Anda di halaman 1dari 45

1

Skenario 1

PENURUNAN KESADARAN

Seorang Laki-laki berusia 54 thn dating ke IGD diantar keluarganya


karena penurunan kesadaran. Dalam 5 bulan ini pasien memiliki riwayat DM tipe
2. Pasiennya jarang berolahraga. Ibu pasien memiliki riwayat DM tipe 2. Pada
pemeriksaan fisik TD 110/80 MmHg, Nadi 118x/menit teraba lemah, suhu 36,7 C,
RR 22x/menit. Turgor kulit kembali lambat. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan GDS 900 Mg/dl, pH 7,4. Osmolaritas serum 420 mOsm/kg. Anion gap
9, keton urin (+) Dokter kemudian memberikan tatalaksana awal pada pasien
tersebut.

STEP 1

1. Gula darah sewaktu: Normal 440

2. Diabetes tipe 2: penyakit metabolic

3. Turgor kulit: Kelenturan kulit=dehidrasi

4. Anion gap: Disparitas antara kation dan anion pada ekstraselular

STEP 2

1. Apa yang menyebabkan penurunan kesadaran pada kasus? Hubungannya


dengan DM tipe 2 dan jarang berolahraga dan targor kulit melambat dan faktor
resiko diabetes/
2. Bagaiman Penegakan diagnosis pada kasus?
3. Tatalaksana awal apa ynag diberikan oleh dokter?
4. Bagaimana komplikasi dari diabetes mellitus?

STEP 3

1. Gaya Hidup – Obesitas – sekresi insulin – Glukosa meningkat – hiperglikemi


Reseptor insulin
Diatur Sel B→menurunya gula jaringan
Insulin→Mengangkut dari darah – jaringan – memecah lemak – jaringan di
hepar – Glukoneogenesis
2

2. Anamnesis: Klasik→Poliuria, polydipsia, polifagia, BB↓


PF: ↑TD, turgor kulit
PP: ADA→ GDD - ↔126

GDS - ↔ 200

HbAIC – 6,5%

3. Hacl 0,9% 1-2 ml/1 jam pertama


a. Insulin
b. Agen hipoglikemi
4. Ketoasidosis→ Penumpukan keton di dalam tubuh

STEP 4

1. Menurunnya insulin→ glikogenesis


Terdapat kompensasi - retensi urin – sel B – obesitas – insulin ekstra – Insulin
berlebihan – hyperplasia sel B
Keganasan sel B – diabetes – tidak ada yg mengangkut gula darah ke jaringan
a. DM tipe 1→Autoimun
b. DM tipe 2→insulin banyak tidak mengenal insulin

Cairan:
a. Ekstraselular
b. Intraselular
c. Intertisial
Faktor resiko DM:
a. Obesitas
b. Urbinitas
c. Tidak dapat diubah: keluarga
d. dapat diubah: jarang olahraga

Input dan output insulin berubah-ubah dapat mengganggu reseptor insulin


pada sel sehingga terjadi instabilitas insulin, tubuh kompensasi dengan siklus
Krebs dan terdapat buangan keton. Sehingga ph turun, glukosa darah
meningkat, osmolaritas meningkat dan terjadi perubahan pH.
3

Ketika ada kerusakan pada sel β pankreas, dapat terjadi kegagalan


produksi insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk kedalam sel-sel jaringan
sehingga sel kekurangan ATP. Oleh karena itu hepar melakukan
gluconeogenesis, menghambat glikogenesis dan terjadi lipolisis.

Ketika terjadi lipolisis asam lemak bebas akan direduksi oleh hepar
(ketogenesis) dan menghasilkan keton yang berpengaruh pada terjadinya
asidosis metabolik.

2. Penegakan diagnosis
Ditegakkan atas dasar pemriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan plasma darah vena.
a. Gejala klasik : Poliuria, polidipsia, polifagia.
b. Gejala non klasik : Badan lemah, mata kabur, mual muntah.
c. Pemeriksaan fisik : Edema,kulit kering, turgor kulit dapat
menurun.
d. Pemeriksaan penunjang : Tes glukosa darah sewaktu (GDP) atau
glukosa darah puasa (GDP) atau tes TTGO glukosa 2 jam tes urinalisis.
3. Tatalaksana
a. Hidup sehat→ GDS & GDP
b. Obat obatan (Metformin)
1 Terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati,
secara cepat dikeluarkan melalui ginjal
2 Dosis 3x1 bisa sebelum makan, saat makan atau setelah makan
3 Mekanisme kerja menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin
dan menurunkan produksi glukosa hati
4 Metformin meningkatkan pemakaian glukosa sehingga
menurunkan glukosa darah dan hambat absorpsi glukosa di usus
sesudah asupan makanan
5 Diberikan oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh
denagn waktu paruh 2,5 jam
c. Kombinasi insulin dengan metformin
Kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan
berat badan dan memperbaiki profil lipid
4

d. Manajemen DM
1 Edukasi: edukasi tentang penyakitnya, tentang faktor resiko, tentang
penyebab, tentang gejala yang akan muncul, tentang pengobatan dan
obat dan akibat apa saja yang akan muncul jika tidak minum obat
dengan baik
2 TNM: Makanlah lebih sedikit kalori mengurangi makanan setiap 500
kalori setiap hari
3 Jasmani: latihan secara rutin, jeda waktu olahraga tidak boleh lebih
dari dua hari, latihan secara teratur dan dimulai dari yang ringan seperti
jogging, bersepeda santai dan berenang
4 Obat
e. Farmakologi:
1 Pemeriksaan GCS.
2 CAB.
3 Infus NaCL 0,9%.
4. Kompikasi diabetes militus
a. Gagal jantung
b. Gagal ginjal
c. Makrovaskular→ jantung dan cerebral
d. Mikrovaskular→ ginjal
e. Ketoasidosis diabetic (KAD)
Ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa yang tinggi (300-600 mg/dl)
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton positif kuat,
osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml)
f. Status hiperglikemi hiperosmolar (SHH)
Terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl) tanpa
tanda gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380
mOs/ml)
5

MIND MAP

Tatalaksana Klasifikasi

Penegakan Diabetes Melitus Faktor resiko


diagnosis etiologi

Anamnesi PF PP
Komplikasi Patofisiologi

Akut Kronik
s

STEP 5

1. Patofisiologi DM

2. Penegakan Diagnosis

3. Tatalaksana DM

4. Komplikasi DM

STEP 6

Belajat Mandiri

STEP 7

1. Patofisiologi

Patofisiologi Diabetes Mellitus

Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada


metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat
bekerja secara optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau
6

keduanya. Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu


pertama karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari
luar seperti zat kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah
penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena
kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Insulin yang disekresi oleh sel
beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar glukosa darah dalam tubuh.
Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel beta pankreas untuk
mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara optimal
sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi penyebab kadar
glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat
banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik. 1

Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan


resistensi insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre
reseptor dan post reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari
biasanya untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal.
Sensitivitas insulin untuk menurunkan glukosa darah dengan cara
menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan
produksi glukosa oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas tersebut juga
menyebabkan resistensi insulin sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi. 2

Kadar glukosa darah yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi
yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa
dalam darah masuk ke dalam urin (glukosuria) sehingga terjadi diuresis
osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria).
Banyaknya cairan yang keluar menimbulkan sensasi rasa haus (polidipsia).
Glukosa yang hilang melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan
kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga menimbulkan
rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi terhadap
kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika
tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut.1

Patofisiologi DM type 2
7

Otot dan hati yang mengalami resistensi insulin menjadi penyebab utama
DM tipe 2 Kegagalan sel beta pankreas untuk dapat bekerja secara optimal
juga menjadi penyebab dari DM tipe 2. DM tipe 2 adalah jenis DM yang
paling umum diderita olehpenduduk di Indonesia. Kombinasi faktor risiko,
resistensi insulin dan sel-sel tidak menggunakan insulin secara efektif
menyebabkan DM tipe 2. Resistensi insulin pada otot dan hati serta kegagalan
sel beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologikerusakan sentral dari
DM tipe 2.Kegagalan sel beta pada DM tipe 2 diketahui terjadi lebih dini dan
lebih berat daripada sebelumnya. Otot, hati, sel beta dan organ lain seperti
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin),
sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi
glukosa), dan otak (resistensi insulin) ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe2 .DM tipe 2 pada tahap
awal perkembangannya tidak disebabkan oleh gangguan sekresi insulin dan
jumlah insulin dalam tubuh mencukupi kebutuhan (normal), tetapi
disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon
insulin secara normal.2

Penderita DM tipe 2 juga mengalami produksi glukosa hepatik secara


berlebihan tetapi tidak terjadi kerusakan pada sel-sel beta langerhans seperti
pada DM tipe 1. Keadaan defisiensi insulin pada penderita DM tipe 2
umumnya hanya bersifat relatif. Defisiensi insulin akan terjadi seiring dengan
perkembangan DM tipe 2. Sel-sel beta langerhans akan menunjukkan
gangguan sekresi insulin fase pertama yang berarti sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Perkembangan DM tipe 2 yang tidak
ditangani dengan baik akan menyebabkan kerusakan sel-sel beta langerhans
pada tahap selanjutnya. Kerusakan sel-sel beta langerhans secara progresif
dapat menyebabkan keadaan defisiensi insulin sehingga penderita
membutuhkan insulin endogen. Resistensi insulin dan defisiensi insulin
adalah 2 penyebab yang sering ditemukan pada penderita DM tipe 2.2
8

Gambar 1: Pathway Diabetes Melitus Tipe 2 1

2. Penegakan diagnosis
Anamnesis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan adanya 3 gejala klasik DM tipe II:2
a) Poliuria (sering buang air kecil)
b) Polidipsia (mudah haus)
c) Polifagia (mudah lapar)
d) Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas 2

Pada anamnesis penderita DM tipe II sering ditemukan adanya perubahan


pola makan, status nutrisi, penurunan berat badan, gangguan tumbuh
kembang pada anak atau pun dewasa, adanya riwayat infeksi kulit, gigi,
9

traktus urogenitalis yang tidak cepat sembuh. Selain itu pada anamnesis juga
perlu ditanyakan mengenai pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya
secara lengkap termasuk terapi gizi medis, penyuluhan tentang perawatan
DM secara mandiri, pengobatan yang telah dijalani termasuk obat yang
digunakan serta program latihan jasmani. Pada pemeriksaan hasil
laboratorium terdahulu perlu ditanyakan riwayat pemeriksaan HbA1c dan
hasil pemeriksaan kusus yang berkaitan dengan diagnosis DM tipe II.Adanya
riwayat komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetikum, hiperosmolar non
ketotik, hiperglikemia dan hipoglikemia setelah pemberian terapi diabetes.
Serta perlu ditanyakan tentang pola hidup, budaya sosial ekonomi serta
adanya riwayat keluarga yang menderita DM tipe II dan riwayat diabetes
gestasional.2

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik penderita DM tipe II sering tidak ditemukan


gambaran khas. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pengukuran tinggi
badan dan berat badan, pengukuran tekanan darah termasuk tekanan darah
posisi berdiri dan tidur untuk mengetahui kemungkinan hipotensi ortostatis.
Pemeriksaan palpasi nadi, pemeriksaan kulit apakah ditemukan acantosis
nigricans dan bekas penyuntikan insulin, apakah ditemukan kelainan
neuropati dan kelainan kulit akibat komplikasi mikrovaskuler DM tipe II.
Dan perlu dilakukan pemeriksaan neurologis.2

Pemeriksaan Penunjang

Untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu dengan pemeriksaan glukosa


darah dan pemeriksaan glukosa peroral (TTGO). Sedangkan untuk
membedakan DM tipe II dan DM tipe I dengan pemeriksaan C-peptide.2

Pemeriksaan glukosa darah2

a) Glukosa Plasma Vena Sewaktu

Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe II dilakukan


pada pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti poliuria, polidipsia dan
polifagia. Gula darah sewaktu diartikan kapanpun tanpa memandang
10

terakhir kali makan. Dengan pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat
menegakan diagnosis DM tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dl (plasma vena) maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM.
Pada penderita ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa.

b) Glukosa Plasma Vena Puasa

Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita dipuasakan 8-12


jam sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan, bila
ada obat yang harus diberikan perlu ditulis dalam formulir. Intepretasi
pemeriksan gula darah puasa sebagai berikut : kadar glukosa plasma
puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, ≥126 mg/dl adalah diabetes melitus,
sedangkan antara 110126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu
(GDPT). Pemeriksaan gula darah puasa lebih efektif dibandingkan dengan
pemeriksaan tes toleransi glukosa oral.

c) Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP)

Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang
mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan
merokok serta berolahraga. Glukosa 2 jam Post Prandial menunjukkan DM
bila kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya ≤ 140.
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl
tetapi < 200 mg/dl.

d) Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada


pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dl
untuk memastikan diabetes atau tidak. Sesuai kesepakatan WHO tahun
2006,tatacara tes TTGO dengan cara melarutkan 75gram glukosa pada
dewasa, dan 1,25 mg pada anak-anak kemudian dilarutkan dalam air 250-
300 ml dan dihabiskan dalam waktu 5 menit.TTGO dilakukan minimal
pasien telah berpuasa selama minimal 8 jam. Penilaian adalah sebagai
berikut; 1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl; 2) Toleransi
11

glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200
mg/dl; dan 3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus.

Pemeriksaan HbA1c 2

HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang


tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai dengan
umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa dalam darah,
sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama 3 bulan.
Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan saat diperiksa, dan
tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang. Pemeriksaan gula darah
diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama untuk mengatasi komplikasi
akibat perubahan kadar glukosa yang berubah mendadak.

Kategori HbA1c 30 2

HbA1c < 6.5 % Kontrol glikemik baik

HbA1c 6.5 -8 % Kontrol glikemik sedang

HbA1c > 8 % Kontrol glikemik buruk

Penegakan Diagnosis

Untuk penegakan diagnosis dan klasifikasi terdapat dua indeks tambahan,


yang dapat dibagi atas 2 bagian:2

1) Indeks penentu derajat kerusakan sel beta

Pemeriksaan untuk menentukan derajat kerusakan sel β digunakan


pemeriksaan insulin, pro insulin dan sekresi peptide penghubung (C-
peptide). Nilai HbA1c dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi
glukosa juga bermanfaat untuk menentukan kerusakan sel β pankreas.2

2) Indeks proses diabetogenik

Penentuan tipe dan subtype HLA, tipe dan titer antibodi dalam sirkuasi
yang ditujukan untuk pulau pulau langerhans, anti GAD (glutamic Acid
Decarboxilase), cell mediated immunity pada sel endokrin terhadap
pankreas dapat digunakan untuk penilaian proses diabetogenik.2
12

Diagnosis DM Tipe II berdasarkan American Diabetes Assosiasion yaitu 2

a. Gula darah puasa ≥126mg/dL (7.0mmol/L) atau lebih tinggi atau


b. Gula darah 2 jam setelah makan ≥200 mg/dL (11.1mmol/L) atau lebih
tinggi
c. 75 gr pada tes oral glukosa toleransi (TTGO).
d. Gula darah sewaktu ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) atau lebih tinggi terutama
pada pasien dengan gejala hiperglikemik atau krisis hiperglikemia.
e. Pada pemeriksaan HbA1c ≥ 6.5% pada pemeriksaan pertama kali.

Kriteria diagnosis DM tipe II menurut PERKENI 20112

a. Gejala klasik + gula darah sewaktu ≥ 200mg/dl (11,1 mmol/L). Gula darah
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
b. Gejala klasik + gula darah puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L). Gula darah
puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
c. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl (11,1 mmol/L). TTGO
dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa setara 75
gram anhidrus yang dilarutkan dalam air.
13

Gambar 2: Langkah Diagnostik Diabetes Melitus Tipe 22


14

3. Tatalaksana DM

Penatalaksanaan pasien diabetes mellitus dikenal 4 pilar penting dalam


mengontrol perjalanan penyakit dan komplikasi. Empat pilar tersebut adalah
edukasi, terapi nutrisi, aktifitas fisik dan farmakologi.3
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan adalah pemahaman tentang perjalanan penyakit,
pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang timbul dan resikonya,
pentingnya intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara mengatasi
hipoglikemia, perlunya latihan fisik yang teratur, dan cara mempergunakan
fasilitas kesehatan. Mendidik pasien bertujuan agar pasien dapat mengontrol
gula darah, mengurangi komplikasi dan meningkatkan kemampuan merawat
diri sendiri. Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan
edukasi antara lain : Penyandang diabetes dapat hidup lebih lama dan dalam
kebahagiaan, karena kualitas hidup sudah merupakan kebutuhan bagi
seseorang, Membantu penyandang diabetes agar mereka dapat merawat
dirinya sendiri, sehingga komplikasi yang mungkin timbul dapat dikurangi,
selain itu juga jumlah hari sakit dapat ditekan, Meningkatkan progresifitas
penyandang diabetes sehingga dapat berfungsi dan berperan sebaik-baiknya
di dalam masyarakat.3
2. Makanan
Orang yang kegemukan dan menderita diabetes militus mempunyai
resiko yang lebih besar dari pada mereka yang hanya kegemukan.3
Metode sehat untuk mengendalikan berat badan, yaitu : Makanlah lebih
sedikit kalori mengurangi makanan setiap 500 kalori setiap hari, akan
menurunkan berat badan satu pon satu pekan, atau lebih kurang 2 kg dalam
sebulan. Tampaknya seperti kemajuan yang sangat lambat, tetapi sebenarnya
cara itulah yang aman dan ukuran ideal penurunan berat badan, Jangan makan
diantara makan yang ditetapkan makanan kecil akan menambah kalori
tambahan yang sebenarnya tidak diperlukan oleh pasien diabetes militus.
Mereka harus tetap pada tiga kali makan sehari tanpa sesuatu di antaranya,
Hindari makan berlebihan tetapkan kebutuhan makanan. Kurangi jumlah
15

lemak dalam diet sehari hari. Lemak akan menyebabkan insulin sulit untuk
mengizinkan glukosa masuk ke sel tubuh, sehingga tubuh akan lebih banyak
memproduksi insulin. Keadaan seperti ini menyebabkan tubuh tidak sanggup
untuk menambah produksi insulin yang diperlukan, maka terjadilah penyakit
diabetes. Hindari makanan yang di goreng dan jauhi makanan juckfood dan
fastfood serta seperti makanan kue-kue kering dan makanan yang berlemak
tinggi lainnya. Mengenai penggunaan bumbu garam, MSG, kecap, dan bahan
perasa lainnya dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.3
Standar yang diajukan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
baik. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress
akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan barat badan
idaman. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman
dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg
BB untuk wanita).Kemudain ditambah dengan kebutuhan kalori untuk
aktivitas (10-30% untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak lagi, sesuai
dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya). Makanan sejumlah
kalori terhitung dalam 3 porsi besar untuk makanan pagi (20%), siang (30%),
dan sore (25%) serta 2- 3 porsi (makanan ringan, 10-15%) di antaranya Ada
beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori
basal yang besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, stres
metabolik dan berat badan.3
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
1) Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untukperempuan sebesar 25
kal/kgBB sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
2) Umur
a. Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
setiap dekade antara 40 dan 59 tahun.
b. Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
16

c. Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.


3) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
a. Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik.
b. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
keadaan istirahat.
c. Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan:
pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga.
d. Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri
ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
e. Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet,
militer dalam keadaan latihan.
f. Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak,
tukang gali.
4) Stres Metabolik
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis,
operasi, trauma).
5) Berat Badan
a. Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-
30% tergantung kepada tingkat kegemukan.
b. Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30%
sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
c. Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari
untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.3
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung
dan komposisi tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-
15%) di antaranya. Tetapi pada kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah
dan jenis makanan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang
DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan
dengan penyakit penyerta.3
17

Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang


dimodifikasi:
a. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
b. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam
cm - 100) x 1 kg.
BB Normal: BB ideal } 10 %
Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %3
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2).
Klasifikasi IMT :
a. BB Kurang <18,5
b. BB Normal 18,5-22,9
c. BB Lebih ≥23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II ≥303
Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
a) Karbohidrat :
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
o Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
o Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake/ADI).
o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.3
18

b) Lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan
tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Komposisi yang dianjurkan: lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
lemak tidak jenuh ganda < 10 %. selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream.
o Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.3
c) Protein
o Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
o Sumber protein yang baik adalah ikan,udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,kacang-
kacangan, tahu dan tempe.
o Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali
pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.3
d) Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu <2300 mg perhari.
o Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual.
o Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.3
e) Serat
o Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacangkacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat.
19

o Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari


berbagai sumber bahan makanan.3
f) Pemanis Alternatif
o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas
aman (Accepted Daily Intake/ADI).
o Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan
pemanis tak berkalori.
o Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan
fruktosa.
o Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol.
o Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena
dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan
menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung
fruktosa alami.
o Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame
potassium, sukralose, neotame.3
3. Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani.Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi diabetes militus
dapat dikurangi.3
20

a) Farmakologi
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan :

Gambar 3. Algoritma pengobatan Diabetes Melitus2


Obat anti hiperglikemi oral
Berdasarkan cara kerjanya di bagi menjadi 52 :
a) Pemacu sekresi insulin
Sulfonilurea, Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping
utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).2
Glinid, Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia.2
21

b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin


Metformin, Metformin mempunyai efek utama mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama
pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti:
GFR<30 mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-
IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.3
Tiazolidindion, merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi
cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi
cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah Pioglitazone.3
c) Penghambat absporpsi glukosa di saluran cerna.
Penghambat Alfa Glukosidase. Obat ini bekerja dengan
memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
22

Guna mengurangi efek samping pada awalnya. diberikan dengan dosis


kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.3
d) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.2
e) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter Obat golongan
penghambat SGLT-2
Merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk
golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin.2
Tabel 1. Obat anti hiperglikemi oral.2
23

Tabel 2. Obat anti hiperglikemi oral. Jenis obat dan dosisnya.2


24

Obat anti hiperglikemi suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin dan agonis GLP-12
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan : HbA1c > 9% dengan kondisi
dekompensasi metabolik, Penurunan berat badan yang cepat,
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis, Krisis Hiperglikemia, Gagal
dengan kombinasi OHO dosis optimal, Stres berat (infeksi sistemik,
25

operasi besar, infark miokard akut, stroke), Kehamilan dengan


DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan, Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat,
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO, Kondisi perioperatif
sesuai dengan indikasi.2
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia, Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap
insulin.2
Tabel 3. Jenis insulin berdasarkan waktu kerja.2
26

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan


sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu menyerupai pola
sekresi insulin yang fisiologis, Defisiensi insulin mungkin berupa
defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi
insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.2

Gambar 4. Algoritma dosis insulin3


27

b) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatanGLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja
pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin,
mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan
glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan berat badan
agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini
terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide,
Albiglutide, dan Lixisenatide. Salah satu obat golongan agonis GLP-1
(Liraglutide) telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen
berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat
dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan efek
glikemik yang diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8
mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa
kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara
subkutan.3

4. Komplikasi DM
a. Hiperglikemi

a) Definisi
Salah satu kendala dalam laporan mengenai insidensi,
epidemiologi dan angka kematian KAD adalah belum ditemukannya
kesepakatan tentang definisi KAD. Sindroma ini mengandung triad
yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan asidemia. Konsensus
diantara para ahli dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk
KAD adalah pH arterial < 7,3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan
kadar glucosa darah > 250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria
moderate.5
SHH pertama kali dilaporkan oleh Sament dan Schwartz pada
28

tahun 1957. SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia extrim,


osmolalitas serum yang tinggi dan dihidrasi berat tanpa ketosis dan
asidosis yang signifikan.5
Osmolalitas serum dihitung dengan rumus sebagai berikut :
2(Na)(mEq/L) + glucosa (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8. Nilai
normalnya adalah 290 ± 5 mOsm/kg air.5
Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda
nitroprusid pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH
arterial > 7,3. Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat dari
pada KAD; kadar glucosa darah > 600 mg/dL biasanya dipakai
sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua
atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan
onset lambat.5

b) Epidemiologi

Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based


adalah antara 4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes.
Adapun angka kejadian SHH < 1%. (2) Pada penelitian retrospektif
oleh Wachtel dan kawan-kawan ditemukan bahwa dari 613 pasien
yang diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45% SHH dan 33% merupakan
campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut
ternyata sepertiga dari mereka yang presentasi kliniknya campuran
KAD dan SHH, adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.5
Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5%
pada sentrum yang berpengalaman, sedangkan tingkat kematian
pasien dengan hiperglikemia hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu
15%. Prognosis keduanya lebih buruk pada usia ekstrim yang
disertai koma dan hipotensi.5
Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka
mortalitas pada kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok
usia 70-79 tahun 27%, dan 33% pada kelompok usia > 79 tahun.
Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara 10% pada mereka
yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84
29

tahun, dan 35% pada mereka yang berusia >84 tahun.5

c) Patogenesis

Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah


defisiensi insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi
insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak adekuat untuk
mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk
mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat
melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi
insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia
bertambah berat dan produksi insulin makin kurang.5

Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif


dalam darah, terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti
glukagon, katekholamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon-
hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal
dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang
mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan osmolaritas
extracellular. 5

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon


kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release
asam lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran
darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß-
hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga
mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik.5
Pada sisi lain, SHH mungkin dsi ebabkan oleh konsentrasi
hormon insulin plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan
glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih
cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah
terjadinya lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk
teori ini masih lemah. KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria,
yang menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium,
dan elektrolit lain keluar.5
30

d) Faktor Pencetus
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena
ada keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis
hiperglikemia ini antara lain :5
1. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia
dicetuskan oleh Infeksi. Infeksinya dapat berupa :
PneumoniaInfeksi traktus urinarius Abses Sepsis Lain-lain.
2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler Infark miokard
akut Emboli paru Thrombosis V.Mesenterika
3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.
4. Heat stroke
5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut Kholesistitis akut
Obstruksi intestinal
6. Obat-obatan : Diuretika Steroid Lain-lain

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi


karena yang bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun
pengobatannya tidak adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-40%
kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1, permasalahan
psikologis yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar
20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang
bisa mendorong penghentian suntikan insulin pada pasien muda
meliputi ketakutan akan naiknya berat badan pada keadaan kontrol
metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam hypoglikemia,
pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat penyakit kronis .5

e) Diagnosis

Presentasi klinik

Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh


gejala diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain
lemah badan, pandangan kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan
berat badan.5
31

KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam,


sedangkan SHH cenderung berkembang dalam beberapa hari yang
mengakibatkan hiperosmolalitas. Dehidrasi akan bertambah berat bila
disertai pemakaian diurétika.Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah
membran mukosa yang kering, turgor kulit menurun, hipotensi dan
takhikardia.Pada pasien tua mungkin sulit untuk menilai turgor kulit.
Demikian juga pasien dengan neuropati yang lama mungkin
menunjukkan respons yang berbeda terhadap keadaan dehidrasi.
Status mental dapat bervariasi dari sadar penuh , letargi, sampai koma.
Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk
dengan ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai
mekanisme kompensasi terhadap asidosis metabolik. Pada pasien-
pasien SHH tertentu, gejala neurologi fokal atau kejang mungkin
merupakan gejala klinik yang dominan.5
Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk
DKA dan SHH, pasien dapat normotermik atau bahkan hipotermik
terutama oleh karena vasodilatasi perifer. Hipotermia, jika ada,
adalah suatu petanda buruknya prognosis. 5
Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD dibandingkan
dengan SHH. Diperlukan perhatian khusus untuk pasien yang
mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini bisa merupakan akibat
ataupun faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA.
Evaluasi lebih lanjut harus dilakukan jika keluhan ini tidak
berkurang dengan perbaikan dehidrasi dan asidosis metabolik.5

f) Pemeriksaan Laboratorik

Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau


SHH meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea
nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan anion gap),
osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa
gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan
elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni, darah, dan
32

tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan antibiotik yang sesuai


harus diberikan jika dicurigai ada infeksi.5
HbA1c mungkin bermanfaat untuk menentukan apakah episode
akut ini adalah akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak
didiagnosis atau DM yang tidak terkontrol ,atau suatu episode akut
pada pasien yang terkendali dengan baik. Foto thorax harus
dikerjakan jika ada indikasi.5
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena
perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke
extracellular dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium
serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium
extracellular yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin,
hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium
serum rendah atau low- normal pada saat masuk, mungkin akan
kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu
diberi kalium dan perlu monitoring jantung yang ketat, sebab terapi
krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat
menimbulkan disritmia jantung.5
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan
osmolalitas efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan
kemungkinan lain penyebab perubahan status mental.5
Pada mayoritas pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini
mungkin berkaitan dengan sumber nonpankreatik. Serum lipase
bermanfaat untuk menentukan diagnosa banding dengan pankreatitis.
Nyeri abdominal dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati
lebih sering terjadi pada DKA dibandingkan dengan SHH.5
g) Terapi

Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi


dehidrasi, hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit;
identifikasi komorbid yang merupakan faktor presipitasi; dan yang
sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang
ketat.5
33

Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan


rekurensi perlu dilaksanakan dengan baik.5

h) Terapi cairan:

Pasien Orang dewasa.


Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki
volume intravascular dan extravascular dan mempertahankan
perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar glukosa
darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar
hormon kontra insulin (dengan demikian memperbaiki sensitivitas
terhadap insulin).5
Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan
sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam
pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan yang
berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar
elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45%
diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium serum meningkat
atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika
Na serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu
ditambahkan 20–30 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai
pasien stabil dan dapat diberikan secara oral. Keberhasilan
penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik
(perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan,
dan pemeriksaan fisik. Penggantian cairan diharapkan dapat
mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan osmolaritas
serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1 ( 14–
20,22). Pada pasien dengan gangguan ginjal atau jantung,
pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan
status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk
menghindari overload yang iatrogenic.5
Pasien berusia < 20 tahun

Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume


34

intravascular dan extravascular ,dan mempertahankan perfusi ginjal.


Kebutuhan untuk mempertahankan volume vaskuler harus
disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena
pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan
yang bersifat isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam.
Pada pasien dengan dehidrasi berat, pemberian ini perlu diulang,
tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak melebihi 50 ml/kg
pada 4 jam pertama therapy. Terapi Cairan selanjutnya untuk
menggantikan defisit cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum
NaCl, 0.45–0.9% ( tergantung pada kadar sodium serum) diberikan
dengan kecepatan 1.5 kali dari kebutuhan pemeliharaan selama 24-
h ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi, dengan
penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1.
Sekali lagi jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium serum
diketahui, maka perlu diberikan 20–40 mEq/l kalium ( 2/3 KCl atau
potassium-acetate dan 1/3 KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250
mg/dl, cairan harus diubah menjadi dextrose 5% dan NaCl 0.45–
0.75%, dengan kalium seperti diuraikan di atas.5

Terapi Insulin

Pada keadaan KAD ringan ( tabel 1), insulin reguler diberikan


dengan infus intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada
pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka
pemberian insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg
bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus intravena yang
kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7 unit/jam pada orang
dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak dianjurkan pada
pasien pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infus intravena
secara kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 dapat diberikan pada
pasien- pasien tersebut. Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat
menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75 mg· dl-1·
h-1, sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi (1-5) . Jika
plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam
35

pertama, periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat
digandakan tiap jam sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil
antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau
300 mg/dl untuk SHH, mungkin dosis insulin perlu diturunkan
menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 ( 3–6 units/jam), dan dextrose (
5–10%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis
insulin atau konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk
memelihara rata-rata kadar glukosa sampai asidosis pada KAD atau
status mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik.5
Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan
hiperglikemia. Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung
adalah metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Metoda
Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.
Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat
pada KAD, tidaklah terukur dengan metoda nitroprusside. Selama
therapy, ß-OHB dikonversi ke asam asetoacetik, yang membuat para
klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh
karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum dengan
metoda nitroprusside tidak digunakan sebagai suatu indikator
terapi.5
Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap
2–4 jam untuk memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N,
creatinine, osmolaritas, dan pH vena ( untuk DKA). Biasanya,
analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena
(pada umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion
dapat diikuti, untuk memonitor resolusi asidosis.5
Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan
maupun intramuskular tiap jam adalah sama efektif seperti
pemberian intravena dalam menurunkan glukosa darah dan benda
keton . Pertama-tama diberikan dosis dasar sebanyak 0.4–0.6
units/kg bb, separuh sebagai suntikan bolus intravena, dan setengah
36

secara subkutan atau intramuskular . Sesudah itu, 0.1 unit· kg-1· h-1
insulin reguler diberi secara subkutan atau intramuscular.5
Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl,
bikarbonat serum > 18 mEq/l, dan pH vena > 7.3. Bila KAD
membaik, dan pasien masih NPO (Nothing Per Oral), insulin
intravena yang kontinyu dan penggantian cairan dilanjutkan dan
ditambah dengan suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4
jam.5
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus
dimulai menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/singkat
dengan insulin kerja menengah atau lama untuk mengendalikan
glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk
1–2 jam setelah regimen campuran insulin dimulai untuk
memastikan hormon insulin plasma cukup. Suatu penghentian
mendadak insulin intravena dengan penundaan insulin subcutan
akan memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan
insulin intravena dan inisiasi subkutan secara bersamaan.5
Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan
insulin dengan dosis seperti sebelum mereka terkena serangan KAD
atau SHH dan jika dibutuhkan dilakukan penyesuaian. Pada pasien
diabetes yang baru, total insulin awal mungkin berkisar antara 0.5–
1.0 unit· kg - 1· day-1, dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam
bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai mencapai
suatu dosis optimal yang diinginkan.Akan tetapi perlu diingat bahwa
dosis insulin ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita-
penderita DM tipe 2 yang bisa diberi obat antihiperglikemia oral
dan pengaturan diit. 5

Kalium

Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan


pada saat kadar dalam darah dbi awah 5.5 mEq/l, dengan catatan
output urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3
KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan
37

konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD


jarang menunjukkan keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-
kasus demikian, kalium penggantian harus dimulai bersamaan dengan
cairan infus, dan terapi insulin harus ditunda sampai konsentrasi
kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac arrest dan
kelemahan otot pernapasan.5

Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan


sampai sedang sering terjadi pada penderita dengan krisis
hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan penambahan
volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum .5

Bikarbonat

Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan


kontroversi ( 28). Pada pH > 7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis
dan ketoacidosis dapat hilang tanpa penambahan bikarbonat. Beberapa
penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau
perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian
bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1 (10).
Tidak ada laporan randomized study mengenai penggunaan bikarbonat
pada KAD dengan pH < 6.9.5
Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang
baik, jadi sangat bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH <
6.9, diberikan sodium bikarbonat. Tidak perlu tambahan bikarbonat
jika pH > 7.0.5
Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium
serum; oleh karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam
cairan infus seperti diuraikan di atas dan harus dimonitor dengan
ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2 jam
sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap
2 jam jika perlu.5

Fosfat

Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat.


38

Konsentrasin fosfat berkurang dengan pemberian terapi insulin.


Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan
dengan penggantian fosfat pada KAD ( 32), dan pemberian fosfat
yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa
adanya gejala tetani . Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan
jantung dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena
hipofosfatemia, penggantian fosfat kadang- kadang diindikasikan
pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi
pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi fosfat serum < 1.0
mg/dl. Blia diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan
ke larutan pengganti.Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat
dalam HHS.5
b. Hipoglikemi

Hipoglikemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan


irreversibel dari otak sampai kematian, oleh karena itu setelah kadar
glukosa darah bebas (GDS) sudah didapatkan (GDS < 70 mg/dL)
penangananan yang difokuskan untuk meningkatkan kadar glukosa plasma
harus segera dilaksanakan, baik dengan asupan makanan oral, dekstrosa
intravena, atau glukagon intramuskular. Penanganan secara oral harus
sebisa mungkin dilakukan. Jumlah asupan oral yang dianjurkan pada orang
dewasa adalah sekitar 20 gram;2,7 setiap 5 gram glukosa meningkatkan
sekitar 15 mg/dL kadar glukosa darah. Asupan oral yang dapat diberikan
antara lain, pisang, madu, permen, tablet glukosa atau 100-150 ml
minuman manis (non-diet cola, teh manis, atau minuman berglukosa
lainnya). Konsumsi protein bukan penanganan yang efektif untuk
hipoglikemia dan konsumsi makanan manis yang juga tinggi lemak
(seperti es krim) dapat menghambat absorbsi karbohidrat, oleh karena itu
sebaiknya yang diberikan adalah glukosa murni.4

Intravena dekstrosa merupakan terapi lini pertama pada pasien


dengan penurunan kesadaran yang tidak dapat menerima asupan oral.
Pemberian glukosa secara intravena harus diberikan dengan perhatian.4
39

Hal utama yang harus diperhatikan adalah total kuantitas glukosa


(dalam gram) yang diberikan. Pemberian 50 ml dekstrosa 50% dinilai
toksik untuk jaringan, oleh karena itu pemberian 75- 100 ml dekstrosa
20% atau 150-200 dekstrosa 10% lebih dianjurkan. Walaupun terdapat
laporan nekrosis jaringan yang menyebabkan amputasi akibat ektravasasi
cairan glukosa 50% yang diberikan secara intravena, beberapa pedoman
tatalaksana hipoglikemia tetap menggunakan kadar glukosa tersebut.
Selain terapi dekstrosa intravena, pemberian 1 mg glukagon secara
intramuskular atau subkutan dapat diberikan terutama pada pasien dengan
DM tipe 1. Terapi glukagon merupakan terapi yang diterima oleh FDA
(Food and Drug Administration) sebagai terapi alternatif hipoglikemi
dalam keadaan absen dari akses intravena. Glukagon menyebabkan
gluconeogenesis dari glikogen yang terdapat di liver dan meningkatkan
kadar glukosa darah sekitar 36 mg/dl dalam 15 menit. Pada penderita DM
tipe 2, pemberian glukagon juga menstimulasi pengeluaran insulin
sehingga relatif tidak efektif. Literatur lain menyatakan penggunaan
glukagon dikontraindikasikan pada hipoglikemia yang disebabkan oleh
sulfonilurea karena dapat meningkatkan kadar insulin darah. Efek samping
pemberian glukagon yaitu mual dan muntah.4

Perbaikan klinis biasanya terjadi 15-20 menit setelah pemberian


glukosa. Pemberian glukosa baik secara oral maupun intravena umumnya
memiliki durasi aksi lebih rendah daripada obat pencetus ataupun insulin
yang menyebabkan iatrogenik hipoglikemia, oleh karena itu pasien
dianjurkan untuk makan untuk mengisi kembali glikogen tubuh. .
Penilaian kadar glukosa perlu untuk dilakukan setiap 30 menit dalam 2
jam pertama untuk melihat adanya rebound hypoglycemia atau minimal 1
jam sekali. Hipoglikemia yang terjadi akibat dari obat hipoglikemik oral
(OHO) jangka panjang atau karena insulin jangka menengah (NPH) dan
panjang (insulin detemir atau glargine) dosis tinggi, diindikasikan untuk
rawat inap dengan penanganan glukosa intravena continuous (D10%W
dengan kecepatan untuk menjaga efektif untuk hipoglikemia dan konsumsi
40

makanan manis yang juga tinggi lemak (seperti es krim) dapat > 100
mg/dL) monitor kadar glukosa secara reguler.4

Octeotride, analog somatostatin, dapat diberikan untuk menekan sekresi


insulin. Pemberian obat ini terutama pada penanganan hipoglikemi yang
disebabkan golongan sulfonylurea. Pengobatan ini superior dibandingkan
glukosa dan diazoxide dalam mencegah hipoglikemi rekuren. Dosis ideal
and interval pemberian octeotride belum terdefinisi dengan baik.
Rekomendasi pemberian octeotride bervariasi dari dosis tunggal 50-100
mcg injeksi subkutan setelah episode hipoglikemik sampai injeksi
subkutan serial (50-100 mcg setiap 6-8 jam) atau pemberian secara
konstan melalui intravena (125 mcg/jam) setelah episode hipoglikemik
kedua. Pemberian octeotride hanya direkomendasikan setelah terapi
pemberian glukosa pada hipoglikemi yang disebabkan oleh sulfonylurea.
Pengobatan ini bertujuan untuk menurunkan resiko terjadinya hipoglikemi
rekuren.4

Adapun tatalaksana hipoglikemia sebagaimana dikutip langsung dari


buku Clinical Pathway yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) tahun 2015 adalah
pemberian gula murni sebesar 30 gram (2 sendok makan) atau
siruppermen gula murni pada pasien sadar atau stadium permulaan, dan
penggunaan protokol sebagai berikut untuk pasien tidak sadar:4

1) Pemberian larutan Dekstrosa 40% sebanyak 50 ml dengan bolus


intravena (IV)
2) Pemberian cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf (500 cc).
3) Periksa GDS, bila: GDS < 50 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 50
ml IV GDS.
4) Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%, bila: GDS
200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%.
5) Setelah poin no (4), dilakukan 3 kali berturut-turut hasil GDS > 100
mg/dl, lakukan pemantauan GDS setiap 2 jam dengan protokol no (4).
41

6) Setelah poin no (5) dilakukan 3 kali berturut-turut hasil GDS > 100
mg/dl, lakukan pemantauan GDS setiap 4 jam dengan protokol no (5).
7) Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale
setiap 6 jam: GDS < 200 mg/dl, jangan berikan insulin GDS 200-250
mg/dl, berikan 5 unit insulin GDS 250-300 mg/dl, berikan 10 unit
insulin GDS 300-350 mg/dl, berikan 15 unit insulin GDS > 350 mg/dl,
berikan 20 unit insulin.
8) Bila hipoglikemia belum teratasi, pertimbangka pemberian antagonis
insulin, seperti: Deksametason 10 mg IV bolus, dilanjutkan 2 mg tiap 6
jam dan Manitol 1,5-2 g/KgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain
penurunan kesadaran.
c. Komplikasi kronik

Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi


komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi
peningkatan jalur polyol, peningkatan pembentukan Protein Glikasi non
enzimatik serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang
menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya
menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun
nefropati diabetika.6

Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:6

1. Komplikasi Mikrovaskular

a) Retinopati diabetik
Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang
progresif yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan
kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar.
Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam
korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka
bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan
mendadak. Hal tersebut pada penderita DM bisa menyebabkan
kebutaan.6
42

b) Nefropati diabetik
Nefropati diabetik adalah penyebab utama penyakit ginjal
stadium akhir di seluruh dunia dan berhubungan dengan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Manifestasi klinis awal
adalah mikroalbuminuria. Setelah terdeteksi adanya
mikroalbuminuria, laju perkembangan dari penyakit ginjal stadium
akhir dan penyakit kardiovaskular dapat ditunda oleh manajemen
tekanan darah, glukosa, dan lipid.6
Nefropati diabetik ditandai dengan albuminura menetap > 300
mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan
dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat
hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus.6
Nefropati diabetik juga sering didefinisikan sebagai sebuah
sindroma klinis yang ditandai dengan albuminuria persisten (> 300
mg / d atau > 200 mcg / min) yang dikonfirmasi sedikitnya 2 kali
berturut-turut dalam 3-6 bulan terpisah, adanya penurunan laju
filtrasi glomerolus (LFG). Progresi umum dari mikroalbuminuria
menjadi nefropati menyebabkan banyak yang menganggap
mikroalbuminuria sebagai tanda nefropati tahap awal. Kelainan
ginjal sering terjadi sekunder pada penderita diabetes yang lama
terutama penderita diabetes tipe I. Secara klinis nefropati diabetik
ditandai dengan adanya peningkatan proteinuria yang progresif,
penurunan LFG, hipertensi, dan risiko tinggi untuk menderita
penyakit kardiovaskular.6
Perjalanan alamiah nefropati diabetik merupakan sebuah
proses dengan progresivitas bertahap setiap tahun. Diabetes fase
awal ditandai dengan hiperfiltrasi glomerulus dan peningkatan
LFG. Hal ini berhubungan dengan peningkatan perkembangan sel
dan ekspansi ginjal, yang mungkin dimediasi oleh hiperglikemia.
Mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun menderita
penyakit Diabetes tipe 1 sedangkan nefropati yang ditandai dengan
ekskresi protein urin lebih dari 300 mg/hari, biasanya terjadi dalam
43

waktu 10-15 tahun. Penyakit ginjal stadium terminal terjadi pada


sekitar 50% penderita DM tipe I, yang akan mengalami nefropati
dalam 10 tahun.6
DM tipe II memiliki patogenesis yang lebih bervariasi.
Penderita sering didiagnosis sudah dengan mikroalbuminuria yang
disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan faktor lain yang
mempengaruhi ekskresi protein. Sebagian kecil penderita dengan
mikroalbuminuria akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap
lanjut. Tanpa intervensi, sebanyak 30% penderita akan berkembang
menjadi nefropati dengan proteinuria yang nyata, dan setelah 20
tahun mengalami nefropati, sekitar 20% akan berkembang menjadi
penyakit ginjal tahap akhir. Diabetes yang lama menyebabkan
perubahan pada pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal dimana kerusakan ginjal tersebut dapat
menyebabkan kegagalan ginjal yang berat. Kerusakan ginjal dapat
dimulai sejak tahun pertama setelah terdiagnosis menderita DM
tipe I dan dapat ditemukan pada saat terdiagnosis DM tipe II.
Namun diperlukan waktu sekitar 5-10 tahun untuk menjadi masalah
kerusakan ginjal yang bermakna.6

2. Komplikasi Makrovaskular

a) Penyakit Jantung Koroner


Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan
suatu faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada
50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul
insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal
serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu,
lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras atau
emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat
sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di
mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan
pembenian nitrat. Namun gejala-gejala mi dapat tidak timbul pada
pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.6
44

b) Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua
tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita
stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan
dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.
Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri
vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:
1) Pusing, sinkop
2) Hemiplegia: parsial atau total
3) Afasia sensorik dan motorik
4) Keadaan pseudo-dementia.6
c) Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya
aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah.
Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan
meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya
terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar
pada diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan
meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti
dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh
darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada
penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah
lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya
terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor
factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai
infeksi merupakan factor utama terjadinya proses gangrene
diabetik. Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami
amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun
kematian.6
45

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, S. A. And Wilson, L, M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit, edisi 6, EGC: Jakarta.
2. PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia,PERKENI, Jakarta.
3. Putra, WN. Berawi, KN. Empat Pilar Penatalaksanaan Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. Lampung ;
2015
4. Huang I. Tatalaksana Penurunan Kesadaran Pada Penderita Diabetes
Mellitus. 1Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Tangerang :
2016
5. Semarawima G. Status Hiperosmolar Hiperglikemik. Vol. 48. No.1.
Bali:Universitas Udayana.2017
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A.W. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-3. Jakarta:
Interna Publishing.2017

Anda mungkin juga menyukai