Anda di halaman 1dari 58

TUGAS MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

“ KONSEPTUAL DAN ASUHAN KEPERAWATAN REGIMEN


TERAPEUTIK BESERTA SKENARIO ROLE PLAY“

DOSEN PENGAMPU :
Ns.Notesya A. Amanupunnyo, S.Kep., M.Kes

Disusun Oleh :
TINGKAT III B
Kelompok I (Satu)
1. SYARIFAH SALWA ALHAMID
2. SHARON HELYANAN
3. YANTI RAHAWARIN
4. ISTIHARA RENYAAN
5. JOSMAILY THEO ANMAMA
6. MARIA IMACULATA MATURBONGS
7. FABIOLA KASIHIW
8. INTAN CLARCE UBWARIN
9. KARTINI ELWAHAN
10. FENTHI SALAMUN
11. SITTI RUMBESI
12. THEOVANNY A. MANUPUTTY

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Politeknik Kesehatan Kemenkes Maluku
Program Studi Keperawatan Tual
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT, yang telah

memberikan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul “Konseptual dan Asuhan

Keperawatan Regimen Teraupetik beserta Skenario Role Play “.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu. Ns. Notesya A.

Amanupunnyo, S.Kep.,M.Kes selaku dosen mata kuliah

Keperawatan Jiwa, karena telah memberikan tugas ini kepada kami

serta membimbing kami dalam menyelesaikan tugas ini. Tak lupa

kami ucapkan teri kasih kepada semua rekan yang telah membantu

dalam penyelesaian tugas makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang

bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga

makalah ini dapat memberikan pemikiran serta kelancaran tugas

kami selanjutnya dan dapat berguna bagi semua pihak.

Tual, September 2019

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................i

KATA PENGANTAR .........................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................1

1. LATAR BELAKANG.................................................................2

2. RUMUSAN MASALAH.............................................................3

3. TUJUAN PENULISAN..............................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................4

A. Defenisi Regimen Terapeutik...................................................4

B. Jenis dan Penyebab Regimen Teraupetik...............................5

C. Tanda dan Gejala Regimen Terapeutik.................................13

D. Proses Terjadinya Regimen Teraupetik.................................13

E. Akibat dan Rentang Respon Regimen Teraupetik.................15

F. Mekanisme Koping Regimen Teraupetik...............................20

BAB III KONSEPTUAL ASUHAN KEPERAWATAN REGIMEN

TERAUPETIK..................................................................25

A. Pohon Masalah Regimen Teraupetik.....................................26

B. Pengkajian Keperawatan Regimen Teraupetik......................26

C. Diagnosa Keperawatan Regimen Teraupetik........................32

D. Rencana Keperawatan Regimen Teraupetik.........................33

E. Implementasi Keperawatan Regimen Teraupetik..................39

iii
F. Evaluasi Keperawatan Regimen Teraupetik..........................39

G. Penatalaksanaan Keperawatan Regimen Teraupetik............41

H. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)...............42

I. Strategi Komunikasi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan...43

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN........................................................................53

B. SARAN...................................................................................54

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik yang dapat

menghambat produktivitas individu dalam kehidupannya.

Gangguan jiwa memang bukan sebagai penyebab

kematian secara langsung, tetapi akibat yang ditimbulkan

dapat menyebabkan penurunan kemampuan dan fungsi baik

secara individu maupun kelompok. Selain itu dapat juga

menghambat pembangunan karena gangguan jiwa

dianggap tidak produktif dan tidak efisien serta

memiliki cost, yang tinggi untuk keperawatan

d a n pengobatannya (Setyonegoro, 1999 dalam Hawari 2001).

Penatalaksanaan regimen terapeutik akan menjadi

efektif selainterapi psikofarmaka yang diberikan seorang

dokter maka seorang perawat juga memiliki andil besar.

Asuhan keperawatan yang diberikan dengan

penatalaksanaan regimen terapeutik akan efektif salah

satunya perawat sebagai pendidik tentang obat pada klien dan

keluarga. Regimen terapi membutuhkan waktu yang lama

efektifitas obat y a n g o p t i m a l d i c a p a i d a l a m w a k t u

tertentu, sehingga dibutuhkan kepatuhan

1
2

(compliance) dan ketekunan dari klien dalam

menjalani pengobatan. Menurut Herdman salah satu

kriteria hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan

regimen terapeutik yang efektif adalah perilaku

kepatuhan.

Secara umum, ketidakpatuhan terhadap regimen terapeutik

adalah masalah substansial yang harus diatasi

untuk membantu individu berpartisipasi dalam

perawatan diri dan mencapai tingkat kesehatan

potensial yang maksimal (Brunner dan Suddart

2002.) Misalnya ketidakpatuhan minum obat dapat

meningkatkan resiko berkembang nyam a s a l a h

kesehatan atau memperpanjang dan

m e m p e r b u r u k d a n memperburuk kesehatan yang diderita.


3

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang sebelumnya, dapat ditarik rumusan

masalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana Konsep Teori Regimen Terapeutik?

1.2.2 Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien

dengan Regimen Terapeutik ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk Mengetahui Konsep Regimen Terapeutik

1.3.2 Untuk Mengetahui Penerapan Asuhan Keperawatan

pada Pasien dengan Regimen Terapeutik


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Teori Regimen Terapeutik

2.1.1 Defenisi Regimen Terapeutik

Regimen terapeutik sendiri merupakan pola pengaturan dan

penyatuan program pengobatan dan sekuel penyakit yang tidak

memuaskan kedalam hidup sehari-hari untuk memenuhi tujuan

kesehatan tertentu (Nanda 2007). Sedangkan menurut hasil dari

Workshop dari kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK UI

tahun 2011 Regimen Terapeutik adalah ketidakmampuan

mematuhi program terapi yang telah ditentukan baik kualitas dan

kuantitasnya dari pengobatan yang dijalankannya.

Regimen terapeutik adalah pengobatan yang terputus pada

saat dirumah sehingga terapi yang dijalani oleh pasien berhenti

yang mengakibatkan gangguan jiwa yang dialami pasien terjadi

kembali (Wardani, 2012). Terapi utama dalam keperawatan jiwa.

Terapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari

perilaku maladaptif menjadi perilaku adaptif. Sebagai titik tolak

terapi atau penyembuhan (Eko Prabowo, 2014).

Manajemen regimen terapeutik adalah pola dalam mengatur

dan mengintegrasikan progam terapi ke dalam kehidupan yang

4
5

memuaskan dan mencukupi sesuai dengan tujuan pemulihan

kesehatan yang ingin dicapai. (NANDA, 2010).

2.2 Penyebab dan Jenis Regimen Terapeutik

2.2.1 Penyebab Regimen Terapeutik

2.2.1.1 Kompleksitas regimen : banyaknya obat yang harus

diminum dan toksisitas serta efek samping obat dapat

merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian

terapi pasien. Secara umum, semakin kompleks

regimen pengobatan, semakin kecil kemungkinan

pasien akan mematuhinya. Indikator dari kompleksitas

dari suatu pengobatan adalah frekuensi pengobatan

yang harus dilakukan oleh pasien itu sendiri, misalnya

frekuensi minum obat dalam sehari. Pasien akan lebih

patuh pada dosis yang diberikan satu kali sehari

daripada dosis yang diberikan lebih sering, misalnya

tiga kali sehari. (Badan POM RI, 2006 : 3).

2.2.1.2 Faktor Predisposisi

a. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat

menimbulkan frustasi yang kemudian dapat

timbul agresif atau amuk.

b. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat

melakukan kekerasan sering mengobserpasi


6

kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua

aspek ini menstimulasi individu mengadopsi

perilaku kekerasan

c. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas

secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial

yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan

akan menciptakan seolah-olah perilaku

kekerasan diterima.

d. Bioneorologis, banyak pendapat bahwa

kerusakan sistem limbik, lobus prontal, lobus

temporal, dan ketidakseimbangan

neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya

kekerasan (Wardani, 2012).

2.2.1.3 Faktor Presipitasi : Karena ketidak kooperatifan

pasien dalam melakukan terapi obat seperti bosan

meminum obat dan terjadi depresi dan

keputusasaan. Karena ketidak kooperatifan

keluarga dalam melakukan pemberian terapi

dikarenakan malu dan mengucilkan. Keluarga

merupakan faktor yang sangat penting dalam

proses kesembuhan pasien gangguan jiwa.

Keluarga merupakan lingkungan terdekat pasien.


7

Dengan keluarga yang bersikap terapeutik dan

mendukung pasien, masa kesembuhan pasien

dapat dipertahankan selama mungkin. Sebaliknya,

jika keluarga kurang mendukung, angka

kekambuhan menjadi lebih cepat. Berdasarkan

penelitian ditemukan bahwa angka kambuh pada

pasien gangguan jiwa tanpa terapi keluarga

sebesar 25-50%, sedangkan angka kambuh pada

pasien yang mendapat terapi keluarga adalah

sebesar 5-10% (Ulpa, 2012)

2.2.2 Jenis Regimen Terapeutik

a. Farmakologi

Nerolepetik dengan dosis efektif lebih rendah lebih

bermanfaat pada pasien dengan skizofrenia yang

menahun, yang dengan dosis efektif tinggi lebih

berfaedah pada pasien dengan psikomotorik yang

meningkat. Dengan fenotiazin biasanya waham dan

halusinasi hilang dalam waktu 2-3 minggu. Bila masih

tetap ada waham dan halusinasi maka penderita tidak

begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif

mau ikut serta dengan kegiatan lingkungan dan mau

turut terapi kerja. Penanganan pasien gangguan jiwa


8

dengan cara ini adalah dengan memberikan terapi

obat-obatan yang akan ditujukan pada gangguan fungsi

neuro-transmitter sehingga gejala-gejala klinis tadi

dapat dihilangkan. Akibat dari pasien tidak

mengonsumsi obat secara teratur kemudian putus obat

sehingga pasien depresi, dan gangguan jiwa yang di

alami klien kambuh (Akemat, dkk; 2008). Terapi obat

diberikan dalam jangka waktu relatif lama, berbulan

bahkan bertahun.

b. Terapi Elektro Konvulsi

Pada permulaan (untuk konvulsi yang pertama kali bagi

seorang pasien) biasanya dipakai 100-150 V dan 0,2-

0,3 detik konvulsator yang pertama dan 4J dengan 2-3

detik dengan konvulsator yang kedua, bila tidak terjadi

konvulsi langsung diulangi dengan voltase yang sama

atau bila sudah terputus beberapa detik lamanya,

dengan voltase yang lebih tinggi, kita dapat mengulang

hingga 3x, bila tidak juga terjadi konvulasi sebaiknya

terapi ditunda sampai esok hari.


c. Psikoterapi
Terapi kejiwaan yang harus diberikan apabila pasien

telah diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai

tahapan di mana kemampuan menilai realitas sudah


9

kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik.

Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya antara lain

psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan

dorongan, semangat dan motivasi agar pasien tidak

merasa putus asa dan semangat juangnya. Psikoterapi

Re-eduktif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan

ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan

pendidikan di waktu lalu, psikoterapi rekonstruktif

dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian

yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian

utuh seperti semula sebelum sakit, psikologi kognitif,

dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif

(daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga pasien

mampu membedakan nilai- nilai moral etika. Psikoterapi

perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan

perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu

menyesuaikan diri, psikoterapi keluarga dimaksudkan

untuk memulihkan pasien dan keluarganya. Pasien

kurang mendapat dukungan untuk melakukan terapi

pemecahan masalah dirinya sendiri sehingga pasien

mudah untuk stres (Maramis, 1990)


d. Terapi Psikososial
10

Dengan terapi ini dimaksudkan pasien agar mampu

kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan

mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung

pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga.

Pasien selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya

masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka. Pasien

dengan gangguan jiwa yang hampir sembuh hendaknya

mendapat dukungan dari lingkungaan dan masyarakat

agar kejiwaan klien bisa sembuh jika msayarakat dan

lingkungan belum bisa menerima maka pasien akan

merasa di kucilkan sehingga pasien menarik diri dan sulit

untuk bersosialisasi ( Hawari, 2007).

e. Rehabilitasi

Rehabilitasi penting dilakukan sebagai persiapan

penempatan kembali ke keluarga dan masyarakat.

Program ini biasanya dilakukan dilembaga institusi

rehabilitasi misalnya di RS. Jiwa, dalam program

rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain :

menjalankan kegiatan kesenian, terapi fisik berupa

olahraga, ketrampilan, rekreaksi, menjalankan ibadah

keagamaan bersama. Pada umumnya program

rehabilitasi berlangsung 3-6 bulan. Secara berkala


11

dilakukan evaluasi paling sediki dua kali yaitu sebelum

pasien mengikuti program rehabilitasi dan evaluasi pada

saat pasien akan dikembalikan ke keluarga (Hawari, 2007)


f. Terapi ECT
ECT adalah suatu jenis pengobatan dimana arus

listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2

elektrode yang ditempelkan pada bagian temporal kelapa

( pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan

kejang grandmal yang berlangsung 25-30 detik dengan

tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya diotak

menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia

dalam otak. Indikasi terapi ECT pada klien dengan

skizofrenia,maniak,depresi mayor. Mekanisme kerja dari

terapi ECT yaitu sebenarnya belum diketahui ,

diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-

perubahan biokimia dan faal didalam otak jadi bukan

kejang yang ditampilkan secara motorik melainkan respon

bangkitan listrik diotak.


Efek samping yang terjadi pada pasien yang dilakukan

terapi ECT adalah Mortalitas, Efek pada Susunan saraf

pusat, Efek sistemik. Resiko dalam pemberian terapi ECT

adalah Kematian, Kerusakan otak, Kehilangan memori

permanen. Pemberian ECT biasanya diberikan dalam satu

seri yang terdiri dari 6-12 kali ( kadang diperlukan sampai


12

20 kali) pemberian dengan dosis 2-3 kali perminggu.

(Ulpa, 2012)

g. Terapi Psikoreligius

Terapi keagamaan ini berupa kegiatan ritual keagamaan

seperti sembahyang, berdoa, mamanjatkan puji-pujian

kepada Tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab suci.

Menurut Ramachandran dalam Yosep( 2007), telah

mengatakan serangkaian penenelitian terhadap pasien

pasca epilepsi sebagian besar mengungkapkan

pengalaman spiritualnya sehingga semua yang dirasa

menjadi sirna dan menemukan kebenaran tertinggi yang

tidak dialami pikiran biasa merasa berdekatan dengan

cahaya illahi. Disaat pasien mendapat masalah pasien

tidak pernah meluruskannya dengan beribadaah sehinnga

klien gampang untuk stres.

2.2.3 Tanda dan Gejala Regimen Terapeutik


13

Gejala-gejala awal pasien yang menderita regimen terapeutik

sangat banyak wujudnya tidak menyangkut kondisi fisik, bisa

berupa:
2.2.3.1 Emosional tidak stabil.
2.2.3.2 Kemampuan berhubungan interpersonal menurun.
2.2.3.3 Halusinasi, agresi, waham, delusi, menarik diri

meningkat.
2.2.3.4 Perilaku sulit diarahkan.
2.2.3.5 Proses berpikir kearah tidak logis .(Ulpa, 2012)

2.2.4 Proses Terjadinya Regimen Terapeutik

Karena pasien gangguan jiwa kurang mendapat dukungan

dari keluarga untuk melakukan terapi atau pengobatan dan

masyarakat belum bisa menerima keadaan pasien setelah

keluar dari rumah sakit jiwa dan pasien merasa cemas, mudah

marah, sering menyendiri dan stress sehingga menjadi

gangguan jiwa. Akibat pola pikir yang keliru di masyarakat,

banyak keluarga pasien penyakit jiwa yang tidak mau

menerima anggota keluarganya setelah sembuh secara

medis. Akhirnya, penyakit pasien kambuh dan terpaksa

dirawat kembali ke rumah sakit (Budi dan Akemat, 2007).

Stressor predopsisi adalah semua ketegangan dalam

kehidupan yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan.

Ketegangan kehidupan tersebut dapat berupa:


2.2.4.1 Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya

kecemasan berkaitan dengan krisis yang dialami


14

individu baik krisis perkembangan ataupun

situasional
2.2.4.2 Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak

terselesaikan dengan baik


2.2.4.3 Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan

untuk mengambil keputusan yang berdampak

terhadap ego
2.2.4.4 Pola mekanisme koping keluarga atau menangani

pasien akan mempengaruhi individu dalam respon

terhadap konflik (Hawari, 2007)


2.2.4.5 Fase Prodomal : Berlangsung antara 6 bulan

sampai 1 tahun. Gangguan dapat berupa Self

care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam

pekerjaan,gangguan fungsi sosial, gangguan

pikiran dan persepsi.


2.2.4.6 Fase Aktif : Berlangsung kurang lebih 1 bulan.

Gangguan dapat berupa gejala psikotik;

Halusinasi, delusi, disorganisasi proses

berfikir,gangguan bicara, gangguan perilaku,

disertai kelainan neurokimiawi


2.2.4.7 Fase Residual : Kien mengalami minimal 2 gejala;

gangguan afek dan gangguan peran, serangan

biasanya berulang. (Hawari,2007)

2.2.5 Akibat dan Rentang Respon Regimen Terapeutik


15

2.2.5.1 Akibat Regimen Terapeutik

Dampak atau akibat yang dirasakan pada pasien karena

ketidakpatuhan terhadap terapi obat (regimen terapeutik)

menyebakan kekambuhan emapt kali lebih tinggi, pasien yang

kambuh karena tidak minum obat, membutuhkan waktu lebih

dari satu tahun untuk kembali secara intensif (Hawari, 2007)

Dampak-dampak gangguan jiwa bagi keluarga, seperti:


a. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang

menderita gangguan jiwa, pihak anggota keluarga lain

menolak pasien tersebut dan menyakini memiliki

penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota

keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada

mereka cintai. Pada proses awal, keluarga akan

melindungi orang yang sakit dari orang lain dan

menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit untuk

perilaku tidak dapat diterima dan kurangnya prestasi.

Sikap ini mengarah pada ketegangan dalam keluarga,

dan isolasi dan kehilangan hubungan yang bermakna

dengan keluarga yang tidak mendukung orang yang

sakit. (Rahmawati, 2015)


b. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa

tidak semua dalam anggota keluarga mengetahuinya.


16

Keluarga menganggap pasien tidak dapat

berkomunikasi layaknya orang normal lainnya.

Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak

nyaman untuk mengundang pasien dalam kegiatan

tertentu. Hasil stigma dalam begitu banyak di kehidupan

sehari-hari, Tidak mengherankan, semua ini dapat

mengakibatkan penarikan dari aktif berpartisipasi dalam

kehidupan sehari-hari
c. Frustrasi, Tidak berdaya dan Kecemasan
Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran

aneh dan tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini

membingungkan, menakutkan dan melelahkan. Bahkan

ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan

kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota

keluarga memahami kesulitan yang pasien miliki.

Keluarga dapat menjadi marah marah, cemas, dan

frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke

rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan


d. Kelelahan
Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan

dengan orang yang dicintai yang memiliki penyakit

mental. Mereka mungkin mulai merasa tidak mampu

mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang

harus terus-menerus dirawat. Namun seringkali,


17

mereka merasa terjebak dan lelah oleh tekanan dari

perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada satu

anggota keluarga mungkin merasa benar-benar di luar

kendali. Hal ini bisa terjadi karena orang yang sakit

ini tidak memiliki batas yang ditetapkan di tingkah

lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan kembali

bahwa dalam merawat pasien tidak boleh merasa

letih, karena dukungan keluarga tidak boleh berhenti

untuk selalu men-support pasien.

e. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai

memiliki penyakit mental. Penyakit ini mengganggu

kemampuan seseorang untuk berfungsi dan

berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan

sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus.

Keluarga dapat menerima kenyataan penyakit yang dapat

diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan. Keluarga

berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk

disembuhkan dan melihat pasien memiliki potensi

berkurang secara substansial bukan sebagai yang

memiliki potensi berubah (Rahmawati, 2015)


18

2.2.5.2 Rentang Respon Regimen Terapeutik

Respon Respon

Adiptif Maladaptif

1. Lingkungan belum bisa


1. Pikiran Logis menerima 1. Marah
2. Persepsi akurat 2. Kurangnya dukungan 2. Frustasi
3. Emosi konsisten keluarga 3. Pasif
4. Bisa 3. Emosi berlebih atau 4. Agresif
bersosialisasi 5. Perilaku tidak
berkurang
5. Perilaku sesuai 4. Perilaku tidak biasa terorganisir
5. Pengobatan yang tidak
teratur

Jika pasien gagal dalam melakukan terapi misalkan pasien

belum bisa di trima oleh keluarga dan lingkungannya maka

kemungkinan besar pasien akan kambuh dan bisa melakukan

hal-hal seperti :

a. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai

respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak


19

terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman. Kemarahan

atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan

tampa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan

dan tidak menimbulkan masalah. Kegagalan yang

menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan

melarikan diri atau respon melawan dan menentang.

b. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan

merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk

destruktif dan masih terkontrol.

c. Mengamuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan

bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.

Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan

lingkungan.

d. Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu

untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dialami

untuk menghindari suatu tuntutan nyata. (Wahyudi, 2010).

2.2.6 Mekanisme Koping Regimen Terapeutik

Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping pasien,

sehingga dapat membantu pasien untuk mengembangkan

mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekspresikan


20

kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan

adalah mekanisme pertahanan ego seperti :

2.2.6.1 Sublimasi adalah kehendak pikiran atau tindakan

sadar yang tidak dapat di terima oleh lingkungan

atau masyarakat disalurkan menjadi aktivitas nilai

sosial yang tinggi, contoh : seseorang yang suka

berkelahi beralih menjadi atlet petinju (Hawari,

2007).

2.2.6.2 Represi adalah implus yang diterima oleh ego dari

ide tidak dapat diterima oleh kesadaran karena

ada ancaman dari super ego, sehingga

menimbulkan kecemasan. Untuk menghalau

kecemasan tersebut, ego menekan implus

tersebut kealam bawah sadar dengan kata lain

seseorang berusaha sekuat mungkin untuk

melupakan dorongan yang harus dipuaskan

sebagai sesuatu yang tidak pernah ada. ( Hawari,

2007).

2.2.6.3 Proyeksi (sumber-sumber ancaman) adalah dari

dunia luar dan bukan bersumber dari implus

primitifnya. Pengubahan menjadi lebih mudah

karena ketakutan neurotis dan ketakutan mora itu


21

kedua-duanya bersumber dari dunia luar. Proyeksi

memiliki tujuan rangkap yaitu mengurangi

ketegangan dan alasan (yang sebenarnya pura-

pura) mempertahankan diri agar daam posisi

aman ( Hawari, 2007).

2.2.6.4 Menurut Koeswara (1991:47), displacement ialah

pengungkapan dorongan yang menimbulkan

kecemasan kepada objek atau individu yang

kurang berbahaya atau kurang mengancam

dibandingkan dengan objek atau individu yang

semula. Adapun menurut Corey (2003:19)

displacement adalah suatu mekanisme pertahanan

ego yang mengarahkan energi kepada objek atau

orang lain apabila objek asal atau orang yang

sesungguhnya, tidak bisa dijangkau. Lebih lanjut

lagi, menurut Poduska (2000:119) displacement

ialah mekanisme pertahanan ego dengan mana

anda melepaskan gerak-gerik emosi yang asli, dan

sumber pemindahan ini dianggap sebagai suatu

target yang aman. Mekanisme pertahanan ego ini,

melimpahkan kecemasan yang menimpa


22

seseorang kepada orang lain yang lebih rendah

kedudukannya.

2.2.6.5 Menurut Hall dan Gardner (1993:88) pembentukan

reaksi atau reaksi formasi ialah suatu mekanisme

pertahanan ego yang mengantikan suatu impuls

atau perasaan yang menimbulkan kecemasan

dengan lawan atau kebalikannya dalam

kesadarannya. Adapun menurut Koeswara

(1991:48) ialah mekanisme pertahanan ego yang

mengendalikan dorongan-dorongan primitif agar

tidak muncul sambil secara sadar mengungkapkan

tingkah laku sebaliknya. Lebih lanjut lagi menurut

Corey (2003:20) reaksi formasi ialah mekanisme

pertahanan ego yang melakukan tindakan

berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar. Jika

perasaan-perasaan yang awal dapat menimbulkan

ancaman, maka seseorang menampilkan tingkah

laku yang berlawanan guna menyangkal

perasaan-perasaan yang bisa menimbulkan

ancaman itu. Reaksi formasi ini melakukan

kebalikan dari ketaksadaran, pikiran, dan

keinginan-keinginan yang tidak dapat diterima


23

(Poduska, 2000:121). Reaksi formasi ini

melakukan perbuatan yang sebaliknya, apabila

perbuatan yang pertama itu, bisa menimbulkan

kecemasan yang mengancam dirinya


BAB III

KONSEPTUAL ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN REGIMEN

TERAPEUTIK

A. Pohon Masalah Regimen Terapeutik

Gelisah
Regimen Terapeutik

Bosan mengonsumsi

obat
Koping Individu

Inefektif

Lemas

Koping Keluarga Tidak

Efektif dalam Merawat Klien

25
26

B. Pengkajian Keperawatan Regimen Terapeutik

Pengkajian sebagai tahap awal proses keperawatan meliputi

pengumpulan data, analisis data, dan perumusan masalah

pasien. Data yang dikumpulkan adalah data pasien secara

holistik, meliputi aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.

Seorang perawat jiwa diharapkan memiliki kesadaran atau

kemampuan tilik diri (self awareness), kemampuan

mengobservasi dengan akurat, berkomunikasi secara terapeutik,

dan kemampuan berespons secara efektif (Stuart dan Sundeen,

2002) karena hal tersebut menjadi kunci utama dalam

menumbuhkan hubungan saling percaya dengan pasien.

Hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien akan

memudahkan perawat dalam melaksanakan asuhan

keperawatan. Oleh karenanya, dapat membantu pasien

menyelesaikan masalah sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Stuart dan Sundeen (2002) menyebutkan bahwa faktor

predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor,

sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki pasien

adalah aspek yang harus digali selama proses pengkajian.


27

Secara lebih terstruktur pengkajian kesehatan jiwa meliputi hal

berikut.

a. Identitas pasien

b. Keluhan utama/alasan masuk

c. Faktor predisposisi

d. Aspek fisik/biologis

e. Aspek psikososial

f. Status mental

g. Kebutuhan persiapan pulang

h. Mekanisme koping

i. Masalah psikososial dan lingkungan

j. Pengetahuan

k. Aspek medis

Data tersebut dapat dikelompokkan menjadi data objektif dan

data subjektif. Data objektif adalah data yang didapatkan melalui

observasi atau pemeriksaan secara langsung oleh perawat. Data

subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien

dan/atau keluarga sebagai hasil wawancara perawat. Jenis data


28

yang diperoleh dapat sebagai data primer bila didapat langsung

oleh perawat, sedangkan data sekunder bila data didapat dari

hasil pengkajian perawat yang lain atau catatan tim kesehatan

lain. Setelah data terkumpul dan didokumentasikan dalam format

pengkajian kesehatan jiwa, maka seorang perawat harus mampu

melakukan analisis data dan menetapkan suatu kesimpulan

terhadap masalah yang dialami pasien. Kesimpulan itu mungkin

adalah sebagai berikut.

1. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan.

a. Pasien memerlukan pemeliharaan kesehatan

dengan follow up secara periodik, karena tidak ada

masalah serta pasien telah memiliki pengetahuan

untuk antisipasi masalah.

b. Pasien memerlukan peningkatan kesehatan

berupa upaya prevensi dan promosi sebagai program

antisipasi terhadap masalah.

2. Ada masalah dengan kemungkinan.

a. Risiko terjadinya masalah, karena sudah ada

faktor yang mungkin dapat menimbulkan masalah.


29

b. Aktual terjadi masalah dengan disertai data

pendukung.

Hasil kesimpulan tersebut kemudian dirumuskan menjadi

masalah keperawatan. Dalam merumuskan masalah sebaiknya

mengacu pada rumusan pada tabel di bawah ini.

Pernyataan Tujuan Keperawatan Fokus Intervensi

Diagnostik

Aktual Perubahan dalam Mengurangi atau

perilaku pasien menghilangkan

(beralih ke arah masalah.

resolusi diagnosis

atau perbaikan

status).

Risiko tinggi Pemeliharaan Mengurangi faktor-

kondisi yang ada. faktor risiko untuk

mencegah terjadinya

masalah aktual.
30

Pernyataan Tujuan Keperawatan Fokus Intervensi

Diagnostik

Mungkin Tidak ditentukan Mengumpulkan data

kecuali masalah tambahan untuk

menguatkan atau
divalidasi.
menetapkan tan dan

gejala atau faktor

risiko.

Masalah kolaboratif Tujuan keperawatan Menentukan awitan

atau status masalah

penatalaksanaan

perubahan status.

Sumber: Carpenito, 1997 dikutip oleh Keliat, 1999

Pasien biasanya memiliki lebih dari satu masalah

keperawatan. Sejumlah masalah pasien akan saling

berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah

(FASID, 1983; INJF, 1996). Untuk membuat pohon masalah,

minimal harus ada tiga masalah yang berkedudukan sebagai

penyebab (causa), masalah utama (core problem), dan akibat

(effect). Meskipun demikian, sebaiknya pohon masalah

merupakan sintesis dari semua masalah keperawatan yang

ditemukan dari pasien. Dengan demikian, pohon masalah


31

merupakan rangkat urutan peristiwa yang menggambarkan

urutan kejadian masalah pada pasien sehingga dapat

mencerminkan psikodimika terjadinya gangguan jiwa.

a. Masalah utama adalah prioritas masalah dari beberapa

masalah yang ada pada pasien. Masalah utama bisa

didapatkan dari alasan masuk atau keluhan utama saat

itu (saat pengkajian).

b. Penyebab adalah sal satu dari beberapa masalah yang

merupakan penyebab masalah utama, masalah ini

dapat pula disebabkan oleh salah satu masalah yang

lain, demikian seterusnya.

c. Akibat adalah salah satu dari beberapa akibat dari

masalah utama. Efek ini dapat menyebabkan efek yang

lain dan demikian selanjutnya.

C. Diagnosa Keperawatan Regimen Terapeutik

Menurut Carpenito (1998), diagnosis keperawatan adalah

penilaian klinis tentang respons aktual atau potensial dari

individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah

kesehatan/ proses kehidupan. Rumusan diagnosis yaitu


32

Permasalahan (P) berhubungan dengan Etiologi (E) dan

keduanya ada hubungan sebab akibat secara ilmiah. Perumusan

diagnosis keperawatan jiwa mengacu pada pohon masalah yang

sudah dibuat.

a. Gangguan regimen terapetik berhubungan dengan putusnya

pengkonsumsian obat.
b. Gangguan regimen terapetik inefektif berhubungan dengan

ketidakmampuan keluarga merawat pasien.


c. Gangguan regimen terapetik berhubungan dengan

keputusasaan konsumsi obat dan depresi


33

D. Rencana Keperawatan Regimen Terapeutik

Rencana tindakan keperawatan terdiri atas empat komponen, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, rencana

tindakan keperawatan, dan rasional. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian masalah (P). Tujuan ini dapat

dicapai jika tujuan khusus yang ditetapkan telah tercapai. Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi

(E). Tujuan ini merupakan rumusan kemampuan pasien yang harus dicapai. Pada umumnya kemampuan ini

terdiri atas tiga aspek, yaitu sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 2002).

TUJUAN INTERVENSI

Tujuan umum : 1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip

komunikasi terapeutik :
Pasien mau untuk mengkonsumsi

obat secara rutin dan tidak a. Sapa pasien dengan nama baik verbal dan non verbal

mengalami depresi dan


b. Perkenalkan diri dengan sopan
keputusasaan
34

c. Tanya nama lengkap pasien dan nama panggilan yang disukai

TUK 1 : d. Jelaskan tujuan pertemuan

Pasien dapat membina hubungan e. Jujur dan menepati janji

saling percaya
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima keadaan

g. Berikan perhatian kpada pasien dan perhatikan kebutuhan

Kriteria Hasil : dasar

Setelah ... X pertemuan , pasien

dapat menunjukkan rasa percayanya

kepada perawat, ada kontak mata,

mau berjabat tangan, mau

menyebutkan nama, mau


35

mengutarakan masalah yang

dihadapi

TUK 2: 1. Tanyakan pada pasien tentang :

Pasien dapat menyebutkan penyebab a. Orang yang tinggal serumah/teman sekamar pasien

ketidakkooperatifan dalam meminum


b. Orang terdekat pasien dirumah/diruang perawatan
obat

2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan

penyebab ketidakkooperatifan dalam melakukan terapi obat

Kriteria Hasil:

Setelah …X pertemuan, pasien dapat


36

menyebutkan minimal satu penyebab

ketidakkooperatifan dalam meminum

obat berasal dari :

1. Diri Sendiri

2. Orang Lain

3. Lingkungan

TUK 3 : 1. Diskusikan dengan pasien tentang kerugian dan keuntungan

tidak minum, serta karakteristik obat yang diminum (nama,


Pasien mau dan dapat menggunakan
dosis, frekuensi, efek samping minum obat)
obat dengan benar dan tepat

2. Bantu dalam menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar

pasien, obat, dosis, cara, waktu)


37

Kriteria Hasil : 3. Anjurkan pasien minta sendiri obatnya kepada perawat agar

pasien dapat merasakan manfaatnya


Setelah ..... X pertemuan pasien

dapaat menyebutkan 4. Beri reinforcement positif bila pasien menggunakan obat dengan

benar
1. Manfaat minum obat

5. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan


2. Kerugian tidak Minum
dokter
obat

6. Anjurkan pasien untuk konsultasi dengan dokter/perawat


3. Nama, warna, Dosis,
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
Efek samping obat

Setelah ... X interaksi, pasien mampu

mendemonstrasikan penggunaan

obat dan menyebutkan akibat


38

berhenti minum obat tanpa konsultasi

dokter
39

E. Implementasi Keperawatan Regimen Terapeutik

Sebelum tindakan keperawatan diimplementasikan perawat

perlu memvalidasi apakah rencana tindakan yang ditetapkan

masih sesuai dengan kondisi pasien saat ini (here and now).

Perawat juga perlu mengevaluasi diri sendiri apakah mempunyai

kemampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal sesuai

dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Setelah tidak ada

hambatan lagi, maka tindakan keperawatan bisa

diimplementasikan.

Saat memulai untuk implementasi tindakan keperawatan,

perawat harus membuat kontrak dengan pasien dengan

menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta pasien

yang diharapkan. Kemudian penting untuk diperhatikan terkait

dengan standar tindakan yang telah ditentukan dan aspek legal

yaitu mendokumentasikan apa yang telah dilaksanakan.

F. Evaluasi Keperawatan Regimen Terapeutik

Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai

efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua

macam, yaitu (1) evaluasi proses atau evaluasi formatif, yang


40

dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan (2)

evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan

membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan umum

yang telah ditetapkan.

Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai

berikut.

S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan

yang telah dilaksanakan.

O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan

yang telah dilaksanakan.

A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk

menyimpulkan apakah masalah masih tetap ada, muncul

masalah baru, atau ada data yang kontradiksi terhadap

masalah yang ada.

P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.


41

G. Penatalaksanaan Keperawatan Regimen Terapeutik

Penatalaksanaan regimen terapeutik merupakan

ketidakmampuan klien mematuhi, menjalankan dan

mengambil tindakan pada perogam pengobatan untuk

mencapai peningkatan status kesehatan kedalam rutinitas

sehari-hari. (Wardani, 2012)Penatalaksanaan regimen terapeutik

tidak efektif menurut Mc Closkey dan Bulechek (2008) sebagai

berikut:

a. Pendidikan kesehatan mengenai proses penyakit dan

prosedur perawatan

b. Restrukturisasi kognitif dan modifikasi perilaku

c. Hubungan baik antara klien dengan petugas

kesehatan melalui konseling, intervensi krisis, memberi

dukungan emosional dan keluarga

d. Memperbaiki sistem kesehatan

e. Identifikasi terhadap faktor resiko dan memberi

bantuan self modifikasion (Ulpa, 2012)


42

H. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (SP)

Pertemuan 1
1. Proses keperawatan
a. Kondisi pasien
Gelisah, bosan, lemas
b. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan regimen terapeutik berhubungan dengan

putusnya pengkonsumsian obat


c. Tujuan Khusus
1) Pasien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria hasil:
a) Pasien dapat menunjukan rasa percayanya

kepada perawat
b) Ada kontak mata
c) Mau diajak berjabat tangan
d) Mau menyebutkan nama
e) Mau mengutarakan masalah yang dihadapi
2) Pasien dapat menyebutkan penyebab tidak adanya

kemauan dalam meminum obat


a) Pasien dapat mengetahui jenis-jenis obat yang

di minum
b) Pasien mengetahui perlunya minum obat yang

teratur
c) Pasien mengetahui 5 benar dalam minum obat
d) Pasien mengetahui efek samping obat
e) Pasien mengetahui akibat bila putus

mengkonsumsi obat
d. Tindakan Keperawatan
1) Pasien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan keperawatan:
a) Sapa pasien dengan nama baik verbal maupun

non verbal
b) Perkenalkan diri dengan sopan
43

c) Tanya nama lengkap pasien dan nama

panggilan yang disukai


d) Jelaskan tujuan pertemuan
e) Jujur dan menepati janji
f) Tunjukkan sikap empati dan menerima keadaan
g) Berikan perhatian kepada pasien dan perhatikan

kebutuhan dasar
2) Pasien dapat menyebutkan penyebab tidak adanya

kemauan dalam meminum obat

Tindakan keperawatan:
a) Tindakan tindak lanjut dan pengobatan yang

teratur
b) Lingkungan yang tepat untuk pasien
c) Obat pasien (nama obat, dosis, frekuensi, efek

samping, akibat penghentian obat)


d) Kondisi pasien yang memerlukan konsultasi

segera jika dibutuhkan.

2. STRATEGI KOMUNIKASI PELAKSANAAN TINDAKAN

KEPERAWATAN
Pertemuan 1
a. Orientasi
1) Salam terapeutik
“Permisi Ibu, selamat pagi perkenalkan nama

saya ..., saya mahasiswi yang dinas di ruangan ini.”


“Saya mahasiswi ... Hari ini saya dinas pagi dari jam

07.00-14.00 WIB. Saya akan merawat ibu selama di

rumah sakit ini.”


“Boleh tau, nama ibu siapa? Senangnya dipanggil

apa?”
2) Evaluasi
44

“Bagaimana perasaan ibu saat ini?”


“Masih ingat ada kejadian apa sampai ibu dibawa

ke rumah sakit ini?”


“Apa keluhan ibu hari ini? Apakah tadi ibu sudah

meminum obatnya? Kenapa tidak diminum bu?”


3) Kontrak
“Bagaimana kalau kita berbincang-bincang apa

yang menyebabkan ibu A tidak mau minum obat?”


“Berapa lama ibu A ingin kita berbincang-

bincangnya? Bagaimana kalau 20menit saja?”


“Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-

bincang ibu A? Bagaimana kalu disini saja? Atau di

bawah pohon?

b. Kerja
“Apa yang menyebabkan ibu A tidak mau meminum

obat? Bosan ya bu? Selain itu apalagi coba sebutkan?


“Ibu, ada beberapa cara untuk mengendalikan rasa

bosan itu, ibu bisa membayangkan obat itu seperti

memakan permen yang ibu suka. Dan setelah

meminum obat ibu bisa mengunyah gula ataupun

permen.”
c. Terminasi
1) Evaluasi subyektif
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita berbincang-

bincang tadi?”
2) Evaluasi obyektif
“Coba ibu sebutkan kembali bagaimana cara

menghilangkan rasa bosan untuk meminum obat?”


3) Kontrak
a) Topik
45

“Baik ibu sekarang mungkin cukup berbincang-

bincang hari ini, bagaimana kalau besok kita

sambung lagi, saya akan dating kesini lagi untuk

mengajarkan ibu cara-cara meminum obat yang

tepat?”
b) Tempat
“Untuk tempatnya bagaimana kalau ditempat ini

lagi? Di bawah pohon itu?”


c) Waktu
“Waktunya jika pukul 9 saja bu, kira-kira berapa

lama bu? Bagaimana kalau 20 menit saja?”


4) Rencana tindak lanjut
“Selanjutnya ibu dapat mengingat-ingat apa yang

kita pelajari tadi, sehingga besok kita dapat

berbincang-bincang lebih jelas


Pertemuan 2
1. Proses keperawatan
a. Kondisi pasien
Gelisah, bosan, lemas
b. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan regimen terapeutik berhubungan dengan

putusnya pengkonsumsian obat


c. Tijuan khusus
Pasien mau mengkonsumsi obat denan benar dan

tepat
d. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan dengan pasien tentang dosis, frekuensi

serta manfaat minum obat.


2) Anjurkan pasien minta sendiri obat pada perawat

dan merasakan manfaatnya


46

3) Diskusikan akibat berhenti meminum obat tanpa

konsultasi dengan dokter


4) Bantu pasien menggunakan obat dengan prinsip 5

benar
5) Berikan pujian kepada pasien

Pertemuan 3
a. Orientasi
1) Salam terapeutik
“Permisi, ibu A sesuai dengan janji saya kemarin

sekarang saya datang lagi, apakah ibu masih ingat

dengan saya? Coba siapa? Iya benar sekali.”


“sesuai dengan janji saya kemarin, tujuan

sayasekarang ini akan mengajarkan cara

menggunakan atau meminum obat.”


2) Evaluasi
“Bagaimana perasaan ibu A saat ini apakah ibu

sudah tidak bosan lagi untuk meminum obatnya?

Bagus ibu.”
“Ibu A masih ingatkah apa yang kita bicarakan

kemarin? Iya bagus bu.”


“Apakah ibu A pagi ini sudah minum obat? Nama

obatnya apa saja? Oh ibu A belum tahu ya nama

obatnya?”
3) Kontrak
“Baik bu sekarang kita akan belajar cara minum

obat dengan benar”


“Mau berapa lama ibu kita berbincang-bincang?

Kemarin kesepakatan kita 20menit?”


“Dimana tempatnya? Disini saja ya bu? Baik ibu.”
b. Kerja
47

“Ibu sudah minum obat hari ini? Berapa obat yang ibu

minum? Warna apa saja bu? Jam berapa saja ibu

minum?”
“Ibu A apakah ada bedanya setelah minum obat secara

teratur? Ya, minum obat itu sangat penting supaya ibu

A tidak merasa gelisah.”


“obat yang ibu minum ada 3 macam warnanya merah

muda, kuning dan putih.”


“Semuanya harus bapak minum selama 3 kali sehari.

Diminumnya pagi jam 8, siang jam 1 dan sore jam 5.”


“Menurut ibu, boleh tidak berhenti minum obat sebelum

diizinkan dokter? Karena akan membuat perasaan ibu

A tidak tenang dan gelisah.”


“Ibu sebelum minum obat ini, ibu harus cek dulu yaitu:

perhatikan prinsip 5 benar minum obat. Yang pertama

yang harus ibu lihat adalah apakah obat ini benar untuk

ibu, jadi lihat labelnya benar tulisan nama bapak A,

yang kedua lihat apakah benar yang diminum, apabila

beda nama obat dan warna obatnya, ibu harus

tanyakan pada perawat ya. Yang ketiga, semua obat

ibu diminum 3 kali sehari ya bu. Yang keempat, obat ini

harus diminum tepat waktu jam 8 setelah sarapan, jam

1 siang setelah makan siang dan jam 5 sore setelah

makan sore. Ibu juga harus teliti saat menggunakan /

minum obat-obatan ini. Pastikan obatnya benar, artinya


48

ibu harus memastikan bahwa itu obat yang benar-

benar punya ibu, jangan keliru dengan obat milik orang

lain. Baca nama kemasannya, ingat warna obatnya.

Pastikan obat diminum pada waktunya, dengan cara

yang benar, yaitu diminum setelah makan dan tepat

jamnya.”
Bagaimana ibu apa sudah mengerti? Atau ada yang

ingin ditanyakan lagi?”


c. Terminasi
1) Evaluasi subyektif
“Bagaimana perasaan ibu A setelah kita bercakap-

cakap tentang obat-obat yang ibu minum?”


2) Evaluasi obyektif
“Coba ibu sebutkan nama obat yang sudah kita

bicarakan tadi. Berapa kali minumnya dalam

sehari? Apa kerugian apabila berhenti minum obat?

Ya benar bu. Ibu sudah mengerti ya tentang obat-

obatnya yang harus diminumnya. Ibu harus

mengingatnya.”
3) Kontrak
a) Topik
“Baik bu sekarang bincang-bincangnya sudah

selesai, bagaimana kalau nanti jam 8 pagi saya

kembali lagi untuk membantu ibu meminum

obat?”
b) Tempat
“Tempatnya dimana bu? Baiklah disini saja.”
c) Waktu
49

“Waktunya berapa lama? Baiklah 10 menit saja,

cukup bu?”
4) Rencana tindak lanjut
“Mari sekarang kita masukkan ke jadwal harian ibu

ya. Berapa kali minum obatnya ibu jam berapa aja.

Coba tulis ya bu jam 8 pagi, jam 1 siang jam 5 sore.

Bagus ibu, jadi kalau sudah jamnya ibu harus

minum obat langsung minta kepada perawatnya ya

pak jangan sampai menunggu panggilan.”


50
BAB 4

PENUTUP

4.1.1 Kesimpulan

Regimen terapeutik adalah pengobatan yang terputus pada

saat di rumah sehingga terapi yang dijalani oleh pasien berhenti

yang mengakibatkan gangguan jiwa yang dialami pasien terjadi

kembali (Wardani, 2012). Penyebab terjadinya regimen

terapeutik adalah faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Jenis-

jenis regimen terapeutik yaitu farmakologi, terapi elektro

konvulsi, psikoterapi, rehabilitasi, terapi ECT. Proses terjadinya

regimen terapeutik adalah akibat dari pola piker yang keliru di

masyarakat, banyak keluarga pasien penyakit jiwa yang tidak

mau menerima anggota keluarganya setelah sembuh secara

medis. Akhirnya, penyakit pasien kambuh dan terpaksa dirawat

kembali ke rumah sakit (Budi dan Akemat, 2007). Tanda gejala

regimen terapeutik yaitu emosional tidak stabil, kemampuan

berhubungan interpersonal menurun, halusinasi, agresi, waham,

delusi, menarik diri meningkat, perilaku sulit diarahkan, proses

berpikir kea rah tidak logis (Ulpa, 2012). Akibat regimen

terapeutik yaitu penolakan, stigma, frustrasi, tidak berdaya dan

kecemasan, kelelahan, serta duka. Mekanisme koping yang

51
52

umum digunakan pada penderita regimen terapeutik adalah

mekanisme pertahanan ego seperti sublimasi dan represi.

4.1.2 Saran

4.1.2.1 Masyarakat
Saran untuk Masyarakat atau keluarga yang merawat di

lingkungan masyarakat; Dari hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi informasi tambahan bagi keluarga. Sehingga

meningkatkan motivasi pada keluarga untuk meningkatkan

dukungan keluarga pada penderita regimen terapeutik.


4.1.2.2 Pelayanan Keperawatan Jiwa
a. Bagi pasien, agar aktif berkomunikasi dengan perawat

tentang efek terapi dan efek samping yang dirasakan

sehingga perilaku kepatuhan minum obat dapat

dipertahankan baik selama di Rumah Sakit maupun

ketika sudah kembali ke rumah.


b. Bagi perawat, supaya memfasilitasi kegiatan monitoring

kepatuhan minum obat melalui kerjasama dengan

perawat komunitas dalam bentuk kegiatan home visit,

integrasi, pendidikan kesehatan dan family gathering,

selain itu perawat diharapkan meningkatkan

kompetensinya untuk menjadi spesialis jiwa.


53

c. Bagi rumah sakit agar membentuk perkumpulan sehat

jiwa guna memfasilitasi pasien dan keluarga yang

memerlukan informasi tentang gangguan jiwa.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kholifah, Nur Sitti. 2016. Modul Bahan Ajar Keperawatan


(Keperawatan Jiwa) Cetakan Pertama. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Pendidikan Sumber
Manusia Kesehatan, Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Manusia Kesehatan.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/modul-bahan-ajar-
tenaga-kesehatan/

2. Kholifah, Nur Sitti. 2016. Modul Bahan Ajar Keperawatan


(Keperawatan Keluarga) Cetakan Pertama. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat
Pendidikan Sumber Manusia Kesehatan, Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Manusia
Kesehatan. http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/modul-
bahan-ajar-tenaga-kesehatan/

3. Sunarto, M. 2012. Manajemen Asuhan Keperawatan Pasien


denga Regimen Terapeutik Menggunakan Model
Transpersonal Caring Relationship : Jean Watson Di
Ruangan Antareja Rs. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Karya
Ilmiah Akhir. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Program
Pendidikan Spesialis Jiwa Universitas Indonesia.
http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=20358706&lokasi=lokal
(Regimen Terapeutik)

4. Yusuf, Ah. Fitriyasari, Rizky. Nihayati, Endang Hanik. 2015.


Buku Ajar Kesehatan Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan:
Penerbit Salemba Medika.
55

5. Azizah, Lilik Ma’rifatul. Zainuri, Imam. Akbar, Amar. 2016.


Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi
Praktik Klinik. Sleman,Yogyakarta : Indomedia Pustaka

Anda mungkin juga menyukai