Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebijakan pemerintah dalam pembangunan kesehatan menempatkan kesehatan

ibu dan anak sebagai perioritas utama, karena sangat mementukan kualitas sumber

daya manusia mendatang. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), serta lambatnya

penurunan Angka Kematian Ibu, menunjukkan bahwa pelayanan KIA sangat

mendesak untuk ditingkatkan bagi dari segi jangkauan maupun kualitas pelayanan.

Ketuban pecah dini merupakan masalah yang masih kontropersial dalam kebidanan.

Penanganan yang optimal dan yang baku belum ada bahkan selalu berubah. Bila

ketuban pecah dini tidak mendapat penanganan yang baik dapat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi karena adanya infeksi, dimana selaput

ketuban yang menjadi penghalang masuknya kuman penyebab infeksi sudah tidak ada

sehingga dapat membahayakan bagi ibu dan janinnya.

Tingginya angka kematian ibu sangat bervariasi, dari beberapa sumber yang

salah satunya menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2005

memperkirakan sebanyak 536.000 perempuan meninggal dunia akibat masalah

kehamilan, persalinan dan nifas. Kejadian ini dapat berakibat 99% kematian ibu terjadi

di Negara-Negara berkembang.

Angka kematian ibu (AKI) pada tahun 2000 di negara berkembang masih

menempati urutan tertinggi di banding di negara maju. Di Singapura AKI mencapai 6

per 100 ribu kelahiran hidup, Malaysia 41 per 100 ribu kelahiran hidup, Thailand 44

per 100 ribu kelahiran hidup, dan filiphina 170 per 100 ribu kelahiran hidup.

1
Di tingkat ASEAN, Indonesia merupakan negara tertinggi angka kematian ibu

dan perinatal. Pada tahun 2006, Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI)

mencapai 307 per 100 ribu kelahiran hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB)

sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup . Angka Kematian Ibu dan Perinatal yang tinggi

sebagian besar akibat pertolongan dukun di seluruh indonesia. Kematian ibu dan

perinatal mempunyai peluang yang sangat besar untuk di hindari sehingga bidan

pelayanan masih memerlukan perhatian yang lebih serius.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam jangka pendek untuk

menekan kematian ibu melalui Program Making Pregnancy Safer (MPS) dengan visi

semua perempuan di indonesia dapat menjalani kehamilan dan persalinan dengan

aman dan bayi dilahirkan hidup dan sehat dengan target tahun 2010 menurunkan

angka kematian ibu 125 per 100.000 kelahiran hidup.

B. Rumusan Masalah

a. Apa definisi KPD?


b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi KPD ?
c. Apa saja mekanisme teradinya KPD ?
d. Apa saja manifestasi klinis dari KPD i?
e. Apa saja komplikasi dari KPD?
f. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada KPD?
g. Bagaimana terapi dalam KPD?
h. Bagaimana penatalaksanaan KPD?
i. Bagaimana asuhan keperawatan pada KPD?

C . Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :


a. Tujuan umum

2
Mempelajari secara keseluruhan tentang penyakit paget baik konsep medis maupun
konsep medik
b. Tujuan khusus
a. Mahasiswa dapat memahami definisi KPD
b. Mahasiswa dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi KPD
c. Mahasiswa dapat memahami mekanisme terjadinya KPD
d. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari KPD
e. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari KPD
f. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang pada KPD
g. Mahasiswa dapat mengetahui cara terapi dalam KPD
h. Mahasiswa dapat mengetahui cara penatalaksanaan pada KPD
i. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan dari KPD

D. Metode Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini, kelompok menggunakan metode studi


kepustakaan yaitu mempelajari buku-buku dan sumber-sumber lainnya untuk
mendapatkan dasar-dasar ilmiah yang berikutnya dengan permasalahan dalam makalah
ini.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi

Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum

persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu maka

disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur (Prawirohardjo, 2008).

Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah sebelum terdapat atau

dimulainya tanda inpartu dan setelah ditunggu satu jam belum ada tanda inpartu

(Manuaba, 2010).

Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah spontan yang terjadi pada
sembarang usia kehamilan sebelum persalinan di mulai (William,2001)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan
dan di tunggu satu jam belum di mulainya tanda persalinan (manuaba,2001)
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah
kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan berlangsung dan dapat terjadi
pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm.
(saifudin,2002).
Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membrane atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut.
Berkurangnya kekuatan mambran disebabkan adanya infeksi yang dapat berasal dari
vagina serviks. (Sarwono Prawiroharjo, 2002)

4
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuban pecah dini

Penyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti.

Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD,

namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui (Nugroho, 2011).

Faktor-faktor predisposisi itu antara lain adalah:

a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).

Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion

dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi

paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis

(Prawirohardjo, 2008).

Membrana khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan

ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat

rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B

streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu

Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-

bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm.

Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan

kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks,

dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007).

Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk melahirkan

janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang andal untuk

menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau lebih, air

5
ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang menandakan

infeksi (Anonim, 2007).

b. Riwayat ketuban pecah dini

Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban

pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah

akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu

terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien

risiko tinggi (Nugroho, 2010).

Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang

persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban

pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada

wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi

membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin

menurun pada kehamilan berikutnya (Anonim, 2007).

c. Tekanan intra uterin

Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)

misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37 minggu

sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering

mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).

Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan

hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu

dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion dapat

terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar (makrosomia),

6
kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan obat-

obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering menimbulkan

polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal

bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering

terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini,

prolaps tali pusat, persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu

(Prawirohardjo, 2008).

d. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia)

Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada

adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan.

Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester

kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti

septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma

bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi

berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo,

2008).

Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis dan

membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga

kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan

perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika

diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan

inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan

berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis

7
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,

yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai awitan

persalinan dan pelahiran ( Morgan, 2009).

Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran pada usia

kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi serviks menyusul

pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya pembukaan serviks

berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu

berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau

sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (Morgan, 2009).

e. Paritas

Para adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup

(Saifuddin, 2006).

Paritas terbagi menjadi primipara dan multipara. Primiparitas adalah seorang

wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati untuk pertama kali. Multiparitas

adalah wanita yang telah melahirkan bayi hidup atau mati beberapa kali (sampai 5

kali atau lebih) (Varney, 2007).

f. Kehamilan dengan janin kembar

Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya

tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja

menentukan apakah janin merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu,

dapat juga ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya

membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan. Pengawasan

pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi resiko

8
persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali dengan

cermat setiap kali melakukan kunjungan (Nugroho, 2010).

Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami ketuban pecah

dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh peningkatan massa plasenta

dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu jika ibu dan

keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan preeklamsi

dan tanda-tanda ketuban pecah (Varney, 2007).

g. Usia ibu yang ≤ 20 tahun

Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan

uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalami ketuban

pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua

untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami

ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).

Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama,

pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation (WHO)

memberikan rekomendasi sebagaimana disampaikan Seno (2008) seorang ahli

kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Sampai sekarang,

rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan

dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun

dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap (Agil, 2007).

Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20 tahun

adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat.

Bisa jadi secara mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk

9
memeriksakan diri dan kandungannya menjadi rendah. Di luar urusan kehamilan

dan persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkat akibat hubungan seks dan

melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun

yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan. Di rentang usia ini

kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi

perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan. Umumnya secara

mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga

kehamilannya secara hati-hati (Agil, 2007).

Pendapat Seno (2008), usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi

“Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan

wanita yang bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau,

suka atau tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi

dan fungsi organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak

sedikit fungsi organ yang menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil

karena sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga

semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama di usia lanjut, resiko

perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit kelainan bawaan juga

tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu proses

kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm ataupun ketuban pecah dini

(Agil, 2007).

10
C. Mekanisme teradinya ketuban pecah dini

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi

uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu

terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan

karena selaput ketuban rapuh. Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada

trimester tiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ada

hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin.

Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini

pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya

infeksi yang menjalar dari vagina (Prawirohardjo, 2008).

Mekanisme ketuban pecah dini ini terjadi pembukaan prematur serviks dan

membran terkait dengan pembukaan terjadi devolarisasi dan nekrosis serta dapat

diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin

berkurang. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang

mengeluarkan enzim proteolitik, enzim kolagenase. Masa interval sejak ketuban pecah

sampai terjadi kontraksi disebut fase laten, makin panjang fase laten, semakin tinggi

kemungkinan infeksi. Semakin muda kehamilan, makin sulit pula pemecahannya tanpa

menimbulkan morbiditas janin. Oleh karena itu komplikasi ketuban pecah dini

semakin meningkat (Varney, 2007).

D. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini adalah

keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina berbau amis dan

tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes,

11
disertai dengan demam atau menggigil, bercak vagina yang banyak, denyut jantung

janin bertambah cepat, juga nyeri pada perut, keadaan seperti ini dicurigai mengalami

infeksi. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai

kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah

biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara (Nugroho,

2011).

Ada pula tanda dan gejala yang tidak selalu timbul pada ketuban pecah dini

seperti ketuban pecah secara tiba-tiba, kemudian cairan tampak diintroitus dan tidak

adanya his dalam satu jam. Keadaan lain seperti nyeri uterus, denyut jantung janin

yang semakin cepat serta perdarahan pervaginam sedikit tidak selalu dialami ibu

dengan kasus ketuban pecah dini. Namun, harus tetap diwaspadai untuk mengurangi

terjadinya komplikasi pada ibu maupun janin (Varney, 2007).

12
E. Pathway

13
F. Komplikasi

Menurut Varney (2007) komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini

bergantung pada usia kehamilan. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya :

a. Persalinan premature

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten

tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam

setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28 – 34 minggu 50% persalinan

dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1

minggu.

b. Infeksi

Resiko infeksi pada ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu

terjadi konrioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia.

Umumnya terjadi korioamnianitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah

dini prematur, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden infeksi

sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode

laten.

c. Hipoksia dan Asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidroamnion yang menekan tali

pusathingga terdaji asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya

gawat janin dan derajat oligohidroamnion, semakin sedikit air ketuban , janin

semakin gawat.

d. Sindrom Deformitas Janin

14
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin

terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin

(Prawirohardjo, 2008).

Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu

adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir.

Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD

prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis

(radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali

pusar dapat terjadi pada KPD. Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat

pada KPD preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada

KPD preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini

terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu (Nugroho, 2011).

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat dilakukan

dengan kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH normal dari vagina

adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat memiliki

hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen, lendir

leher rahim, dan air seni. Pemeriksaan melalui ultrasonografi (USG) dapat digunakan

untuk melihat jumlah air ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah

cairan ketuban sedikit. namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion

(Nugroho, 2011).

15
H. Terapi

Apabila terjadi pecah ketuban, maka segeralah pergi ke rumah sakit. Risiko

kelahiran bayi prematur adalah risiko terbesar kedua setelah infeksi akibat ketuban

pecah dini. Pemeriksaan mengenai kematangan dari paru janin sebaiknya dilakukan

terutama pada usia kehamilan 32-34 minggu. Hasil akhir dari kemampuan janin untuk

hidup sangat menentukan langkah yang akan diambil. Kontraksi akan terjadi dalam

waktu 24 jam setelah ketuban pecah apabila kehamilan sudah memasuki fase akhir.

Semakin dini ketuban pecah terjadi maka semakin lama jarak antara ketuban pecah

dengan kontraksi. Jika tanggal persalinan sebenarnya belum tiba, dokter biasanya akan

menginduksi persalinan dengan pemberian oksitosin (perangsang kontraksi) dalam 6

hingga 24 jam setelah pecahnya ketuban. Tetapi jika memang sudah masuk tanggal

persalinan dokter tak akan menunggu selama itu untuk memberi induksi pada ibu,

karena menunda induksi bisa meningkatkan resiko infeksi (Anonim, 2011).

Penggunaan steroid untuk pematangan paru janin masih merupakan kontroversi

dalam KPD. Penelitan terbaru menemukan keuntungan serta tidak adanya risiko

peningkatan terjadinya infeksi pada ibu dan janin. Steroid berguna untuk

mematangkan paru janin, mengurangi risiko sindrom distress pernapasan pada janin,

serta perdarahan pada otak. Penggunaan antibiotik pada kasus KPD memiliki 2 alasan.

Yang pertama adalah penggunaan antibiotic untuk mencegah infeksi setelah kejadian

KPD preterm. Dan yang kedua adalah berdasarkan hipotesis bahwa KPD dapat

disebabkan oleh infeksi dan sebaliknya KPD preterm dapat menyebabkan infeksi.

Keuntungan didapatkan pada wanita hamil dengan KPD yang mendapatkan antibiotik

16
yaitu, proses kelahiran diperlambat hingga 7 hari, berkurangnya kejadian

korioamnionitis serta sepsis neonatal (infeksi pada bayi baru lahir) (Saifuddin, 2006).

I. Penatalaksanaan

Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan

dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan

mortalitas ibu maupun bayinya. Kasus KPD yang cukup bulan, jika segera diakhiri

akan meningkatkan insiden bedah secar an jika menunggu persalinan spontan akan

menaikan insiden khorioamnionitis. Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur

kehamilan. Jika umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan

pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin.

Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS

(Respirtory distress sindrome) dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada

kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu optimal

untuk persalinan (Nugroho, 2011).

Dalam penetapan langkah penatalaksanaan tindakan yang dilakukan apakah

langkah konservatif atau aktif, sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan,

kondisi ibu dan janin, fasilitas perawatan intensif, kondisi, waktu, dan tempat

perawatan, fasilitas atau kemampuan monitoring, kondisi atau status imunologi ibu,

dan kemapuan finansial keluarga (Fadlun, 2011).

Adapun pelaksanaannya :

a. Penatalaksanaan Konservatif (mempertahankan kehamilan)

17
Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24 – 72 jam setelah ketuban pecah.

Kemungkinan infeksi berkurang bjika tidak ada alat yang dimasukkan ke vagina,

kecuali spekulum steril dan jang melakukan pemeriksaan dalam (Morgan, 2009).

Beri antibiotika bila ketuban pecah > 6 jam berupa Ampisillin 4 x 500 mg atau

Gentamycin 1 x 80 mg. Umur kehamilan < 32 – 34 minggu dirawat selama air

ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi serta berikan steroid

selama untuk memacu kematangan paru-paru janin (Nugroho, 2011).

b. Penatalaksanaan Aktif

Kehamilan > 35 minggu dilakukan induksi oksitosin, jika gagal dilakukan seksio

sesaria. Cara induksi yaitu 1 ampul syntocinon dalam Dektrose 5%, dimulai 4

tetes/ menit, tiap ¼ jam dinaikan 4 tetes sampai maksimum 40 tetes/ menit. Pada

keadaan CPD, letak lintang harus dilakukan seksio sesaria. Bila ada tanda-tanda

infeksi beri antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri (Nugroho, 2011)

18
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian

B. Diagnosa
1. Resiko infeksi b.d ketuban pecah dini
2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d ketegangan otot rahim.
3. Defisit / kurang pengetahuan b.d pengakuan persalinan premature
4. Kecemasan / ansietas b.d persalinan premature dan neonates berpotensi lahir
premature

C. Inervensi

No Diagnose Tujuan dan criteria Intervensi Rasional


keperawatan hasil
1 Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan 1. Kaji tanda-tanda Untuk mengetahui
ketuban pecah tindakan keperawatan infeksi . tanda-tanda infeksi
dini selama 1×24 jam di yang muncul.
harapkan pasien tidak
menunjukan tanda-tanda Untuk melihat
infeksi . dengan criteria 2. Pantau keadaan perkembangan
hasil : umum pasien kesehatan pasien.

– Tanda-tanda
infeksi tidak tidak ada.
3. Bina hubungan Untuk memudahkan
– Tidak ada lagi saling percaya perawat melakukan
cairan ketuban yang melalui komunikasi

19
keluar dari pervaginaan. therapeutic. tindakan.

– DJJ normal

– Leukosit pasien Agar istirahat pasien


kembali normal 4. Berikan lingkungan terpenuhi.
yang nyaman untuk
– Suhu 36-37 pasien.

5. Kolaborasi dengan
dokter untuk
memberikan obat Untuk proses
antiseptik sesuai penyembuhan pasien
terapi.

2 Gangguan rasa Setelah dilakukan 1. Kali tanda-tanda Untuk mengetahui


nyaman : nyeri tindakan keperawatan Vital pasien. keadaan umum
b.d ketegangan selama 1×24 jam di pasien.
otot rahim. harapkan nyeri
berkurang / nyeri hilang
. dengan criteria hasil :
Untuk mengetahui
– Tanda-tanda 2. Kaji skala nyeri (1- derajat nyeri pasien
vital dalam batas 10) dan menentukan
normal. tindakan yang akan
dilakukan.
TD :120/80 mm Hg

N : 60-120 X/ menit.
3. Ajarkan pasien Untuk
– Pasien tampak teknik relaksasi mengurangi nyeri
tenang/rileks. yang dirasakan
pasien.
– Pasien
mengatakan nyeri pada
perut berkurang.
4. Atur posisi pasien Untuk memberikan
rasa nyaman.

20
5. Berikan lingkungan Untuk mengurangi
yang nyaman dan tingkat stress pasien
batasi pengunjung. dan pasien dapat
beristirahat.
3 Defisit / kurang Setelah dilakukan 1. Kaji apa pasien tahu Untuk mengetahui
pengetahuan b.d tindakan keperawatan tentang tanda-tanda tentang pemahaman
pengakuan selama 1×24 jam di dan gejala normal pasien untuk
persalinan harapkan pasien selama kehamilan. tindakan selanjutnya.
premature memahami pengetahuan
tentang penyakitnya .
dengan criteria hasil :
2. Ajarkan tentang apa Mencegah terjadinya
– Pasien terlihat yang harus hal-hal yang tidak
tidak bingung lagi. dilakukan jika tanda diinginkan terjadi
KPD muncul yang bisa
– Pasien kembali. membahayakan ibu-
janin.

Untuk membantu
3. Libatkan keluarga merencanakan
agar memantau tindakan berikutnya.
kondisi pasien .

4 Kecemasan / Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat Mengetahui


ansietas b.d tindakan keperawatan kecemasan pasien. tingkatan kecemasan
persalinan selama 1×24 jam di yang dialami pasien.
premature dan harapkan ansietas pasien
neonates teratasi. dengan criteria
berpotensi lahir hasil :
premature Untuk
– Pasien tidak 2. Dorong pasien mempercepat proses
cemas lagi untuk istirahat total. penyembuhan

– Pasien sudah
mengetahui tentang
penyakit 3. Berikan suasana Untuk memberikan
yang tenang dan rasa nyaman dan
ajarkan keluarga menurunkan

21
untuk memberikan kecemasan pasien.
dukungan
emosional pasien.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah

kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan berlangsung dan dapat terjadi

pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm.

Tanda dan gejala yang selalu ada ketika terjadi ketuban pecah dini adalah keluarnya

cairan ketuban merembes melalui vagina, cairan vagina berbau amis dan tidak seperti

bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, disertai dengan

demam atau menggigil, bercak vagina yang banyak, denyut jantung janin bertambah

cepat, juga nyeri pada perut, keadaan seperti ini dicurigai mengalami infeksi. Cairan

ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi

bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya

“mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara

Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu

adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko

infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur

sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada

korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi

pada KPD. Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm.

Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm.

23
Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia

kehamilan kurang dari 23 minggu.

B. SARAN

Ketuban pecah dini dapat menimbulkan kecemasan pada wanita dan

keluarganya. Bidan harus membantu wanita mengeksplorasi rasa takut yang menyertai

perkiraan kelahiran janin premature serta risiko tambahan korioamnionitis. Dan

sebaiknya ibu hamil mengkonsumsi buah yang mengandung vitamin C agar dapat

membantu mencegah terjadinya ketuban pecah dini.

24

Anda mungkin juga menyukai