Anda di halaman 1dari 4

Kenaikan Harga BBM: Analisis Filsafat

Posted on 7 Juni 2008 Updated on 20 Juni 2008

Dari sekian banyak pelaku yang terlibat dalam kebijakan dan respon kenaikan harga BBM, kita
dapat memilahnya menjadi 5 kelompok. Pertama, Pihak Pemerintah yang berposisi sebagai
pengambil kebijakan. Kedua, masyarakat biasa yang terdiri dari petani, pengusaha, nelayan, dan
agamawan yang menjadi objek dari kebijakan pemerintah. Ketiga, Politisi yang berperan
mengkritisi kebijakan pemerintah dalam kaitan dampaknya bagi rakyat. Keempat, akademisi dan
pengamat yang coba memberikan tinjauan rasional terhadap kebijakan kenaikan BBM. Kelima,
aktivis mahasiswa dan serikat pekerja, yang cendrung menghadapi situasi dengan pendekatan
demonstrasi turun ke jalan.

Pada bagian ini penulis akan lebih menilisik pada 2 kubu yang berseberangan yaitu Pihak
Pemerintah dengan sebagian Akademisi/Pengamat. Argumen yang disampaikan oleh Pemerintah,
kenaikan BBM merupakan upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan APBN negara yang
banyak dihabiskan oleh subsidi bagi BBM. Naiknya harga minyak dunia memaksa pemerintah
mesti melakukan penyesuaian terhadap harga minyak di dalam negeri. Meskipun kenaikan
berdampak positif dari sisi bertambahnya pendapat negara dari penjualan minyak mentah, tetap
saja belum sebanding dengan subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk menurunkan harga
minyak dalam negeri.

Di sisi lain, para akademisi melihat kebijakan pemerintah menaikan harga BBM adalah bentuk
tunduknya pemerintah terhadap koorporasi asing. Pandangan ini dipresentasikan dalam pernyataan
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Revrisond Baswir, “Selama ini ada ideologi asing
yang menyusupi sistem perekonomian Indonesia. Ideologi kapitalisme yang tidak memihak rakyat
itu dibungkus agar seolah sesuai dengan nilai Pancasila. Maka terbentuk ideologi baru
“Kapitalisme Pancasila”. Kenaikan BBM dan kebijakan tak prorakyat lainnya merupakan bentuk
kongkrit ideologi tersebut.”

Alasan pemerintah menaikan harga BBM karena naiknya harga minyak dunia sangat erat
kaitannya dengan arus globalisasi yang menyeruak beberapa dekade ini. “Dalam sebuah definisi
dikatakan, globalisasi pada pokoknya berarti proses interkoneksi yang terus meningkat di antara
berbagai masyarakat sehingga kejadian-kejadian yang berlangsung di sebuah negara
mempengaruhi negara dan masyarakat lainnya. Dunia yang terglobalisasi adalah dunia di mana
peristiwa-peristiwa politik, ekonomi, budaya dan sosial semakin terjalin erat dan merupakan dunia
di mana kejadian-kejadian tersebut berdampak semakin besar (Rais: 11-12).

Hingga saat ini pemerintah Indonesia masih menjalin kerjasama bantuan dengan Bank Dunia dan
IMF. Menurut IMF, “ekonomi pasar bebas menjamin efisiensi lewat kompetisi atau persaingan
dan pembagian kerja. Pembagian kerja dan spesialisasi komoditas ekonomi akan memungkinkan
masyarakat untuk memusatkan perhatian dan pekerjaan pada apa yang paling baik buatnya.
Menurut Bank Dunia, “inti globalisasi ekonomi adalah proses sharing kegiatan ekonomi dunia
yang berjalan melanda semua masyarakat di berbagai negara dengan mengambil 3 bentuk kegiatan,
yaitu perdagangan internasional, investasi asing langsung, dan aliran pasar modal” (Rais: 12-13).

Hubungan Indonesia dengan IMF dan Word Bank, pada masa krisis, membuat pemerintah mesti
merealisasikan 10 resep mujarab dari lembaga keuangan internasional itu yang terkenal dengan
sebutan Konsensus Washington. Konsensus ini berisikan:
1. Perdagangan bebas.
2. Liberalisasi pasar modal.
3. Nilai tukar mengambang.
4. Angka bunga ditentukan pasar.
5. Deregulasi pasar.
6. Transfer aset dari sektor publik ke sektor swasta.
7. Fokus ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial.
8. Anggaran berimbang.
9. Reformasi pajak.
10. Perlindungan atas hak milik dan hak cipta, (Rais: 15).

Persetujuan pemerintah terhadap kebijakan ini telah dirasakan dampaknya. Kenaikan harga BBM
merupakan akibat turunan terutama poin 6, 7 dan 8. Banyak yang menyesalkan tindakan
pemerintah menaikan harga BBM karena berasumsi negara kita kaya akan minyak. Ketika rakyat
masih menderita secara ekonomi, kenapa pemerintah tega melakukan kebijakan yang seolah-olah
tidak memikirkan nasib rakyat. Ternyata, kekayaan negara ini yang semestinya dimiliki oleh sektor
publik, telah dikuasai oleh koorporat swasta asing.

Seruan pakar ekonomi yang melihat subsidi BBM tidak mesti dikurangi karena ada pos-pos
pemasukan lain yang bisa menutupi, ternyata tidak juga digubris oleh pemerintah. Di sinilah
kekuatan konsensus no 7 bermain. Subsidi untuk sektor publik tidak boleh diberikan dalam
proporsi yang terlalu besar. Subsidi BBM yang mencapai angka 100-an triliyun Rupiah, tidak baik
bagi Anggaran Berimbang (konsensus no 8), karena akan menghambat distribusi budget untuk
pembangunan sosial lainnya.

Pengamat dan akademisi memandang kebijakan pemerintah menaikan harga BBM lebih banyak
mudarat dari pada manfaatnya. Ichsanuddin Noorsy, Pengamat kebijakan publik, “Kenaikan BBM
sama artinya dengan upaya pemerintah mengalihkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas
ke kelas menengah ke bawah. Sementara daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah akan
terpangkas sebesar 35 persen akibat efek ganda kenaikan harga BBM dan inflasi”. Senada dengan
Noorsy, Revrisond menilai tindakan pemerintah ini merupakan kekalahan ideologi ekonomi
kerakyatan atas ideologi ekonomi liberal akibat lembeknya pemerintah terhadap tekanan koorporat
asing.

Jika kita lihat pandangan para akademisi dan praktisi yang menolak kenaikan harga BBM maka
pemikiran mereka membawa kita pada persoalan bagaimana fungsi negara dalam hal pemberian
pelayanan kepada rakyatnya. Melisik lebih jauh, tepat kiranya kita menarik analisis-analisis kontra
tersebut dalam pembahasan ideologi politik negara. Dalam term filsafat politik kita mengenal
istilah welfare state. Welfare state adalah gagasan yang dirintis oleh Prusia di bawah Otto Von
Bismarck sejak tahun 1850-an. Encyclopedia Americana disebutkan bahwa welfare state adalah
bentuk pemerintahan di mana negara di anggap bertanggungjawab untuk menjamin standar hidup
minimum bagi setiap warganya (Husodo: 8).

Konsep ini telah membuat banyak negara yang menganutnya menjadi negara yang makmur dan
kaya, terutama di negara Amerika Utara dan Eropa Barat. Rakyat di negara tersebut menikmati
pelayanan dari negara di bidang kesehatan dengan program asuransi kesehatan, sekolah gratis
sampai sekolah lanjutan atas bahkan di Jerman sampai Universitas; penghidupan yang layak dari
sisi pendapatan dan standar hidup; serta jaminan hari tua yang memadai; orang menganggur serta
orang yang tidak produktif menjadi tanggungan negara dan sistem transportasi yang murah dan
efisien (Husodo:8).

Menurut penulis, arus logika yang dibangun oleh pemerintah dalam menaikan harga BBM dapat
diterima dalam kerangka hubungan sebab-akibat dan bisa diakomodir dalam hitungan ekonomi.
Sementara, para pengamat lebih jauh melihat pada titik keberpihakan pemerintah.

Posisi dilematis pemerintah disebabkan keadaan negara yang serba lemah di segala bidang. Selain
disusupi oleh kaki tangan kepentingan asing, ternyata secara mental bangsa ini sangat rapuh.
Kedatangan globalisasi ekonomi yang punya power teramat kuat telah menjadikan rakyat dari
sebagai korban pemerintah. Hal ini telah diingatkan oleh Noam Chomsky, “Globalisasi yang tidak
memprioritaskan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam
bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolitis. Globalisasi semacam ini didasarkan
atas konsentrasi kekuasaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggung
jawab pada publik.” (Rais: 22)
Tarik ulur antara adaptasi ekonomi dunia dengan perlindungan terhadap rakyat menjadi diskursus
yang tidak sederhana. Hal ini membawa kita kepada pertanyaan, apakah fungsi negara terkait
dengan kesejahteraan rakyatnya.

Kenaikan BBM jelas-jelas akan memperberat beban rakyat secara ekonomi. Akibatnya potensi
ketimpangan dan kejahatan sosial meningkat pula. Sekarang kita perlu jawaban filosofis
menghadapi kondisi ini. Jawaban sabar yang seringkali meninabobokan masyarakat telah
menjadikan kemiskinan dan keterpurukan semakin menjadi-jadi.

Negara yang didirikan oleh suatu bangsa, bermaksud untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat
yang bernaung di dalamnya. Upaya menyengsarakan rakyat oleh pemerintah melalui kebijakan
tidak berpihak pada rakyat, secara tidak langsung menciderai tujuan pendirian negara. Pemerintah
yang dipilih oleh rakyat dengan harapan mampu membawa perubahan kepada kebaikan memegang
tanggung-jawab politis yang akan selalu ditagih.

Namun, pemerintah sebenarnya merupakan bentuk dari representasi potret rakyat. Pemerintah
yang membeo pada kekuatan asing adalah cerminan bahwa rakyat juga belum mandiri dan
merdeka dari desakan kepentingan di luarnya. Pemerintah yang korup dan suka menjual kekayaan
negara, adalah cerminan masyarakat yang opurtunis menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi
kepentingan kelompok dan pribadi.

Keterpurukan ekonomi sesungguhnya timbul dari jiwa-jiwa yang masih bermental budak.
Kemalasan yang melanda tubuh bangsa ini teramat kronis, sehingga membuatnya semakin lemah.
Malas dan mental kerupuk, telah menjalar di berbagai sektor. Sehingga ketika kesulitan dan
problematika menghadang, respon yang mengemuka adalah kutukan akan nasib dan pengharapan
yang berlebihan kepada orang lain yang dianggap mampu membawa dirinya terlepas dari himpitan
beban. Keluguan kita akan kebaikan orang lain telah membawa kita menjadi sapi perahan “sang
penolong”. Karena terus dihisap dan membiarkan diri terpaku, bangsa ini semakin lemah dan apa
yang dia punyai perlahan telah tergadaikan dengan harga yang sangat murah.

Kenaikan harga BBM, di satu sisi adalah tantangan bagi masyarakat untuk semakin meningkatkan
taraf hidupnya. Memang ada yang mengatakan kemiskinan yang terjadi saat ini diakibatkan sistem
yang tidak pro rakyat. Namun, jika terus menyalahkan sistem yang entah sampai kapan akan
berubah, tanpa bekerja keras dan memilih menjadi pengemis, sama saja membunuh diri.

Resesi ekonomi yang ditandai ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari adalah bagian dari sejarah krisi suatu bangsa. Dan tiadalah jalan untuk menghentikannya
kecuali merubah cara memandang hidup.

Di satu sisi kelompok yang pro selalu melandaskan kebijakan ini sebagai arus logika ekonomi
yang wajar terkait arus yang berlaku pada pasar dunia. Sedangkan kelompok yang kontra dengan
penuh gairah menyatakan bahwa kenaikan harga bbm adalah bentuk tekanan globalisasi ekonomi
dimana pemerintah tidak mampu menghadapi koorporat asing dan tidak mampu menjalankan
fungsi menyejahterakan rakyat sebagaimana konsep negara welfare state yang menjadi konsep
negara ideal menurut kalangan kontra.

Letak ketidakpuasan penulis terhadap tinjauan kelompok yang kontra tersebut adalah pada masih
dangkalnya asumsi yang dikemukan terkait dengan fenomena globalisasi ekonomi terkait dengan
kapitalisme. Dimana arahan yang hendak dicapai suatu tesis bahwa bangsa ini masih dijajah
sehingga perlu ada perlawanan terhadap penjajahan tersebut. selain itu, tawaran solusi yang
ditawarkan cendrung tidak matang, karena masih mengambil asumsi Marx tentang teori konflik
kelas. Dimana untuk melawan kapitalisme perlu adanya mobilisasi massa dalam hal ini kelas
proletar yang menjadi kelompok masyarakat dirugikan oleh kebijakan kapitalis. Belum lagi,
penjelasan tentang posisi negara terkait globalisasi belum dijelaskan secara rinci.

Menurut penulis ada baiknya kita merujuk pada pandangan Jurgen Habermas terkait pembahasan
filosofis mengenai studi kasus kenaikan harga bbm. Menurut Habermas, saat ini negara kapitalis
yang kita hadapi adalah kapitalis akhir. Dimana kecendrungan yang terjadi kapitalisme bukan lagi
alat hukum ekonomi dan bukan pula sebagai agen sistematik kapitalis ekonomi. Kapitalisme yang
dipahami selama ini meletakan kekuasaan intranegara melalui koorporasi transnasional telah
mereduksi kekuasaan negara. Sedangkan kapitalisme akhir dihadapkan pada keharusan negara
untuk turut campur tangan dalam menjembatani persaingan pasar yang semakin lebar. Negara
dalam kapitalisme akhir diletakan pada posisi yang kuat sebagai sebuah sistem yang memiliki
kekuasaan yang sah. Anggaran menunjukkan beban konsumsi masyarakat yang secara tidak
langsung dibebankan pada produksi (untuk perumahan, transportasi, kesehatan, waktu, waktu
senggang, pendidikan umum, dan jaminan sosial).

Oleh karena itu, aparat negara mempunyai dua tugas sekaligus yakni dia harus memungut pajak
yang perlu dari keuntungan dan pendapatan serta menggunakannya secara efisien guna mencegah
krisis yang akan menganggu pertumbuhan (Macridis: 410-411).

Menurut analisis Habermas, letak penentu mekanisme bukan lagi terletak pada pasar. Namun, di
tangan aparatur negaralah yang bisa mengambil alih fungsi penganti dan pelengkap yang selama
dijalankan pasar.defisit dalam rasionalitas administratif terjadi ketika negara tidak mampu
merekonsiliasi dan mengeluarkan perintah yang keluar dari sistem ekonomi. Inilah yang
sebenarnya terjadi pada pemerintah kita. Argumen bahwa situasi ekonomi dunia berpengaruh
besar terhadap kebijakan nasional sebenarnya bisa direduksi efek negatifnya ketika negara mampu
keluar dari sistem yang ada (McCarthy:477-478).

Negara bisa melindungi dirinya menjadi korban kapitalis globalisasi ekonomi. Saat ini terdapat
suatu kesadaran umum bahwa distribusi kesejahteraan sosial, sangat bergantung pada kebijakan
pemerintah dan pada negosiasi kompensasi dan kewajiban yang bersifat quasi politik (McCarthy:
480).

Ada suatu persoalan mendasar yang masih perlu dipecahkan oleh pemerintah kita saat ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh Habermas, yaitu bagaimana mendistribusikan produk sosial
secara tidak setara namun sah. Karena keadilan pasar tidak lagi bisa dipegang, maka program-
program penganti multak dibutuhkan (McCarthy: 480). Dari asumsi inilah program BLT lahir.
BLT merupakan bentuk kompensasi pemerintah atas ketidakadilan yang terjadi dengan
memberikan perlakuan khusus kepada masyarakat miskin sehingga legitimasi pemerintah tetap
dipertahankan di mata rakyat.

Daftar Pustaka

 Habermas, Jurgen. 1996. “Krisis Legitimasi”. Dalam Macridis, Roy. C dan Bernard E.
Brown. Perbandingan Politik. Terjemahan A.R . Henry Sitanggang, SH. Penerbit
Erlangga: Jakarta.
 Husodo, Yudo Siswono. 2006. “Pancasila: Jalan Menuju Negara Kesejahteraan”. Dalam
Editor. Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa. Pusat
Studi Pancasila UGM: Yogyakarta.
 McCarthy, Thomas. September 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Terjemahan Nuhadi.
Penerbit Kreasi Wacana: Yogyakarta.
 Rais, Muhammad Amin. Cetakan Ekstra April 2008. Agenda-Agenda Bangsa:
Selamatkan Indonesia!. PPSK Press: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai