Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 29 AGUSTUS 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KEJANG PADA NEONATUS

REFERAT
Dibuat dalam Rangka Tugas Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter

Oleh:
Andi Aisya Z. Haliza
111 2018 2046

Pembimbing
dr. Ema Alasiry Sp.A(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus yang berjudul “Kejang Pada Neonatus” yang dipersiapkan dan
disusun oleh:

Nama : Andi Aisya Z. Haliza


NIM : 111 2018 2046

Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter dalam disiplin Ilmu Kesehatan Anak pada,

Waktu : 26 Agustus 2019

Tempat : Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar

Makassar, 26 Agustus 2019

Menyetujui,

Pembimbing Penulis

dr. Ema Alasiry Sp.A(K) Andi Aisya Z.H., S.Ked


BAB I

PENDAHULUAN

Kejang merupakan keadaan emergensi atau tanda bahaya yang sering terjadi
pada neonatus, karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup
berbahaya bagi ke langsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di
kemudian hari di samping itu kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari 1
masalah atau lebih. Walaupun neonatus mempunyai daya tahan terhadap kerusakan
otak lebih baik, namun efek jangka panjang berupa penurunan ambang kejang,
gangguan belajar dan daya ingat tetap terjadi. Aktivitas kejang yang terjadi pada
waktu diferensiasi neuron, mielinisasi dan proliferasi glia pada bayi baru lahir
dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan otak.1

Kejang disebabkan oleh aktivitas listrik yang tiba-tiba, abnormal, dan


berlebihan di otak. Menurut definisi, kejang neonatal terjadi selama periode neonatal,
pada bayi cukup bulan 28 pada hari pertama kehidupan. Sebagian besar terjadi dalam
satu atau dua hari pertama hingga minggu pertama kehidupan bayi. Bayi prematur
atau berat badan lahir rendah lebih mungkin menderita kejang neonatal.2,3 Angka
kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap 1000 BBL per tahun,
sedang pada kepustakaan lain menyebutkan 1-5 % bayi pada bulan pertama
mengalami kejang. Insidensi meningkat pada BKB sebesar 57.5-132 dibanding BCB
sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan lain menyebutkan
insidensi 20% pada BKB dan 1.4% pada BCB.

Kejang neonatal bisa sulit didiagnosis karena kejang mungkin pendek dan
halus. Selain itu, gejala kejang neonatal dapat meniru gerakan dan perilaku normal
yang terlihat pada bayi sehat. Gejalanya tergantung pada jenis kejang yaitu subtle,
klonik, tonik atau mioklonik. Karena sulitnya mengenal bangkitan kejang pada BBL,
Sekitar 70-80% BBL secara klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografik
masih mengalami kejang. Insidensi kejang dini (terjadi kurang dari 48 jam setelah
lahir) pada bayi aterm telah diajukan sebagai indikator dari kualitas perawatan
perinatal karena penyebab tersering pada kelompok bayi ini adalah hipoksik isemik
ensefalopati. Penyebab lain yang dapat menyebabkan kejang ialah gangguan
metabolik, perdarahan intrakranial, infeksi, ensefalopati bilirubin, kejang yang
berhubungan dengan obat hingga idiopatik.1,2,3

Evaluasi diagnostik bayi dengan kejang harus mencakup penentuan segera


kadar gula darah kapiler dengan strip. Selain itu pemeriksaan kadar natrium, kalsium,
glukosa, dan bilirubin serum juga harus dilakukan. Bila dicurigai infeksi, harus
dilakukan pemeriksaan kultur cairan serebrospinal dan kultur darah. Setelah kejang
berhenti, pemeriksaan seksama harus dilakukan untuk mengidentifikasi tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, kelainan kongenital, dan penyakit sistemik. Apabila
tidak terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, pungsi lumbal harus dilakukan.
Apabila saat itu diagnosis tidak jelas, harus dilakukan evaluasi lanjutan mencakup
magnetic resonance imaging (MRI), computed tomography (CT), atau USG kepala
dan pemeriksaan untuk menentukan adanya kelainan metabolik bawaan. Penentuan
kelainan metabolik bawaan terutama penting dilakukan pada bayi dengan letargis,
koma, asidosis, ketonuri, atau alkalosis respiratorik yang tidak dapat dijelaskan. Tes
yang disebut electroencephalogram (EEG) sangat penting untuk mendiagnosis dan
mengelola kejang neonatal. EEG mencatat aktivitas listrik otak, dan kelainan pada tes
EEG (diukur antara kejang) dapat menunjukkan risiko kejang. Namun, bayi dengan
kejang neonatal familial jinak biasanya memiliki pembacaan EEG normal. 3,6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Kejang pada BBL (Bayi Baru Lahir) secara klinis adalah perubahan paroksimal
dari fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom
sistem syaraf) yang terjadi pada neonatus (bayi berumur sampai dengan 28 hari).2

B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian bangkitan kejang pada BBL sulit dikenali sehingga kejadiannya
sesungguhnya tidak diketahui. Kejang pada BBL relatif umum dan terjadi pada 0,15-
1,5% dari semua neonatus. Angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2
setiap 1000 BBL per tahun, sedang pada kepustakaan lain menyebutkan 1-5 % bayi
pada bulan pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat pada BKB sebesar 57.5-
132 dibanding BCB sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada kepustakaan
lain menyebutkan insidensi 20% pada BKB dan 1.4% pada BCB. Sekitar 70-80%
BBL secara klinis tidak tampak kejang, namun secara elektrografik masih mengalami
kejang. Insidensi kejang dini (terjadi kurang dari 48 jam setelah lahir) pada bayi
aterm telah diajukan sebagai indikator dari kualitas perawatan perinatal karena
penyebab tersering pada kelompok bayi ini adalah hipoksik isemik ensefalopati.1,2

Telah dilaporkan bahwa bayi mengalami pergerakan abnormal ekstremitas yang


konsisten saat mengalami aktivitas kejang. Kejang pada neonatus sering terjadi dan
lebih sering terjadi selama periode neonatal daripada waktu lainnya. Kejang neonatal
mungkin berbahaya bagi otak yang belum matang dan mungkin memiliki hasil
perkembangan saraf jangka panjang yang merugikan. Insidensi adalah 2,5-3,5 per
1000 pada kelahiran cukup bulan, dan hingga 22% pada prematur. Kejang neonatal
jarang idiopatik dan merupakan manifestasi umum dari gangguan sistem saraf pusat
yang serius: hipoksik iskemik ensefalopati (~30-50%; paling umum), perdarahan
intrakranial (10-17%), kelainan metabolik (hipokalsemia (6-15%); hipoglikemia (6-
10%), infeksi sistem saraf pusat (SSP) (5-14%), infark (7%), kesalahan metabolisme
bawaan (3%), malformasi SSP (5%), dan tidak diketahui ( 10%).2

C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang
berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan
yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan
repolarisasi terjadi karena keluar nya Kalium melalui membaran sel. Untuk
mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang berasal dari ATP dan
tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuk nya
Kalium.1

Volpe (2001) mengusulkan 4 alasan berikut untuk depolarisasi yang berlebihan


yaitu:1,2

1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan mekanisme


pompa Natrium dan Kalium. Hipokalsemia dan Hipoglikemia dapat
mengakibatkan penurunan yang tajam produksi energi
2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmitter dapat
mengakibatkan kecepatan depolarisasi yang berlebihan
3. Penurunan relatip inhibisi dibanding eksitasi neurotransmitter dapat
mengakibatkan kecepatan depolarisasi yang berlebihan
4. Perubahan dalam membran neuron, menyebabkan penghambatan gerakan
natrium.
Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar
glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat
disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi pada
otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen
dan aliran darah otak juga meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan
glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang, dan pH arteri sangat menurun.
Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik. Efek dramatis jangka
pendek ini diikuti oleh perubahan struktur sel dan hubungan sinaptik.1

Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi dan
fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut:1

- Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal: Susunan dendrit dan


remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan
- Sinaptogensis belum sempurna
- Mielinisasi pada sistem efferent di kortikal belum lengkap

Keadaan Fisiologis perinatal:1

- Sinaps exsitatori berkembang mendahului inhibisi


- Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur
- Inhibisi kejang oleh sistim substansia nigra belum berkembang

Mekanisme penyebab kejang pada BBL:

Kemungkinan penyebab Kelainan


Kegagalan mekanisme pompa Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia
Natrium dan Kalium akibat
penurunan ATP

Eksitasi neurotransmitter yang Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia


berlebihan
Penurunan inhibisi neurotransmitter Ketergantungan piridoksin
Kelainan membrane sel yang Hipokalsemia dan hipomagnesemia
mengakibatkan kenaikan
permiabilitas Natrium
Tabel 1. Mekanisme Penyebab kejang pada BBL 1,2
D. ETIOLOGI
Penyebab kejang pada BBL dapat karena kelainan Susunan Syaraf Pusat terjadi
primer karena proses intrakranial (meningitis, cerebrovascular accident, encephalitis,
perdarahan intrakranial, tumor) atau sekunder karena masalah sistemik atau
metabolik (misalnya iskemik-hipoksik - hipokalsemia,hipoglikemia, hiponatremia).1

Dalam sebuah penelitian besar (2,3 juta kelahiran) dari California, faktor-faktor
risiko berikut diidentifikasi untuk kejang pada bayi baru lahir selama penerimaan
kelahiran: prioritas, berat lahir <2500 g, persalinan ≥42 minggu, diabetes mellitus
ibu, usia ibu ≥ 40 tahun, nulliparitas, demam / infeksi intrapartum (korioamnionitis),
dan pelahiran kastropik (solusio plasenta, ruptur uteri, dan prolaps tali pusat).2

A. Ensefalopati Iskemik Hipoksik merupakan penyebab tersering (60-65%)


kejang pada BBL, biasanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama dan sering
dimulai 12 jam pertama setelah asfiksia saat lahir dan sering refrakter
terhadap dosis obat kejang konvensional. Dapat terjadi pada BCB maupun
BKB terutama bayi dengan asfiksia. Kejang pasca asfiksi juga dapat
disebabkan oleh kelainan metabolik yang berhubungan dengan asfiksia
neonatus seperti hipoglikemi dan hipokalsemi. Bentuk kejang subtel atau
multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus iskemik hipoksik disertai kejang,
20% akan mengalami infark serebral. Manifestasi klinis ensefalopati
hipoksik-iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium, yaitu: ringan, sedang dan
berat. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.1,2,6

B. Perdarahan intrakranial seperti perdarahan subarachnoid, perdarahan


periventrikular, atau intraventrikular dapat menyebabkan keadaan hipoksia
sehingga menyebabkan kejang. Perdarahan matriks germinal atau
intraventrikel adalah penyebab kejang tersering pada bayi preterm. Scher
menemukan 45% bayi preterm dengan kejang mengalami perdarahan matriks
germinal atau intraventrikel (GMH-IVH). Perdarahan intrakranial sering sulit
disebut sebagai penyebab tunggal kejang, biasanya berhubungan dengan
penyebab lain , yaitu:1,2
1. Perdarahan subarachnoid.
Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan
vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-
tiba dapat terjadi kejang pada hari pertama atau kedua. Pungsi lumbal
harus dikerjakan untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan
serebrospinal. Darah biasanya terdapat di fisura interhemister dan resesus
supra dan infra tentorial. Kemudian bayi tampak sakit berat dalam 1-2 hari
pertama dengan canda peninggian tekanan intrakranial seperti ubun-ubun
besar tegang dan membonjol, muntah, tangis yang melengking dan
kejang-kejang. Pemeriksaan CT-scam sangat berguna untuk menentukan
letak dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan pembekuan darah perlu
dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan koagulopati.1,2
2. Perdarahan periventrikular atau intraventrikular (PIV) yang timbul dari
matriks germinal subependim disertai dengan kejang subtle, postur
deserebrasi, atau kejang tonik umum, tergantung pada tingkat keparahan
perdarahan. PIV merupakan penyebab umum kejang pada bayi prematur
dan sering terjadi di antara usia 1 dan 3 hari. Gambaran klinis perdarahan
intraventrikuler tergantung kepada beratnya penyakit dan saat terjadinya
perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau asfiksia biasanya
kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir. Pada BKB
dapat mengalami perdarahan hebat, gejala timbul dalam waktu beberapa
menit sampai beberapa jam berupa gangguan napas, kejang tonik umum,
pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma
yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam
sampai beberapa hari sampai penururan kesadaran, kurang aktif,
hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi, fiksasi
vertikał dan horisontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan
memburuk akan timbul kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum
misalnya trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama
natrium bikarbonat dan asfiksia. Manifestasi klinis yang timbul bervariasi
mulai dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang
paling umum dijumpai adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifocal
atau umum. Di samping itu terdapat manifestasi lain berupa apne, anemi,
sianosis, letargi, jitteriness, muntah, ubun-ubun besar membonjol, tangis
melengking, perubahan tonus otot hingga koma. Untuk menegakkan
diagnosis perdarahan intraventrikular yang pasti dilakukan pungsi lumbal
didapatkan spinal hemoragik, pemeriksaan darah nisalnya, Hb, Ht dan
trombosit, pemeriksaan EEG dan USG. Pemeriksaan USG mempunyai
nilai diagnostik yang tinggi, tidak invasif, aman bagi bayi dan relatif
murah. USG digunakan untuk menentukan saat timbulnya perdarahan,
memantau perubahan yang terjadi dan meramalkan akibat perdarahan
pada masa akut. Infark serebral fokal Bayi preterm dengan GMH-IVH
sering juga mengalami infark karena perdarahan vena, yang kemudian
berperan sebagai fokus kejang. Kejang pada bayi aterm dengan Apgar
skor normal yang tetap sadar diantara kejang seringkali disebabkan oleh
lesi infark fokal arteri serebral media. Kondisi ini sering membutuhkan
identifikasi dengan MRI. 1,2,6
3. Perdarahan subdural menyebabkan kejang fokal dan tanda-tanda serebral
fokal. Perdarahan sub dural Perdarahan ini umumnya terjadi akibat
robekan tentorium di dekat falks serebri. Keadaan ini karena molase
kepala yang berlebihan pada letak verteks, letak muka dan partus lama.
Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang otak.
Manifestasi klinis hampir sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik
ringan sampai sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat
pernapasan yang tidak teratur, kesadaran menurun, cangis melengking,
ubun-ubun besar membonjol dan kejang. Perdarahan pada parenkin otak
kadang-kadang dapat menyertai perdarahan subdural. Deteksi kelainan ini
dengan pemeriksaan USG atau CT-scan. Perdarahan yang kecil tidak
membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan
menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan
darah. Mortalitas tinggi, dan pada bayi yang hidup biasanya terdapar
gejala sisa neurologis.1,2

C. Metabolik
a) Hipoglikemia
Kejang akibat hipoglikemi sering terjadi saat kadar gula darah turun ke
kadar pascanatal terendah (pada usia 1 sampai 2 jam atau setelah 24
sampai 48 jam pada asupan nutrisi yang buruk). Hipoglikemia
seringkali didapatkan pada BBL dengan retardasi perkembangan
intrauterin (IUGR) pada bayi dengan ibu penderita diabetes mellitus
(IDMS). Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut
hipoglikemia. Kadang asimptomatis, hipoglikemia yang
berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan dampak yang
menetap pada SSP. BBL yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi
nya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan, Bayi
Besar untuk masa kehamilan dan bayi dari Ibu dengan Diabetes
mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi penyebab dasar pada kejang BBL
dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan jiternes. Kejang
karena hipoglikemia ini sering dihubungkan dengan penyebab kejang
yang lain. Hanya sekitar 3% yang benar benar disebabkan oleh karena
hipoglikemia. Faktor yang paling kritis pada hipoglikemia yang
berhubungan dengan gejala neurologik adalah masa atau durasi terjadi
nya hipoglikemia dan jumlah waktu yang terbuang sebelum terapi
dimulai. Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrosa intravena jika
ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang. untuk
mengembalikan kadar gula darah kembali normal secepatnya.1,2,6
b) Hipokalsemia/Hipomagnesemia
Hipokalsemia telah ditemukan pada bayi berat lahir rendah, IDMS,
bayi asfiksia, bayi dengan sindrom DiGeorge, dan bayi yang lahir dari
ibu dengan hiperparatiroidisme. Hipokalsemia dan hipomagnesemia
terjadi pada bayi risiko tinggi dan memberikan respon baik pada terapi
kalsium, magnesium, atau keduanya. Hipomagnesemia adalah masalah
yang sering menyertai. Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada
hari pertama dan ke dua. Lebih sering didapatkan pada BBLR dan
sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi dari ibu
dengan diabetes melitus. Kejadian kejang lambat akibat hipokalsemi
pada BCB yang mendapat susu formula yang kandungan rasio fosfat
dengan kalsium/magnesium kurang optimal. Setengah dari bayi pada
penelitian Brown dkk mengalami hipokalsemi. Hipokalsemia
didefinisikan kadar kalsium < 7.5 mg/dL (< 1.87 mmol/L), biasanya
diserta dengan kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0.95 mmol/L), seperti
hipoglikemia kadang asimptomatis. Sering berhubungan dengan
prematuritas atau kesulitan persalianan dan asfiksia. Kadar magnesium
yang rendah sering terjadi bersama dengan hipokalsemi dan perlu di
terapi agar memberikan respon yang baik untuk menghentikan kejang.
Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan dengan
hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah
yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang
masih belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.1,2,6
c) Hiponatremia atau hipernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang
mengalami perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi
tertentu seperti Syndrome of Inappropriate Anti-Diuretic Hormone
(SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi berat dapat menyebabkan
kejang. SIADH, berhubungan dengan keadaan sekunder dari
meningitis atau perdarahan intrakranial, terapi diuretika, kehilangan
garam yang berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar
natrium yang rendah. Hiponatremia dapat terjadi akibat minum air,
pemberian infus intravena yang berlebihan atau akibat pengeluaran
natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses. Hipernatremia
terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat
asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian
natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral.1,2
d) Gangguan metabolik lainnya
Kejang disertai letargis , asidosis dan riwayat kematian bayi dalam
keluarga dapat disebabkan oleh kelainan metabolik bawaan seperti: 6
i. Pyridoksin dependency atau ketergantungan piridoksin
Menyebabkan kejang yang resisten terhadap antikonvulsan.
Bayi dengan kelainan ini mengalami kejang intrauterin dan
dilahirkan dengan pewarnaan meconium. Mereka menyerupai
bayi yang sesak napas.2
ii. Gangguan asam amino. Kejang pada bayi dengan gangguan
asam amino selalu disertai dengan manifestasi neurologis
lainnya. Hiperamonemia dan asidosis umumnya ditemukan
pada kelainan asam amino.2

D. Infeksi
Infeksi terjadi pada sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri,
non- bakteri maupun congenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya
terjadi setelah minggu pertama kehidupan. Infeksi intrakranial sekunder akibat
agen bakteri atau nonbakterial dapat diperoleh oleh neonatus dalam rahim,
selama persalinan, atau dalam periode perinatal.1
a) Infeksi akut. Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa
keadaan sepsis dapat mengakibatkan kejang, biasanya sering
berhubungan dengan meningitis. Kuman Gram negatif sering
mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Meningitis
akibat infeksi Streptokokus grup B, Escherichia coli, atau Listeria
monocytogenes disertai dengan kejang selama minggu pertama
kehidupan.
b) Infeksi kronik. Infeksi intrauterine yang berlangsung lama akibat
toksoplasmosis dan infeksi herpes simplex, cytomegalovirus, rubella,
dan virus coxsackie B menyebabkan infeksi intrakranial dan kejang.

E. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek
menyebabkan kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20 mg/dl. Pada bayi
prematur yang sakit, kadar 10 mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan
kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang
tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang sakit
dengan sindrom distres pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang anggi
untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari
hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah Pada hari kedua terdapat
gejala demam, regidiras dan posisi dalam opistotonus. Selanjutnya gambaran
klinis bułan pertama menunjukkan tonus otot meningkatkan progresif.
Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi:1
1) Disfungsi ekstra piramidal biasanya berbentuk aretosis dan korea
2) Gangguan gerak bola mata vertikal, ke atas lebih dari pada ke bawah,
terdapat pada 90% kasus
3) Kehilangan pendengaran frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus
4) Retardasi mental terdapat pada 25% kasus.
F. Kejang berhubungan dengan obat
a) Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawal)
Tiga kategori obat yang digunakan oleh ibu menyebabkan kecanduan pasif
dan putus obat (kadang-kadang disertai dengan kejang) pada bayi. Obat
lainnya: analgesik seperti heroin, metadon, dan propoksifen (Darvon);
hipnotik sedatif seperti secobarbital; dan alkohol. Studi saat ini
mengungkapkan bahwa paparan antidepresan dikaitkan dengan
peningkatan risiko kejang bayi, terutama paparan serotonin reuptake
inhibitor (SSRI). Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan
dengan kejang BBL karena efek putus obat dari kecanduan heroin. Ibu
yang ketagihan dengan obat narkorik selam hamil, bayi yang dilahirkan
dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness dan kadang-
kadang terdapat kejang. Kejang akibat putus obat (wirhdrawal) terjadi
pertama kali pada usia 3 hari pertama dengan onset rata- rata 10 hari.
Kejang tersebut dapar menetap untuk beberapa bulan. Kelainan
elektrogafis terjadi pada 50% BBL yang terpapar kokain, menetap hingga
1 tahun. Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan infus narkotik
jangka panjang untuk mengurangi rasa sakir dan relah diperhatikan pula
efek serupa dari midazolam unruk sedasi pada BKB.1
b) Intoksikasi anestesi lokal
Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal / anastesi blok pada ibu yang
masuk ke dalam sirkulasi janin akibat suntikan langsung obat anestesi
lokal ke kulit kepala janin. Keadaan ini dapat terjadi akibat anestesi blok
paraservical, pudendal atau epidural serta anestesi lokal pada episiotomi
yang tidak tepat. Kita curigai intoksikasi bila ditemukan bradikardi, pupil
tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata terfiksasi
pada refleks okulosefalik (reflek dol's eye menghilang). Bayi yang lahir
menunjukkan skor Apgar yang rendah, hipotonia dan hipoventilasi.
Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama kelahiran. Prognosisnya baik,
bila diberikan pengobatan suportif yang memadai akan membaik setelah
24 -48 jam.1,6

G. Kelainan yang diturunkan


a) Gangguan metabolisme asam amino.
Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk
kelainan ini ialah maple syrup urine disease, isovaleric acidemia, glycine
encephalopathy, arginosuccsinic aciduria dan phenyketonuria. 1
b) Ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Kasus pertama kejang tak terkontrol yang berespon pada piridoksin
dilaporkan oleh Hunt dkk pada tahun 1954. Ketergantungan piridoksin
terjadi akibat gangguan metabolisme piridoksin. Dasar dari kelainan ini
kemungkinan karena kekurangan dalam pengikatan koenzim peridoksal
fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu enzim yang terlibat dalam
pembentukan gama-aminobutyric acid (GABA). Kekurangan atau
menghilangnya GABA, yaitu suatu zat transmiter inhibisi yang dapat
menimbulkan kejang. Kejang sering terjadi pada jam pertama kehidupan,
bahkan sejak dalam kandungan. "Kejang ini bersifat resisten terhadap
antikonvulsan. Pada BBL dengan kejang yang diduga karena gangguan
metabolik, tidak membaik dengan pemberian glukose, kalsium,
antikonvulsan dan sebagainya dapat diberikan piridoksin sebagai dengan
dosis 50-100 mg secara intravena. Pemberian piridoksin intravena
sebaiknya dengan monitoring EEG. Sebelum pengobatan EEG
menunjukkan gambaran abnorımal dengan disorganisasi umum disertai
dengan gelombang paku. Setelah pengobatan gambaran EEG menjadi
normal. Bila gambaran EEG normal dan serangan kejang berhenti,
diagnosis ketergantungan piridoksin dapat ditegakkan. 1
H. Idiopatik
Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering
menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang berulang yang lama,
resisten terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan
dihentikan menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada
golongan idiopatik terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang
BBL familial jinak dan kejang hari kelima. 1
a) Kejang BBL familial jinak (Benign familial neonatal seizures). Kelainan
ini diturunkan secara autosomal dominan, pertama diketahui tahun 1964.
Penanda genetik menunjukkan adanya mutasi pada kromosom 20q13.3
dan 8q.24. Kejang terjadi antara hari kedua dan kelimabelas sesudah lahir,
dan kebanyakan (80%) dimulai pada hari kedua dan ketiga setelah lahir.
Jenis kejang biasanya klonik, sering berulang sampai beberapa puluh kali
per hari tetapi berhenti secara spontan setelah beberapa lama, biasanya
serangan kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada keadaan antara kejang,
bayi tampak normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga
ada yang pernah mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik
berupa gelombang datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow.
Kejang dapat dihentikan dengan obat-obatan biasa dan prognosis untuk
perkembangan anak baik.
b) Kejang hari ke lima (The Fifth day fits) dapat disebabkan oleh infeksi atau
gejala putus obat. Kelainan ini pertama kali terjadi pada beberapa unit
bersalin di Australia pada akhir 1970an, dan Perancis. Karakteristik kejang
ini adalah kejang berulang antara hari ketiga dan ketujuh kehidupan,
paling sering terjadi pada hari ke 4 dan 5 80-90 %) berlangsung hingga 2
minggu pada BCB dengan riwayat kelahiran normal dan tidak terdapat
kelainan neurologis pada beberapa hari pertama kehidupan. Serangan
kejang yang terjadi dapat berbentuk klonik fokal acau multifokal dan
serangan apne. Sindrom ini tidak mempunyai gambaran klinis dan EEG
yang spesifik. Penyebabnya masih berupa misteri meskipun kadar Zinc
pada cairan serebrospinal yang rendah ditemukan pada beberapa kasus.1,6
c) Bangkitan mioklonus jinak pada BBL tidur (Benign Neonatal Sleep
Mioklonus). Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya
normal. Mioklonus terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya
tergantung fase tidurnya dan paling sering saat BBL tidur tenang. Kejang
menghilang saat usia 6 bulan. Tidak diperlukan terapi, dan orang tua harus
diyakinkan jika kejang ini pada akhirnya akan berhenti sendiri.1

Gambar 1: Penyebab Kejang pada BBL2


E. MANIFESTASI KLINIS
Penting untuk dipahami bahwa kejang pada neonatus berbeda dari yang terlihat
pada anak yang lebih besar. Perbedaannya mungkin karena status perkembangan
neuroanatomik dan neurofisiologis bayi baru lahir. Di otak neonatal, proliferasi glial,
migrasi neuron, pembentukan kontak aksonal dan dendritik, dan deposisi mielin tidak
lengkap. Kejang klinis dapat terjadi tanpa korelasi elektrografi dan sebaliknya
(disosiasi elektroklinik). Empat jenis kejang, berdasarkan presentasi klinis, diakui:
subtle, klonik, tonik, dan mioklonik.1

a) Subtle
Bentuk kejang subtle lebih sering terjadi dibanding tipe kejang yang lain,
hampir 50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan.
Manifestasi klinis berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan maca,
gerakan alis (lebih sering pada BKB) yang bergetar berulang-ulang, mata
yang tiba ciba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah ( lebih
sering pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan
air liut, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir, dan pergerakan ekstremitas
sering seperti gerakan orang berenang, mendayung, bertinju atau
bersepeda. Episode apnu dapat disebabkan oleh kejang, diagnosis ini
dipertimbangkan jika terdapat respon yang lambat terhadap ventilasi
dengan balon dan sungkup khususnya pada neonatus preterm dengan lesi
intrakranial. Perubahan autonom/vasomotor, seperti perubahan tekanan
darah atau peningkatan salivasi, sering terjadi bersamaan dengan kejang
subtle dan hal ini dapat memberikan petunjuk ke arah diagnosis yang
benar jika tidak tersedia EEG sebagai konfirmasi.1
b) Tonik
Kejang tonik biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi
perinatal berat misalnya berat misalnya pada perdarahan intraventrikular.
Bentuk klinis kejang ini yaitu pergerakan tonik satu ekstremitas atau
pergerakan tonik umum
i. Fokal terdiri dari postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau
ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata abnormal.
ii. Kejang tonik umum ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi leher,
badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi ekstremitas bawah
juga.
Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan
sikap opistitonus yang disebabkan oleh rangsang meningeał karena infeksi
selaput orak atau kernikterik.1
c) Klonik
Kejang klonik seringnya merupakan petunjuk dari lesi fokal yang
mendasari seperti infark korteks, namun kejang klonik juga dapat
disebabkan oleh sebab metabolik. Bayi dengan kejang klonik biasanya
tidak mengalami penurunan kesadaran. Dikenal 2 bentuk:1
i. Fokal: terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas
pada sisi unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah.
Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik.
ii. Multifokal: Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari
satu fokus atau migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas
yang kemudian secara acak pindah ke ekstremitas lain nya. Bentuk
kejang merupakan gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota
gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya
kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai
bawah kanan. Kadang-kadang karena kejang yang satu dengan yang
lain sering bersinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai
kejang umuin. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan
metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat
lebih 2,500 grams.1
Tipe kejang ini dihubungkan dengan gambran EEG yang khas yang terdiri
dari gelombang tajam dan lambat berurutan yang menyebar secara
ipsilateral dari hemisfer asal gelombang tersebut.1
d) Mioklonik
Kejang mioklonik cenderung terjadi pada kelompok otot fleksor. Kejang
mioklonik terdiri atas:1
i. Fokal: terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor
ekstremitas atas
ii. Multifokal: terditi dari gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian
tubuh
iii.Umum: terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi massif dari kepala
dan badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas.
Ketiga jenis kejang mioklonik sering dijumpai pada BKB dan cukup
bulan saat sedang tidur.1

Gerakan yang menyerupai kejang


1. Apneu
Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan
berhentinya pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50
detik. Bentuk pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di
batang otak dan berhubungan denagn derajat prematuritas.1
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk
serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tiba-
tiba disertai kesadaran menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai
adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan pada batang otak. Pada
keadaan ini USG perlu segera dikerjakan.1
2. Jitterness
Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan
harus dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir
dari ibu yang menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma
abstinensia BBL. Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi
yang cepat 5-6 kali per detik. Jitterness ditandai oleh gerakan halus dan cepat.
Jitterness tidak termasuk wajah (tidak seperti kejang subtle) merupakan akibat
dari sensitifitas terhadap stimulus dan akan mereda jika anggota gerak
ditahan. 1,6

Manifestasi klinis Jitterness Kejang


a. Gerakan abnormal - +
mata
b. Peka terhadap + -
rangsang
c. Bentuk gerakan Tremor Klonik
dominan
d. Gerakan dapat + _
dihentikan dengan fleksi
pasif
e. Perubahan fungsi - +
autonom
f. Perubahan pada tanda + _
vital dan penurunan
saturasi oksigen
Tabel 2. Perbedaan jitterness dan kejang1

3. Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini
dapat terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada
tinggi. Hiperekpleksia kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya
disebut dengan sindroma stiff – baby herediter. Meslkipun gambaran EEG
normal, spasme tonik dapat berbahaya dan terapi sangat diperlukan 1
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi
kedua hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang
berbeda.1
Gambar 2: Perbedaan Kejang dan Spasme1
Awitan Kejang
Awitan kejang kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir; bayi
jarang mengalami kejang saat berada di ruang bersalin. Penelitian pada binatang
menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik
iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran
glutamat selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat rerjadi pada bayi.
Kejang onset lanjut memberi kesan adanya meningitis, kejang familial benigna arau
hipokalsemia. Tabel 3 menunjukkan awitan kejang yang direkam dari 277 kasus pada
BBL. Sebuah penelitian terbaru juga memperlihackan hal yang serupa. Awitan kejang
pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut dapat digunakan untuk
memperkirakan penyebab kejang.1

Etiologi Onset Masa Gestasi


(hari)
0-3 >3 Kurang bulan Cukup bulan
Ensefalopati Iskemik hipoksik + +++ +++
Perdarahan intracranial + + ++ +
J.Infeksi + + ++ ++
Gangguan perkembangan otak + + ++ ++
Hipoglikemia + + +
Hipokalsemi + + + +
Sindrom epileptic + + +
Tabel 3: Awitan Bangkitan Kejang Pada BBLR

F. DIAGNOSIS
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap,
riwayat yang berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis
kejang, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis 1,5
- Kapan terjadinya kejang
- Berapa lama kejang berlangsung
- Keadaan umum bayi saat kejang
Faktor risiko:
 Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak
terdahulu atau bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui penyebabnya
biasanya didapatkan pada kasus kesalahan metabolik dan kejang neonatal
familial jinak.
 Riwayat kehamilan/prenatal
- Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil
- Preeklamsia, gawat janin.
- Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
- Imunisasi anti teranus, Rubela
 Riwayat Persalinan
- Asfiksia, episode hipoksik
- Trauma persalinan
- KPD (Ketuban Pecah Dini)
- Anestesi lokal/ blok
 Riwayat paskanatal
- Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk
- Bayi dengan pewarnaan kuning dan rimbulnya dini.
- Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat.
- Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur
perawatan
- Waktu atau awitan kejang mungkin berhubugan dengan etiologi
- Bentuk gerakan abnormal yang terjadi

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologis,
dilakukan secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan neurologi saat antar
kejang dalam batas normal, namun demikian bergantung penyakit yang
mendasarinya, sehingga pada BBL yang mengalami kejang perlu pemeriksaan fisis
lengkap meliputi pemeriksaan neonatologik dan neurologis, dilakukan secara
sistematik dan berurutan:1

1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi atau pemantauan dari pola


kejang. Ketika kejang diamati, mereka harus dijelaskan secara rinci,
termasuk tempat onset, penyebaran, sifat, durasi, dan tingkat
kesadaran. Dengan mengetahui bentuk kejang, kemungkinan penyebab
dapat dicurigai.2
2. BBL yang mengalami kejang biasanya lethargi dan tampak sakit.
Kesadaran yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan
berhentinya pernapasan, kejang tonik, posisi dalam deserebrasi, reaksi
pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat kuadriparesis flaksid,
dicurigai terjadinya perdarahan intraventrikular.
3. Pantau perubahan tanda vital (jantung, atau pernapasan). Pemeriksaan
dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan kelainan pada
jantung atau pernapasan perlu dicurigai terjadinya iskemia otak.
4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kelainan berupa fraktur, depresi
atau moulding yang berlebihan karena trauma. Ubun-ubun besar yang
tegang dan membonjol menunjukkan adanya peningkatan tekanan
intrakranial yang disebabkan oleh perdarahan subaraknoid atau
subdural serra kemungkinan meningitis. Luka bekas tusukan jarum
pada kepala atau fontanel anterior karena kesalahan penyuntikan obar
anestesi pada ibu. Penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan
seperti porensefali atau hidrosefalus dapat dicurigai dengan
pemeriksaan transiluminasi yang positif, peningkat ukuran lingkar
kepala.
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan
retina atau subhialoid yang merupakan manifesrasi patognomonik
untuk hematoma subdural. Ditemukan korioretinitis dapat terjadi pada
toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubela.
6. Pemeriksaan talipusat , apakah ada infeksi, berbau busuk, atau aplikasi
dengan bahan tidak steril pada kasus yang dicurigai spasme atau
tetanus neonatorum.1
7. Evaluasi neurologis. Evaluasi neurologis harus mencakup penilaian
tingkat kewaspadaan, saraf kranial, fungsi motorik, refleks neonatal
primer, dan fungsi sensorik. Beberapa fitur spesifik yang harus dicari
adalah ukuran dan "rasa" fontanel, perdarahan retina, chorioretinitis,
ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, gerakan ekstraokular,
perubahan tonus otot, dan status refleks primer.2
c. Pemeriksaan penunjang
Sagraves R. menyebut pemeriksaan penunjang ini dengan melakukan
"Neonatal seizure work-up" : yaitu pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan
untuk menegakkan diagnosis kejang yang terdiri dari:1

1. Harus dapat mengidentifikasi masalah atau latar belakang penyebab


2. Langkah-langkah:
a. Pemeriksaan kimia darah dan kadar elektrolit serum .
b. "Infectious disease work-up " dengan melakukan : pemeriksaan
junlah sel lekosit, jumlah trombosit, kultur darah,urin dan CSP
(Cairan serebrospinal), pemeriksaan infeksi intrauterin : titer
TORCH (yang sering mengakibatkan kelainan pada otak dan
mengakibatkan kejang)
c. "Metabolic disease work-up" dengan melakukan pemeriksaan
ammonia serum asam amino pada urin dan pemeriksaan asam
organik .
d. CT scan dan MRI untuk membantu mengidentifikasi adanya
infark, perdarahan, kalsifikasi atau kelainan malformasi otak
sebagai penyebab kejang.
Pemeriksaan penunjang penunjang untuk mengidentifikasi penyebab kejang
pada BBL yang dapat dilakukan ialah sebagai berikut:1
1. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan gula darah, elektrolit (natrium, kalsium, magnesium),
amonia/ BUN, laktat
 Pemeriksaan darah rutin: hemoglobin, hemotokrit, trombosit,
leukosit, hitung jenis lekosit
 Analisa gas darah
 Analisa cairan serebrospinal
 "Septic work up ": Kultur dan uji kepekaan kuman (jika di curigai
infeksi)
 Kadar bilirubin total/ direk dan indirek
2. Elektro Ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG pada kejang dapat
membantu diagnosis, lamanya pengobat dan prognosis di kemudian
hari. Gambaran EEG abnormal pada BBL dapat berupa: Gangguan
kontinuitas, amplitudo atau frekuensi; Asimetri atau asinkron
interhemisfer; bentuk gelombang abnormal; Gangguan dari fase tidur;
Aktifitas kejang mungkin dapat dijumpai.
The Intenational League Against Epilepsy Mempertimbangkan kriteria
kejang sebagai berikut:

 Non epileptic: Berdasarkan gejala klinik kejang semata


 Epileptic: Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG
(Elektroensefalografi) Secara klinis tidak tampak kejang,
namun secara elektrografik masih mengalami kejang.
3. Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan dilakukan berdasarkan indikasi
 USG kepala Sonografi kepala dilakukan jika dicurigai adanya
perdarahan intrakranial atau intraventrikuler. Pada perdarahan
subaraknoid atau lesi kortikal sulit dinilai dengan pemeriksaan
ini
 Skintigrafi kepala (CT-scan Cranium) Pemeriksaan ini lebih
sensitive dibanding sonografi untuk mengetahui kelainan
parenkim otak
 MRI Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui malformasi
subtle yang kadang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan CT-
scan Cranium
4. Pemeriksaan lain
 Foto radiologi kepala, perlu dikerjakan apabila pada pengukuran
terdapat lingkaran yang lebih kecil atau lebih besar dari ukuran
standard normal.
 Uji tapis obat-obatan

G. TATALAKSANA
Penatalaksanaan kejang pada BBL meliputi stabilisasi keadaan umum
bayi, menghentikan kejang dan identifikasi dan pengobatan faktor etiologi serta
suportif untuk mencegah kejang berulang. Kebanyakan bayi diterapi hanya
berdasarkan diagnosis klinis saja, dan monitoring terapinya juga dilakukan
dengan merngamati perubahan klinisnya saja. Penelitian dengan EEG yang
kontinyu menunjukkan bahwa masalah pada kejang elektrografik adalah sering
menetapnya kejang setelah dimulai terapi anti konvulsan. Pada beberapa
neonatologis akan menterapi jika bayi yang mengalami kejang lebih dari tiga kali
dalam satu jam, atau kejang tunggal yang berlangsung lebih dari 3 menit.1

Manajemen awal kejang1

 Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian oksigen.


 Pasang jalur infus IV dan beri cairan dengan dosis rumatan
 Bila kadar glukose darah kurang 45 mg/dL, tangani hipoglikeminya sebelum
melanjutkan manajemenkejangseperti di bawah ini, untuk menyingkirkan
kemungkinan hipoglikemia sebagai penyebab kejang.
 Bila bayi dalam keadaan kejang atau bayi kejang dalam beberapa jam
terakhir, beri injeksi fenobarbital 20 mg/kg berat badan secara IV, diberikan
pelan-pelan dalam waktu 5 menit:
 Bila jalur IV belum terpasang, beri injeksi fenobarbital 20 mg/kg dosis
tunggal secara IM, atau dosis dapat ditingkatkan 10-15% disbanding dosis IV
o Bila kejang tidak berhenti dalam waktu 30 menit, beriulangan
fenobarbital 10 mg/ kg berat badan secara IV atau IM. Dapat diulangi
sekali lagi 30 menit kemudian bila perlu.Dosis maksimal
40mg/kgbb/hari
o Bila kejang masih berlanjut atau berulang, beri injeksi fenitoin 20
mg/kg, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 fenitoin hanya boleh diberikan secara IV
 campur dosis fenitoin ke dalam 15 mL garam fisiologis dan
diberikan dengan kecepatan 0,5 mL/menit selama 30 menit.
Fenitoin hanya boleh dicampur dengan larutan garam
fisiologis, sebab jenis cairan lain akan mengakibatkan
kristalisasi;
 monitor denyut jantung selama pemberian fenitoin IV

Paclac Manual and Guidelines menyarankan untuk manajemen kejang


sebagai berikut. Disarankan untuk melakukan konsultasi dengan ahli
neonatologi dan Sub Bagian Syaraf Anak.1

A. Terapi suportif
1. Pemantauan ketat: Pasang monitor jantung dan pernapasan serta "pulse
oxymeter"
2. Intra vena, berikan infus dekstrosa
3. Beri bantuan respirasi dan terapi oksigen bila diperlukan
4. Koreksi gangguan metabolik dengan tepat

B. Medikamentosa
Pemberian antikonvulsan merupakan indikasi pada manajemen awal
1. Fenobarbital
 Dosis awal (loading dose) 20-40 mg mg/kgBB intravena diberikan
mulai dengan 20 mg/kg BB selama 5 - 10 menit
 Pantau depresi pernapasan dan tekanan darah
 Dosis rumatan: 3-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
 Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah pemberian
intravena atau 2 4 jam setelah pemberian per oral dengan kadar 15-
45 ugm/mL
2. Fenitoin (Dilantin) : biasanya diberikan hanya apabila bayi tidak
memberi respons yang adekuat terhadap pemberian fenobarbital
 Dosis awal (Loading dose) untuk status epileptikus 15 20
mg/kgBB intravena pelan-pelan
 Karena efek alami obat yang ititatip maka beri pembilas larutan
garam fisiologis sebelum dan sesudah pemberian obat
 Pengawasan terhadap gejala bradikardia, aritmia dan hipotensi
selama pemberian infus
 Dosis rumat hanya dengan jalur intra vena (karena pemberian oral
tidak efektip) 5-8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis
 Kadar terapeutik dalam darah (Fenitoin bebas dan terikat) 12 - 20
mg/L atau 1-2 mg/L (hanya untuk Fenitoin bebas)
3. Lorazepam (Ativan TM) : biasanya diberikan pada BBL yang tidak
memberi respons terhadap pemberian fenobarbital dan fenitoin secara
ber urutan
 Dosis efektip: 0.05 0.10 mg/kgBB diberikan intravena dimulai
dengan 0.05 mg/kgBB pelan-pelan dalam beberapa menit
 Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan membentuk
efek antikonvulsan yang nyata dalam waktu kurang 5 menit
 Pengawasan terhadap depresi pernapasan dan hipotensi
Obat anti kejang lainnya

 Benzodiazepin
Benzodiazepin meningkatkan inhibisi GABA-mediated melalui
aktifasi reseptor GABA-A. Benzodiazepin adalah antikonvulsan yang efektif
pada anak dan dewasa namun kurang berperan pada BBL karena GABA
bersifat eksitatorik. Benzodiazepin mempunyai profil keamanan yang baik

 Midazolam
Midazolam larut dalam air, benzodiazepin bekerja cepat dan terbukti
efektif untuk terapi status epileptikus pada populasi anak. Telah di evaluasi
perbandingan midazolam dengan lidokain sebagai terapi lini kedua pada bayi
dengan kejang yang gagal merespon fenobatbital; kejang dimonitor dengan
menggunakan video-EEG secara kontinyu. Enam bayi menerima klonazepam
atau midazolam namun tidak ada yang berespon. Didapatkan adanya gerakan
abnormal pada bayi preterm yang menerima infus midazolam, meski EEG
tetap normal Kelanjutan dari perkembangan sarafnya lebih baik pada bayi
yang disedasi dengan morfin daripada dengan penggunaan midazolam, dan
hasil seperti ini menyebabkan perhatian khusus pada penggunaan midazolam
pada bayi.

 Diazepam
Diazepam mempunyai efek antikonvulsan hanya bersifat sementara.
Ketidakstabilan kardio respiratorik dapat terjadi jika obat ini digunakan
bersama dengan fenobarbital (fenobarbiton), dan metabolit utamanya yang
memiliki waktu paruh panjang, N-dismetildiazepam, dapat menyebabkan
sedasi tanpa dapat mengontrol kejangnya. Karena alasan ini, diazepam
bukanlah pilihan terbaik dari golongan benzodiazepin untuk digunakan pada
BBL.
Gambar 3: Algoritme Tatalaksana Kejang Neonatus1
Anti kejang rumatan

Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian anti kejang
rumatan, fenobarbital 5 mg/kg/hari adalah pilihan pertama. Kasus yang resisten harus
diterapi dengan kombinasi fenobarbital dan karbamazepin, meski sodium valproat
dapat berhasil pada beberapa kasus.1

Lamanya pemberian dosis rumatan pada kejang BBL masih belum terdapat
kata sepakat. Beberapa penulis kefainan neurologis. sedangkan yang lain
menggunakan patokan gambaran klinis dan gambaran EEG. menghentikan dosis
rumatan setelah ternyata tidak ada. Pada neonatus dengan pemeriksaan neurologis
normal dan /atau elektroensefalografi normal, pertimbangkan menghentikan obat
antiepilepsi jika bebas kejang selama> 72 jam; obat harus dipasang kembali jika
terjadi kejang.1,9

H. DIAGNOSIS BANDING
- Hipoglikemia
- Tetanus neonatorum
- Meningitis
- Asfiksia neonatorum
- Perdarahan intraventrikular
- Ensefalopati bilirubin/Kernikterus
Gambar 4: Diagnosis Banding Kejang1

I. PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh etiologi kejang neonatal. Jika EEG normal,
prognosisnya sangat baik untuk mengatasi kejang; perkembangan normal dapat
terjadi. Kelainan EEG yang parah menunjukkan prognosis yang buruk; pasien seperti
itu sering mengalami cerebral palsy dan epilepsi. Kehadiran pada EEG abnormal
(lonjakan EEG) dikaitkan dengan risiko 30% mengembangkan epilepsi masa depan.
Prognosis setelah kejang neonatal akibat perdarahan subaraknoid terisolasi sangat
baik, dengan 90% anak-anak tidak memiliki defisit neurologis residual. Meskipun
angka kematian tinggi (sekitar 15%) dan morbiditas (sekitar 30%), setengah dari
neonatus dengan kejang mencapai keadaan normal atau mendekati normal. Sepertiga
dari mereka yang selamat menderita epilepsi.4

Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia akubat
makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan kejang
yang bandel karena ensefalopati hipoksik-iskemik atau kelainan sitoarkitektural otak
biasanya tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status
epileptikus dan kematian awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali
penderita yang akan sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan
diagnosis yang dapat menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 7

Indikator prognosis pada kejang neonatus: 8

 Indikator prognosis buruk


- Hipoksia – iskemia berat
- Malformasi kongenital yang parah pada perkembangan kortikal dan
meningoensefalitis
- Kejang subtle dan tonik umum/menyeluruh
- EEG yang hampir datar atau EEG yang sangat rendah dan tidak terputus
dengan semburan lonjakan tegangan tinggi dan aktivitas yang lambat

 Indikator prognosis yang baik


- Hipokalsemia (tipe alimentary) dan perubahan metabolik sementara
lainnya
- Infeksi ekstrakranial dengan kejang (otitis, pneumonia, gastroenteritis,
dll.)
- Kejang – Benign familial and non-familial convulsions
- Kejang klonik yang pendek dan jarang terjadi
- EEG inter-iktik yang normal
 Indikator prognosis sedang atau dijaga
- Infeksi atau malformasi sistem saraf pusat yang cukup parah
- Sebagian besar perdarahan intrakranial atau infark
- Gangguan metabolisme SSP yang lebih serius
- EEG persistensi pola yang belum matang
- Kejang klonik yang sering atau berkepanjangan dan status klonik
epileptikus

J. KOMPLIKASI
Kejang neonatal adalah faktor risiko yang secara nyata meningkatkan angka
morbiditas jangka panjang dan kematian neonatal. Kehadiran kejang neonatal
adalah prediktor terbaik defisit fisik dan kognitif jangka panjang. Komplikasi
kejang neonatal dapat meliputi:4
- Cerebral palsy / spasticity
- Atrofi otak / Hydrocephalus ex-vacuo
- Epilepsi
- Kesulitan makan
BAB III

KESIMPULAN

Kejang pada neonatus adalah kejang yang timbul dalam masa neonatus atau
dalam 28 hari sesudah lahir. Kejang neonatus sering dijumpai sebagai gejala dari
berbagai gangguan syaraf pusat.
Angka kejadian kejang pada neonatus berkisar antara 1-5 % bayi pada bulan
pertama, di ruang rawat intensif bayi berat lahir rendah yang sakit meningkat 25%.
Kejang pada neonatus dapat disebabkan karena komplikasi perinatal, kelainan
metabolik, infeksi, perdarahan maupun kelainan bawaan.

Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih
besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Mekanisme dasar
terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang berlebihan dan sinkron pada
otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang. Bentuk
klinik kejang pada neonatus ialah bentuk subtle, tonik, mioklonik, klonik multifocal
dan fokal.

Untuk menegakkan diagnosis kejang pada neonatus diperlukan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain seperti : pemeriksaan laboratorium
untuk gula darah, elektrolit darah, electro-ensefalografi, MRI, lumbal pungsi dan
sebagainya.

Pengobatan kejang pada neonatus yang utama disesuaikan dengan penyebab


yang mendasari dan juga pemberian antikonvulsan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawan G. Kejang dan spasme. Editor: Kosim M. Dalam: Buku Ajar


Neonatologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008; (edisi 1) 226-249
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology,
management, procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-7. New
York : Lange Books/Mc Graw-Hill, 2013.
3. UCSF Benioff Children’s Hospital. Neuro-intensive Care Surgery.
https://www.ucsfbenioffchildrens.org/conditions/neonatal_seizures/#fragment
-2
4. Sheth, Raj D. Neonatal Seizure. Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article, 2019
5. Standar Pelayanan medis Kesehatan Anak. Dept. Ilmu kesehatan Anak FK
UNHAS SMF Anak RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
6. Marcdante, Karen J. Dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi
Keenam. Singapore: Saunders Elsevier, 2011.
7. Mizrahi EM, Kellaway P. Characterization and classification. In Diagnosis
and management of neonatal seizures. Lippincott-Raven, 1998; 15-35
8. Panayiotopoulos CP. Neonatal Seizures and Neonatal Syndromes The
Epilepsies: Seizures, Syndromes and Management. Oxfordshire (UK): Bladon
Medical Publishing; 2005.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2599/table/ch5.t2/?report=objectonl
y
9. Guidelines on Neonatal Seizures. Geneva: World Health Organization; 2011.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK304086/
10. J Child Neurol. Pharmacological Treatment of Neonatal Seizures: A
Systematic Review . 2013. Author manuscript.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3805825/

Anda mungkin juga menyukai