PENDAHULUAN
Babi merupakan salah satu komunitas ternak penghasil daging yang memiliki potensial
yang besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat-sifat menguntungkan, di antaranya:
laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak perkelahiran (litter size) yang tinggi, efisien dalam
mengubah pakan menjadi daging dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan
lingkungan. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi
dan aspek manajemen adalah faktor kesehatan dan kontrol penyakit. Ternak babi sangat peka
terhadap berbagai penyakit.
Penyakit infeksi pada babi merupakan kendala sangat besar dalam mengelola peternakan
babi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Para peternak telah melakukan berbagai program
pencegahan terhadap penyakit infeksi pada babi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa
morbiditas dan mortalitas anak babi masih cukup tinggi, terutama pada peternakan rakyat.
Tingginya mortalitas ini disebabkan oleh banyak faktor, terutama serangan penyakit infeksi yang
terjadi mulai anak babi lahir sampai setelah disapih. Kuman penyakit mampu masuk ke dalam
tubuh babi melalui berbagai tempat masuk (port dientry) seperti saluran pencernaan bersama
makanan dan air minum, pernapasan, dan kulit.
Salah satu penyebab penyakit infeksi pada babi adalah virus. Virus merupakan organisme
patogen intraselular serta ukurannya paling kecil dibandingkan dengan agen infeksi lainnya
seperti bakteri ataupun parasit. Virus hanya dapat terlihat atau terdeteksi menggunakan
mikroskop elektron. Virus yang menginfeksi babi dapat berupa virus DNA dan virus RNA.
Selain dengan menggunakan mikroskop elektron diagnosa terhadap penyakit virus dapat
dilakukan dengan pengujian serologi yakni menggunakan metode ELISA dan FAT. Teknik
Polymersae chain reaction (PCR) juga dapat digunakan untuk mendeteksi materi genetik virus
baik DNA maupun RNA pada sampel.
Tidak ada pengobatan untuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Beberapa
vaksin telah dikembangkan untuk pencegahan terhadap penyakit virus. Hal ini sangat membantu
dalam mengatasi infeksi virus pada babi. Pemberian antibiotik juga dapat kerap dilakukan untuk
menghindari infeksi sekunder. Pemberian vitamin serta suplemen terbukti mampu menjaga dan
meningkatkan daya tahan atau sistem kekebalan tubuh dari babi tersebut.
Ada beberapa penyakit virus yang umumnya menyebabkan penyakit pada babi akan
dibahas pada paper ini. Penyakit virus tersebut menyerang babi di Indonesia dan juga di seluruh
dunia. Penyakit virus pada babi yang saat ini menjadi topik di seluruh dunia adalah African
Swine Fever. Penyakit ASF juga sudah masuk ke Indonesia baru baru ini. Penyakit ini sangat
ditakuti oleh seluruh peternak babi karena tingkat mortalitasnya sangat tinggi serta
penyebarannya yang begitu cepat. Belum adanya vaksin terhadap virus ini juga merupakan salah
satu kendala besar yang dihadapi oleh peternak serta pemerintah. Beberapa penyakit virus
lainnya adalah classical swine fever atau yang dikenal dengan hog cholera, porcine reproductive
and respiratory syndrome (PRRS), Japanese encephalitis (JE), porcine epidemic diarrhea
(PED),dll.
BAB II
Demam babi klasik (classical swine fever) atau kolera babi (hog cholera) adalah penyakit
menular pada babi yang disebabkan oleh virus classical swine fever. Penyakit ini ditandai dengan
demam tinggi, kejang, dan pendarahan pada permukaan kulit serta organ dalam (limpa, ginjal,
dan usus), dan seringkali berakhir pada kematian. Demam babi klasik disebabkan oleh classical
swine fever virus (CSFV) yang berada dalam famili Flaviviridae dan genus Pestivirus. Virus ini
dikelompokkan dalam grup IV dalam sistem klasifikasi Baltimore, yaitu virus RNA untai
tunggal dengan sense-positif. Genus Pestivirus terdiri atas 11 spesies, yang diberi
nama Pestivirus A sampai Pestivirus K. Virus CSF sendiri merupakan nama lain dari Pestivirus
C. Virus CSF memiliki kemiripan antigenik dengan bovine viral diarrhea virus (BVDV) yang
digolongkan dalam Pestivirus A dan Pestivirus B, serta border disease virus (BDV) yang
merupakan sinonim dari Pestivirus D.
Patogenesis
Infekai alami umumnya terjadi melaui rute oro-nasal. Yang tinggi dari virus hog cholera
Virus masuk ke dalam tubuh dapat melalui konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui kulit
yang terluka. Dengan afinitas yang tinggi dari virus hog cholera terhadap sel-sel sistem
retikuloendotelial, virus HC akan menginfeksi sel-sel endotel sistem vaskuler (kapiler, vena
maupun arteri dan pembuluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis serta nekrotik. Virus
melakukan replikasi dalam tonsil, segera menyebar luas ke jaringan limforetikuler di sekitarnya.
Dengan perantaraan cairan limfe virus menyebar ke kelenjar limfe. Di dalam kelenjar limfe virus
memperbanyak diri dan selanjutnya dengan perantara pembuluh darah virus terbawa ke perifer
kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe visceral. Perkembangan
virus yang cepat juga terjadi di dalam sel leukosit, hingga timbul viremia. Pada penyakit yang
berjalan akut sering terjadi pendarahan yang disebabkan gangguan sirkulasi yang akut oleh
proses degenerasi sel-sel endotel pembuluh darah dan reaksi imunologis.
Cara penularan yang paling sering terjadi adalah melalui kontak langsung antara babi
terinfeksi dengan babi sehat. Cairan tubuh dari babi terinfeksi (air liur, leleran dari hidung dan
mata, darah, urin, serta tinja) merupakan sumber virus. Hewan yang terinfeksi secara persisten
(kronis) seringkali tidak menunjukkan tanda klinis, tetapi menyebarkan partikel virus ke
lingkungan melalui tinjanya. Virus juga dapat menempel pada benda mati
seperti pakaian, sepatu, dan kendaraan sehingga orang yang bepergian antar peternakan babi
memiliki peran penting dalam penyebaran penyakit.
Babi sehat menjadi terinfeksi akibat menelan partikel virus, termasuk memakan daging
babi atau olahannya yang mengandung virus CSF. Konsumsi sampah sisa makanan yang dikenal
dengan istilah swill feeding juga dapat membuat babi terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi
secara vertikal selama kebuntingan. Janin dapat terinfeksi sejak berada dalam rahim induk yang
menderita demam babi klasik. Keberadaan babi liar di sekitar peternakan babi juga perlu
diwaspadai.
Tanda Klinis
Penyakit ini memiliki bentuk akut dan kronis, dengan manifestasi klinis yang bervariasi.
Babi dapat menunjukkan tanda klinis yang berat dengan angka kematian yang tinggi, hingga
tanda klinis yang ringan atau bahkan tidak terlihat. Perbedaan ini dipengaruhi oleh strain virus,
umur dan tingkat kekebalan babi, serta adanya infeksi campuran. Masa inkubasi berlangsung
antara 2-14 hari atau 3-7 hari pada bentuk akut.
Demam babi klasik bentuk akut disebabkan oleh strain virus ganas dan seringkali
ditemukan pada babi berusia muda. Tanda klinis yang dijumpai yaitu demam tinggi; lemah dan
tidak nafsu makan; konjungtivitis; sianosis terutama pada telinga, moncong, kaki, dan
ekor; hiperemi atau pendarahan multifokal pada kulit; konstipasi yang diikuti diare,
pembengkakan kelenjar getah bening; ataksia, paresis, dan konvulsi; inkoordinasi dan cara
berjalan yang aneh; leukopenia berat; dan perilaku berkerumun bersama-sama. Beberapa babi
akan muntah atau menunjukkan gangguan sistem pernapasan.[12] Kematian biasanya terjadi
setelah 1-2 pekan di mana angka kematian pada babi muda bisa mencapai 100%. Kematian
mendadak tanpa adanya tanda klinis bukanlah karakter penyakit ini.
Penyakit bentuk kronis disebabkan oleh strain virus yang lebih jinak atau pada
peternakan yang sebagian babinya telah memiliki kekebalan terhadap virus CSF. Babi yang sakit
kronis menunjukkan perilaku bodoh, nafsu makan yang berubah-ubah, demam, dan diare hingga
satu bulan, rambut acak-acakan, dan pertumbuhan terhambat. Babi yang sakit akan terlihat pulih
dalam beberapa pekan, tetapi tanda klinis penyakit dapat muncul kembali.
Pada penularan kongenital, janin dapat mengalami kematian atau abortus, kelemahan
umum, tremor, kekerdilan pertumbuhan, dan berujung pada kematian dalam beberapa pekan atau
bulan. Infeksi kongenital juga dapat terjadi secara persisten tanpa tanda klinis. Walaupun
demikian, babi hanya mampu bertahan hidup beberapa bulan dan akan mati dalam satu tahun.
Diagnosis
Epidemiologi
Hubungan epidemiologis yang tepat antara strain virus PRRS Amerika dan Eropa sulit
untuk dibangun karena isolat yang berbeda tampaknya milik sub-populasi yang berbeda yang
hanya terkait secara antigenik. Di lingkungan, kelangsungan hidup virus optimal ketika suhu
dingin dan ketika paparan sinar ultra violet rendah (sedikit sinar matahari). Kondisi ini mudah
dicapai di musim dingin dan itu dapat menjelaskan mengapa penyebaran virus meningkat selama
periode ini. Babi dari segala usia (termasuk babi hutan) adalah satu-satunya hewan yang
diketahui terinfeksi PRRSV secara alami. Kontak yang relatif dekat antara babi adalah faktor
utama dalam penularan virus. Transmisi udara adalah mekanisme penyebaran kedua, terutama di
musim dingin dan khususnya jarak kurang dari 3 km. Rute penularan ketiga adalah melalui
semen. Dalam suatu populasi, virus menyebar dengan cepat hingga 85 hingga 95% babi dalam
kawanan menjadi positif sero dalam dua hingga tiga bulan. Setelah itu, aktivitas virus berlanjut
untuk waktu yang lama (beberapa bulan hingga tahun) (Albina, 1997). Salah satu hal penting
dari virus PRSS adalah kemampuannya bertahan dalam babi dalam jangka panjang (lebih dari
200 hari). Namun, pengamatan lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar babi yang
terinfeksi pada akhirnya menjadi kebal, kemudian titer virus menurun pada hari ke 60 setelah
infeksi. Disertai pula dengan penurunan titer antibodi yang stabil selama empat hingga delapan
bulan setelah infeksi. Virus PRRS juga telah menyebar di sebagian provinsi di Indonesia
termasuk Bali.
Patogenesis
Penularan umumnya terjadi melalui air liur, semen, serta alat transpostasi yang sudah
tercemar oleh virus. Infeksi PRRS dominan hadir sebagai infeksi subklinis, berperan sebagai
faktor pendamping dalam berbagai sindrom penyakit polimikroba, seperti porcine respiratory
disease complex (PRDC) dan porcine circovirus associated disease (PCVAD). Virus PRRS ini
bereplikasi di makrofag alveolar, ada juga literatur yang menyebutkan replikasi pertama virus
pada epitel hidung dan bronkial. Virus ini dapat menyebar dari paru-paru ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah, selanjutnya virus pada leukosit atau monosit kemudian akan bermigrasi
ke jaringan yang berbeda untuk menjadi makrofag tissular. Melalui diseminasi ini, PRRS. dapat
mencapai saluran reproduksi, yang mengarah pada pengembangan tanda-tanda klinis yang terkait
dengan reproduksi. Mengenai efek virus pada awal kehamilan, hal pertama yang harus
diperhitungkan adalah kemungkinan penularan penyakit kelamin. Proses inseminasi buatan pada
babi betina ataupun kawin alami dengan babi jantan yang terinfeksi dapat mengakibatkan resiko
penularan PRRS (Prieto dan Castro, 2000).
Tanda Klinis
Manifestasi klinis penyakit PRRS pada babi secara umum tergantung pada tipe virus dan
tingkat patogenitas virus. Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dari asimptomatik
sampai dengan gejala yang multisistemik. Secara umum gejala klinis terbagi dalam bentuk
gangguan reproduksi dan pernafasan. Tanda klinis yang teramati yakni anoreksia, demam, lesu,
depresi, gangguan pernapasan (pneumonia) dan muntah. Sianosis ringan pada telinga, perut, dan
vulva telah dilaporkan terjadi pada beberapa wabah. Masalah-masalah reproduksi, seringkali
merupakan tanda-tanda yang paling jelas, termasuk penurunan jumlah kandungan/janin. Terjadi
peningkatan kelahiran babi prematur, abortus jangka panjang, stilllbirth serta mumifikasi fetus.
Pada induk yang menyusui seringkali mengalami dyspnea. Pada babi jantan terjadi penurunan
kualitas sperma. Pada babi muda/ starter, seringkali terlihat kerdil, serta mengalami gangguan
pernafasan.
Diagnosis
Diagnosis untuk mendeteksi virus PRRS dapat dilakukan dengan isolasi virus, deteksi
antigen PRRS dengan tes antibodi fluoresen (FAT) atau imunohistokimia (IHC), atau deteksi
genom virus PRRS dengan reaksi RT-PCR dan digabungkan dengan adanya lesi yang khas.
Deteksi virus PRRS paling baik dilakukan pada babi yang terkena selama tahap awal infeksi
PRRS. Spesimen yang cocok diperoleh dari fetus yang lahir lemah. Jaringan terbaik untuk
metode deteksi virus termasuk bronchoalveolar lavage (BAL), serum, paru-paru, kelenjar getah
bening, tonsil dan limpa.
Patogenesis
PEDv ditularkan terutama melalui rute faecal-oral dan babi yang terinfeksi melepaskan
sejumlah besar virus selama tujuh hingga sembilan hari. Penularan dapat melalui kontak
langsung dengan babi yang terinfeksi atau secara tidak langsung oleh paparan kotoran babi yang
terinfeksi, virus PED dapat bertahan pada suhu dingin, bahan organik lembab hingga satu bulan.
Virus ini dibunuh oleh disinfektan yang paling umum seperti Virkon S ™. PED juga dapat
menyebar melalui udara, melalui semen dan plasma darah. Produk darah babi yang
terkontaminasi yang dimasukkan ke dalam ransum untuk memberi makan anak babi dicurigai
sebagai cara untuk menyebarkan virus (OIE). Masa inkubasi diperkirakan antara 1 dan 4 hari.
Periode infeksi dapat berlangsung antara 6 dan 35 hari setelah timbulnya tanda klinis. Viraemia
terdeteksi pada babi usia 2-4 minggu yang secara eksperimental terinfeksi virus PED. Virus
masuk melalui oral selanjutnya akan bereplikasi dalam sel epitel vili usus kecil dan kolon yang
mengakibatkan degenerasi enterosit yang menyebabkan pemendekan pada vili. Hal ini
menyebabkan terjadinya diare cair pada individu yang terinfeksi.
Tanda Klinis
Tanda klinis infeksi virus PED pada babi dapat bervariasi dari keparahannya dan tidak
dapat dibedakan dengan penyebab diare lainnya. Tanda-tanda klinis tergantung pada usia babi,
status imunologis babi, adanya infeksi sekunder. Pada anak babi diare cair, tanpa darah atau
lendir, yang biasanya berwarna kuning kehijauan, sering disertai dengan muntah dan anoreksia
yang dapat menyebabkan kematian hingga 100% anak babi yang berumur kurang dari satu
minggu.
Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada riwayat, tanda-tanda klinis pada kelompok umur yang berbeda
dan pemeriksaan sampel feses babi yang mengalami diare. Pengujian secara serologi dapat
dilakukan dengan ELISA, Immunofluorescence, IHC, Serum neutralisation. Untuk identfikasi
dan isolasi virus PED dapat dilakukan dengan Reverse-transcriptase polymerase chain reaction
(RT-PCR).
Demam babi Afrika (African swine fever, disingkat ASF) adalah penyakit menular
pada babi yang disebabkan oleh virus African swine fever. Virus ini dapat menginfeksi anggota
famili Suidae, baik babi yang diternakkan maupun babi liar. Penyakit ASF dapat menyebar
dengan cepat dengan tingkat kematian yang tinggi sehingga dapat menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar.
Demam babi Afrika disebabkan oleh African swine fever virus (ASFV) yang merupakan
satu-satunya spesies virus dalam famili Asfarviridae dan genus Asfivirus. Virus ini merupakan
virus DNA dengan untai ganda. Resistansi virus ASF terhadap perlakuan fisik dan kimiawi yaitu:
Epidemiologi
Demam babi Afrika pertama kali diidentifikasi pada tahun 1921 di Kenya, Afrika
Timur walaupun wabahnya telah terjadi sejak tahun 1909. Kasus penyakit ini tetap terbatas di
benua Afrika hingga tahun 1957 pada saat ASF dilaporkan di Portugal kemudian selanjutnya
menyebar ke berbagai negara di Eropa (Italia, 1967; Spanyol, 1969; Prancis, 1977; Malta,
1978; Belgia, 1985; dan Belanda, 1986), hingga ke Kepulauan Karibia (Kuba, 1971 dan
1980; Republik Dominika, 1978; dan Haiti, 1979) serta Amerika Selatan (Brasil, 1978).Virus
ASF ditemukan pada babi liar di Iran pada tahun 2010, tetapi setelah itu tak ada laporan kasus
lagi di wilayah Timur Tengah. Di bulan Agustus 2018, Tiongkok melaporkan wabah demam
babi Afrika di provinsi Liaoning, di mana kasus ini merupakan yang pertama di Asia
Timur. Kasus ASF pun menyebar ke negara Asia lainnya, yaitu Mongolia, Korea Utara,
dan Korea Selatan. Beberapa ilmuwan Tiongkok di Universitas Nankai mendeteksi virus ASF
pada Dermacentor, caplak keras pada kambing dan sapi. Pada bulan Februari
2019, Vietnam mengonfirmasi kasus demam babi Afrika. Hal ini menjadikannya negara Asia
Tenggara pertama yang terinfeksi penyakit ini. Secara berturut-turut, demam babi Afrika juga
ditemukan di Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar, dan Timor Leste. Hingga bulan September
2019, enam negara di Asia Tenggara telah melaporkan kasus ASF. Di Indonesia kasus diduga
ASF muncul di pulau Sumatra pada pertengahan bulan nopember 2019.
Patogenesis
Babi yang sehat dapat terinfeksi ASF melalui rute penularan secara langsung dan tidak
langsung. Penularan langsung terjadi melalui kontak fisik antara babi terinfeksi dengan babi
sehat, sedangkan penularan tidak langsung terjadi dengan cara:
Menelan makanan atau sisa makanan yang mengandung partikel virus ASF. Konsumsi
sisa makanan dikenal dengan istilah swill feeding. Sisa makanan yang dihasilkan dari
penerbangan pesawat udara dan kapal laut yang berlayar antarnegara atau antarwilayah
merupakan salah satu sumber infeksi virus ASF.
Gigitan caplak yang bertindak sebagai vektor biologis. Virus ASF dapat hidup dalam
tubuh caplak lunak dari genus Ornithodoros, seperti O. erraticus dan O. moubata.
Kontak dengan benda mati yang membawa partikel virus, seperti pakaian, sepatu, dan
kendaran.
Demam babi Afrika dapat ditularkan baik dengan caplak maupun tanpa adanya caplak
sebagai perantara, bergantung pada siklus epidemiologis penyakit yang dipengaruhi oleh lokasi
geografis dan spesies babi yang terlibat. Cairan hidung dan mulut, jaringan, darah, urin, dan
feses dari hewan terinfeksi, baik hidup maupun mati, merupakan sumber virus. Babi yang telah
pulih dari infeksi akut dan kronis dapat berstatus terinfeksi secara persisten dan berperan sebagai
pembawa virus.
Tanda Klinis
Terdapat variasi tanda klinis dan tingkat kematian akibat ASF, bergantung pada tingkat
virulensi virus dan spesies babi yang terinfeksi. Bentuk penyakit yang ditemukan yaitu
perakut, akut, subakut kronis, dan subklinis. Masa inkubasi biasanya berlangsung antara 4-19
hari. Pada penyakit bentuk akut, masa inkubasi berlangsung lebih singkat (3-7 hari), diikuti
dengan demam tinggi (hingga 42 °C), dan kematian dalam 5-10 hari atau dalam 6-13 hari
(hingga 20 hari). Selain demam tinggi, tanda klinis lain yang ditemukan yaitu depresi, hilangnya
nafsu makan, hemoragi pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis, muntah,
dan diare. Angka kematian dapat mencapai 100% dan terkadang, kematian terjadi bahkan
sebelum tanda klinis dapat diamati.
Pada bentuk subakut dan kronis yang disebabkan oleh virus dengan virulensi yang
rendah, tanda klinis yang muncul lebih ringan dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih
lama. Tingkat kematian lebih rendah, berkisar antara 30-70%. Manifestasi penyakit bentuk
kronis di antaranya penurunan berat badan, demam intermiten atau berkala, gangguan
pernapasan, ulser pada kulit, dan radang sendi. Bentuk ini jarang ditemukan pada wabah
penyakit. Beragam jenis babi memiliki kerentanan yang berbeda terhadap virus ASF. Babi liar
Afrika dapat terinfeksi tanpa menunjukkan tanda-tanda klinis yang memungkinkan mereka untuk
bertindak sebagai reservoir.
Diagnosis
Demam babi Afrika tidak dapat dibedakan dengan demam babi klasik hanya dengan
pemeriksaan klinis atau pascamati. Pengujian laboratorium diperlukan untuk mendiagnosis
penyakit ini. Sampel darah, serum, limpa,tonsil, dan kelenjar getah bening gastrohepatik dari
kasus yang dicurigai harus diserahkan ke laboratorium untuk konfirmasi. Metode pengujian yang
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus ASF yaitu isolasi virus atau uji hemadsorpsi,
uji antibodi fluoresens (FAT), ELISA, serta reaksi berantai polimerase (PCR), baik PCR
konvensional maupun real-time PCR. Adapun metode pengujian untuk mendeteksi respons
kekebalan tubuh yaitu ELISA antibodi, uji imunoperoksidase tidak langsung (IPT), uji antibodi
fluoresens tidak langsung (IFAT), dan uji imunoblot (IBT).
BAB III
PENUTUP
Penyakit virus pada babi sangat merugikan sektor peternakan babi di seluruh dunia.
Sebagian besar penyakit virus pada babi memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinngi. Selain
vaksinasi dan biosekuriti belum ada obat yang mampu melawan penyakit virus. Beberapa
penyakit diatas merupakan penyakit virus yang umum pada peternakan babi di dunia dan
Indonesia khususnya. Pengetahuan akan etiologi, epidemiologi, tanda klinis serta cara untuk
mendiagnosis penyakit virus sangat penting bagi profesi dokter hewan yang bekerja di sektor
peternakan babi. Dengan berbekal pengetahuan tersebut diharapakan dokter hewan mampu
mengambil tindakan dalam upaya pencegahan maupun pengobatan apabila ada wabah virus pada
suatu peternakan babi baik pada peternakan skala kecil (backyard) maupun peternakan dalam
skala besar.
DAFTAR PUSTAKA
oleh:
1882321004
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019