Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue

tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam

kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO)

2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian

akibat DBD, khususnya pada anak. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI

(2007) menunjukkan jika dibandingkan antara tahun 2006 dan tahun 2005

terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit

penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%. (Chen, 2009).

Menurut Achmadi (2010) demam berdarah dengue banyak ditemukan di

daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia

menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.

Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health

Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus

DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia DBD telah menjadi masalah

kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi

peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD,

dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada

tahun 2009. Menurut Wiradharma (2009) Hal-hal yang menyebabkan masalah

dalam kasus DBD adalah angka kematian yang tinggi, penyebaran penyakit yang

1
mudah meluas dan terutama menyerang anak-anak. Pada DBD yang terlambat

ditegakkan diagnosisnya sering berakibat fatal.

Masa kritis dari penyakit ini terjadi pada akhir fase demam yaitu pada

Dengue Syok Syndrome (DSS), karena pada saat itu terjadi penurunan suhu tubuh

yang tiba-tiba dan sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi

dalam berat-ringanya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan

yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami

syok. Syok pada demam berdarah (DSS) merupakan tanda kegawatan yang harus

mendapat perhatian serius. Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat,

pasien dapat meninggal dalam waktu 12 – 24 jam atau sembuh cepat setelah

mendapat penggantian cairan yang memadai. Apabila syok tidak dapat segera

diatasi dengan baik, akan terjadi komplikasi yaitu asidosis metabolik, perdarahan

saluran cerna hebat atau perdarahan lain, hal ini pertanda prognosis yang buruk

(DepKes RI, 2004). Menurut Wiradharma (2009) angka kematian kasus DBD

pada penderita yang tidak dirawat dan diobati segera mencapai 50%, tetapi angka

tersebut menurun sampai 5 % dengan tindakan yang cepat dan tepat, baik dalam

diagnosis maupun dalam penatalaksanaannya.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat, di Indonesia jumlah kasus DBD menunjukkan

kecenderungan meningkat baik dalam jumlah, maupun luas wilayah yang

terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap

tahun. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit

DBD, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya

pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang

2
nyamuk (PSN), terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air

serta adanya empat serotype virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Mujida,

2009). Sedangkan menurut Khie Chen (2009) berbagai faktor kependudukan

berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:

Pertumbuhan penduduk yang tinggi, Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak

terkendali, Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah

endemis, dan peningkatan sarana transportasi.

Sedangkan jumlah penderita DHF di salah satu Rumah Sakit Umum

Sumatera Utara yaitu RSU Bunda Thamrin Medan, jumlah pasien rawat inap DHF

mengalami peningkatan selama 3 tahun reakhir, yaitu sebanyak 363 pasien pada

tahun 2016, 455 pasien pada tahun 2017, dan sebanyak 536 pasien pada tahun

2018. Jumlah terakhir dari bulan Januari – April 2019 sebanyak 147 pasien (RSU

Bunda Thamrin Medan, 2019).

Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama

kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi

yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan

kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik

untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni

pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit,

gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat

dilakukan secara efektif dan efisien (Chen, 2009).

3
Berdasarkan latar belakang diatas, DHF semakin meningkat di dunia

setiap tahunnya maka penulis tertarik mengangkat judul Manajemen Kasus Sistem

Hematologi dengan DHF (Dengue Haemoragic Fever) di Ruang 650 Lantai 6

Gedung III RSU Bunda Thamrin Medan tahun 2019.

1.2 Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan kegawatan pada

pasien demam berdarah

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengertian demam berdarah dengue

b. Mengetahui penyebab demam berdarah dengue

c. Mengetahui patofisiologi demam berdarah dengue

d. Mengatahui pathogenesis demam berdarah dengue

e. Mengetahui klasifikasi demam berdarah dengue

f. Mengetahui manifestasi klinis demam berdarah dengue

g. Mengetahui pemeriksaan penunjang demam berdarah dengue

h. Mengetahui penatalaksanaan demam berdarah dengue

i. Mengetahui asuhan keperawatan demam berdarag dengue

1.3 Manfaat
1. Bagi Klien
Hasil laporan asuhan keperawatan ini diharapkan dapat menambah

wawasan mengenai Dengue Haemoragic Fever (DHF) di Ruang 650

Lantai 6 Gedung III RSU Bunda Thamrin Medan tahun 2019.

2. Bagi Penulis
Mahasiswa mampu mengaplikasikan teori dan konsep yang diperoleh di

pendidikan dalam situasi nyata dan meningkatkan kepercayaan diri dalam

melakukan asuhan keperawatan yang komprehensif.

4
3. Bagi Praktisi Keperawatan
Hasil laporan asuhan keperawatan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

syarat untuk meluluskan mahasiswa agar mampu melakukan asuhan

keperawatan yang komprehensif agar menghasilkan perawat yang

profesional mengenai Dengue Haemoragic Fever di Ruang 650 Lantai 6

Gedung III RSU Bunda Thamrin Medan tahun 2019.


4. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil laporan asuhan keperawatan ini menambahkan wawasan serta dapat

meningkatkan kompetensi lulusan mengenai asuhan keperawatan pada

klien dengan gangguan sistem hematologi : Dengue Haemoragic Fever di

Ruang 650 Lantai 6 Gedung III RSU Bunda Thamrin Medan tahun 2019.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Penyakit DBD


2.1.1 Pengertian
Penyakit Dangue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus

(arthropadborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes (Aedes

5
albopictuse dan Aedes aegypti). Sampai sekarang dikenal ada 4 jenis virus

dangue yang dapat menimbulkan penyakit, baik demam dangue maupun

demam berdarah. Demam Berdarah Dangue adalah penyakit yang disebabkan

oleh virus dangue I, II, II, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti

dan Aedes Albocpitus. (Soegijanto, 2004).


2.1.2 Penyebab
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus

dangue termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4

serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada

di Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus DEN-3 sering menimbulkan

wabah (Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang

relative labil terhadap suhu dan faKtor kimiawai lain serta masa viremia yang

pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh

nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2

protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M.

2.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas

vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,

sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.

Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat. (Gubler,

1998). Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi

diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan

hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor, yaitu perunahan vaskuler,

trombositopeni, dan kelainan koagulasi (Soegijanto, 2004).

2.1.4 Patogenesis

6
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk

Aedes aegypty atau Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ

hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran

darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN

mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut.

Infeksivirus dangue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke

dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk

komponen-komponenya. Setelah terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses

perkembangbiakan sel virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu

serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotype tersebut

tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip virus yang lain (Kurane &

Francis, 1992).

Beberapa teori mengenai terjadinya DBD dan DSS antara lain adalah:

a. Teori Antigen Antibodi

Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan

antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan

mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin

C3A dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek

farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan

prokoagulant sehingga menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik

syok dan perdarahan. (Soewandoyo, 1998).

b. Teori Infection Enhancing Antibody

Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang

terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak

7
didapat pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian

ini antibody nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan

sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang

menetapdi jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan

memiliki sifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.

Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan

sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan

mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh

darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma

dan perdarahan. (Wang, 1995).

c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang

terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan

mekanismme sitokin kerja adalah sebagai mediator pada imunitas

alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai

regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit,

sebagai activator sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator

pertumbuhan dan deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).


2) Kejadian masa krisis pada DBD selama 48-72 jam, berlangsung sangat

pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis

tidak ada gejala sisa.


3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa

pada syok septic banyak berhubungan dengan mediator.

Menurut Suvatte (1977) patogenesis DBD dan DSS adalah masih

merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada

8
DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous

infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan

secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua

kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat

yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah

ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan

kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan

dengan reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena

antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan

bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai

antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan

meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.

Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif

yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suvatte, 1977).

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan

pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam

waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit

dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu,

replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan

akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan

terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody compleks) yang

selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a

dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas

9
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke

ruang ekstravaskular (Suvatte, 1977).

Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai

lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini

terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar

natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).

Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan

anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat

penting guna mencegah kematian (Suvatte, 1977).

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus

binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu.

Virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh

nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat

menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi

dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain

virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar (Suvatte,

1977).

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi

selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit

dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh

darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.

Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-

antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin

di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan

10
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)

sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan

pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif

(KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP

(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan factor

pembbekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi

trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak

berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi

factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu

peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.

Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan

faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan

dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan mempercepat syok yang

terjadi (Suvatte, 1977).

2.1.5 Klasifikasi
WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):
Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala

klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan

spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.


Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti

mimisan, muntah darah dan berak darah.


Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah

rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar

mulut, hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).


Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

11
2.1.6 Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang

mendadak tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung

2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil

dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3

dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan

hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut

(38°-40° C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta

seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.

Gambar: Kurva suhu pada DHF


b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam.

Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan

fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti

ini juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll.

Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan

perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat

12
lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar

termasuk fossa cubiti.


c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai

ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga

2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009).

Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun

nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan

ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya

mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan

sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai

penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan

tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan

pasien terlihat gelisah.


2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) (≤ 100000/µI)
2) Hematokrit meningkat ≥ 20%, merupakan indikator akan timbulnya

renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis

pasti pada DBD dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya

trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji

serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey,

2012).

13
Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF

3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.


4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)
7) Natrium rendah (hiponatremia)
8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10) Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran,

Chong, Ng, Suhail, Lee, 2011).

c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya

posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam

mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.


d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai

pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan

dapat diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites

dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat

14
menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat misalnya

dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan

pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya

sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe

virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama

sekali (>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi-

epidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x

lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum

akut atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan

keras positif infeksu dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk, 2011).

2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)


Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit

dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi

bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).


3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya

memamkai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu

berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Anti body

neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan antibody

HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan

lama (>4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama

sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011).


4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus

dengue karena IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM

15
negative uji ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM msih

negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM dapat bertahan dalam

darah samapi 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji Mac

Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya

memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan

uji HI (Vasanwala dkk, 2011).


5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain

reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap

serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah.

Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang berasal dari

darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas PCR sama

dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi oleh

penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody

dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk,

2011).
2.1.8 Penatalaksanaan
a.Pre Hospital

Penatalaksanaanprehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara

yaitu pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam

berdarah. DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan

yang dilakukan meliputi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk

(PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik ditempat perkembangbiakan

dengan cara 3M Plus:

1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti

bak mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).

16
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong

air/tempayan, dan lain-lain (M2).


3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat

menampung air hujan (M3).

Plusnya adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari

gigitan nyamuk dengan cara:

1) Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang

sulit dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos

(abate) atau Altosid. Temephos atau Altosid ditaburkan 2-3 bulan

sekali dengan takaran 10 gram Abate ( ± 1 sendok makan peres)

untuk 100 liter air atau dengan takaran 2,5 gram Altosid ( ± 1/4

sendok makan peres) untuk 100 liter air. Abate dan Altosid dapat

diperoleh di puskesmas atau di apotik.

2) Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.


3) Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk
4) Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok
5) Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi
6) Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar
7) Melakukan fogging atau pengasapan bila dilokasi ditemukan 3

kasus positif DBD dengan radius 100 m (20 rumah) dan bila di

daerah tersebut ditemukan banyak jentik nyamuk.

Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya

mengalami demam tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh

kekurangan cairan karena penguapan, apalagi bila gejala yang

menyertai adalah muntah atau intake tidak adekuat (tidak mau minum),

akhirnya jatuh dalam kondisi dehidarasi. Pertolongan pertama yang

dapat diberikan adalah mengembalikan cairan tubuh yaitu meberikan

17
minum 2 liter/hari (kira – kira 8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15

menit. Minuman yang diberikan sesuai selera misalnya air putih, air

teh manis, sirup, sari buah, susu, oralit, shoft drink, dapat juga

diberikan nutricious diet yang banyak beredar saat ini. Untuk

mengetahui pemberian cairan cukup atau masih kurang, perhatikan

jumlah atau frakuensi kencing. Frekuansi buang air kecil minimal 6

kali sehari menunjukkan pemberian cairan mencukupi (IDAI, 2009).

Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit,

tapi butuh kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah

sebagai berikut (WHO, 1999):

1) Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari

(lebih banyak lebih baik)

2) Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas.

Parasetamol sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak

lebih dari 4 kali sehari. Jangan

memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen, sebab dapat

menimbulkan gastritis dan atau perdarahan.


3) Beberapa dokter menyarankan untuk minum minuman ion

tambahan ( pocari sweet )


4) Minuman lain yang disarankan: Jus jambu merah untuk

meningkatkan trombosit
5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam

kuantitas yang banyak


6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus

berikut ini :
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari

18
b) Anak: Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari

- Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari

- Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari

Jenis minuman yang di rekomendasikan bagi penderita DBD

merupakan sebagian dari obat demam berdarah yang dimaksudkan

untuk menghindari pasien dari kekurangan cairan, antara lain :

1. Jus Buah

Untuk mengatasi kekurangan cairan karena demam

berdarah dapat memberikan banyak cairan berupa air jus. Tidak

selalu harus jus jambu biji, bisa memberikan jus buah lain

seperti jus pepaya, jeruk, atau jus mangga. Dengan kadar air

dalam buah berhitung tinggi antara 65 sampai 92 persen,

sehingga bisa mensuplai atau menutupi kekurangan cairan

akibat merembesnya plasma darah keluar dari pembuluh.

2. Air Kelapa Muda

Air kelapa muda banyak megandung mineral kalium,

sodium, klorida, dan magnesium. Zat-zat ini adalah elektrolit

yang dibutuhkan tubuh untuk membantu mengatasi ancaman

syok pada kondisi kekurangan cairan. Selain kalium, juga

mengandung gula, vitamin B dan C dan protein. Komposisi

gula dan mineral yang terdapat dalam air ini begitu sempurna,

sehingga memiliki keseimbangan yang mirip dengan cairan

tubuh manusia.

19
3. Air Heksagonal

Air heksagonal merupakan air yang banyak mengandung

oksigen, air telah banyak dikembangkan untuk membantu

metabolisme tubuh sehingga bisa menjaga stamina dan

vitalitas, termasuk bagi yang menderita demam berdarah.

4. Alang-Alang

Dalam kandungan Alang-alang terdapat manitol, glukosa,

sakharosa, malic acid, citric acid, coixol, arundoin,

cylindrin, fernenol, simiarenol, anemonin, asam kersik,

damar, dan logam alkali. Dilihat dari kandungan-kandungan

tersebut, alang-alang bersifat antipiretik (menurunkan

panas), diuretik (meluruhkan kemih), hemostatik

(menghentikan perdarahan), dan menghilangkan haus.

Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam

maka perlu diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan

kehilangan cairan akibat demam tinggi, kondisi demam tinggi juga

dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga harus diberikan obat

penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat penurun

panas. Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang

berasal dari golongan parasetamol atau asetaminophen, jangan

diberikan jenis asetosal atau aspirin oleh karena dapat merangsang

lambung sehingga akan memperberat bila terdapat perdarahan

lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita demam

terlalu tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres

20
dingin, oleh karena kompres dingin dapat menyebabkan anak

menggigil. Sebagai tambahan untuk anak yang mempunyai riwayat

kejang demam disamping obat penurun panas dapat diberikan obat anti

kejang (IDAI, 2009).

IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan

baik karena sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan

baik maka akan menyusul gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada

saat terjadi perdarahan hebat penderita akan tampak sangat kesakitan,

tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama, penderita sudah tidak

sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ tubuh akan

kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam

waktu singkat. Oleh karena itu penderita harus segera dibawa kerumah

sakit bila terdapat tanda gejala dibawah ini:

1) Demam tinggi (lebih 39oc ataulebih)

2) Muntah terus menerus


3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
4) Kejang
5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah
6) Nyeri perut hebat
7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat,

seluruh badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa

haus, kencing berkurang atau tidak ada sama sekali


8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah

atau penurunan jumlah trombosit

Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk

membantu dalam menangani penyakit demam berdarah. Dinas

Kesehatan Kota Denpasar mengarahkan apabila ada penderita yang

21
terkena demam berdarah maka harus segera melaporkan

Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan terdekat

bila ada anggota masyarakat yang terkena DBD.

Penelitian oleh Kandou, Grace D (2006) pelatihan uji tourniquet

bagi kader kesehatan sebagai salah satu cara deteksi dini demam

berdarah dengue memberikan gambaran bahwa setelah diberikan

penyuluhan dan simulasi pemeriksaan uji tourniquet terjadi perubahan

yang bermakna dimana para kader menjadi tahu dan paham tentang

penyakit demam berdarah Dengue serta cara deteksi dini sederhana

yang dapat dilakukan sebelum merujuk penderita ketempat pelayanan

kesehatan.

b.Intra Hospital di Unit Gawat Darurat


Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi

kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas

kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan

sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada

kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.


Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit

lain adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang

menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis. Gambaran

klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis

hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan

tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase

kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang

merupakan ease awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan

22
melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma

dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan

awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari

peningkatan kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).


Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.

Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2

trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum

peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu.

Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan

plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan

garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume

plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian

khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus

dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien

DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D,

C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B danA (DepKes

RI, 2005).

1) Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan

tatalaksana DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian

cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak

dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri

perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu

diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu

23
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama

demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk

pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat

demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang

dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan

oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam

pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan

cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi

yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan

oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan

antikonvulsif selama demam (DepKes RI, 2005).

Tabel 1

Dosisi Parasetamol Menurut umur

Umur (Tahun) Parasetaol (tiap kali pemberian)


Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500

mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang

mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat

suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan

kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium

yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu

24
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan

cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum

dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit

harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai

suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak

tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai

alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang

tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan

menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb

(DepKes RI, 2005).

a) Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang

terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase

syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume

plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan

harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan

cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada

kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan

dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan

tanda vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin (DepKes

RI, 2005).

Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal

mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume

yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.

25
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus

smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak

rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya

dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai

hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi

dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di

dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan

natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus

perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).

Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka

komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan

plasma. Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai

cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu

cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada

tabel 2 dibawah ini (DepKes RI, 2005).

Tabel 2

Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang

(defisit cairan 5 – 8 %)

Berat Badan waktu masuk Jumlah cairan Ml/kg berat

RS ( kg ) badan per hari


<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88

26
Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan

tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat

kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat

hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan

disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur

yang sama (DepKes RI, 2005).

2) Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah

pengobatan yang utama yang berguna untuk memperbaiki

kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami

syek dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada

penderita SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm

Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam

seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB

(DepKes RI, 2005).

a) Penggantian Volume Plasma Segera

Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20

ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30

menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai

berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada

perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.

Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan

kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada

perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid

27
(dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya

pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal

pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada

saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid

dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit

turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan

pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap

> tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg

BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah

keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi bertahap

sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes RI, 2005).

b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume

Plasma

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda

vital telah membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan

segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian

disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi

selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada

pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan

intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,

dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam

atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi

membaik (DepKes RI, 2005).

28
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48

jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah

yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari

ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit

setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan

hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung.

Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan

dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh

hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis

cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase

reabsorbsi (DepKes RI, 2005).

c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit

Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai

pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit

harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak

dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana

pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila

penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan

koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan

sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak

diperlukan (DepKes RI, 2005).

d) Pemberian Oksigen

29
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada

semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan

mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak

seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker

oksigen (DepKes RI, 2005).

e) Transfusi Darah

Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus

dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang

berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah

diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.

Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal

haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan

hematokrit(misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan

klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,

merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar

dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup

mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar

trombosit (DepKes RI, 2005).

Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk

pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi

pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga

dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti

waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen

degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk

30
mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan

hematologis tersebut juga menentukan prognosis (DepKes RI,

2005).

f) Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan

dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-

hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:

- Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat

setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat

teratasi.

- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali

sampai keadaan klinis pasien stabil.

- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,

mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan, untuk

menentukan apakah cairan yang diberikan sudah

mencukupi.

- Jumlah dan frekuensi dieresis

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa

penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi

dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang

jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan

tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka

selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan

jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus

31
dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi,

pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka

pemberian dopamia perlu dipertimbangkan (DepKes RI, 2005).

Alur Tersangka DBD

Tersangka DBD Gejala Klinis


Demam 2-7 hari
Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan
Laboratorium: Ht tidak meningkat,
Trombositopenia ringan

Pasien tidak dapat minum


Pasien masih dapat minum
Beri Minum banyak 1-2 liter/ hari
atau 1 swndok makan tiap 5 menit
Jenis minum: air putih, teh manis,
jus buah, susu, oralit Pasang Infus NaCl 0,9%: dektrose
Bila suhu > 380 C beri Paracetamol 5%(1:3)
Jika kejang beri anti convulsi Tetesan rumatan sesuai Berat badan
Periksa Ht, Hb, tiap 6 jam,
trombosit tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan


laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi nadi perifer HT naik dan / atau trombosit turun
2 Ujur diuresis
Awasi perdarahan
3 Periksa Hb,Ht dan trombosit tiap 6-
12 jam Infus ganti RL (tetesan disesuaikan)
4

5
Perbaikan klinis dan laboratorium:

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik
Nafsu makan membaik, secara klinis
tampak perbaikan
Hematokrit stabil, jumlah > 50.000/uL
3 hari setelah syock teratasi, tidak
32
dijumpai distress nafas
Gambar: Alur Tersangaka DBD
Cairan (Sumber: DepKes RI, 2005)
Awal

Penatalaksanaan DBD Derajat I dan II


RL/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl +
D5 6-7 ml/kgBB/jam

Monitor Tanda Vital / nilai Ht dan


Trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
Nadi kuat Distress pernapasan
Tekadan Darah stabil Frekuensi nadi meningkat
Diuresis Cukup HT tetap tinggi / naik
HT turun (2x pemeriksaan) Tekanan nadi < 20 mmHg
Diuresis kurang/tidak ada

Tetesan dikurangi 5 Tanda vital memburuk


ml/kgBB/jam Ht meningkat Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kg BB/jam
Perbaikan

Evaluasi 12-24 jam


Perbaikan
Sesuaikan tetesan
3 ml/kg BB/jam
Tanda vital tidak stabil

6 Distress nafas
IVFD stop setelah 24-48 jam Ht naik HT turun
Apabila
7 tanda vital dan Hb Tekanan nadi < 20 mmHg
stabil, diuresis cukup

Koloid 20-30 ml/kgBB/


Tranfusi darah segar 10
ml/kgBB
Indikasi tranfusi:
Syok belum teratasi
33
Perdarahan masif

Perbaikan
Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat I dan II (Sumber: DepKes RI, 2005)

Penatalaksanaan DBD Derajat II dan III


Oksigenasi (O2 2-4 lt/mnt)
Penggantian volume plasma segera (cairan
kristaloid
DBDisotonis):
Derajat IIIRL/NaCl
dan IV 0,9% 20 ml/kgBB
secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit apakah syock teratasi?


Syock teratasi:
Syock teratasi: Kesaaran menurun
Kesadaran membaik Tekanan nadi < 20 mmHg
Tekanan nadi > 20 mmHg Distress nafas/sianosis
Tidak sesak nafas/tidak Dingin
sianosis Periksa kadar gula
Ekstremitas hangat
Diuresis cukup 1
ml/kgBB/jam Lanjutkan cairan 15-20
ml/kgBB/jam
Tambahkan
koloid/plasma
Cairan & tetesan disesuaikan dekstran /FFP 10-20
10 ml/kgBB/jam (max 30 ml/kgBB)
Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda Perdarahan
Diuresis Syock belum teratasi
Syok teratasi
Pantau Hb, Ht, trombosit

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Hb stabil alam 2 x periksa Ht tetap tinggi/ meningkat
Ht menurun
Koloid 20 ml/kgBB

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

34
Infus stop tidak lebih 48 jam
Setelah syok teratasi
Gambar: Penatalaksanaan DBD derajat II dan III (Sumber: DepKes RI, 2005)

35
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian

Pengkajian yang efektif pada DHF ataupun DSS di ruang IGD

didasarkan pada kemampuan analisis kritis perawat untuk

memprediksikan, mengenali dan menentukan dengan cepat pasien dengan

DSS atau potensial DSS sehingga dapat diberikan penanganan yang cepat

pula, karena keterlambatan resusitasi dapat meningkatkan resiko

mortalitas. Hal ini sangat didukung oleh pengetahuan perawat tentang hal-

hal yang harus dikaji pada pasien dengan DHF atau DSS, termasuk

manifestasi klinis yang mungkin muncul dalam setiap tahap dari penyakit

tersebut. Secara umum munculnya tanda dan gejala nyeri atau tenderness

pada abdomen, muntah terus menerus, akumulasi cairan misalnya efusi

pleura atai asites,perdarahan mukosa,penurunan kesadaran : letargi,

gelisah, pembesaran liver (≥2cm),peningkatan hematokrit dengan

penurunan jumlah platelet secara cepat merupakan indikator bahwa

diperlukan evaluai medis segera. CDC (Center Disease Control and

36
Prevention) menjelaskan bahwa fokus pengkajian untuk kegawatan pada

DHF yang dikenal dengan DSS adalah sebagai berikut (CDC, 2010):

a. Riwayat demam
Riwayat demam yang akurat penting untuk ketepatan diagnosis dan

membantu prediksi kehilangan cairan, dan fase penyakit. Terdapat

perbedaan karakteristik demam pada :


 DF demam akut biasanya 2 hari atau lebih
 DHF : 2-7 hari
 DSS :penurunan temperatur yang tiba-tiba (>38.0°C menjadi

temperatur normal atau subnormal)


b. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda kegawatan/kritis adalah ketika didapatkan nadi cepat dan

lemah, tekanan nadi yang sempit (TD sistolik-TD diastolik <20mm

Hg) atau hipotensi berdasarkan tekanan darah sesuai usia.


c. Pemeriksaan fisik fokus dan manifestasi perdarahan
Kondisi pasien mulai kritis ketika didapatkan tanda-tanda manifestasi

klinis perdarahan atau tes torniquet positif disertai tanda munculnya

asites dan atau efusi pleura, kulitdan ekstremitas teraba dingin, basah,

kesadaran menurun (letargi atau gelisah),CRT>2 detik, oliguria, tanda-

tanda shock (Phanmeesuk & Suksin, 2009).


d. Pemeriksaan laboratorium
Untuk kewaspadaan ,didapatkannya leukopenia dengan onset baru

(WBC <5,000 cells/mm3) limfositosis danpeningkatan limfosit yang

bersifat atypical, mengindikasikan dalam 24 jam berikutnya pasien

potensial akan masuk dalam fase kritis. Sedangkan tanda-tandapasien

telah masuk fase kritis adalah ketika tanda dan gejalapada pengkajian

riwayat dan pemeriksaa fisik diatas disertaitemuan onset yang baru

dari hasil lab sebagai berikut (Phanmeesuk & Suksin, 2009):


1) Thrombocytopenia (≤100,000 cells per mm3)

37
2) Hemokosentrasi ( peningkatan hematocrit ≥20%diatas rata-rata

sesuai usia atau penurunan hematocrit ≥20% dari terapi cairan yang

diperlukan, hipoproteinemia, hipokolesterolemia

Deteksi dini menjadi sangat penting karena kesalahan dalam

mengenali tanda-tanda kritis dapat menyebabkan keterlambatan reusitasi

cepat yang dapat menyebabkan pasien masuk kedalam komplikasi atau

yang ditandai dengan perdarahan masif dan gangguan metabolisme seperti

hipokalsemia, hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis laktat, dan

hiponatremia (CDC). Sehingga monitor ketat oleh perawat terhadap

volume intravaskular, fungsi organ vital, dan respon pasien terhadap

treatment, jenis cairan yang masuk, serta kemungkinan sumber perdarahan

lainnya menjadi sangat penting. Maka, untuk keperluan tersebut maka

perawat sebagai petugas yang 24 jam didekat pasien memiliki peran yang

signifikan dalam efektifitas observasi tersebut (Phanmeesuk & Suksin,

2009).

2.2.2 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


a. Diagnosa Keperawatan : Resiko shock hipovolemik (kurangnya

volume cairan) berhubungan dengan peningkatan permeabilitas.

Ditandai dengan:perubahan status mental, penurunan tekanan

darah,peningkatan frekuensi nadi nadi, kulit/membran mukosa kering,

hematokrit meningkat, suhu tubuh meningkat, konsentrasi urin

meningkat, kelemahan.

Kriteria hasil : keseimbangan cairan dan elektrolit dan asam basa

tercapai, hidrasi adekuat.

38
Intervensi :

Intervensi prioritas NIC

1) Autotranfusi pengumpulan dan reinfusi darah yang hilang akibat

perdarahan

2) Pengelolaan elektrolit peningkatan keseimbangan elektrolit dan

pencegahan komplikasi akibat kadar elektrolit serum yang tidak

normal atau tidak diinginkan (misalnya : kalsium,

kalium.agnesium, natrium dan fosfat dalam serum).

3) Pengelolaan cairan : peningkatan dan analisis data paisen untuk

mengatur keseimbangan cairan

4) Pengelolaan hipovolemia : expansi volume cairan intravaskular

pada pasien yang mengalami penurunan volume.

5) Terapi intravena : Pemberian dan pemantauan cairan dan obat

intravena

6) Pengelolaan syok , volume : peningkatan keadekuatan perfusi

jaringan pada pasien yang mengalami masalah volume

intravaskular yang berat

Aktifitas Keperawatan

1) Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan

2) Observasi khusus terhadap kehilangan cairan dan elektrolit yang

tinggi

3) Pantau perdarahan

4) Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bertambah

buruknya dehidrasi

39
5) Tinjau ulang elektrolit terutama natrium, kalium dan klorida.

6) Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu.

7) Pengelolaan cairan (NIC) :

a) Pantau status hidrasi

b) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan

cairan

c) Pertahankan keakuratan asupan dan keluaran.

Pendidikan untuk pasien dan keluarga

1) Anjurkan pasien untuk melaporakan kepda perawat bila haus

Aktivitas kolaboratif :

1) laporkan dan catat keluaran (Output)

2) laporkan abnormalitas elektrolit

3) berikan terapi IV sesuai dengan anjuran

Aktifitas lain

1) bersihkan mulut secara teratur,

2) tentukan jumlah cairan dalam 24 jam

3) tingkatkan asupan orla, pasang kateter bila perlu

4) berikan cairan sesuai indikasi

b. Diagnosa keperawatan: Peningkatan suhu tubuh lebih dari normal

berhubungan dengan terjadinya viremia

Ditandai dengan : suhu tubuh llebih dari normal (36.5- 37 C), kulit

memerah (hiperemi), RR meningkat, kulit hangat, tachikardi

Kriteria Hasil: Suhu tubuh Normal (365-37 C), RR dan nadi Normal,

perubhan warna kulit tidak ada.Keadaan umum cukup

40
Intervensi :

Intervensi prioritas NIC

1) Pengobatan demam pengelolaan pasien dengan hipertermia yang

disebabkan oleh faktor-faktor yang bukan dari lingkungan

2) Regulasi suhu mencapai dan atau untuk mempertahankan suhu

tubuh dalam rentang normal

3) Pemantauan tanda vital pengumpulan dan analisis data

kardiovaskluar, respirasi, suhu tubuh untuk menentukan serta

mencegah komplikasi

Aktivitas Keperawatan

1) Pantau aktivitas kejang

2) Pantau hidrasi

3) Pantau tkanan darah dan, nadi dan pernafasan,e

4) Regulasi suhu (NIC) : pantau suhu tubuh minimal tiap 2 jam

sesuai dengan kebutuhan denge pantau warna kulit dan suhu

Pendidikan untuk pasien dan keluarga

1) Ajarkan indikasi keletihan karena panas dan tindakan kedaruratan

ynag diperlukan sesuai dengan kebutuhan

Aktifitas kolaboratif :

1) Berikan obatantipiretik sesuai dengan kebutuhan

2) Gunakan air jangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh sesuai dengan

kebutuhan

41
Aktifitas lain :

1) Lepaskan pakaian yang yang berlebihn

2) Anjurkan asupan cairan oral

3) Gunakan selimut

4) Gunakna kompres pada aksila, kening, leher dan lipat paha

c. Diagnosa Keperawatan: Kurang pengetahuan tentang proses penyakit,

diet dan perawatan pasien DHF sehubungan dengan kurangnya

informasi.

Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga tentang proses penyakit, diet,

perawatan meningkat sehingga klien/keluarga memperlihatkan

perilaku yang kooperatif.

Intervensi:

1) Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF

2) Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga.

3) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan

pada klien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.

4) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya

pada klien.

5) Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-

hal yang ingin diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita

klien.

6) Gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan

penjelasan.

42
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian

Pengkajian dilakukan tanggal 12 Mei 2019 Pukul 08.00 WIB

3.1.1 Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. S


Umur : 33 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Aga ma : Islam
Pendidikan : D-III
Alamat : JL. Bhayangkara GG Keluarga No.2 LK
XIII Medan
Pekerjaan : Peagawai Swasta
Tanggal masuk : 12 Mei 2019
Penanggung Jawab
Nama : Tn.E
Pendidikan : Sarjana
Alamat : JL. Bhayangkara GG Keluarga No.2 LK
XIII Medan
Pekerjaaan : Pegawai Swasta
Hubungan dengan pasien : Suami

3.1.2 Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama

43
Pasien mengatakan demam dan merasa mual.

2) Riwayat Kesehatan Sekarang

Pasien mengatakan demam sudah 3 hari. Demam dirasakan naik turun. Pasien

dibawa di IGD RSU Bunda Thamrin Medan pada tanggal 12 Mei 2019 jam

00.25 WIB. Hasil Pemeriksaan awal TD : 110/70 mmHg, N : 109 x/i, RR : 20

x/i, Temp 38,5 °C. Terpasang IVFD RL 20 gtt/i, Inj.Norages 1 amp,

Inj.Omeprazole 1 vial, Paracetamol 500 mg.

3) Riwayat Kesehatan Dahulu

Pasien mengatakan belum pernah mengalami penyakit seperti ini dan sampai

di bawa ke rumah sakit dan di opname di rumah sakit. Klien mengatakan

memiliki riwayat hipertensi.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang mempunyai sakit seperti ini,

tidak mempunyai penyakit keturunan dan tidak mempunyai penyakit menular.

5) Genogram

Keterangan :

44
Laki=laki Penderita

Perempuan Tinggal serumah

3.1.3 Pengkajian Primer

1. Airway

Tidak terdapat lendir atau sputum pada jalan napas pasien, tidak ada bunyi napas

tambahan.

2. Breathing

Pernapasan teratur, RR : 20 x/i, irama jantung reguler / teratur.

3. Circulation

Tidak ada sianosis, akral kulit teraba hangat, CRT < 2 detik, TD : 110/70 mmHg,

N : 109 x/i, Temp : 38,5 °C.

4. Disability

Tingkat kesadaran Composmentis, GCS : 15 = E4 M5 V6, pupil isokor, diameter

pupil 2 mm kanan dan kiri, ekstremitas baik, elastisitas kulit > 3 detik.

5. Eksposure

Tidak ada cedera leher, tidak ada jejas, tidak ada fraktur.

3.1.4 Pengkajian Sekunder

Pengkajian Fisik

a. Kesadaran Compos Mentis

45
GCS : E4 M5 V6 Jumlah :15
KU : sedang
b. Tanda Vital Suhu : 38,5oC RR : 20 x/m HR : 109 x/m TD : 110/70 mmHg

c. Posture BB : 78 gr atau kg PB/TB : 165 cm

d. Kepala Bentuk : Normal, simetris


Kebersihan : Bersih
Tidak ada lesi, benjolan: tidak ada, wajah tampak kemerahan dan
tampak bintik merah.

e. Mata Simetris
Sklera : tidak ikterik Konjungtiva : anemis
Reflek cahaya : positif Palbebra : tidak edema
Pupil : isokor

f. Hidung Letak : Simetri


Pernapasan cuping hidung : Tidak Ada
Kebersihan : Bersih
Tidak ada perdarahan epistaksis
g. Mulut Warna bibir: kemerahan, bibir lembab
Kebersihan rongga mulut : bersih
Ada perdarahan gusi
h. Telinga Bentuk : Simetris
Kebersihan : Bersih
Posisi puncak pina : Sejajar kantus mata
Pemeriksaan pendengaran : baik

i. Leher Pembesaran kelenjer getah bening : Tidak ada

j. Dada
- Toraks Inspeksi : simetris, tampak bintik merah, tidak ada tarikan dinding
dada
Auskultasi : Vesikuler

Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama

Perkusi : Sonor
- Jantung Inspeksi : iktur cordis tidak terlihat

Auskultasi : irama jantung reguler

Palpasi : Iktus kordis teraba

k. Abdomen Inspeksi : Simetris, tampak bintik merah pada abdomen

Auskultasi : Bising usus (+)

46
Palpasi : Nyeri tekan pada ulu hati

Perkusi : Tymphani
l. Kulit Turgor : Kembali cepat
Kelembaban: Kering
Warna: kemerahan
Data lain : Tampak bintik merah pada seluruh tubuh
m. Ekstremitas Capillary refill : < 2 dtk
Atas Data lain yang ditemukan : terpasang IVFD RL 20 tts/i. tampak bintik
merah pada kedua tangan, tidak edema, tidak ada sianosis, nyeri pada
otot dan persendian

n. Ekstremitas Capillary refill : < 2 dtk


Bawah Data lain yang ditemukan : terpasang IVFD RL 20 tts/i. tampak bintik
merah pada kedua tangan, tidak edema, tidak ada sianosis, nyeri pada
otot dan persendian

o. Genitalia dan Tidak ada masalah


Anus
2) Kebiasaan sehari-hari
e. Nutrisi dan Sehat :
Cairan Makan : makan 2x sehari dengan komponen nasi, lauk pauk dan juga
sayur
Minum : 6 gelas/ perhari

Sakit :
Makan : mendapat diit ML, kadang makan 1-2 sendok, kadang tidak
makan.
Minum : 4-5 gelas/ perhari, sulit untuk minum
f. Istirahat dan Siang Malam
Tidur Sehat : keluarga mengatakan Sehat: keluarga mengatakan klien
klien sering tidur pada sore hari tidur teratur 8 jam/ perhati dengan
skitar pukul 16.30 nyenyak

Sakit: klien sering tidur ± 2 jam/


Sakit: klien tidur ± 8 jam/hari
perhari tetapi
sering terbangun dan kurang
nyenyak
g. Eliminasi BAK
Sehat: klien BAK 5x/ perhari
Sakit : keluarga mengatakan klien BAK ±6-7 kali
BAB
Sehat : klien BAB 1 kali sehari dengan konsistensi padat, bau
khas,warna kuning
kehitaman.

47
Sakit: klien BAB 1 kali sehari dengan konsitensi padat, bau khas,
warna coklat kehitaman
h. Personal Frek. Mandi : 1 x/hr Cuci rambut : - x/mg Sikat gigi : 1 x/h
higiene

DATA PENUNJANG
Laboratorium Hasil pemeriksaan hematologi

Pada tanggal 27 Juli 2018


Hemaglobin : 10,0 g/dl (12-16 g/dl)
Lekosit : 2.960/ mm3 (4.000-11.000/mm3)
Hekamtokrit : 30,4 % (36-47 %)
Trombosit : 136.000/mm3 (150.000-450.000/mm3)

Radiologi -

Terapi medis : IVFD RL 20 gtt/i, Inj. Norages 1 amp, Inj.omeprazole 1

vial, parecetamol 500 mg

48
ANALISA DATA KEPERAWATAN

N DATA ETIOLOGI MASALAH


O KEPERAWATAN
1. DS: Nyamuk Aedes aegypti Hipertermi
Pasien mengatakan badan pembawa virus dengue
teraba hangat dan kulit
kemerahan Virus masuk sirkulasi
darah/Viremia
DO:
Suhu: 38,5oC Dengue fever
Tampak wajah kemerahan
Kulit teraba hangat Peningkatan laju
Lekosit:: 2.960/ mm3 metabolisme

demam

2. DS: Resiko perdarahan


- Pasien mengatakan tampak
bintik merah sejak hari Kompleks virus dalam
sabtu ini pembuluh darah
- Pasien mengatakan BAB
berwarna coklat Agregasi trombosit
kehitaman
Kerusakan trombosit
DO:
- Suhu : 38,5oC, RR : 20 x/i, HR
: 109 x/i Fungsi trombosit menurun
- Hemobglobin: 10,0 g/dl
- Trombosit: 136.000/mm3
- Konjungtiva anemis Trombositopenia
- Mukosa bibir tampak
kemerahan
- Adanya tampak bintik merah Perdarahan
pada seluruh tubuh

49
Tindakan keperawatan
Diagnosis Keperawatan NOC NIC Evaluasi
Jam
Hipertermi Setelah dilakukan Perawatan Demam 08.00 Memantau tanda-tanda S:
Defenisi: Peningkatan suhu tindakan keperawatan 1) Pantau suhu dan tanda- vital: T: 37,5oC HR: 81 x/i, Pasien mengatakan demam sudah
tubuh diatas kisaran normal diharapkan tanda vital yang lain RR:21x/i, TD:110/70 berkurang
Batasan karakteristik: termoregulasi normal 2) Monitor warna kulit mmHg.
1) Kunvulsi dengan kriteria hasil : 3) Berikan obat atau O:
2) Kulit kemerahan 1) Tidak adanya cairan IV (misalnya: 08.15 Memberikan obat atau Pasien tampak lemas, vital: T:
3) Peningkatan suhu tubuh peningkatan suhu antipiretik, agen anti cairan IV ( PCT tab dan 37,5oC HR: 81 x/i, RR:21x/I,
diatas kisaran normal tubuh bakteri, dan agen anti IVFD Asering 20 tts/i) TD:110/70 mmHg.
4) Kejang 2) Tidaka adanya menggil)
5) Takhikardi hipertermia 4) Monitor penurunan 08.17 Menganjurkan pasien A:
6) Takhipnea 3) Tidaka ada sakit tingkat kesadaran untuk memakai pakaian Resiko tinggi hipertermi
7) Kulit terasa hangat kepala 5) Tutup pasien dengan yang longgar
4) Tidaka ada sakit otot menggunakan selimut P:
Faktor yang berhubungan 5) Tidak ada perubahan atau pakaian ringan, 08.22 Menganjurkan pasien 1) Pantau TTV dan keadaan
dengan: warna kulit tergantung pada fase makan / minum sedikit umum pasien
1) Anesthesia 6) Tidak ada dehidrasi demam (yaitu tetapi sering 2) Pantau intake/output
2) Penurunan respirasi memberikan selimut 3) Kompres bila perlu
3) Dehidrasi hangan untuk fase 08.25 Mengompres pasien 4) Anjurkan pasien makan /
4) Pemajanan lingkungan dingin, menyediakan dengan air hangat minum sedikit tetapi sering
yang panas pakaian atau linen 5) Anjurkan pasien untuk istirahat
5) Penyakit tempat tidur untuk 08.28 Menganjurkan pasien penuh
6) Peningkatan laju demam) untuk istirahat 6) Kolaborasi dengan dokter
metabolisme 6) Dorong konsumsi pemberian terapi lanjutan
cairan 12.00 Memantau ketat intake dan
7) Fasilitasi istirahat output
8) Kompres hangat pasien

55
pada lipat paha dan
aksila
Resiko perdarahan Setelah dilakukan Pencegahan perdarahan 12.02 Memonitor ketat tanda- S:
tindakan keperawatan 1) Monitor ketat tanda- tanda perdarahan (tidak Pasien mengatakan tidak ada
Defenisi : Berisiko diharapkan keparahan tanda perdarahan dijumpai adanya tanda- perdarahan
mengalami penurunan kehilangan darah tidak 2) Monitor nilai tanda perdarahan)
volume darah yang dapat terjadi dengan kriteria laboratorium O:
mengganggu kesehatan hasil : 3) Monitor status cairan 12.03 Memonitor nilai Petekhie (+), Trombosit:
1) Tidak ada kehilangan yang meliputi intake laboratorium 136.000/mm3, mukosa bibir kering
Faktor resiko: darah yang terlihat dan output (Hb : 10,0g/dl, Trombosit: dan kemerahan
1) Aneurisme 2) Tidak ada hematuria 4) Observasi adanya darah 136.000/mm3, Leukosit
2) Defisiensi pengetahuan 3) Tidak ada keluar dalam sekresi cairan 2960/mm3, Hematokrit : A:
darah dari anus tubuh 30,4%) anjuran besok pagi Resiko perdarahan
4) Tidaka ada 5) Intruksikan pasien cek DL ualang
hematemesis intuk meningkatkan P:
5) Tidak ada penurunan makanan kaya vitamin 12.04 Mengintruksikan pasien 1) Pantau perdarahan
tekanan darah sistolik K untuk konsumsi makanan 2) Monitor hasil laboratorium
6) Tidak ada penurunan 6) Intruksikan keluarga yang kaya akan vitamin K 3) Intruksikan keluarga
tekanan darah untuk memonitor (misalnya: kacang- meberikan makan kaya vitamin
diastolic tanda-tanda perdarahan kacangan dan anggur) K
dan mengambil 4) Intruksikan keluarga melapor
tindakan yang tepat jika 12.06 Mengintruksikan kepada segera apabila dijumpai tanda-
terjadi perdarahan keluarga tetap melapor tanda perdarahan
Setelah dilakukan (misalnya:lapor ke segera kepada perawat 5) Anjurkan keluarga tetap
tindakan keperawatan perawat). apabila terjadi perdaran memberikan makanan dam
diharapkan keparahan suhu dingin/ruangan saja
kehilangan darah tidak 12.07 Mengintruksikan keluarga
terjadi dengan kriteria supaya tidak menggosok

56
hasil gigi terlalu kuat
1) Tidak ada devisiasi
dari kisaran normal 12.09 Menganjurkan keluarga
pembentukan bekuan untuk memberikan
2) Tidak ada kisaran makanan dengan suhu
normal waktu dingin/ruangan saja
protrombin (PT)
3) Tidak ada deviasi dari
kisaran normal waktu
parsial tromboplastin
(PTT)
4) Tidak ada deviasi dari
kisaran normal
Hematokrit (Ht)
5) Tidak ada deviasi dari
kisaran normal
Hemoglobin (Hb)
6) Tidak ada perdarahan
7) Tidak ada petekie
8) Tidak ada ekimosis
9) Tidak ada gusi
berdarah

57
CATATAN PERKEMBANGAN I

Tindakan keperawatan
Hari/tanggal Diagnosa Evaluasi
Jam

Senin, 13 Hipertermi 08.00 Memantau tanda-tanda vital: T: 37,9oC S:


Mei 2019 HR: 83 x/i, RR:21x/I, TD:100/70 Pasien badan masih terasa hangat dan
mmHg. lemas

09.06 Memberikan obat atau cairan IV ( PCT O:


tab dan IVFD Asering 30 tts/i) Pasien tampak lemas, vital: T: 37,9oC
HR: 83 x/i, RR:21x/I, TD:100/70
09.15 Menganjurkan pasien untuk memakai mmHg.
pakaian yang longgar
A:
09.18 Menganjurkan pasien untuk makan / Resiko tinggi hipertermi
minum sedikit tetapi sering
P:
09.22 Menganjurkan pasien untuk istirahat 1) Pantau TTV dan keadaan umum
pasien
09.27 Memantau ketat intake dan output 2) Pantau intake/output
3) Kompres bila perlu
4) Anjurkan pasien untuk makan /
minum sedikit tetapi sering
5) Anjurkan pasien untuk istirahat
penuh
6) Kolaborasi dengan dokter

58
pemberian terapi lanjutan
Resiko 10.02 Memonitor ketat tanda-tanda S:
perdarahan perdarahan (tidak dijumpai adanya Pasien mengatakan tidak ada
tanda-tanda perdarahan) perdarahan

10.15 Memonitor nilai laboratorium O:


(Hb : 10,7g/dl, Trombosit: 50.000/mm3, Petekhie (+), Trombosit: 50.000/mm3,
Leukosit 2770/mm3, Hematokrit : mukosa bibir kering dan kemerahan
32,4%) anjuran besok pagi cek DL
ulang A:
Resiko perdarahan
10.20 Mengintruksikan kepada pasien untuk
konsumsi makanan yang kaya akan P:
vitamin K (misalnya: kacang-kacangan 1) Pantau perdarahan
dan anggur) 2) Monitor hasil laboratorium
3) Intruksikan pasien untuk
10.25 Mengintruksikan kepada keluarga tetap konsumsi makanan yg kaya akan
melapor segera kepada perawat apabila vitamin K
terjadi perdarahan 4) Intruksikan keluarga melapor
segera apabila dijumpai tanda-
10.30 Mengintruksikan pasien supaya tidak tanda perdarahan
menggosok gigi terlalu kuat 5) Anjurkan pasien untuk tetap
makan makanan dalam suhu
10.33 Menganjurkan pasien untuk konsumsi dingin / ruangan saja
makanan dengan suhu dingin / ruangan
saja

59
CATATAN PERKEMBANGAN II

Tindakan keperawatan
Hari/tanggal Diagnosa Evaluasi
Jam
Selasa , 14 Hipertermi 08.00 Memantau tanda-tanda vital: T: 36,9oC S:
Mei 2019 HR: 80 x/i, RR:20x/I, TD:110/70 Pasien mengatakan sudah tidak ada
mmHg. demam

08.06 Memberikan obat atau cairan IV ( PCT O:


tab dan IVFD Asering 30 tts/i) Pasien tampak lemas, vital: T: 36,9oC
HR: 80 x/i, RR:20x/I, TD:110/70
08.10 Menganjurkan pasien untuk memakai mmHg.
pakaian yang longgar
A:
08.13 Menganjurkan pasien untuk makan / Resiko tinggi hipertermi
minum sedikit tetapi sering
P:
08.15 Menganjurkan pasien untuk istirahat 1) Pantau TTV dan keadaan umum
pasien
08.20 Memantau ketat intake dan output 2) Pantau intake/output
3) Kompres bila perlu
4) Anjur pasien untuk makan /
minum sedikit tetapi sering
5) Anjurkan pasien untuk istirahat
penuh
6) Kolaborasi dengan dokter
pemberian terapi lanjukan

60
Resiko 08.23 Memonitor ketat tanda-tanda S:
perdarahan perdarahan (tidak dijumpai adanya Pasien mengatakan tidak ada
tanda-tanda perdarahan) perdarahan

08.26 Memonitor nilai laboratorium O:


(Hb : 10,9g/dl, Trombosit: 43.000/mm3, Petekhie (+), Trombosit: 43.000/mm3,
Leukosit 2.305/mm3, Hematokrit : mukosa bibir lembab dan kemerahan
30,2%) anjuran besok pagi cek DL berkurang
ulang
A:
08.30 Mengintruksikan pasien untuk Resiko perdarahan
konsumsi makanan yang kaya akan
vitamin K (misalnya: kacang-kacangan P:
dan anggur) 1) Pantau perdarahan
2) Monitor hasil laboratorium
08.33 Mengintruksikan kepada keluarga tetap 3) Intruksikan pasien untuk makan
melapor segera kepada perawat apabila makanan kaya vitamin K
terjadi perdaran 4) Intruksikan keluarga melapor
segera apabila dijumpai tanda-
08.36 Mengintruksikan keluarga supaya tidak tanda perdarahan
menggosok gigi terlalu kuat 5) Anjurkan pasien untuk makan
makanan dengan suhu dingin /
08.00 Menganjurkan pasien untuk makan ruangan saja
makanan dengan suhu dingin / ruangan
saja

61
CATATAN PERKEMBANGAN III

Hari/tanggal Diagnosa Tindakan keperawatan Evaluasi


Jam
Rabu, 15 Hipertermi 08.00 Memantau tanda-tanda vital: T: 36,5oC S:
Mei 2019 HR: 80 x/i, RR:20x/I, TD:110/70 Pasien mengatakan badan sudah tidak
mmHg. demam

08.05 Memberikan obat atau cairan IV (IVFD O:


RL 20 tts/i) Pasien tampak baikan, vital: T: 36,5oC
HR: 80 x/i, RR:20x/I, TD:110/70
08.10 Menganjurkan pasien untuk memakai mmHg.
pakaian yang longgar
A:
08.13 Menganjurkan pasien untuk makan / Hipertermi teratasi sebagian
minum sedikit tetapi sering
P:
08.16 Menganjurkan pasien untuk istirahat 1) Pantau TTV dan keadaan umum
pasien
08.25 Memantau intake dan output 2) Pantau intake/output
3) Kompres bila perlu
4) Anjurkan pasien untuk makan /
minum sedikit tetapi sering
5) Anjurkan pasien untuk istirahat
penuh
6) Kolaborasi dengan dokter
pemberian terapi lanjutan

62
Resiko 08.30 Memonitor ketat tanda-tanda S:
perdarahan perdarahan (tidak dijumpai adanya Pasien mengatakan tidak ada
tanda-tanda perdarahan) perdarahan

09.00 Memonitor nilai laboratorium O:


(Hb : 10,9g/dl, Trombosit: Petekhie (+), Trombosit:
152.000/mm3, Leukosit 6.100/mm3, 152.000/mm3, mukosa bibir lembab
Hematokrit : 38%) dan kemerahan berkurang

A:
Resiko perdarahan teratasi

P:
Pasien sudah boleh PBJ

Pasien PBJ pukul 12.00 WIB dengan trombosit 152.000/mm3

63
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pembahasan kasus ini peneliti akan membandingkan antara teori

dengan aplikasi atau praktek asuhan keperawatan pada Ny.S dengan kasus yang

telah dilakukan sejak tanggal 12 – 15 Mei 2019. Kegiatan yang dilakukan meliputi

pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi

keperawatan, dan evaluasi keperawatan.

4.1 Pengkajian

Ny.S didapatkan demam sudah 3 hari yang lalu, mual, perut terasa sakit,

nyeri pada persendian, sakit kepala dan ada tampak bintik merah pada seluruh

tubuh.

Menurut Ngastiyah, 2014 penyakit DBD ditandai oleh demam mendadak

tanpa sebab yang jelas disertai gejala lain seperti lemah, nafsu makan berkurang,

muntah, nyeri pada anggota badan, punggung, sendi, kepala dan perut. Gejala-

gejala tersebut menyerupai influenza biasa. Pada hari ke-2 dan ke-3 demam

muncul bentuk perdarahan yang beraneka ragam dimulai dari yang paling ringan

berupa perdarahan dibawah kulit (petekia atau ekimosis), perdarahan gusi,

epistaksis, sampai perdarahan yang hebat berupa muntah darah akibat perdarahan

lambung, melena, dan juga hematuria massif.

Hasil analisa peneliti, kasus yang ditemukan pada Ny. S sesuai dengan teori

karena pada teori mengungkapkan penyakit DBD ditandai oleh demam mendadak

tanpa sebab yang jelas disertai gejala lain seperti lemah, nafsu makan berkurang,

64
muntah, nyeri pada anggota badan, punggung, sendi, kepala dan perut dan adanya

bentuk perdarahan.

Keluarga Ny. S mengatakan di rumah menggunakan ember tidak

menggunakan bak mandi. Tetangga sebelah rumah pasien juga sudah mengalami

DBD sebelumnya. Pola tidur Ny. S sering tidur pada sore hari sekitar pukul 17.00.

Wati (2009) menyatakan bahwa kejadian DBD pada responden yang pernah

sakit DBD teradapat hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan

kejadian DBD. Penelitian yang dilakukan Dardjito pada tahun 2008 menyatakan

bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan tidur siang dengan kejadian DBD.

Nursalam dkk (2008) menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang

menyebabkan DBD sering kali di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan

yang kurang bersih (seperti air yang menggenang, bak yang jarang di kuras dan

gantungan baju di kamar). Nyamuk Aedes Aegypti biasanya menggigit pada siang

hari jam 10.00-12.00 dan sore hari pada jam 16.00-18.00. Menurut Soedjas, 2011

menyebutkan bahwa nyamuk dari tetangga mungkin terbang ke rumah sekitarnya,

karena nyamuk memiliki daya jelajah hingga 100 meter.

Menurut analisa penenliti faktor penyebab dari penyakit DBD yang

ditemukan pada Ny. S sama dengan teori dari aspek lingkungan. Sedangkan pada

aspek pola kebiasan tidur pada siang hari jam 10.00-12.00 dan sore hari pada jam

16.00-18.00 tidak sama dengan teori karena pola tidur pada siang hari dan sore

tidak selalu berhubungan dengan kejadian DBD.

Pemeriksaan fisik pada Ny. S didapatkan pemeriksaan fisik adanya petekie

di seluruh tubuh, gusi berdarah, nyeri ulu hati dan persendian. Hasil penelitian

65
Annisa dkk (2015), menyebutkan bahwa perdarahan spontan yang lebih banyak

terjadi pada anak adalah peteki (51,9%), epistaksis (16,5%), ekimosis (11,4%),

hematemesis (6,3%) dan perdarahan gusi (2,5%).

Susilaningrum dkk (2013) Gejala khas DBD berupa perdarahan pada kulit

atau tanda perdarahan lainnya seperti purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis,

ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena. Menurut

Nursalam dkk (2008) mengatakan kasus DBD ditandai dengan manifetasi klinis

perdarahan kulit dapat berwujud memar atau dapat juga berupa perdarahan

spontan mulai dari petekie (muncul pada hari-hari pertama demam dan

berlangsung selama 3-6 hari) pada ekstremitas, tubuh dan muka sampai epistaksis

dan perdarahan gusi.

Menurut analisa peneliti bahwa gejala perdarahan DBD sama dengan teori.

Perdarahan tersebut diakibatkan karena pecahnya pembuluh darah kapiler,

gangguan fungsi trombosit dan kelainan koagulasi.

Menurut penelitian Zein dkk (2015) mengatakan bahwa didapatkan jumlah

dewasa yang mengalami nyeri abdomen lebih banyak yaitu 34 penderita (68%).

Menurut Suriadi & Yuliani (2010) mengatakan manifestasi klinis pada pasien

DBD adanya nyeri otot, tulang sendi, abdomen dan ulu hati.

Menurut analisa peneliti adanya gejala nyeri ulu hati, nyeri abdomen dan

nyeri persendian sesuai dengan teori. Adanya tersebut diakibatkan kebocoran

plasma endothelium kapiler sehingga tertumpuknya cairan.

4.2 Diagnosa Keperawatan

66
Hasil pengkajian dan analisa data pada Ny. S diagnosa yang muncul yaitu

hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme dan resiko

perdarahan berhubungan trombositopenia.

Menurut NANDA (2015) terdapat 8 diagnosis keperawatan yang muncul

yaitu hipertermia , resiko perdarahan, kekurangan volume cairan, nyeri akut,

resiko syok, ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh, ketidakefektifan pola napas.

Pada Ny. S diagnosis keperawatan yang tidak ada sesuai dengan teori

diantaranya kekurangan volume cairan, nyeri akut, resiko syok, ketidakefektifan

perfusi jaringan perifer, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,

ketidakefektifan pola napas.

a. Kekurangan volume cairan adalah penurunan cairan intravaskular,

interstisial, dan atau intraseluler. Ini mengacu pada dehidrasi. Faktor risiko :

perubahan status mental, penurunan tekanan darah, penurunan tekanan nadi,

penurunan volume nadi, penurunan turgor kulit, membran mukosa kering,

kulit kering, peningkatan suhu tubuh (Nanda, 2015). Menurut analisa

peneliti tidak munculnya diagnosis keperawatan kekurangan volume cairan

karena tidak ditemukan batasan karakteristik pada Ny. S seperti tidak ada

penurunan tekanan darah, tidak ada penurunan tekanan nadi, penurunan

turgor kulit, membran mukosa kering, dan tidak terjadi peningkatan

hematokrit.

b. Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan yang muncul aibat kerusakan jaringan yang aktual atau

67
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Batasan

karakteristik : perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, perubahan

frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernapasan, mengekspresikan

perilaku, masker wajah, gangguan tidur (Nanda, 2015). Menurut analisa

peneliti tidak munculnya diagnosis keperawatan nyeri akut karena tidak

ditemukan batasan karakteristik pada Ny. S seperti tidak adanya meringis

dan menangis, keluarga mengatakan tidak terganggunya tidur Ny. S karena

nyeri ulu hati.

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah asupan

nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan

karakteristik: berat badan 20% atau lebih dibawah rentang berat badan ideal,

bising usus hiperaktif, kelemahan otot untuk mengunyah, kelemahan otot

untuk menelan, kehilangan rambut berlebihan, membran mukosa pucat,

ketidakmampuan memakan makanan, nyeri abdomen. Menurut analisa

peneliti tidak munculnya diagnosis keperawatan ketidakseimbangan nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh karena tidak ditemukan batasan karakteristik

pada Ny. S seperti berat badan 20% atau lebih dibawah rentang berat badan

ideal, kelemahan otot untuk mengunyah, kelemahan otot untuk menelan,

kehilangan rambut berlebihan, membran mukosa pucat, dan

ketidakmampuan memakan makanan.

d. Resiko syok adalah berisiko terhadap ketidakcukupan aliran darah ke

jaringan tubuh, yang dapat mengakibatkan disfungsi seluler yang

mengancam jiwa. Dengan faktor resiko hipotensi, hipovolemia, hipoksemia,

hipoksia, infeksi, sepsis, sindrom respons inflamasi sistemik (Nanda, 2015).

68
Menurut analisa peneliti tidak munculnya diagnosa resiko syok pada Ny. S

karena tidak ditemukan batasan karakteristik pada Ny. S seperti penurunan

tekanan darah, hipovolemia, hipoksemia, hipoksia, dan infeksi.

e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer adalah penurunan sirkulasi darah

ke perifer yang dapat mengganggu kesehatan. Batasan karakteristik: tidak

ada nadi, perubahan fungsi motorik, perubahan karakteristik kulit (warna,

elastisitas, kelembapan, kuku, suhu), perubahan tekanan darah di

ekstremitas, warna tidak kembali ke tungkai saat diturunkan, kelambatan

penyembuhan luka perifer, penurunan nadi, edema, nyeri ekstremitas,

pemendekan jarak total yang ditempuh dalam uji berjalan enam menit,

warna kulit pucat saat elevasi (Nanda, 2015). Menurut analisa peneliti tidak

munculnya diagnosis keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

karena tidak ditemukan batasan karakteristik pada Ny. S seperti tidak ada

nadi, perubahan tekanan darah, adanya edema, pengisian capillary refill >2

detik, tidak adanya akral dingin dan tidak ada sianosis.

f. Ketidakefektifan pola napas adalah Inspirasi dan/ atau ekspirasi yang tidak

memberi ventilasi adekuat. Batasan karakteristik: perubahan kedalaman

pernapasan, perubahan ekskursi dada, mengambil posisi tiga titik,

bradipnea, penurunan tekanan ekspirasi, penurunan tekanan inspirasi,

penurunan ventilasi semenit, penurunan kapasitas vital, dispnea, pernapasan

cuping hidung, fase ekspirasi memanjang, takipnea (Nanda, 2015). Menurut

analisa peneliti tidak munculnya diagnosis keperawatan ketidakefektifan

pola napas karena tidak ditemukan batasan karakteristik pada Ny. S seperti

69
tidak ada sesak napas, pernapasan Ny. S dalam batas normal, tidak adanya

dilakukan pemeriksaan rontgen dada.

4.3 Intervensi Keperawatan

Berdasarkan kasus Ny. S, tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan

intervensi yang telah peneliti susun. Pada diagnosa Hipertermi berhubungan

dengan peningkatan laju metabolisme rencana tindakan terdiri dari pantau suhu

dan tanda-tanda vital lainnya, monitor warna kulit dan suhu, berikan obat atau

cairan IV (misalnya, antipiretik, agen antibakteri, dan agen anti menggil), dorong

konsumsi cairan, kompres hangat pasien pada lipat paha dan aksila.

Berdasarkan NIC (2013) tindakan yang dilakukan untuk diagnosa

hipertermi adalah pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya, monitor warna kulit

dan suhu, berikan obat atau cairan iv (misalnya, antipiretik, agenantibakteri, dan

agen anti menggil), monitor penurunan tingkat kesadaran, tutup pasien dengan

selimut atau pakaian ringan, tergantung pada fase demam ( yaitu: memberikan

selimut hangat untuk fase dingin, menyediakan pakaian atau linen tempat tidur

untuk demam, dorong konsumsi cairan, fasilitasi istirahat, kompres hangat pasien

pada lipat paha dan aksila

Berdasarkan analisi peneliti, rencana tindakan yang dilakukan untuk

diagnosa hipertemi belum sama dengan teori. Didalam teori rencana tindakan

yang tidak di lakukan adalah pemberian selimut hangat pada pasien karena di

ruangan belum ada fasilitas untuk selimut hangat, diruangan hanya diberikan

selimut tebal biasa saja.

4.4 Implemetasi Keperawatan

70
Implementasi Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju

metabolisme pada kedua partisipan tindakan keperawatan yang dilakukan

kompres hangat pasien pada lipat paha dan aksila. Menurut penelitian Sri

Purwanti, dkk (2008) pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu tubuh

pada pasien hipertermia di ruang rawat inap RSUD Dr.Moewardi Surakarta,

setelah memberi tindakan kompres hangat selama 10 menit dapat disimpulkan

bahwa ada pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu tubuh. Menurut

peneliti melakukan kompres hangat terhadap pasien yang mengalami hipertermi

sama dengan teori, karena pada saat kompres denga air hangat akan membuat

pembuluh darah melebar sehingga panas akan keluar dan bukan masuk lagi ke

dalam tubuh.

Tindakan keperawatan yang dilakukan selanjutnya diberikan obat atau

cairan IV (paracetamol, cairan IV Asering 30 tts/i/), dorong konsumsi cairan

1
setiap jam 1 /2-2 liter dalam 24 jam (air putih, teh manis, susu).

Menurut penelitian Andriani, dkk (2014), penatalaksanaan terapi DBD pada

terdiri dari 2 terapi yaitu terapi suportif dan terapi simptomatik. Terapi suportif

pada penderita DBD berupa pergantian cairan intravena akibat terjadinya

dehidrasi. Data terapi suportif terbanyak ialah pemberian cairan kristaloid

sebanyak 62 penderita (83.78%). Pada terapi DBD derajat I dan II jenis cairan

yang diberikan ialah kristaloid berupa RL/Asering/NaCl 0,9%. Sedangkan untuk

terapi simptomatik ada beberapa jenis yang diberikan salah satunya terapi

antipiretik. Pada terapi antipiretik, data hasil penelitian menunjukkan terapi

terbanyak ialah pemberian parasetamol sebanyak 58 penderita (78.38%).

71
Ngastyah (2014) mengatakan bahwa pengobatan yang diberikan biasanaya

bersifat penurun demam dan menghilangkan rasa sakit pada otot-otot atau sendi

seperti paracetamol. Pemberian minum pada anak sedikit demi sedikit yaitu 1,5-2

liter dalam 24 jam, infus diberikan pada pasien apabila pasien terus menerus

muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi

atau hematokrit yang cenderung meningkat.

Berdasarkan analisa peneliti, pelaksanaan implementasi dorong pasien untuk

minum dan kolaborasi pemberian obat dan cairan intra vena (IV) sesuai dengan

teori. Karena kekurangan cairan pada tubuh akan menyebabkan pengurangan

volume plasma yang berakibatkan terjadinya peningkatan hematokrit dan

pengentalan darah, sehingga bisa menyababkan anak menjadi syok hipovolemik.

Kejadian tersebut terjadi pada fase akut dimana cairan akan keluar dari

intraseluler ke eskstraseluler dan masuk pada organ yang berongga.

4.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan pada Ny. S dengan masalah keperawatan hipertermi

berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme, dapat teratasi pada hari ke 4

rawatan dengan kriteria hasil data Ny. S tidak demam lagi dan badan tidak teraba

o
hangat lagi, data objektif S: 36 C, kulit tidak teraba hangat lagi, tidak ada tanda

3
dehidrasi dan hasil leukosit 6.100/mm .

Menurut penelitian Suciwati (2014) kriteria hasil tercapai pada diagnosis

o
hipertermi pada hari rawatan ketiga yaitu suhu dalam batas normal 36 C. pada

penelitian suciwati pasien masuk pada demam hari kelima. Menurut soedjas

72
(2011) mengatakan bahwa fase penyembuhan yang terjadi pada hari ke-6 atau ke-

7, ditunjukkan adanya keadaan umum membaik dan demam sudah turun sebagai

bagian dari rekasi tahap ini.

Berdasarkan analisa peneliti, kriteria hasil diagnosis hipertermi sesuai

dengan teori karena pada kedua partisipan menunjukkan bahwa suhu turun hari

ke-7 Sehingga diagnosis keperawatan hipertermi pada Ny. S dan Ny. S sudah

teratasi pada hari ke 4 (hari ke 7 demam) dan hari ke 3 (hari ke 7 demam)

pelaksanaan asuhan keperawatan. Fase penyembuhan terjadi pada hari ke-6 atau

ke-7 dimana virus sudah mulai melemah, ditunjukkan adanya keadaan umum

membaik, nafsu makan sudah ada dan demam sudah turun sebagai bagian dari

rekasi tahap ini.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

73
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian asuhan keperawatan pada Ny. S dengan dengue

haemoragic fever (DHF) di Ruang Rawat Inap 650 RSU Bunda Thamri 2019,

peneliti dapat mengambil kesimpulan:

1. Hasil pengkajian pada Ny. S didapatkan data mengalami DBD dengan

o
gejala yang sama yaitu demam dengan suhu > 37,5 C, mual dan muntah,

perut terasa sakit, nyeri pada persendian, dan sakit kepala. Sebelum nya

pasien memiliki tetangga yang mengalami DBD sebelumnya.

2. Diagnosis keperawatan yang muncul pada kasus Ny. S yaitu Hipertermi

berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme dan resiko perdarahan

berhubungan trombositopenia.

3. Rencana keperawatan untuk mengatasi masalah utama hipertermi pada

pasien yaitu pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya, monitor warna kulit

dan suhu, berikan obat atau cairan IV (misalnya, antipiretik, agen

antibakteri, dan agen anti menggigil), dorong konsumsi cairan, kompres

hangat pasien pada lipat paha dan aksila.

4. Implementasi keperawatan dilakukan selama 4 hari, Implementasi sesuai

dengan intervensi. Sebagian besar rencana tindakan keperawatan dapat

dilaksanakan pada implementasi keperawatan.

5. Hasil evaluasi keperawatan pada masalah hipertermi pada Ny. S teratasi

pada hari ke 3 pelaksanaan asuhan keperawatan dengan kriteria hasil tidak

ada peningkatan suhu tubuh, tidak ada hipertermia, tidak ada sakit kepala,

tidak ada sakit otot, tidak ada perubahan warna kulit, tidak ada dehidrasi

5.2 Saran

74
1. Bagi RSU Bunda Thamrin

Melalui Pimpinan RS agar sering dilaksanakan palatihan secara berkala

penyegaran asuhan keperawatan pada pasien dengan DBD kepada pegawai

khususnya perawat. Agar lebih meningkatnya kualitas pemberian asuhan

keperawatan kepada pasien.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data pembanding dalam

penerapan asuhan keperawatan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, F.U. 2010. Manajemen demam berdarah berbasis wilayah. Buletin

jendela epidemiologi. 2 (1): 1 – 3


Bagian Patologi Klinik. (2009). Peran pemeriksaan laboratorium dalam diagnose

Demam Berdarah Dengue. RSUP Dr. Kariadi Semarang.


Brasier. A. R., Ju. H., Garcia. J., Spratt. H. M., Forshey. B. M., Helsey. E. S.

(2012). A three-component biomarker panel for prediction of dengue

hemorraghic fever. Am. J. Trop. Med. Hyg. 86(2): 341-348.

75
CDC (Centers for Disease and Prevention). (2010). Dengue Branch.Cañada

SanJuan,PuertoRico.From:http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.ht

ml diakses 20 April 2013


Danny, Wiradharma. 2009. Diagnosis cepat demam berdarah dengue. Jurnal

Kedokteran Trisakti., 18 (2): 78 – 79


DepKes, RI.,(2005). Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Demam

Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan


Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Waspadalah penyakit demam berdarah dengue.

Retrieved from www.denpasarkota.go.id. 18 april 2013.


Gubler D.J., 1998. The Global Pandemic of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever

Current Status and Prospect for the Future. Dengue in Singapore. Technical

Monograph Series No. 2 WHO.


IDAI, 2009. Apa itu demam berdarah dengue.

http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel. 18 April 2013


Khana M., Chaturvedi UC, Sharma MC, Panday VC, Mathur A., 1990. Increased

Capillary Permeability Mediated by A Dangue Virus Induced Limphokine.

Immunology Mart, 69;33:449-53


Khie Chen., Herdiman, T., Pohan., Robert., 2009. Diagnosis dan terapi cairan

pada demam berdarah dengue. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 22. (1): 5 – 6


Kurane I, Ennis E Francis, 1992. Immunity and Immunopathologi in Dangue

Virus Infection. Seminar Imunology vol 4; 121-127.


Mujida, A.M., Ridwan, A. 2009. Pemetaan dan analisis kejadian demam

berdarah dengue di kaupaten bantaeng.


Phanmeesuk, Y., and Suksin, W. (2009). Nursing Care of Dengue Shock

Syndrome (Case study). Medical Journal of Srisake Surinam Buriram

Hospital Vol 24 No.2.


Soegijanto Soegeng, 2004. Demam Berdarah Dangue. Tinjauan dan Temuan

Baru di Era 2003. Airlangga University Press. Surabaya.

76
Soewandoyo, E. 1997. Demam Berdarah Dangue pada Orang Dewasa. Gejala

Klinik dan Penatalaksanaannya. Folia Medika Indonesia XXXIII. Juli-

September.
Suvatte V. Immunological Aspect of Dangue Haemorrhagic Fever Studies in

Thailand. South East asian J. Trop Med. Pub Haealth, 1987; 1:312-5.
Syahruman A., 1998. Beberapa Lahan Penelitian untuk Penanggulangan Demam

Berdarah Dangue. Mikrobiologi Klinik Indonesia. Vol:3:3:87-89.


Vasanwala. F. F., Puvanendran. R., Chong. S. F., Ng. J. M., Suhail. S. M., Lee. K.

H. (2011). Could peak proteinuria determine whether patient with dengue

fever develop dengue hemorraghic/dengue shock syndrome/- A prospective

cohort study. BMC Infectious Diseases.


Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intrevensi

NIC dan kriteria hasil NOC. EGC. Jakarta.


World Health Organization (WHO). (1999). Guidelines for treatment of dengue

fever/dengue hemorrhagic fever in small hospitals. New Delhi.

77

Anda mungkin juga menyukai