Anda di halaman 1dari 3

Sampurasun

Cerpen Karangan: Raudhatul Jannah M.F


Kategori: Cerpen Bahasa Sunda
Lolos moderasi pada: 26 May 2019

Kalau aku punya kesempatan lagi, suatu hari aku akan kembali untuk bertemu denganmu lagi,
Shofi.

Diawal pertemuan kami, ia menyapaku dengan hangat. “Sampurasun” ujarnya sambil tersenyum
manis dengan kedua telapak tangan yang saling disatukan dan gerakan sedikit membungkuk di
hadapanku. Seolah-olah aku terbius dengan satu kata itu, dengan gagap kubalas pula dengan
“Sampurasun” yang pada akhirnya membuat wanita itu terkekeh geli dihadapanku. Di sini, siapa
yang baru pertama kali mendengar kata ‘Sampurasun’ sepertiku? Apakah kau juga baru
mendengarnya untuk pertama kali? Kalau kau mendengar sapaan seperti itu, kupastikan dengan
benar kau sama denganku yang sedang berada di tanah sunda.

Matahari kian condong ke barat, wanita itu kemudian mengajakku untuk menepi dan mulai
mencari bangku kosong untuk berbincang ringan denganku.
“Do you speak Bahasa?” tanyanya ketika kami telah duduk di sebuah bangku tepat diantara
keramaian terminal bus. Suaranya tidak begitu terdengar jelas karena kalah dengan hiruk pikuk
terminal yang kian ramai dibanjiri oleh para pelancong ke tanah sunda.
“Apa yang baru saja anda katakan? Saya tidak dapat mendengarnya dengan jelas” jawabku
dengan nada yang sedikit ditinggikan dan ekspresi seolah-olah aku tidak dapat mendengar
suaranya. Lalu, dia nampak kebingungan kemudian tertawa.

Perawakanku memang tidak seperti masyarakat lokal yang berkulit sawo matang dengan mata
khas orang Indonesia serta postur tubuh yang relatif sedang. Tidak, memang tidak. Aku bukan
berasal dari Indonesia dan aku tidak berkewarganegaraan Indonesia. Orang-orang menyebutku
dengan ‘Bule’ ya, begitulah panggilanku sejak 2 tahun aku tinggal di Indonesia untuk belajar di
salah satu universitas negeri di Jakarta dengan jurusan Sastra Indonesia. Aneh? Tidak. Dulu,
sekitar tahun 2006-2007 aku pernah mengunjungi Indonesia bersama keluargaku untuk hiking ke
Gunung Bromo. Sejak saat itulah, kehangatan masyarakat Indonesia dengan segudang budayanya
mulai menyentuh hatiku dan sedikit-demi sedikit aku mulai kepo dan belajar tentang Indonesia
secara diam-diam. Tak ingin lagi secara sembunyi-sembunyi, akhirnya aku pamit dari Kanada
untuk menuntut ilmu di Indonesia.

“Saya pikir anda, ehm.. kalau tidak salah nama anda Ben? Benar begitu?” tanyanya.
“Ah, iya. Perkenalkan, saya Ben. Benzino Freeman. Kalau anda?” tanganku terulur ke arahnya,
kemudian ia menautkan tangannya ke tanganku.
“Saya Shofi. Freeman? Apa anda baru saja mempromosikan diri?” katanya dengan ekspresi yang
jail.

Percakapan kami terus berlanjut sampai tak terasa menghabiskan waktu 20 menit. Rupanya Shofi
adalah wanita yang sangat menyenangkan. Ia punya banyak topik untuk dibicarakan, friendly
sampai aku merasa telah mengenalnya jauh dari sebelum kami bertemu dan.. sedikit usil. 20
menit cukup membuat tubuhku beristirahat setelah perjalanan yang cukup melelahkan dari
Jakarta ke Tasikmalaya. Kugendong kembali tas carrierku dan berjalan mengikuti Shofi keluar dari
terminal bus.

“Apakah boleh saya bicara nonformal denganmu, Ben?” tanyanya ketika kami sedang dalam
perjalanan menggunakan angkutan umum menuju Gunung Galunggung.
“Boleh. Tetapi, jikalau saya tidak paham, dapatkah anda menjelaskannya?” Shofi mengangguk
sembari tersenyum. Sepanjang perjalanan ia terus berbicara, menjelaskan ini dan itu tentang
Tasikmalaya. Ya, memang seperti itulah pekerjaannya sebagai seorang guide atau pemandu
wisata. Oh ya, di sini bukan hanya diriku yang hendak menjelajahi alam Tasikmalaya, di tempat
tujuan -Gunung Galunggung- sudah ada 3 orang temanku yang lain telah menunggu.
“Bagaimana bisa kamu jatuh cinta pada Indonesia?” sambil membantu menurunkan barang
bawaanku, Shofi bertanya.
“Hm, bagaimana ya. Sepertinya aku tidak punya alasan khusus atas pertanyaanmu itu. Suka saja,
nyaman saja, dan menurutku Indonesia punya banyak keunikan. Apalagi, setelah masuk jurusan
Sastra Indonesia aku jadi lebih banyak mengetahui seluk-beluk Indonesia. Seperti bahasa
misalnya” jawabku. Kami berjalan ke sebuah rumah warga dekat pintu masuk wisata Gunung
Galunggung. Angin sepoi-sepoi membelai lembut wajahku yang sedikit berkeringat.
“Bahasanya, ya? Ah, ngomong-ngomong tentang bahasa, apa kamu tadi mengerti apa yang
kuucapkan saat menyambutmu di terminal? Sepertinya tidak ya? Hahaha” aku kembali teringat
dengan pertemuan pertama kami. Aku menggaruk kecil belakang telingaku, berusaha stay cool.
“Itu merupakan sapaan orang sunda. Sampurasun bisa diartikan sebagai halo atau salam dan
dijawab dengan rampes. Begitu..” lanjutnya. Aku mengangguk paham.
“Ben!” dari jauh terlihat seorang pria melambai-lambaikan tangannya padaku. Rupanya itu Irfan,
teman travellingku yang ketiga kalinya. Sebelum kemari aku pernah pergi berlibur bersamanya ke
Pulau Tidung dan Gunung Gede.

Kami berempat bermalam bersama kerluarga Pak Adi dalam naungan rumah kecil dengan suasana
hangat, hangat akan kebersamaan. Suara jangkrik dari alam menemani kami yang sedang
bercengkrama riang. Si bungsu dari pemilik rumah itu tak bosan menggelendot di pangkuanku
sampai memanjat ke pundakku yang dianggap tinggi bak pohon jambu yang sering dipanjati
olehnya. Shofi –yang ternyata keponakan dari penghuni rumah itu- datang dari dapur sambil
membawa nampan berisi beberapa gelas dan teko berisi minuman jahe, serta sepiring umbi kukus
yang masih panas. Asap yang mengepul dari umbi tersebut seolah-olah memanggil hasrat Adi dan
Devi –teman travellingku- untuk langsung menyantapnya.

“A, ari nu itu teteh geulis teu?” si bungsu berbisik padaku dengan bahasa sundanya yang tidak
kumengerti sama sekali. Setelah bertanya ia terkekeh geli, ekspresinya benar-benar
menggemaskan sementara aku hanya mampu memasang ekspresi bingung di hadapan teman-
teman dan orangtua si bungsu ini. Wajahku yang nampak bodoh sambil bercuap-cuap tanpa suara
memberi kode kepada siapapun yang melihatku “Please someone help me to translate what he
said”
“Teteh? Pasti geulis atuh, muhun teu?” jawab Devi sambil mengunyah umbi kukus yang berada di
dalam mulutnya.
“Sanes teteh, tapi teteh nu itu” si bungsu Ari menyangkal jawaban Devi sambil mengarahkan jari
mungilnya ke arah Shofi. Semua tertawa melihat tingkah laku Ari, hanya aku yang menyeringai
bodoh sambil berucap “Nuhun, nuhun” sembari ditertawai si bungsu Ari. Ya, baru kata itu yang
tersangkut dalam otakku, meskipun tidak begitu paham dengan apa yang mereka perbincangkan,
aku sama sekali tidak merasa risih justru aku ingin belajar dan mahir berbahasa sunda agar suatu
saat aku dapat berkomunikasi dengan masyarakat sunda di travellingku selanjutnya.
“Sudah, sudah.. Ari, kemari. Kalau kamu digendong terus sama Aa Ben, nanti pundaknya Aa Ben
sakit loh” ibu dari si bungsu membuka lebar tangannya, menyambut Ari yang berlari kecil
menghampirinya.
“Maaf, saya masih penasaran. Tadi apa ya yang kalian bicarakan?” tanyaku dengan polos, lalu
Shofi menjawabnya, “Tadi Ari bertanya, aku cantik atau tidak menurutmu?”
Mendadak aku gagap menjawabnya “A-ah.. iya, cantik”. Pandangan semua orang tertuju padaku,
suasana hening seketika sampai akhirnya, “Nu-nuhun” yang terlontar dari mulut Shofi mengakhiri
suasana canggung diantara kami semua.
“Silahkan kalau begitu dilanjut saja. Saya sama istri mau menemani Ari tidur dulu” ucap pak Adi
sembari berdiri dan kemudian berjalan menuju kamar, disusul dengan istrinya dan si bungsu Ari
yang sedang menguap ngantuk.

Tiga temanku yang lain sedang asik main kartu uno di ruang tengah sementara aku sedang
menemani Shofi di teras rumah sambil melihat langit malam yang bertabur bintang.
“Besok kita akan berangkat pukul berapa?” tanyaku memecah keheningan setelah beberapa menit
kami duduk bersama tanpa ada sepatah katapun yang terucap.
“Hm, setelah sarapan kita akan berangkat. Sebaiknya kamu istirahat, perjalanan besok lumayan
menyita energi loh” jawabnya dengan tatapan yang masih terfokus pada langit malam. Aku diam-
diam memperhatikannya dan secara tidak sadar senyum simpul terlukis di wajahku. Shofi menoleh
kepadaku, “Hm?”. Cepat-cepat aku melunturkan senyum anehku dan sejenak berpikir untuk
menjawabnya.
“Bolehkah aku mengungkapkan sesuatu padamu? Jangan anggap ini berlebihan tapi beginilah
kebiasaan kami dalam suatu hubungan” aku berdehem pelan lalu meliriknya sekilas. “Kupikir
kamu orang yang baik, manis, ramah dan hangat” lalu aku melanjutkannya, “Perasaanku saat ini
sama seperti pertama kali aku menginjakkan kaki di Indonesia. Apa kita pernah bertemu
sebelumnya? Aku merasa sudah sangat akrab denganmu, tanpa alasan khusus aku menyukaimu”
Shofi yang mendengarkan pengakuanku hanya tersenyum. “Aku sangat ingin suatu saat kembali
lagi ke sini. Jika nanti aku berkeliling Indonesia lagi, kamu mau ikut, kan? Kurasa aku benar-benar
menyukai Indonesia, bahkan aku sekarang mulai menyukai wanita Indonesia. Hahaha”

Perbincangan yang mulai melantur ini menemani detik-detik malamku. Shofi tidak merasa
terganggu atas apa yang aku ungkapkan. Ia justru tertawa dan memintaku berjanji atas apa yang
tadi kuucapkan. Hal-hal kecil seperti ini saja dapat membuatku begitu nyaman. Bagaimana
menurutmu tentang Indonesia? Sama sepertiku, kah? Aku cinta Indonesia. Bagaimana dengan
kalian?

Cerpen Karangan: Raudhatul Jannah M.F


Blog / Facebook: rjmfauziyyah.weebly.com

Cerpen Sampurasun merupakan cerita pendek karangan Raudhatul Jannah M.F, kamu dapat
mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

Anda mungkin juga menyukai