Anda di halaman 1dari 6

Kompetensi dan peforma bahasa

Istilah kompetensi dan performansi mulai populer ketika Chomsky menerbitkan bukunya
yang berjudul Aspects of the Theory of Syntax. Kompetensi mengacu pada pengetahuan dasar
tentang suatu sistem, peristiwa atau kenyataan. Kompetensi ini bersifat abstrak, tidak dapat
diamati, karena kompetensi terdapat dalam alam pikiran manusia. Yang dapat diamati adalah
gejala-gejala kompetensi yang tampak dari perilaku (kebahasaan) manusia seperti berbicara,
berjalan, menyanyi, menari dan sebagainya.[1]
Dalam pengajaran, kita memiliki asumsi bahwa pembelajar memproses kompetensi
tertentu dan kompetensi ini dapat diukur dan diteliti dengan cara mengamati performansi.
Cara ini umumnya disebut tes atau ujian.[2] Dalam linguistik, kompetensi mengacu pada
pengetahuan sistem kebahasaan, kaidah-kaidah kebahasaan, kosakata, unsur-unsur
kebahasaan, dan bagaimana unsur-unsur itu dirangkaikan, sehingga dapat menjadi kalimat
yang memiliki arti. Performansi merupakan produksi secara nyata seperti berbicara, menulis
dan juga komprehensi seperti menyimak dan membaca pada peristiwa-peristiwa ahli bahasa.
Kompetensi kebahasaan, merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Chomsky (1965).
Dalam hal ini kompetensi mengacu pada pengetahuan gramatika. Pembicara-pendengar yang
ideal dalam suatu masyarakat yang homogen mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah
gramatika bahasanya. Gramatika suatu bahasa berisi suatu deskripsi mengenai kompetensi
yang bersifat intrinsik pada diri pembicara-pendengar.
Kompetensi kebahasaan adalah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat abstrak,
yang berisi pengetahuan tentang kaidah, parameter atau prinsip-prinsip, serta konfigurasi-
konfigurasi sistem bahasa. Kompetensi kebahasaan merupakan pengetahuan gramatikal yang
berada dalam struktur mental di belakang bahasa. Kompetensi kebahasaan tidak sama dengan
pemakaian bahasa. Kompetensi kebahasaan bukanlah kemampuan untuk menyusun dan
memakai kalimat, melainkan pengetahuan tentang kaidah-kaidah atau sistem kaidah. Dalam
hal ini kita dapat memahami bahwa mengetahui pengetahuan sistem kaidah belum tentu sama
atau jangan disamakan dengan kemampuan menggunakan kaidah bahasa tersebut dalam
aktualisasi pemakaian bahasa pada situasi konkret. Masalah bagaimana menggunakan bahasa
dalam aktualisasi konkret merupakan masalah performansi.[3]
Di samping kompetensi kebahasaan, Chomsky juga mengemukakan performansi
kebahasaan. Dalam kenyataan yang aktual, performansi itu tidak sepenuhnya mencerminkan
kompetensi kebahasaan. Dikemukakan oleh Chomsky bahwa dalam pemakaian bahasa secara
konkret banyak ditemukan penyimpangan kaidah, kekeliruan, namun semua itu masih dapat
dipahami oleh pembicara-pendengar karena mereka mempunyai kompetensi kebahasaan.
Berkaitan dengan kompetensi ini, Chomsky mengemukakan konsep ’keberterimaan’
dan konsep ’kegramatikalan’. Keberterimaan mengacu pada bentuk-bentuk tuturan yang
benar-benar alamiah dan dengan cepat dapat dipahami, tidak aneh, tidak asing dan tidak
janggal. Sedangkan kegramatikalan, mengacu pada bentuk-betuk tuturan yang apabila dilihat
dari kaidah kebahasaan yang bersangkutan tidak menyimpang. Masalah keberterimaan
berkaitan dengan performansi kebahasaan, sedangkan kegramatikalan berkaitan dengan
kompetensi kebahasaan. Pengertian kedua istilah tersebut tidak boleh dicampuradukkan.
Contoh pada kalimat berikut (1) dan (2) merupakan contoh kalimat yang memiliki tingkat
kegramatikalan dan keberterimaan yang tinggi, sedangkan kalimat (3) dan (4) memiliki
kegramatikalan yang rendah namun keberterimaannya tinggi.
1. Bapak membaca surat kabar di ruang tamu
2. Sopyan belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa lulus dalam ujian
3. ….Satu kilo gula, tiga kilo tepung dan setengah kilo mentega bu….
4. …Besok pagi jam delapan dari stasiun Turi, dik!
Di samping kompetensi kebahasaan, dalam linguistik juga dikenal istilah kompetensi
komunikatif atau ‫القدرة اإلتصالية‬ . Konsep kompetensi komunikatif seperti yang pernah
penulis kemukakan sekilas di pembahasan sebelumnya merupakan konsep yang pertama kali
dikemukakan oleh Dell Hymes dalam makalahnya yang berjudul “on communicative
competence“. Kompetensi komunikatif Dell Hymes ini sebagai reaksi terhadap kompetensi
kebahasaan Chomsky, yang oleh Dell Hymes dipandang terlalu sempit, hanya menyangkut
aspek gramatika. Dell Hymes mengemukakan bahwa penggunaan bahasa meliputi hal-hal
yang lebih dari sekedar mengetahui penyusunan kalimat yang benar secara gramatikal. Ada
banyak faktor dalam komunikasi yang menentukan aktualisasi pemakaian bahasa secara
umum yang disebut konteks.[4]
Kompetensi komunikatif merupakan kemampuan untuk menerapkan kaidah
gramatikal suatu bahasa dalam membentuk kalimat-kalimat yang benar dan untuk
mengetahui kapan, di mana, dan kepada siapa kalimat-kalimat itu diujarkan.[5] Dengan
berbekal kompetensi komunikatif, seseorang dapat menyampaikan dan menginterpretasikan
suatu pesan atau menegosiasikan makna secara interpersonal dalam konteks yang spesifik.[6]
Krashen juga menegaskan bahwa kompetensi komunikatif lebih menekankan kepada fungsi
bahasa dalam komunikasi sesungguhnya dari pada menguasai bentuk dan kaidah kebahasaan.
Kaidah-kaidah kebahasaan itu hanya berfungsi untuk memonitor suatu bentuk ujaran.[7]
Menurut Tarigan, pada hakekatnya kompetensi komunikatif meliputi:
a) Pengetahuan mengenai tata bahasa dan kosakata bahasa yang bersangkutan.
b) Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah berbicara (yaitu mengetahui bagaimana memulai
dan mengakhiri percakapan-percakapan, mengetahui topik apa ynag mungkin dibicarakan
dalam berbagai peristiwa-bicara, mengetahui bentuk-bentuk sapaaan yang seharusnya
dipakai kepada orang lain dalam berbagai sistuasi).
c) Mengetahui bagaimana cara menggunakan dan memberi respon terhadap berbagai tipe
tindak tutur, seperti meminta, memohon, meminta maaf, mengucapkan terima kasih, dan
mengundang orang.
d) Mengetahui bagaimana cara menggunakan bahasa secara tepat dan memuaskan.[8]
Jadi dengan demikian, seseorang yang ingin berbicara dengan orang lain, harus
mengenali latar belakang sosial, hubungannya dengan orang lain, dan tipe-tipe bahasa yang
dapat dipergunakan bagi kesempatan tertentu. Di samping itu, ia juga harus mampu
menafsirkan kalimat-kalimat lisan maupun tulisan di dalam keseluruhan konteks tempatnya
dipakai. Contoh: ‫النسيم أصبح ريحا و المطر لن يتأخر‬ (…angin sepoi-sepoi telah menjadi
angin ribut, dan hujan tidak akan lama lagi…)[9] ungkapan ini dapat merupakan suatu
permintaan, khususnya kepada seseorang dalam hubungan peran yang setara atau lebih
rendah untuk segera mencari tempat berlindung dari buruknya cuaca saat mana ungkapan itu
dinyatakan, namun bisa juga ungkapan itu merupakan curahan perasaan seseorang yang
sedang sedih meratapi cerita cinta atau usahanya yang akan sebentar lagi hancur dan
sebagainya.
Secara teoritis, kompetensi komunikatif memiliki paling tidak empat komponen
sebagaimana yang dikemukakan oleh Canale dan Swain (1980-an) sebagaimana dikutip Jason
Beale:[10] Pertama: ‫الكفاية النحوية‬/al-kifâyah al-nahwiyyah (kompetensi gramatikal) yaitu
penguasaan kaidah kebahasaan, baik verbal maupun non verbal seperti fonology (ilmu
bunyi), orthography (penulisan), vocabulary (kosakata), pembentukan kata, dan pembentukan
kalimat. Inilah yang dimaksud oleh Chomsky dengan kompetensi kebahasaan yaitu
pengetahuan tentang tata bahasa dan memiliki kemampuan yang cukup untuk
menggunakannya dalam komunikasi,[11] namun menurut Savignon, penekanannya bukan
pada pengetahuan tentang kaidah bahasa tersebut melainkan pada pemakaian kaidah
tersebut,[12] dengan demikian, kompetensi komunikatif pelajar diukur dengan
kemampuannya memproduk ungkapan yang benar menurut kaidah, bukan kemampuannya
menghafal kaidah.
Kedua: ‫ الكفاية اللغوية اإلجتماعية‬/al-kifâyah al-lughawiyyah al-ijtimâ`iyyah
(kompetensi sosiolinguistik) yaitu penguasaan aturan penggunaan bahasa dalam konteks
sosio-kultural. Untuk itu, diperlukan pemahaman terhadap faktor-faktor tertentu, misalnya
peran dan status partisipan, tujuan dan fungsi interaksi, aturan dan norma interaksi dan
sebagainya. [13] Jadi, ini adalah satu kompetensi antar disiplin ilmu di mana pelajar bisa
menggunakan bahasa secara baik dan wajar, pragmatis dan sesuai dengan konteks sosial
pemakaian bahasa.
Secara singkat dapat pula dikatakan bahwa kompetensi sosiolinguistik merupakan a)
ekspresi dan pemahaman makna-makna sosial yang tepat serta memuaskan yaitu fungsi-
fungsi, sikap-sikap dan topik-topik komunikatif dalam konteks-konteks sosiolinguistik yang
beraneka ragam. b) ekspresi dan pemahaman bentuk-bentuk gramatikal yang tepat serta
memuaskan bagi fungsi-fungsi komunikatif yang beraneka ragam dalam konteks-konteks
sosiolinguistik yang berbeda-beda (yang merupakan wadah fungsi-fungsi dan konteks-
konteks yang dipilih dan disaring dengan seksama berdasarkan analisis kebutuhan dan minat
komunikatif para pembelajar).[14]
Ketiga: ‫كفاية تحليل الخطاب‬/kifâyat tahlîl al-khithâb (kompetensi wacana) yaitu
kemampuan untuk memberikan interpretasi tentang topik paragraf, bab atau buku dengan
menggunakan keterpaduan struktur dan kerterkaitan makna atau dengan ungkapan lain
kompetensi wacana yakni kemampuan menafsirkan rangkaian kalimat atau ungkapan dalam
rangka membangun keutuhan dan makna dan keterpaduan teks sesuai dengan konteksnya.
Keempat: ‫الكفاية اإلستراتيجية‬/al-kifâyah al-istirâtîjiyyah (kompetensi strategis) yaitu
kemampuan untuk memperjelas efektifitas komunikasi dan mengimbangi kejumudan
komunikasi antar sesama, atau dapat dikatakan kompetensi ini merupakan satu fungsi
pelengkap dalam komunikasi jika kompetensi kebahasaan tidak cukup. Menurut Huda,
kompetensi strategis ialah kemampuan menguasai strategi komunikasi verbal dan non-verbal,
untuk keperluan a) mengatasi kemacetan komunikasi yang terjadi pada kondisi tertentu,
misalnya keterbatasan kosakata dan gramatika, b) meningkatkan efektifitas komunikasi.[15]
Karena tujuan pengajaran dalam pendekatan komunikatif pada hakekatnya adalah
untuk berkomunikasi, maka kemampuan bahasa yang dikembangkan adalah kemampuan
berkomunikasi, bukan kemampuan tentang pengetahuan bahasa. Widdowson sebagaimana
dikutip Thu‘aimah membedakan kemampuan berbahasa (‫اللغة‬ ‫)استخدام‬ dan kemampuan
tentang bahasa (‫اللغة‬ ‫)استعمال‬. Kemampuan berbahasa adalah kemampuan yang dimiliki
baik oleh pembicara maupun pendengar untuk memahami dan memproduksi bahasa-bahasa
ucapan. Sebaliknya kemampuan tentang bahasa ialah kemampuan secara umum mempelajari
dan mengenal semua ungkapan-ungkapan bahasa yang benar dan baik walaupun tidak
mampu mengucapkan atau menggunakannya.[16]
Jadi, pembelajar hendaknya mampu mengembangkan kemampuan menggunakan
bahasa Arab sesuai dengan perkembangan dan tingkat umurnya. Dia harus mampu
memahami pesan-pesan yang diucapkan di dalam bahasa Arab dan harus mampu secara
spontan mengucapkan atau menggunakan ungkapan-ungkapan untuk menjawab pesan-pesan
tersebut dengan tepat dan juga harus mampu menyatakan keinginan, kebutuhan atau
hasratnya tanpa harus dirangsang terus oleh guru. Dia harus mampu membuat dan
menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut dengan memadukan sistem ucapan, tata bahasa
dan kosa kata di dalam situasi budaya bahasa tersebut yang digunakan secara normal
sebagaimana penutur asli menggunakannya.
Kompetensi komunikatif meliputi pengetahuan penggunaan bahasa dan kemampuan
menggunakannya dalam berbagai konteks atau situasi komunikasi. Savignon menyebutkan
lima karakteristik kompetensi komunikatif antara lain:
1. Kompetensi komunikatif bersifat dinamis, bergantung pada negosiasi makna antara dua
penutur atau lebih yang sama-sama mengetahui kaidah pemakaian bahasa. Dalam
pengertian ini kemampuan komunikasi dapat dikatakan bersifat interpersonal.
2. Kompetensi komunikatif meliputi pemakaian bahasa, baik secara tertulis maupun lisan,
juga sistem simbolik yang lain.
3. Kompetensi komunikatif bersifat kontekstual. Komunikasi selalu terjadi pada variasi
situasi tertentu. Keberhasilan komunikasi bergantung pada pengetahuan partisipan
terhadap konteks dan pengalaman.
4. Berkaitan dengan dikotomi kompetensi dan performansi, kompetensi mengacu pada apa
yang diketahui, sedangkan performansi mengacu pada apa yang dilakukan. Hanya
performansi saja yang dapat diamati. Hanya melalui performansi, kompetensi dapat
dikembangkan, dipertahankan dan dievaluasi.
5. Kompetensi komunikatif bersifat relatif, tidak absolut dan bergantung pada kerja sama
atau partisipan. Hal inilah yang menyebabkan adanya tingkat-tingkat kompetensi
komunikatif. [17]
Sejumlah karakteristik kompetensi komunikatif tersebut adalah untuk melihat apakah
suatu bentuk tuturan bersifat komunikatif atau tidak. Hal ini mencerminkan bahwa kompetesi
komunikatif tidak hanya memperhatikan masalah kegramatikalan, melainkan juga
kesesuaiannya dengan faktor sosial dan kultural. Karena pada prinsipnya kompetensi
komunikatif mencakup dua hal yaitu pengetahuan tentang kebahasaan (kaidah kebahasaan),
dan penggunaan bahasa. Kedua hal tersebut dijabarkan menjadi empat unsur kompetensi
komunikatif yaitu kompetensi gramatikal, sosiolinguistik, wacana dan strategi sebagaimana
yang penulis paparkan sebelumnya.

[1] Noam Chomsky, Aspects of The Theory of Syntax (Cambridge: The M.I.T. Press, 1965), h. 4
[2] Douglas Brown, Principles of Language Learning and Teaching (New York: Prentice Hall, 1987), h.
24.
[3] Suwarna Pringga Widagda, Strategi Penguasaan Berbahasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001),
h. 50. Menurut Davis dalam Syafii menyatakan bahwa kompetensi kebahasaan meliputi bidang fonologi,
semantik dan sintaksis. Jika seorang pembicara atau pendengar mengetahui bagaimana berbicara dan memahami
bahasanya, itu berarti ada berbagai pengetahuan yang ia miliki yang menjadikannya mempunyai kompetensi
kebahasaan dalam bahasanya. Sementara Canale dan Swain menyatakan kompetensi kebahasaan meliputi
leksikon, morfologi fonologi dan semantik. Dan Bachmanpun menambahkan bahwa kosakata dan grafologi
perlu juga dimasukkan dalam kompetensi kebahasaan. Lihat Imam Syafi’i, Kompetensi Kebahasaan dan
Kompetensi Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa (Makalah: Malang: IKIP, 1991), h. 5
[4] Imam Syafi’i, Kompetensi Kebahasaan dan Kompetensi Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa
(Makalah: Malang: IKIP, 1991), h. 7
[5] Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pemerolehan Bahasa (Jakarta: Dirjen Dikti, 1988), h. 40-41
[6] Douglas Brown, Principles of Language, h. 199
[7] Stephen D. Krashen, Second Language Acquisition and Second Language Leraning (New York:
Prentice Hall, 1988), h. 12
[8] Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Kompetensi Bahasa (Bandung: Angkasa, 1990), h. 31-32
[9] Bahige Mulla Huech, Tareq : Teks Video, h. 28
[10] Jason Beale, Is Communicative Language Teaching A Thing Of The Past?, diakses dari
http://www.jasonbeale.com/essaypages/clt_essay.html. Tanggal 23 Februari 2007 jam 19.00 WIB.
[11] Noam Chomsky, Aspects Of The Theory Of Syntax, h. 4
[12] Sandra Savignon, Communicative Competence: Theory and Classroom Practice (Massachusetts:
Addison Wesley Publishing, 1983), h. 8-9.
[13] Selain mampu memahami konteks kemasyarakatan, juga mampu bertukar informasi antar sesama
anggota masyarakat dalam hubungan bermasyarakat. Rusydi Ahmad Thu‘aimah dalam Ta‘lîmi al-Lughah, h.
120.
[14] Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Kompetensi Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1990), h. 40
[15] Nuril Huda, Language Learning and Teaching: Issues and Trends (Malang: IKIP Malang, 199), h.
32-33.
[16] Lihat Rusydi Ahmad Thu‘aimah dalam Ta‘lîmi al-Lughah, h. 107.
[17] Sandra Savignon, Communicative Competence: Theory and Classroom Practice, h. 8-9.

Anda mungkin juga menyukai