Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang ditimbulkan akibat suatu

pekerjaan seseorang. Penyebab penyakit ini bisa disebabkan oleh

tindakan tidak aman (unsafe act) dan kondisi tidak aman (unsafe

condition). Unsafe act adalah suatu tindakan seseorang yang

menyimpang dari aturan yang sudah ditetapkan dan dapat mengakibatkan

bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain. Sedangkan Unsafe condition

adalah semua kondisi yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain,

peralatan maupun lingkungan yang ada disekitarnya. Menurut Budiono

bahwa kecelakaan kerja 96% disebabkan oleh unsafe act dan 4%

disebabkan oleh unsafe condition (Budiono, 2003).

Badan dunia International Labour Organization (ILO) mengemukakan

penyebab kematian yang diakibatkan oleh pekerjaan sebesar 34% adalah

penyakit kanker, 25% kecelakaan, 21% penyakit saluran pernapasan,

15% penyakit kardiovaskuler, dan 5% disebabkan oleh faktor lain


2

(Hutama, 2013). Infeksi saluran pernapasan akut merupakan masalah

kesehatan yang utama dibuktikan dengan prevalensi ISPA di Indonesia

sebanyak 25,5% (rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi di

antaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional dan pneumonia

sebanyak 2,1% (rentang: 0,8% - 5,6%) (Riskesdas, 2007).

ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang

disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia,

tanpa atau disertai radang parenkim paru (Trisnawati & Juwarni, 2012).

Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi risiko seseorang terkena

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), yaitu faktor lingkungan,

karakteristik individu dan prilaku pekerja. Faktor lingkungan meliputi

pencemaran udara ( asap rokok, polusi udara akibat hasil industri dan

asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi

yang tinngi). Faktor individu seperti umur, jenis kelamin, dan tingkat

pendidikan juga dapat mempengaruhi risiko kerentana terkena ISPA.

Prilaku pekerja meliputi suhu dan kecepatan serta arah angin (Sormin,

2012).

Paparan debu dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut maupun

kronis. Partikel debu yang dapat mengakibatkan gangguan pernapasan

akut salah satu nya adalah hasil industri yang dapat mencemari udara

seperti debu batu bara, semen, kapas, asbes, zat-zat kimia, gas beracun,

debu pada penggilingan padi (debu organik) dan lain-lain. Berbagai


3

faktor berpengaruh terhadap timbulnya penyakit atau gangguan pada

saluran napas akibat debu. Faktor itu antara lain adalah faktor debu yang

meliputi partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi serta

lama paparan. Faktor individual meliputi mekanisme pertahanan paru,

anatomi dan fisiologi saluran pernapasan (Cahyana et al., 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vitasasmiari pada tahun

2013 didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh kadar debu batu bara

terhadap ISPA dengan kadar debu sebesar 2,2 mg/m3 pada unit kerja

boiler dan 0,9mg/m3 pada unit kerja filling (Vitasasmiari, 2013).

Berdasarkan dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai hubungan intensitas paparan debu terhadap kejadian

infeksi saluran pernapasan akut pada pekerja lapangan di PT Bukit Asam

(Persero) Tbk unit pelabuhan Tarahan Lampung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Adakah hubungan antara

intensitas paparan debu terhadap kejadian infeksi saluran pernapasan akut

pada pekerja lapangan PT Bukit Asam (Persero) Tbk unit pelabuhan

Tarahan Lampung?”.
4

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara intensitas paparan debu terhadap

kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada pekerja lapangan PT.

Bukit Asam Tarahan. PT Bukit Asam (Persero) Tbk unit pelabuhan

Tarahan Lampung.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian infeksi saluran

pernapasan akut pada pekerja lapangan PT Bukit Asam

(Persero) Tbk unit pelabuhan Tarahan Lampung.

b. Untuk mengetahui karakteristik pekerja lapangan di PT Bukit

Asam (Persero) Tbk unit pelabuhan Tarahan Lampung.

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi intensitas paparan debu.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Dapat membuktikan teori bahwa lingkungan kerja pekerja lapangan

di PT Bukit Asam (Persero) Tbk unit pelabuhan Tarahan Lampung

berhubungan dengan tingkat kejadian infeksi saluran pernapasan

akut.
5

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi praktisi kesehatan

Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dan

masukan dalam meningkatkan keterampilan serta pengetahuan

tentang infeksi saluran napas akut.

b. Bagi masyarakat umum

Dapat memberikan informasi tentang infeksi saluran napas akut

dan bahaya paparan debu.

c. Bagi penelitian selanjutnya

Dapat dijadikan sebagai data penelitian lebih lanjut.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Akibat Kerja

Penyakit akibat kerja (PAK) adalah penyakit yang diderita karyawan dalam

hubungan dengan kerja baik faktor risiko karena kondisi tempat kerja,

peralatan kerja, material yang dipakai, proses produksi, cara kerja dan hasil

produksi. Kecelakaan dan penyakit di tempat kerja seringkali terjadi karena

beberapa penyebab, diantaranya faktor-faktor cara mengatur tempat kerja,

fisik dan manusia. Risiko-risiko ini dapat diklasifikasikan dengan beberapa

cara, seperti:

1. Menurut jenis umum, misalnya:

 Risiko yang berhubungan dengan mesin

 Risiko yang berhubungan dengan bahan kimia yang berbahaya

 Risiko-risiko yang berhubungan dengan sosial kejiwaan

2. Menurut kerusakan yang dihasilkan, misalnya:

 Kerusakan pada pendengaran akibat tingkat kebisingan yang

tinggi

 Luka-luka karena menjalankan mesin yang berbahaya


7

 Penyakit pada anggota badan bagian atas akibat ketegangan

yang terus-menerus

Beberapa industri dapat mengakibatkan bermacam-macam risiko. Misalnya,

dalam pertambangan, para pekerja mungkin menjalankan peralatan bergerak

cepat yang ada dalam lingkungan kerja yang kurang terang pencahayaannya,

mereka mungkin sering berada dalam lingkungan yang mengandung debu

yang berbahaya dan uap, dan ada kemungkinan menghadapi risiko ledakan

atau kebakaran secara tiba-tiba (ILO, 2008).

2.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut

2.2.1 Definisi

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran

pernapasan akut yang meliputi saluran pernapasan bagian atas seperti

rhinitis, faringitis, dan otitis serta saluran pernapasan bagian bawah

seperti laryngitis, bronkhitis, bronkhiolitis dan pneumonia, yang dapat

berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk

menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran pernapasan

terdiri dari organ mulai dari hidung sampai alveoli beserta sinus,

ruang telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2005).


8

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan

gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit gejala bisa

menjadi lebih berat bahkan bisa sampai gagal pernapasan. Bila sudah

dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang

lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu

diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah

berat harus segera mendapat pertolongan agar tidak jatuh dalam

kegagalan pernapasan (Depkes RI, 2005).

2.2.2 Penyebab

Infeksi Saluran Pernapasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan

kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari

300 jenis. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Bakteri

penyebab ISPA antara lain dari genus streptokokus, haemofilus,

pnemokokus, bordetella dan korimebakterium, sedangkan virus

penyebab ISPA antara lain yaitu mikrovirus, adenovirus, koronavirus,

mikroplasma dan herpesvirus (Salsila, 2012).

2.2.3 Faktor resiko

Faktor utama adalah karena adanya polusi, sanitasi lingkungan yang

buruk, kurangnya imunisasi dan lainnya. Beberapa faktor lainnya

yaitu:

1. kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota

keluarga), kelembaban, kebersihan, musim, temperatur.


9

2. ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah

pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya, vaksin,

akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang

isolasi).

3. faktor pejamu seperti usia, kebiasaan merokok. Kemampuan

pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi

sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen

lain, kondisi kesehatan umum.

4. karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor

virulensi dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran inokulum) (WHO,

2007).

2.2.4 Klasifikasi

Menurut Depkes RI tahun 2005, klasifikasi dari ISPA adalah :

1. Ringan (bukan pneumonia) Batuk tanpa pernapasan cepat / kurang

dari 40 kali / menit, hidung tersumbat / berair, tenggorokan merah,

telinga berair.

2. Sedang (pneumonia sedang) Batuk dan napas cepat tanpa stridor,

gendang telinga merah, dari telinga keluar cairan kurang dari 2

minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar limfe yang

nyeri tekan (adentis servikal).

3. Berat (pneumonia berat) Batuk dengan napas berat, cepat dan

stridor, membran keabuan di taring, kejang, apnea, dehidrasi berat /


10

tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat pada dinding

dada sebelah bawah ke dalam (Depkes RI, 2005).

2.2.5 Gejala

ISPA pada umumnya adalah infeksi bakteri pada berbagai area dalam

saluran pernapasan, termasuk hidung, telinga tengah, pharynx, larynx,

trakea, bronkus dan paru. Gejalanya dapat bervariasi, antara lain

meliputi batuk, sesak napas, tenggorokan kering dan hidung

tersumbat. Dikatakan ISPA ringan yaitu bila didapat satu atau lebih

gejala batuk, pilek, suara serak dan demam. Pada ISPA sedang

terdapat gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih tanda dan gejala

berupa frekuensi pernapasan lebih dari 50/menit, wheezing, suhu 39oC

atau lebih. Kategori ISPA berat yakni bila terdapat gejala ISPA ringan

atau sedang ditambah satu atau lebih gejala berupa retraksi sela iga

dan fossa suprasternal waktu inspirasi, stridor, sianosis, napas cuping

hidung, kejang, dehidrasi, kesadaran menurun, terdapat membran

difteri (Rudianto, 2013).

2.2.6 Cara Penularan

ISPA ditularkan melalui kontak langsung ataupun dari partikel virus

atau bakteri yang terhirup. ISPA tersebar melalui sekresi ketika

seseorang yang mengidap penyakit tersebut batuk, bersin ataupun

membuang dahak di tangannya, setelah mengusap mata, hidung atau


11

mulut. Sekresi atau droplet secara keseluruhan berkurang

efektivitasnya saat di udara, tapi masih dapat terinfeksi selama

beberapa jam atau beberapa hari. Partikel yang tersebar dapat secara

langsung menempel pada permukaan membran mukosa orang yang

tertular atau dapat menetap pada kulit, bahan nilon, permukaan

stainless steel dan mika (Kang et al., 2003).

2.2.7 Pengobatan

Pada penyakit ISPA yang disebabkan oleh virus tidak perlu diterapi

dengan antibiotik, karena dapat mengakibatkan resistensi. Terapi pada

ISPA bersifat simptomatik yaitu istirahat total yang dapat membantu

kesembuhan dan meminimalisir transmisi virus, selain itu banyak

mengkonsumsi air dapat membantu mencegah dehidrasi pada demam

ringan. Dekongestan seperti pseudoefedrin digunakan untuk

mengurangi sekret nasal dan radang pada sinus. Dekongestan

digunakan tidak lebih dari 3-4 hari untuk mencegah gejala rebound.

Dextromethorphan, codeine, atau terpin hydrate dapat mengurangi

batuk. Aspirin, acetaminophen, atau anti-inflamasi seperti ibuprofen

dapat menghilangkan nyeri. Aspirin tidak harus digunakan pada anak

dibawah 18 tahun karena meningkatkan reye syndrom. Inhalasi seperti

cromolyn insodium atau ipratropium dapat digunakan untuk

mengurangi gejala pada ISPA (Hirschmann, 2002).


12

2.3 Batubara

2.3.1 Definisi

Batubara merupakan suatu jenis mineral yang tersusun atas karbon,

hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan senyawa- senyawa mineral.

Batubara digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk

menghasilkan listrik. Pada pembakaran batubara, terutama pada

batubara yang mengandung kadar sulfur yang tinggi, menghasilkan

polutan udara, seperti sulfur dioksida, yang dapat menyebabkan

terjadinya hujan asam. Karbon dioksida yang terbentuk pada saat

pembakaran berdampak negatif pada lingkungan (Achmad, 2004).

2.3.2 Pembentukan Batubara

Penimbunan lanau dan sedimen lainnya, bersama dengan pergeseran

kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik) mengubur rawa dan

gambut yang seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam.

Dengan penimbunan tersebut, material tumbuhan tersebut terkena

suhu dan tekanan yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi tersebut

menyebabkan tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan fisika

dan kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan

kemudian batu bara. Pembentukan batubara dimulai sejak

Carboniferous Period (Periode Pembentukan Karbon atau Batu Bara)

dikenal sebagai zaman batu bara pertama yang berlangsung antara 360

juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu
13

bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan,

yang disebut sebagai maturitas organik. Proses awalnya gambut

berubah menjadi lignite (batu bara muda) atau brown coal (batu bara

coklat) adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah.

Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak

lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-

coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus

selama jutaan tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang

secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batu

bara muda menjadi batu bara sub-bitumen. Perubahan kimiawi dan

fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan

warnanya lebih hitam dan membentuk bitumen atau antrasit. Dalam

kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin tinggi

terus berlangsung hingga membentuk antrasit (WCI, 2009).

2.3.3 Jenis-jenis Batubara

Batubara dapat digolongkan menjadi 4 jenis tergantung dari umur dan

lokasi pengambilan batubara, yakni lignit, subbituminous, bituminous,

dan antrasit, dimana masing- masing jenis batubara tersebut secara

berurutan memiliki perbandingan C : O dan C : H yang lebih tinggi.

Antrasit merupakan batubara yang paling bernilai tinggi, dan lignit,

yang paling bernilai rendah.


14

a. Lignit disebut juga brown-coal, merupakan tingkatan batubara

yang paling rendah, dan umumnya digunakan sebagai bahan bakar

untuk pembangkit listrik.

b. Subbituminous umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga

uap. Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku yang

penting dalam pembuatan hidrokarbon aromatis dalam industri

kimia sintetis.

c. Bituminous mineral padat berwarna hitam dan kadang coklat tua,

sering digunakan dalam pembangkit listrik tenaga uap.

d. Antrasit merupakan jenis batubara yang memiliki kandungan

paling tinggi dengan struktur yang lebih keras serta permukaan

yang lebih kilau dan sering digunakan keperluan rumah tangga dan

industri.

2.3.4 Dampak penggunaan batubara terhadap lingkungan

Batubara merupakan bahan bakar utama untuk menghasilkan tenaga

listrik, karena biayanya yang relatif murah dan mudah didapatkan

karena produknya yang berlimpah. Di lain pihak, pembakaran

batubara dapat menyebabkan emisi logam seperti As, Hg, Cd, dan Pb.

Besar kecilnya kandungan logam juga berbeda- beda dan bergantung

pada asal produksinya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa

batubara lignit ( asal kayu ) dan batubara subbituminus ( asal batuan )

kurang mengandung logam- logam tersebut daripada batubara

bituminous ( mineral asli ).


15

Selama proses pembakaran, bagian batubara yang mudah menguap

akan berbentuk gas di dalam boiler dan mengumpul dalam partikel

aerosol. Suhu pembakaran dalam boiler merupakan salah satu

parameter yang penting dalam memengaruhi jumlah logam yang

terbebaskan. Makin tinggi suhu dalam boiler, makin banyak logam

yang terbebaskan. Sistem filter juga dipergunakan dalam mengurangi

emisi logam ke udara, yaitu dengan menggunakan electrostatic

precipitator ( ESP ) dan scrubber basah yang dipasang pada buangan

asap pembangkitlistrik tenaga batubara ( Darmono, 2001).

Sulfur oksida ( SOx) dan nitrogen oksida ( NOx) hasil pembakaran

batubara dan bahan bakar fosil lainnya yang terdapat di udara akan

bereaksi dengan molekul – molekul uap di atmosfir membentuk asam

sulfat ( H2SO4) dan asam nitrat ( HNO3) yang selanjutnya akan turun

ke permukaan bumi bersama – sama dengan air hujan, yang dikenal

dengan hujan asam. Hujan asam dapat mengakibatkan rusaknya

bangunan dan berkaratnya benda- benda yang terbuat dari logam,

selain itu hujan asam juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan

terutama pengasaman ( acidification ) danau dan sungai, pH dibawah

4.5 tidak memungkinkan bagi ikan untuk hidup. Asam di air akan

menghambat produksi enzim dari larva ikan untuk keluar dari

telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperti aluminium di


16

danau. Aluminium akan menyebabkan produksi lender yang

berlebihan pada insang sehingga ikan sulit bernapas (Achmad, 2004).

Pembakaran batubara akan menghasilkan abu terbang (fly ash) dan

abu dasar (bottom ash). Jumlah abu terbang yang dihasilkan lebih

banyak ( 80% dari total sisa abu pembakaran batubara), butiran abu

terbang jauh lebih kecil (200 Mesh) dan lebih berpotensi

menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih

mempunyai nilai kalori sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali

sebagai bahan bakar ( Munir, 2008).

2.3.5 Abu batubara

Abu batubara merupakan hasil samping dari pembakaran batubara

sebagai sumber energi yang banyak digunakan di industri atau

pembangkit listrik. Karakteristik abu batubara yang dihasilkan sangat

tergantung jenis dan ukuran batubara serta teknologi pembakaran.

Karakteristik abu tersebut diperkirakan akan mempengaruhi proses

pengambilan silika dari abu batubara. Jenis batubara yang digunakan

oleh PLTU dan industri di wilayah Jawa Barat tergolong batubara sub-

bituminous yang berasal dari Kalimantan Timur. Batubara yang

digunakan di PLTU biasanya dihancurkan dulu hingga ukuran sekitar

100 mesh dan dilakukan pembakaran di boiler tungku pulverized pada

suhu pembakaran yang relatif tinggi yaitu lebih dari 800 0C. Batubara

yang digunakan untuk pembangkit kukus sebagai media pemanas di


17

industri seperti industri tekstil mempunyai ukuran besar sekitar 1-5 cm


0
dengan suhu pembakaran yang lebih rendah (sekitar 600 C).

Perbedaan ukuran butiran batubara dan proses pembakaran akan

menghasilkan abu dengan karakteristik yang berbeda seperti ukuran

butiran, komposisi kimia, dan struktur padatan atau bentuk kristal

silika. Perbedaan karakteristik abu batubara dari kedua sumber ini

akan mempengaruhi proses pemungutan kembali silika dari kedua

jenis abu tersebut.

Abu batubara merupakan limbah dari proses pembakaran bahan bakar

batubara yang dapat berupa abu terbang, abu dasar, dan lumpur flue

gas desulfurization. Abu terbang (fly ash) adalah produk dari

pembakaran batubara di boiler yang dipisahkan dari exhaust gases

dengan cyclon, electrostatic precipitators, bag houses, atau sistem

scrubber. Abu dasar (bottom ash) adalah aglomerasi partikel abu yang

terbentuk di tungku batubara yang terlalu berat untuk terbawa gas

buang. Bottom ash biasanya menempel di dinding furnace atau jatuh

ke ash hopper di dasar furnace. Fly ash sebagian besar dihasilkan dari

boiler tungku jenis pulverized untuk PLTU sedangkan bottom ash

lebih banyak dihasilkan oleh boiler tungku chain grate yang banyak

digunakan oleh industri menengah seperti tekstil dan kertas. Jumlah

abu batubara diperkirakan sekitar 10% dari batubara yang digunakan.


18

2.3.6 Dampak abu terbang terhadap lingkungan

Sisa hasil pembakaran batubara menghasilkan abu terbang dan abu

dasar. Persentase abu yang dihasilkan adalah abu terbang (80-90%)

dan abu dasar (10-20%). Butiran abu terbang jauh lebih kecil daripada

abu dasar, sehingga lebih berpotensi menimbulkan pencemaran udara,

sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai kalori, sehingga masih

dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1999 dan

Peraturan Pemerintah nomor 85 tahun 1999, abu batubara

diklasifikasikan sebagai limbah B-3 sehingga penanganannya harus

memenuhi kaidah - kaidah tersebut. Penanganan yang

direkomendasikan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 dan

Peraturan Pemerintah nomor 85 tahun 1999 adalah solidifikasi dimana

dengan proses tersebut limbah B-3 dalam abu batubara dapat menjadi

stabil dan dapat dimanfaatkan sebagai produk yang aman bagi

kesehatan dan lingkungan.

2.4 Hubungan antara Lingkungan Kerja dan Kejadian ISPA

Seperti halnya dalam semua penyakit dalam bidang kesehatan, pada ISPA

faktor lingkungan sangat berperan sekali pengaruhnya. Kondisi lingkungan

yang tertata baik akan membuat masyarakat hidup sehat, sebaliknya jika

kondisi lingkungan yang buruk membuat masyarakat rentan terhadap

berbagai macam penyakit baik penyakit infeksi maupun penyakit non infeksi,
19

sehingga yang terjadi adalah tingginya penyakit ISPA pada kondisi

lingkungan yang buruk (Suparman, 2006).

2.5 Intensitas Paparan Debu

Partikel debu yang dapat dihirup berukuran 0,1 sampai kurang dari 10

mikron. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan

dan tertimbun pada saluran napas bagian atas, yang berukuran antara 3-5

mikron akan tertahan dan tertimbun pada saluran pernapasan tengah. Partikel

debu dengan ukuran 1-3 mikon disebut debu respirabel merupakan yang

paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkiolus

terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron tidak

mudah mengendap di alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1-0,5 mikron

berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk alveoli. Debu yang membentur

alveoli akan tertimbun di alveoli tersebut (Sholihah et al., 2008).

2.6 Pengukuran Kadar Debu

Debu di Udara Pengukuran kadar debu di udara bertujuan untuk

mengetahui apakah kadar debu pada suatu lingkungan kerja berada

konsentrasinya sesuai dengan kondisi lingkungan kerja yang aman dan

sehat bagi pekerja. Alat-alat yang biasa digunakan untuk pengambilan

sampel debu total (TSP) di udara seperti:


20

1. High Volume Sampler

Menurut Lodge (1989) dalam Purigiwati (2010) pengukuran kadar debu

total atau kadar partikel tersuspensi di udara dapat dilakukan salah

satunya dengan alat High Volume Sampler/HVS. Alat ini dapat

mengukur partikel dengan ukuran 0 µm – 10 µm. Alat ini terdiri dari

beberapa komponen seperti inlet, penyangga filter, penggerak udara,

pengontrol laju alir dan timer.

Cara operasional alat ini adalah sebagai berikut :

1. Panaskan kertas saring pada suhu 105 ̊ selama 30 menit

2. Timbang kertas saring dengan neraca analitik dengan

menggunakan pinset (hati-hati jangan menyentuh tangan)

3. Pasangkan pada alat TSP dengan membuka atap TSP kemudian

dipasang kembali atapnya

4. Simpan alat HVS tersebut pada tempat yang sudah ditentukan

sebelumnya

5. Operasikan alat dengan cara mrnghidupkan (pada posisi “On”)

pompa hisap dan mencatat angka flow rate-nya (laju alir

udaranya)

6. Matikan alat sampai batas waktu yang ditetapkan

7. Ambil kertasnya kemudian timbang

8. Hitung kadar TSP nya sebagai mg/NM.


21

2. Middle Volume Sampler

Pengukuran dengan MVS menggunakan filter berbentuk lingkaran dengan

porositas 0.3 – 0.45 µm, kecepatan pompa yang dipakai untuk

penangkapan debu adalah 50 – 500 lpm. Operasional dari MVS sama

dengan HVS, perbedaannya hanya terletak pada ukuran filter

membrannya. HVS menggunakan filter A4 persegi panjang, sedangkan

MVS menggunakan filter bulat diameter 12 cm (BPLHD Jabar, 2007).

3. Low Volume Sampler

LVS dapat digunakan untuk mengukur partikulat di dalam maupun di luar

ruangan. Pompa vakum bertujuan untuk menarik partikulat di udara ke

dalam alat, kemudian ukuran partikulat disortir oleh pemisah (impaktor)

dan partikel debu diendapkan pada filter. Setelah itu dilakukan analisis

secara gravimetri. Metode pengukuran dengan LVS menggunakan vilter

berbentuk lingkaran dengan porositas 0.3 - 0.45 µm dengan kecepatan

pompa penangkap 10 – 30 lpm (Arief, 2013).

Cara operasional alat ini sebagai berikut (SNI-16-7058-2004) :

1. LVS dihubungkan dengan pompa penghisap udara dengan

menggunakan selang silikon atau teflon

2. LVS diletakkan di titik pengukuran (di dekat tenaga kerja

terpapar debu) dengan menggunakan tripod setinggi zona

pernapasan pekerja.
22

3. Pompa penghisap udara dihidupkan dan lakukan pengambilan

contoh dengan kecepatan aliran udara 10 L/menit

4. Lama pengambilan contoh dapat dilakukan selama beberapa

menit hingga satu jam (tergantung kebutuhan, tujuan dan

kondisi pengukuran)

5. Pengambilan contoh dilakukan minimal 3 kali dalam 8 jam

kerja yaitu pada awal, pertengahan dan akhir shift kerja

6. Setelah selesai pengambilan conth, debu pada bagian luar

holder dibersihkan untuk menghindari kontaminasi

7. Filter dipindahkan dengan menggunakan pinset ke keset filter

dan dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam.


23

2.7 Kerangka Teori

Faktor lingkungan:
 Pencemaran asap rokok
 Paparan debu Saluran napas
 Pencemaran asap bahan
bakar

Infeksi saluran
pernafasan akut
Faktor individu:
 Umur
 Jenis kelamin
 Tingkat pendidikan Penyakit akibat
kerja

Ket : = diteliti

= tidak diteliti

2.8 Kerangka Konsep

Tinggi

Intensitas Kejadian ISPA


paparan debu

Rendah
24

2.9 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah

 H0: Tidak terdapat hubungan antara lingkungan kerja dengan

kejadian infeksi saluran pernafasan akut pada pekerja lapangan di

PT. Bukit Asam Tarahan.

 Ha: Terdapat hubungan antara lingkungan kerja dengan kejadian

infeksi saluran pernafasan akut pada pekerja lapangan di PT.Bukit

Asam Tarahan.
25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelatif dengan pendekatan

cross sectional, yaitu untuk mengetahui hubungan intensitas paparan debu

terhadap kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada pekerja lapangan,

mengumpulkan data-data mengenai umur, jenis kelamin, durasi paparan,

masa kerja, dan pemakaian alat pelindung diri saat bekerja. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui hubungan intensitas paparan debu terhadap

infeksi saluran pernapasan akut pada pekerja lapangan dari suatu populasi

pada satu waktu tertentu.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2015.

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk

Tarahan, Bandar Lampung, Lampung.


26

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Variabel Terikat

Variabel terikat (dependent variable) yaitu variabel yang berubah

akibat perubahan variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian

ini adalah kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada pekerja

lapangan.

3.3.2 Variabel Bebas

Variabel bebas (independent variable) yaitu variabel yang apabila

berubah akan mengakibatkan perubahan variabel lain. Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah intensitas paparan debu di tempat

kerja.

3.3.3 Variabel Pengganggu

Variabel pengganggu adalah variabel yang mempengaruhi hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel pengganggu

dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

a. Variabel pengganggu terkendali: jenis kelamin, umur, riwayat

penyakit, masa kerja, kebiasaan merokok, status gizi, dan

pemakaian alat pelindung diri.


27

b. Variabel pengganggu tidak terkendali: riwayat pekerjaan dan

kebiasaan olah raga.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi Penelitian

Dalam penelitian yang dimaksud dengan populasi adalah

keseluruhan kelompok subjek dapat berupa manusia, hewan

percobaan, data laboratorium dan lain-lain yang ciri-cirinya akan

diteliti. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja

pabrik batubara di Sumatra. Populasi terjangkau dalam penelitian ini

adalah seluruh karyawan PT. Bukit Asam (Persero) Tbk Bandar

Lampung yang berjumlah 330 orang.

3.4.2 Sampel Penelitian

Sebagai sampel penelitian diambil dari sebagian populasi, jumlah

sampel yang diuji dihitung dengan menggunakan rumus dari Sevilla

et al yaitu rumus slovin dan menggunakan bantuan kalkulator.

Penentuan besar sampel dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

N
𝑛=
1 + Ne2

Keterangan :

n = besar sampel (sample size)

N = besar populasi

e = taraf kesalahan (error) sebesar 0,10


28

Sehingga didapatkan jumlah sampel sebagai berikut:

330
𝑛=
1 + 350(0,102 )

330
𝑛=
4,5

𝑛 = 73 pekerja

Jumlah sampel dibulatkan menjadi 73 orang untuk mengantisipasi

apabila ada responden yang tidak bisa menjadi sampel. Teknik

pengambilan sampel dilakukan dengan Purposive Quota Random.

Dalam penelitian ini dibagi 2 kelompok yaitu kelompok yang

melebihi NAB dan kurang dari NAB.

3.4.3 Kriteria Inklusi

Sampel penelitian sebanyak 73 responden adalah sebagian dari

populasi yang ditentukan dengan kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Pekerja PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk Unit

Pelabuhan Tarahan

b. Bersedia mengikuti penelitian.

c. Masa kerja minimal 1 tahun.

d. Menandatangani surat persetujuan (informed consent) penelitian.

e. Jenis kelamin: laki-laki

f. Melakukan Medical Check Up.


29

3.4.4 Kriteria eksklusi

Sampel penelitian sebanyak 73 responden adalah sebagian dari

populasi yang apabila terdapat kriteria ekslusi tidak dapat menjadi

responden dalam penelitian ini. Kriteria ekslusi yang diajukan

adalah:

a. Pekerja tidak hadir saat dilakukan penelitian.

b. Terdapat riwayat penyakit paru-paru sebelum bekerja di PT

Bukit Asam (Persero) Tbk unit pelabuhan Tarahan Lampung.

3.5 Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

3.5.1 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan peralatan untuk mendapatkan data

sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini peralatan yang

digunakan untuk pengambilan data beserta pendukungnya adalah:

a. Alat tulis, yaitu peralatan yang di gunakan untuk mencatat data

penelitian.

b. Formulir Informed Consent

Merupakan formulir yang berisi kesediaan dari responden dalam

mengikuti penelitian yang akan dilakukan.

c. Kuesioner Penelitian

Bagi para pekerja sebagai responden, disusun daftar pertanyaan

untuk memperoleh data pendukung tersebut oleh peneliti yang

dibuat peneliti dengan mengacu pada landasan teori. Kuesioner


30

yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner

dari

d. High Volume Sampler

High Volume Sampler yaitu alat untuk mengukur banyaknya

partikel debu yang berada di tempat kerja.

Cara penggunaan alat :

1. Pasang filter pada HVS, alat di ”ON” kan, dan atur flow

meter

2. Tunggu sampai 60 menit.

3. Matikan alat dengan menekan tombol OFF

4. Filter diambil, kemudian ditimbang (berat filter terisi)

3.5.2 Cara Pengumpulan Data

Dalam penelitian diperlukan berbagai data baik primer maupun data

sekuder. Data-data tersebut adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek

yang diteliti dengan cara melakukan pengamatan dan pengukuran

secara langsung.

Cara memperoleh data primer yaitu dengan melakukan :

a. Pengamatan terhadap proses produksi, keadaan lingkungan

tempat kerja, dan keadaan tenaga kerja.

b. Pengukuran dengan alat, seperti pengukuran kadar debu

c. Wawancara dan pemberian kuesioner.


31

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari dokumen-

dokumen perusahaan ataupun referensi yang relevan terhadap

objek yang sedang diteliti.

Adapun data sekunder dalam penelitian ini meliputi:

a. Buku referensi yang relevan terhadap objek yang diteliti.

b. Artikel serta jurnal dari suatu media yang sesuai dengan objek

yang diteliti.

3.6 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Skala Hasil Ukur


Operasional
Paparan Konsentrasi High Mengukur Nominal - Melebihi
debu partikel debu Volume kadar debu NAB
yang dihirup Sampler total pada (>3mg/m3)
pekerja saat (HVS) beberapa
bekerja di tempat di - Tidak
bagian pabrik. Melebihi
produksi. NAB
NAB (≤3mg/m3)
berdasarkan
SE
Menakertran
No : SE-
01/MEN/1997
tentang
NAB faktor
kimia di udara
lingkungan
kerja, untuk
debu
respirabel
sebesar 3
mg/m3.
32

ISPA Pengertian Kuisoner Wawancara Nominal - ISPA


ISPA yaitu -Tidak
radang akut ISPA
saluran
pernapasan
atas maupun
bawah yang
disebabkan
oleh infeksi
jasad renik
bakteri, virus
maupun
riketsia, tanpa
atau disertai
radang
parenkim
paru.

Jenis Kriteria atau Kuesioner Wawancara Nominal - Lakilaki.


Kelamin ciriciri atau - Wanita
biologis yang mengisi
membedakan kuesioner
antara laki-
laki dan
perempuan
Umur Perhitungan Kuesioner Wawancara Ratio Pekerja
waktu atau yang
yang dihitung mengisi berumur
dari kuesioner 20-40
tahun Tahun
kelahiran
sampai hari
pada
saat dilakukan
penelitian
Riwayat Catatan jenis Kuesioner Wawancara Nominal - Pernah
Penyakit penyakit yang atau sakit
Paru berhubungan mengisi - Tidak
dengan kuesioner pernah
penyakit sakit
saluran
pernafasan
Masa Lama waktu Kuesioner Wawancara Ratio - Baru (<5
Kerja yang atau th)
dihitung sejak mengisi - Lama
awal kuesioner (≥5th)
sampel mulai
33

bekerja
sampai saat
dilakukan
Status Gizi Kondisi Timbangan Pengukuran Ordinal -Kurus
sampel berat badan langsung
yang dihitung dan -Normal
dengan IMT alat ukur
(Indeks Masa tinggi -Gemuk
Tubuh). badan

Pemakaian Kebiasaan Kuisioner Kuesioner Nominal -Pakai


Alat sampel dan
Pelindung memakai alat observasi -Tidak
Diri pelindung diri Pakai
(masker)
untuk
melindungi
saluran
pernafasan
dari
paparan debu
pada
saat bekerja.
Kebiasaan Kebiasaan Kuesioner Kuesioner Ordinal - Perokok
merokok responden dan ringan
merokok di observasi - Perokok
tempat sedang
kerja pada - Perokok
saat Berat
bekerja
maupun
saat jam
istirahat
Kebiasaan Kebiasaan Kuesioner Kuesioner Nominal - Berolah
Olahraga responden raga
untuk - Tidak
melakukan berolah
olahraga agar raga
paru
dan tubuh
menjadi
sehat.
Riwayat Pekerjaan Kuesioner Kuesioner Nominal - Pernah
Pekerjaan yang - Tidak
telah dialami pernah
tenaga yang
berhubungan
34

dengan
paparan
debu

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Pengolahan data

Penyajian data merupakan salah satu kegiatan dalam pembuatan

laporan hasil penelititan yang telah dilakukan agar dapat dipahami,

dinalisis sesuai dengan tujuan yang diinginkan dan kemudian ditarik

kesimpulan sehingga menggambarkan hasil penelitian (Suyanto,

2005). Adapun teknik penyajian data yang dilakukan dalam

penelitian ini sebagai berikut :

a. Pemeriksaan data (editing)

Editing dilakukan sebelum pengolahan data. Data yang telah

dikumpulkan dari kuesioner perlu dibaca sekali lagi dan

diperbaiki, apabila terdapat hal-hal yang salah atau masih

meragukan misalnya, apakah semua pertanyaan sudah terisi,

apakah jawaban relevan dengan pertanyaan, apakah jawaban-

jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban pertanyaan yang

lainnya. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas data serta

menghilangkan keraguan data.

b. Pemberian kode (Coding)

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya

dilakukan pengkodean atau “coding”, yakni mengubah data


35

berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atua bilangan.

Pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukkan data

(data entry).

c. Pemberian skor (scoring)

Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan skor atau nilai dari

jawaban dengan nilai tertinggi sampai nilai terendah dari

kuesioner yang diajukan kepada responden.

d. Tabulasi

Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan data yang

diperoleh ke dalam tabel-tabel sesuai dengan tujuan penelitian

atau yang diinginkan oleh peneliti.

3.7.2 Analisis data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik dengan

menggunakan metode :

a. Analisis data Univariat

Analisis yang digunakan terhadap tiap variabel dari hasil

penelitian. Umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi dan persen dari tiap variabel. Analisis data ini

digunakan untuk mendeskripsikan semua variabel dalam bentuk

tabel diagram distribusi dan persentase untuk memberikan


36

gambaran mengenai kadar debu batu bara terhadap infeksi

saluran pernapasan akut pada pekerja lapangan.

b. Analisis bivariat

Dilakukan untuk mengetahui pengaruh dua variabel yaitu

variabel bebas dan variable terikat. Uji statistic yang dilakukan

sesuai dengan jenis skala datanya. Untuk melakukan analisis

bivariat ini digunakan program SPSS.

Penelitian ini menggunakan uji statistik yaitu regresi linier

sederhana karena hubungan fungsional linier antara x dan y,

skala data kontinyu dengan taraf kepercayaan 95% dengan α =

0,05. Sampel perlu dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu

dengan menggunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov.

Selanjutnya dilakukan uji hubungan, apabila datanya

berdistribusi normal digunakan uji korelasi Pearson-Product

Moment dan uji korelasi Rank Spearman jika datanya tidak

normal. Apabila ada hubungan variable bebas dengan variable

terikat, maka dapat dilakukan ke uji pengaruh menggunakan uji

regresi linier sederhana.


37

3.8 Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1 Bagan Prosedur Penelitian

Penelusuran Kepustakaan dan Survey Pendahuluan

Penyusunan Proposal Penelitian

Seminar Proposal

Permohonan izin Penelitian

Proses Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis Data

Interpretasi Penelitian

Anda mungkin juga menyukai