Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Babi merupakan salah satu komunitas ternak penghasil daging yang memiliki potensial
yang besar untuk dikembangkan karena mempunyai sifat-sifat menguntungkan, di antaranya:
laju pertumbuhan yang cepat, jumlah anak perkelahiran (litter size) yang tinggi, efisien dalam
mengubah pakan menjadi daging dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan
lingkungan. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha pengembangan ternak babi
dan aspek manajemen adalah faktor kesehatan dan kontrol penyakit. Ternak babi sangat peka
terhadap berbagai penyakit.

Penyakit infeksi pada babi merupakan kendala sangat besar dalam mengelola peternakan
babi di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Para peternak telah melakukan berbagai program
pencegahan terhadap penyakit infeksi pada babi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa
morbiditas dan mortalitas anak babi masih cukup tinggi, terutama pada peternakan rakyat.
Tingginya mortalitas ini disebabkan oleh banyak faktor, terutama serangan penyakit infeksi yang
terjadi mulai anak babi lahir sampai setelah disapih. Kuman penyakit mampu masuk ke dalam
tubuh babi melalui berbagai tempat masuk (port dientry) seperti saluran pencernaan bersama
makanan dan air minum, pernapasan, dan kulit.

Salah satu penyebab penyakit infeksi pada babi adalah virus. Virus merupakan organisme
patogen intraselular serta ukurannya paling kecil dibandingkan dengan agen infeksi lainnya
seperti bakteri ataupun parasit. Virus hanya dapat terlihat atau terdeteksi menggunakan
mikroskop elektron. Virus yang menginfeksi babi dapat berupa virus DNA dan virus RNA.
Selain dengan menggunakan mikroskop elektron diagnosa terhadap penyakit virus dapat
dilakukan dengan pengujian serologi yakni menggunakan metode ELISA dan FAT. Teknik
Polymersae chain reaction (PCR) juga dapat digunakan untuk mendeteksi materi genetik virus
baik DNA maupun RNA pada sampel.

Tidak ada pengobatan untuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Beberapa
vaksin telah dikembangkan untuk pencegahan terhadap penyakit virus. Hal ini sangat membantu
dalam mengatasi infeksi virus pada babi. Pemberian antibiotik juga dapat kerap dilakukan untuk
menghindari infeksi sekunder. Pemberian vitamin serta suplemen terbukti mampu menjaga dan
meningkatkan daya tahan atau sistem kekebalan tubuh dari babi tersebut.

Ada beberapa penyakit virus yang umumnya menyebabkan penyakit pada babi akan
dibahas pada paper ini. Penyakit virus tersebut menyerang babi di Indonesia dan juga di seluruh
dunia. Penyakit virus pada babi yang saat ini menjadi topik di seluruh dunia adalah African
Swine Fever. Penyakit ASF juga sudah masuk ke Indonesia baru baru ini. Penyakit ini sangat
ditakuti oleh seluruh peternak babi karena tingkat mortalitasnya sangat tinggi serta
penyebarannya yang begitu cepat. Belum adanya vaksin terhadap virus ini juga merupakan salah
satu kendala besar yang dihadapi oleh peternak serta pemerintah. Beberapa penyakit virus
lainnya adalah classical swine fever atau yang dikenal dengan hog cholera, porcine reproductive
and respiratory syndrome (PRRS), Japanese encephalitis (JE), porcine epidemic diarrhea
(PED),dll.
BAB II

PENYAKIT VIRUS PADA BABI

 Classical Swine Fever ( Hog Cholera)

Demam babi klasik (classical swine fever) atau kolera babi (hog cholera) adalah penyakit
menular pada babi yang disebabkan oleh virus classical swine fever. Penyakit ini ditandai dengan
demam tinggi, kejang, dan pendarahan pada permukaan kulit serta organ dalam (limpa, ginjal,
dan usus), dan seringkali berakhir pada kematian. Demam babi klasik disebabkan oleh classical
swine fever virus (CSFV) yang berada dalam famili Flaviviridae dan genus Pestivirus. Virus ini
dikelompokkan dalam grup IV dalam sistem klasifikasi Baltimore, yaitu virus RNA untai
tunggal dengan sense-positif. Genus Pestivirus terdiri atas 11 spesies, yang diberi
nama Pestivirus A sampai Pestivirus K. Virus CSF sendiri merupakan nama lain dari Pestivirus
C. Virus CSF memiliki kemiripan antigenik dengan bovine viral diarrhea virus (BVDV) yang
digolongkan dalam Pestivirus A dan Pestivirus B, serta border disease virus (BDV) yang
merupakan sinonim dari Pestivirus D.

Resistansi virus CSF terhadap perlakuan fisik dan kimiawi yaitu:

 Temperatur: Terinaktivasi setelah dipanaskan pada 65,5 °C selama 30 menit atau 71 °C


selama 1 menit, tetapi dapat bertahan berbulan-bulan pada daging beku.
 pH: Stabil pada pH 5-10; terinaktivasi dengan cepat pada pH<3 dan pH>11.
 Disinfektan:
Rentan terhadap eter, kloroform, dan ß-propiolactone (0,4%). Terinaktivasi dengan
disinfektan berbasis klorin, kresol (5%), natriumhidroksida (2%), formalin (1%), natrium
karbonat (anhidrat 4% atau kristal 10%, dengan detergen 0,1%), detergen ionik dan
nonionik, serta iodophor kuat (1%) dalam asam fosfat.
 Kelangsungan hidup: Cukup rapuh dan tidak bertahan di lingkungan. Rentan terhadap
kondisi kering dan sinar ultraviolet. Bertahan dengan baik di kandang selama kondisi dingin
(hingga 4 pekan di musim dingin). Bertahan 3 hari pada suhu 50 °C dan 7-15 hari pada suhu
37 °C. Bertahan dalam daging garaman dan daging asap selama 17 hingga >180 hari
bergantung pada prosesnya. Virus bertahan 3-4 hari pada organ yang membusuk dan 15 hari
pada darah dan sumsum tulang yang membusuk.

Patogenesis

Infekai alami umumnya terjadi melaui rute oro-nasal. Yang tinggi dari virus hog cholera
Virus masuk ke dalam tubuh dapat melalui konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui kulit
yang terluka. Dengan afinitas yang tinggi dari virus hog cholera terhadap sel-sel sistem
retikuloendotelial, virus HC akan menginfeksi sel-sel endotel sistem vaskuler (kapiler, vena
maupun arteri dan pembuluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis serta nekrotik. Virus
melakukan replikasi dalam tonsil, segera menyebar luas ke jaringan limforetikuler di sekitarnya.
Dengan perantaraan cairan limfe virus menyebar ke kelenjar limfe. Di dalam kelenjar limfe virus
memperbanyak diri dan selanjutnya dengan perantara pembuluh darah virus terbawa ke perifer
kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe visceral. Perkembangan
virus yang cepat juga terjadi di dalam sel leukosit, hingga timbul viremia. Pada penyakit yang
berjalan akut sering terjadi pendarahan yang disebabkan gangguan sirkulasi yang akut oleh
proses degenerasi sel-sel endotel pembuluh darah dan reaksi imunologis.

Cara penularan yang paling sering terjadi adalah melalui kontak langsung antara babi
terinfeksi dengan babi sehat. Cairan tubuh dari babi terinfeksi (air liur, leleran dari hidung dan
mata, darah, urin, serta tinja) merupakan sumber virus. Hewan yang terinfeksi secara persisten
(kronis) seringkali tidak menunjukkan tanda klinis, tetapi menyebarkan partikel virus ke
lingkungan melalui tinjanya. Virus juga dapat menempel pada benda mati
seperti pakaian, sepatu, dan kendaraan sehingga orang yang bepergian antar peternakan babi
memiliki peran penting dalam penyebaran penyakit.

Babi sehat menjadi terinfeksi akibat menelan partikel virus, termasuk memakan daging
babi atau olahannya yang mengandung virus CSF. Konsumsi sampah sisa makanan yang dikenal
dengan istilah swill feeding juga dapat membuat babi terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi
secara vertikal selama kebuntingan. Janin dapat terinfeksi sejak berada dalam rahim induk yang
menderita demam babi klasik. Keberadaan babi liar di sekitar peternakan babi juga perlu
diwaspadai.
Tanda Klinis

Penyakit ini memiliki bentuk akut dan kronis, dengan manifestasi klinis yang bervariasi.
Babi dapat menunjukkan tanda klinis yang berat dengan angka kematian yang tinggi, hingga
tanda klinis yang ringan atau bahkan tidak terlihat. Perbedaan ini dipengaruhi oleh strain virus,
umur dan tingkat kekebalan babi, serta adanya infeksi campuran. Masa inkubasi berlangsung
antara 2-14 hari atau 3-7 hari pada bentuk akut.

Demam babi klasik bentuk akut disebabkan oleh strain virus ganas dan seringkali
ditemukan pada babi berusia muda. Tanda klinis yang dijumpai yaitu demam tinggi; lemah dan
tidak nafsu makan; konjungtivitis; sianosis terutama pada telinga, moncong, kaki, dan
ekor; hiperemi atau pendarahan multifokal pada kulit; konstipasi yang diikuti diare,
pembengkakan kelenjar getah bening; ataksia, paresis, dan konvulsi; inkoordinasi dan cara
berjalan yang aneh; leukopenia berat; dan perilaku berkerumun bersama-sama. Beberapa babi
akan muntah atau menunjukkan gangguan sistem pernapasan.[12] Kematian biasanya terjadi
setelah 1-2 pekan di mana angka kematian pada babi muda bisa mencapai 100%. Kematian
mendadak tanpa adanya tanda klinis bukanlah karakter penyakit ini.

Penyakit bentuk kronis disebabkan oleh strain virus yang lebih jinak atau pada
peternakan yang sebagian babinya telah memiliki kekebalan terhadap virus CSF. Babi yang sakit
kronis menunjukkan perilaku bodoh, nafsu makan yang berubah-ubah, demam, dan diare hingga
satu bulan, rambut acak-acakan, dan pertumbuhan terhambat. Babi yang sakit akan terlihat pulih
dalam beberapa pekan, tetapi tanda klinis penyakit dapat muncul kembali.

Pada penularan kongenital, janin dapat mengalami kematian atau abortus, kelemahan
umum, tremor, kekerdilan pertumbuhan, dan berujung pada kematian dalam beberapa pekan atau
bulan. Infeksi kongenital juga dapat terjadi secara persisten tanpa tanda klinis. Walaupun
demikian, babi hanya mampu bertahan hidup beberapa bulan dan akan mati dalam satu tahun.

Diagnosis

Dengan tanda klinis yang bervariasi, pengujian laboratorium dibutuhkan untuk


menegakkan diagnosis. Untuk mengonfirmasi kasus klinis, isolasi virus pada kultur sel dan
uji reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan metode pengujian yang sesuai, diikuti dengan
uji netralisasi virus. Uji ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi yang dihasilkan oleh
babi. Namun, perlu diingat bahwa virus CSF bersifat imunosupresif sehingga antibodi tidak bisa
dideteksi dengan jelas hingga minimum 21 hari pascainfeksi. Pemeriksaan antibodi lebih tepat
digunakan untuk mendeteksi sisa-sisa infeksi dalam suatu peternakan, mengevaluasi usaha
pemberantasan penyakit, mengetahui prevalensi penyakit, memastikan individu hewan bebas
penyakit sebelum dilalulintaskan, serta mengetahui status kekebalan tubuh pascavaksinasi.

 Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS)


Penyakit porcine respiration and reproductive syndrome (PRRS) dilaporkan telah
menyebar di seluruh dunia dan menimbulkan kerugian yang tinggi pada peternakan babi
(Neumann et al., 2005). Penyakit PRRS adalah penyakit menular ganas pada babi yang
disebabkan oleh virus dengan gejala utama gangguan reproduksi dan pernafasan dan
mengakibatkan kerugian ekonomi cukup besar. Keberadaan virus tersebut baru dilaporkan
pertama kali pada tahun 1987 di United States. Agen penyebab virus PRRS diisolasi pertama kali
di Belanda dan dinamakan European type yang diwakili oleh virus Lelystad dan North American
type yang diwakili oleh virus VR-2332 yang di isolasi di Amerika pada tahun 1992 (Benfield et
al., 1992). Materi genetik kedua tipe virus tersebut adalah sama, yaitu virus RNA, beramplop,
tergolong famili Arteriviridae, beruntai pendek dan tidak bersegmen (Benfield et al., 1992).
Virus PRRS hanya tahan terhadap degradasi lingkungan. Virus ini mudah diinaktivasi oleh fenol,
formaldehida, dan desinfektan yang paling umum. Virus ini memiliki kecenderungan untuk sel-
sel sistem kekebalan tubuh, termasuk makrofag intravaskular paru (PIM) dan makrofag alveolar
paru (PAM).

Epidemiologi

Hubungan epidemiologis yang tepat antara strain virus PRRS Amerika dan Eropa sulit
untuk dibangun karena isolat yang berbeda tampaknya milik sub-populasi yang berbeda yang
hanya terkait secara antigenik. Di lingkungan, kelangsungan hidup virus optimal ketika suhu
dingin dan ketika paparan sinar ultra violet rendah (sedikit sinar matahari). Kondisi ini mudah
dicapai di musim dingin dan itu dapat menjelaskan mengapa penyebaran virus meningkat selama
periode ini. Babi dari segala usia (termasuk babi hutan) adalah satu-satunya hewan yang
diketahui terinfeksi PRRSV secara alami. Kontak yang relatif dekat antara babi adalah faktor
utama dalam penularan virus. Transmisi udara adalah mekanisme penyebaran kedua, terutama di
musim dingin dan khususnya jarak kurang dari 3 km. Rute penularan ketiga adalah melalui
semen. Dalam suatu populasi, virus menyebar dengan cepat hingga 85 hingga 95% babi dalam
kawanan menjadi positif sero dalam dua hingga tiga bulan. Setelah itu, aktivitas virus berlanjut
untuk waktu yang lama (beberapa bulan hingga tahun) (Albina, 1997). Salah satu hal penting
dari virus PRSS adalah kemampuannya bertahan dalam babi dalam jangka panjang (lebih dari
200 hari). Namun, pengamatan lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar babi yang
terinfeksi pada akhirnya menjadi kebal, kemudian titer virus menurun pada hari ke 60 setelah
infeksi. Disertai pula dengan penurunan titer antibodi yang stabil selama empat hingga delapan
bulan setelah infeksi. Virus PRRS juga telah menyebar di sebagian provinsi di Indonesia
termasuk Bali.

Patogenesis

Penularan umumnya terjadi melalui air liur, semen, serta alat transpostasi yang sudah
tercemar oleh virus. Infeksi PRRS dominan hadir sebagai infeksi subklinis, berperan sebagai
faktor pendamping dalam berbagai sindrom penyakit polimikroba, seperti porcine respiratory
disease complex (PRDC) dan porcine circovirus associated disease (PCVAD). Virus PRRS ini
bereplikasi di makrofag alveolar, ada juga literatur yang menyebutkan replikasi pertama virus
pada epitel hidung dan bronkial. Virus ini dapat menyebar dari paru-paru ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah, selanjutnya virus pada leukosit atau monosit kemudian akan bermigrasi
ke jaringan yang berbeda untuk menjadi makrofag tissular. Melalui diseminasi ini, PRRS. dapat
mencapai saluran reproduksi, yang mengarah pada pengembangan tanda-tanda klinis yang terkait
dengan reproduksi. Mengenai efek virus pada awal kehamilan, hal pertama yang harus
diperhitungkan adalah kemungkinan penularan penyakit kelamin. Proses inseminasi buatan pada
babi betina ataupun kawin alami dengan babi jantan yang terinfeksi dapat mengakibatkan resiko
penularan PRRS (Prieto dan Castro, 2000).

Tanda Klinis

Manifestasi klinis penyakit PRRS pada babi secara umum tergantung pada tipe virus dan
tingkat patogenitas virus. Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dari asimptomatik
sampai dengan gejala yang multisistemik. Secara umum gejala klinis terbagi dalam bentuk
gangguan reproduksi dan pernafasan. Tanda klinis yang teramati yakni anoreksia, demam, lesu,
depresi, gangguan pernapasan (pneumonia) dan muntah. Sianosis ringan pada telinga, perut, dan
vulva telah dilaporkan terjadi pada beberapa wabah. Masalah-masalah reproduksi, seringkali
merupakan tanda-tanda yang paling jelas, termasuk penurunan jumlah kandungan/janin. Terjadi
peningkatan kelahiran babi prematur, abortus jangka panjang, stilllbirth serta mumifikasi fetus.
Pada induk yang menyusui seringkali mengalami dyspnea. Pada babi jantan terjadi penurunan
kualitas sperma. Pada babi muda/ starter, seringkali terlihat kerdil, serta mengalami gangguan
pernafasan.

Diagnosis

Diagnosis untuk mendeteksi virus PRRS dapat dilakukan dengan isolasi virus, deteksi
antigen PRRS dengan tes antibodi fluoresen (FAT) atau imunohistokimia (IHC), atau deteksi
genom virus PRRS dengan reaksi RT-PCR dan digabungkan dengan adanya lesi yang khas.
Deteksi virus PRRS paling baik dilakukan pada babi yang terkena selama tahap awal infeksi
PRRS. Spesimen yang cocok diperoleh dari fetus yang lahir lemah. Jaringan terbaik untuk
metode deteksi virus termasuk bronchoalveolar lavage (BAL), serum, paru-paru, kelenjar getah
bening, tonsil dan limpa.

 Japanese Encephalistis (JE)


Japanese encephalitis adalah penyakit viral zoonotik yang ditularkan oleh nyamuk.
Penyakit ini disebabkan oleh arbovirus (arthropod borne virus) yaitu dari famili Flavivirus yang
menyerang susunan saraf pusat (Central Nervus System). Di alam, virus ini dapat bertahan hidup
dalam tubuh unggas liar (seperti pada bangsa burung bangau) dan juga hewan-hewan lainnya,
terutama pada babi. Infeksi pada manusia, virus tersebut dapat menyebabkan penyakit syaraf
yang serius. Gejala umum penyakit tersebut antara lain seperti: sakit kepala, demam tinggi, leher
terasa kaku (kaku kuduk), pergerakan yang tidak normal (tremor dan kejang-kejang pada anak-
anak), mengganggu kesadaran dan koma.
Virus JE adalah virus yang dikelompokkan ke dalam Arbovirus (Arthropod Borne Virus)
tipe B, sehingga sering disebut sebagai penyakit Japanese B Encephalitis. Virus JE termasuk
virus ribonucleic acid (RNA) yang beramplop, sehingga tidak tahan tahan terhadap pelarut
lemak seperti, eter, kloroform, sodium deoksikholat dan enzim proteolitik atau enzim lipolitik.
Virus ini juga sangat sensitive terhadap detergen dan tripsin, tetapi tahan terhadap aktinomisin D
atau guanidine. Dalam keadaan basa (pH 7-9) virus JE stabil, tetapi dengan pemanasan 550C
selama 30 menit dan penyinaran dengan sinar UV virus JE menjadi inaktif (Dong et al., 2004).
Selain menyerang manusia, virus ini dapat menyerang pada kelompok ternak seperti:
kuda, keledai dan babi. Pada kelompok hewan lainnya, virus ini pun dapat menyerang, seperti:
sapi, kambing, kucing dan anjing, namun dengan gejala penyakit yang tidak spesifik. Pada ternak
babi yang terinfeksi, virus ini akan menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (viremia)
dalam kadar yang tinggi dan dalam waktu yang relatif lama. Oleh sebab itu, ternak babi
merupakan hewan reservoir (Amplify Host) yang penting bagi penyebaran penyakit ini. Manusia
merupakan dead-end bagi penularan virus J. encephalitis, karena viremia yang terjadi cepat
dalam peredaran darah. Viremia pada penderita hanya beberapa jam saja sehingga sulit
ditularkan ke orang lain. Siklus penularan yang penting untuk suatu tingkat endemisitas suatu
daerah adalah siklus penularan di hewan terutama pada babi yang didukung oleh populasi
nyamuk sebagai vektor penyakit ini. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan bahwa babi
dianggap sebagai reservoir utama penularan virus Japanese di Indonesia.
Epidemiologi
Epidemiologi JE telah banyak dilaporkan di berbagai negara di Asia seperti Kamboja,
China, India, Jepang, Nepal, Filipina, Thailand dan Vietnam. Indonesia merupakan negara
kepulauan dan negara agraris, dimana sebagian besar mata pencaharian penduduknya dari
bertani, seperti menanam padi di sawah yang merupakan habitat yang paling baik bagi
perkembanganbiakan nyamuk termasuk vektor JE. Banyaknya populasi babi di Indonesia sangat
beresiko terhadap munculnya wabah (meningkatnya kejadian) JE pada manusia. Migrasi
nyamuk dari satu pulau ke pulau lain sering terjadi, bahkan migrasi nyamuk dari satu negara ke
Indonesia atau sebaliknya dapat terjadi.
Isolat virus JE yang berasal dari kasus wabah JE yang ditemukan di Australia bagian
Utara, yaitu di Torres Strait, berdasarkan sekuen genomnya, sama dengan isolate virus yang
diisolasi dari Malaysia. Thailand dan Indonesia termasuk ke dalam kelompok genotype 3. Dari
data tersebut dapat diartikan bahwa virus JE terdapat di kawasan Asia, yang dekat dengan
Indonesia, merupakan satu kelompok populasi yang penyebarannya melalui siklus vector
nyamuk-babi.
Patogenesis
Penyebaran penyakit JE tidak dapat ditularkan melaui kontak langsung, tetapi harus
melalui vektor, yaitu melalui gigitan nyamuk yang telah mengandung virus. Masa inkubasi pada
nyamuk penular antara 9-12 hari dan nyamuk yang terinfeksi virus JE, selama hidupnya akan
menjadi infektif yang dapat menularkan ke hewan (babi) dan manusia. Umur vector JE, nyamuk
Culex (Culex tritaeniorhynchus) berkisar antara 14-21 hari dan jarak terbang Culex dapat
mencapai lebih dari 3 km. Culex umumnya berkembang biak pada genangan air yang banyak
ditumbuhi tanaman seperti sawah dan saluran irigasi, selokan yang dangkal atau kolam yang
sudah tidak terpakai.
Pada babi, viremia terjadi selama 2-4 hari dan diikuti dengan pembentukan antibodi
dalam waktu 1 hingga 4 minggu. Virus JE dapat menembus placenta tergantung pada umur
kebuntingan dan galur virus JE. Kematian fetus dan mumifikasi dapat terjadi apabila infeksi JE
berlangsung pada umur kebuntingan 40-60 hari. Sedangkan infeksi JE sesudah umur
kebuntingan 85 hari, kelainan yang ditimbulkan sangat sedikit. Masa inkubasi JE pada manusia
berkisar antara 4-14 hari (Dong et al., 2004).
Tanda Klinis
Pada hewan umumnya infeksi JE tidak menimbulkan gejala klinis . Gejala klinis
ensefalitis dapat terlihat pada kuda dan keledai seperti yang terjadi pada manusia. Akan tetapi,
kuda bukan merupakan sumber yang nyata untuk penularan oleh nyamuk. Walaupun babi
merupakan reservoir JE yang paling baik, namun gejala ensefalitis pada babi sangat jarang
ditemukan . Pada babi dewasa antibodi dapat terdeteksi, walaupun gejala klinis berupa gangguan
syaraf umumnya tidak nampak, namun pada anak babi, kadang-kadang gejala klinis tampak,
tetapi hal ini sangat jarang sekali terjadi. Apabila induk babi yang sedang bunting terinfeksi virus
JE, dapat mengakibatkan stillbirth, keguguran, dan mumifikasi. Anak babiyang lahir dalam
keadaan lemah, kadang-kadang disertai dengan gejala syaraf, kemudian disertai dengan
kematian . Sering juga terlihat adanya kelainan pada anak babi yang dilahirkan . Kelainan
tersebut antara lain berupa hidrosefalus, oedema subkutan dan kekerdilan pada babi yang
mengalami mumifikasi.
Pada babi jantan yang terinfeksi JE, terlihat adanya pembendungan pada testes,
pengerasan pada epididimis, serta menurunnya libido . Virus dapat diekskresikan melalui semen,
sehingga mutu semen tersebut akan menurun karena banyak sperma yang tidak aktif bergerak
dan terdapat kelainan dari spermatozoa tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kemandulan.
Pada ternak lain seperti kambing, domba, sapi, kerbau ataupun unggas, gejala klinis infeksi JE
sering tidak tampak, walaupun antibodi terhadap JE dapat terdeteksi.
Diagnosis
Diagnosis JE pada ternak berdasarkan penentuan antibodi terhadap virus JE dengan
menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dan uji ELISA. Sesuai dengan sifat virus JE, yang
memiliki daya aglutinasi butir darah merah, maka uji HI dinilai sebagai uji yang paling banyak
digunakan . Selain mudah, murah, uji HI juga dapat diterapkan di laboratorium yang memiliki
fasilitas sederhana . Kendala yang ada adalah hasil uji HI tidak dapat mengkonfirmasi adanya
infeksi JE, karena pada uji ini reaksi silang dengan virus Dengue dapat terjadi, sehingga uji
lanjutan masih diperlukan.
lsolasi virus JE perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis baik dari hewan
maupun manusia. Mengingat JE termasuk penyakit zoonosis yang penanganannya harus
dilakukan pada laboratorium yang memiliki BSL 3, maka isolasi virus JE serta diagnosis JE
perlu dilakukan di laboratorium yang aman baik bagi pekerja maupun lingkungan sekitarnya.
Untuk menanggulangi kendala tersebut, uji reverse-transcriptase polymerase chain reaction
(RT-PCR) dapat membantu dalam mendiagnosa penyakit JE.
 Porcine Epidemic Diarrhea (PED)
Porcine Epidemic Diare (PED) adalah penyakit virus non-zoonosis pada babi yang
ditandai dengan diare berair/cair dan penurunan berat badan. Virus PED adalah virus RNA
beramplop yang termasuk dalam genus Alphacoronavirus dari family Coronaviridae. Penyakit
ini pertama kali diidentifikasi dan dilaporkan pada tahun 1971 tetapi sekarang telah didiagnosis
pada populasi babi di negara-negara yang sebelumnya tidak diketahui terkena penyakit tersebut.
PED mirip dengan yang penyakit Transmissible Gastroenteritis (TGE) yang meluas ke Eropa
dan Amerika. Saat ini hanya ada satu serotipe yang dikenali meskipun bisa ada variasi dalam
tingkat keparahan penyakit antar galur. Virus ini merusak vili usus, sehingga mengurangi
penyerapan dan mengakibatkan individu yang terserang kehilangan cairan serta dehidrasi. Masa
inkubasinya cepat, sekitar 12 hingga 24 jam, dan diare berlangsung 7 hingga 14 hari. Pada anak
babi yang rentan, penyakit ini parah dan mungkin memiliki angka kematian 100%. Dalam
populasi besar tidak semua induk babi terinfeksi pada waktu yang bersamaan. Infeksinya bisa
kronis, terutama di peternakan besar. Dosis infeksius sangat rendah, hewan yang terinfeksi
menghasilkan sejumlah besar virus dalam setiap gram feses, selama tiga hingga empat minggu
(OIE).
Epidemiologi

Meskipun PED pertama kali diidentifikasi di Eropa, namun telah mengakibatkan


kerugian ekonomi yang signifikan di banyak negara Asia yang memiliki peternakan babi,
termasuk Korea, Cina, Jepang, Vietnam, dan Filipina. Dari April 2013 hingga saat ini, wabah
besar PED telah dilaporkan di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Kemunculan kembali
PED menunjukkan bahwa virus tersebut mampu menghindari strategi vaksin saat ini. Strain PED
saat ini cenderung lebih patogen dan menyebabkan peningkatan kematian pada babi, sehingga
menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi produsen babi. Strain PED yang diisolasi di
Amerika Serikat secara genetik terkait dengan strain PED di China yang dilaporkan pada tahun
2012. Menariknya, strain PED Korea dan Taiwan yang diisolasi setelah wabah secara genetik
terkait dengan strain PED AS (Song et al., 2015).

Patogenesis

PEDv ditularkan terutama melalui rute faecal-oral dan babi yang terinfeksi melepaskan
sejumlah besar virus selama tujuh hingga sembilan hari. Penularan dapat melalui kontak
langsung dengan babi yang terinfeksi atau secara tidak langsung oleh paparan kotoran babi yang
terinfeksi, virus PED dapat bertahan pada suhu dingin, bahan organik lembab hingga satu bulan.
Virus ini dibunuh oleh disinfektan yang paling umum seperti Virkon S ™. PED juga dapat
menyebar melalui udara, melalui semen dan plasma darah. Produk darah babi yang
terkontaminasi yang dimasukkan ke dalam ransum untuk memberi makan anak babi dicurigai
sebagai cara untuk menyebarkan virus (OIE). Masa inkubasi diperkirakan antara 1 dan 4 hari.
Periode infeksi dapat berlangsung antara 6 dan 35 hari setelah timbulnya tanda klinis. Viraemia
terdeteksi pada babi usia 2-4 minggu yang secara eksperimental terinfeksi virus PED. Virus
masuk melalui oral selanjutnya akan bereplikasi dalam sel epitel vili usus kecil dan kolon yang
mengakibatkan degenerasi enterosit yang menyebabkan pemendekan pada vili. Hal ini
menyebabkan terjadinya diare cair pada individu yang terinfeksi.

Tanda Klinis

Tanda klinis infeksi virus PED pada babi dapat bervariasi dari keparahannya dan tidak
dapat dibedakan dengan penyebab diare lainnya. Tanda-tanda klinis tergantung pada usia babi,
status imunologis babi, adanya infeksi sekunder. Pada anak babi diare cair, tanpa darah atau
lendir, yang biasanya berwarna kuning kehijauan, sering disertai dengan muntah dan anoreksia
yang dapat menyebabkan kematian hingga 100% anak babi yang berumur kurang dari satu
minggu.

Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada riwayat, tanda-tanda klinis pada kelompok umur yang berbeda
dan pemeriksaan sampel feses babi yang mengalami diare. Pengujian secara serologi dapat
dilakukan dengan ELISA, Immunofluorescence, IHC, Serum neutralisation. Untuk identfikasi
dan isolasi virus PED dapat dilakukan dengan Reverse-transcriptase polymerase chain reaction
(RT-PCR).

 African Swine Fever (ASF)

Demam babi Afrika (African swine fever, disingkat ASF) adalah penyakit menular
pada babi yang disebabkan oleh virus African swine fever. Virus ini dapat menginfeksi anggota
famili Suidae, baik babi yang diternakkan maupun babi liar. Penyakit ASF dapat menyebar
dengan cepat dengan tingkat kematian yang tinggi sehingga dapat menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar.

Demam babi Afrika disebabkan oleh African swine fever virus (ASFV) yang merupakan
satu-satunya spesies virus dalam famili Asfarviridae dan genus Asfivirus. Virus ini merupakan
virus DNA dengan untai ganda. Resistansi virus ASF terhadap perlakuan fisik dan kimiawi yaitu:

 Temperatur: Sangat resistan terhadap temperatur rendah. Terinaktivasi setelah dipanaskan


pada 56 °C selama 70 menit atau 60 °C selama 20 menit.
 pH: Terinaktivasi pada pH<3,9 atau >11,5 pada media tanpa serum. Adanya serum
meningkatkan resistansi virus, misalnya bertahan hingga pH 13,4. Virus dapat bertahan
hingga 21 jam tanpa serum dan 7 hari dengan serum.
 Disinfektan: Rentan terhadap eter dan kloroform. Terinaktivasi pada 8/1000 natrium
hidroksida (30 menit), pada hipoklorit dengan konsentrasi klorin antara 0,03% dan 0,05%
(30 menit), pada 3/1000 formalin (30 menit), pada 3% orto-polifenol (30 menit), dan pada
senyawa iodin.
 Kelangsungan hidup: Tetap bertahan lama pada darah, feses, dan jaringan; terutama pada
produk babi terinfeksi yang tidak dimasak atau kurang dimasak. Dapat berkembang biak
pada vektor (Ornithodoros sp.)

Epidemiologi

Demam babi Afrika pertama kali diidentifikasi pada tahun 1921 di Kenya, Afrika
Timur walaupun wabahnya telah terjadi sejak tahun 1909. Kasus penyakit ini tetap terbatas di
benua Afrika hingga tahun 1957 pada saat ASF dilaporkan di Portugal kemudian selanjutnya
menyebar ke berbagai negara di Eropa (Italia, 1967; Spanyol, 1969; Prancis, 1977; Malta,
1978; Belgia, 1985; dan Belanda, 1986), hingga ke Kepulauan Karibia (Kuba, 1971 dan
1980; Republik Dominika, 1978; dan Haiti, 1979) serta Amerika Selatan (Brasil, 1978).Virus
ASF ditemukan pada babi liar di Iran pada tahun 2010, tetapi setelah itu tak ada laporan kasus
lagi di wilayah Timur Tengah. Di bulan Agustus 2018, Tiongkok melaporkan wabah demam
babi Afrika di provinsi Liaoning, di mana kasus ini merupakan yang pertama di Asia
Timur. Kasus ASF pun menyebar ke negara Asia lainnya, yaitu Mongolia, Korea Utara,
dan Korea Selatan. Beberapa ilmuwan Tiongkok di Universitas Nankai mendeteksi virus ASF
pada Dermacentor, caplak keras pada kambing dan sapi. Pada bulan Februari
2019, Vietnam mengonfirmasi kasus demam babi Afrika. Hal ini menjadikannya negara Asia
Tenggara pertama yang terinfeksi penyakit ini. Secara berturut-turut, demam babi Afrika juga
ditemukan di Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar, dan Timor Leste. Hingga bulan September
2019, enam negara di Asia Tenggara telah melaporkan kasus ASF. Di Indonesia kasus diduga
ASF muncul di pulau Sumatra pada pertengahan bulan nopember 2019.

Patogenesis
Babi yang sehat dapat terinfeksi ASF melalui rute penularan secara langsung dan tidak
langsung. Penularan langsung terjadi melalui kontak fisik antara babi terinfeksi dengan babi
sehat, sedangkan penularan tidak langsung terjadi dengan cara:
 Menelan makanan atau sisa makanan yang mengandung partikel virus ASF. Konsumsi
sisa makanan dikenal dengan istilah swill feeding. Sisa makanan yang dihasilkan dari
penerbangan pesawat udara dan kapal laut yang berlayar antarnegara atau antarwilayah
merupakan salah satu sumber infeksi virus ASF.
 Gigitan caplak yang bertindak sebagai vektor biologis. Virus ASF dapat hidup dalam
tubuh caplak lunak dari genus Ornithodoros, seperti O. erraticus dan O. moubata.
 Kontak dengan benda mati yang membawa partikel virus, seperti pakaian, sepatu, dan
kendaran.
Demam babi Afrika dapat ditularkan baik dengan caplak maupun tanpa adanya caplak
sebagai perantara, bergantung pada siklus epidemiologis penyakit yang dipengaruhi oleh lokasi
geografis dan spesies babi yang terlibat. Cairan hidung dan mulut, jaringan, darah, urin, dan
feses dari hewan terinfeksi, baik hidup maupun mati, merupakan sumber virus. Babi yang telah
pulih dari infeksi akut dan kronis dapat berstatus terinfeksi secara persisten dan berperan sebagai
pembawa virus.

Tanda Klinis

Terdapat variasi tanda klinis dan tingkat kematian akibat ASF, bergantung pada tingkat
virulensi virus dan spesies babi yang terinfeksi. Bentuk penyakit yang ditemukan yaitu
perakut, akut, subakut kronis, dan subklinis. Masa inkubasi biasanya berlangsung antara 4-19
hari. Pada penyakit bentuk akut, masa inkubasi berlangsung lebih singkat (3-7 hari), diikuti
dengan demam tinggi (hingga 42 °C), dan kematian dalam 5-10 hari atau dalam 6-13 hari
(hingga 20 hari). Selain demam tinggi, tanda klinis lain yang ditemukan yaitu depresi, hilangnya
nafsu makan, hemoragi pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis, muntah,
dan diare. Angka kematian dapat mencapai 100% dan terkadang, kematian terjadi bahkan
sebelum tanda klinis dapat diamati.

Pada bentuk subakut dan kronis yang disebabkan oleh virus dengan virulensi yang
rendah, tanda klinis yang muncul lebih ringan dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih
lama. Tingkat kematian lebih rendah, berkisar antara 30-70%. Manifestasi penyakit bentuk
kronis di antaranya penurunan berat badan, demam intermiten atau berkala, gangguan
pernapasan, ulser pada kulit, dan radang sendi. Bentuk ini jarang ditemukan pada wabah
penyakit. Beragam jenis babi memiliki kerentanan yang berbeda terhadap virus ASF. Babi liar
Afrika dapat terinfeksi tanpa menunjukkan tanda-tanda klinis yang memungkinkan mereka untuk
bertindak sebagai reservoir.
Diagnosis

Demam babi Afrika tidak dapat dibedakan dengan demam babi klasik hanya dengan
pemeriksaan klinis atau pascamati. Pengujian laboratorium diperlukan untuk mendiagnosis
penyakit ini. Sampel darah, serum, limpa,tonsil, dan kelenjar getah bening gastrohepatik dari
kasus yang dicurigai harus diserahkan ke laboratorium untuk konfirmasi. Metode pengujian yang
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus ASF yaitu isolasi virus atau uji hemadsorpsi,
uji antibodi fluoresens (FAT), ELISA, serta reaksi berantai polimerase (PCR), baik PCR
konvensional maupun real-time PCR. Adapun metode pengujian untuk mendeteksi respons
kekebalan tubuh yaitu ELISA antibodi, uji imunoperoksidase tidak langsung (IPT), uji antibodi
fluoresens tidak langsung (IFAT), dan uji imunoblot (IBT).
BAB III

PENUTUP

Penyakit virus pada babi sangat merugikan sektor peternakan babi di seluruh dunia.

Sebagian besar penyakit virus pada babi memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinngi. Selain

vaksinasi dan biosekuriti belum ada obat yang mampu melawan penyakit virus. Beberapa

penyakit diatas merupakan penyakit virus yang umum pada peternakan babi di dunia dan

Indonesia khususnya. Pengetahuan akan etiologi, epidemiologi, tanda klinis serta cara untuk

mendiagnosis penyakit virus sangat penting bagi profesi dokter hewan yang bekerja di sektor

peternakan babi. Dengan berbekal pengetahuan tersebut diharapakan dokter hewan mampu

mengambil tindakan dalam upaya pencegahan maupun pengobatan apabila ada wabah virus pada

suatu peternakan babi baik pada peternakan skala kecil (backyard) maupun peternakan dalam

skala besar.
DAFTAR PUSTAKA

Albina E. 1997. Epidemiology of porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS): an


overview. Veterinary Microbiology. Vol 55 pages: 309-316.
Benfield DA, Christianson WT, Harris L, Hennings JC, Shaw DP, Goyal SM, McCullough
S, Morrison RB, Joo HS. 1992. Isolation of swine infertility and respiratory syndrome
virus (isolate ATCC VR-2332) in North America and experimental reproduction of the
disease in gnotobiotic pigs. Journal of veterinary diagnostic investigation. 4(2):117-26.
Dong, KY, H.K Byoung, H.K Chang, H.K Jun, I.L Seong, R.H Hong. 2004. Biophysical
characterization of Japanese Enchephalitis virus (KV1899) isolated from pigs in Korea. J.
Vet.Sci. 5(2):125-130.
Neumann EJ, Kliebensteins JB, Johnson CD, Mabry JW, Bush EJ, Seitzienger AH, Green AL,
Zimmermann JJ. 2005. Assesment of economic impact of porcine reproductive and
respiratory syndrome on swine production in United State. JAVMA. 227: 385-392.
Prieto C, Castro JM. 2000. Pathogenesis of porcine reproductive and respiratory syndrome virus
(PRRSV) in gestating sows. Veterinary Research. Vol 30 pages :56-57.
Postel A, Austermann-Busch A, Petrov A, Moennig V, Becher P. 2018. Epidemiology, diagnosis
and control of classical swine fever: Recent developments and future challenges.
wileyonlinelibrary.com/journal/tbed Transbound Emerg Dis.65(Suppl. 1):248–261.
Ribbens R, Dewule J, Koenen F, Laevens H, de Kruie A. 2004. Transmission of classical swine
fever. A review. Veterinary Quarterly. 26(4): 146-155.
Song D, Moon H, Kang B. 2015. Porcine epidemic diarrhea: a review of current epidemiology
and available vaccines. Clin Exp Vaccine Res. 4(2): 166–176.
Wang T, Sun Y, Qiu H. 2018. African swine fever: an unprecedented disaster and challenge to
China. Infectious Diseases of Poverty.
MANAJEMEN KESEHATAN TERNAK

PENYAKIT VIRUS PADA BABI

oleh:

Ni Putu Sutrisna Dewi

1882321004

PASCA SARJANA KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019

Anda mungkin juga menyukai