Anda di halaman 1dari 35

PORTOFOLIO KASUS

No. ID dan Nama Peserta : Suci Rachmawati


No. ID dan Nama Wahana : RSI Hasanah Kota Mojokerto
Topik : Solusio Plasenta
Tanggal (kasus) : 16 Mei 2019
Nama Pasien : Ny. DP No RM:1406xx
Tanggal Presentasi: Pendamping:
dr. Ika Juni Purwanti
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:

Tujuan : Mengetahui penegakan diagnosis dan terapi pada Solusio Plasenta


Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan Pustaka
Cara Diskusi Presentasi E-mail Pos
membahas dan diskusi

Data pasien Nama : Ny. DP No RM : 1406xx


Nama Klinik : RSI Telp: (-) Terdaftar sejak 16 Mei 2019
Hasanah Mojokerto
Data utama untuk bahan diskusi
Kasus
Anamnesis
Keluhan Utama :
Kenceng - kenceng
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengatakan mengalami kenceng – kenceng sejak kemarin pukul
04.00 (±1 hari yll). Kenceng – kenceng jarang. Mulai hari ini pukul
18.30 (± 1 jam yll) pasien mengeluarkan darah dari jalan lahir, seperti
menstruasi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi (+)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Hipertensi (+)
Riwayat Penggunaan Obat :
Tidak ada riwayat penggunaan obat sebelumnya
Riwayat Menstruasi :
Menarche : 14 tahun
Lama menstruasi : 7 hari
Ganti pembalut : 3x dalam sehari
HPHT : 19 – 09 – 2018
HPL : 26 – 06 - 2019
Riwayat Persalinan, Persalinan dan Nifas yang lalu
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : lemas
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
TD : 150/100 mmHg Nadi : 92 x/menit
Nafas : 20 x/menit Suhu : 36,3 ℃
BB / TB : 64 Kg / 155 cm
Mata : conjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (-),
pupil bulat isokor (+)
Hidung : sekret (-), septum deviasi (-), rhinorrea(-)
Telinga : discharge (-/-), ottorhea(-),
Mulut : bibir sianosis (-), parrese (-)
Tenggorokan : T1-T1, faring hiperemis (-).
Leher : simetris, trakhea ditengah, pembesaran limfonodi (-)

Pulmo I : simetris, retraksi subkostal (-)


P : pelebaran ICS (-) nyeri tekan (-)
P : sonor seluruh lapangan paru
A : Suara dasar vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Cor I : tidak tampak iktus cordis


P : Iktus cordis teraba pada ICS V 2 cm linea medialis
midclavicula sinistra
P : batas jantung dalam batas normal
A : Suara jantung I-II tunggal, bising (-), gallop (-).

Abdomen L1: Teraba keras TFU : 26 cm


L2: Puka DJJ : 147 x/menit
L3: Teraba lunak
L4: Belum masuk PAP
VT : 1 jari longgar
Ekstremitas : Akral hangat +|+
Edema +|+
Refleks Patela +|+
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Darah Lengkap :
Hemoglobin 7,4 g/dl 11,0 – 16,5
Hematokrit 22,1 % 35,0 – 50,0
Trombosit 147.000 / mm3 150.000 – 450.000
Leukosit 15.100 / mm3 3.200 – 10.000
LED/KED / mm3 L : < 15 ; P : < 20

Golongan Darah O
Rhesus Positif (+)

DIAGNOSIS KERJA

GIII P2002 A000 UK 33 – 34 minggu Inpartu Kala I Fase Laten + Letak


Sungsang + PEB + Perdarahan antepartum suspect Solusio Placenta

PENATALAKSANAAN
Ivfd RL 16 tpm
DL, BT, CT
Pro Transfusi PRC 2 kolf

MONITORING
Keadaan umum pasien, tanda – tanda vital, hasil pemeriksaan penunjang

EDUKASI
- Pengawasan keadaan umum pasien dan tanda – tanda vital
- Penjelasan kepada keluarga mengenai penyakit yang dialami pasien,
prosedur pengobatan dan prognosis dari penyakit

PROGNOSIS
Dubia ad bonam
DISKUSI KASUS

PERDARAHAN ANTEPARTUM

Perdarahan antepartum didefinisikan sebagai perdarahan dari vagina yang

terjadi pada usia kehamilan lebih dari 24 minggu. Menurut WHO tahun 2008,

angka kematian ibu di dunia mencapai 536.000 setiap tahunnya. Kematian ini

disebabkan oleh perdarahan (25%), penyebab tidak langsung (20%), infeksi

(15%), aborsi yang tidak aman (13%), eklampsi (12%), penyulit persalinan (8%),

dan penyebab lainnya (7%).1

Perdarahan antepartum merupakan penyebab utama kematian ibu di

negara – negara berkembang dan menyebabkan lebih dari 50% kematian ibu

yang di prediksi terjadi setiap tahun. Di Inggris, kematian ibu yang disebabkan

oleh perdarahan antepartum jarang ditemukan. Pada tahun 2008, UK

Confidential Enquiries into Maternal Deaths melaporkan bahwa perdarahan

antepartum merupakan penyebab tertinggi keenam dalam menyebabkan

kematian ibu. Sedangkan di Afrika Selatan, perdarahan antepartum merupakan

penyebab kematian tertinggi ketiga dalam menyebabkan kematian ibu.

sedangkan di Indonesia sendiri pada tahun 2005 terdapat 2.346 kasus perdarahan

antepartum atau 1.37% dan kasus perdarahan postpartum sebanyak 8.212 dengan

persentasi 4.81%.2,3

Perdarahan sebagai penyebab utama kematian ibu dibedakan menjadi

perdarahan antepartun dan perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum

merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3% dari semua kasus

oerdarahan yang disebabkan antara lain oleh plasenta previa, solusio plasenta,

dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.


1. Plasenta Previa

Definisi

Plasenta previa ditandai sebagai suatu kondisi yang terjadi pada

kehamilan ketika plasenta tertanam anomali di segmen rahim bawah, baik

sebagian atau seluruhnya menutupi os serviks bagian dalam. Plasenta previa

komplit terjadi apabila seluruh plasenta menutupi os servical bagian dalam,

parsial jika menutupi sebagian os serviks bagian dalam dan marginal jika

menutupi os serviks di bagian tepi.4

Prevalensi

Plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan paritas

tinggi, dan sering terjadi pada usia di atas 30 tahun. Uterus yang cacat juga

dapat meningkatkan angka kejadian plasenta previa. Pada beberapa Rumah

Sakit Umum Pemerintah dilaporkan angka kejadian plasenta previa berkisar

1,7 % sampai dengan 2,9 %. Sedangkan di negara maju angka kejadiannya

lebih rendah yaitu kurang dari 1 % yang mungkin disebabkan oleh

berkurangnya wanita yang hamil dengan paritas tinggi.


Faktor Risiko

Menurut penelitian Wardana (2007) yang menjadi faktor risiko plasenta

previa yaitu:

1. Risiko plasenta previa pada wanita dengan umur 35 tahun 2 kali lebih

besar dibandingkan dengan umur < 35.

2. Risiko plasenta previa pada multigravida 1,3 kali lebih besar

dibandingkan primigravida.

3. Risiko plasenta previa pada wanita dengan riwayat abortus 4 kali lebih

besar dibandingkan dengan tanpa riwayat abortus.

4. Riwayat seksio sesaria tidak ditemukan sebagai faktor risiko terjadinya

plasenta previa.

Menurut Chalik (2008), yang menjadi penyebab implantasinya blastokis

pada segman bawah rahim belum diketahui secara pasti. Namun teori lain

mengemukakan bahwa yang menjadi salah satu penyebabnya adalah

vaskularisasi desidua yang tidak memadai, yang mungkin terjadi karena

proses radang maupun atropi.

Klasifikasi Plasenta Previa

Menurut Chalik (2008) plasenta previa dapat digolongkan menjadi

empat bagian yaitu:

1. Plasenta previa totalis atau komplit, adalah plasenta yang menutupi

seluruh ostium uteri internum.

2. Plasenta previa parsialis, adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium

uteri internum.
3. Plasenta previa margianalis adalah plasenta yang tepinya berada pada

pinggir ostium uteri internum.

4. Plasenta letak rendah, yang berarti bahwa plasenta yang berimplantasi pada

segmen bawah rahim yang sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada

pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum.

Menurut Perisaei, Sheilendra, Pahay, Rian (2008) plasenta previa dapat dibagi

menjadi empat derajat berdasarkan scan pada ultrasound yaitu:

1. Derajat I : plasenta sudah melampaui segmen terendah rahim.

2. Derajat II : plasenta sudah mencapai ostium uteri internum.

3. Derajat III : plasenta telah terletak pada sebagian ostium uteri internum.

4. Derajat IV : plasenta telah berada tepat pada segmen bawah rahim.

Patofisiologi

Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya

terjadi pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah uterus lebih

mengalami perubahan berkaitan dengan semakin tuanya kehamilan, segmen

bawah uterus akan semakin melebar, dan serviks mulai membuka. Perdarahan

ini terjadi apabila plasenta terletak diatas ostium uteri interna atau di bagian

bawah segmen rahim. Pembentukan segmen bawah rahim dan pembukaan

ostium interna akan menyebabkan robekan plasenta pada tempat perlekatannya

(Cunningham et al, 2005).

Darah yang berwarna merah segar, sumber perdarahan dari plasenta previa

ini ialah sinus uterus yang robek karena terlepasnya plasenta dari dinding

uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannnya tak

dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus


untuk berkontraksi menghentikan perdarahan tersebut, tidak sama dengan

serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala III pada plasenta yang

letaknya normal. Semakin rendah letak plasenta, maka semakin dini perdarahan

yang terjadi. Oleh karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalis akan

terjadi lebih dini daripada plasenta letak rendah yang mungkin baru berdarah

setelah persalinan mulai (Oxorn, 2003).

Manifestasi Klinis

Ciri yang menonjol dari plasenta previa adalah perdarahan uterus yang

keluar melalui vagina tanpa disertai dengan adanya nyeri. Perdarahan biasanya

terjadi diatas akhir trimester kedua. Perdarahan pertama berlangsung tidak

banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun perdarahan dapat kembali terjadi

tanpa sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian. Dan saat perdarahan

berulang biasanya perdarahan yang terjadi lebih banyak dan bahkan sampai

mengalir. Karena letak plasenta pada plasenta previa berada pada bagian

bawah, maka pada palpasi abdomen sering teraba bagian terbawah janin masih

tinggi diatas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak memanjang. Pada

plasenta previa ini tidak ditemui nyeri maupun tegang pada perut ibu saat

dilakukan palpasi (Chalik, 2008).

Diagnosis

Menurut Mochtar (1998) diagnosa dari plasenta previa bisa ditegakkan

dengan adanya gejala klinis dan beberapa pemeriksaan yaitu:

1. Anamnesia, pada saat anamnesis dapat ditanyakan beberapa hal yang

berkaitan dengan perdarahan antepartum seperti umur kehamilan saat terjadinya


perdarahan, apakah ada rasa nyeri, warna dan bentuk terjadinya perdarahan,

frekuensi serta banyaknya perdarahan (Wiknjosastro, 2007)

2. Inspeksi, dapat dilihat melalui banyaknya darah yang keluar melalui vagina,

darah beku, dan sebagainya. Apabila dijumpai perdarahan yang banyak maka

ibu akan terlihat pucat (Mochtar, 1998).

3. Palpasi abdomen, sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi fundus

uteri yang rendah karena belum cukup bulan. Juga sering dijumpai bahwa

bagian terbawah janin belum turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih

bergoyang, terapung atau mengolak di atas pintu atas panggul (Mochtar, 1998).

4. Pemeriksaan inspekulo, dengan menggunakan spekulum secara hati-hati

dilihat dari mana sumber perdarahan, apakah dari uterus, ataupun terdapat

kelainan pada serviks, vagina, varises pecah, dll (Mochtar, 1998).

5. Pemeriksaan radio-isotop

a. Plasentografi jaringan lunak

b. Sitografi

c. Plasentografi indirek

d. Arteriografi

e. Amniografi

f. Radio isotop plasentografi

6. Ultrasonografi, transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih

yang dikosongkan akan memberikan kepastian diagnosa plasenta previa.

Walaupun transvaginal ultrasonografi lebih superior untuk mendeteksi keadaan

ostium uteri internum namun sangat jarang diperlukan, karena di tangan yang

tidak ahli cara ini dapat menimbulkan perdarahan yang lebih banyak (Chalik,
2008). Penentuan lokasi plasenta secara ultrasonografis sangat tepat dan tidak

menimbulkan bahaya radiasi terhadap janin (Mochtar, 1998).

7. Pemeriksaan dalam, pemeriksaan ini merupakan senjata dan cara paling akhir

yang paling ampuh dalam bidang obstetrik untuk diagnosa plasenta previa.

Walaupun ampuh namun harus berhati-hati karena dapat menimbulkan

perdarahan yang lebih hebat, infeksi, juga menimbulkan his yang kemudian

akan mengakibatkan partus yang prematur. Indikasi pemeriksaan dalam pada

perdarahan antepartum yaitu jika terdapat perdarahan yang lebih dari 500 cc,

perdarahan yang telah berulang, his telah mulai dan janin sudah dapat hidup

diluar janin (Mochtar, 1998). Dan pemeriksaan dalam pada plasenta previa

hanya dibenarkan jika dilakukan dikamar operasi yang telah siap untuk

melakukan operasi dengan segera (Mose, 2004).

Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan fornises dengan hati-hati. Jika

tulang kepala teraba, maka kemungkinan plasenta previa kecil. Namun jika

teraba bantalan lunak maka, kemungkinan besar plasenta previa.

Penatalaksanaan

Menurut Mose (2004) penatalaksanaan pada plasenta previa dapat dibagi

dalam 2 golongan, yaitu:

1. Ekspektatif, dilakukan apabila janin masih kecil sehingga kemungkinan

hidup di dunia masih kecil baginya. Sikap ekspektasi tertentu hanya dapat

dibenarkan jika keadaan ibu baik dan perdarahannya sudah berhenti atau sedikit

sekali. Dahulu ada anggapan bahwa kehamilan dengan plasenta previa harus

segera diakhiri untuk menghindari perdarahan yang fatal.

Menurut Scearce, (2007) syarat terapi ekspektatif yaitu:


a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.

b. Belum ada tanda-tanda in partu.

c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal).

d. Janin masih hidup.

2. Terminasi, dilakukan dengan segera mengakhiri kehamilan sebelum

terjadi perdarahan yang dapat menimbulkan kematian, misalnya: kehamilan

telah cukup bulan, perdarahan banyak, dan anak telah meninggal. Terminasi ini

dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:

a. Cara vaginal yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada plasenta,

dengan cara ini maka pembuluh-pembuluh darah yang terbuka dapat tertutup

kembali (tamponade pada plasenta) ( Mose, 2003). Menurut Mochtar (1998)

penekanan tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu:

- Amniotomi ( pemecahan selaput ketuban)

Cara ini merupakan cara yang dipilih untuk melancarkan persalinan

pervaginam. Cara ini dilakukan apabila plasenta previa lateralis, plasenta previa

marginalis, atau plasenta letak rendah, namun bila ada pembukaan. Pada

primigravida telah terjadi pembukaan 4 cm atau lebih. Juga dapat dilakukan

pada plasenta previa lateralis/ marginalis dengan janin yang sudah meninggal

(Mochtar, 1998).

- Memasang cunam Willet Gausz

Pemasangan cunam Willet Gausz dapat dilakukan dengan mengklem kulit

kepala janin dengan cunam Willet Gausz. Kemudian cunam diikat dengan

menggunakan kain kasa atau tali yang diikatkan dengan beban kira-kira 50-100

gr atau sebuah batu bata seperti katrol. Tindakan ini biasanya hanya dilakukan
pada janin yang telah meninggal dan perdarahan yang tidak aktif karena

seringkali menimbulkan perdarahan pada kulit kepala janin (Mochtar, 1998).

- Metreurynter

Cara ini dapat dilakukan dengan memasukkan kantong karet yang diisi

udara dan air sebagai tampon, namun cara ini sudah tidak dipakai lagi

(Mochtar, 1998).

- Versi Braxton-Hicks

Cara ini dapat dilakukan pada janin letak kepala, untuk mencari kakinya

sehingga dapat ditarik keluar. Cara ini dilakukan dengan mengikatkan kaki

dengan kain kasa, dikatrol, dan juga diberikan beban seberat 50-100 gr

(Mochtar, 1998).

b. Dengan cara seksio sesarea, yang dimaksud untuk mengosongkan rahim

sehingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Selain itu

seksio sesarea juga dapat mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen

bawah

rahim yang sering terjadi pada persalinan pervaginam (Mochtar, 1998).

Persalinan seksio sesarea diperlukan hampir pada seluruh kasus plasenta previa.

Pada sebagian besar kasus dilakukan melalui insisi uterus transversal. Karena

perdarahan janin dapat terjadi akibat insisi ke dalam plasenta anterior

(Cunningham et al, 2005).

Menurut Mochtar (1998) Indikasi dilakukannya persalinan seksio sesarea

pada plasenta previa adalah:

a. Dilakukan pada semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau

meninggal, serta semua plasenta previa lateralis, posterior, karena perdarahan

yang sulit dikontrol.


b. Semua plasenta pevia dengan perdarahan yang banyak, berulang dan

tidak berhenti dengan tindakan yang ada.

c. Plasenta previa yang disertai dengan panggul sempit, letak lintang.

Menurut Winkjosastro (1997) dalam Sihaloho (2009) gawat janin maupun

kematian janin dan bukan merupakan halangan untuk dilakukannya persalinan

seksio sesarea, demi keselamatan ibu. Tetapi apabila dijumpai gawat ibu

kemungkinan persalinan seksio sesarea ditunda sampai keadaan ibunya dapat

diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan untuk segera memperbaiki keadaan

ibu, sebaiknya dilakukan seksio sesarea jika itu merupakan satu-satunya

tindakan yang terbaik untuk mengatasi perdarahan yang banyak pada plasenta

previa totalis.

Komplikasi

Menurut Dutta (2004) komplikasi dapat terjadi pada ibu dan bayi yaitu:

Selama kehamilan pada ibu dapat menimbulkan perdarahan antepartum

yang dapat menimbulkan syok, kelainan letak pada janin sehingga

meningkatnya letak bokong dan letak lintang. Selain itu juga dapat

mengakibatkan kelahiran prematur. Selama persalinan plasenta previa dapat

menyebabkan ruptur atau robekan jalan lahir, prolaps tali pusat, perdarahan

postpartum, perdarahan intrapartum, serta dapat menyebakan melekatnya

plasenta sehingga harus dikeluarkan secara manual atau bahkan dilakukan

kuretase. Sedangkan pada janin plasenta previa ini dapat mengakibatkan bayi

lahir dengan berat badan rendah, munculnya asfiksia, kematian janin dalan

uterus, kelainan kongenital serta cidera akibat intervensi kelahiran.


Prognosis

Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan kecepatan

perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Kematian pada ibu dapat

dihindari apabila penderita segera memperoleh transfusi darah dan segera

lakukan pembedahan seksio sesarea. Prognosis terhadap janin lebih burik oleh

karena kelahiran yang prematur lebih banyak pada penderita plasenta previa

melalui proses persalinan spontan maupun melalui tindakan penyelesaian

persalinan. Namun perawatan yang intensif pada neonatus sangat membantu

mengurangi kematian perinatal (Cunningham, 2005).

2. Solusio Plasenta

Definisi

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan

maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua

endometrium sebelum waktunya.

Klasifikasi

Plasenta dapat terlepas hanya pada tepinya saja (ruptura sinus marginalis),

dapat terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa seluruh

permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plassenta totalis). Perdarahan

yang terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan

miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan

akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikasil dan keluar melalui vagina

(revealed haemorrage). Akan tetapi, ada kalanya, walaupun jarang, perdarahan

tersebut tidak keluar melalui vagina (concealed hemorrhage) jika :


- Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim

- Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim

- Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah

karenanya

- Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen

bawah rahim.

Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran

klinik, sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solusio

plasenta ringan, solusio plasenta sedanf, dan solusio plasenta berat. Yang

ringan biasanya baru diketahui setelah plasenta lahir dengan adanya hematoma

yang tidak luas pada permukaan maternal atau ada ruptura sinus marginalis.

Pembagian secara klinik ini baru definitif bila ditinjau retrospektif karena

solusio plasenta sifatnya berlangsung progresif yang berarti solusio plasenta

yang ringan bisa berkembang menjadi lebih berat dari waktu ke waktu.

Keadaan umum penderita bisa menjadi buruk apabila perdarahannya cukup

banyak pada kategori concealed hemorrhage.

- Solusio plasenta ringan : luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25% atau

ada yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar

biasanya kurang dari 250 ml. Tumpahan darah yang keluar terlihat seperti

haid bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang banyak. Gejala –

gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah

yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.

- Solusio plasenta sedang : luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%

tetapi belum mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih

banyak dari 250 ml tetapi belum mencapai 1000 ml. Umumnya pertumpahan
darah terjadi keluar dan ke dalam bersama – sama. Gejala – gejala dan tanda

– tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus – menerus,

denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.

- Solusio plasenta berat : luas plasenta yang terlepas melebihi 50%, dan

jumlah darah yang keluar telah mencapai 1000 ml atau lebih. Pertumpahan

darah bisa terjadi ke luar dan ke dalam bersama – sama. Gejala – gejala dan

tanda – tanda klinik jelas, keadaan umum penderita buruk, disertai syok, dan

hampir semua janinnya trelah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal

ginjal yang ditandai pada oliguri biasanya telah ada.

Insiden

Melihat latar belakang yang sering dianggap sebagai faktor risiko diyakini

bahwa insidensi solusio plasenta semakin menurun dengan semakin baiknya

perawatan antenatal sejalan dengan semakin menurunnya jumlah ibu hamil usia

dan paritas tinggi dan membaiknya kesadaran masyarakat berperilaku lebih

higienis. Transportasi yang lebih mudah memberi peluang pasien cepat sampai

ke tujuan sehingga keterlambatan dapat dihindari dan solusio plasenta tidak

sampai menjadi berat dan mematikan janin. Dalam kepustakaan dilaporkan

insidensi solusio plasenta 1 dalam 155 sampai 1 dalam 255 persalinan (< 0,5%)

di negara – negara Eropa untuk solusio plasenta yang tidak sampai mematikan

janin. Untuk solusio yang lebih berat sampai mematikan janin insidennya lebih

rendah 1 dalam 830 persalinan (1974 – 1989) dan turun menjadi 1 dalam 1550

persalinan (1988 – 1999). Namun, insidensi solusio plasenta diyakini masih

lebih tinggi di negara berkembang seperti Indonesia.


Etiologi

Sebab yang primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat

beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau

menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko. Usia ibu dan

paritas yang tinggi beresiko lebih tinggi. Perbedaan suku kelihatan berpengaruh

pada resiko.

Dalam kepustakaan terdapat 5 kategori populasi perempuan yang beresiko

tinggi untuk solusio plasenta. Dalam kategori sosioekonomi termasuk keadaan

yang tidak kondusid seperti usia muda, primiparitas, single-parent, pendidikan

yang rendah dan solusio plasenta rekuren. Dalam kategori fisik termasuk

trauma tumpul pada perut, umumnya karena kekarasan dalam rumah tangga atu

kecelakaan dalam berkendaraan. Kategori kelainan pada rahim seperti mioma

terutama mioma submukosum di belakang plasenta atau uterus berseptum.

Kategori penyakit ibu sendiri memegang peran penting seperti penyakit tekanan

darah tinggi dan kelainan sistem pembekuan darah seperi trombofilia. Yang

terakhir adalah yang termasuk kategori sebab iatrogenik seperti merokok dan

kokain.
Patofisiologi

Sesungguhnya solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang

bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili – vili korialis

plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi

perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada

trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah di desidua.

Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis)

yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat

menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau

dalam vaskular vili dapat berujung pada iskemia dan hipoksia setempat yang

menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai

hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali

selapisan tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada

tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematoma yang

bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada

bagian plasenta sekelilingnya yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum

ada gejala kecuali terdapat hematoma pada bagian belakang plasenta yang baru

lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta

disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dalam desidua. Hematoma

retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi

maternal / plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat

meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai ke pinggirnya

sehingga darah yang keluar merembes antara selaput ketuban dan miometrium

untuk selanjutya keluar melalui serviks ke vagina (revealed bleeding).

Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi mengandung tidak
mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus.

Walaupun jarang, terdapat perdarahan tinggal terperangkap didalam uterus

(concealed hemorrhage).

Terdapat beberapa keadaan yang secara teoritis dapat berakibat kematian sel

karena iskemia dan hipoksia pada desidua :

1. Pada pasien dengan korioamnionitis, misalnya pada ketuban pecah

prematur, terjadi pelepasan lipopolisakarida dan endotoksin lain yang

berasal dari agensia yang infeksius dan menginduksi pembentukan dan

penumpukan sitokines, eisikanoid dan bahan – bahan oksida lain seperti

superoksida. Semua bahan ini mempunyai daya sitotoksis yang

menyebabkan iskemia dan hipoksia yang berujung dengan kematian sel.

Salah satu kerja sitotoksis dari endotoksin adalah terbentuknya NOS

(Nitric Oxide Synthase) yang berkemampuan menghasilkan NO (Nitric

Oxide) yaitu suatu vasodilator kuat yang menghambat agregasi

trombosit. Metabolisme NO menyebabkan pembentukan peroksinitrit

suatu oksidan tahan lama yang mampu menyebabkan iskemia dan

hipoksia pada sel – sel endotelium pembuluh darah. Oleh karena faedah

NO terlampaui oleh peradangan yang kuat, maka sebagai hasil akhir

terjadilah iskemia dan hipoksia yang menyebabkan kematian sel dan

perdarahan. Ke dalam kelompok penyakit ini termasuk autoimun

antibodi, antikardiolipin antibodi, lupus antikoagulan semuanya telah

lama dinkenal berakibat buruk pada kehamilan termasuk

melatarbelakangi kejadian solusio plasenta.


2. Kelainan genetik berupa defisiensi protein C dan protein S keduanya

meningkatkan pembentukan trombosis dan dinyatakan terlibat dalam

etiologi pre-eklampsia dan solusio plasenta.

3. Pada pasien dengan penyakit trombofilia dimana ada kecenderungan

pembekuan berakhir dengan pembentukan trombosis di dalam desidua

basalis yang mengakibatkan iskemia dan hipoksia.

4. Keadaan hyperhomocysteinemia dapat menyebabkan kerusakan pada

endotelium vaskuler yang berakhir dengan pembentukan trombosis pada

vena atau menyebabkan kerusakan pada arteria spiralis yang memasok

darah ke plasenta dan menjadi sebab lain dari solusio plasenta.

Pemeriksaan PA plasenta dari penderita hiperhomocysteinemia

menunjukkan gambaran patologik yang mendukung

hiperhomosisteinemia menjadi salah satu faktor etiologi solusio

plasenta. Meningkatkan konsumsi asam folat dan piridoksin akan

mengurangi hiperhomosisteinemia karena kedua vitamin in berperan

sebagai kofaktor dalam metabolisme metionin menjadi homosistein.

Metionin mengalami remetilasi oleh enzin metilentetrahidrofolat

reduktase (MTHFR) menjadi homosistein. Mutasi padan gen MTHFR

mencegah proses remetilasi dan menyebabkan kenaikan kadar

homosistein dalam darah. Oleh sebab itu, disarankan melakukan

pemeriksaan hiperhomosisteinemia pada pasien solusio plasenta yang

penyebab lainnya tidak jelas.

5. Nikotin dan kokain keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang

bisa menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam

lesi seperti infark, oksidatif stress, apoptosis, dan nekrosis , yang


kesemuanya ini berpotensi merusak hubungan uterus dengan plasenta

yang berujung kepada solusio plasenta. Dilaporkan merokok berperan

pada 15% sampai 25% dari insiden solusio plasenta. Merokok satu

bungkus perhari menaikkan insiden menjadi 40 %.

Gambaran Klinik

Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat

ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Belum ada uji

coba yang khas untuk menetukan diagnosisnya. Gejala dan tanda klinis yang

klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua

keluar dari vagina (80% kasus), rasa nyeri perut dan uterus tegang terus –

menerus mirip his partus prematurus. Sejumlah penderita bahkan tidak

menunjukkan tanda atau gejala klasik, gejala yang lahir mirip tanda persalinan

prematur saja. Oleh sebab itu, kewaspadaan atau kecurigaan yang tinggi

diperlukan dari pihak pemeriksa.

- Solusio plasenta ringan : kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan

tidak atau sedikit sekali melahirkan gejala. Pada keadaan yang sangat ringan

tidak ada gejala kecuali hematoma yang berukuran beberapa sentimeter

terdapat pada permukaan maternal plasenta. Ini dapat diketahui secara

retrospektif pada inspeksi plasenta setelah partus. Rasa nyeri pada perut masih

ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar melalui

vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya dengan plasenta

previa kecuali darah yang keluar berwarna merah segar pada plasenta previa.

Tanda – tanda vital dan keadaan umum ibu ataupun janin masih baik. Pada

inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi sedikit
nyeri lokal pada tempat terbentuk hematom dan perut sedikit tegang tapi bagian

– bajian janin masih dapat dikenal. Kadar fibrinogen darah dalam batas – batas

normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi segera,

keadaan yang ringan ini perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi

keadaan bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk

menyingkirkan plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya solusio

terutama pada solusio sedang atau berat.

- Solusio plasenta sedang : gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas rasa nyeri

pada perut yang terus menerus, denyut jantung janin biasanya telah

menunjukkan gawat janin, perdatahan yang tampak keluar lebih banyak,

takikardia, hipotensi, kulit dingin dan keringatan, oliguria mulai ada, kadar

fibrinogen berkurang antara 150 sampai 250 mg/100 ml dan mungkin

kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada. Rasa

nyeri dan tegang perut jelas sehingga palpasi bagian – bagian anak sukar, rasa

nyeri datangnya akut kemudian menetap todak bersifat hilang timbul seperti

pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan berwarna kehitaman,

penderita pucat karena mulai syok sehingga keringat dingin. Keadaan janin

biasanya sudah gawat. Pada stadium ini bisa jadi telah timbul his dan

persalinan telah mulai. Pada pemantauan keadaan janin dengan

kardiotokografi bisa jadi telah ada deselerasi lambat. Perlu dilakukan tes

gangguan pembekuan darah. Bila terminasi persalinan lambat atau fasilitas

perawaatan intensif neonatus tidak memadai, kematian perinatal dapat

dipastikan terjadi.

- Solusio plasenta berat : perut sangat nyeri dan tegang serta keras seperti papan

disertai perdarahan yang berwarna hitam. Oleh karena itu palpasi bagian –
bagian janin tidak mungkin lagi dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi dari pada

yang seharusnya oleh karena telah terjadi penumpukan darah di dalam rahim

pada kategori concealed hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus

uteri bertambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi

rahim kelihatan membulatdan kulit diatasnya kencang dan berkilat. Pada

auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi akibat gangguan anatomik

dan fungsi dari plasenta. Keadaan umum menjadi buruk disertai syok. Ada

kalanya keadaan umum ibu jauh lebih buruk dibandingkan perdarahn yang

tidak seberapa keluar dari vagina. Hipofibrinogenemia dan oliguria boleh jadi

telah ada sebagai akibat komplikasi pembekuan darah intravaskular yang luas

(disseminated intravascular coagulation), dan gangguan fungsi ginjal. Kadar

fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150 mg% dan telah ada

trombositopenia.

Diagnosis

Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda

klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, kontraksi tetanik

pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat terdapat kelainan denyut

jantung janin pada pemeriksaan dengan KTG. Namun adakalanya pasien

datang dengan gejala mirip persalinan prematur ataupun dengan perdarahan

tidak banyak dengan perut tegang, tetapi janin telah meninggal. Diagnosis

definitif hanya bisa ditegakkan secara retrospektif yaitu setelah partus dengan

melihat adanya hematom retroplasenta.

Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna untuk membedakannya dengan

plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta oemeriksaan dengan USG tidak
memberikan kepastian berhubung kompleksitas gambaran retroplasenta yang

normal mirip dengan gambaran perdarahan retroplasenta plasenta pada solusio

plasenta. Kompleksitas gambaran normal retroplasenta, kompleksitas vaskular

rahim sendiri, desidua dan mioma semuanya bisa mirip dengan solusio plasenta

dan memberikan hasil pemeriksaan positif palsu. Dismaping itu, solusio

plasenta sulit dibedakan dengan plasenta itu sendiri. Pemeriksaan ulang pada

perdarahan baru sering bisa membantu karena gambaran USG dari darah yang

telah membeku akan berubah menurut waktu menjadi lebih ekogenik pada 48

jam kemudian menjadi hipogenik dalam waktu 1 sampai 2 minggu.

Penggunaan color doppler bisa membantu diagnosis solusio plasenta dimana

tidak terdapat sirkulasi darah yang aktif padanya, sedangkan pada kompleksitas

lain, baik kompleksitas retroplasenta yang hiperekoik maupun yang hipoekoik

seperti mioma dan kontraksi uterus, terdapat sirkulasi darah yang aktif padanya.

Para kontraksi uterus terdapat sirkulasi aktif didalamnya, pada mioma sirkulasi

aktif terdapat lebih banyak pada sebagian prferi daripada di bagian tengahnya.

Pulsed-wave doppler dinyatakan tidak menjadi alat yang berguna untuk

menegakan diagnosis solusio plasenta berhubung hasil pemeriksaan yang tidak

konsisten.

MRI bisa mendeteksi darah melelui deteksi methemoglobin, tetapi dalam

situasi darurat pada kasus solusio plasenta tidaklah merupakan perangkat

diagnosis yang tepat.

Alfa-feto-protein serum ibu (MSAFP) dan hCG serum ibu ditengarai bisa

melewati plasenta dalam keadaan dimana terdapat gangguan fisiologik dan

keutuhan anatomik dari plasenta. Penggian kadar MSAFP tanpa sebab lain

yang meninggikan kadarnya terdapat pada solusio plasenta. Adapun sebab –


sebab lain yang dapat meningkatkan MSAFP adalah kehamilan dengan

kelainan – kelainan kromosom, neural tube defect, juga pada perempuan yang

beresiko rendah terhadap kematian janin, hipertensi karena kehamilan, plasenta

previa, ancaman persalinan prematur, dan hambatan pertumbuhan janin. Pada

perempuan yang mengalami persalinan prematur dalam trimester dengan

solusio plasenta dijumpai kenaikan MSAFP deng sensitivitas 67% bila tanpa

perdarahan dan dengan sensitivitas 100% bila disertai perdarahan. Nilai ramal

negatif pada keadaan ini bisa mencapai 94% pada tanpa perdarahan dan 100%

pada perdarahan.

Uji – coba Kleihauer-Betke untuk mendeteksi darah atau hemoglobin janin

dalam darah ibu tidak merupakan uji coba yang berguna pada diagnosis solusio

plasenta karena perdarahan pada solusio plasenta kebanyakan berasal dari

belakang plasenta bukan berasal dari ruang intervillus dimana darah janin

berdekatan sekali dengan darah ibu.

Penatalaksanaan

Semua pasien yang tersangka menderita solusio plasenta harus dirawat inap

di rumah sakit yang berfasilitas cukup. Ketika masuk segera dilakukan

pemeriksaan darah lengkap termasuk kadar Hb dan golongan darah serta

gambaran pembekuan darah denfan memeriksa waktu pembekuan, waktu

protrombin, waktu tromboplastin parsial, kadar fibrinogen dan kadar hancuran

fibrin dan hancuran fibrinogen dalam plasma. Pemeriksaan dengan

ultrasonografi berguna terutama untuk membedakannya dengan plasenta previa

dan memastikan janin masih hidup. Manakala diagnosis belum jelas dan janin

hidup tanpa tanda – tanda gawat janin, observasi dengan ketat dengan
kesiagaan dan fasilitas yang bisa segera diaktifkan untuk intervensi jika

sewaktu-waktu muncul kegawatan.

Persalinan mungkin pervaginam atau mungkin juga perabdominam

bergantung pada banyaknya perdarahan, telah ada tanda – tand persalinan

spontan atau belum, dan tanda – tanda gawat janin. Penanganan solusio

plasenta bervariasi sesuai keadaan kasus masing – masing tergantung berat

ringannya penyakit, usia kehamilan, serta keadaan ibu dan janinnya. Bila janin

masih hidup dan cukup bulan, dan jika persalinan pervaginam belum ada tanda

– tandanya, umumnya dipilih persalinan melalui bedah sesar darurat. Pada

perdarahan yang cukup banyak segera lakukan resusitasi dengan pemberian

transfusi darah dan kristaloid yang cukup diikuti persalinan yang dipercepat

untuk mengendalikan perdarahan dan menyelamatkan ibu sambil

mengharapkan semoga janin juga bisa terselamatkan. Umumnya kehamilan di

akhiri dengan induksi atau stimulasi partus pada kasus yang ringan atau janin

telah mati, atau langsung dengan bedah sesar pada kasus yang berat atau telah

terjadi gawat janin.

Penanganan ekspektatif pada kehamilan belum genap bulan berfaedah bagi

janin, tetapi umumnya persalinan preterm tidak terhindarkan bila spontan

sebagai komplikasi dari solusio plasenta maupun atas indikasi obstetrik yang

timbul setelah beberapa hari dalam rawatan. Terhadap pemberian tokolisis

masih terdapat silang pendapat di samping keberhasilan yang belum

menjanjikan.

Pada kasus dimana telah terjadi kematian janin dipilih persalinan

pervaginam kecuali ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi

darag yang banyak atau ada indikasi obstetrik lain yang menghendaki
persalinan dilakukan perabdominam. Hemostasis pada tempat implantasi

plasenta bergantung sekali kepada kekuatan kontraksi miometrium. Karenanya

pada persalinan pervaginam perlu diupayakan stimulasi miometrium secara

farmakologik atau masase agar kontraksi miometrium diperkuat dan mencegah

perdarahan yang hebat pascasalin sekalipun pada keadaan masih ada gangguan

koagulasi. Harus diingat bahwa koagulopati berat merupakan faktor risiko

tinggi bagi bedah sesar berhubung kecenderungan perdarahan yang

berlangsung terus pada tempat insisi baik pada abdomen maupun pada uterus.

Pemberian oksitosin dan amniotomi adalah dua hal yang sering dilakukan pada

salinan pervaginam. Kedua hal tersebut mempunyai rasionalitasnya masing –

masing baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Kiranya

keuntungan dan kerugian dari kedua metode ini masih belum ada bukti yang

mendukung (not evidence bassed).

Komplikasi

Komplikasi sokusio plasenta berasal dari perdarahan retropasenta yang terus

berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti anemia,

syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan darah,

gagal ginjal mendadak dan uterus Couvelaire disamping komplikasi sindroma

insufisiensi fungsi plasenta pada janin berupa angka kematian perinatal yang

tinggi. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang terhindar dari

kematian setelah menderita syok yang berlangsung lama yang menyebabkan

iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta.

Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan

komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio plasenta
berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 35% perempuan yang pernah

menderita solusio plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik dilaporkan juga

terjadi dimana proses pembentukan hematom retroplasenta berhenti tanpa

dijelang oleh persalinan. Komplikasi koagulopati dijelaskan sebagai berikut.

Hematoma retroplasenta yang terbentuk mengakibatkan pelepasan

tromboplastin ke dalam peredarah darah. Tromboplastin bekerja mempercepat

perombakan protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai

untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak

bekuan darah terutama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini

apabila pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi

pembekuan darah intravaskular yang luas (Disseminated intravascular

coagulation) yang semakin menguras perediaan fibrinogen dan faktor – faktor

pembekuan lain. Akibat lain dari pembekuan darah intravaskular ialah

terbentunya plasmin dari plasminogen yang dilepaskan pada setiap kerusakan

jaringan. Karena kemampuan fibrinolisis dari plasmin ini maka fibrin yang

terbentuk dihancurkannya. Penghancuran butir – butir fibrin yang terbentuk

intravaskular oleh plasmin berfaedah menghancurkan bekuan – bekuan darah

dalam pembuluh darah kecil dengan demikian berguna mempertahankan

keutuhan sirkulasi mikro. Namun di lain pihak penghancuran fibrin oleh

plasmin memicu perombakan lebih banyak fibrinogen menjadi fibrin agar darah

bisa membeku. Dengan jalan ini pada solusio plasenta berat dimana telah

terjadi perdarahan melebihi 2000 ml dapat dimengerti kalau akhirnya akan

terjadi kekurangan fibrinogen dalam darah sehingga persediaan fibrinogen

lambat laun mencapai titik kritis (≤ 150 mg/100 ml darah) dan terjadi

hipofibrinogenemia. Pada kadar ini telah terjadi gangguan pembekuan darah


(consumptive coagulopathy) yang secara laboratoris terlihat pada

memanjangnya waktu pembekuan melebihi 6 menit dan bekuan darah yang

telah terbentuk mencair kembali. Pada keadaan yang lebih parah darah tidak

mau membeku sama sekali apabila kadar fibrinogen turun dibawah 100 mg%.

Pada keadaan yang berat ini telah terjadi kematian janin dan pada pemeriksaan

laboratorium dijumpai kadar hancuran faktor – faktor pembekuan darah dan

hancuran fibrinogen meningkat dalam serum mencapai kadar yang berbahaya

yaitu diatas 100 µg per ml. Kadar fibrinogen normal 450 mg% turun menjadi

100 mg% atu lebih rendah. Untuk kenaikan kembali kadar fibrinogen ke tingkat

diatas nilai kritis lebih disukai pemberian transfusi darah segar sebanyak 2000

ml sampai 4000 ml karena setiap 1000 ml darah segar diperkirakan

mengandung 2 gram fibrinogen. Kegagalan fungsi ginjal akut dapat terjadi

apabila keadaan syok hipovolemik yang berlama – lama terlambat atau tidak

memperoleh penanganan yang sempurna. Penyebab kegagalan fungsiginjal

pada solusio plasenta belum jelas, tetapi beberapa faktor dikemukakan sebagai

pemegang peran utama dalam kejadian itu. Curahan jantung yang menurun dan

kekejangan pembuluh darah ginjal akibat tekanan intrauterina yang meninggi

keduanya menyebabkan perfusi ginjal menjadi sangat menurun dan

menyebabkan anoksia. Pembekuan darah intravaskuler dalam ginjal memberi

kontribusi tambahan kepada pengurangan perfusi ginjal selanjutnya. Penyakit

hipertensi akut dan kronik yang sering bersama – sama atu bahkan sebagai

penyebab solusio plasenta berperan memperburuk fungsi ginjal pada waktu

yang sama. Keadaan yang umum terjadi adalah nekrosis tubulus – tubulus

ginjal secara akut yang menyebabkan kegagalan fungsi ginjal (acute tubular

renal failure) apabila korteks ginjal ikut menderita anoksia karena iskemia dan
nekrosis yang menyebabkan kegagalan fungsi ginjal (acute cortical renal

failure) maka prognosisnya sangat buruk karena pada keadaan yang demikian

angka kematian bisa mencapai 60%. Transfusi darag yang cepat dan banyak

serta pemberian infus cairan elektrolit seperti ringer laktat dapat mengatasi

komplikasi ini dengn baik. Pemantauan fungsi ginjal melalui pengamatan

diuresis dalam rangka mengatasi oliguria dan uji coba fungsi ginjal lain sangat

berperan dalam meniali kemajuan penyembuhan. Pengeluaran urin 30 ml atau

lebih dalam satu jam menunjukkan perbaikan fungsi ginjal.

Couvelare dalam permulaan tahun 1900 menamakan kompikasi ini

apoplexie uteroplacentaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta

menyebabkan darah menerobos melalui sela – sela serabut miometrium dan

bahkan bisa sampai kebawah perimetrium dan kedalam jaringan pengikat

ligamentum latum, kebawah perisalping dan ke dalam ovarium bahkan bisa

mengalir sampai ke rongga peritonei. Keadaan miometrium yang telah

mengalami infiltrasi darah ini dilaporkan jarang mengganggu kontraksinya

sampai menjadi atonia yang bisa menyebabkan perdarahan berat pascasalin.

Keadaan uterus yang demikian disebut uterus Couvelaire. Uterus Couvelaire

yang tidak sangat berat msih dapat berkontraksi jika diberi oksitosin. Dengan

perkataan lain, uterus Couvelaire umumnya tidak akan menyebabkan

perdarahan berat dalam kala tiga dan kala empat dan oleh karena itu bukan

semua uterus Couvelaire merupakan indikasi histerektomi.

Fungsi plasenta akan terganggu aoabila peredarah darah ke plasenta

mengalami penurunan yang berarti. Sirkulasi darah ke plasenta menurun

manakala ibu mengalamiperdarahan banyak dan akut seperti pasa syok.

Peredaran darah ke plasenta juga menurun apabila telah terbentuk hematoma


retroplasenta yang luas. Pada keadaan yang begini darah dari arteriola spiralis

tidak lagi bisa mengalir ke dalam ruang intervillus. Kedua keadaan tersebut

menyebabkan penerimaan oksigen oleh darah janin yang berada di kapiler vili

berkurang yang pada akhirnya menyebabkan hipoksia janin. Sirrkulasi darah ke

plasenta juga menurun disertai penurunan tekanan perfusi pada penderita

hipertensi kronik atau pre eklampsia. Semua perubahan tersebut sanfay

menurunkan permeabilitas plasenta yang punya kintribusi besar dalam proses

terjadinya sindroma insufisiensi fungsi plasenta yang mengakibatkan gawat

janin dan kematian janin tanpa terduga. Gawat janin oleh hipoksia disebabkan

oleh insufisiensi fungsi plasenta yang umumnya sudah terjadi pada solusio

plasenta sedang dan pada solusio plasenta berat umumnya telah tejadi kematian

janin.

Fetal-to-Maternal Hemorrhage

Pada solusio plasenta perdarahan yang terjadi umumnya berasal dari

peredarah darah ibu, namun pada sekitar 20% solusio plasenta terutama bila

solusio plasenta terjadi akibat trauma tumpul pada abdomen menyebabkan

kerusakan demikian rupa sampai sejumlah kapiler vili ikut rusak dan terjadi

perdarahan yang berasal dari sirkulasi janin masuk ke dalam ruang intervillus

dari plasenta untuk seterusnya masuk ke dalam sirkulasi maternal.

Syok pada solusio plasenta diperkirakan terjadi akibat pelepasan

tromboplastin dari desidua dan plasenta ke dalam sirkulasi maternal dan

mendorong pembentukan koagulasi intravaskular beserta gambaran klinik lain

sindroma emboli cairan ketuban termasuk hipotensi.


Prognosis

Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk bagi ibu hamil dan lebih

buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio

plasenta ringan masih mempunyai prognosis yang baiak bagi ibu dan janin

karena tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang

memiliki prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena

mortalitas dan morbiditas perinatal yag tinggi disamping morbiditas ibu, yang

lebih berat. Solusio plasenta berat mempunyai prognosis paling buruk baik

terhadap ibu lebih – lebih terhadap janinnya. Umumnya pada keadaan yag

demikian janin telah mati dan mortalitas maternal meningkat akibat salah satu

komplikasi. Pada solusio plasenta sedang dan berat prognosisnya juga

bergantung pada kecepatan dan ketepatan bantuan medik yang diperoleh

pasien. Transfusi darah yang banyak dengan segera dan terminasi kehamilan

tepat waktu sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal dan

perinatal.5
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio Kasus

1. Subyektif
Pasien mengatakan mengalami kenceng – kenceng sejak kemarin pukul 04.00
(±1 hari yll). Kenceng – kenceng jarang. Mulai hari ini pukul 18.30 (± 1 jam
yll) pasien mengeluarkan darah dari jalan lahir, seperti menstruasi.

2. Obyektif
Pemeriksaan fisik dan laboratorium yang mendukung didapatkan pada
pasien ini:
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : pasien tampak pucat dan lemas
Vital Sign : TD : 150/100 mmHg
Mata : conjungtiva palpebra pucat (+)
Abdomen : L1: Teraba keras TFU : 26 cm
L2: Puka DJJ : 147 x/menit
L3: Teraba lunak
L4: Belum masuk PAP

Laboratorium
Hemoglobin : 7,4 g/dL

3. Assesment

GIII P2002 A000 UK 33 – 34 minggu Inpartu Kala I Fase Laten +


Letak Sungsang + Perdarahan Antepartum

4. Plan
- Ivfd RL 16 tpm
- DL, BT, CT
- Pro Transfusi PRC 2 kolf
5. Monitoring
Keadaan umum, tanda vital dan hasil pemeriksaan penunjang
6. Edukasi :
a. Pengawasan keadaan umum, tanda vital, dan perdarahan pasien
b. Penjelasan kepada keluarga tentang penyakit, prosedur pengobatan
serta prognosis penderita.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wasnik, K.S., Naiknaware V.S., 2015, Antepartum Haemorrhage: Causes & Its
Effects on Mother and Child: An Evaluation, Obstetrics & Gynecology
International Journal Vol.3; Issue:1, Pg:1-5.
2. Thomson, Ramsay, 2011, Antepartum Haemorrhage, Green-top Guideline No.
63, Royal College of Obstetricians & Gynaecologists.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2007.
4. Abduljabbar, H.S., Bahkali, M.N., Al-Basri, S.F., et al, 2016, Placenta Previa A
13 years experience at a tertiary care center in Western Saudi Arabia, Saudi
Medical Journal Vol.37 (7), Pg 762-766.
5. Prawirohardjo, Sarwono, 2010, Perdarahan pada Kehamilan Usia Lanjut dan
Persalinan, Ilmu kebidanan, Hal. 503 – 515.

Anda mungkin juga menyukai