Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PADA PASIEN DENGAN CKD (CHRONIC KIDNEY DISASE)


DI RUANG HEMODIALISA RSUD KANJURUAN
KABUPATEN MALANG

DEWI ALFIATUS SA’ADAH

NIM 193161006

STIKes WIDYA CIPTA HUSADA MALANG

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

OKTOBER 2019
LAPORAN PENDAHULUAN
CKD (Chronic Kidney Disase)

1. BATU GINJAL
A. DEFINISI
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu
terbentuk di dalam traktus ketika konsentrasi substansi tertentu seperti
kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat
terbentuk ketika terdapat defisiensi substansi tertentu, seperti sitrat yang
secara normal mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang
mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urine dan status cairan
klien (batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi) (Brunner & Suddarth
2009).
Urolitiasis adalah Batu ginjal (kalkulus) bentuk deposit mineral, paling
umum oksalat Ca2+ dan fosfat Ca2+, namun asam urat dan kristal lain juga
membentuk batu, meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk dimana saja dari
saluran perkemihan, batu ini paling sering ditemukan pada pelvis dan kalik
ginjal. (Anugroho, 2013).
A. ETIOLOGI
Batu ginjal kebanyakan tidak diketahui penyebabnya. Namun ada
beberapa macam penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya batu
ginjal, antara lain : renal tubular acidosis dan medullary sponge kidney.
Secara epidemiologi terdapat dua factor yang mempermudah/
mempengaruhi terjadinya batu pada saluran kemih pada seseorang.
Faktor-faktor ini adalah faktor intrinsik, yang merupakan keadaan yang
berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu pengaruh yang
berasal dan lingkungan disekitarnya.
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Umur
Penyakit batu saluran kemih paling sering didapatkan pada usia 30
-50 tahun.
b. Hereditair (keturunan).
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya. Dilaporkan
bahwa pada orang yang secara genetika berbakat terkena penyakit
batu saluran kemih, konsumsi vitamin C yang mana dalam vitamin C
tersebut banyak mengandung kalsium oksalat yang tinggi akan
memudahkan terbentuknya batu saluran kemih, begitu pula dengan
konsumsi vitamin D dosis tinggi, karena vitamin D menyebabkan
absorbsi kalsium dalam usus meningkat.
c. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibanding
dengan pasien perempuan
Faktor ekstrinsiknya antara lain adalah:

a) Asupan air

Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium


pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu
saluran kemih.

b) Diet Obat sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan


terbentuknya batu saluran kemih, karena obat sitostatik bersifat
meningkatkan asam urat dalam tubuh. Diet banyak purin,
oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu
saluran kemih.

c) Iklim dan temperatur Individu yang menetap di daerah


beriklim panas dengan paparan sinar ultraviolet tinggi akan
cenderung mengalami dehidrasi serta peningkatan produksi
vitamin D3 (memicu peningkatan ekskresi kalsium dan
oksalat), sehingga insiden batu saluran kemih akan meningkat.

d) Pekerjaan

Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaanya


banyak duduk atau kurang aktifitas (sedentary life)

e) Istirahat (bedrest) yang terlalu lama, misalnya karena sakit juga


dapat menyebabkan terjadinya penyakit batu saluran kemih.

f) Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian


batu saluran kemih lebih tinggi daripada daerah lain sehingga
dikenal sebagai daerah ston belt (sabuk batu).

B. JENIS-JENIS BATU PADA SALURAN KEMIH


Jenis batu ginjal yang paling sering (lebih dari 80 %) adalah yang
terbentuk dari kristal kalsium oksalat. Pendapat konvensional
mengatakan bahwa konsumsi kalsium dalam jumlah besar dapat
memicu terjadinya batu ginjal. Namun, bukti-bukti terbaru malah
menyatakan bahwa konsumsi kalsium dalam jumlah sedikitlah yang
memicu terjadinya batu ginjal ini. Hal ini disebabkan karena dengan
sedikitnya kalsium yang dikonsumsi, maka oksalat yang diserap tubuh
semakin banyak. Oksalat ini kemudian melalui ginjal dan dibuang ke
urin. Dalam urin, oksalat merupakan zat yang mudah membentuk
endapan kalsium oksalat. Jenis batu yang lain adalah yang terbentuk dari
struvit (magnesium, ammonium, dan fosfat), asam urat, kalsium fosfat,
dan sistin.
1) Batu struvit dihubungkan dengan adanya bakteri pemecah urea
seperti Proteus mirabilis, spesies Klebsiela, Seratia, dan
Providensia. Bakteri ini memecah urea menjadi ammonia yang
pada akhirnya menurunkan keasaman urin.
2) Batu asam urat sering terjadi pada penderita gout, leukemia, dan
gangguan metabolism asam-basa. Semua penyakit ini
menyebabkan peningkatan asam urat dalam tubuh.
3) Batu kalsium fosfat sering berhubungan dengan
hiperparatiroidisme dan renal tubular acidosis.
4) Batu sistin berhubungan dengan orang yang menderita sistinuria.
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestai klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada
adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine,
terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan system piala
ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai
menggigil, demam, dan disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus.
Beberapa batu, jika ada, menyebabkan sedikit gejala umum secara perlahan
merusak unit fungsional (nefron) ginjal: sedangkan yang lain menyebabkan nyeri
yang luar biasa dan ketidak nyamanan.
Batu di piala ginjal mungkin berkaitan dengan sakit yang dalam dan terus
menerus diarea kostovertebral. Hemeturia dan piuria dapat dijumpai. Nyeri yang
berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita mendekati
kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak
menjadi akut, disertai nyeri tekan ke seluruh area kostovertebral, dan muncul
mual dan muntah, maka pasien mengalami episode kolik renal. Diare dan ketidak
nyamanan abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal ini akibat dari reflex
renointestinal dan proktimitas anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus
besar.
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gelombang nyeri yang luar
biasa, akut, dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Pasien merasa ingin
berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya mengandung
darah akibat aksi abrasif batu. Kolompok gejala ini disebut kolik ureteral.
Umumnya pasien akan mengeluarkan batu dengan diameter 0,5 sampai 1 cm
secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat
atau dihancurkan sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan.
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi
dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria. Jika batu
menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih, akan terjadi retnsi urin.Jika
infeksi berhubungan dengan adanya batu, maka kondisi ini jauh lebih serius,
disertai sepsis yang mengancam kehidupan pasien ( Brunner&Suddarth 2009).
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien batu kandung kemih
adalah :
a) Urinalisa
Warna kuning, coklat atau gelap.
b) Foto KUB
Menunjukkan ukuran ginjal ureter dan ureter, menunjukan adanya batu.
c) Endoskopi ginjal
Menentukan pelvis ginjal, mengeluarkan batu yang kecil.
d) EKG
Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit.
e) Foto Rontgen
Menunjukan adanya di dalam kandung kemih yang abnormal.
f) IVP ( intra venous pylografi )
Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih,membedakan derajat
obstruksi kandung kemih divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal
otot kandung kemih.
g) Vesikolitektomi ( sectio alta )
Mengangkat batu vesika urinari atau kandung kemih.
h) Litotripsi bergelombang kejut ekstra korporeal.
Prosedur menghancurkan batu ginjal dg gelombang kejut.
i) Pielogram retrograde
Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih.
Diagnosis ditegakan dg studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi
intravena atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dg urine dalam 24 jam
untuk mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume total
merupakan upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta adanya
riwayat batu ginjal, ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di dapatkan
untuk mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya batu kandung
kemih pada klien.
E. PENATALAKSANAAN
Sekitar 90 % dari batu ginjal yang berukuran 4 mm dapat keluar dengan
sendirinya melalui urin. Namun, kebanyakan batu berukuran lebih dari 6 mm
memerlukan intervensi. Pada beberapa kasus, batu yang berukuran kecil yang
tidak menimbulkan gejala, dapat diobservasi selama 30 hari untuk melihat
apakah dapat keluar dengan sendirinya sebelum diputuskan untuk dilakukan
intervensi bedah. Tindakan bedah yang cepat, perlu dilakukan pada pasien yang
hanya mempunyai satu ginjal, nyeri yang sangat hebat, atau adanya ginjal yang
terinfeksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Penghilang rasa sakit
Obat penghilang rasa sakit yang paling cocok untuk nyeri karena batu ginjal
adalah golongan narkotika seperti morfin, demerol, atau dilaudid. Namun standar
saat ini untuk menghilangkan nyeri akut karena batu ginjal adalah penyuntikan
ketorolak melalui pembuluh darah.
Intervensi bedah
a) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), tehnik ini menggunakan
getaran gelombang untuk memecahkan batu dari luar sehingga batu
menjadi serpihan kecil yang pada akhirnya dapat keluar dengan sendirinya.
b) Percutaneus nephrolithotomy atau pembedahan terbuka dapat dilakukan
pada batu ginjal yang besar atau yang mengalami komplikasi atau untuk
batu yang tidak berhasil dikeluarkan dengan cara ESWL.
F. KOMPLIKASI
Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman yang dapat menimbulkan
infeksi saluran kemih, pylonetritis, yang akhirnya merusak ginjal, kemudian
timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh lebih parah.
G. PENCEGAHAN
1) Minum banyak air putih sehingga produksi urin dapat menjadi 2-2,5 liter per
hari
2) Diet rendah protein, nitrogen, dan garam
3) Hindari vitamin C berlebih, terutama yang berasal dari suplemen
4) Hindari mengonsumsi kalsium secara berlebihan
5) Konsumsi obat seperti thiazides, potasium sitrat, magnesium sitrat, dan
allopurinol tergantung dari jenis batunya.

2. CKD (Cronic Kidney Disase)


A. DEFINISI
Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
Glomerulus Filtration Rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). Sedangkan
menurut Terry & Aurora, 2013 CKD merupakan suatu perubahan fungsi
ginjal yang progresif dan ireversibel. Pada gagal ginja kronik, ginjal tidak
mampu mempertahankan keseimbangan cairan sisa metabolisme sehingga
menyebabkan penyakit gagal ginjal stadium akhir.
CKD atau gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kondisi dimana
ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan
samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan
metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia
atau azotemia (Smeltzer, 2009).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu
penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori
ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2007).

B. ETIOLOGI
Gagal Ginjal terjadi karena organ ginjal mengalami penurunan kerja dan
fungsinya, hingga menyebabkan tidak mampu bekerja dalam menyaring
elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh (sodium
dan kalium) dalam darah atau produksi urine (Anugroho, 2013).
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih),
glomerulonefritis (penyakit peradangan). Pielonefritis adalah proses
infeksi peradangan yang biasanya mulai di renal pelvis, saluran ginjal
yang menghubungkan ke saluran kencing (ureter) dan parencyma ginjal
atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis disebabkan oleh salah satu dari
banyak penyakit yang merusak baik glomerulus maupun tubulus. Pada
tahap penyakit berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan ginjal
sangat berkurang (Prince, 2006).
2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis. Disebabkan karena
terjadinya kerusakan vaskulararisasi di ginjal oleh adanya peningkatan
tekanan darah akut dan kronik (Prince, 2006).
3. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif. Disebabkan oleh
kompleks imun dalam sirkulasi yang ada dalam membran basalis
glomerulus dan menimbulkan kerusakan (Prince, 2006).
4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista
multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat laun akan mengganggu
dalam menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan,
semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal
sehingga ginjal akan menjadi rusak (Prince, 2006).
5. Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout,
hiperparatiroidisme, amiloidosis. Penyebab terjadinya ini dimana
kondisi genetik yang ditandai dengan adanya kelainan dalam proses
metabolisme dalam tubuhakibat defisiensi hormon dan enzim. Proses
metabolisme ialah proses memecahkan karbohidrat protein, dan lemak
dalam makanan untuk menghasilkan energy (Prince, 2006).
6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal.
Penyebab penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga
penggunaan berbagai prosedur diagnostic (Prince, 2006).
7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher
kandung kemih dan uretra (Prince, 2006).
8. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis merupakan
penyebab gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh
presipitasi berbagai zat terlarut dalam urin pada saluran kemih (Prince,
2006).
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas
dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi
atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockkcroft-Gault untuk menilai GFR (Glomelular
Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test), dapat digunakan dengan
rumus :
Clearance creatinin (ml / menit) : (140-umur) x berat badan (kg)
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil dikalikan dengan 0, 85
1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit
a. Derajat 1 : kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
kurang lebih 90
b. Derajat 2 : kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan 60-89
c. Derajat 3 : kerusakan ginjal dengan GFR menurun sedang 30-59
d. Derajad 4 : kerusakan ginjal dengan GFR menurun berat 15-29
e. Derajad 5 : gagal ginjal dengan GFR kurang dari 15 atau dialisi
(Suwitra K, 2009)
2. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
a. Penyakit pada tranplantasi: Rejeksi kronik, penyakit recurrent
(glomerular), transplant glomerulophaty, keracunan obat
(siklosporin / takrolimus) (Suwitra K, 2009).
b. Penyakit ginjal diabetes: Diabetes tipe 1 dan 2
c. Penyakit ginjal non diabetes: Penyakit kistik (ginjal polikistik),
penyakit tubulointerstitial (batu obstuksi, pielonefritis kronik,
keracunan obat, penyakit glomerular (penyakit autoimun,
neoplasia, infeksi sistematik obat), penyakit vascular (hipertensi)
(Suwitra K, 2009).
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik menurut Nahas & Levin (2010) adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi
perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan
irama jantung dan edema. Kondisi bengkak bisa terjadi pada bagian
pergelangan kaki, tangan, wajah, dan betis. Kondisi ini disebabkan
ketika tubuh tidak bisa mengeluarkan semua cairan yang menumpuk
dalam tubuh, genjala ini juga sering disertai dengan beberapa tanda
seperti rambut yang rontok terus menerus, berat badan yang turun
meskipun terlihat lebih gemuk.
2. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak,
suara krekels
3. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
4. Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),
burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama
ditelapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot
ekstremitas).
5. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh
6. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik glukosa, gangguan
metabolik lemak dan vitamin D.
7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan
natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia,
hipokalsemia.
8. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana
uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.
F. KOMPLIKASI
1. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan drah selama
hemodialisa
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6. Asidosis metabolic
7. Osteodistropi ginjal
8. Sepsis
9. Neuropati perifer
10. Hiperuremia
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiogram (EKG), Perubahan yang terjadi berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
2. Kaji foto toraks dan abdomen, Perubahan yang terjadi berhubungan dengan
retensi cairan.
3. Ultrasonografi Ginjal, Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa,
kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas (Anugroho, 2013).
4. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi, Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif (Anugroho, 2013).
5. Arteriogram Ginjal, Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular (Anugroho, 2013).
6. Ultrasonografi (USG), jika seseorang mulai terserang penyakit ginjal kronis,
akan di dapatkan ginjal yang mengecil dan terdapat proses difus parenkim
ginjal (Anugroho, 2013).
7. Pemeriksaan foto polos abdomen (BNO) dan pielografi intra vena (IVP), guna
melihat ada tidaknya penyumbatan sebagai penyebab penyakit ginjal kronis
(Anugroho, 2013).
8. Pemeriksaan Renogram, untuk menilai sejauh mana fungsi ginjal.
9. Pemeriksaan foto rontgen dada, untuk melihat ada tidaknya penimbunan
cairan di rongga dada atau paru-paru (Anugroho, 2013).
10. Pemeriksaan Laboratorium yang umumnya dianggap menunjang,
kemungkinan adanya suatu Gagal Ginjal Kronik :
a. Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia.
b. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang rendah.
c. Ureum dan kreatinin : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin lebih kurang 20 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh
karena perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan
steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang : Ureum
lebih kecil dari Kreatinin, pada diet rendah protein, dan Tes Klirens
Kreatinin yang menurun.
d. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
e. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
f. Hipokalsemia dan Hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis
1,24 (OH)2 vit D pada GGK.
g. Fosfatase lindi meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
Isoenzim fosfatase lindi tulang.
h. Hipoalbuminemis dan Hipokolesterolemia; umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
i. Peninggian Gula Darah , akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan ferifer)
j. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan,
peninggian hiormon inslin, hormon somatotropik dan menurunnya
lipoprotein lipase.
k. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang
menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-asam organik pada gagal ginjal
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
a) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus
keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi
natriumurin, volume darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan
pemberian inotropik dan dopamine (Anugroho, 2013).
b) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah
kandung kemih penuh, ada pembesaan prostat, gangguan miksi atau nyeri
pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya
obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan
pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal (Anugroho, 2013).
c) Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin,
dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi (Anugroho,
2013).
2. Penatalaksanaan gagal ginjal.
a) Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan
natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar
kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang
dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi
(Anugroho, 2013).
b) Terapi nutrisi pada penderita gagal ginjal dapat digunakan sebagai terapi
pendamping (komplementer ) utamadengan tujuan mengatasi racun tubuh,
mencegah terjadinya infeksi dan peradangan, dan memperbaiki jaringan
ginjal yang rusak. Caranya adalah diet ketat rendah protein dengan kalori
yang cukup untuk mencegah infeksi atau berkelanjutannya kerusakan
ginjal. Kalori yang cukup agar tercapai asupan energi yang cukup untuk
mendukung kegiatan sehari– hari, dan berat badan normal tetap
terjaga (Anugroho, 2013).
c) Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi
saluran napas dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan
diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung
kemih dapat disingkirkan (Anugroho, 2013).
d) Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa
untuk adanya perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula
dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan
hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan
pada pasien sebagai profilaksis (Anugroho, 2013).
e) Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi,
hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi
30-40 mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis
peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis
intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan
sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan
dialisis peritoneal/hemofiltrasi (Anugroho, 2013).
3. HEMODIALISA
A. PENGERTIAN
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir
gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis
waktu singkat (DR. Nursalam M. Nurs, 2006).
Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti
ureum dan zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat
dializer yang berisi membrane yang selektif-permeabel dimana melalui
membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak dikehendaki terjadi.
Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa bentuk
keracunan.(Christin Brooker, 2001).
B. PRINSIP KERJA / MEKANISME HEMODIALISIS
Mekanisme pemisahan zat – zat terlarut pada hemodialisis terjadi
secara difusi dan ultrafiltrasi.

a. Secara difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat
terlarut. Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah
kedalam kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut
dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya.
Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi
kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama
dikedua kompartemen (dari yang konsentrasi tinggi kekonsentrasi
rendah)
b. Secara ultrafiltrasi
Pemisahan cairan dialisis dan darah dilakukan dengan prinsip
perbedaan tekanan. Tiga tipe dari tekanan yng dapat terjadi pada
membrane adalah:
1. Tekanan positif
Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi
akibat cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi
oleh tekanan dialiser dan resistensi vena terhadap darah yang
mengalir balik kefistula. Tekanan positif “mendorong“ cairan
menyeberangi membrane.
2. Tekanan negative
Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane. Tekanan
negative “menarik “ cairan keluar dari darah.
3. Tekanan Osmotik
Tekanan Osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan dalam
larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam
larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut tinggi akan
menarik cairan dari larutan lain yang konsentrasinya lebih rendah
sehingga menyebabkan membrane permiabel terhadap air (dari
konsentrasi rendah kekonsentrasi tinggi). Dimisalkan ada 2 larutan
“A” dan “B” dipisahkan oleh membran semipermiabel, bila larutan
“B” mengandung lebih banyak jumlah partikel dibanding “A” maka
konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding konsentrasi
larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke “B”
melalui membran dan sekaligus akan membawa zat -zat terlarut
didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membran,
akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.
c. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan
mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan
tersebut
C. TUJUAN HEMODILISA
Tujuan hemodialisis adalah untuk menurunkan kadar toksin uremik (dialisis),
menurunkan kelebihan air (ultrafiltrasi), menormalkan elektrolit dan asam basa
(dialisis dan mengatur dialisat).
Indikasi dan kontra indikasi hemodialisa
a) Indikasi :
1) Indikasi dialisis akut
a. KK < 25 ml/min (tidak tergantung kliren):
1. uremia
2. Overload cairan progresif
3. Hiperkalemia atau asidosis metabolik tak terkontrol
b. KK <15 ml/min dan atau BUN >100 mg/dl
2) Indikasi dialisis kronik
1. Pada penyakit ginjal kronik, dialisis dilakukan elektif
2. Kliren kreatinin < 10 ml/menit pada non DM
3. Kliren kreatinin <15 ml/menit apabila nefropati diabetik

b) Kontraindikasi :
Kontraindikasi untuk dialisa menurut PERNEFRI (2003: 290), antara
lain:
1) Tidak mungkin didapatkan akses vaskular pada hemodialisa atau terdapat
gangguan di rongga peritoneum pada CAPD ( Contious Ambulatory
peritoneal Dialysis).
2) Dialisa tidak dapat dilakukan pada keadaan :
a) Akses vaskular sulit.
b) Instabilitas hemodinamik.
c) Koagulopati.
d) Penyakit Alzheier.
e) Dementia multi infark.
f) Sindrom hepatorenal.
g) Sirosis hati berlanjut dengan enselopati.
D. PROSES HEMODIALISA
a) Persiapan
1) Nyalakan mesin dan lakukan Rinse
2) Water rinse setiap selesai satu treatment
3) Desinfectant rinse setiap selesai semua treatment
b) Pasien :
(1) Prescribe/program dokter
(2) Ukur BB,TB,TD
(3) Inform concent/SP
(4) Status pasien
(5) Pasien sesak : ½ duduk, oksigen
(6) Pasien sering hipotensi : flat
c) Mesin
1) Listrik
2) Air water treatment (RO)
3) Dialisat
4) Dialyzer
5) AV blood line
6) AV fistula
7) Lidocain
8) NS 1 L
9) Infus set, spuit 1 cc,spuit 5 cc
10) Heparin
11) Duk
12) Kassa steril
13) Kapas alkohol
14) Desinfektan : alkohol,bethadine
15) Handschoen
16) Plester
17) Wadah penampnung cairan
E. Priming
1. Mengisi sirkulasi ekstrakorporeal dengan NS, membuang udara,
membasahi, membilas
2. Peralatan : dialyzer,AV blood line,infus set,NS 1 L.heparin,spuit 1
cc,wadah penampung cairan
3. Tempatkan dialyzer pd holder : inlet (merah) dibawah, outlet (biru) diatas
4. Pasang arterial blood line (ABL) pd segmen blood pump, tutup

5. Pasang venous blood line (VBL) dan buble trap dgn posisi vertikal

6. Hubungkan ujung ABL dan VBL dgn dialyzer, sesuai warna

7. Siapkan NS 1 L + heparin 2000 iu. Hubungkan melalui infus set ke ujung


ABL. Pastikan udara kosong di infus set

8. Tempatkan ujung VBL ke wadah penampung.Hindari kontaminasi dengan


wadah penampung

9. Buka semua klem,termasuk klem infus set.

F. Tes udara
1. Klem infus set
2. Hubungkan selang venous pressure (VP). Buka klem ABL
3. Jalankan blood pump sampai venous pressure 300 mmHg (terlihat di
monitor)
4. Matikan blood pump,klem ABL, observasi VP
5. Penurunan drastis menandakan sambungan bocor
a. Bila sambungan baik,VP turun dalam waktu 30 detik menandakan
kebocoran dialyzer. Ganti
G. Punksi dengan kanula
1. Torniket,desinfeksi,anestesi lokal
2. Outlet dipunksi lebih dulu, lalu inlet.Ambil sample darah pada outlet

3. Jarak ujung jarum outlet dengan dengan ujung jarum inlet minimal 5
cm,jarak antar lokasi tusukan min 2 cm

4. Arah jarum outlet berlawanan arah aliran darah,dan inlet searah aliran
darah

5. Bila blood flow kurang 100 cc/m, cari lokasi lain

H. Menghubungkan sirkulasi ekstrakorporeal ke pasien

1. Ujung ABL didesinfektan lalu dihubungkan dengan kanula arteri (inlet)


2. Tempatkan ujung VBL ke dalam gelas pengukur. Jangan sampai
terkontaminasi

3. Buka klem AVBL dan kanula arteri. Klem infus set tertutup. Jalankan blood
pump dgn QB 100 ml/menit.

4. Biarkan darah mengisi sirkulasi. Cairan priming yang keluar ditampung di


gelas pengukur . Bila cairan di buble trap VBL berwarna merah muda
blood pump dimatikan, VBL diklem.

5. Ujung VBL didesinfektan, dihubungkan dengan kanula vena (outlet). Klem


VBL dan kanula vena dibuka

6. Blood pump diaktifkan dengan QB 150 ml/m. Bila dalam lima menit
pasien tidak ada gangguan (misal hipotensi), naikkan QB sesuai program
7. Fiksasi kanula arteri dan vena serta AVBL agar tidak terganggu oleh
pergerakan pasien

8. Aktifkan pompa heparin, hubungkan selang venous dan arterial pressure ke


tempatnya

9. Hidupkan blood/air detektor

10. Pada awal pengisian sirkulasi dengan darah, posisi dialyzer : inlet (biru)
diatas, outlet (merah) dibawah, agar udara di dialyzer keluar. Setelah bebas
udara, posisi dikembalikan kesebaliknya.

11. Sebelum menghubungkan VBL dengan kanula vena, pastikan tidak ada
udara di kedua sisi

12. Buble trap dipertahankan ¾ bagian

13. Time of dialysis dihitung saat eksekusi UF-dialysis pada QB sesuai


program

I. Menjalankan program HD
1. Set program HD sesuai preskripsi dokter :
a. lama HD
b. QB (blood flow)
c. QD (dialysate flow)
d. jenis dialisat
e. temperature dialisat
f. konduktivitas dialisat
g. profile konduktivitas
h. ultrafiltrasi (UF) goal
i. UF rate
j. UF profile
k. dosis heparin
l. obat-obat/tansfusi yang dimasukkan durante HD
m.pemeriksaan laboratorium pre dan post HD

J. Observasi pasien

1. Tanda tanda vital

2. Fisik

3. Perdarahan
4. Sirkulasi

5. Posisi dan aktivitas

6. Keluhan dan komplikasi


K. Mengakhiri HD
Perlengkapan :

1. Kassa, alkohol

2. Band aid, plester


3. Verband gulung

4. Sarung tangan

5. Deeper

6. Bengkok

L. Komplikasi Hemodialisa
1. Hipotensi terjadi ketika cairan dikeluarkan
2. Emboli udara (komplikasi jarang) jika udara memasuki vaskular pasien
3. Nyeri dada akibat penurunan pCO2 bersamaan dgn terjadinya sirkulasi
darah diluar tubuh
4. Pruritus dapat terjadi ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit
5. Ggn keseimbangan dialisis tjd akibat perpindahan cairan serebral dan
munculnya sbg serangan kejang
6. Kram otot dan nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel
7. Mual dan muntah (Smeltzer, 2001:1401).

Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian focus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita gagal
ginjal kronik menurut Doeges (1999), dan Smeltzer dan Bare (2001)
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda,
dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
c. Riwayat penyakit
1) Sekarang: Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
2) Dahulu: Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic
Hyperplasia, prostatektomi.
3) Keluarga: Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Tanda vital : Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
e. Body Systems :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala : nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa
sputum, kental dan banyak,
Tanda ; takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan
/ tanpa sputum.
2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau
angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda : Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki,
telapak tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik,
friction rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan
perdarahan.
3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran : Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B.4 : Bladder)
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan
pekat, tidak dapat kencing.
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria
atau anuria.
5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan
Diare
6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat
malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda: Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada
kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi
keterbatasan gerak sendi.
f. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjal kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya
penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolisme : Anoreksi, mual, muntah dan rasa pahit
pada rongga mulut, intake minum yang kurang. dan mudah lelah.
Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi
dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
Gejala ; Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat
badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut
(amonia) Penggunaan diuretik. Tanda : Gangguan status mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
3) Pola Eliminasi
Eliminasi uri : Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing. Gejala : Penurunan frekuensi
urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare
atau konstipasi. Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat,
berawan) oliguria atau anuria. Eliminasi alvi : Diare.
4) Pola tidur dan Istirahat : Gelisah, cemas, gangguan tidur.
5) Pola Aktivitas dan latihan : Klien mudah mengalami kelelahan dan
lemas menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-
hari secara maksimal. Gejala : kelelahan ektremitas, kelemahan,
malaise. Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang
gerak.
6) Pola hubungan dan peran.
Gejala : kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran).
7) Pola sensori dan kognitif.
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati /
mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien
mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami
disorientasi/ tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri.
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan
pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self
esteem).
9) Pola seksual dan reproduksi.
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses
ejakulasi serta orgasme.
Gejala : Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
10) Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping.
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor
stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat
menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang konstruktif / adaptif. Gejala : faktor stress, perasaan tak berdaya,
tak ada harapan, tak ada kekuatan, Tanda : menolak, ansietas, takut,
marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta
gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan
ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien.
g. Pemeriksan fisik :
1) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : beratbadan menurun, lingkar lengan atas
(LILA) menurun.
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah,
disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
5) Kepala
a) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,
edema periorbital.
b) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
c) Hidung : pernapasan cuping hidung
d) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah
serta cegukan, peradangan gusi.
6) Leher : pembesaran vena leher.
7) Dada dab toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal
dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner,
friction rub pericardial.
8) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
9) Genital : atropi testikuler, amenore.
10) Ekstremitas : capitally revil > 3 detik, kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop,
kekuatan otot, Edema pada tungkai, spatisitas otot.
11) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat
atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar
(purpura), edema. Kulit: Sianosis, akaral dingin, turgor kulit menurun.
2. Diangnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan
1) Definisi : peningkatan asupan/ atau retensi cairan
2) Batasan karakteristik
a) Bunyi napas tambahan
b) Gangguan tekanan darah
c) Perubahan status mental
d) Perubahan tekanan arteri pulmonal
e) Gangguan pola napas
f) Ansietas
g) Dispnea
h) Edema
3) Faktor yang berhubungan
a) Kelebihan asupan cairan
b) Kelebihan asupan natrium
4) Kondisi terkait
a) Gangguan mekanisme regulasi
b. Kerusakan integritas kulit
1) Definisi : kerusakan pada epidermis atau dermis
2) Batasan karakteristik
a) Nyeri akut
b) Gangguan integritas kulit
c) Perdarahan
d) Benda asing menusuk permukaan kulit
e) Hematoma
f) Area panas local
g) Kemerahan
3) Faktor yang berhubungan
Eksternal
a) Agen cidera kimiawi
b) Ekskresi
c) Kelembapan
d) Hipertermia
e) Hipotermia
f) Tekanan pada tonjolan tulang
g) Sekresi
Internal
a) Gangguan folume cairan
b) Nutrisi tidak adekuat
c) Faktor psikogenik
4) Kondisi terkait
a) Gangguan metabolisme
b) Gangguan pikmentasi
c) Gangguan sensasi
d) Gangguan turgor kulit
e) Fungsi arteri
f) Perubahan hormonal
g) Imunodefisiensi
h) Gangguan sirkulasi
i) Agen farmaseutika
j) Terapi radiasi
k) Trauma vaskular
c. Intoleransi aktivitas
1) Definisi : ketidak cukupan energi psikologis atau fisiologis untuk
mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang
harus atau yang ingin dilakukan
2) Batasan karakteristik
a) Respon tekanan darah abnormal
b) Respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
c) Perubahan elektrokardiogram EKG
d) Ketidaknyamanan setelah beraktivitas
e) Dispnea setelah beraktivitas
f) Keletihan
g) Kelemahan umum
3) Faktor yang berhubungan
a) Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
b) Imobilitas
c) Tidak pengalaman dengan suatu aktivitas
d) Fisik tidak bugar
e) Gaya hidup kurang gerak
4) Populasi berisiko
a) Riwayat intoleransi aktivitas sebelumnya
5) Kondisi terkait
a) Masalah sirkulasi
b) gangguan pernapasan
(Kamitsuru, 2018)
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Intervensi Keperawatam
Keperawatan NOC NIC

Kelebihan volume Keseimbangan Cairan :


1. Keseimbangan intake dan Manajemen (monitor elektrolit)
cairan berhubungan
output dalam 24 jam (5) 1. Monitor adanya kehilangan
dengan kelebihan
2. Turgor kulit (5) cairan an elektrolit jika
asupan cairan 3. Kelembapan membrane
diperlukan
mukosa (5) 2. Monitor adanya mual
4. Kram otot (5)
5. Pusing (5) ,muntah, dan diare
3. Catat kekuatan otot
4. Catat adanya perubahan
sensasi pada daerah perifer
termasuk kebas dan tremor
Kerusakan Keparahan infeksi Perlindungan infeksi
integritas kulit 1. Ketidakstabilan suhu (5)
1. Monitor hitung wbc
berhubungan 2. Aritmia (5) 2. Hindari kontak dengan hewan
dengan gangguan 3. Kulit kemerahan (5) peliharaan dan penjamu dengan
pigmentasi 4. Kulit bintik-bintik (5) imunitas yang membahayakan
Penyembuhan luka primer 3. Berikan perawatan kulit yang

1. Memperkirakan kondisi kulit tepat untuk area yang teriritasi


4. Periksa kulit dan selaput lendir
(5)
2. Dranase purulen (5) untuk adanya kemerahan,
3. Eritema dikulit sekitar (5) kehangatan ekstrem, dan
4. Peningkatan suhu kulit (5)
drainase.
5. Tingkatkan asupan nutisi yang
cukup
6. Anjurkan iatirahat
7. Anjurkan peningkatan
mobilisasi dan latihan dengan
tepat
Perawatan Kulit : Pengobatan
Topical

1. Jangan menggunakan alas kasur


bertekstur kasar
2. Pakaikan pasien pakaian yang
longgar
3. Sapu kulit dengan bubuk obat,
dengan tepat
4. Mobilisasi pasien setidaknya
setiap 2 jam, menurut jadwal
tertentu
Intoleransi aktivitas Toleransi aktivitas : Terapi aktivitas :
1. Kecepatan berjalan (5) 1. Bantu klien dan keluarga untuk
berhubungan
2. Jarak berjalan( 5)
mengidentifikasi kelemahan
dengan fisik tidak 3. Kekuatan tubuh bagian atas
dalam level aktivitas tertentu
bugar (5)
2. Bantu klien untuk
4. Kekuatan tubuh bagian
mengidentivikasi aktivitas yang
bawah (5)
5. Kemudahan dalam di inginkan
3. Berikan aktivitas motorik untuk
melakukan aktivitas hidup
mengurangi terjadinya kejang
harian (5)
otot
4. Bantu klien dan keluarga
memantau perkembangan klien
terhadap pencapaian tujuan
yang di inginkan
(Moorhead et.al, 2013) & (Bulechek et. al, 2013)
4. Implementasi Keperawatan
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun dan
ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Adapun
tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah sebagai berikut:
Tahap 1: persiapan Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk
mengevaluasi yang di indentifikasi pada tahap perencanaan.
Tahap 2: intervensi Focus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan
dan pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional. Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan :
independen,dependen,dan interdependen.
Tahap 3: dokumentasi Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh
pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses
keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Hidayat, (2002) Evaluasi adalah fase akhir dari proses keperawatan.
Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah
direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan
kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan, disamping itu evaluasi
juga digunakan sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu
yang memberikan tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian. Terdapat
2 tipe dokumentasi evaluasi yaitu
Evaluasi formatif yang menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat
memberikan intervensi dengan respon segera dan evaluai sumatif yang
merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada waktu
tertentu.
Evaluasi sumatif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP,
sebagai berikut :
S: Respon Subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
O: Respon objektifklien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
A: Analisa ulang atas subjektif dan objektifuntuk menyimpukan apakah masalah
masih tetap atau muncul. Masalah baru ataudata yang kontradiksi dengan
masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkanhasil analisa pada respon klien

DAFTAR PUSTAKA

Anugroho, M. (2013). 5 Menit Memahami 55 Problematika Kesehatan (desy wee).


Banguntuoan jogjakarta: D’ Medika (Anggota IKAPI).

Bulechek, et. al. (2013) Nursing Interventions Clasification (NIC) Edisi bahasa
indonesia edisi 5. jakarta: elsevierglobal rights UNITED KINGDOM.
Doenges. (2008). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Penerbit buku
Kedokteran EGC

Kamitsuru, H. (2018) NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2018-2020. Monica Est. Edited by Wuri Praptiani. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Nahas & Levin. (2010). Chonic Kidney Disease and Management. USE: Universyty

Prince, (2006), Patofisiologi Volume 2 : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Smeltzer, (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunnar And Suddarth
Edisi 8 Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Suwitra K, (2009). Penyakit Ginjal Kronik : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sue moorhead, et.al. (2013). Nursing Outcome Clasification (NOC) Edisi bahasa
indonesia edisi 5. jakarta: elsevierglobal rights UNITED KINGDOM.

Terry & Aurora, (2013). Keperawatan Kritis. Yogjakarta : Rapha Publishing

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PADA PASIEN NY. … DENGAN CKD (CHRONIC KIDNEY DISASE)
DI RUANG HEMODIALISA RSUD KANJURUAN
KABUPATEN MALANG
DEWI ALFIATUS SA’ADAH

NIM 193161006

STIKes WIDYA CIPTA HUSADA MALANG

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

OKTOBER 2019

Anda mungkin juga menyukai