Disusun oleh :
KELOMPOK B-6
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2019
2
SKENARIO 3
PENDAKI GUNUNG SUMBING
Dua pendaki Gunung Sumbing terpaksa dievakuasi oleh tim SAR Kabupaten Temanggung
Jawa Tengah. Mereka dilaporkan mengalami hipoksia akut dan hipotermia. Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah melaporkan peristiwa hipotermia
terjadi karena kurangnya persiapan saat mendaki. Menurut keterangan dokter yang
merawat dua pendaki tersebut, jika keadaan hipotermia tidak segera ditangani dapat
menyebabkan kegagalan fungsi tubuh yang lebih dikenal sebagai Mountain Sickness
Acute.
3
KATA SULIT
1. HIPOKSIA
Penurunan asupan oksigen ke jaringan.
2. HIPOTERMIA
Penurunan suhu tubuh akibat cuaca dingin.
3. EVAKUASI
Pemindahan/pengungsian warga dari daerah berbahaya.
5. AKUT
Gejala yang berat yang dapat timbul secara mendadak dan cepat memburuk.
4
ANALISIS MASALAH
1. Kenapa hipotermia dapat mengalami kegagalan fungsi tubuh?
2. Bagaimana cara yang dapat kita lakukan saat terjadi hipoksia dan hipotermia?
3. Apa saja yang harus dipersiapkan agar tidak mengalami hipoksia akut dan hipotermia?
4. Apa gejala hipoksia dan hipotermia yang dirasakan tubuh?
5. Apa saja faktor penyebab hipoksia dan hipotermia?
6. Apa gejala penyakit Mountain Sickness Acute?
7. Berapa normal nya suhu inti tubuh manusia?
5
JAWABAN
1. Jika suhu tubuh turun drastis, organ vital (jantung, paru-paru, sistem saraf dan otak)
tidak dapat bekerja secara maksimal. Karena, suhu rendah menyebabkan enzim
inaktif. Sehingga, menyebabkan metabolisme dan sirkulasi darah terganggu dan
mengakibatkan mengalami kegagalan fungsi tubuh.
4. Gejala hipoksia :
Badan terasa kaku
Kesulitan bergerak
Gangguan koordinasi seperti kesulitan menggenggam dan berjalan
Berkeringat
Sesak nafas
Detak jantung cepat
Kehilangan kesadaran
Bisa menyebabkan kematian
6
Gejala hipotermia :
Kulit pucat
Badan mati rasa
Respon tubuh lambat
Telapak kaki dan tangan mengerut
Aktivitas pernapasan tidak stabil
Denyut jantung berdebar cepat
Menggigil
Mual dan sakit kepala
5. Hipoksia :
Berada di situasi kadar oksigen rendah
Terdapat penyakit paru-paru
Adanya gangguan jantung
Terhenti nya aliran darah arteri ke organ
Keracunan CO
Perubahan sistem saraf pusat
Hipotermia :
Panas yang dihasilkan tubuh tidak sebanding dengan panas yang
dikeluarkan
Temperatur tubuh menurun di bawah suhu normal kurang dari 35⁰C
7
HIPOTESIS
Persiapan yang dilakukan saat mendaki gunung adalah konsumsi air yang cukup,
pastikan tubuh dalam keadaan fit dan menjaga pola makan. Di ketinggian tertentu tubuh
dapat mengalami hipoksia dan hipotermia. Hipoksia dapat terjadi karena berada di situasi
kadar oksigen rendah, terhentinya aliran darah arteri ke organ dan keracunan CO,
sedangkan hipotermia terjadi karena, panas yang dihasilkan tubuh tidak sebanding dengan
panas yang dikeluarkan. Gejala hipoksia dapat berupa berkeringat, sesak napas, kesulitan
bergerak dan badan terasa kaku, sementara gejala hipotermia dapat berupa kulit pucat,
respon tubuh lambat, menggigil dan badan mati rasa. Kedua hal tersebut dapat disebut
Mountain Sickness Acute. Penanganan kasus di atas dilakukan dengan mendekatkan tubuh
ke sumber panas, diberi air yang cukup dan penggunaan alat bantu oksigen untuk bernapas.
8
LEARNING OBJECTIVE
9
1. MEMAHAMI DAN MEMPELAJARI HIPOKSIA
1.1 Definisi hipoksia
Hipoksia merupakan keadaan di mana terjadi defisiensi oksigen, yang mengakibatkan kerusakan
sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan
umum dari cedera dan kematian sel. Tergantung pada beratnya hipoksia, sel dapat mengalami
adaptasi, cedera atau kematian.
Mekanisme hipoksia dapat terjadi melalui 9 macam mekanisme :
Hipoksia anemi
Intoksikasi karbon monoksida (CO)
Hipoksia respiratorik
Hipoksia sekunder akibat ketinggian
Hipoksia sekunder akibat pirau kanan ke kiri (right to left shunting) ekstrapulmoner
Hipoksia sirkulatoris
Hipoksia yang spesifik organ
Peningkatan kebutuhan O₂
Penggunaan (utilisasi) O₂ yang tidak adekuat
Contoh gejala Hipoksia pada Ketinggian (High Altitude) :
Manusia ataupun binatang di darat telah mengenal kehidupan pada kondisi lingkungan di
ketinggian (high altitude) sejak ribuan tahun lalu, mengingat telah banyak kelompok masyarakat
sejak jaman pra sejarah yang hidup di pegunungan tinggi seperti di Tibet, Andes, dan Afrika
Timur. Telah diketahui pula secara alami terjadi proses adaptasi fisiologis terhadap kondisi
lingkungan seperti itu. Di mana adaptasi ini adalah konsekuensi terjadinya hipoksia karena
pengurangan jumlah molekul oksigen yang bisa dihirup pada waktu bernapas.
Namun, manusia baru mengenal kehidupan di ketinggian yang direkayasa (engineered) setelah
mampunya dibuat pesawat terbang pertama kalinya dengan ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki,
terutama pesawat militer untuk peperangan. Pada manusia yang mencapai ketinggian lebih dari
3.000 meter (10.000 kaki) dalam waktu singkat, tekanan oksigen intraalveolar (PO2) dengan cepat
turun hingga 60 mmHg dan gangguan memori serta gangguan fungsi serebri mulai bermanifestasi.
Pada ketinggian yang lebih, saturasi oksigen arteri menurun (Sat O₂) menurun dengan cepat, dan
pada ketinggian 5.000 meter (15.000 kaki), individu yang tidak teraklimatisasi pada umumnya
tidak dapat berfungsi dengan baik kemudian diketahui, terutama pada penerbangan unpressured
cabin (kabin tanpa rekayasa tekanan udara). Kondisi-kondisi tersebut diantaranya (pada yang
ringan) : penurunan kemampuan terhadap adaptasi gelap, peningkatan frekuensi pernapasan
(hiperventilasi), peningkatan denyut jantung, tekanan sistolik, dan curah jantung (cardiac output).
Sedangkan, jika berlanjut terus akan terjadi gangguan yang lebih berat seperti berkurangnya
pandangan sentral dan perifer, termasuk ketajaman penglihatan (visus), indera peraba berkurang
fungsinya, dan pendengeran berkurang. Demikian juga terjadi perubahan proses-proses mental
seperti gangguan intelektual dan munculnya tingkah laku aneh seperti euforia (rasa senang
berlebihan). Selain itu kemampuan koordinasi psikomotor akan berkurang. Pada tahapan yang
kritis, setelah terjadinya sianosis dan sindroma hiperventilasi berat, maka tingkat kesadaran akan
10
berangsur hilang (loss of consciousness), dan pada tahap akhir dapat terjadi kejang dilanjutkan
dengan henti napas/apnoe.
a. Hipoksia Hipoksik
Keadaan hipoksia disebabkan oleh kurangnya oksigen yang masuk ke paru – paru.
Sehingga oksigen tidak dapat masuk dalam darah, dan gagal masuk ke dalam sirkulasi
darah. Kasus ini disebabkan adanya sumbatan / obsturksi pada saluran pernapasan.
b. Hipoksia Anemic
Keadaan ini disebabkan karena darah tidak dapat mengikat atau membawa oksigen yang
cukup untuk metabolism seluler. Contohnya pada keracunan karbon monoksida (CO),
karena CO dapat bereaksi dengan hemoglobin untuk menghasilkan
karbonmonoksihemoglobin (COHb), dan COHb tidak dapat mengikat oksigen sehingga
tubuh kekurangan hemoglobin yang dapat mengikat oksigen.
c. Hipoksia Stagnan
Keadaan hipoksia dimana darah tidak mampu membawa oksigen ke jaringan karena
adanya kegagalan sirkulasi, seperti heart failure.
d. Hipoksia Histotokik
Keadaan ini terjadi karena jaringan tidak mampu menyerap oksigen. Contohnya pada
keracunan sianida. Sianida dalam tubuh akan mengintaktifkan beberapa enzim oksidatif
seluruh jaringan secara radikal.
11
2. MEMAHAMI DAN MEMPELAJARI HIPOTERMIA
2.1 Definisi Hiportemia
Hipotermia adalah suatu kondisi suhu tubuh yang berada di bawah rentang normal tubuh. (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016b). Menurut Saifuddin dalam (Dwienda, Maita, Saputri, & Yulviana,
2014) Hipotermia adalah suatu kondisi turunnya suhu sampai di bawah 30⁰C, sedangkan
Hipotermia pada bayi baru lahir merupakan kondisi bayi dengan suhu dibawah 36,5⁰C, terbagi ke
dalam tiga jenis hipotermi, yaitu Hipotermi ringan atau Cold Stress dengan rentangan suhu Antara
36⁰C-36,5⁰C, selanjutnya hipotermi sedang, yaitu suhu bayi antara 32⁰C-36,5⁰C dan terakhir yaitu
hipotermi berat dengan suhu <32⁰C. Sistem pengaturan suhu tubuh pada bayi, baik yang normal
sekalipun belum berfungsi secara optimal, sehingga bayi yang baru lahir akan mudah kehilangan
suhu tubuh terutama pada masa 6-12 jam setelah kelahiran. Kondisi lingkungan dingin, bayi tanpa
selimut dan yang paling sering adalah subkutan yang tipis mampu mempercepat proses penurunan
suhu tersebut. Bayi yang mengalami hipotermi akan mengalami penurunan kekuatan menghisap
ASI, wajahnya akan pucat, kulitnya akan mengeras dan memerah dan bahkan akan mengalami
kesulitan bernapas, sehingga bayi baru lahir harus tetap dijaga kehangatannya. (Dwienda et al.,
2014) Suhu normal pada bayi yang baru lahir berkisar 36,5⁰C-37,5⁰C (suhu ketiak). Awalnya bayi
akan mengalami penurunan suhu di bawah rentang normal atau secara mudah dapat dikenal ketika
kaki dan tangan bayi teraba dingin, atau jika seluruh tubuh bayi sudah teraba dingin berarti bayi
sudah mengalami hipotermi sedang yaitu dengan rentang suhu 32⁰C-36⁰C. Selain hipotermi sedang
ada juga hipotermi kuat yaitu bila suhu bayi sampai di bawah 32⁰C dan akan berakibat sampai
kematian jika berlanjut karena, pembuluh darah bayin akan menyempit dan terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen sehingga akan berlanjut menjadi hipoksemia dan kematian.(Anik, 2013)
2.1 Klasifikasi Hipotermia
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016b) penyebab hipotermia yaitu:
a. Kerusakan Hipotalamus
b. Berat Badan Ekstrem
c. Kekurangan lemak subkutan
d. Terpapar suhu lingkungan rendah
e. Malnutrisi
f. Pemakaian pakaian tipis
g. Penurunan laju metabolisme
h. Transfer panas ( mis. Konduksi, konveksi, evavorasi, radiasi)
i. Efek agen farmakologis
12
Pengidap serangan hipotermia tingkat menengah (suhu tubuh 28-32°C) akan
mengalami gejala-gejala berupa:
• Mengantuk atau lemas.
• Bicara tidak jelas atau bergumam.
• Linglung dan bingung.
• Kehilangan akal sehat, misalnya membuka pakaian meski sedang kedinginan.
• Sulit bergerak dan koordinasi tubuh yang menurun.
• Napas yang pelan dan pendek.
• Tingkat kesadaran yang terus menurun.
Apabila tidak segera ditangani, suhu tubuh akan makin menurun dan
berpotensi memicu hiportemia yang parah dengan suhu tubuh 28°C ke
bawah. Kondisi ini ditandai dengan gejala-gejala berikut:
• Pingsan.
• Denyut nadi yang lemah, tidak teratur, atau bahkan sama sekali tidak ada
denyut nadi.
• Pupil mata yang melebar.
• Napas yang pendek atau sama sekali tidak bernapas.
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016) gejala dan tanda hipotermia yaitu :
a. Mayor
1) Kulit teraba dingin
2) Menggigil
3) Suhu tubuh di bawah nilai normal (Normal 36,50C-37,50C)
b. Minor
1) Akrosianosis
2) Bradikardi ( Normal 120-160 x/menit)
3) Dasar kuku sianotik
4) Hipoglikemia
5) Hipoksia
6) Pengisian kapiler > 3 detik
7) Konsumsi oksigen meningkat
8) Ventilasi menurun
9) Piloereksi
10) Takikardi
11) Vasokontriksi perifer
12) Kutis memorata ( pada neonatus)
13
2.4 Pencegahan dan Penanganan Hipotermia
a. Pencegahan Hipotermia
Ada beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk mencegah
hipotermia, yaitu:
• Jagalah tubuh agar tetap kering. Hindari mengenakan pakaian basah dalam
jangka waktu lama karena dapat menyerap panas tubuh.
• Gunakan pakaian sesuai dengan kondisi cuaca dan kegiatan yang akan
dilakukan, terutama ketika akan mendaki gunung atau berkemah di tempat yang
dingin. Kenakan jaket atau pakaian tebal agar suhu tubuh tetap terjaga.
• Gunakan topi, syal, sarung tangan, kaus kaki, dan sepatu bot ketika akan
beraktivitas di luar rumah.
• Lakukan gerakan sederhana untuk menghangatkan tubuh.
• Hindari minuman yang mengandung alkohol atau kafein. Konsumsilah
minuman dan makanan hangat.
Sedangkan untuk mencegah hipotermia pada bayi dan anak-anak, cara yang
dapat dilakukan adalah:
• Jaga suhu kamar agar selalu hangat.
• Pakaikan jaket atau pakaian yang tebal, ketika anak akan beraktivitas di luar
rumah saat suhu udara dingin.
• Segera bawa ke ruangan yang hangat, jika mereka tampak mulai menggigil.
b. Penanganan Hipotermia
Hipotermia merupakan kondisi darurat yang harus segera mendapatkan
penanganan. Tindakan awal yang perlu dilakukan ketika bertemu dengan
orang yang memiliki gejala hipotermia adalah mencari ada tidaknya denyut
nadi dan pernapasan. Jika denyut nadi dan pernapasan sudah berhenti, maka
lakukanlah tindakan resusitasi jantung paru (CPR) dan cari bantuan medis.
Bila orang tersebut masih bernapas dan denyut nadinya masih ada,
lakukanlah tindakan berikut ini untuk membuat suhu tubuhnya kembali
normal:
• Pindahkan dia ke tempat yang lebih kering dan hangat. Pindahkan secara hati-
hati karena gerakan yang berlebihan dapat memicu denyut jantungnya berhenti.
• Jika pakaian yang dikenakannya basah, maka gantilah dengan pakaian yang
kering.
• Tutupi tubuhnya dengan selimut atau mantel tebal agar hangat.
• Jika dia sadar dan mampu menelan, berikan minuman hangat dan manis.
• Berikan kompres hangat dan kering untuk membantu menghangatkan
tubuhnya. Letakkan kompres di leher, dada, dan selangkangan. Hindari
meletakkan kompres di lengan atau tungkai karena malah menyebabkan darah
yang dingin mengalir kembali ke jantung, paru-paru, dan otak.
14
• Hindari penggunaan air panas, bantal pemanas, atau lampu pemanas untuk
menghangatkan penderita hipotermia. Panas yang belebihan dapat merusak
kulit dan menyebabkan detak jantung menjadi tidak teratur.
• Temani dan pantau terus kondisi orang tersebut, hingga bantuan medis tiba.
15
membantu tubuh kembali dalam kondisi yang stabil. Sementara, pada kondisi
berat umumnya gejala yang dialami adalah sesak napas bahkan sampai kehilangan
kesadaran. Dalam mengalami gejala tersebut, penderita atau pendaki harus
langsung ditangani oleh medis agar tidak menyebabkan kegagalan fungsi tubuh.
16
17
DAFTAR PUSTAKA
1. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123359-S09089fk-Aktivitas%20spesifik-
Literatur.pdf
2. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/123359-S09089fk-Aktivitas%20spesifik-Literatur.pdf
3. Ganong M.D., 2001,Respiratory Adjusments in Health & Diease, "Hipoxia", hal : 660 -
668, Review of Medical Physiology, ed. 20th, Mcgraw - Hill Companies, United States
4.Principles of internal medicine, harrison’s , ed. 18th
5. http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/2271/3/BAB%20II.pdf
6. Google Cendikia
7. Peter H. Hackett., (1980). Mountain Sickness : Prevention, Recognition & Treatment. The
Mountaineers Books
8. (2003). Health & Height. V World Congress on Mountain Medicine and High Altitude
Physiology. Barcelona : Edicions Universitat Barcelona.
18