Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang disebut sebagai subjek PPN
ialah orang pribadi dan badan, yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan, melakukan kegiatan penyerahan dan menerima Barang/Jasa Kena
Pajak (BKP/JKP). Hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya seluruh orang bisa
diartikan sebagai subjek PPN atau lebih tepatnya semua orang dalam lingkup
wilayah Indonesia, merupakan subjek PPN.
Semua orang bisa dikatakan sebagai subjek PPN dikarenakan sifat PPN yang
merupakan pajak objektif, dimana munculnya kewajiban pajak di bidang
ditentukan oleh adanya objek pajak, yaitu seperti keadaan, peristiwa, atau
perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Jadi, PPN tidak membedakan
tingkat kemampuan konsumen dalam pengenaan pajaknya.
Selain itu, sifat PPN yang merupakan pajak konsumsi dalam negeri juga
membuat semua orang dalam lingkup wilayah Indonesia menjadi subjek PPN.
Karena, PPN dikenakan atasbarang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah
pabean Indonesia.
Jika ditelaah lebih lanjut, subjek PPN dapat dibagi menjadi dua, yakni:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP), dimana PPN dipungut oleh PKP dalam hal:
Impor BKP
Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean
Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
Melakukan kegiatan membangun sendiri
Sementara, orang pribadi yang memanfaatkan BKP/JKP di dalam daerah
pabean Indonesia, juga merupakan subjek PPN. Namun, kewajiban subjek PPN
yang memanfaatkan atau mengkonsumsi BKP/JKP di dalam daerah pabean ini
hanya sebatas pada pembayaran PPN, yang umumnya harga yang
dibayarkan oleh konsumen sudah termasuk pungutan PPN.
Kewajiban subjek PPN orang pribadi maupun non-PKP ini diatur dalam UU
Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) Pasal 4 Ayat (1) huruf b dan huruf e, serta Pasal
16C.
Sebagai subjek PPN, sejatinya pengusaha Kecil tidak termasuk dalam kategori
PKP, namun jika pengusaha kecil mengajukan permohonan untuk dikukuhkan
sebagai PKP, maka setelah dikukuhkan, pengusaha kecil menjadi PKP
sepenuhnya,dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM
yang terutang.
Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek
PPN adalah:
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di
dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
Impor Barang Kena Pajak
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Nilai yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak PPN ini tidak hanya satu
macam, sebab pengenaan pungutan PPN tidak bisa dipukul rata antara
Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).
Untuk BKP memiliki lebih dari satu nilai yang digunakan sebagai dasar
pengenaan pajak PPN. Pun demikian juga dengan JKP, yang juga tak hanya
berlandaskan satu nilai saja untuk menentukan dasar pengenaan pajak PPN.
Jenis-Jenis Dasar Pengenaan Pajak PPN
Terkait dengan dasar pengenaan pajak PPN, tarif pembayaran PPN diatur
lewat pasal 7 UU PPN dan PPnBM yang merinci bahwa tarif PPN adalah sebagai
berikut:
1. Harga Jual
2. Penggantian
3. Nilai Impor
4. Nilai ekspor
5. Nilai lain yang diatur oleh Menteri Keuangan
Penggunaan harga jual sebagai dasar pengenaan pajak PPN didasarkan atas
Pasal 1 Ayat (18) UU PPN dan PPnBM. Dalam UU PPN dan PPnBM, yang
dimaksud dengan harga jual adalah nilai berupa uang.
Nilai berupa uang ini termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut UU PPN dan PPnBM, serta potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak.
Dalam UU PPN dan PPnBM Pasal 1 Ayat (19), yang dimaksud dengan
penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP
atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut UU PPN dan PPnBM serta potongan harga yang dicantumkan dalam
faktur pajak.
Penggantian juga termasuk nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima
manfaat BKP tidak berwujud karena pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean.
Nilai Impor dan Ekspor Sebagai Dasar Pengenaan Pajak PPN
Pengeritan nilai impor dalam UU PPN dan PPnBm Pasal 1 Ayat (20) adalah, nilai
berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Sementara, nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
a) Berdasarkan ketentuan ini maka dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-
525/PJ./2000 tanggal 6 Desember 2000 ditetapkan bahwa PKP orang pribadi yang mem-punyai
tempat tinggal yang tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, terutang pajak hanya
ditempat kegiatan usahanya, sepanjang PKP tersebut tidak melakukan kegiatan usa-ha apapun
di tempat tinggalnya.
b) Dalam hal PKP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dalam wilayah satu KPP,
berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.9/1998 tanggal 4 Mei 1998
ditegaskan pengukuhannya disatukan di kantor pusatnya.
c) Beberapa PKP tertentu ditetapkan bahwa pada dasarnya terutang di tempat kantor pusatnya
dikukuhkan sebagai PKP dengan beberapa pengecualian :
(1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-394/PJ./2003 tanggal 31 Desember
2003 yang telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-73/PJ/2004
tanggal 14 April 2004, tentang Tempat Terutangnya Pajak Bagi PKP Yang Dikukuhkan di KPP
Wajib Pajak BUMN ditetapkan sebagai berikut :
(a) Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP yang mengelola Wajib Pajak BUMN yang melakukan
penyerahan BKP dan atau JKP dan atau melakukan ekspor BKP, wajib dikukuhkan sebagai PKP
di KPP dimaksud dan pajak terutang di tempat PKP dikukuhkan. Dikecualikan dari ketentuan ini
bagi PKP BUMN yang :
i. melaksanakan proyek atau tender dari Pemerintah daerah atau panitia pemberi proyek atau
tender di daerah tertentu yang mengharuskan PKP peserta proyek atau tender dikukuhkan
sebagai PKP di KPP lokasi tempat kegiatan usaha ; atau
ii. mempunyai lebih dari 200 (dua ratus) tempat kegiatan usaha termasuk antara lain cabang,
lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran dan sejenisnya termasuk distrik, dan tidak memiliki
Sistem Informasi Akuntasi yang terhubung antara pusat dengan cabang maupun antar cabang
(on line).
Bagi BUMN yang tidak melakukan pemusatan tempat pajak terutang dimaksud, wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN.
(b) Bagi BUMN yang sudah terlanjur dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP selain yang mengelola
Wajib Pajak BUMN, maka KPP ini wajib melakukan pencabutan Pe-ngukuhan PKP tersebut
paling lambat tanggal 31 Januari 2004.
(c) Dalam hal telah dilakukan pencabutan Pengukuhan PKP yang dilakukan oleh KPP selain
yang mengelola Wajib Pajak BUMN, tetapi PKP yang bersangkutan belum melaporkan seluruh
kegiatan usahanya secara terpusat untuk Masa Pajak Januari 2004 sampai dengan Agustus
2004 di KPP BUMN, maka PKP tempat pemusatan wajib melakukan pembetulan SPT Masa PPN
tersebut dengan menggabungkan kegiatan seluruh ccabang yang pengukuh-annya telah dicabut.
(d) PKP yang melakukan pemusatan tempat PPN terutang tetapi pengukuhan-nya di KPP selain
KPP BUMN belum dicabut, tidak wajib melaporkan ke-giatan usaha ke KPP BUMN dengan
syarat :
i. masih menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN ;
ii. menyampaikman pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP BUMN bahwa telah
menyampaikan SPT Masa PPN di KPP selain KPP BUMN.
(e) PKP BUMN yang dibebani kewajiban untuk melakukan pemusatan PPN terutang di KPP
BUMN, wajib melaksanakannya paling lambat tanggal 31 Agustus 2004.
(f) Bagi PKP BUMN yang tidak melaksanakan kewajiban pemusatan tempat PPN terutang yang
dibebankan kepadanya, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Keputusan Direktur Jenderal tersebut diatas secara tidak langsung meng-anulir salah satu diktum
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-515/ KEP/2000 sebagaimana telah diubah
dengan Nomor KEP-337/PJ./2002 tanggal 2 Juli 2002, khusus bagian yang mengatur tentang
tempat pajak terutang bagi BUMN.
(2) Badan Usaha Milik Daerah
bagi Wajib Pajak BUMD yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP ter-utang pajak dan
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP di wilayah kerjanya.
(3) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing
Wajib Pajak Penanaman Modal Asing dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
(a) Wajib Pajak Penanaman Modal Asing yang tidak “masuk bursa”, yang melakukan penyerahan
BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP
Penamaman Modal Asing sebagai tempat pajak terutang ;
(b) Khusus bagi Wajib Pajak PMA yang berkedudukan di Kawasan Berikat Pulau Batam,
Kawasan Pulau Bintan, dan kawasan Pulau Karimun, atas permohonan Wajib Pajak diberi
kemudahan untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya pada KPP setempat sebagai
tempat pajak terutang.
(4) Wajib Pajak Badan dan Orang Asing (BADORA) untuk seluruh Wajib Pajak Badan (BUT)
dan Orang Asing yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP BADORA sebagai tempat pajak terutang ;
(5) seluruh wajib pajak yang telah mendapat ijin emisi saham dari Badan Pengawas Pasar
Modal yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP di KPP Masuk Bursa, kecuali Wajib Pajak yang telah dikukuhkan
sebagai PKP di KPP tempat Wajib Pajak ini berkedudukan ;
(6) Wajib Pajak besar sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-263/PJ/2002 tanggal 8 Mei 2002 yang melakukan penyerahan BKP dan atau
JKP, pajak terutang dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP
Wajib Pajak Besar.
Labels: faktur gabungan, Faktur Pajak ppn, faktur sederhana, nota retur, PPN, saat penerbitan
Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984 menentukan : “Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak
untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f
dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.”
Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984, ditegaskan 3 (tiga) macam Faktur Pajak yaitu:
1) Faktur Pajak Standar
Dalam pasal 1 angka 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 tanggal 31 Oktober
2006 yang mengatur tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian,
Dan Tata Cara Pembetukan Faktur Pajak Standar menetapkan bahwa Faktur Pajak Standar adalah
Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan tentang:
a) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP ;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga ;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut ;
f) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak ; dan
g) Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Pajak Gabungan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU PPN 1984 sebenar-nya adalah
Faktur Pajak Standar yang memuat semua penyerahan BKP atau JKP dalam satu Masa Pajak kepada
pembeli BKP atau penerima JKP yang sama..
2) Dokumen tertentu yang dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak di perlaku-kan sebagai Faktur
Pajak Standar.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984 jo Keputusan Direktur Jenderal Nomor 522/PJ/ 2000
tanggal 6 Desember 2000 dan Nomor KEP-312/PJ/2001 tanggal 23 April 2001 ditetap-kan dokumen-
dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar, yaitu :
a) PIB dan SSP untuk impor BKP
b) PEB yang telah difiat muat Pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilampiri invoice
c) SPPB (Surat Perintah Pengiriman Barang) dari BULOG/DOOLOG
d) Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat oleh Pertamina atas penyerahan BBM dan non
BBM
e) Kuitansi atas penyerahan jasa telekomunikasi
f) Tiket, airway bil), delivery bill yang dibuat perusahaan jasa angkutan udara dalam negeri
g) SSP PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean
h) Nota Penjualan Jasa atas penyerahan jasa kepelabuhanan
i) Tanda pembayaran atau kuitansi langganan listrik.
Dokumen-dokumen tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :
a) Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen ;
b) Nama, Alamat dan NPWP penerima dokumen sebagai wajib pajak dalam negeri;
c) Jumlah satuan apabila ada ;
d) Dasar Pengenaan Pajak ;
e) Jumlah pajak yang terutang.
Tata cara pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Setiap Faktur Pajak Standar wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak.
2) Bentuk formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kebutuhan administrasi PKP yang
bersangkutan.
3) Formulir Faktur Pajak dapat dicetak dalam warna putih untuk seluruh lembar atau antara lembar
kesatu, kedua dan ketiga dapat dicetak dalam warna yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan atau
keperluan PKP.
4) Faktur Pajak Standar dibuat minimal dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan:
Lembar ke-1 : untuk diberikan kepada Pembeli BKP atau penerima JKP,
Lembar ke-2 : sebagai arsip PKP yang bersangkutan.
Dalam hal dibuat lembar ke-3, peruntukannya supaya disebutkan dengan jelas.
5) Faktur Pajak Standar dapat dibuat dengan menggunakan komputer sepanjang memenuhi sya-rat yang
telah ditentukan.
e. Tata Cara Mengisi Faktur Pajak Standar
Adapun tata cara mengisi Faktur Pajak Standar, ditentukan sebagai berikut:
1) Penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984, dan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direk-tur
Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 menetapkan bahwa Faktur Pajak harus diisi de-ngan lengkap,
benar dan jelas baik secara formal maupun materiel dan ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang
ditunjuk oleh PKP.
Faktur Pajak yang diisi tidak sesuai ketentuan ini menjadi Faktur Pajak cacat, sehingga PPN yang ada di
dalamnya tidak dapat dikreditkan.
Namun, kiranya perlu disadari bahwa tidak mencantumkan keterangan NPPKP Pembeli dalam Faktur
Pajak Standar tidak mengakibatkan Faktur Pajak Standar menjadi cacat. Hal ini disebabkan oleh :
a) berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984, sejak 1 Januari 2001, UU PPN 1984 tidak mengakui
eksistensi NPPKP;
b) Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 pada
dasarnya menetapkan bahwa keterangan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 wajib diisi dengan
lengkap, benar dan jelas oleh PKP. Pasal 1 angka 3 ini merupakan duplikasi dari materi Pasal 13 ayat (5)
UU PPN 1984 yang menentukan syarat minimal keterangan yang wajib dicantumkan dalam Faktur Pajak
Standar. Dalam rincian kete-rangan tersebut tidak tercantum keterangan tentang NPPKP Pembeli BKP
atau Penerima JKP. Oleh karena itu, tanpa mencantumkan keterangan tentang NPPKP dimaksud, berarti
Faktur Pajak Standar ini sudah diisi sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984, sehingga tidak
tergolong sebagai Faktur Pajak Standar cacat.
2) Sejak 1 Januari 2007, berdasarkan Pasal 6 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
159/PJ./2006 ditetapkan bahwa PKP yang membuat Faktur Pajak Standar wajib menggunakan Kode dan
Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagai berikut :
a) PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis nama pejabat yang berhak menanda-tangani Faktur
Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala KPP paling lambat pada saat
pejabat dimaksud mulai menandatangani Faktur Pajak Standar, menggunakan formulir yang telah
ditetapkan.
b) Pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak dapat lebih dari 1 (satu) orang.
c) Dalam hal PKP Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi memberi kuasa kepada pihak lain
untuk menandatangani Faktur Pajak Standar, maka dengan formulir khusus PKP wajib menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPP paling lambat pada saat pihak yang diberi kuasa mulai
menandatangani Faktur Pajak Standar dan menyertakan Surat Kuasa Khusus.
d) Apabila terjadi perubahan pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar,
maka PKP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada KPP paling lambat pada saat pejabat
atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak.
4) Dalam hal nama BKP/JKP yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak Standar,
maka PKP dapat :
a) membuat lebih dari 1 (satu) formulir Faktur Pajak Standar yang masing-masing formulir menggunakan
kode, nomor seri, dan tanggal Faktur Pajak Standar yang sama, serta ditan-datangani dan diberi
keterangan nomor halaman pada setiap lembarnya, dan khusus untuk pengisian baris/kolom “Jumlah,
Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, Pajak Pertambahan Nilai”,
cukup diisi pada formulir terakhir; atau
b) membuat 1 (satu) Faktur Pajak Standar dengan menunjuk nomor dan tanggal Faktur Pen-jualan yang
merupakan lampiran dari Faktur Pajak Standar tersebut.
5) Faktur Pajak yang terdapat kesalahan dalam pengisian supaya dibetulkan dengan cara dibuat Faktur
Pajak Standar Pengganti. Faktur Pajak yang salah tersebut dilampirkan, dan pada Fak-tur Pajak Standar
Pengganti dibubuhi cap yang mencantumkan Nomor Seri, Kode dan tanggal Faktur Pajak Standar yang
diganti.
Pengisian Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti dapat ditulis secara
manual.
6) Membetulkan Faktur Pajak tidak boleh dilakukan dengan cara lain misalnya dengan coretan atau
dihapus dengan cara apapun. Coretan tidak diperkenankan kecuali pada kolom dengan tanda asterix (*)
dengan catatan “coret yang tidak perlu”, wajib dicoret.
7) Dalam hal Faktur Pajak Standar hilang, PKP yang berkepentingan dapat minta Faktur Pajak sebagai
pengganti kepada PKP Penjual/Pengusaha jasa dengan tembusan kepada Kepala KPP tempat PKP
Penjual/Pengusaha Jasa dan PKP Pembeli dikukuhkan dengan cara:
1) Atas dasar permintaan tersebut, PKP Penjual atau Pengusaha Jasa membuat fotokopi Faktur Pajak
Standar yang disimpan, sebanyak 2 (dua) lembar,
2) Fotokopi tersebut kemudian dilegalisasi oleh KPP tempat PKP Penjual/Pengusaha Jasa dikukuhkan
sebagai PKP. Setelah dilegalisasi, satu lembar disimpan oleh pejabat KPP dan lembar lainnya
dikembalikan kepada PKP yang bersangkutan untuk diserahkan kepada PKP Pembeli/Penerima JKP.
8) Pengisian yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan berakibat Faktur Pajak terse-but
tergolong sebagai Faktur Pajak Standar cacat.
Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP yang pembayarannya menggunakan valuta asing, berdasarkan
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 diatur sebagai berikut :
(1) Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata
uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang
rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat
pembuatan Faktur Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan
pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mem-pergunakan mata uang asing,
maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan
mempergunakan kurs yang berlaku menurut Ke-putusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan
pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Sejak 1 Januari 2007, apabila terjadi perubahan nilai kurs pada saat pembayaran sehingga berbeda
dengan nilai kurs yang digunakan dalam Faktur Pajak atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut
PPN, maka PKP Rekanan wajib melakukan dua macam kegiatan yaitu :
1) Menyesuaikan nilai kurs dalam Faktur Pajak dengan nilai kurs pada saat pembayaran dengan cara
membuat Faktur Pajak Standar Pengganti.
2) Melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang terkait
h. Sanksi
1) Berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP ditetapkan bahwa Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau tidak mengisi selengkapnya, dikenakan sanksi berupa
denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2) Berdasaran Pasal 39A UU KUP, bagi setiap orang yang:
a) membuat atau menggunakan Faktur Pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b) belum dikukuhkan sebagai PKP dengan sengaja membuat Faktur Pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun serta
denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak.
i. Nota Retur
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 596/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1995 sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 5A UU PPN 1984, mengatur Nota
Retur sebagai berikut :
1) Nota Retur dibuat apabila terjadi pengembalian BKP, kecuali BKP tersebut diganti BKP dari jenis yang
sama, tipenya sama, jumlah dan harganya sama oleh PKP Pen-jual.
2) Nota retur berfungsi mengurangi Pajak Masukan PKP Pembeli dalam SPT Masa PPN dalam Masa
Pajak dibuat Nota Retur, mengurangi Pajak Keluaran PKP Penjual dalam SPT Masa PPN dalam Masa
Pajak diterima Nota Retur.
3) Bentuk Nota Retur dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi PKP, tetapi keterangan yang
tercantum di dalamnya harus memenuhi ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yaitu :
a) Nomor Urut ;
b) Nomor dan Tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
c) Nama, alamat dan NPWP pembeli ;
d) Nama, alamat, NPWP dan tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak ;
e) Macam, jenis kuantum, dan Harga Jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
f) PPN atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan ;
g) PPnBM atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikembalikan ;
h) Tanggal pembuatan Nota Retur ;
i) Tanda tangan pembeli.
4) Yang membuat Nota Retur adalah Pembeli.
Pengkreditan Faktur Pajak Masukan
Agar pajak masukan dapat dikreditkan untuk suatu masa pajak yang sama,
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh bidang
usaha. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang
diperlakukan sama dengan faktur pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Sementara, pengkreditan pajak masukan tidak dapat diberlakukan bagi jenis
pengeluaran sebagai berikut:
1. Pengeluaran atas BKP atau JKP saat pengusaha belum dikukuhkan
sebagai PKP.
2. Pengeluaran atas BKP atau JKP yang tidak berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha. Artinya, pengeluaran yang bukan untuk
kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, tidak bisa
dikreditkan.
Restitusi PPN terjadi apabila jumlah PPN yang disetorkan oleh PKP ternyata lebih
besar ketimbang jumlah PPN yang terutang.
Restitusi PPN ini diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 28 tahun 2007, yang
menjelaskan bahwa jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar
lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, DJP akan menerbitkan surat
ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB), setelah sebelumnya melakukan
pemeriksaan terlebih dahulu.
Restitusi PPN memiliki landasan hukum UU No. 28 tahun 2007 dan diperkuat
dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 192/PMK.03/2007 dan kemudian
diubah menjadi PMK Nomor 74/PMK.03/2012 dan kemudian diubah lagi
menjadi PMK Nomor 198/PMK.03/2013, serta yang terbaru PMK Nomor
39/PMK.03/2018.
Percepatan restitusi PPN telah ditetapkan oleh pemerintah melalui DJP sejak
bulan April 2018 dengan tujuan menurunkan cost compliance. Pasalnya, restitusi
PPN dapat diberikan tanpa terlebih dahulu melewati alur pemeriksaan.
Percepatan restitusi PPN ini diberikan kepada wajib pajak yang masuk klasifikasi
sebagai berikut:
1. Wajib pajak kriteria tertentu, yakni wajib pajak yang memenuhi kriteria:
Terhadap PKP yang mengajukan restitusi PPN ini DJP akan melakukan penelitian
terkait pajak masukan. Penelitian dilakukan dengan cara memastikan pajak
masukan yang dikreditkan oleh telah dilaporkan dalam SPT masa pajak PPN PKP
yang membuat faktur pajak dan/atau pajak masukan yang dibayar sendiri
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).