REFERAT
Dibuat dalam Rangka Tugas Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
Oleh:
Andi Aisya Z. Haliza
111 2018 2046
Pembimbing
dr. Ema Alasiry Sp.A(K)
Laporan Kasus yang berjudul “Kejang Pada Neonatus” yang dipersiapkan dan
disusun oleh:
Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter dalam disiplin Ilmu Kesehatan Anak pada,
Menyetujui,
Pembimbing Penulis
PENDAHULUAN
Kejang merupakan keadaan emergensi atau tanda bahaya yang sering terjadi
pada neonatus, karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup
berbahaya bagi ke langsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di
kemudian hari di samping itu kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari 1
masalah atau lebih. Walaupun neonatus mempunyai daya tahan terhadap kerusakan
otak lebih baik, namun efek jangka panjang berupa penurunan ambang kejang,
gangguan belajar dan daya ingat tetap terjadi. Aktivitas kejang yang terjadi pada
waktu diferensiasi neuron, mielinisasi dan proliferasi glia pada bayi baru lahir
dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan otak.1
Kejang neonatal bisa sulit didiagnosis karena kejang mungkin pendek dan
halus. Selain itu, gejala kejang neonatal dapat meniru gerakan dan perilaku normal
yang terlihat pada bayi sehat. Gejalanya tergantung pada jenis kejang yaitu subtle,
klonik, tonik atau mioklonik. Karena sulitnya mengenal bangkitan kejang pada BBL,
Sekitar 70-80% BBL secara klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografik
masih mengalami kejang. Insidensi kejang dini (terjadi kurang dari 48 jam setelah
lahir) pada bayi aterm telah diajukan sebagai indikator dari kualitas perawatan
perinatal karena penyebab tersering pada kelompok bayi ini adalah hipoksik isemik
ensefalopati. Penyebab lain yang dapat menyebabkan kejang ialah gangguan
metabolik, perdarahan intrakranial, infeksi, ensefalopati bilirubin, kejang yang
berhubungan dengan obat hingga idiopatik.1,2,3
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Kejang pada BBL (Bayi Baru Lahir) secara klinis adalah perubahan paroksimal
dari fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom
sistem syaraf) yang terjadi pada neonatus (bayi berumur sampai dengan 28 hari).2
B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian bangkitan kejang pada BBL sulit dikenali sehingga kejadiannya
sesungguhnya tidak diketahui. Kejang pada BBL relatif umum dan terjadi pada 0,15-
1,5% dari semua neonatus. Angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2
setiap 1000 BBL per tahun, sedang pada kepustakaan lain menyebutkan 1-5 % bayi
pada bulan pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat pada BKB sebesar 57.5-
132 dibanding BCB sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan
lain menyebutkan insidensi 20% pada BKB dan 1.4% pada BCB. Sekitar 70-80%
BBL secara klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografik masih mengalami
kejang. Insidensi kejang dini (terjadi kurang dari 48 jam setelah lahir) pada bayi
aterm telah diajukan sebagai indikator dari kualitas perawatan perinatal karena
penyebab tersering pada kelompok bayi ini adalah hipoksik isemik ensefalopati.1,2
C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang
berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan
yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan
repolarisasi terjadi karena keluar nya Kalium melalui membaran sel. Untuk
mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang berasal dari ATP dan
tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuk nya
Kalium.1
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi dan
fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut:1
Dalam sebuah penelitian besar (2,3 juta kelahiran) dari California, faktor-faktor
risiko berikut diidentifikasi untuk kejang pada bayi baru lahir selama penerimaan
kelahiran: prioritas, berat lahir <2500 g, persalinan ≥42 minggu, diabetes mellitus
ibu, usia ibu ≥ 40 tahun, nulliparitas, demam / infeksi intrapartum (korioamnionitis),
dan pelahiran kastropik (solusio plasenta, ruptur uteri, dan prolaps tali pusat).2
C. Metabolik
a) Hipoglikemia
Kejang akibat hipoglikemi sering terjadi saat kadar gula darah turun ke
kadar pascanatal terendah (pada usia 1 sampai 2 jam atau setelah 24
sampai 48 jam pada asupan nutrisi yang buruk). Hipoglikemia
seringkali didapatkan pada BBL dengan retardasi perkembangan
intrauterin (IUGR) pada bayi dengan ibu penderita diabetes mellitus
(IDMS). Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut
hipoglikemia. Kadang asimptomatis, hipoglikemia yang
berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan dampak yang
menetap pada SSP. BBL yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi
nya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan, Bayi
Besar untuk masa kehamilan dan bayi dari Ibu dengan Diabetes
mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi penyebab dasar pada kejang BBL
dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan jiternes. Kejang
karena hipoglikemia ini sering dihubungkan dengan penyebab kejang
yang lain. Hanya sekitar 3% yang benar benar disebabkan oleh karena
hipoglikemia. Faktor yang paling kritis pada hipoglikemia yang
berhubungan dengan gejala neurologik adalah masa atau durasi terjadi
nya hipoglikemia dan jumlah waktu yang terbuang sebelum terapi
dimulai. Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrosa intravena jika
ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang. untuk
mengembalikan kadar gula darah kembali normal secepatnya.1,2,6
b) Hipokalsemia/Hipomagnesemia
Hipokalsemia telah ditemukan pada bayi berat lahir rendah, IDMS,
bayi asfiksia, bayi dengan sindrom DiGeorge, dan bayi yang lahir dari
ibu dengan hiperparatiroidisme. Hipokalsemia dan hipomagnesemia
terjadi pada bayi risiko tinggi dan memberikan respon baik pada terapi
kalsium, magnesium, atau keduanya. Hipomagnesemia adalah masalah
yang sering menyertai. Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada
hari pertama dan ke dua. Lebih sering didapatkan pada BBLR dan
sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi dari ibu
dengan diabetes melitus. Kejadian kejang lambat akibat hipokalsemi
pada BCB yang mendapat susu formula yang kandungan rasio fosfat
dengan kalsium/magnesium kurang optimal. Setengah dari bayi pada
penelitian Brown dkk mengalami hipokalsemi. Hipokalsemia
didefinisikan kadar kalsium < 7.5 mg/dL (< 1.87 mmol/L), biasanya
diserta dengan kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0.95 mmol/L), seperti
hipoglikemia kadang asimptomatis. Sering berhubungan dengan
prematuritas atau kesulitan persalianan dan asfiksia. Kadar magnesium
yang rendah sering terjadi bersama dengan hipokalsemi dan perlu di
terapi agar memberikan respon yang baik untuk menghentikan kejang.
Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan dengan
hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah
yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang
masih belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.1,2,6
c) Hiponatremia atau hipernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang
mengalami perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi
tertentu seperti Syndrome of Inappropriate Anti-Diuretic Hormone
(SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi berat dapat menyebabkan
kejang. SIADH, berhubungan dengan keadaan sekunder dari
meningitis atau perdarahan intrakranial, terapi diuretika, kehilangan
garam yang berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar
natrium yang rendah. Hiponatremia dapat terjadi akibat minum air,
pemberian infus intravena yang berlebihan atau akibat pengeluaran
natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses. Hipernatremia
terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat
asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian
natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral.1,2
d) Gangguan metabolik lainnya
Kejang disertai letargis , asidosis dan riwayat kematian bayi dalam
keluarga dapat disebabkan oleh kelainan metabolik bawaan seperti: 6
i. Pyridoksin dependency atau ketergantungan piridoksin
Menyebabkan kejang yang resisten terhadap antikonvulsan.
Bayi dengan kelainan ini mengalami kejang intrauterin dan
dilahirkan dengan pewarnaan meconium. Mereka menyerupai
bayi yang sesak napas.2
ii. Gangguan asam amino. Kejang pada bayi dengan gangguan
asam amino selalu disertai dengan manifestasi neurologis
lainnya. Hiperamonemia dan asidosis umumnya ditemukan
pada kelainan asam amino.2
D. Infeksi
Infeksi terjadi pada sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri,
non- bakteri maupun congenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya
terjadi setelah minggu pertama kehidupan. Infeksi intrakranial sekunder akibat
agen bakteri atau nonbakterial dapat diperoleh oleh neonatus dalam rahim,
selama persalinan, atau dalam periode perinatal.1
a) Infeksi akut. Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa
keadaan sepsis dapat mengakibatkan kejang, biasanya sering
berhubungan dengan meningitis. Kuman Gram negatif sering
mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Meningitis
akibat infeksi Streptokokus grup B, Escherichia coli, atau Listeria
monocytogenes disertai dengan kejang selama minggu pertama
kehidupan.
b) Infeksi kronik. Infeksi intrauterine yang berlangsung lama akibat
toksoplasmosis dan infeksi herpes simplex, cytomegalovirus, rubella,
dan virus coxsackie B menyebabkan infeksi intrakranial dan kejang.
E. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek
menyebabkan kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20 mg/dl. Pada bayi
prematur yang sakit, kadar 10 mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan
kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang
tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang sakit
dengan sindrom distres pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang anggi
untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari
hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah Pada hari kedua terdapat
gejala demam, regidiras dan posisi dalam opistotonus. Selanjutnya gambaran
klinis bułan pertama menunjukkan tonus otot meningkatkan progresif.
Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi:1
1) Disfungsi ekstra piramidal biasanya berbentuk aretosis dan korea
2) Gangguan gerak bola mata vertikal, ke atas lebih dari pada ke bawah,
terdapat pada 90% kasus
3) Kehilangan pendengaran frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus
4) Retardasi mental terdapat pada 25% kasus.
F. Kejang berhubungan dengan obat
a) Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawal)
Tiga kategori obat yang digunakan oleh ibu menyebabkan kecanduan pasif
dan putus obat (kadang-kadang disertai dengan kejang) pada bayi. Obat
lainnya: analgesik seperti heroin, metadon, dan propoksifen (Darvon);
hipnotik sedatif seperti secobarbital; dan alkohol. Studi saat ini
mengungkapkan bahwa paparan antidepresan dikaitkan dengan
peningkatan risiko kejang bayi, terutama paparan serotonin reuptake
inhibitor (SSRI). Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan
dengan kejang BBL karena efek putus obat dari kecanduan heroin. Ibu
yang ketagihan dengan obat narkorik selam hamil, bayi yang dilahirkan
dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness dan kadang-
kadang terdapat kejang. Kejang akibat putus obat (wirhdrawal) terjadi
pertama kali pada usia 3 hari pertama dengan onset rata- rata 10 hari.
Kejang tersebut dapar menetap untuk beberapa bulan. Kelainan
elektrogafis terjadi pada 50% BBL yang terpapar kokain, menetap hingga
1 tahun. Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan infus narkotik
jangka panjang untuk mengurangi rasa sakir dan relah diperhatikan pula
efek serupa dari midazolam unruk sedasi pada BKB.1
b) Intoksikasi anestesi lokal
Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal / anastesi blok pada ibu yang
masuk ke dalam sirkulasi janin akibat suntikan langsung obat anestesi
lokal ke kulit kepala janin. Keadaan ini dapat terjadi akibat anestesi blok
paraservical, pudendal atau epidural serta anestesi lokal pada episiotomi
yang tidak tepat. Kita curigai intoksikasi bila ditemukan bradikardi, pupil
tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata terfiksasi
pada refleks okulosefalik (reflek dol's eye menghilang). Bayi yang lahir
menunjukkan skor Apgar yang rendah, hipotonia dan hipoventilasi.
Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama kelahiran. Prognosisnya baik,
bila diberikan pengobatan suportif yang memadai akan membaik setelah
24 -48 jam.1,6
a) Subtle
Bentuk kejang subtle lebih sering terjadi dibanding tipe kejang yang lain,
hampir 50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan.
Manifestasi klinis berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan maca,
gerakan alis (lebih sering pada BKB) yang bergetar berulang-ulang, mata
yang tiba ciba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah ( lebih
sering pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan
air liut, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir, dan pergerakan ekstremitas
sering seperti gerakan orang berenang, mendayung, bertinju atau
bersepeda. Episode apnu dapat disebabkan oleh kejang, diagnosis ini
dipertimbangkan jika terdapat respon yang lambat terhadap ventilasi
dengan balon dan sungkup khususnya pada neonatus preterm dengan lesi
intrakranial. Perubahan autonom/vasomotor, seperti perubahan tekanan
darah atau peningkatan salivasi, sering terjadi bersamaan dengan kejang
subtle dan hal ini dapat memberikan petunjuk ke arah diagnosis yang
benar jika tidak tersedia EEG sebagai konfirmasi.1
b) Tonik
Kejang tonik biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi
perinatal berat misalnya berat misalnya pada perdarahan intraventrikular.
Bentuk klinis kejang ini yaitu pergerakan tonik satu ekstremitas atau
pergerakan tonik umum
i. Fokal terdiri dari postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau
ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata abnormal.
ii. Kejang tonik umum ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi leher,
badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi ekstremitas bawah
juga.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan
sikap opistitonus yang disebabkan oleh rangsang meningeał karena infeksi
selaput orak atau kernikterik.1
c) Klonik
Kejang klonik seringnya merupakan petunjuk dari lesi fokal yang
mendasari seperti infark korteks, namun kejang klonik juga dapat
disebabkan oleh sebab metabolik. Bayi dengan kejang klonik biasanya
tidak mengalami penurunan kesadaran. Dikenal 2 bentuk:1
i. Fokal: terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas
pada sisi unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah.
Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik.
ii. Multifokal: Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari
satu fokus atau migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas
yang kemudian secara acak pindah ke ekstremitas lain nya. Bentuk
kejang merupakan gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota
gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya
kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai
bawah kanan. Kadang-kadang karena kejang yang satu dengan yang
lain sering bersinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai
kejang umuin. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan
metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat
lebih 2,500 grams.1
Tipe kejang ini dihubungkan dengan gambran EEG yang khas yang terdiri
dari gelombang tajam dan lambat berurutan yang menyebar secara
ipsilateral dari hemisfer asal gelombang tersebut.1
d) Mioklonik
Kejang mioklonik cenderung terjadi pada kelompok otot fleksor. Kejang
mioklonik terdiri atas:1
i. Fokal: terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor
ekstremitas atas
ii. Multifokal: terditi dari gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian
tubuh
iii.Umum: terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi massif dari kepala
dan badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas.
Ketiga jenis kejang mioklonik sering dijumpai pada BKB dan cukup
bulan saat sedang tidur.1
3. Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini
dapat terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada
tinggi. Hiperekpleksia kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya
disebut dengan sindroma stiff – baby herediter. Meslkipun gambaran EEG
normal, spasme tonik dapat berbahaya dan terapi sangat diperlukan 1
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi
kedua hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang
berbeda.1
Gambar 2: Perbedaan Kejang dan Spasme1
Awitan Kejang
Awitan kejang kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir; bayi
jarang mengalami kejang saat berada di ruang bersalin. Penelitian pada binatang
menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik
iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran
glutamat selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat rerjadi pada bayi.
Kejang onset lanjut memberi kesan adanya meningitis, kejang familial benigna arau
hipokalsemia. Tabel 3 menunjukkan awitan kejang yang direkam dari 277 kasus pada
BBL. Sebuah penelitian terbaru juga memperlihackan hal yang serupa. Awitan kejang
pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut dapat digunakan untuk
memperkirakan penyebab kejang.1
F. DIAGNOSIS
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap,
riwayat yang berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis
kejang, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis 1,5
- Kapan terjadinya kejang
- Berapa lama kejang berlangsung
- Keadaan umum bayi saat kejang
Faktor risiko:
Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak
terdahulu atau bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui penyebabnya
biasanya didapatkan pada kasus kesalahan metabolik dan kejang neonatal
familial jinak.
Riwayat kehamilan/prenatal
- Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil
- Preeklamsia, gawat janin.
- Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
- Imunisasi anti teranus, Rubela
Riwayat Persalinan
- Asfiksia, episode hipoksik
- Trauma persalinan
- KPD (Ketuban Pecah Dini)
- Anestesi lokal/ blok
Riwayat paskanatal
- Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk
- Bayi dengan pewarnaan kuning dan rimbulnya dini.
- Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat.
- Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur
perawatan
- Waktu atau awitan kejang mungkin berhubugan dengan etiologi
- Bentuk gerakan abnormal yang terjadi
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologis,
dilakukan secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan neurologi saat antar
kejang dalam batas normal, namun demikian bergantung penyakit yang
mendasarinya, sehingga pada BBL yang mengalami kejang perlu pemeriksaan fisis
lengkap meliputi pemeriksaan neonatologik dan neurologis, dilakukan secara
sistematik dan berurutan:1
G. TATALAKSANA
Penatalaksanaan kejang pada BBL meliputi stabilisasi keadaan umum
bayi, menghentikan kejang dan identifikasi dan pengobatan faktor etiologi serta
suportif untuk mencegah kejang berulang. Kebanyakan bayi diterapi hanya
berdasarkan diagnosis klinis saja, dan monitoring terapinya juga dilakukan
dengan merngamati perubahan klinisnya saja. Penelitian dengan EEG yang
kontinyu menunjukkan bahwa masalah pada kejang elektrografik adalah sering
menetapnya kejang setelah dimulai terapi anti konvulsan. Pada beberapa
neonatologis akan menterapi jika bayi yang mengalami kejang lebih dari tiga kali
dalam satu jam, atau kejang tunggal yang berlangsung lebih dari 3 menit.1
A. Terapi suportif
1. Pemantauan ketat: Pasang monitor jantung dan pernapasan serta "pulse
oxymeter"
2. Intra vena, berikan infus dekstrosa
3. Beri bantuan respirasi dan terapi oksigen bila diperlukan
4. Koreksi gangguan metabolik dengan tepat
B. Medikamentosa
Pemberian antikonvulsan merupakan indikasi pada manajemen awal
1. Fenobarbital
Dosis awal (loading dose) 20-40 mg mg/kgBB intravena diberikan
mulai dengan 20 mg/kg BB selama 5 - 10 menit
Pantau depresi pernapasan dan tekanan darah
Dosis rumatan: 3-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah pemberian
intravena atau 2 4 jam setelah pemberian per oral dengan kadar 15-
45 ugm/mL
2. Fenitoin (Dilantin) : biasanya diberikan hanya apabila bayi tidak
memberi respons yang adekuat terhadap pemberian fenobarbital
Dosis awal (Loading dose) untuk status epileptikus 15 20
mg/kgBB intravena pelan-pelan
Karena efek alami obat yang ititatip maka beri pembilas larutan
garam fisiologis sebelum dan sesudah pemberian obat
Pengawasan terhadap gejala bradikardia, aritmia dan hipotensi
selama pemberian infus
Dosis rumat hanya dengan jalur intra vena (karena pemberian oral
tidak efektip) 5-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis
Kadar terapeutik dalam darah (Fenitoin bebas dan terikat) 12 - 20
mg/L atau 1-2 mg/L (hanya untuk Fenitoin bebas)
3. Lorazepam (Ativan TM) : biasanya diberikan pada BBL yang tidak
memberi respons terhadap pemberian fenobarbital dan fenitoin secara
ber urutan
Dosis efektip: 0.05 0.10 mg/kgBB diberikan intravena dimulai
dengan 0.05 mg/kgBB pelan-pelan dalam beberapa menit
Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan membentuk
efek antikonvulsan yang nyata dalam waktu kurang 5 menit
Pengawasan terhadap depresi pernapasan dan hipotensi
Obat anti kejang lainnya
Benzodiazepin
Benzodiazepin meningkatkan inhibisi GABA-mediated melalui
aktifasi reseptor GABA-A. Benzodiazepin adalah antikonvulsan yang efektif
pada anak dan dewasa namun kurang berperan pada BBL karena GABA
bersifat eksitatorik. Benzodiazepin mempunyai profil keamanan yang baik
Midazolam
Midazolam larut dalam air, benzodiazepin bekerja cepat dan terbukti
efektif untuk terapi status epileptikus pada populasi anak. Telah di evaluasi
perbandingan midazolam dengan lidokain sebagai terapi lini kedua pada bayi
dengan kejang yang gagal merespon fenobatbital; kejang dimonitor dengan
menggunakan video-EEG secara kontinyu. Enam bayi menerima klonazepam
atau midazolam namun tidak ada yang berespon. Didapatkan adanya gerakan
abnormal pada bayi preterm yang menerima infus midazolam, meski EEG
tetap normal Kelanjutan dari perkembangan sarafnya lebih baik pada bayi
yang disedasi dengan morfin daripada dengan penggunaan midazolam, dan
hasil seperti ini menyebabkan perhatian khusus pada penggunaan midazolam
pada bayi.
Diazepam
Diazepam mempunyai efek antikonvulsan hanya bersifat sementara.
Ketidakstabilan kardio respiratorik dapat terjadi jika obat ini digunakan
bersama dengan fenobarbital (fenobarbiton), dan metabolit utamanya yang
memiliki waktu paruh panjang, N-dismetildiazepam, dapat menyebabkan
sedasi tanpa dapat mengontrol kejangnya. Karena alasan ini, diazepam
bukanlah pilihan terbaik dari golongan benzodiazepin untuk digunakan pada
BBL.
Gambar 3: Algoritme Tatalaksana Kejang Neonatus1
Anti kejang rumatan
Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian anti kejang
rumatan, fenobarbital 5 mg/kg/hari adalah pilihan pertama. Kasus yang resisten harus
diterapi dengan kombinasi fenobarbital dan karbamazepin, meski sodium valproat
dapat berhasil pada beberapa kasus.1
Lamanya pemberian dosis rumatan pada kejang BBL masih belum terdapat
kata sepakat. Beberapa penulis kefainan neurologis. sedangkan yang lain
menggunakan patokan gambaran klinis dan gambaran EEG. menghentikan dosis
rumatan setelah ternyata tidak ada. Pada neonatus dengan pemeriksaan neurologis
normal dan /atau elektroensefalografi normal, pertimbangkan menghentikan obat
antiepilepsi jika bebas kejang selama> 72 jam; obat harus dipasang kembali jika
terjadi kejang.1,9
H. DIAGNOSIS BANDING
- Hipoglikemia
- Tetanus neonatorum
- Meningitis
- Asfiksia neonatorum
- Perdarahan intraventrikular
- Ensefalopati bilirubin/Kernikterus
Gambar 4: Diagnosis Banding Kejang1
I. PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh etiologi kejang neonatal. Jika EEG normal,
prognosisnya sangat baik untuk mengatasi kejang; perkembangan normal dapat
terjadi. Kelainan EEG yang parah menunjukkan prognosis yang buruk; pasien seperti
itu sering mengalami cerebral palsy dan epilepsi. Kehadiran pada EEG abnormal
(lonjakan EEG) dikaitkan dengan risiko 30% mengembangkan epilepsi masa depan.
Prognosis setelah kejang neonatal akibat perdarahan subaraknoid terisolasi sangat
baik, dengan 90% anak-anak tidak memiliki defisit neurologis residual. Meskipun
angka kematian tinggi (sekitar 15%) dan morbiditas (sekitar 30%), setengah dari
neonatus dengan kejang mencapai keadaan normal atau mendekati normal. Sepertiga
dari mereka yang selamat menderita epilepsi.4
Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia akubat
makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan kejang
yang bandel karena ensefalopati hipoksik-iskemik atau kelainan sitoarkitektural otak
biasanya tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status
epileptikus dan kematian awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali
penderita yang akan sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan
diagnosis yang dapat menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 7
J. KOMPLIKASI
Kejang neonatal adalah faktor risiko yang secara nyata meningkatkan angka
morbiditas jangka panjang dan kematian neonatal. Kehadiran kejang neonatal
adalah prediktor terbaik defisit fisik dan kognitif jangka panjang. Komplikasi
kejang neonatal dapat meliputi:4
- Cerebral palsy / spasticity
- Atrofi otak / Hydrocephalus ex-vacuo
- Epilepsi
- Kesulitan makan
BAB III
KESIMPULAN
Kejang pada neonatus adalah kejang yang timbul dalam masa neonatus atau
dalam 28 hari sesudah lahir. Kejang neonatus sering dijumpai sebagai gejala dari
berbagai gangguan syaraf pusat.
Angka kejadian kejang pada neonatus berkisar antara 1-5 % bayi pada bulan
pertama, di ruang rawat intensif bayi berat lahir rendah yang sakit meningkat 25%.
Kejang pada neonatus dapat disebabkan karena komplikasi perinatal, kelainan
metabolik, infeksi, perdarahan maupun kelainan bawaan.
Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih
besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Mekanisme dasar
terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada
otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang. Bentuk
klinik kejang pada neonatus ialah bentuk subtle, tonik, mioklonik, klonik multifocal
dan fokal.