TERAPI PSIKOFARMAKOLOGIS
Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas dan menunda atau
menghindari penempatan mereka di rumah perawatan.
Prinsip dasar psikofarmakologi geriatri adalah individualisasi dosis, karena
berhubungan dengan perubahan fisiologis pada proses penuaan. Penurunan klirens
obat dapat terjadi pada gangguan ginjal, gangguan kardiovaskular dan penurunan
curah jantung. Penyakit hati menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme obat.
Penyakit gastrointestinal dan penurunan sekresi asam lambung mempengaruhi
absorpsi obat. Massa tubuh yang tidak berlemak (lean body mass) menurun pada
lanjut usia dan lemak tubuh meningkat mempengaruhi distribusi obat.
Pada lanjut usia, pedoman tertentu tentang pemakaian semua obat harus
diikut. Pemeriksaan medis praterapi adalah penting, termasuk elektrokardiogram
(EKG). Seluruh obat-obatan yang sedang diminum penting untuk dievaluasi efek
sampingnya dan efek interaksi dengan obat psikotropika yang akan diberikan.
Sebagian besar obat psikotropika harus diberikan dalam dosis terbagi yang
sama tiga atau empat kali selama periode 24 jam. Pasien lanjut usia mungkin tidak
mampu mentoleransi peningkatan kadar obat dalam darah yang tiba-tiba yang
disebabkan dari dosis sekali sehari yang besar. Klinisi harus sering memeriksa
kembali semua pasien untuk menentukan perlunya medikasi pemeliharaan, perubahan
dalam dosis dan perkembangan efek samping. Jika pasien sedang menggunakan obat
psikotropika saat pemeriksaan, klinisi harus mengentikan medikasi tersebut jika
dimungkinan dan setelah periode pembersihan (washout period), periksa ulang pasien
selama keadaan dasar yang bebas dari obat.
2.2. Obat-Obat Psikotropika
2.2.1. Obat Anti-Psikosis
Govotil Tab. 2 - 5 mg
(Guarian-
pharmacia)
Lodomer Tab. 2 - 5 mg
(Mersifarma) Amp. 5 mg/cc
Haldol decanoas Amp. 50mg/cc
(Janssen)
2. Diphenil- pimozide Orap forte Tab. 4 mg 2–4
buthilpiperidine (janssen) mg/hari
B. Mekanisme Kerja
Hipotesis : Sindrom psikosis terjadi berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter Dopamine yang mengikat. (Hiperreaktivitas
sistem dopaminergik sentral)
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik
dan sistem ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonist). Sedangkan
obat anti-psikosis yang baru (atipikal) disamping berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors”, juga terhadap “Serotonine 5 HT Receptors”
(Serotonine-dopamine antagonist).
Efek samping
Tergantung pada sensitivitas dan keadaan tubuh pasien, terhadap
benyak macam efek samping yang mungkin timbul karena obat psikotropik,
terutama karena obat anti psikosis. Efek samping obat anti-psikosis dapat
berupa:
Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif
menurun).
Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik:
mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata
kabur, TIO meningkat, gangguan irama jantung).
Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akatisia, sindrom
parkinson: tremor, bradikinesia, rigiditas).
Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), metabolik
(jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya untuk pemakian
jangka panjang.
B. Mekanisme kerja
Hipotesis: Sindrom depresi disebabkan oleh defisit relatif salah satu atau
beberapa ”aminergic neurotransmitter” (noradrenaline,
serotonin. Dopamine) pada sinaps neuron di SSP (khususnya
pada sistem ,limbik).
Mekanisme kerja obat Anti-depresi adalah:
Menghambat ”re-uptake aminergic neurotransmitter”
Menghambat penghancuran oleh enzim ”Monoamine Oxidase”
Sehingga terjadi peningkatan jumlah ”aminergic neurotransmitter” pada
sinap neuron di SSP.
Efek samping
Efek samping obat antidepresan terbagi atas:
(1) efek antikolinergik: mulut kering, mata kabur, konstipasi, TIO
meningkat, retensi urin, hipotensi postural, dll
(2) efek susunan saraf pusat: pusing, kelelahan, bingung, tremor,
kejang,dll;
(3) kardiovaskuler: hipotensi, takikardia sinus, aritmia, konduksi
atrioventrikuler terganggu;
(4) hematologis: depresi summsum tulang, leukopenia, agranulositosis,
anemia hemolitik, trombositopenia; dan
(5) lain-lain: hipo-atau hipertermia, gangguan pernapasan, gangguan linido,
keluhan gastrointestinal, gangguan fungsi hepar.
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic
syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi,
konvulsi, delirium, confusion dan disorientasi.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya:
Gastric lavage.
Monitoring EKG
B. Mekanisme kerja
Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitas dari sistem limbik yang
terdiri dari dopaminergic, nonadrenergic, seretonnergic neuron yang
dikendalikan oleh GABA-ergic yang merupakan suatu inhibitory
neurotransmitter. Obat antiansietas benzodiazepine yang bereaksi dengan
reseptornya yang akan meng-inforce the inhibitory action of GABA
neuron, sehingga hiperaktivitas tersebut mereda.
Efek samping
Efek samping untuk golongan anxietas, khususnya benzodiazepine,
adalah: (1) reaksi yang lazim: kelelahan, mengantuk, ataksia;(2) reaksi
yang jarang terjadi: konstipasi, inkontinensia, retensia urin, mata kabur,
disartria, nausea, mulut kering, tremor, ruam kulit;(3) efek paradoksikal:
kebingungan, depresi, nyeri kepala, perubahan libido, vertitgo gangguan
memori, dll.
B. Mekanisme kerja
Sindrom panik berkaitan dengan hipersensitivitas dari serotonic
reseptor di SSP. Mekanisme kerja obat antipanik adalah menghambat
reuptake serotonin pada celah sinaptik antar neuron.
Efek samping
Efek samping obat anti panik golongan Trisiklik, dapat berupa:
Efek anti-histaminergik (sedasi, mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun,dll)
Efek anti-kolinergik (mulut kering, keluhan lambung, retensi urin,
penglihatan kabut, konstipasi,dll)
Efek anti-adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi ortostatik)
Efek neurotoksis ( tremor halus, kejang-epileptik, agitasi, insomnia
PSIKOTERAPI[4]
Intervensi psikoterapi standar seperti psikoterapi berorientasi tilikan,
psikoterapi suportif, terapi kognitif, terapi kelompok dan terapi keluarga harus
tersedia bagi pasien lanjut usia. Menurut Freud, orang berusia lebih dari 50 tahun
tidak cocok untuk psikoanalisi karena tidak adanya elastisitas pada proses mental
mereka.
Masalah dalam terapi yang berkaitan dengan usia dan yang sering adalah
kebutuhan untuk beradaptasi terhadap kehilangan pasangan hidup, perlunya
menerima peran baru (pensiun, lepas dari peran yang sebelumnya) dan kebutuhan
untuk menerima kematian diri sendiri. Psikoterapi membantu lanjut usia menghadapi
masalah tersebut, meningkatkan hubungan interpersonal, psikoterapi meningkatkan
harga diri dan keyakinan diri, menurunkan perasaan ketidakberdayaan dan kemarahan
dan memperbaiki kualitas hidup.
Psikoterapi
Menurut Marasmis (2005), cara-cara psikoterapi dapat dibedakan menjadi
dua kelompok besar, yaitu psikoterapi suportif dan psikoterapi genetic dinamik.
1). Psikoterapi suportif
Tujuan psikoterapi jenis ini adalah menguatkan daya tahan mental yang ada,
mengembangkan mekanisme yang baru dan lebih baik untuk mempertahankan
control diri, dan dapat mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan
diri). Cara-cara psikoterapi suportif antara lain: ventilasi atau psikokatarsis, persuasi
atau bujukan, sugesti penjaminan kembali, bimbingan dan penyuluhan, terapi kerja,
hipnoterapi dan narkoterapi kelompok, terapi perilaku.
2). Psikoterapi genetic-dinamik (psikoterapi wawasan).
Psikoterapi genetic-dinamik dibagi menjadi psikoterapi reeduaktif dan psikoterapi
rekonstruktif. Psikoterapi reedukatif adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk
mencapai pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya lebih banyak dialam
sadar, dengan usaha berencana untuk penyesuaian diri kembali, memodifikasi tujuan ,
dan membangkitkan serta mengungkapkan potensi reaktif yang ada. Cara psikoterapi
reedukatif antara lain: terapi hubungan antara manuasia, terapi sikap, terapi
wawancara, analisa dan sintesa yang distributive, konseling terapetik, terapi kerja,
reconditioning, terapi kelompok yang reedukatif, dan terapi somatic. Cara-cara
psikoterapi rekonstruktif antara lain: Psikoanalisa Freud, Psikoanalisis non-Frreu,
psikoanalisis non-Freudian, dan psikoterapi yang berorientasi pada psikoanalisanya
(misalnya: asosiasi bebas, analisa mimpi, hipnoanalisa, narkoterapi, terapi main,
terapi seni, dan terapi kelompok analitik.
c). Manipulasi lingkungan
Lingkungan pergaulan pasien akan sangat membantu penatalaksanaan depresi
pada lansia. Dimana keluarga penderita harus bersifat sabar dan penuh perhatian.
Pengobatan sosiokultural dilakukan dengan mengurangi stresor yang ada yaitu
menciptakan lingkungan yang sehat serta memperbaiki sistem komunikasi
lingkungan. Selain itu keadaan fisik dan keberhasilan perlu mendapat perhatian yang
optimal dan seringkali diperlukan mmanipulasi lingkungan untuk meringankan
penderitaan pasien
DAFTAR PUSTAKA