Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

RANGKUMAN HIV - AIDS

OLEH

EMY MARCHAMA MASHURI

14220130013

B2

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019
PEDOMAN PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL

Penggunaan obat antiretroviral (ARV) kombinasi pada tahun 1996


mendorong revolusi dalam pengobatan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
seluruh dunia. Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh
dan menambah tantangan dalam efek samping serta resistansi kronis terhadap
obat, namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan
kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan
masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit
yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang
menakutkan.

Tujuan konseling dan tes HIV adalah harus mampu mengidentifikasi ODHA
sedini mungkin dan segera memberi akses pada layanan perawatan, pengobatan
dan pencegahan.

KT HIV merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan,


perawatan, dukungan dan pengobatan. Dalam kebijakan dan strategi nasional
telah dicanangkan konsep akses universal untuk mengetahui status HIV, akses
terhadap layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan
visi getting 3 zeroes. Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah
disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed
consent; confidentiality; counseling; correct test results; connections to care,
treatment and prevention services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada
semua model layanan Konseling dan Tes HIV.

Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:
1. Tes serologi
Tes serologi terdiri atas:
a. Tes cepat
b. es Enzyme Immunoassay (EIA)
c. Tes Western Blot
2. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur
kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif
dari darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA
kuantitatif dengan menggunakan plasma darah.
Tes virologis terdiri atas:
a. HIV DNA kualitatif (EID)
b. HIV RNA kuantitatif
Diagnosis HIV pada bayi dapat dilakukan dengan cara ter virologis, tes
antibodi, dan presumtif berdasarkan gejala dan tanda klinis.

TATA LAKSANA TERAPI ARV


A. Pengkajian Setelah Diagnosis HIV
Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan untuk
mendiagnosis adanya penyakit penyerta serta infeksi oportunistik, dan
pemeriksaan laboratorium.
CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Jika
digunakan bersamaan dengan penilaian klinis, CD4 dapat menjadi petunjuk
dini progresivitas penyakit karena jumlah CD4 menurun lebih dahulu
dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk
memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Jumlah CD4 dapat
berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila mungkin
harus ada 2 kali hasil pemeriksaan CD4 di bawah ambang batas sebelum
ARV dimulai.
Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun
digunakan persentase CD4. Bila = 5 tahun, jumlah CD4 absolut dapat
digunakan. Pada anak < 1 tahun jumlah CD4 tidak dapat digunakan untuk
memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada
jumlah CD4 yang tinggi.
B. Persiapan Pemberian ARV
Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang
ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah,
dikenal dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah
HAART sering disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi
ARV.Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan
ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek
samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat.
Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur
hidup dan keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini
termasuk: kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping
atau efek yang tidak diharapkan atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune
Reconstitution Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV,
terutama pada ODHA dengan stadium klinis lanjut atau jumlah jumlah CD4
<100 sel/mm, dan komplikasi yang berhubungan dengan terapi ARV jangka
panjang.
Pada anak dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk kesiapan
terapi ARV, di antaranya:
1. kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko
terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya.
2. Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya untuk mematuhi
pengobatan ARV dan pemantauannya.
3. Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta
informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga.
4. Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai perjalanan
ke klinik, kemampuan membeli atau menyediakar tambahan makanan
untuk anak yang sakit dan kemampuan membayar bila ada penyakit yang
lain.
C. Pemantauan pada ODHA yang Belum Mendapat ART
ODHA yang belum memenuhi syarat untuk mendapat terapi ARV perlu
dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan
sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda. Evaluasi klinis
meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan berat
badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV.
Pada anak, juga dilakukan pemantauan tumbuh kembang dan pemberian
layanan rutin lainnya, seperti imunisasi. Parameter klinis dan CD4 ini
digunakan untuk mencatat perkembangan stadium klinis WHO pada setiap
kunjungan dan menentukan apakah ODHA mulai memenuhi syarat untuk
pengobatan pencegahan kotrimoksazol (PPK) dan/atau ARV. Evaluasi klinis
dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekati ambang
dan syarat untuk memulai ART.
D. Indikasi Memulai ART
Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna
untuk pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden
infeksi terkait HIV dalam populasi.
E. Paduan ART Lini Pertama
Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang
belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV).
F. Pemantauan Setelah Pemberian ARV
Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi
respons pengobatan. Evaluasi ODHA selama dalam pengobatan dilakukan
bersama-sama antara dokter, perawat, dan konselor. Evaluasi tidak hanya
dilakukan untuk kondisi fisik, namun juga psikologis, untuk membantu
ODHA dan keluarganya selama menjalani pengobatan.
1. Jadwal pemantauan setelah pemberian ARV
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat
dalam pengobatan dilakukan bersama-sama antara dokter, perawat, dan
konselor.
2. Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substansi ARV
Saat ini panduan ART yang dianjurkan (KDT) dalam lini pertama
mempunyai efek samping minimal (jarang terjadi), kurang toksik dan
sederhana (sekali sehari), sehingga akan meningkatkan kepatuhan
pengobatan.
3. Pemantauan sindroma pulih imun
Penting sekali melakukan pemantauan dalam 6 bulan pertama terapi ARV.
Perbaikan klinis dan imunologis diharapkan muncul dalam masa
pemantauan ini, selain untuk mengawasi kemungkinan terjadinya sindrom
pulih imun atau toksisitas obat.
4. Diagnosis kegagalan ARV
Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria
virologis, imunologis dan klinis.
G. PENCEGAHAN PENULARAN HIV
1. Pencegahan penularan HIV pada pasangan serodisikordan.
2. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke Anak (PPIA)
3. Pencegahan pasca pajanan HIV (PPP)

TATALAKSANA INFEKSI OPURTUNIS DAN KOMORBIDITAS SERTA


PENGOBATAN PENUNJANG LAIN

A. Pencegahan, Skrinning, dan Penanganan Infeksi Opurtunis yang Umum


1. Pengobatan pencegahan Kotrimoksasol
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan
HIV. Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan
pencegahan kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan
kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV.
B. Pencegahan dan Penanganan Kormobiditas Lain dan Penatalaksanaan enyakit
Kronik pada Orang Dengan HIV.
1. Penapisan penyakit tidak menular
Orang dengan HIV dan AIDS juga mempunyai resiko untuk terkena
penyakit – penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner,
diabetes mellitus, penyakit paru kronik dan keganasan.
2. Kesehatan mental
a. Gangguan depresi
b. Penggunaan NAPZA
3. Tata laksana dukungan gizi
Hubungna antara HIV, status gizi, dan fungsi imun mempunyai
keterkaitan yang sulit dipisahkan. Ingeksi HIV dalam tubuh ODHA
mempunyai 2 dampak :
 Menyebabkan status zat-zat gizi makro terganggu melalui penurunan
berat badan, muscle wasting and weakness, dan hal ini dapat dipantau
dengan penilaian status gizi sejak pertama ODHA datang dan diikuti
terus. Dapat dilakukan dengan pemantauan IMT (indeks massa tubuh).
 Menyebabkan penurunan/defisiensi zat-zat gizi mikro sampai
terjadinya kegagalan metabolisme, akibat dari kerusakan sistem imun
tubuh, sehingga tidak mampu melawan HIV dan infeksi lainnya atau
infeksi opurtunistik.
Kedua keadaan ini menyebabkan meningkatnya resiko infeksi terutama
infeksi saluran cerna, TB, influenza, sehingga mempercepat progres
menjadi AIDS dan diperberat dengan kebutuhan zat-zat gizi yang
meningkat karena adanya malabsorpsi dan asupan yang sangat berkurang.
Hal ini menjadikan lingkaran setan jyang akan memperburuk keadaan
ODHA.
Infeksi HIV akan menyebabkan peningkatan kebutuhan energi dan
penurunan intake energi, yang berujun pada penurunan berat badan dan
wasting. Jgangguan metabolisme, penurunan nafsu makan dan diare juga
memperparah intake dan absorpsi zat-zat gizi, terlebih faktor ekonomi
rendah dan higiene makanan.
4. Terapi paliatif
Dengan terjadinya obat ARV, infeksi HIV tidak lagi dikelompokkan ke
dalam penyakit yang dapat mengancam jiwa, melainkan bergeser menjadi
penyakit kronis yang dapat dikontrol. Walaupun demikian, sejak
seseorang mendapat diagnosis HIV dan selama perjalanan penyakit,
ODHA sangat mungkin mengalami berbagai macam keluhan fisik (akibat
infeksi opurtunistik, penyakit lain terkait HIV maupun efek samping
dapat menimbulkan penderitaan bertambah berat.
Perawatan paliatif adalah suatu pendekatan yang kompherensif oleh tim
yang bersifat interdisiplin untuk mengurangi penderitaan sehingga
mencapai kualitas hidup yang baik. Tetapi bila karena progresifitas dapat
meninggal secara berkualitas yaitu bermartabat, damai dan tidak
menderita. Perawatan paliatif tidak hanya ditunjukkan bagi ODHA, tetapi
juga bagi keluarga yaitu untuk membantu keluarga dalam menghadapi
kesulitan yang timbul akibat penyakit tersebut.
Prinsip perawatan paliatif :
 Menghargai kehidupan dan memandang proses kematian adalah hal
yang natural.
 Tidak bertujuan mempercepat atau menunda kematian
 Memberikan peran kepada ODHA dalam membuat keputusan
 Mengatasi keluhan fisik
 Memberikan dukungan psikologis, sosial dan spiritual bagi ODHA
dan keluarga dengan memperhatikan kultur yang dianut
 Menghindari tindakan medis sia-sia
 Memberikan dukungan agar ODHA tetap aktif sampai meninggal
dunia sesuai kemampuan dan kondisinya.
 Memberikan dukungan pada keluarga selama perjalanan penyakit dan
pada masa dukacita.
 Bekerja dengan menggunakan tim.
Pada awalnya perawatan paliatif hanya ditujukan bagi ODHA jyang
dikategorikan sebagai “lost case”, yaitu stadium terminal. Jadi perawatan
ini hanya dilakukan ketika semua cara pengobatan untuk mengatasi
penyakit primer bsudah tidak lagi diberikan. Namun dengan definisi yang
baru oleh WHO, perawatan paliatif seharusnya diberikan lebih awal.
TATALAKSANA KLINIS INFEKSI HIV-AIDS DAN TERAPI
ANTIRETOVIRAL

A. Pemeriksaan dan Tatalaksna Setelah Diagnosis HIV Ditegakkan


Setelah dinyatakan terinfeksi HIV makan pasien perlu dirujuk ke
layanan PDP untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian
stadium klinis, penilaian imunologis dan dan penilaian virologi.
1. Penilaian stadium klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal setiap kali
kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
2. Penilaian imunilogi (pemeriksaan jumlah CD4).
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan
pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV.
3. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan
mutlak untuk menginisiasikan terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral
load juga bukan kebetuhan mutlak dalam pemamntauan pasien yang
mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi
gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan
sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan pemeriksaan
viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi
menurut kriteria klinis dan imunologis.
4. Persayaratan lain sebelum memulai terapi ARV
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung
seumur hidupnya.
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah
CD4 dibawah 200 sel/mm3 makan dianjurkan untuk memberikan
kotrimosasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi
ARV.
5. Pengobatan pencegahan kotrimoksasol (PPK)
Beberapa infeksi opurtunistik (OI) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan
pencegahan, yaitu profilaksis primer dan sekunder.
a. Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
b. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya.
B. Tatalaksana Pemberian ARV
1. Saat memulai terapi ARV
Untuk memulai terapi antireroviraal perlu dilakukan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksiHIV-Nya. Hal tersebut
untuk menetukan apakah penderita sudah memnuhi syarat terapi ARV
atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV
pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal ini tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai
terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Terapi pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1) Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 >350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
2) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil, dan koinfeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
2. Memulai terapi ARV pada keadaan infeksi opurtunistik (IO) yang aktif
Infeksi opurtunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu
pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV.
3. Panduan ARV lini pertama yang dianjurkan
Pemerintahan menetapkan panduan yang digunakan dalam pengobatan
ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu :
a. Efektifitas
b. Efek samping/toksisitas
c. Interaksi obat
d. Kepatuhan
e. Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah :
a. Paduan obat ARV menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektifitas
penggunaan obat.
b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan
mendekatkan akses pelayanan ARV.
c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menetapkan
manajemen logistik yang baik.
4. Berbagai pertimbangan dalam penggunanaan dan pemilihan paduan terapi
ARV
a. Memulai dan menghentikan non-nicleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI)
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam
selama 14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama
AZT atau TDF + 3C. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis
dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada hari ke – 15 dan
selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut
diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi
metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko
terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan
selama lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis
awal yang rendah tersebut.
b. Pilihan pemberian triple NRTI
Rigmen triple NRTI digunakan hanya jika pasien jtidak dapat
menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, dalam keadaan berikut :
1) Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan infeksi terhadap rifanmpisisn.
2) Ibu hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV.
3) Hepatitis, terkait dengan efek hepatoksik karena NVP/EF/PI.
c. Penggunaan AZT dan TDF
1) AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal
2) Indeks massa tubuh (IMT/BMI = Body Mass Indeks) dan jumlah
CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh
penggunaan AZT.
3) Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu
antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang
lanjut.
4) TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas
dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka sindroma farconi
sebesar 0,5% sampai 2%.
5) TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan
sedikit data tentang keamanannya pada kehamilan
6) TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF + FTC) dengan
pemberian satu kali sehari yang lebih mudah diterima oleh
ODHA.
d. Perihal penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten
dan telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang
dalam kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah
tidak membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai serta
harganya seperti Zidovudin (terapi ARV) Tenofovir (TDF) maupun
Abcavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa
penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang
bermakna, antara lain lipoditsrofi dan neuropati perifer yang
menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan kematian.
e. Penggunaan protase inhibitor (PI)
Obat ARV golongan protase inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan
untuk terapi lini pertama, hanya digunakan sebagai lini kedua.
Penggunaan pada lini pertama hanya bila pasien benar-benar
mengalami intoleransi terhadap golongan NNRTI.
5. Sindrom pulih imun
Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome (IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons
inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian
terapi antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam
bentuk penyakit infeksi maupun non infeksi. Manifestasi tersering pada
umumnya adalah berupa inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih
imun infeksi ini didefinisikansebagai timbulnya manifestasi klinis atau
perburukan infeksi yang ada sebagai akibat perbaikan respons imun
spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik terhadap ARV.
6. Kepatuhan
Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan
dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri,
bukan hanya karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena
diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat.
Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara
teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan
oleh ketidak-patuhan pasien mengkonsumsi ARV.
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat
kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa
untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari
semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika
pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga
kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang
konstruktif akan membantu pasien untuk patuh minum obat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan:
a. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem
pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah
penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena
hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan
kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman,
jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan
membantu pasien.
b. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis
kelamin, ras / etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi
kesehatan, dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja
seks komersial) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza,
lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV
dan terapinya).
c. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan,
bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum,
kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan),
karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk
mendapatkan ARV.
d. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya
sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala
yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit
lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum.
e. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien tenaga
kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan
kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan
pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang
melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari
hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian
kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien.
Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV
beserta konsekuensinya. Proses pemberian informasi konseling dan dukungan
kepatuhan harus dilakukan oleh petugas (konselor dan/atau pendukung
sebaya/ODHA). Tiga langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kepatuhan antara lain:
Langkah 1 : memberikan informasi
Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,
kemungkinan timbulnya efek samping dan konsekuensi dan kepatuhan.
Langkah 2 : konseling perorangan
Petugas kesehatan perlu membantu klien untuk mengeksplorasi kesiapan
pengobatannya.
Langkah 3 : mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat renacana
terapi.
Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan dengan
diskusi untuk mencari penyelesaian masalah tersebut secara bersama dan
membuat perencanaan.

Anda mungkin juga menyukai