Anda di halaman 1dari 13

AKAD UDHARABAH DAN MUSYARAAH

SERTA PERMASAAHANNYA

Disusun oleh:
Hafidz Nugroho 17108010063
Asvira Elvannyrossie 17108010071
M. Ramdan 17108010082
Fahmi Rasyid 17108010099

Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Mata Kuliah Fikih Muamalah


Dosen Pengampu : Drs. Slamet Khilmi, M.SI.

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2019
A. Pendahuluan
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan
kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu
dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada
seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun
direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal.
Konsep tolong menolong, taawun, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan
salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat
mendukung aspek keadilan. Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian
Islam (Antonio, 2001). Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha
dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha,
sehingga melanggar aspek keadilan.
Hal ini karena prinsip ketidaktentuan usaha sehingga hasil yang didapat bisa sangat
bervariasi, dari mulai untung sampai rugi. Sebagai contoh, bunga adalah suatu hasil yang
ditetapkan didepan, sebelum usaha, sehingga bunga seperti memastikan usaha pasti
mendatangkan keuntungan, dan bisa jadi memberatkan salah satu pihak.
Penerapan konsep bagi hasil sesungguhnya mempunyai manfaat yang sangat besar,
namun penerapan konsep bagi hasil mempunyai beberapa kelemahan . Agar optimal,
penerapan konsep bagi hasil harus dilakukan dengan pengetahuan yang memadai agar
mekasinisme bagi hasil yang memiliki tujuan yang baik ini tidak disalahgunakan pihak yang
semata-mata ingin mengambil keuntungan.

B. Bagi hasil
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan
bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya
pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih.
Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada
masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha
harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan
porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus
terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur
paksaan. Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah
terdiri dari dua sistem, yaitu:
1. Profit Bagi hasil

2
Profit bagi hasil menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam
kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan
yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari
biaya total (total cost). Di dalam istilah lain profit bagi hasil adalah perhitungan bagi
hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
2. Revenue Bagi hasil
Revenue Bagi hasil berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu,
revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Bagi hasil adalah bentuk kata kerja dari
share yang berarti bagi atau bagian. Revenue bagi hasil berarti pembagian hasil, penghasilan
atau pendapatan. Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang
diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services)
yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue
merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang
dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu
produksi tersebut.
Jenis-jenis Akad Bagi hasil
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara
umum dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah
dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi
hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad
Musyarakah dan Mudharabah.
1. Musyarakah
menurut para ahli fikih adalah sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dala
modal maupun keuntungan. Hasil keuntungan dibagihasil sesuai dengan kesepakatan
bersama di awal sebelum melakuka usaha. Sedang kerugian ditanggung secara
proposional sampai batas modal masing-masing. Secara umum dapat diartikan
pembagian modal usaha dengan bagi hasil menurut kesepakatan. (Muhammad, 2004:
79-80).
Di dalam buku Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Antonio (2001: 90)
menjelaskan bahwa: “Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.”

3
Jenis-jenis Akad Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan (amlak) dan
musyarakah akad (uqud). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan wasiat atau
kondisi lainnya yang berakibat pemilikan oleh dua orang atau lebih. Sedangkan
musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju
bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan berbagi
keuntungan dan kerugian (Sudarsono, 2004: 67).
Bentuk syirkah amlak ini terbagi menjadi Jabr dan Amlak Ikhtiar.
1. Amlak Jabr
Terjadinya suatu pengkongsian secara otomatis dan paksa. Otomatis berarti
tidak memerlukan kontak untuk membentuknya. Paksa tidak ada alternatif untuk
menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses waris mewaris, manakala dua saudara
atau lebih meneria warisan dari orang tua mereka.
2. Amlak Ikhtiar
Terjadinya suatu pengkongsian secara otomatis tetapi bebas. Otomatis seperti
pengertian di atas. Bebas berarti adanya pilihan / option untuk menolak. Contoh
dari jenis pengkongsian ini dapat dilihat apabila dua orang atau lebih
mendapatkan hadiah atau wasiat bersama dari pihak ketiga.
Kedua syirkah di atas mempunyai karakter yang agak berbeda dari syirkah-
syirkah lainnya karena dalam kedua syirkah ini masing-masing anggota tidak
mempunyai (hak untuk mewakilkan dan mewakili) terhadap partnernya
(Muhammad, 2005: 33).
Sedangkan menurut antonio dalam bukunya yang berjudul Bank Syari’ah Dari Teori
ke Praktek, Syirkah Uqud dibagi menjadi 5 bagian:
1. Syirkah Al-Inan
Adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu
porsi dari keseluruhan dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua belah pihak berbagi
dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka.
Namun porsi masing-masing pihak lain dalam dana maupun kerja atau bagi hasil
tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
2. Syirkah Muwafadah
Adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih dimana setip piha
meberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja
setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian
4
syarat utaa dri jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan,
kerja, tanggung jawab dan beban hutang dibagi oleh masing-masing pihak.
3. Syirkah Amal Abdan
Adalah kotrak antara dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara
bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua
orang arsitek untuk enggarap sebuah proyek atau kerjasama atau kerjasama dua
orang penjahit untuk menerima order pembuatan sebuah kantor. Musyarakah ini
kadang-kadang disebut musyarakah abdan.

4. Syirkah Wujuh

Adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise
baik, serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan, dan mennjual barang tersebut secara tunai. Mereka membagi dalam
keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang
disediakan oleh tiap mitra. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal
karena pembelian secara kredit tersebut. Maka kontrak inipu lazim disebut
sebagai musyarakah piutang.
5. Syirkah Al-Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang syirkah al-mudharabah ini. Ada yang
mengatakan bahwa jenis al-mudharabah ini termasuk kategori al-musyarakah
akad (kontrak). Dan ada juga menganggap al-Mudharabah tidak termasuk
sebagai al- Musyarakah.
Syarat-syarat akad Musyarakah
a. Melafatkan/ ucapan.
Kata-kata yang menunjukkan izin yang akan mengendalikan harta. Maksudnya
tidak ada bentuk khusus dari kontrak musyarakah ia dapat berbentuk
pengucapan yang menunjukkan tujuan, berakad dianggap sah jika diucapkan
secara verbal atau ditulis. Dan kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan.
b. Anggota syarikat percaya mempercayai.
Disyaratkan bahwa mitra harus kopten dalam memberikan atau diberikan
kekuasaan perwakilan.

5
c. Obyek Kontrak/ mencampurkan harta yang akan diserikatkan (Muhammad,
2004: 80).
Pertama adalah dana, modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau
yang bernilai sama. Kedua adalah kerja, partisipasi para mitra dalam pekerjaan
musyarakah adalah ketentuan dasar. Tidak di benarkan bila salah seorang
diantara mereka menyatakan tidak akan ikut serta menangani pekerjaan dalam
kerjasama itu. Namun, tidak ada keharusan mereka menanggung beban kerja
secara sama. Salah satu pihak boleh menangani pekerjaan lebih banyak dari
yang lain, dan berhak menuntut pembagian keuntungan lebih darinya.
Kendala Musyarakah
Musyarakah dalam kenyataannya, perbankan syariah di Indonesia
mempraktikkan pembiayaan musyarakah yang tidak sama persis dengan konsep
klasik musyarakah. Berikut kendala penerapan pembiayaan Musyarakah di
Indonesia.
1. Kesulitan menarik kembali dana apabila terjadi wan prestasi.
2. Kesulitan perhitungan keuntungan bagi hasil karena cicilan pengembalian
dana.
Alternatif solusi :
1. Menyewa konsultan appraisal untuk menilai aset yang masih tersedia untuk
dikembalikan kepada bank.
2. Harus ada kesepakatan dana pokok yang dicicil oleh nasabah menjadi
tabungan beku, yang tidak diakui sebagai cicilan pokok.
Beberapa penyimpangan yang harus diperhatikan dalam pembiayaan musyarakah :
a. Kurangnya informasi dari pihak bank untuk menjelaskan secara penuh esensi dari
pembiayaan musyarakah dan keterangan lain yang berkaitan dengan keberadaan
produk tersebut.
b. Dalam proses permohonan pembiayaan musyarakah, titik berat analisis masih
lebih terfokus pada analisis kemampuan bayar dan keberadaan jaminan. Jadi,
kesan utang piutang masih lebih kuat terasa dibandingkan kesan investasi.
c. Tingkat efektif pengenaan denda dalam pembiayaan musyarakah yang dikaitkan
atau disamakan dengan tingkat efektif nisbah bagi hasil dikhawatirkan akan
tergolong pada riba fadhal.

6
Penyebab Rendahnya Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia tahun
2004, pernah membuat penelitian bahwa terdapat lima masalah internal bank syariah
yang muncul seputar rendahnya pembiayaan bagi hasil di perbankan syariah, yaitu :
1. Pemahaman bankir syariah terhadap esensi bank syariah kurang.
2. Bank syariah terlalu mengutamakan orientasi bisnis dan keuntungan.
3. Kualitas dan kuantitas SDM belum memadai dan kurang menguasai seluk beluk
penyaluran pembiayaan bagi hasil.
4. Aversion to effort yaitu bank syariah masih bersikap tidak mau repot atau
melakukan hal-hal ekstra dalam mendampingi pengusaha.
5. Aversion to risk yaitu bank syariah masih bersikap menghindar dari risiko.

2. Mudharabah (Trustee Profit Bagi hasil)


Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang
memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan
perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang
kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Kontrak mudharabah dalam pelaksanaannya pada Bank Syariah nasabah
bertindak sebagai mudharib yang mendapat pembiayaan usaha atas modal kontrak
mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari bank, yang dengan dana
tersebut mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam
bentuk barang dagangan untuk dijual kepada pembeli, dengan tujuan agar
memperoleh keuntungan (profit).
Filosofi dasar dari mudharabah adalah untuk menyatukan capital dengan labour
(Skill dan enterpreneur) yang selama ini senantiasa terpisah dalam sistem
konvensional. Dalam mudharabah akan tampak jelas sifat dan semangat
kebersamaan dan keadilan. Menurut PSAK No 106 ada karakteristik yang dimiliki
oleh produk pembiayaan musyarakah, diantaranya :
a. Para mitra (syarik) bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai suatu
usaha tertentu dalam musyarakah, baik usaha yang sudah berjalan maupun
yang baru. Selanjutnya salah satu mitra dapat mengembalikan dana tersebut
dan bagi hasil yang telah disepakati nisbahnya secara bertahap atau sekaligus
kepada mitra lain.

7
b. Investasi musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aset
nonkas.
c. Karena setiap mitra tidak dapat menjamin dana mitra lainnya, maka setiap
mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian
atau kesalahan yang disengaja. Beberapa hal yang menunjukkan adanya
kesalahan yang disengaja adalah:
1. Pelanggaran terhadap akad, antara lain, penyalahgunaan dana investasi,
manipulasi biaya dan pendapatan operasional; atau
2. Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.
d. Jika tidak terdapat kesepakatan antara pihak yang bersengketa maka kesalahan
yang disengaja harus dibuktikan berdasarkan keputusan institusi yang
berwenang.
e. Keuntungan usaha musyarakah dibagi di antara para mitra secara proporsional
sesuai dengan dana yang disetorkan(baik berupa kas maupun aset nonkas) atau
sesuai nisbah yang disepakati oleh para mitra. Sedangkan kerugian dibebankan
secara proporsional sesuai dengan dana yang disetorkan (baik berupa kas
maupun aset nonkas).
f. Jika salah satu mitra memberikan kontribusi atau nilai lebih dari mitra lainnya
dalam akad musyarakah maka mitra tersebut dapat memperoleh keuntungan
lebih besar untuk dirinya. Bentuk keuntungan lebih tersebut dapat berupa
pemberian porsi keuntungan yang lebih besar dari porsi dananya atau bentuk
tambahan keuntungan lainnnya.
g. Porsi jumlah bagi hasil untuk para mitra ditentukan berdasarkan nisbah yang
disepakati dari hasil usaha yang diperoleh selama periode akad, bukan dari
jumlah investasi yang disalurkan.
h. Pengelola musyarakah mengadministrasikan transaksi usaha yang terkait
dengan investasi musyarakah yang dikelola dalam catatan akuntansi tersendiri.

D. Mudharabah dan Bank Syariah


Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antra dua pihak,dimana
pihak pertama (shahibul mal) menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Karena sifatnya itulah mudharabah lebih praktis untuk dijalankan pada perbankan
Islam dibandingkan dengan syirkah. Sesungguhnya, mudharabah sendiri dibagi menjadi dua,
yaitu Mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah mutlaqah adalah

8
jenis mudharabah yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah mudharabah
yang diikat oleh waktu, jenis usaha ataupun tempat usaha. Aplikasi mudharabah dalam
perbankan syariah dapat berupa :
Pada sisi penghimpunan dana :
• Tabungan berjangka, dimaksudkan untuk tujuan umum, yang dapat dipakai untuk
usaha apa saja yang tidak melanggar syariat. Misalnya deposito biasa.
• Deposito spesial, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk usaha tertentu saja.
Pada sisi pembiayaan :
• Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja untuk perdagangan, industri atau jasa
• Investasi khusus, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal.
Manfaat Mudharabah
1. Bank akan menikmati peningkatan hasil pada saat keuntungan usaha nasabah
meningkat.
2. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara
tetap , tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak
mengalami negative spread.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow sehingga tidak
memberatkan nasabah.
4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang bukan hanya sesuai
dengan syariah, namun juga mempunyai prospek yang baik.

E. Permasalahan Mudharabah
Walaupun mudharabah dikatakan sebagai sesuatu yang ideal untuk perbankan Islam,
dan mempunyai banyak keuntungan dan ” lebih baik” dibandingkan dengan siatem lainnya,
namun ternyata mudharabah dalam kenyataaannya belum menjadi skema pembiayaan yang
utama pada bank syariah. Berdasarkan data dari Internatioanl Assosiation of Islamic Bank
(1996), skema mudharabah hanya diapakai sebesar 20% secara rata-rata pada bank Islam
seluruh dunia. Islamic Development bank juga hanya memakai mudharabah pada sedikit
poyeknya yang kecil. Kondisi perbankan syariah dalam menjalankan Mudharaba juga tidak
terlihat baik. Berdasar statistik perbankan syariah pada Bank Indonesia, akad murabahah
sekitar 70 persen dari total kredit. Di BRI, hampir 96 persen pembiayaan masih murabahah.
Sementara di BSM, pembiayaan mudharabah mencapai 12 persen. (Republika, 19 Juli

9
2004). Beberapa permasalahan yang dihadapai sehingga mudharabah menjadi kurang
berkembang, diidentifikasikan natara lain sebagai berikut :
Pertama, kontrak profit loss bagi hasil dikaitkan dengan agency problems manakala
seorang pengusaha tidak mempunyai insentif untuk memberikan usaha tetapi mempunyai
insentif untuk melaporkan profit yang lebih rendah dibandingkan dengan pembiayaan
pribadi dari manager. Argumen ini berdasarkan ide bahwa pihak-pihak pada transaksi bisnis
akan melalaikan jika mereka dikompensasi kurang dari kontribusi marginal pada proses
produksi, dan manakala ini terjadi pada kasus profit loss bagi hasil, kaum kapitalis ragu-ragu
untuk berinvestasi berdasarkan basis profit loss bagi hasil. Sebagai contoh A meminjam
uang pada bank syariah AZ kemudian ia melaporkan keuntungannya pada laporan laba rugi
yang usahanya lebih rendah. Sehingga, tingkat profit-loss bagi hasil yang diberikan kepada
bank lebih rendah.
Kedua, kontrak profit loss bagi hasil membutuhkan jaminan agar dapat berfungsi
secara efisien. Sedikitnya jaminan hak property pada kontrak profit loss bagi hasil
menyebabkan kegagalan adopsi karena tidak ada aturan yang melandasi. Pada praktiknya di
Indonesia, jaminan hak property atas profit-loss bagi hasil belum diatur dengan tegas dan
jelas.
Ketiga, perbankan Islam menawarkan risiko yang lebih kecil dari pembiayaan
dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini berdasarkan konsep mudharabah dan
musharakah yang dianutnya. Tetapi seringkali pelaksanaannya manajemen asset dari
mudharabah dan musharakah tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Idealnya, dana pada
perbankan syariah disalurkan melalui kegiatan investasi pada asset riil. Tetapi pada
kenyataannya di Indonesia, pengelolaan asset pada perbankan syariah masih terpusat pada
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.
Keempat, batasan peran investor pada manajemen dan dikotomi struktur keuangan
dari kontrak profit loss bagi hasil menimbulkan ketidak partisipasian. Mereka tidak berbagi
kontrak berdasarkan partisipasi pengambilan keputusan. Disatu sisi terlihat hanya pihak
manajemen yang mengelola dana sedangkan investor hanya menikmati hasilnya.
Kelima, pembiayaan ekuitas tidak tepat bagi pembiayaan proyek jangka pendek
manakala dihadapkan pada tingkat risiko yang tinggi (efek diversifikasi waktu pada ekuitas).
Pada kasus di Indonesia, dimana banyak pengelolaan dana perbankan syariah yang
disalurkan melalui sertifikat wadiah bank Indonesia, menimbulkan risiko yang tinggi jika
pembiayaan tersebut berjangka pendek dan lebih berisiko lagi jika bank syariah

10
menyalurkan pengelolaan dana melalui Jakarta Islamic Index. (Humayon A. Dar and John R.
Presley, 2001)
Pada dataran teknis, kelemahan itu bisa jadi memang terjadi pada bank yang
menerapkan mudharabah sehingga bank menjadi kurang serius menggarap mudharabah.
Namun, jika ditelaah lebih lanjut, sesungguhnya kelemahan yang terjadi pada konsep
mudharabah itu bisa dilihat dengan sebab sebagaimana kelemahan bagi hasil yaitu preferensi
dan asymmetric information. sebagai berikut Kelemahan yang pertama misalnya, terjadi
karena adanya moral hazard dari pelaku usaha (Mudharib) yang cenderung untuk
memaksimalkan keuntungan, sehingga return yang akan didapat oleh bank sebagai shahibul
mal menjadi berkurang. Salah satu penyebab dari keengganan bank menerapkan
mudharabah adalah faktor resikonya yang tinggi dan alasan kehati-hatian (Prudential).
Faktor resiko yang tinggi menyebabkan pihak shahibul mal akan meminta jaminan. Masalah
resiko yang besar sebenarnya lagi-lagi terpulang dari informasi yang kurang lengkap atau
preferensi dari pihak yang terlibat. Resiko biasanya diakibatkan oleh dua hal, yaitu resiko
yang sudah menjadi sunnatullah dalam berusaha dan resiko moral hazard pelaku usaha
(mudharib). Resiko yang menjadi sunantullah walau tidak dapat dipastikan , namun dapat
diantisipasi dengan perencanaan usaha yang baik. Namun jika resiko itu adalah moral hazard
dari pelaku usaha, maka hal itu tentu menjadi masalah lain. Sebab lain adalah informasi
yang tidak transparant yang disampaikan oleh mudharib kepada shahibul mal, sehingga
informasi menjadi tidak berimbang. permasalahan tersebut adalah permasalahan yang terjadi
pada bagi hasil, yaitu tidak terjadinya informasi yang berimbang antara shahibul mal dan
mudharib (Asymmertik Information). Sebab lainnya adalah kinerja dari bank sayariah sendiri.
Ini menyangkut preferensi dari pihak shahibul mal.

F. Solusi
Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan mudharabah agar dapat mengatasi
kelemahannya dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (Muljawan, 2001) :
1. Peningkatan kualitas preferensi Mudharib dalam menerima amanah dan shahibul mal.
Preferensi individu dalam melakukan kontrak mudharabah yang akan
meningkatkan kualitas transaksi sehingga menyebabkan kontrak mudharabah
menjadi optimal antara lain :
 Transparansi dalam berkontrak
 Konsep penghargaan terhadap waktu , kerjakeras dan produktifitas

11
 Amanah dalam mengelola modal yang diberikan
Pada mudharabah, apabila syarat tersebut diatas dapat dijalankan oleh
individu, maka dapat dikatakan bahwa kontrak mudharabah tersebut dapat dikatakan
menghasilkan kualtias yang terbaik. Peningkatan preferensi individu dalam konsep
utility akan mengakibatkan perubahan pada proses pengembilan keputusan dalam
usaha. Kualitas preferensi individu seharusnya dalam Islam menjadi suatu hal yang
diunggulkan. Konsep etik moral dalam Islam, adalah konsep bagaimana suatu
individu dapat berbuat sebaik mungkin dan dapat mendatangkan maslahat sebanyak
mungkin. Peningkatan kualitas preferensi dapat dilakukan dengan melakukan
strategic alliance dengan semua pihak yang dapat berperan dalam menjaga nilai-nilai
moral, antara lain, lembaga pendidikan ekonomi Islam, sebagai penyuplai para
pelaku ekonomi yang memiliki preferensi yang baik, para ulama dan tokoh agama,
lembaga pendidikan agama, dan organisasi masyarakat yang berperan dalam
meningkatkan moral masyarakat. Konsep peningkatan preferensi individu ini adalah
konsep bersama yang saling terkait, tidak hanya tugas bank saja, namun ini adalah
tugas dari seluruh masyarakat muslim yang peduli.
2. Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak seperti penyusunan kontrak yang
lebih terperinci dan pemakaian benchmarking.
Akses terhadap informasi yang berimbang dapat menurunkan intensitas moral
hazard serta adverse selection dalam presos penentuan transaksi yang optimal.
Pembuatan kontrak yang terperinci sehingg mendorong transparansi informasi dapat
menjadi satu solusi. Hal lain yang penting adalah adanya benchmarking pada semua
sektor usaha. Bench marking memudahkan semua pihak untuk menyetujui kontrak
lebih fair. Sebagai contoh , bila talah tersedia benchmarking untuk usaha penjualan
buku, misalnya rata-rata margin keuntungan sebesar 20%, Maka benchmarkiong ini
dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak yang berkontrak, sebagai acuan
ekspected return.
3. Penerapan standar akuntansi yang memadai
Salah satu syarat yang cukup menentukan keberhasilan penerapan konsep
mudharabah dalam masyarakat secara luas adalah sistem akuntansi yang selain
sesuai dengan konsep syariah juga harus dapat menentukan level resiko dari
transaksi. Sistem aakuntansi dan keuangan yang baik dan mendorong konsep syariah
akan menjadi salah satu mekanisme kontrol yang baik dalam menghasilkan kontrak
mudharabah
12
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah.Jakarta: RajaGrafindo Persada

Karim, Adiwarman A.. 2011. Penerapan Mudarabah, Musyarakah, dan Musyarakah


Mutanaqisah di Perbankan Syariah di Indonesia. Jurnal Muzakarah Cendekiawan
Syariah Nusantara 5 Tahun 2011

Karim, Adiwarman A.. 2013. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada

Kasmir, 2008, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Laporan Perkembangan Keuangan Syariah tahun 2013 Otoritas Jasa Keuangan

Nazir, Habib, dan Muhammad Hasanuddin. 2004, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan
Syariah Cet. Ke-1, Bandung, Kaki Langit
Nurhayati, 2011, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Jakarta, Salemba Empat.
Sumiyanto Ahmad, 2008, Menuju Koperasi Modern (Panduan untuk Pemilik, Pengelola dan
Pemerhati Baitul maal wat Tamwii dalam format Koperasi), Debeta ,Yogyakarta.

Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4 Sumpah, Nadzar, Hal – Hal yang
Dibolehkan & Dilarang, Kurban & Aqiqah, dan Teori – Teori Fiqh (Terjemahan).
Depok: Gema Insani

13

Anda mungkin juga menyukai