BAB II
KAJIAN TEORI
2. 1. Perkembangan Kota
Kota dalam perkembangannya mendapat banyak pengaruh. Konsentrasi penduduk
yang tinggal dalam suatu area perkotaan, yang ditunjang oleh berbagai kegiatan dan
menawarkan berbagai kesempatan memicu urbanisasi. Kota memiliki berbagai arti dan
klasifikasi yang mempengaruhi perkembangan kota itu sendiri. Bukan hanya peningkatan
kualitas kehidupan yang ditimbulkan oleh adanya proses perkembangan kota, tetapi
seringkali dampak negatif juga muncul akibat peningkatan kegiatan dan pertumbuhan
kota.
2. 1. 1. Definisi Kota
Menurut Plato seperti dikutip London, kota merupakan sebuah
pencerminan dari kehidupan dalam ruang jagat yang berdasarkan pada
hubungan manusia dengan sesamanya (London, 2000). Lebih jauh lagi, ia juga
mendefinisikan kota sebagai sebuah bentuk organisasi sosial dan politis yang
memudahkan warganya mengembangkan potensi mereka dan hidup bersama
sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kebenaran (London, 2000). Bentukan kota
berasal dari sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat dan berdiam
berdasarkan suatu tujuan (Wikipedia, 2007). Kota adalah sebuah tempat dimana
orang-orang didalamnya mengidentifikasi diri mereka dengan lokasi tersebut.
Sedangkan Arthur B. Gallion dalam Urban Pattern melihat kota dalam
unit yang lebih detil. “The confideration or union of neighbourhood, clans
resorting to a center used as a common meeting place for workshop, protection,
and the like; hence, the political or sovereign body formed by such a
community” (Gallion, 1992). Terlihat bahwa kota memiliki keragaman aktifitas
dan sarana kegiatan yang ditentukan oleh komunitasnya. Beberapa ahli
mengatakan bahwa kota tidak akan terlepas dari manusia yang berdiam dan
melakukan kegiatan di wilayah itu.
Melihat beberapa pemahaman diatas, saya menyimpulkan bahwa kota
merupakan suatu wadah yang memiliki keragaman guna lahan dengan
keragaman kegiatan, gaya hidup dan interaksi. Kota diharapkan mampu
kebutuhan untuk menjalin interaksi sosial juga semakin tidak terpenuhi. Hal ini
mengakibatkan tingginya tingkat stress pada masyarakat setempat akibat
kejenuhan pada masyarakat. Dari sini dapat terlihat bagaimana pentingnya
keberadaan tempat-tempat dimana sesama manusia dapat menjalin informal
social interactionst dan melepaskan diri sejenak dari rutinitas kantor maupun
rumah (Oldenburg, 1999).
Dalam bukunya, The Great Good Place, Ray Oldenburg (1999)
menggambarkan A generic designation for a great variety of public places that
host the regular, voluntary, informal and happily anticipated gatherings of
individuals beyond the realms of home and work. Menurut Oldenburg ada tiga
setting kehidupan yang harus ada untuk memenuhi kebutuhan manusia akan
place, yaitu home sebagai first place, tempat bekerja sebagai second place dan
tempat dimana orang dapat rutin berkunjung untuk berkumpul dengan teman,
tetangga, sebagai third place.
satu elemen fisik dua dimensi yang mempengaruhi pembentukan ruang tiga
dimensi. Menurut Gallion (1992) guna lahan memiliki peran yang penting
karena perencanaan guna lahan merupakan langkah untuk mewujudkan
komunitas fisik, sosial dan ekonomi yang baik.
Pada awalnya, terdapat lima klasifikasi peruntukkan lahan perkotaan,
antara lain ruang terbuka, pertanian, perumahan, perdagangan dan industri.
Tetapi Stuart Chapin (1985) mempelajari kembali klasifikasi tersebut dan
melihat keterbatasan perluasan batas kawasan kota yang akan terjadi, kemudian
ia mengungkapkan bahwa klasifikasi peruntukan guna lahan perkotaan hanya
berupa perumahan, perdagangan dan industri. Tiga klasifikasi tersebut harus
memenuhi kelengkapan sarana dan prasarana, termasuk jalan, ruang terbuka dan
fasilitas penunjang.
Di Indonesia telah disusun rencana peruntukan terkait dengan kegiatan
fungsional, dengan kebijakan dan pola pengembangan yang berbeda antara satu
kawasan peruntukan tertentu dengan kawasan peruntukan lainnya. Klasifikasi
peruntukan disusun sebagai berikut: (Pedoman Teknis Intensitas Bangunan
Gedung, 2006),
Wisma, penggunaan utama dipergunakan sebagai bangunan perumahan atau
tempat hunian, termasuk ruang terbuka dan fasilitas penunjangnya.
Karya, penggunaan utama dipergunakan sebagai tempat bekerja atau
berusaha, baik yang bersifat pelayanan, perdagangan, jasa, industri atau
pergudangan.
Marga, penggunaan utama dipergunakan sebagai jaringan prasarana kota,
baik yang berada diatas atau dibawah tanah maupun di udara, perairan atau
sungai termasuk bangunan pelengkap.
Suka, dipergunakan sebagai sarana utama kota termasuk bangunan
pelengkap, yang dirinci menjadi fasilitas parkir, terminal, pendidikan, sosial
ibadah, sosial kesehatan, pelayanan umum, rekreasi olah raga.
Penyempurna, dipergunakan sebagai ruang terbuka, lapangan dan
penyempurnaan fungsi kota termasuk yang menampung segala kegiatan
yang tidak termasuk pada tempat lingkungan pokok lainnya yang dirinci
menjadi penyempurna fasilitas umum,
2. 2. Kawasan Hunian
Sebelum manusia memiliki tempat tinggal yang tetap, kehidupan manusia selalu
berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan mendiami gua-gua
sebagai tempat perlindungan dari gangguan cuaca maupun binatang buas. Setelah
kehidupan mereka semakin berkembang dan maju, maka mereka mulai membuat suatu
tempat tinggal yang lebih baik dan permanen. Dengan semakin berkembangnya
peradaban manusia, maka manusia mulai memecahkan masalah perumahan akibat laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terbatasnya lahan untuk permukiman, terutama
di kota-kota besar (Chiara, 1984).
Kawasan hunian atau perumahan merupakan sekelompok rumah yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan (SNI-Menpera, 2004). Pada pembahasan sebelumnya
telah diungkapkan bahwa hunian merupakan salah satu peruntukan lahan perkotaan selain
perdagangan dan industri.
Perumahan merupakan sekelompok rumah. Pengertian rumah berdasarkan UU
No. 4 tahun 1992 merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga di lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur
(UU-Ciptakarya, 1992). Jika dikaitkan dengan kegiatan yang berlangsung didalamnya,
rumah dapat disetarakan dengan istilah-istilah dwelling, residential, dan neighborhood.
Telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa di Indonesia telah terdapat
aturan mengenai klasifikasi peruntukan. Klasifikasi yang ada pada lingkungan hunian
(wisma) yaitu : Wisma Kecil (Wkc), Wisma Sedang (Wsd), Wisma Besar (Wbs), Wisma
Susun (Wss), Wisma Kantor (Wkt), Wisma Perdagangan (Wdg), Wisma Industri Kecil
(Wik), dan Wisma Taman (Wtn) Masing-masing klasifikasi memiliki batasan kegiatan
tambahan dan persyaratan ruang, antara lain (Pedoman Teknis Intensitas Bangunan,
2006) :
2 - 10 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
2 - 11 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
2 - 12 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
Kriteria lokasi,
Kriteria pencapaian dan kemudahan transportasi,
Kriteria kenyamanan dan kesehatan,
Kelengkapan fasilitas, antara lain rekreasi, pertokoan atau komersial,
sekolah, perpustakaan dan fasilitas publik lainnya.
Sedangkan Standar Nasional Indonesia yang disusun oleh Kementerian
Perumahan Rakyat mensyaratkan, antara lain: Kriteria keamanan, kesehatan,
kenyamanan, keserasian, fleksibilitas dan terjangkau dari sarana umum
(keterangan rinci, lihat lampiran).
Menurut Rob Krier (1979) ruang publik yang berada di pusat hunian
umumnya tidak akan berkembang, baik dalam hal penggunaan, pemeliharaan,
maupun maknanya. Hal ini berbeda dengan ruang publik yang ditempatkan pada
jalan-jalan utama (arterial roads) yang biasanya menghubungkan satu
lingkungan hunian dengan lingkungan hunian lainnya. Dapat disimpulkan
bahwa penempatan sarana penunjang di jalan utama lingkungan hunian,
cenderung lebih mudah untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan
2 - 13 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
2 - 14 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
3) Parkir.
Dalam Land Development (2007) parkir yang ada di lingkungan hunian
hanya diperuntukkan bagi penghuni dan tamu. Biasanya parkir pada
lingkungan hunian sudah terdapat pada masing-masing unit hunian, tetapi
berdasarkan Residential Parking Requirement pada Land Development
Handbook, di kawasan hunian masih diperkenankan adanya on street
parking pada salah satu sisi jalannya.
4) Streetscape.
Streetscape pada lingkungan hunian terkait erat dengan skala ruang
lingkungan hunian dan kegiatan yang berlangsung. Skala dari jalan pada
lingkungan hunian haruslah konsisten dengan kepadatan dan tipe dari
perumahan. Andrés Duany dan Elizabeth Plater-Zyberk (2006) dalam New
Urbanism menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen streetscape pada
lingkungan hunian yang dapat menjadi pembentuk ruang kota, yaitu unsur
vegetasi di sepanjang sidewalks, frontage atau penggunaan tampak depan
bangunan yang baik, penggunaan teras dan kanopi pada entrance,
penggunaan curbs sebagai elemen penutup utilitas dan untuk mendukung
estetika streetscape kawasan hunian dan elemen penerangan dan informasi
untuk mendukung keamanan lingkungan hunian.
2 - 15 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
2. 3. Kawasan Komersial
Salah satu bentuk kegiatan di kota adalah kegiatan komersial. Kata komersial
berasal dari kata sifat, commercial yang artinya :
…Of Pertaining to, or engaged in commerce, Having profit as a major aim.
Sedangkan kata benda commerce artinya, The buying and selling of goods;trade dan
Social intercourse (Oxford Dictionary, 2006).
Dari pernyataan diatas, fungsi komersial dapat dilihat sebagai kegiatan atau
pertemuan sosial yang berhubungan dengan pembelian dan penjualan barang atau disebut
juga perdagangan dengan tujuan utamanya adalah mencari keuntungan. Awal munculnya
sebuah kompleks perbelanjaan umumnya berasal dari satu pola yang sama yaitu saat
suatu daerah permukiman tumbuh, lalu timbul kegiatan usaha eceran, toko dan kemudian
berkembang.
Menurut International Council of Shopping Centre (2004) pusat perbelanjaan
merupakan kompleks pertokoan yang dikunjungi untuk membeli atau melihat dan
membandingkan barang-barang dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sosial masyarakat
serta memberikan kenyamanan dan keamanan berbelanja bagi pengunjung. Sedangkan
Nadine Beddington (1982) menyatakan suatu tempat perbelanjaan merupakan kelompok
pertokoan terencana yang dikelola oleh suatu manajemen pusat, yang menyewakan unit-
unit kepada pedagang. Pengawasannya dilakukan oleh manajer yang sepenuhnya
bertanggung jawab terhadap kegiatan ekonomi yang berlangsung di pusat perbelanjaan.
Dilihat dari luas areal pelayanan berdasarkan U.L.I. standar (Shopping Centers,
Planning, Development & Administration), terdapat beberapa jenis tempat perbelanjaan
yaitu :
Regional Shopping Centers, dengan luas areal antara 27.870 – 92.900 m2, terdiri dari 2
atau lebih yang seukuran dengan department store. Skala pelayanan antara 150.000 –
400.000 penduduk, terletak pada lokasi yang strategis, tergabung dengan lokasi
perkantoran, rekreasi dan seni.
Community Shopping Centre, dengan luas areal antara 9.290 – 23.225 m2, terdiri atas
junior department store, supermarket dengan jangkauan pelayanan antara 40.000-
150.000 penduduk. Letaknya mendekati pusat-pusat kota (wilayah).
Neigbourhood Shopping Centre, dengan luas areal antara 2.720 – 9.290 m2. Jangkauan
pelayanan antara 5.000-40.000 penduduk. Unit terbesar berbentuk supermarket, berada
pada suatu lingkungan tertentu.
2 - 16 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
2 - 17 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
2 - 18 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
pedestrian, dapat berupa kantilever dari dinding bangunan atau bertumpu pada kolom.
Jika tinggi kanopi lebih dari 3,6 m, maka dinding di bawahnya biasanya digunakan
untuk penempatan label toko-toko.
3. Landscaping
Landscaping merupakan bagian dari desain sebuah shopping street. Manfaat
landscaping antara lain :
a. Sebagai buffer,
b. Sebagai pembatas antara pedestrian dengan jalan kendaraan ataupun area parkir
4. Signage
Pengaturan signage sebagai penanda shopping center secara tipikal dipengaruhi oleh
peraturan pemerintah setempat dalam rangka mengatur bisnis komersial di daerah
tersebut.
Semua elemen signage (logo, bentuk huruf khusus) harus dikoordinasikan dengan
desain eksterior. Umumnya signage yang singkat dan jelas akan dengan segera
diterima oleh publik daripada sebuah tulisan yang panjang lebar.
5. Penerangan ( untuk malam hari )
Penerangan eksterior terutama pada malam hari penting untuk keselamatan pengguna
dan kepentingan fasilitas parkir.
6. Fasilitas Servis
Area servis harus tertutup, atau dijauhkan dari pandangan pengunjung. Pada shopping
center tipe neighborhood center, jalur-jalur kendaraan barang dapat dibuat bersilang
(crossing) dengan jalur pejalan kaki, asalkan pengiriman dilakukan pada jam-jam
tertentu (waktu-waktu sepi pengunjung ).
7. Koridor Jalan
Ruang jalan pada fungsi komersial dinilai memiliki keterkaitan dengan ruang kota,
antara lain, jalan, jalur pedestrian, area setback, ruang bangunan (Rubberstein, 1992).
Jalan, dipahami sebagai jalur pergerakan yang menghubungkan berbagai simpul
kegiatan. Jalur pergerakan ini digunakan oleh kendaraan dan orang. Sedangkan jalur
pedestrian merupakan fasilitas utama pejalan kaki, dengan bentuk tepi jalan besar
yang sedikit lebih tinggi dari pada jalan kendaraan, Jalur pedestrian dapat dibagi
dalam tiga zona yaitu (Craig and Walter, 2000) :
2 - 19 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
2. 4. Ruang Kota
Perkembangan dan pertumbuhan kota telah mendorong munculnya pemahaman
tentang ruang kota. Beberapa pakar urban design memiliki pemahaman yang berbeda
satu sama lain mengenai definisi ruang kota. Paul D. Spreiregen (1965) melihat ruang
kota sebagai formal space, yaitu ruang yang dibatasi oleh elemen buatan. Ruang kota
yang didominasi oleh unsur-unsur alam seperti air dan pepohonan didefinisikan sebagai
informal space, ruang alami atau ruang terbuka. Sedangkan Rob Krier (1979)
mengklasifikasikan ruang kota berdasarkan bentuk dasar yang mempresentasikan sebuah
ruang kota, dengan berbagai kemungkinan variasi dan kombinasi. Kualitas estetik dari
setiap elemen ruang kota dapat dilihat dari detail strukturalnya. Kualitas ini juga
digunakan ketika membahas hal-hal fisik mengenai keruangan. Menurutnya dua elemen
dasar yang membentuk sebuah ruang kota yaitu street dan square.
Dari dua pemahaman urban space diatas, terlihat bahwa ruang kota tersusun atas
elemen yang membatasi atau membentuknya. Hal tersebut diperkuat kembali dengan
pandangan Spiro Kostof (1991) yaitu ruang kota terjadi melalui pembentukan elemen
fisik dalam prosesnya ketika berkembang menjadi kota. Elemen yang dimaksud adalah
jalan, ruang public dan urban divisions. Carmona (2003) melihat pentingnya aktifitas,
bentuk (wujud fisik) dan citra untuk membuat suatu ruang kota menjadi sebuah tempat
atau place. Tempat tersebut dapat meningkat menjadi tempat dengan sense of place bila
wujud fisiknya mampu berperan sebagai setting fisik kegiatan dan citra tempatnya
mampu memberi makna yang kuat (lihat gambar 2.6).
2 - 20 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
Dalam ruang kota, jalan sering kali digunakan sebagai elemen pembentuk
kualitas ruang kota. Jalan bukan hanya berperan secara fisik, tetapi juga sebagai
pembentuk ruang interaksi sosial masyarakat urban. Allan Jacobs (1993) menyatakan
bahwa jalan yang masuk dalam klasifikasi “great streets”, biasanya selalu memiliki
kualitas ruang yang baik dan dapat mengundang pengguna untuk beraktifitas dan
berinteraksi. Dalam merencanakan perancangan jalan yang berkualitas, harus
diperhatikan kriteria sosial ekonomi yang ada serta mempertimbangkan aksesibilitas,
kebersamaan, publicness, livability, keamanan, kenyamanan, partisipasi dan tanggung
jawab.
Hal itu diimplementasikan dalam bentuk-bentuk antara lain:
Tempat yang nyaman untuk pejalan kaki.
Jalan harus memberikan kesempatan para pejalan kaki untuk bersosialisasi. Jalan
kaki adalah bentuk interaksi dan keterlibatan pengguna secara langsung dengan
lingkungan.
2 - 21 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
Kenyamanan.
Urban street yang baik memberikan perlindungan terhadap cuaca. Iklim yang
berkaitan dengan karakteristik kenyamanan khas suatu kawasan dapat
memberikan nilai positif dan menjadi aspek penting untuk membuat perencanaan
yang baik.
Kejelasan (Definition).
Pada dasarnya jalan dibagi dalam dua bagian: yaitu bagian vertikal, yang
berhubungan dengan ketinggian bangunan, dinding/tembok, dan pohon serta
bagian horizontal, yang berkaitan dengan panjang jalan dan ruang antara
sepanjang jalan tersebut.
Kualitas dari pandangan mata.
Jalan yang baik membutuhkan karakteristik fisik yang membantu mengarahkan
pandangan mata untuk melakukan pengamatan terhadap sesuatu.
Transparansi.
Jalan yang baik mempunyai kualitas transparansi untuk menjangkau hubungan
positif antara jalan dan bangunan.
Komplimentari.
Bangunan yang berada disepanjang jalan dan jalan memiliki hubungan yang
saling melengkapi dan saling memberi pengaruh.
Pemeliharaan.
Pemeliharaan fisik dilakukan dengan menjaga kebersihan dan mengadakan
perawatan berkala.
Mutu dari konstruksi dan perancangan
Kecermatan pelaksanaan dan pemilihan material jalan menentukan mutu
konstruksi dan perancangan jalan.
2 - 22 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009
TESIS – 2009
Teknik Arsitektur - Perancangan Kota
hidup masyarakat yang meningkat akan memicu tumbuhnya kegiatan baru. Dengan
meningkatnya keragaman kegiatan, maka terjadi pula peningkatan ruang kegiatan kota.
Dampak peningkatan ruang/wadah dari kegiatan tersebut, antara lain meluasnya batas
dan wilayah kota, serta meningkatnya intensitas lahan dan perubahan guna lahan. Di
antara ketiganya, perubahan guna lahan merupakan fenomena yang paling sering terjadi.
Di Indonesia, khususnya Jakarta banyak sekali kasus penyalahgunaan dan perubahan tata
guna lahan yang dipicu oleh adanya tren ekonomi.
Terdapat perbedaan dalam pengelompokan guna lahan perkotaan. Negara-negara
barat umumnya menetapkan tiga jenis guna lahan secara makro, yang masing-masing
memiliki batasan dan persyaratan ruang. Indonesia memiliki klasifikasi guna lahan yang
lebih rinci, tetapi tidak terdapat batasan dan persyaratan ruang di dalamnya; sehingga
pada saat terjadi perkembangan kota yang tidak sesuai dengan perencanaan awal, timbul
permasalahan di berbagai aspek termasuk perubahan tata guna lahan. Di beberapa kota
besar di Indonesia, perubahan tata guna lahan sering kali terjadi di lingkungan hunian.
Pada lingkungan hunian, terdapat aturan rinci dan syarat, antara lain kelengkapan
kenyamanan dan keamanan di dalamnya, lokasi, aksesibilitas, dan sebagainya. Tetapi
lokasi dan aksesibilitas yang baik seringkali memicu lingkungan hunian untuk cepat
berubah menjadi non-hunian. Akses yang baik di hunian tersebut umumnya berkembang
menjadi jalur alternatif yang dilalui oleh berbagai sarana transportasi. Hal itu dapat
merubah skala pelayanan dan kelas jalan.
Gejala ini sering terjadi di sepanjang koridor utama perumahan yang memiliki
karakteristik menyerupai koridor komersial; sehingga dengan semakin berkembangnya
bentuk ruang; fungsi hunian akan beralih ke fungsi komersial dan merubah kualitas ruang
kota. Di sisi lain, karena tidak direncanakan sebagai area komersial; lingkungan ini sejak
awal tidak didukung oleh berbagai kelengkapan seperti daya dukung lahan, parkir dan
sebagainya. Persoalan inilah yang akan saya bahas dan teliti dalam tesis ini.
2 - 23 Universitas Indonesia
Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009