Anda di halaman 1dari 8

Etiologi Sindrom metabolic

1. Obesitas Sentral
Obesitas didefinisikan sebagai kandungan lemak berlebih pada
jaringan adiposa. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu
keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di
jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi jika
dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori yang masuk melalui
makanan daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh,
dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan
lemak.
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran
kalori dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang
menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh. Penelitian yang
dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan tingkat
kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral
(neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi,lingkungan, dan sinyal
psikologis.Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus
melalui 3 proses fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang,
mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon.
Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui
sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan
sinyal aferen dari perifer (jaringan adiposa, usus dan jaringan otot).
Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta
menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia,
meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal
pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan
waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida
gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai
stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat
derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan
keseimbangan energi. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan,
maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin
dalam peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di
hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga
terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan
energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan
terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan
peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi
resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan
penurunan nafsu makan.

2. Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid
yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, Low Density Lipoprotein
(LDL), dan trigliserida serta penurunan kadar High Density Lipoprotein
(HDL). Dislipidemia dapat diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan proses
terjadinya penyakit, yaitu dislipidemia primer dan dislipidemia sekunder.
Kelainan genetik dan bawaan merupakan faktor resiko dari dislipidemia
primer. Dislipidemia yang menyertai beberapa penyakit seperti diabetes
melitus, hipotiroidisme, sindrom nefrotik, dan gagal ginjal kronik disebut
sebagai dislipidemia sekunder.
Dislipidemia Primer
Dislipidemia primer yaitu dislipidemia yang disebabkan karena kelainan penyakit
genetik dan bawaan yang dapat menyebabkan kelainan kadar lipid dalam
darah. Dislipidemia primer yang berhubungan dengan obesitas ditandai
dengan peningkatan trigliserida, penurunan kadar HDL, LDL, dan komposisi
abnormal.
Dislipidemia Sekunder
Dislipidemia Sekunder yaitu dislipidemia yang disebabkan oleh suatu keadaan seperti
hiperkolesterolemia yang diakibatkan oleh hipotiroidisme, syndrome nefrotik,
kehamilan, anoreksia nervosa, dan penyakit hati obstruktif. Hipertrigliserida
disebabkan oleh diabtes mellitus, konsumsi alkohol, gagal ginjal kronik,
miokard infark, dan kehamilan. Selain itu dislipidemia dapat disebabkan oleh
gagal ginjal akut, dan penyakit hati.
Dislipidemia merupakan faktor resiko terbesar terjadinya
aterosklerosis. Hiperkolesterolemia yang merupakan bagian dari dislipidemia
diyakini dapat mengganggu fungsi endotel dengan meningkatkan produksi
radikal bebas oksigen. Radikal ini menonaktifkan oksida nitrat, yaitu faktor
endothelial relaxing utama. Apabila terjadi hiperkolesterolemia kronis,
lipoprotein tertimbun dalam lapisan intima di tempat meningkatnya
permeabilitas endotel.
Pemajanan terhadap radikal bebas dalam sel endotel dinding arteri
menyebabkan terjadinya oksidasi LDL, yang berperan dan mempercepat
timbulnya plak ateroma. Oksidasi LDL diperkuat dengan rendahnya kadar
HDL, diabetes melitus, defisiensi estrogen, hipertensi, dan adanya derivat
rokok. Hiperkolesterolemia memicu adhesi monosit, migrasi sel otot polos
subendotel, dan penimbunan lipid dalam makrofag dan sel-sel otot polos.
Apabila terpajan LDL yang teroksidasi, makrofag menjadi sel busa, yang
beragregasi dalam lapisan intima, yang terlihat secara makroskopis sebagai
bercak lemak. Akhirnya, deposisi lipid dan jaringan ikat mengubah bercak
lemak ini menjadi ateroma lemak fibrosa matur. Ruptur menyebabkan inti
bagian dalam plak terpajan dengan LDL yang teroksidasi dan meningkatnya
perlekatan elemen sel, termasuk trombosit. Lalu deposisi lemak dan jaringan
ikat mengubah plak fibrosa menjadi ateroma, yang dapat mengalami
perdarahan, ulserasi, kalsifikasi , atau trombosis.

3. Resistensi insulin
Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan respon
metabolik terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa plasma
tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak dari normal untuk
mempertahankan keadaan normoglikemik (euglikemik). Daerah utama
terjadinya resistensi insulin adalah postreseptor sel target dijaringan otot
rangka dan sel hati. Kerusakan reseptor ini menyebabkan kompensasi
peningkatan sekresi insulin oleh sel beta, sehingga terjadi hiperinsulinemia
pada keadaan puasa maupun postprandial. Pada resistensi insulin terjadi
kerusakan pensinyalan pada Insulin reseptor substrate (IRS) maupun
Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K) yang menyebabkan gagalnya translokasi
suatu molekul transmembran GLUT-4 ke membran sel sehingga glukosa tidak
dapat masuk ke dalam sel dan digunakan oleh sel tersebut sebagai sumber
energi. Glukosa yang tidak terpakai ini akan menyebabkan kadar glukosa
darah meningkat yang secara klinis akan memberikan gambaran
hiperglikemia. Peran gen apabila terjadi resistensi insulin pada sindroma
metabolik ini ditemukan adanya mutasi pada kedua alel reseptor insulin ,
namun kasus ini jarang terjadi. Beberapa data menunjukkan gangguan
aktivitas insulin akibat mutasi IRS-1 dan 2.
Resistensi insulin banyak dipercayai sebagai denominator utama
terjadinya sindroma metabolik, tiap penderita beresiko berkembang penyakit
kardiovaskuler dan komponen sindroma metabolik lainnya (seperti
hiperlipidemia, hipertensi, dan hiperglikemia). Penyebab utama terjadinya
resistensi insulin adalah obesitas, terutama lemak visceral. Obesitas
disebabkan karena intake kalori yang berlebihan dan aktivitas inadequate
dibandingkan penggunaannya.Penelitian menunjukan obesitas ditemukan
peningkatan asam lemak bebas di dalam plasma akan menganggu sinyal
kaskade insulin melalui peningkatan fosforilasi serin/treonin (IRS) 1 dan 2.
Apabila terjadi peningkatan fosforilasi serin/treonin pada reseptor maka
terjadi penurunan fosforilasi tirosin. Penurunan fosforilasi tirosin akan
menganggu kerja IRS 1 dan 2. Penurunan fosforilasi tirosin akan menganggu
akan menganggu kerja IRS 1 dan 2. untuk berikatan dengan PI3K, sehingga
terjadi hambatan pengambilan glukosa ke dalam sel oleh GLUT-4.
Mekanisme terjadinya resistensi insulin dapat diterangkan oleh beberapa jalur.
Yang pertama adalah induksi resistensi insulin karena faktor inflamasi.
Hubungan antara inflamasi dan resistensi insulin dimana sitokin
proinflamatorik TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) dapat menginduksi
resistensi insulin. Akumulasi jaringan lemak pada obesitas akan meningkatan
produksi berbagai macam sitokin seperti TNF-α, IL-6 (Interleukin-6), resisten,
leptin, adiponectin, MCP-1 (Monocyte Chemoattractant Protein-1), PAI-1
(Plasminogen Activator Inhibitor-1), dan angiotensinogen yang
bertanggungjawab pada kondisi inflamatorik subakut pada obesitas. Ketika
intake kalori berlebihan dibandingkan pengeluaran energi, hal ini dapat
menginduksi meningkatnya mitokondria NADH (mNADH) dan reactive
oxygen species (ROS) pada siklus asam sitrat. Jika ROS diproduksi terlalu
berlebihan akan menurunkan aktivitas sel β pankreas, dan sel yang lainnya
,pada saat yang bersamaan hiperglikemia akan menginduksi signal ROS yang
akan menstimulasi sekresi insulin atau glucosa
induced insulin secretion (GIIS).

Faktor resiko Sindrom metabolic


Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap terjadinya
sindrom metabolik. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua yaitu faktor
yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Untuk
faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu umur, jenis kelamin, genetik,
sedangkan ukuran lingkar pinggang, aktivitas fisik, diet, kebiasaan merokok,
sosial ekonomi merupakan faktor yang dapat dimodifikasi.
a. Umur
Seiring dengan peningkatan umur, prevalensi sindrom metabolik semakin
meningkat. Usia lanjut dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat kurang dari 60%
dari total energi sebab peningkatan konsumsi karbohidrat akan meningkatkan
resistensi insulin terutama dalam populasi usia lanjut.

b. Genetik
Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5% – 70%. Pada beberapa
orang faktor genetik merupakan penentu utama. Kemungkinan seorang anak
obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80%
jika kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya tidak
obesitas.

c. Jenis Kelamin
Pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi sindrom metabolik hampir
sama antara pria dan wanita. Namun prevalensi untuk pria lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita. Hal tersebut disebabkan pria mempunyai lingkar pinggang
yang lebih besar dibandingkan wanita yang merupakan salah satu tanda
adanya obesitas sentral.

d. Lingkar Pinggang
Seseorang yang mempunyai lingkar pingang yang besar mempunyai total
lemak tubuh yang tinggi serta pengukuran lingkar pinggang diakui sebagai
pengukuran yang baik untuk mengetahui lemak perut. Pengaruh lingkar
pinggang terhadap sindrom metabolik berkaitan dengan keadaan obesitas
sentral yang meningkatkan risiko sindrom metabolik.28 Sehingga Pengukuran
lingkar pinggang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sindrom
metabolik.Pada pria ukuran lingkar pinggang ≥90 cm dan wanita ≥80 cm
berisiko terhadap sindrom metabolik.

e. Asupan Gizi
Konsumsi tinggi karbohidrat >60 % dari total kalori yang dikonsumsi
meningkatkan risiko sindrom metabolik. Konsumsi tinggi karbohidrat
meningkatkan kadar trigliserida yang merupakan salah satu kriteria sindrom
metabolik. Hasil penelitian diperoleh bahwa konsumsi sayur yang tinggi
dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian sindrom metabolik. Tidak ada
hubungan signifikan antara konsumsi buah dengan rendahnya kadar kolesterol
HDL.

f. Aktivitas fisik
Pada wanita, penurunan aktifitas fisik meningkatkan risiko 2 kali lipat
sindrom metabolik.31 Aktivitas fisik merupakan faktor yang menentukan
perkembangan sindrom metabolik sebab mempengaruhi obesitas dan
distribusi lemak serta proses inflamasi yang berhubungan dengan risiko
penyakit kardiovascular pada usia lanjut.Aktivitas fisik tingkat moderat dapat
menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien hipertensi esensial
ringan hingga sedang. Penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan
signifikan antara aktivitas fisik dan peningkatan kadar HDL. Selain itu
aktivitas fisik juga berperan pada peningkatan sensitivitas reseptor insulin
sehingga mencegah resistensi insulin.

g. Merokok
Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study
menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari mengalami
penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk perempuan,
dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok.. Orang yang merokok 20
batang atau lebih perhari dapat meningkatkan efek dua faktor utama risiko
yaitu hipertensi dan hiperkolesterol. Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler
secara signifikan 3 kali lebih besar pada orang yang merokok dibandingkan
dengan orang yang tidak merokok, dan juga 3 kali lebih besar pada orang
yang merokok kretek.Aktivitas fisik dapat meningkatkan metabolic rate
sehingga dapat membantu mengontrol berat badan namun, perokok cenderung
untuk kurang beraktivitas dibanding yang tidak merokok.

Anda mungkin juga menyukai