Anda di halaman 1dari 19

Pengertian Subjek PPN

Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang disebut sebagai subjek PPN
ialah orang pribadi dan badan, yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan, melakukan kegiatan penyerahan dan menerima Barang/Jasa Kena
Pajak (BKP/JKP). Hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya seluruh orang bisa
diartikan sebagai subjek PPN atau lebih tepatnya semua orang dalam lingkup
wilayah Indonesia, merupakan subjek PPN.

Semua orang bisa dikatakan sebagai subjek PPN dikarenakan sifat PPN yang
merupakan pajak objektif, dimana munculnya kewajiban pajak di bidang
ditentukan oleh adanya objek pajak, yaitu seperti keadaan, peristiwa, atau
perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Jadi, PPN tidak membedakan
tingkat kemampuan konsumen dalam pengenaan pajaknya.

Selain itu, sifat PPN yang merupakan pajak konsumsi dalam negeri juga
membuat semua orang dalam lingkup wilayah Indonesia menjadi subjek PPN.
Karena, PPN dikenakan atasbarang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah
pabean Indonesia.

Klasifikasi Subjek PPN

Jika ditelaah lebih lanjut, subjek PPN dapat dibagi menjadi dua, yakni:

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP), dimana PPN dipungut oleh PKP dalam hal:

 PKP melakukan penyerahan BKP


 PKP melakukan penyerahan JKP
 PKP melakukan ekspor BKP, ekspor BKP Tidak Berwujud, ekspor JKP
2. Non-PKP, dimana PPN akan tetap terutang meski yang melakukan kegiatan
bukanlah berstatus PKP, dalam hal:

 Impor BKP
 Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean
 Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
 Melakukan kegiatan membangun sendiri
Sementara, orang pribadi yang memanfaatkan BKP/JKP di dalam daerah
pabean Indonesia, juga merupakan subjek PPN. Namun, kewajiban subjek PPN
yang memanfaatkan atau mengkonsumsi BKP/JKP di dalam daerah pabean ini
hanya sebatas pada pembayaran PPN, yang umumnya harga yang
dibayarkan oleh konsumen sudah termasuk pungutan PPN.
Kewajiban subjek PPN orang pribadi maupun non-PKP ini diatur dalam UU
Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) Pasal 4 Ayat (1) huruf b dan huruf e, serta Pasal
16C.

Pengusaha kecil juga merupakan subjek PPN dengan kewajiban-kewajiban


yang mengikat, utamanya apabila pengusaha kecil memilih untuk ditetapkan
sebagai PKP.

PKP Sebagai Subjek PPN

Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP di dalam daerah pabean


dan/atau melakukan ekspor BKP berwujud, ekspor JKP, dan/atau ekspor BKP
tidak berwujud merupakan subjek PPN yang wajib melakukan hal-hal sebagai
berikut:

 Melaporkan usaha dan dikukuhkan sebagai PKP


 Memungut pajak terutang
 Meyetorkan PPN yang masih dibayar dalam hal pajak keluaran lebih
besar daripada pajak masukan, yang dapat dikteditkan serta
menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang
(PPnBM)
 Melaporkan penghitungan pajak
Sebagai subjek PPN, PKP diwajibkan untuk membuat faktur pajak dengan
bentuk yang sudah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni faktur
pajak elektronik atau e-Faktur, atas penyerahan dan penerimaan BKP/JKP serta
melaporkannya

Pengusaha Kecil Sebagai PKP

Sebagai subjek PPN, sejatinya pengusaha Kecil tidak termasuk dalam kategori
PKP, namun jika pengusaha kecil mengajukan permohonan untuk dikukuhkan
sebagai PKP, maka setelah dikukuhkan, pengusaha kecil menjadi PKP
sepenuhnya,dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM
yang terutang.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 ditetapkan


batasan pengusaha untuk dapat dikategorikan sebagai pengusaha kecil,
sebagai berikut:

 Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 tahun buku


melakukan penyerahan BKP/JKP dengan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar.
 Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah
keseluruhan penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh pengusaha dalam
rangka kegiatan usahanya.
 Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP,
apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.
 Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan
paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran
bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4,8 miliar.
Pengusaha kecil yang telah dikukuhkan sebagai PKP dan secara otomatis
menjadi subjek PPN yang terikat peraturan, wajib memungut, meyetor, dan
melaporkan PPN atau PPnBM yang terutang atas penyerahan BKP yang
dilakukannya.

Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek
PPN adalah:

 Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di
dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
 Impor Barang Kena Pajak
 Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
 Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
 Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Pengertian Dasar Pengenaan Pajak PPN


Dasar pengenaan pajak PPN merupakan istilah yang mengacu pada
penggunaan nilai tertentu sebagai dasar perhitungan untuk menentukan
besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dipungut.

Nilai yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak PPN ini tidak hanya satu
macam, sebab pengenaan pungutan PPN tidak bisa dipukul rata antara
Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).

Untuk BKP memiliki lebih dari satu nilai yang digunakan sebagai dasar
pengenaan pajak PPN. Pun demikian juga dengan JKP, yang juga tak hanya
berlandaskan satu nilai saja untuk menentukan dasar pengenaan pajak PPN.
Jenis-Jenis Dasar Pengenaan Pajak PPN

Terkait dengan dasar pengenaan pajak PPN, tarif pembayaran PPN diatur
lewat pasal 7 UU PPN dan PPnBM yang merinci bahwa tarif PPN adalah sebagai
berikut:

1. Untuk penyerahan dalam negeri, tarif PPN sebesar 10%.


2. Untuk ekspor BKP berwujud maupun berwujud serta ekspor JKP dikenakan
tarif 0%.
3. Tarif pajak terkait ekspor dapat berubah minimal sebesar 5% dan
maksimal sebesar 15%.
Pungutan PPN dengan tarif yang ditetapkan didasarkan atas dasar pengenaan
pajak PPN yang meliputi lima nilai, yakni:

1. Harga Jual
2. Penggantian
3. Nilai Impor
4. Nilai ekspor
5. Nilai lain yang diatur oleh Menteri Keuangan

Harga Jual Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN

Penggunaan harga jual sebagai dasar pengenaan pajak PPN didasarkan atas
Pasal 1 Ayat (18) UU PPN dan PPnBM. Dalam UU PPN dan PPnBM, yang
dimaksud dengan harga jual adalah nilai berupa uang.

Nilai berupa uang ini termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut UU PPN dan PPnBM, serta potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak.

Penggantian Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN

Dalam UU PPN dan PPnBM Pasal 1 Ayat (19), yang dimaksud dengan
penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP
atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut UU PPN dan PPnBM serta potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak.

Penggantian juga termasuk nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima
manfaat BKP tidak berwujud karena pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean.
Nilai Impor dan Ekspor Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN

Pengeritan nilai impor dalam UU PPN dan PPnBm Pasal 1 Ayat (20) adalah, nilai
berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan yang


mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk
PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM.

Sementara, nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN

Penggunaan nilai lain dimaksudkan untuk mengindentikasi dasar pengenaan


pajak PPN yang bisa dikenakan pada beberapa transaksi tertentu, khususnya
yang berada di luar klasifikasi dasar pengenaan pajak PPN pada umumnya.

Berdasarkan PMK No.75/PMK.03/2010, kategori perhitungan nilai lain sebagai


dasar pengenaan pajak PPN adalah:

1. Untuk pemakaian sendiri, menggunakan harga jual atau penggantian


setelah dikurangi laba kotor.
2. Untuk pemberian cuma-cuma menggunakan harga jual atau
penggantian setelah dikurangi laba kotor.
3. Untuk penyerahan film cerita menggunaan perkiraan hasil rata-rata per
judul film.
4. Untuk penyerahan produk hasil tembakau sebesar harga jual eceran.
5. Untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, menggunakan harga pasar wajar.
6. Untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan BKP antar cabang adalah harga pokok penjualan atau
harga perolehan.
7. Untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara, menggunakan
harga yang disepakati antara pedagang perantara dan pembeli.
8. Untuk penyerahan BKP melalui juru lelang menggunakan harga lelang.
9. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket menggunakan 10% dari jumlah
yang ditagih.
10. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen
perjalanan wisata berupa paket wisata, pemesanan sarana angkutan
dan pemesanan sarana akomodasi, yang penyerahannya tidak didasari
pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara
penjualan, besarannya adalah 10% dari jumlah tagihan.
11. Untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi yang di dalam tagihan
jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi
besarannya adalah 10% dari jumlah yang ditagih.
Nilai lain PPN sebagai DPP dimaksudkan untuk menjamin rasa keadilan dalam
dua hal, yakni:

1. Harga jual, nilai penggantian, nilai ekspor yang sukar diterapkan.


2. Penyerahan BKP yang dibutuhkan masyarakat banyak, seperti air minum
dan listrik.
a. Saat Pajak Terutang.
Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak
terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan
bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya.
Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat tim-bulnya
utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu
utang pajak timbul karena undang-undang. Dengan kata lain dapat di-rumuskan bahwa utang
pajak timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya
suatu ke-adaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Dengan rumusan
yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak adanya objek
pajak. Ajaran materiil timbulnya utang pajak dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme
pemungutan pajak-nya menggunakan self assessment system. Mekanisme pemungutan PPN
menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran materiil.
Dari ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 dapat disimpulkan bahwa pajak terutang:
1) pada saat penyerahan BKP atau JKP
2) pada saat impor BKP
3) pada saat dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean
4) pada saat pembayaran dalam hal :
a) pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP
b) pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

b. Tempat Pajak Terutang


Berdasarkan Pasal 12 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa pajak terutang di :
1) tempat tinggal atau tempat kedudukan ; dan
2) tempat kegiatan usaha dilakukan, atau
3) tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;
4) tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor ;
5) tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam hal pemanfaatan BKP
Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean ; atau
6) satu tempat atau lebih yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tempat
pemusatan pajak terutang atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak.
Ketentuan Pasal 12 UU PPN 1984 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 14
Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, yang menetapkan bahwa :
1) Tempat pajak terutang untuk Penyerahan di dalam Daerah Pabean.
Pajak terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan,
yaitu di tempat pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
2) Tempat pajak terutang untuk impor BKP adalah ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah
Pabean.
3) Tempat pajak terutang untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah
Pabean di dalam daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan, terdaftar sebagai Wajib Pajak.
4) Tempat pajak terutang untuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaan adalah di tempat bangunan didirikan.
5) Tempat pajak terutang bagi PKP yang dikukuhkan di KPP Wajib Pajak Besar, berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-335/PJ/2002 tanggal 1 Juli 2002 dipusatkan di
KPP Wajib Pajak Besar yang menerbitkan surat pengukuhan.
6) Tempat pajak terutang ditentukan lain oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan tertulis
dari wajib pajak atau secara jabatan.

a) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-
525/PJ./2000 tanggal 6 Desember 2000 ditetapkan bahwa PKP orang pribadi yang mem-punyai
tempat tinggal yang tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, terutang pajak hanya
ditempat kegiatan usahanya, sepanjang PKP tersebut tidak melakukan kegiatan usa-ha apapun
di tempat tinggalnya.
b) Dalam hal PKP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dalam wilayah satu KPP,
berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.9/1998 tanggal 4 Mei 1998
ditegaskan pengukuhannya disatukan di kantor pusatnya.
c) Beberapa PKP tertentu ditetapkan bahwa pada dasarnya terutang di tempat kantor pusatnya
dikukuhkan sebagai PKP dengan beberapa pengecualian :
(1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-394/PJ./2003 tanggal 31 Desember
2003 yang telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-73/PJ/2004
tanggal 14 April 2004, tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi PKP Yang Dikukuhkan di KPP
Wajib Pajak BUMN ditetapkan sebagai berikut :
(a) Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP yang mengelola Wajib Pajak BUMN yang melakukan
penyerahan BKP dan atau JKP dan atau melakukan ekspor BKP, wajib dikukuhkan sebagai PKP
di KPP dimaksud dan pajak terutang di tempat PKP dikukuhkan. Dikecualikan dari ketentuan ini
bagi PKP BUMN yang :
i. melaksanakan proyek atau tender dari Pemerintah daerah atau panitia pemberi proyek atau
tender di daerah tertentu yang mengharuskan PKP peserta proyek atau tender dikukuhkan
sebagai PKP di KPP lokasi tempat kegiatan usaha ; atau
ii. mempunyai lebih dari 200 (dua ratus) tempat kegiatan usaha termasuk antara lain cabang,
lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya termasuk distrik, dan tidak memiliki
Sistem Informasi Akuntasi yang terhubung antara pusat dengan cabang maupun antar cabang
(on line).
Bagi BUMN yang tidak melakukan pemusatan tempat pajak terutang dimaksud, wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN.
(b) Bagi BUMN yang sudah terlanjur dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP selain yang mengelola
Wajib Pajak BUMN, maka KPP ini wajib melakukan pencabutan Pe-ngukuhan PKP tersebut
paling lambat tanggal 31 Januari 2004.
(c) Dalam hal telah dilakukan pencabutan Pengukuhan PKP yang dilakukan oleh KPP selain
yang mengelola Wajib Pajak BUMN, tetapi PKP yang bersangkutan belum melaporkan seluruh
kegiatan usahanya secara terpusat untuk Masa Pajak Januari 2004 sampai dengan Agustus
2004 di KPP BUMN, maka PKP tempat pemusatan wajib melakukan pembetulan SPT Masa PPN
tersebut dengan menggabungkan kegiatan seluruh ccabang yang pengukuh-annya telah dicabut.
(d) PKP yang melakukan pemusatan tempat PPN terutang tetapi pengukuhan-nya di KPP selain
KPP BUMN belum dicabut, tidak wajib melaporkan ke-giatan usaha ke KPP BUMN dengan
syarat :
i. masih menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN ;
ii. menyampaikman pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN bahwa telah
menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN.
(e) PKP BUMN yang dibebani kewajiban untuk melakukan pemusatan PPN terutang di KPP
BUMN, wajib melaksanakannya paling lambat tanggal 31 Agustus 2004.
(f) Bagi PKP BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban pemusatan tempat PPN terutang yang
dibebankan kepadanya, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keputusan Direktur Jenderal tersebut diatas secara tidak langsung meng-anulir salah satu diktum
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-515/ KEP/2000 sebagaimana telah diubah
dengan Nomor KEP-337/PJ./2002 tanggal 2 Juli 2002, khusus bagian yang mengatur tentang
tempat pajak terutang bagi BUMN.
(2) Badan Usaha Milik Daerah
bagi Wajib Pajak BUMD yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP ter-utang pajak dan
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP di wilayah kerjanya.
(3) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing
Wajib Pajak Penanaman Modal Asing dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
(a) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing yang tidak “masuk bursa”, yang melakukan penyerahan
BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP
Penamaman Modal Asing sebagai tempat pajak terutang ;
(b) Khusus bagi Wajib Pajak PMA yang berkedudukan di Kawasan Berikat Pulau Batam,
Kawasan Pulau Bintan, dan kawasan Pulau Karimun, atas permohonan Wajib Pajak diberi
kemudahan untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya pada KPP setempat sebagai
tempat pajak terutang.
(4) Wajib Pajak Badan dan Orang Asing (BADORA) untuk seluruh Wajib Pajak Badan (BUT)
dan Orang Asing yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP BADORA sebagai tempat pajak terutang ;
(5) seluruh wajib pajak yang telah mendapat ijin emisi saham dari Badan Pengawas Pasar
Modal yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP di KPP Masuk Bursa, kecuali Wajib Pajak yang telah dikukuhkan
sebagai PKP di KPP tempat Wajib Pajak ini berkedudukan ;
(6) Wajib Pajak besar sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-263/PJ/2002 tanggal 8 Mei 2002 yang melakukan penyerahan BKP dan atau
JKP, pajak terutang dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP
Wajib Pajak Besar.

FAKTUR PAJAK PPN (PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)


.

Labels: faktur gabungan, Faktur Pajak ppn, faktur sederhana, nota retur, PPN, saat penerbitan

a. Kewajiban membuat Faktur Pajak

Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984 menentukan : “Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak
untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f
dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.”

b. Pengertian Faktur Pajak.

Berdasarkan fungsinya, Faktur Pajak mengandung tiga macam pengertian, yaitu :


1) Dalam pasal 1 angka 23 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa Faktur Pajak adalah bukti pungut-an pajak
yang dibuat oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa.
2) Ditinjau dari sisi pembeli atau penerima JKP, Faktur Pajak adalah bukti pembayaran pajak kepada
PKP yang menyerahkan BKP atau JKP.
3) Dalam memori penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 antara lain ditegaskan bahwa Faktur Pajak
adalah sarana untuk mengreditkan Pajak Masukan.

c. Jenis Faktur Pajak

Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984, ditegaskan 3 (tiga) macam Faktur Pajak yaitu:
1) Faktur Pajak Standar

Dalam pasal 1 angka 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 tanggal 31 Oktober
2006 yang mengatur tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian,
Dan Tata Cara Pembetukan Faktur Pajak Standar menetapkan bahwa Faktur Pajak Standar adalah
Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan tentang:
a) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP ;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga ;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut ;
f) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak ; dan
g) Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak Gabungan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU PPN 1984 sebenar-nya adalah
Faktur Pajak Standar yang memuat semua penyerahan BKP atau JKP dalam satu Masa Pajak kepada
pembeli BKP atau penerima JKP yang sama..

2) Dokumen tertentu yang dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak di perlaku-kan sebagai Faktur
Pajak Standar.

Berdasarkan Pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984 jo Keputusan Direktur Jenderal Nomor 522/PJ/ 2000
tanggal 6 Desember 2000 dan Nomor KEP-312/PJ/2001 tanggal 23 April 2001 ditetap-kan dokumen-
dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar, yaitu :
a) PIB dan SSP untuk impor BKP
b) PEB yang telah difiat muat Pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilampiri invoice
c) SPPB (Surat Perintah Pengiriman Barang) dari BULOG/DOOLOG
d) Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat oleh Pertamina atas penyerahan BBM dan non
BBM
e) Kuitansi atas penyerahan jasa telekomunikasi
f) Tiket, airway bil), delivery bill yang dibuat perusahaan jasa angkutan udara dalam negeri
g) SSP PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean
h) Nota Penjualan Jasa atas penyerahan jasa kepelabuhanan
i) Tanda pembayaran atau kuitansi langganan listrik.
Dokumen-dokumen tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :
a) Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen ;
b) Nama, Alamat dan NPWP penerima dokumen sebagai wajib pajak dalam negeri;
c) Jumlah satuan apabila ada ;
d) Dasar Pengenaan Pajak ;
e) Jumlah pajak yang terutang.

3) Faktur Pajak Sederhana.


Dalam Pasal 13 ayat (7) UU PPN 1984 jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
524/KMK.04/2000 tanggal 6 Desember 2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Kepu-tusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/2004 tanggal 25 Agustus 2004 ditetapkan bah-wa PKP dapat
membuat Faktur Pajak Sederhana atas penyerahan BKP atau JKP sepanjang meme-nuhi syarat sebagai
berikut :
1) Faktur Pajak Sederhana boleh dibuat dalam hal :
a) penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada konsumen akhir ; atau
b) pembeli BKP/penerima JKP yang nama, alamat atau NPWP-nya tidak diketahui.
2) Membuat Faktur Pajak Sederhana tidak memerlukan ijin dari siapapun.
3) Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, karcis, kuitansi, segi kas register,
dan sejenisnya.
4) dalam Faktur Pajak Sederhana minimal mencantumkan nama, alamat dan NPWP di Pembuat; Jenis
dan kuantum BKP/JKP; harga.penyerahan termasuk PPN atau ditulis terpisah; tanggal pembuatan Faktur
Pajak
5) Faktur Pajak Sederhana harus dibuat dalam rangkap dua, atau satu lembar dengan pertinggal berupa
potongan/bagian dari Faktur Pajak Sederhana yang diserahkan kepada pembeli/ pene-rima jasa, seperti
pada umumnya yang terjadi pada karcis.
6) Kelemahan Faktur Pajak Sederhana adalah Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan ;
7) Dibuat paling lambat pada saat penyerahan BKP/JKP, atau paling lambat pada saat pembayar-an
dalam hal pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan.

Penjelasan Lebih Lanjut ttg Faktur Pajak Sederhana - Klik disini

d. Pengadaan Formulir Faktur Pajak Standar

Tata cara pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Setiap Faktur Pajak Standar wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak.
2) Bentuk formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kebutuhan administrasi PKP yang
bersangkutan.
3) Formulir Faktur Pajak dapat dicetak dalam warna putih untuk seluruh lembar atau antara lembar
kesatu, kedua dan ketiga dapat dicetak dalam warna yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan atau
keperluan PKP.
4) Faktur Pajak Standar dibuat minimal dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan:
Lembar ke-1 : untuk diberikan kepada Pembeli BKP atau penerima JKP,
Lembar ke-2 : sebagai arsip PKP yang bersangkutan.
Dalam hal dibuat lembar ke-3, peruntukannya supaya disebutkan dengan jelas.
5) Faktur Pajak Standar dapat dibuat dengan menggunakan komputer sepanjang memenuhi sya-rat yang
telah ditentukan.
e. Tata Cara Mengisi Faktur Pajak Standar

Adapun tata cara mengisi Faktur Pajak Standar, ditentukan sebagai berikut:

1) Penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984, dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direk-tur
Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 menetapkan bahwa Faktur Pajak harus diisi de-ngan lengkap,
benar dan jelas baik secara formal maupun materiel dan ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang
ditunjuk oleh PKP.
Faktur Pajak yang diisi tidak sesuai ketentuan ini menjadi Faktur Pajak cacat, sehingga PPN yang ada di
dalamnya tidak dapat dikreditkan.
Namun, kiranya perlu disadari bahwa tidak mencantumkan keterangan NPPKP Pembeli dalam Faktur
Pajak Standar tidak mengakibatkan Faktur Pajak Standar menjadi cacat. Hal ini disebabkan oleh :
a) berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984, sejak 1 Januari 2001, UU PPN 1984 tidak mengakui
eksistensi NPPKP;
b) Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 pada
dasarnya menetapkan bahwa keterangan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 wajib diisi dengan
lengkap, benar dan jelas oleh PKP. Pasal 1 angka 3 ini merupakan duplikasi dari materi Pasal 13 ayat (5)
UU PPN 1984 yang menentukan syarat minimal keterangan yang wajib dicantumkan dalam Faktur Pajak
Standar. Dalam rincian kete-rangan tersebut tidak tercantum keterangan tentang NPPKP Pembeli BKP
atau Penerima JKP. Oleh karena itu, tanpa mencantumkan keterangan tentang NPPKP dimaksud, berarti
Faktur Pajak Standar ini sudah diisi sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984, sehingga tidak
tergolong sebagai Faktur Pajak Standar cacat.

2) Sejak 1 Januari 2007, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
159/PJ./2006 ditetapkan bahwa PKP yang membuat Faktur Pajak Standar wajib menggunakan Kode dan
Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagai berikut :

(1) Kode Faktur Pajak, terdiri atas:


- 2 (dua) digit Kode Transaksi;
- 1 (satu) digit Kode Status, yang meliputi: 0 untuk Normal, 1 untuk Penggantian
- 3 (tiga) digit Kode Cabang.
(2) Nomor Seri Faktur Pajak, terdiri atas:
- 2 (dua) digit tahun penerbitan;
- 8 (delapan) digit Nomor Urut.

3) Penandatanganan Faktur Pajak Standar.

a) PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis nama pejabat yang berhak menanda-tangani Faktur
Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala KPP paling lambat pada saat
pejabat dimaksud mulai menandatangani Faktur Pajak Standar, menggunakan formulir yang telah
ditetapkan.
b) Pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak dapat lebih dari 1 (satu) orang.
c) Dalam hal PKP Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi memberi kuasa kepada pihak lain
untuk menandatangani Faktur Pajak Standar, maka dengan formulir khusus PKP wajib menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP paling lambat pada saat pihak yang diberi kuasa mulai
menandatangani Faktur Pajak Standar dan menyertakan Surat Kuasa Khusus.
d) Apabila terjadi perubahan pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar,
maka PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada KPP paling lambat pada saat pejabat
atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak.
4) Dalam hal nama BKP/JKP yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak Standar,
maka PKP dapat :
a) membuat lebih dari 1 (satu) formulir Faktur Pajak Standar yang masing-masing formulir menggunakan
kode, nomor seri, dan tanggal Faktur Pajak Standar yang sama, serta ditan-datangani dan diberi
keterangan nomor halaman pada setiap lembarnya, dan khusus untuk pengisian baris/kolom “Jumlah,
Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, Pajak Pertambahan Nilai”,
cukup diisi pada formulir terakhir; atau
b) membuat 1 (satu) Faktur Pajak Standar dengan menunjuk nomor dan tanggal Faktur Pen-jualan yang
merupakan lampiran dari Faktur Pajak Standar tersebut.
5) Faktur Pajak yang terdapat kesalahan dalam pengisian supaya dibetulkan dengan cara dibuat Faktur
Pajak Standar Pengganti. Faktur Pajak yang salah tersebut dilampirkan, dan pada Fak-tur Pajak Standar
Pengganti dibubuhi cap yang mencantumkan Nomor Seri, Kode dan tanggal Faktur Pajak Standar yang
diganti.
Pengisian Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti dapat ditulis secara
manual.
6) Membetulkan Faktur Pajak tidak boleh dilakukan dengan cara lain misalnya dengan coretan atau
dihapus dengan cara apapun. Coretan tidak diperkenankan kecuali pada kolom dengan tanda asterix (*)
dengan catatan “coret yang tidak perlu”, wajib dicoret.
7) Dalam hal Faktur Pajak Standar hilang, PKP yang berkepentingan dapat minta Faktur Pajak sebagai
pengganti kepada PKP Penjual/Pengusaha jasa dengan tembusan kepada Kepala KPP tempat PKP
Penjual/Pengusaha Jasa dan PKP Pembeli dikukuhkan dengan cara:
1) Atas dasar permintaan tersebut, PKP Penjual atau Pengusaha Jasa membuat fotokopi Faktur Pajak
Standar yang disimpan, sebanyak 2 (dua) lembar,
2) Fotokopi tersebut kemudian dilegalisasi oleh KPP tempat PKP Penjual/Pengusaha Jasa dikukuhkan
sebagai PKP. Setelah dilegalisasi, satu lembar disimpan oleh pejabat KPP dan lembar lainnya
dikembalikan kepada PKP yang bersangkutan untuk diserahkan kepada PKP Pembeli/Penerima JKP.
8) Pengisian yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan berakibat Faktur Pajak terse-but
tergolong sebagai Faktur Pajak Standar cacat.

f. Saat Pembuatan FakturPajak


Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-159/PJ/2006, Faktur Pajak dapat
wajib dibuat paling lambat :
1) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP dan/atau JKP dalam hal
pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP;
2) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan ber-ikutnya
setelah bulan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP;
3) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penye-rahan
BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP;
4) pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
5) pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai
Pemungut PPN.

Faktur Pajak Gabungan dibuat paling lambat :


1) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP, dalam hal pemba-yaran
baik sebagian maupun seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan BKP dan/atau JKP;
2) pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau
seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP.
Pasal 13 Peraturan Direktur Jenderal Pajak dimaksud menetapkan bahwa Faktur Pajak Stan-dar yang
dibuat telah melampaui jangka waktu 3 bulan sejak batas waktu pembuatannya, diper-lakukan tidak
sebagai Faktur Pajak sehingga PKP dianggap belum membuat Faktur Pajak.

g. Penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing

Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing, berdasarkan
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 diatur sebagai berikut :
(1) Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata
uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang
rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat
pembuatan Faktur Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan
pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mem-pergunakan mata uang asing,
maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan
mempergunakan kurs yang berlaku menurut Ke-putusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan
pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Sejak 1 Januari 2007, apabila terjadi perubahan nilai kurs pada saat pembayaran sehingga berbeda
dengan nilai kurs yang digunakan dalam Faktur Pajak atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut
PPN, maka PKP Rekanan wajib melakukan dua macam kegiatan yaitu :
1) Menyesuaikan nilai kurs dalam Faktur Pajak dengan nilai kurs pada saat pembayaran dengan cara
membuat Faktur Pajak Standar Pengganti.
2) Melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang terkait
h. Sanksi

1) Berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP ditetapkan bahwa Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau tidak mengisi selengkapnya, dikenakan sanksi berupa
denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2) Berdasaran Pasal 39A UU KUP, bagi setiap orang yang:
a) membuat atau menggunakan Faktur Pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b) belum dikukuhkan sebagai PKP dengan sengaja membuat Faktur Pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun serta
denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak.

i. Nota Retur

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 596/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1995 sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 5A UU PPN 1984, mengatur Nota
Retur sebagai berikut :
1) Nota Retur dibuat apabila terjadi pengembalian BKP, kecuali BKP tersebut diganti BKP dari jenis yang
sama, tipenya sama, jumlah dan harganya sama oleh PKP Pen-jual.
2) Nota retur berfungsi mengurangi Pajak Masukan PKP Pembeli dalam SPT Masa PPN dalam Masa
Pajak dibuat Nota Retur, mengurangi Pajak Keluaran PKP Penjual dalam SPT Masa PPN dalam Masa
Pajak diterima Nota Retur.
3) Bentuk Nota Retur dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi PKP, tetapi keterangan yang
tercantum di dalamnya harus memenuhi ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yaitu :
a) Nomor Urut ;
b) Nomor dan Tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
c) Nama, alamat dan NPWP pembeli ;
d) Nama, alamat, NPWP dan tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak ;
e) Macam, jenis kuantum, dan Harga Jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
f) PPN atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
g) PPnBM atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikembalikan ;
h) Tanggal pembuatan Nota Retur ;
i) Tanda tangan pembeli.
4) Yang membuat Nota Retur adalah Pembeli.
Pengkreditan Faktur Pajak Masukan

Pengkreditan faktur pajak masukan memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai


berikut:
1. Pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak
keluaran untuk masa pajak yang sama.
2. Pajak masukan atas perolehan barang modal sebelum berproduksi
(sehingga belum melakukan penyerahan kena pajak) dapat dikreditkan.
3. Pajak masukan dapat dikreditkan sepanjang BKP atau JKP terkait
berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan
kena pajak.
Kegiatan mengkreditkan pajak masukan ini akan menghasilkan tiga
kemungkinan, yakni:
1. Nominal pajak masukan dalam suatu masa pajak lebih kecil ketimbang
jumlah pajak keluaran yang dipungut. Konsekuensinya, selisih kelebihan
pajak keluaran wajib disetorkan ke kas negara.
2. Nominal pajak masukan dalam suatu masa pajak lebih besar
dibandingkan nominal pajak keluaran yang dipungut. Atas hal ini, selisih
kelebihan pajak masukan tersebut dapat dikompensasi ke masa pajak
berikutnya atau bisa dimintakan pengembalian (restitusi).
3. Nominal pajak masukan dan keluaran sama besar.
Baca juga: Hal yang Harus Anda Perhatikan Saat Menerima Faktur Pajak
Masukan

Syarat Pengkreditan Faktur Pajak Masukan

Agar pajak masukan dapat dikreditkan untuk suatu masa pajak yang sama,
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh bidang
usaha. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang
diperlakukan sama dengan faktur pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Sementara, pengkreditan pajak masukan tidak dapat diberlakukan bagi jenis
pengeluaran sebagai berikut:
1. Pengeluaran atas BKP atau JKP saat pengusaha belum dikukuhkan
sebagai PKP.
2. Pengeluaran atas BKP atau JKP yang tidak berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha. Artinya, pengeluaran yang bukan untuk
kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, tidak bisa
dikreditkan.

Batas Waktu Pengkreditan Pajak Masukan


Dalam dunia usaha tak jarang terjadi kesalahan administrasi yang sering
dilakukan tidak disengaja. Contohnya, faktur pajak belum dikirimkan kepada
lawan transaksi. Hal ini membuat lawan transaksi yang menerima BKP atau JKP
tidak dapat membuat faktur pajak masukan untuk dilaporkan. Pengkreditan
faktur pajak masukan sebagaimana diatur dalam UU PPN menyebutkan
adanya toleransi keterlambatan yakni 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak
yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (9) UU PPN 1984 yang
secara spesifik menyebutkan:
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dkreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.

Definisi Restitusi PPN


Restitusi PPN adalah pengembalian kelebihan pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang diberikan oleh negara, dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Restitusi PPN terjadi apabila jumlah PPN yang disetorkan oleh PKP ternyata lebih
besar ketimbang jumlah PPN yang terutang.

Restitusi PPN ini diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 28 tahun 2007, yang
menjelaskan bahwa jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar
lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, DJP akan menerbitkan surat
ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB), setelah sebelumnya melakukan
pemeriksaan terlebih dahulu.

Landasan Hukum Tata Laksana Restitusi PPN

Restitusi PPN memiliki landasan hukum UU No. 28 tahun 2007 dan diperkuat
dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 192/PMK.03/2007 dan kemudian
diubah menjadi PMK Nomor 74/PMK.03/2012 dan kemudian diubah lagi
menjadi PMK Nomor 198/PMK.03/2013, serta yang terbaru PMK Nomor
39/PMK.03/2018.

Ketentuan berbentuk UU merupakan upaya pemerintah untuk


menginformasikan syarat-syarat wajib pajak badan/PKP dalam mengajukan
restitusi PPN. Sementara, PMK yang dibuat perubahannya hingga tiga kali
merupakan tata cara pelaksanaan pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
atau percepatan restitusi pajak/restitusi PPN.
Percepatan restitusi pajak atau dalam hal ini percepatan restitusi PPN ini
diperlukan agar PKP mendapat kepastian hukum bahwasanya kelebihan PPN
yang telah disetorkan ke negara dapat diajukan restitusi dengan lebih cepat.

Percepatan Restitusi PPN

Percepatan restitusi PPN telah ditetapkan oleh pemerintah melalui DJP sejak
bulan April 2018 dengan tujuan menurunkan cost compliance. Pasalnya, restitusi
PPN dapat diberikan tanpa terlebih dahulu melewati alur pemeriksaan.

Sebelumnya, agar mendapatkan restitusi PPN, PKP terlebih dahulu harus


melewati proses pemeriksaan dari DJP sebelum menerima Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Nah, proses hingga keluarnya SKPLB ini sebelumnya
bisa memakan waktu 10 bulan. Namun, kini dengan dikeluarkannya PMK Nomor
39/PMK.03/2018, proses restitusi PPN maksimal memakan waktu 1 bulan.

Dipercepatnya proses restitusi PPN ini juga merupakan upaya pemerintah


dalam memaksimalkan tugas pemeriksa pajak dalam lingkup DJP. Hal ini
diungkapkan Kasubdit Perencanaan Pemeriksaan DJP, Tunjung Nugroho
kepada awak media bulan April 2018 lalu.

Ia mengungkapkan, dari 6.000 petugas pemeriksa pajak yang ada, sebanyak


20% hingga 30% fokus pada pemeriksaan PPN. Dengan adanyta percepatan
restitusi PPN ini, 80% dari jumlah pegawai yang berfokus di pemeriksaan PPN bisa
dialihkan ke pemeriksaan pajak lain.

Syarat Mendapatkan Percepatan Restitusi PPN

Percepatan restitusi PPN ini diberikan kepada wajib pajak yang masuk klasifikasi
sebagai berikut:

1. Wajib pajak kriteria tertentu, yakni wajib pajak yang memenuhi kriteria:

 Tepat waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) selama tiga tahun


pajak.
 Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau
menunda pembayaran pajak.
 Laporan keuangan wajib pajak telah diaudit oleh akuntan publik atau
lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar
tanpa pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.
 Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan dalam jangka waktu 5 tahun terakhir.
2. Wajib pajak persyaratan tertentu
Percepatan restitusi PPN diberikan untuk PKP yang menyampaikan SPT masa
pajak PPN dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 1 miliar. Untuk
mendapatkan restitusi PPN ini, PKP terlebih dahulu mengajukan permohonan
dengan cara mengisi kolom Pengembalian Pendahuluan dalam SPT.

3. PKP beresiko rendah, yang antara lain meliputi

 Perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.


 Perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh
pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
 PKP yang telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan sesuai
dengan ketentuan dalam PMK yang mengatur mengenai Mitra Utama
Kepabeanan.
 PKP yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (OKB)
atau “Authorized Economic Operator” sesuai dengan ketentuan dalam
PMK.
 Pabrikan atau produsen selain PKP yang memiliki tempat untuk
melakukan kegiatan produksi, yang menyampaikan SPT masa pajak PPN
selama 12 bulan terakhir dengan tepat waktu dan melampirkan surat
pemyataan mengenai keberadaan tempat untuk melakukan kegiatan
produksi.
 PKP yang memenuhi persyaratan tertentu, mengacu pada jumlah lebih
bayar PPN sebesar Rp 1 miliar.

Terhadap PKP yang mengajukan restitusi PPN ini DJP akan melakukan penelitian
terkait pajak masukan. Penelitian dilakukan dengan cara memastikan pajak
masukan yang dikreditkan oleh telah dilaporkan dalam SPT masa pajak PPN PKP
yang membuat faktur pajak dan/atau pajak masukan yang dibayar sendiri
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).

Anda mungkin juga menyukai