ketidakstabilan plak atherosklerotik. NGAL telah diidentifikasi pada media vaskular, baik
dalam bentuk bebas maupun membentuk kompleks dengan MMP-9. Seperti disebutkan di atas,
pembentukan kompleks NGAL dan MMP-9 mencegah degradasi MMP-9 dan memperkuat
aktivitas proteolitiknya yang dapat berperan dalam pembentukan plak aterosklerotik yang tidak
stabil. Kompleks ini terletak di dalam plak aterosklerotik dan konsentrasinya meningkat pada
plak dengan hematoma intramural dan nekrosis sentral. Tingkat serum NGAL secara signifikan
lebih tinggi pada pasien CAD yang telah dikonfimasi menggunakan angiografi koroner
dibandingkan pada kontrol dengan arteri normal (Barbarash dkk., 2017).

Peningkatan kadar NGAL serum telah ditemukan pada pasien serebrovaskular akut
(stroke, TIA) dan berlangsung hingga satu tahun. Peningkatan ekspresi NGAL juga terjadi pada
pasien yang menderita infark miokard akut. Protein ini dianggap sebagai mediator aktif
peradangan pasca-iskemik dan remodeling. Kadar NGAL meningkat baik pada zona nekrotik
infark maupun jaringan sehat di sekitarnya bila dibandingkan dengan individu sehat. Kadar
NGAL yang meningkat signifikan paska infark miokard merupakan prediktor luaran yang
buruk. Suatu penelitian di Denmark pada pasien STEMI setelah dilakukan primary PCI
menyatakan bahwa kadar NGAL yang tinggi saat masuk (lebih dari persentil ke-75) secara
independen dapat memprediksi mortalitas (rasio hazard: 2,00; 95% CI: 1,16-3,44; p = 0,01)
dan kejadian kardiovaskular mayor yaitu: mortalitas kardiovaskular, infark miokard berulang
atau gagal jantung (rasio hazard: 1,51; 95% CI: 1,00 sampai 2,30; p = 0,05) [37]. Perbandingan
kadar NGAL aktual pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang berbeda ditunjukkan
pada tabel 2.5 (Helanova dkk., 2014).
Tabel 2.5 Perbandingan konsentrasi NGAL pada Berbagai Jenis Penyakit Kardiovaskular
(Helanova dkk., 2014)

2.3.3.1 NGAL sebagai Penanda Biokimiawi pada Gagal Jantung

Tampaknya NGAL juga berperan dalam pathogenesis gagal jantung. Aktivasi


neutrofil dan pelepasan NGAL selanjutnya berpartisipasi dalam reaksi inflamasi pada gagal
jantung. Remodeling ventrikel kiri hingga terjadinya onset dan progresivitas dari gagal jantung
merupakan proses yang sangat kompleks, yang tidak hanya melibatkan perubahan
kardiomiosit, tetapi juga perubahan pada matriks ekstraselular. Metalloproteinase yang
teraktivasi merupakan mediator penting dalam proses ini. Suatu studi di Norwegia
menunjukkan bahwa pada pasien dengan gagal jantung paska infark miokard maupun gagal
jantung kronis akibat etiologi lainnya memiliki kadar NGAL serum yang meningkat secara
signifikan dan berkorelasi dengan kemunduran klinis dan neurohormonal mereka. Pada hewan
coba tikus yang dkondisikan mengalami gagal jantung paska infark miokard, ekspresi gen
NGAL / lipocalin-2 juga meningkat pada bagian non-iskemik ventrikel kiri, terutama
diekspresikan oleh kardiomiosit (Yndestad dkk., 2009).
Peran NGAL pada pathogenesis dan progresivitas gagal jantung diduga disebabkan
oleh beberapa mekanisme antara lain pengaruhnya pada pengaturan transport besi ke dalam
kardiomiosit. Mekanisme ini mendasari pathogenesis gagal jantung terutama yang disebabkan
oleh kardiomiopati. Reseptor NGAL (NGAL-R/megalin) dapat berikatan dan membentuk
kompleks dengan siderophore yang dimiliki oleh bakteri atau mamalia yang dapat mengikat
besi dari lingkungan ekstraseluler. Internalisasi dari kompkes siderophore-besi ini ke dalam
kardiomiosit menyebabkan peningkatan uptake dan akumulasi besi dalam sitoplasma dan
menginduksi terjadinya disfungsi mitokondria, stres oksidatif, endoplasmic reticulum stress
yang berakhir pada autofagi dan apoptosis kardiomiosit (gambar 2.7). Studi EPOCARES
(ErythropOietin in the CArdio Renal Syndrome) memperlihatkan bahwa pada pasien-pasien
dengan gagal jantung kronis (HFpEF maupun HF rEF) mempunyai kadar NGAL sistemik yang
meningkat signifikan dan berkorelasi dengan konsentrasi besi sistemik yang lebih tinggi.
Produksi lokal NGAL pada jantung juga meningkat signifikan pada pasien gagal jantung
disamping peningkatan NGAL sistemik (Chan dkk., 2015).

Gambar 2.7. Peran NGAL dalam apoptosis kardiomiost akibat akumulasi besi intrasel pada
kardiomiopati (Chan dkk., 2015)

NGAL juga sering dianggap sebagai sitokin pro-inflamasi karena perannya dalam
respon kekebalan tubuh selama infeksi bakteri. Dalam Copenhagen Heart Study keempat, yang
melibatkan lebih dari 5000 pasien dengan lama pengamatan 10 tahun, terlihat bahwa NGAL
plasma berkorelasi dengan semua penanda inflamasi yang diselidiki, termasuk high sensitivity
C-reactive protein (HsCRP) dan jumlah total leukosit dan neutrofil. Peningkatan NGAL juga
berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas dan kejadian kardiovaskular mayor. Studi pada
hewan coba memperlihatkan bahwa ekspresi dan sekresi NGAL diduga dapat diinduksi oleh
interferon γ (IFN-γ) dan tumor necrosis factor α (TNF-α) dimana salah satu mekanisme
potensialnya melalui jalur aktivasi yang melibatkan nuclear factor κ B (NF κB). NGAL sendiri
dapat menginduksi aktivasi NF κB sehingga dapat meningkatkan ekspresi dan kadar IFN-γ
dan TNF-α lebih lanjut. Selain itu, NGAL dapat merangsang inflamasi jantung dengan
polarisasi fenotip M1 makrofag pro-inflamasi [138]. Akibatnya, terbentuk lingkaran setan
dimana NGAL dapat meningkatkan peradangan dengan menginduksi ekspresi TNF-α dan
mediator pro-inflamasi lainnya (gambar 2.4). Suatu studi memperlihatkan bahwa pencegahan
pembersihan NGAL dari sirkulasi meningkatkan peradangan vaskular dan disfungsi endotel.
Pada HFpEF dan HFrEF tingkat lanjut, peningkatan peradangan sistemik dan lokal dengan
peningkatan TNF-α yang bersirkulasi memiliki peran yang sangat penting dalam patogenesis
penyakit. Studi-studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengeksplorasi bagaimana NGAL
berkontribusi pada pathogenesis gagal jantung yang tergantung pada respon inflamasi (gambar
2.8) (Chan dkk., 2015).

Gambar 2.8. Skema aksi pro inflamasi NGAL.

Dalam sebuah penelitian di Italia pada 91 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
gagal jantung akut, pasien yang dalam perkembangannya mengalami perburukan fungsi ginjal
(WRF) memiliki nilai median serum NGAL saat masuk secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak mengalami WRF. Studi ini mengamati bahwa pasien dengan
nilai NGAL saat kedatangan awal ≥140 ng/ml memiliki kemungkinan 7,4 kali untuk
mengalami WRF. NGAL bukan hanya merupakan prediktor cedera ginjal namun merupakan
prediktor kuat kejadian kardiovaskular mayor secara keseluruhan. Studi prospektif GALLANT
menunjukkan bahwa NGAL plasma adalah biomarker yang baik untuk mengidentifikasi pasien
gagal jantung akut pada tahap dini sehingga memberikan tambahan informasi baru selain yang
didapat dari pengukuran BNP. Hasil serupa ditemukan oleh Alvelos et al dengan periode
pengamatan selama 3 bulan. Konsentrasi NGAL serum yang meningkat merupakan prediktor
prognosis jangka pendek yang buruk pada pasien dengan gagal jantung akut dimana diduga
telah terjadi kerusakan ginjal pada pasien ini. Kemampuan prediktor NGAL tidak dipengaruhi
oleh variabel lain yang juga terkait dengan hasil seperti BNP. BNP adalah penanda aktivasi
neuro-hormonal serta peningkatan beban dan disfungsi ventrikel sementara NGAL adalah
penanda cedera ginjal dan terutama kerusakan tubulus ginjal. Pengukuran gabungan tingkat
BNP dan NGAL pada darah tampaknya meningkatkan akurasi progostik pada pasien dengan
gagal jantung. NGAL mungkin memiliki kemampuan prediksi yang lebih baik dibandingkan
dengan BNP, karena gangguan ini lebih dini dan lebih sering terjadi pada kasus prognosis
buruk. Kita dapat mengukur kadar kedua biomarker ini saat pemulangan pasien dan kadar
NGAL yang tinggi dapat menjadi acuan penting untuk dilakukan follow up dini dan lebih sering
serta acuan terapi pemberian diuretik secara aman (Chan dkk., 2015).
Terdapat hubungan yang menarik antara kadar NGAL serum dan perkiraan laju
filtrasi glomerulus pada pasien gagal jantung akut. Salah satu studi mengatakan bahwa NGAL
serum dan urin merupakan penanda awal yang sensitif terhadap disfungsi ginjal pada pasien
dengan gagal jantung kronis dan kreatinin serum normal namun telah mengalami penurunan
laju filtrasi glomerulus (GFR). Pengurangan laju filtrasi glomerulus dan peningkatan ekskresi
albumin urin menentukan keluaran pasien gagal jantung kronis (HF). Namun, kerusakan ginjal
pada pasien gagal jantung kronis tidak hanya ditandai dengan penurunan eGFR dan
peningkatan ekskresi albumin urin, tetapi juga oleh adanya kerusakan tubular yang diukur
dengan meningkatnya konsentrasi NGAL pada urin (De Berardinis dkk., 2015).
Kerusakan tubulus berhubungan dengan tiga penanda biokimiawi ini, yaitu: NGAL,
N-asetil-beta-D-glukosaminidase (NAG) dan kidney injury molecule 1 (KIM-1). Kerusakan
tubular juga sering terjadi pada pasien CHF dengan GFR yang hanya menurun ringan. Selain
itu, cedera tubulo-interstisial mungkin mengindikasikan kerusakan ginjal, bahkan dengan
adanya filtrasi glomerulus yang masih normal. Peningkatan biomarker tubular berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk pada pasien gagal jantung meskipun dengan GFR yang
normal. NGAL urin adalah indeks kerusakan tubular yang baik dan meningkat secara
signifikan pada pasien dengan disfungsi ginjal kronis. NGAL pada gagal jantung nampaknya
merupakan penanda disfungsi ginjal dan berguna untuk mengidentifikasi pasien pada tahap
awal sindroma kardio renal. Studi di Portugis meneliti kinerja NGAL dan cystatin C dalam
deteksi dini sindroma kardiorenal tipe 1 pada pasien gagal jantung akut. Studi ini menemukan
hubungan antara sindroma kardiorenal tipe 1 dengan NGAL dimana nilai cutoff kadar NGAL
sebesar 170 ng/L mampu memprediksi insufisiensi ginjal pada pasien dengan fungsi ginjal
yang masih baik saat awal kedatangan (Torregrosa dkk., 2015).
Kadar serum NGAL meningkat pada pasien dengan gagal jantung akut dan kronis
setelah infark miokard yang berkorelasi signifikan dengan kerusakan klinis dan
neurohormonal. Peningkatan NGAL ini dihasilkan dari kardiomiosit pada miokardium yang
mengalami perburukan, baik pada gagal jantung eksperimental dan klinis. Selama gagal
jantung akut atau kronik, tingkat interleukin-1 beta dan agonis pada toll-like receptor 2 dan 4
meningkat yang merupakan komponen dalam sistem kekebalan alamiah. Molekul-molekul ini
memberikan rangsangan ekspresi NGAL/lipocalin-2 yang poten pada kardiomiosit neonatal.
Uji klinis dan eksperimental pada gagal jantung mendukung peran respons imun bawaan dalam
pathogenesis (Palazzuoli dkk., 2012).

Anda mungkin juga menyukai