Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Tumbuhan Rhizophora mucronata

Bakau Rhizophora mucronata atau dikenal dengan nama bakau hitam

ialah nama sekelompok tumbuhan di hutan mangrove dari genus Rhizophora dan

famili Rhizophoraceae. Berdasarkan identifikasi Kusmana dkk. (2003) di Teluk

Bintuni, Irian jaya, R. mucronata mampu tumbuh hingga mencapai diameter 35

cm dengan tinggi 30 m. Batang berdiri tegak, tidak berlekuk, tidak berpilin, dan

tidak berbenjol. Kulit luar berwarna abu-abu terang, retak-retak membentuk

persegi empat dengan tepi terangkat, bersisik, dan mengelupas. Jenis ini

mempunyai daun tunggal dengan susunan opposite (daun berpasangan pada

ketinggian yang sama pada masing masing sisi ranting). Bentuk daun elliptical

membesar dengan ukuran panjang 16 – 22 cm, lebar 8 – 11 cm. Septa ujung daun

acute (runcing) dan pangkal daun cuneate (meruncing). Ujung daun memiliki

mucro (jarum). Permukaan atas daun bewarna hijau, sedang permukaan bawah

hijau kekuningan dan berbintik-bintik hitam. Bunga tersusun menggarpu dengan 2

– 3 bunga. Calyx bewarna krem sampai kuning dan petal bewarna krem sampai

putih. R. mucronata umumnya tumbuh di pinggiran sungai yang digenangi air

pasang agak besar.

Buah R. mucronata berdiameter 2 – 2,3 cm dengan panjang panjang 50 –

70 cm, berwarna hijau sampai dengan hijau kekuningan. Kotiledon kuning saat

masak dengan permukaan berkutil, hipokotil menempel di bawah kotiledon,

Sistem perakaran berupa akar tunjang (Setyawan dkk., 2002). Secara visual,

deskripsi tumbuhan R. mucronata di atas dapat dilihat pada Gambar 2.

Universitas Sumatera Utara


(a) (b) (c)
Gambar 2. (a) Akar R. mucronata, (b) Kulit batang R. mucronata, (c) Bunga dan
daun R. mucronata.

R. mucronata banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan karena

memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit seperti beri-beri,

haematoma, hepatitis dan borok (Kordi, 2012). Selain itu, Harwoko dan Utami

(2010) telah menunjukkan dalam penelitiannya bahwa Fraksi n-heksana:

kloroform dari ekstrak metanol kulit batang R. mucronata memiliki aktivitas

sitotoksik pada sel kanker myeloma dengan nilai IC 50 sebesar 15 μg/mL serta

kandungan kimia dalam fraksi tersebut adalah senyawa flavonoid dan terpenoid.

Diastuti dan Suwandri (2009) menyatakan bahwa ekstrak metanol kulit batang R.

mucronata juga mengandung senyawa terpenoid. Ningsih dkk. (2006) juga

melaporkan bahwa senyawa golongan alkaloid terkandung di dalam ekstrak kasar

metanol kulit batang R. mucronata.

Senyawa Fitokimia

Senyawa fitokimia merupakan zat atau senyawa kimia metabolit sekunder

dari tiap tanaman (Sirait, 2007). Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui secara

kualitatif adanya golongan senyawa aktif dalam tumbuhan yang diharapkan dapat

berperan sebagai senyawa antibakteri (Indriani, 2007). Lenny (2006) menyatakan

Universitas Sumatera Utara


bahwa senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya

mempunyai kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan

tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau

lingkungannya. Senyawa-senyawa kimia yang merupakan hasil metabolisme

sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat diklasifikasikan dalam

beberapa golongan senyawa bahan alam yaitu saponin, steroid, triterpenoid,

alkaloid, fenolik (tanin dan flavanoid).

Saponin adalah glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin berasal dari

bahasa latin “sapo” yang berarti sabun, diberi nama demikian karena sifatnya

yang menyerupai sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang

menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah

sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer

saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin

telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin

juga bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995). Senyawa saponin dapat

bersifat antibakteri dengan merusak membran sel. Rusaknya membran

menyebabkan substansi penting keluar sel dan juga dapat mencegah masuknya

bahan-bahan penting ke dalam sel. Jika fungsi membran sel dirusak maka akan

mengakibatkan kematian sel (Monalisa dkk., 2011). Oesman dkk. (2010)

menyatakan bahwa saponin adalah senyawa polar yang keberadaanya dalam

tumbuhan dapat diekstraksi dengan pelarut semi polar dan polar.

Steroid adalah senyawa organik lemak sterol tidak terhidrolisis yang dapat

dihasilkan dari reaksi penurunan dari terpena atau skualena. Steroid merupakan

kelompok senyawa yang penting dengan struktur dasar sterana jenuh (bahasa

Universitas Sumatera Utara


inggris: saturated tetracyclic hydrocarbon: 1,2 – cyclopentano-perhydro-

phenanthrene) dengan 17 atom karbon dan 4 cincin (Dwilistiani, 2013). Monalisa

dkk. (2011) menyatakan dalam penelitiannya bahwa senyawa steroid yang

terkandung dalam ekstrak daun tapak liman merupakan senyawa antibakteri

terhadap Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi dengan konsentrasi ekstrak

daun tapak liman 20%. Mekanisme kerja antibakteri senyawa steroid yaitu dengan

cara merusak membran sel bakteri.

Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari 6

unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C 30 hidrokarbon

alisiklik. Senyawa tersebut mempunyai struktur siklik yang relatif kompleks,

kebanyakan merupakan suatu alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa

tersebut tidak berwarna, kristalin, sering mempunyai titik lebur tinggi, Triterpen

dapat ditemukan pada resin, kulit kayu, dan dalam lateks (Sirait, 2007). Menurut

Heinrich dkk. (2009), triterpen juga merupakan komponen resin dan eksudat resin

dari tanaman yang diproduksi jika pohon menjadi rusak sebagai perlindungan

fisik terhadap serangan fungi dan bakteri. Selain itu, banyak komponen terpenoid

resin ini memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi, baik membunuh mikroba

yang berpotensi menyerang maupun memperlambat pertumbuhannya hingga

pohon dapat memperbaiki kerusakannya.

Flavanoid adalah senyawa yang terdiri atas C 6 – C 3 – C 6 . Flavanoid

umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavanoid terdapat pada

seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari, dan akar. Kegunaan

flavanoid untuk tumbuhan diantaranya adalah untuk menarik serangga, yang

membantu proses penyerbukan dan untuk menarik perhatian binatang yang

Universitas Sumatera Utara


membantu penyebaran biji (Sirait, 2007). Monalisa dkk. (2011) juga menyatakan

bahwa Senyawa flavonoid dapat menggumpalkan protein, senyawa flavonoid juga

bersifat lipofilik, sehingga dapat merusak lapisan lipid pada membran sel bakteri.

Fenolik merupakan senyawa yang mengandung fenol (senyawa turunan

fenol) yang secara kimiawi telah diubah untuk mengurangi kemampuannya dalam

mengiritasi kulit dan meningkatkan aktivitas antibakterinya. Aktivitas antimikroba

senyawa fenolik adalah dengan merusak lipid pada membran plasma

mikroorganisme sehingga menyebabkan isi sel keluar (Pratiwi, 2008). Kemudian

Septiadi dkk. (2013) menyatakan dalam penelitiannya bahwa senyawa fenolik

bersifat fungistatik yang dapat mendenaturasi protein dinding jamur Candida

albicans yang menyebabkan kerapuhan pada dinding sel tersebut sehingga mudah

ditembus zat aktif lainnya yang bersifat fungistatik. Jika protein yang

terdenaturasi adalah protein enzim maka enzim tidak dapat bekerja yang

menyebabkan metabolisme dan proses penyerapan nutrisi terganggu.

Tanin ditandai oleh sifatnya yang dapat menciutkan dan mengendapkan

protein dari larutan dengan membentuk senyawa yang tidak larut (Sirait, 2007).

Kadar tanin yang tinggi mungkin mempunyai arti pertahanan bagi tumbuhan,

membantu mengusir hewan pemangsa tumbuhan. Beberapa tanin terbukti

mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor dan

menghambat enzim seperti enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase.

Tanin juga dapat meracuni hati (Robinson, 1995). Tanin tersebar luas dalam

tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan

kayu. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang

mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena

Universitas Sumatera Utara


kemampuannya menyambung silang protein. Di dalam tumbuhan, letak tanin

terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak, misalnya

bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini

menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pecernaan hewan. Sebagian

besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan

karena rasanya yang sepat (Rustaman dkk., 2006). Secara garis besar tanin terbagi

menjadi dua golongan: tanin dapat terhidrolisis, yang terbentuk dari esterifikasi

gula (misalnya glukosa) dengan asam fenolat sederhana yang merupakan tanin

turunan sikimat (misalnya asam galat), dan tanin tidak terhidrolisis yang kadang

disebut tanin terkondensasi, yang berasal dari reaksi polimerasi (kondensasi) antar

flavanoid (Heinrich dkk., 2009).

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolisme sekunder, yang

terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid dapat ditemukan

pada daun, kuncup muda, akar, pada getah yang diproduksi di tabung-tabung

getah dalam epidermis dan sel-sel yang langsung di bawah epidermis seperti pada

korteks. Oleh sebab itu, untuk simplisia-simplisia alkaloid digunakan akar, daun,

buah, biji dan kulit (Sirait, 2007). Rustaman dkk. (2006) menyatakan bahwa

alkaloid merupakan senyawa organik siklik yang mengadung nitrogen dengan

bilangan oksidasi negatif, yang penyebarannya terbatas pada makhluk hidup.

Alkaloid juga merupakan golongan zat metabolit sekunder yang terbesar, yang

pada saat ini telah diketahui sekitar 5500 buah. Alkaloid pada umumnya

mempunyai keaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloid

sering dimanfaatkan untuk pengobatan.

Universitas Sumatera Utara


Ekstraksi

Ekstraksi terhadap bahan tanaman bertujuan untuk memisahkan senyawa

bioaktif tanaman (biasanya dari senyawa tunggal atau kelompok senyawa).

Sebelum dilakukan proses ekstraksi sampel dikecilkan ukurannya untuk

memudahkan kontak dengan pelarut sehingga diharapkan semakin banyak

senyawa bioaktif yang dapat terekstrak (Sari, 2008).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari

simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung.

Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (BPOM RI, 2010). Ekstraksi

terdiri atas tahap penghancuran sampel, maserasi, penyaringan dan evaporasi.

Penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel sehingga

meningkatkan kontak antara bahan dengan pelarutnya. Maserasi adalah proses

perendaman sampel dalam pelarut dengan waktu tertentu sehingga senyawa dalam

sampel larut dalam pelarut tersebut dan umumnya proses maserasi dibantu dengan

pengadukan. Pengadukan dimaksudkan untuk mencapai waktu ekstraksi yang

lebih singkat. Teknik ekstraksi didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu zat

dapat larut dalam dua fase yang tercampur, maka zat itu dapat dialihkan dari satu

fase ke-fase lainnya dengan mengocoknya bersama-sama. Beberapa pertimbangan

dalam memilih pelarut yaitu:

1) Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non-polar akan

melarutkan senyawa non-polar,

2) Pelarut organik cenderung melarutkan senyawa organik,

3) Air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam maupun

basa organik,

Universitas Sumatera Utara


4) Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi ke

dalam air dengan menggunakan basa (NaOH, Na 2 CO 3 dan NaHCO 3 ).

Penyaringan bertujuan memisahkan sampel dengan senyawa bioaktif yang larut

dalam pelarutnya. Evaporasi dilakukan untuk menguapkan pelarut sehingga

ekstrak dapat terpisah dengan pelarutnya dan dilakukan pada suhu 30 – 40oC

untuk mengurangi kerusakan senyawa aktif pada suhu tinggi (Sari, 2008).

Bakteri Aeromonas hydrophila

Bakteri Aeromonas hydrophila termasuk dalam famili Pseudomonadaceae

yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan penyakit bercak merah atau

septicemia haemorrhagica pada ikan. Bakteri Aeromonas umumnya hidup di air

tawar yang mengandung bahan organik tinggi. Ciri utama bakteri Aeromonas

adalah bentuknya seperti batang, ukurannya 1 – 4 x 0,4 – 1 mikron, bersifat gram

negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup dengan atau tanpa oksigen), tidak

berspora, bersifat motil (bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel

(monotrichous flagella) yang keluar dari salah satu kutubnya, senang hidup di

lingkungan bersuhu 15 – 30 0C dan pH antara 5,5 – 9. Beberapa hewan akuatik

yang telah diserang oleh bakteri A. hydrophila menunjukkan gejala-gejala infeksi

yang sama, yaitu: warna tubuh ikan menjadi gelap, kemampuan berenang

menurun, mata ikan rusak dan agak menonjol, sisik terkuak, seluruh siripnya

rusak, insang berwarna merah keputihan, ikan terlihat megap-megap di

permukaan air, insangnya rusak sehingga sulit bernapas, kulit ikan menjadi kasat

dan timbul pendarahan selanjutnya diikuti dengan luka borok, perut kembung

(dropsi), jika dilakukan pembedahan akan terlihat pendarahan pada hati, ginjal,

Universitas Sumatera Utara


serta limpa (Kordi, 2004). Pertumbuhan A. hydrophila pada media TSA dan hasil

pewarnaan gramnya dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) (b)
Gambar 3. (a) Aeromonas hydrophila (b) Hasil pewarnaan Gram.

Yuhana dkk. (2008) mengemukakan bahwa ikan yang terserang bakteri ini

akan mengalami pendarahan pada bagian tubuh terutama di bagian dada, perut,

dan pangkal sirip. Penyebaran penyakit ini terjadi secara horizontal, yaitu melalui

air yang telah terkontaminasi bakteri A. hydrophila atau dari ikan yang sakit.

Apabila sudah terdapat gejala klinis yang parah, maka ikan harus segera

dimusnahkan karena sifat penyakitnya yang mudah menular.

Bakteri Streptococcus agalactiae

Menurut Kordi (2004), bakteri Streptococcus agalactiae merupakan

bakteri gram positif yang dapat menyebabkan penyakit pendarahan pada mata

(streptococcis). Menurut Hardi dkk. (2011), bakteri Streptococcus agalactiae

termasuk gram positif, memiliki dua tipe hemolitik yaitu β-hemolitik dan non-

hemolitik. Kemampuan menghidrolisis gula kedua tipe bakteri bervariatif, bakteri

tipe β-hemolitik memiliki kamampuan menghidrolisis gula lebih banyak termasuk

arabinose, sorbitol, lactose, trehalose dibandingkan dengan tipe non-hemolitik.

Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan sakit pada ikan yang dapat dilihat secara

makroskopis maupun mikroskopis. Perubahan pada mata (mata mengkerut, pupil

Universitas Sumatera Utara


mata mengecil, mata seperti berkabut (opacity), purulens hingga sebelah mata

dapat hilang). Pembengkakan mata atau eksoptalmia yang disertai dengan

pendarahan juga dapat ditemui pada mata ikan yang terinfeksi S. agalactiae.

perubahan warna yang menghitam, ulcer, abses pada perut dan perubahan pola

renang (whirling dan gasping) dapat menjadi indikasi adanya infeksi. Koloni

bakteri Streptococcus agalactiae pada perbenihan agar darah berbentuk bulat,

berwarna transparan dengan permukaan cembung, pada pewarnaan gram bakteri

ini bersifat gram positif dan berbentuk bulat (Poeloengan, 2009). Pertumbuhan S.

agalactiae pada media BHIA dan hasil pewarnaan gramnya dapat dilihat pada

Gambar 4.

(a) (b)
Gambar 4. (a) Streptococcus agalactiae, (b) Hasil pewarnaan Gram.

Jamur Saprolegnia sp.

Saprolegnia sp. adalah jenis jamur yang terdapat di seluruh dunia dan

hidup di perairan tawar. Jamur Saprolegnia sp. dapat menyerang sebagian besar

ikan air tawar tetapi umumnya ikan mas, tawes, gabus, gurami, nila dan lele dan

menyebabkan penyakit Saprolegniasis (Kordi, 2004).

Saprolegnia sp. memiliki hifa berdiameter 25 – 29 μm. Sporangiumnya

berbentuk memanjang dan menggembung yang merupakan diferensiasi dari hifa

vegetatif. Spora berkembang memadati sporangium dan bergerak dari arah hifa

Universitas Sumatera Utara


menuju sporangium dengan ukuran spora 3 – 5 μm (Suhendi, 2009). Berikut

adalah pertumbuhan Saprolegnia sp. pada media PDA dan bentuk hifa hasil

pengamatan mikroskopis yang dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) (b)

Gambar 5. (a) Pertumbuhan Saprolegnia sp. pada media PDA, (b) Saprolegnia sp.
pada hasil pengamatan mikroskopis.

Ikan dan telur ikan yang terserang jamur ini dapat diketahui dengan

mudah, sebab terlihat bagian organ ikan (biasanya bagian luar) atau telur yang

terserang ditumbuhi oleh sekumpulan mycelium jamur yang menyerupai

gumpalan benang-benang halus (hype) yang tampak seperti kapas sehingga

disebut white cottony growth. Kumpulan benang ini biasanya terlihat di bagian

kepala, tutup insang atau di sekitar sirip. Pada ikan dewasa biasanya diserang pada

bagian kulit yang telah terluka, sedangkan telur ikan yang terserang akan terlihat

seperti dilapisi kapur (Kordi, 2004).

Antimikroba

Menurut Pelczar and Chan (1988), Antimikroba merupakan bahan atau

senyawa yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba. Dalam

penggunaan umum, istilah ini menyatakan penghambatan pertumbuhan dan bila

dimaksudkan untuk kelompok-kelompok organisme yang khusus, maka seringkali

digunakan istilah-istilah seperti antibakterial dan antifungal. Berdasarkan sifatnya

Universitas Sumatera Utara


maka bahan antimikrobial dapat bersifat bakterisida (suatu bahan yang dapat

mematikan bentuk-bentuk vegetatif bakteri) dan bakteriostatis (suatu bahan yang

dapat menghambat pertumbuhan bakteri).

Mekanisme penghambatan mikroba oleh senyawa antimikroba sebagai

berikut: (1) merusak dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat

proses pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh; (2) mengubah

permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari

dalam sel; (3) mendenaturasi protein sel; (4) merusak sistem metabolisme di

dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Poeloengan dkk.,

2006). Menurut Sufriadi (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

efektivitas dari suatu antimikroba yaitu konsentrasi, suhu, waktu, sifat fisik, dan

kimia subtrat (pH, kadar air, jenis, dan jumlah zat terlarut). Adanya aktivitas

antimikroba dapat dilihat dari terbentuknya zona bening disekitar kertas cakram.

Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan mikroba terhadap suatu senyawa

antimikroba dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan mikroba


Diameter Zona Bening Respon Hambatan Pertumbuhan

< 5 mm Lemah
5 – 10 mm Sedang
10 – 20 mm Kuat
> 20 mm Sangat kuat

Sumber: Suryawiria (1978) diacu oleh Indriani (2007).

Uji Brine Shimp Lethality Test

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode skrining

untuk menentukan toksisitas suatu ekstrak ataupun senyawa (Pasaribu dan Titiek,

Universitas Sumatera Utara


2011). Pengujian terhadap kadar toksisitas ekstrak tanaman dilakukan dengan

mengamati tingkat kematian (mortalitas) yang ditimbulkan oleh ekstrak terhadap

larva udang jenis Artemia salina Leach setelah dilakukan pengujian selama 24

jam (Hayati dan Nur, 2010). Larva udang tersebut sangat peka terhadap apapun

yang berada di lingkungannya dan berkembang dengan sangat cepat menyerupai

pertumbuhan sel kanker. Keadaan membran kulitnya yang sangat tipis

memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi

metabolisme dalam tubuhnya. Oleh karena itu, penambahan zat ekstraktif yang

diduga mengandung senyawa bioaktif yang juga berpotensi sebagai senyawa obat

diharapkan mampu mengganggu metabolisme dan menyebabkan kematian larva

udang (Meilani, 2006).

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dipilih karena sering digunakan untuk

praskrining terhadap senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan

karena sederhana, cepat, murah, mudah, dapat dipercaya dan hasilnya

representatif. Hasil uji bersifat toksik/aktif terhadap A. salina Leach bila ekstrak

tumbuhan tersebut memiliki nilai LC 50 < 1000 µg/mL (Meyer dkk., 1982).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai