Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah awal kemunculan madzhab-adzhab teologi dalam Islam. Awal munculnya teologi Islam tidak
terlepas dari permasalahan politik yang akhirnya terus berkelanjutan kepada permasalahan yang
sesungguhnya yaitu bercorak agama. Sehingga hal ini kemudian menjadi pembicaraan yang pelik dalam
teologi Islam.

Persoalan teologi yang sesungguhnya pada hakekatnya banyak sekali dan ruang pembahasanya cukup
mendasar. Tidak bisa terlepas realitas sejarah awal madzhab-madzhab tersebut. Persoalan-persoalan yang
terjadi dalam lapangan politik yang akhirnya meluas ke permasalahan ajaran dan pemahaman agama
Islam. Sehingga dapat kita ketahui sesungguhnya sebab pertentangan itu adalah karena ingin
memperebutkan kekuasaan politik yang mengakibatkan banyak jatuh korban. Masalah politik sudah
merembet ke permasalahan aqidah atau kepercayaan, sehingga dalam perkemmbangan selanjutnya
memunculkan berbagai paham atau madzhab teologi dalam Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Asy’ariyah?

2. Siapa saja tokoh-tokoh Asy’ariyah?

3. Bagaimana sejarah singkat munculnya aliran Asy’ariyah ?

4. Bagaimana ajaran-ajaran pokok pandangan Asy’ariyah ?

5. Bagaimana perkembangan dan pengaruh aliran Asy’ariah ?

6. Bagaiman aliran-aliran Asy’ariah identik dengan aliran Ahlussunnah Wal Jamaah ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu Asy’ariyah

2. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Asy’ariyah?

3. Untuk mengetahui sejarah singkat munculnya aliran Asy’ariyah

4. Untuk mengetahui ajaran-ajaran pokok pandangan Asy’ariyah

5. Untuk mengetahui perkembangan dan pengaruh aliran Asy’ariah

6. Untuk mengetahui aliran-aliran Asy’ariah identik dengan aliran Ahlussunnah Wal Jamaah?

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Asy’ariyah

Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari (lahir di
Basrah 260 H/873 M dan wafat di Baghdad 324 H/935 M). Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali
Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbai, seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40
tahun, ia menyatakan diri meninggalkan ajaran Mu’tazilah.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa al-Asy’ari meninggalkan al-Mu’tazilah? Ada bermacam-macam
dugaan, namun menurut Prof. Dr. Harun Nasution, sulit menentukan sebab mana yang membuat al-
Asy’ari berpaling dari al-Mu’tazilah, karena para pengarang tidak dapat mengemukakan alasan yang
memuaskan.
Sebab yang dikemukakan adalah karena mimpi. Pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi bertemu
Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa madzhab Ahli Hadislah yang benar dan madzhab al-
Mu’tazilah adalah salah.
Mac Donald, seorang orientalis, berpendapat bahwa membelotnya al-Asy’ari dari paham Mu’tazilah
adalah karena darah Arab padang pasir yang mengair di dalam tubuhnya. Arab padang pasir bersifat
tradisional dan fatalitis, sedangkan kaum Mu’tazilah bersifat rasional dan percaya pada kebebasan dalam
kemauan dan perbuatan.
Munurut Harun Nasution, ada kemungkinan keluarnya al-Asy’ari dari paham Mu’tazilah karena
melihat bahwa teologi ini memang tidak dapat diterima oleh kalangan umum umat Islam yang bersifat
sederhana dalam pemikiran. Hal ini akan menimbulkan pengaruh negatif dalam kalangan umat Islam.
Demi kemaslahatan dia berusaha menyusun teologi baru yang lebih sesuai dengan kondisi dan pemikiran
kalangan umum sebagai pegangan untuk mereka. Juga perlu dicatat bahwa al-Asy’ari meninggalkan
paham Mu’tazilah pada saat golongan ini berada dalam fase kemunduran.
Setelah keluar dari Mu’tazilah, al-Asy’ari meletakkan dasar-dasar bagi suatu mazhab baru dengan
mengambil posisi antara ekstrem rasionalis (Mu’tazilah) yang mengakui keunggulan akal dan menimbang
semua penyataan, kepercayaan dan dogma agama melalui neraca akal dan dan golongan ekstrem tektualis
(hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman harfiyah) . Karena mengambil jalan tengah, sehingga
perumusan dogma Al-Asy’ari pada intinya menyuguhkan suatu usaha untuk membuat sintesa antara
pandangan ortodoks yang waktu itu belum dirumuskan, dengan pandangan Mu’tazilah. Namun,
perumusan teologi al-Asy’ari kadang merupakan reaksi atas Mu’tazilah. Karenanya, hasilnya setengah
sintesa setengah reaksi.
Selanjutnya, paham Asy-ariyah ini dalam sejarah tercatat sebagai satu-satunya paham yang paling
luas menyebar di dunia islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa al-Asy’ari adalah seorang pemikir Islam
klasik yang paling sukses. Adapun kesuksesan dari reformasi al-Asy’ari ini dalam perkembangan
pemikiran Islam sebagai yang terpanjang, bukan saja karena karya-karya intelektual al-Asy’ari, tetapi
juga karena andil dari tokoh-tokoh yang datang sesudahnya, dengan corak pemikiran masing-masing telah
mengembangkan dan memperkaya dukungan bagi paham teologi yang kemudian disebut dengan paham
Asy’ariyah.

2
Di antara pengikut al-Asy’ari yang terkenal dan berjasa dalam mengembangkan ajaran-ajarannya
ialah Abu Bakar al-Baqillani, Imam al-Juawaini, dan Imam al-Ghazali. A-Baqillani dan al-Juawaini tidak
sepenuhnya sepaham dengan al-Asy’ari, terutama dalam soal al-kasb dan dalam pengertian sifat Allah,
sedangkan al-Ghazali dikenal sebagai pewaris setia ajaran al-Asy’ari.

2. Tokoh-tokoh Asy’ariyah

1. Al-Baqillani
Al-Baqillani merupakan tokoh kedua dalam teologi Asy’ariyah setelah al-Asy’ari sendiri. Nama
lengkap al-Baqillani adalah Abu Bakar Muhammad ibn Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim
Abu Bakar al Baqillani. Ia lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun
kelahirannya. Oleh karena itu ia hidup bertepatan dengan masa pemerintahan Adud Daulat al-Buwaihi (w.
372 H), maka diperkirakan ia lahir setelah paroh kedua abad keempat Hijriyah. Meskipun tidak diketahui
dengan pasti tahun kelahirannya, namun pada umumnya para ahli mengatakan bahwa ia wafat di Baghdad
tahun 403 H/1013 M.
Ia mengenal ajaran-ajaran al-Asy’ari melalui dua orang murid al-Asy’ari yaitu Ibnu Mujahid dan
Abu al-Hasan al-Bahilli. Akan tetapi, al-Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran al-Asy’ari.
Dalam beberapa hal pemikiran kalam al-Baqillani tidak sejalan dengan al-Asy’ari.
Di antara pemikiran al-Baqillani yang berbeda dengan al-Asy’ari adalah tentang sifat Allah. Dalam
hal ini al-Baqillani tidak mengikuti al-Asy’ari. Sifat-sifat Tuhan bagi al-Baqillani bukanlah sesuatu yang
berada diluar dzat-Nya atau sesuatu yang menempel pada dzat-Nya. Sifat disamakannya dengan nama,
sehingga tidak membawa pengertian yang merusak keesaan Tuhan.
Menurut al-Baqillani sifat bukanlah hal, melainkan sesuatu yang maujud. Ia menolak mengatakan
sifat Allah adalah hal, jika yang dimaksud hal adalah sesuatu yang berubah-ubah. Tetapi ia setuju
jika hal digunakan untuk menyebut dan menetapkan sifat Allah, seperti pendapat Abu Hasyim, seorang
tokoh Mu’tazilah.

2. Al-Juwaini
Nama lengkap al-Juwaini adalah Abdul Ma’ali Abdul Malik ibn Syaikh Abi Muhammad. Ia
dilahirkan di Juwaini kawasan Naisabur, Persi pada tahun 419 H/1028 M. Ia mendapat gelar “Dhiya’u al-
Din” tetapi lebih dikenal dengan gelarnya “Imam al-Haramain”, Imam dari dua tanah suci (Mekkah dan
Madinah), karena ia menetap disana sambil mengajar. Kemudian atas perintah Perdana Menteri Nizam al-
Muluk di Nizamiyah sampai akhir hayatnya pada tahun 478 H/105 M. Ia adalah guru utama Imam al-
Ghazali yang pertama kali memperkenalkan kepada muridnya itu studi kalam, filsafat, dan logika.
Sama dengan al-Baqillani, al-Al-Juwaini juga tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran yang
ditinggalkan oleh al-Asy’ari. Mengenai antropomorfisme misalnya, ia berpendapat bahwa tangan Tuhan
harus ditakwilkan dengan kekuasan Tuhan, mata Tuhan ditakwilkan dengan penglihatan Tuhan dan wajah
Tuhan diartikan dengan wujud Tuhan. Keadaan Tuhan duduk diatas tahta kerajaan diartikan dengan
Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Allah menjadi dua kategori. Pertama adalah sifat Nafsiyah (sifat
itsbat/positif bagi zat dan selalu ada sepanjang ada zat) sifat ini qidam, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah,
berbeda dengan makhluk dan tidak mempumyai ukuran (imtidad-dimensi). Kedua adalah sifat
Ma’nawiyah (sifat yang timbul/ada karena sesuatu illat yang ada pada dzat), seperti sifat berkuasa.
3. Al-Ghazali

3
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali. Nama al-
Ghazali kadang ditulis dengan al-Gahazzali (dengan dua z). Kata ini berasal dari ghazzal yang artinya
tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya al-Ghazali adalah pemintal benang wol. Sedangkan kata
al-Ghazali (dengan satu z) diambil dari kata ghazalah, nama kampung di mana ia lahir pada tahun 450
H/1059 M. Desa Ghazalah terletak didaerah Thus yang termasuk wilayah Khurasan, Persia.
Pada usia muda al-Ghazali sudah mempelajari fiqih di Thus dan kemudian melanjutkan studinya di
Jurjan di bawah bimbingan Abu Nasr al-Isma’ili. Setelah itu al-Ghazali kembali ke Thus dan kemudian
pergi ke Naisabur.
Waktu di Naisabur, di bawah bimbingan al-Juwaini, al-Ghazali menekuni ilmu fiqh, ushul fiqh,
mantiq dan ilmu kalam hingga al-Juwaini wafat tahun 478 H/1085 M. Setelah imam al-Haramain
meninggal, al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap disana kurang lebih lima tahun. Pada saat itu ia
sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana perdana menteri Nizam al-
Muluk. Melalui pertemuan-pertemuan ilmiah inilah al-Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang
menonjol. Pada tahun 484 H/1091 M ia diangkat sebagai guru besar di Universitas Nizamiyah Baghdad
dalam usia 34 tahun. Disana ia memperdalam pengetahuannya di bidang filsafat. Dua karya yang
ditulisnya pada masa ini adalah Maqasid al-Falasifah (Maksud-maksud para filosof) dan Tahafut al-
Falasifah (Keracuan para Filosof).

3. Sejarah Singkat Munculnya Aliran Asy’ariyah

Tasy Kubra Zadah menerangkan: “ ... dan aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan
usaha Abu al-Hasan al-Asy’ari di sekitar tahun 300 H, ia lahir tahun 260 H, dan menjadi pengikut
Mu’tazilah selama 40 tahun.” Dengan kata lain Asy’ari keluar meninggalkan golongan Mu’tazilah sekitar
tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri,
yakni Asy’ariyah. Sebab Abu Asy’ari meninggalkan pahamnya karena pada suatu malam ia bermimpi
bertemu Rasulullah SAW., mengatakan kepadanya bahwa madzab ahli Haditslah yang benar, dan madzab
Mu’tazilah salah. Sebab lain karena perdebatan al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’i yang dalam
perdebatan tersebut dimenangkan oleh muridnya.

Setelah al-Asy’ari mengasingkan diri di rumahnya selama lima belas hari untuk merenungkan, kemudian
ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basroh bahwa dirinya telah meninggalkan paham
Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya.

4. Ajaran-ajaran Pokok dan Pandangan Asy’ariyah

Pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yang menjadi i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, antara lain:

1. Tuhan Mempunyai Sifat

Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian juga dengan
sifat-sifat lainnya, seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.

2. Al-Qur’an bukanlah Makhluk

4
Sebab, untuk menciptakannya kun ini perlu kun yang lain, demikian seterusnya, sehingga terdapat
rentetan kata kun yang tidak berkesudahan. Ini tidak mungkin, maka Al-Qur’an tidak mungkin diciptakan
(makhluk).

3. Tuhan dapat Dilihat di Akhirat

Dengan alasan, sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang membawa
arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini. Sebab, yang dapat
dilihat tidak mesti membawa arti bersifat diciptakan. Maka, jika Tuhan dapat dilihat, maka tidak mesti
berarti harus bersifat diciptakan.

4. Perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diciptakan sendiri, tetapi diciptakan Tuhan

Al Asy’ari menggunakan istilah kasb untuk perbutan manusia yang diciptakan Tuhan. Untuk
mewujudkan perbuatan yang diciptkan itu, daya yang ada dalam diri manusia tidak mempunyai efek.

5. Tentang Antropomorphisme

Al-Asy’ari menerima apa yang terdapat dalam nash, seperti Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dsb.
Tetapi tidak ditentukan bagaimana (bila, kaifa) , yaitu tidak mempunyai bentuk dan batasan (layukayyaf
wa la yuhad).

6. Keadilan Tuhan

Bagi Al-Asy’ari, Tuhan berkuasa mutlak, dan tidak ada satupun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat
menurut kehendak-Nya, sehingga ajika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam surga bukanlah Ia
bersifat tidak adil, dan jika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam neraka, bukanlah Ia bersifat
zalim. Maka al-Asy’ari tidak setuju dengan ajaran mu’tazilah tentang al-wa’du wal wa’idu.

Menolak posisi menengah (al-manzilat bainal manzilatain). Bagi al-Asy’ari, orang yang berdosa tetap
mukmin, karena imannya masih ada. Dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fasiq. Jika orang yang
berdosa besar tidak mukmin dan tidak kafir, maka didalam dirinya tidak terdapat kufur atau iman. Maka,
ia bukan atheis dan bukan pula monotheis. Ini tidak mungkin. Maka tidak mungkin pula, orang yang
berdosa besar tidak mukmin dan tidak kafir.

5. Perkembangan dan Pengaruh Aliran Asy’ariah

Pemikiran Asl-Asy’ari adalah tali penghubung antara dua aliran dalam pikiran Islam yaitu aliran
Textualis dan aliran baru yaitu rasionalis. Mengadakan perpaduan antara kedua aliran itu, pengaruh aliran
Asy’ariah lebih cepat berkembang, apalagi Al-Asy’ari telah terlatih oleh Mu’tazilah sendiri dan puluhan
tahun bergaul, sehingga tahu benar kelemahan pikiran Mu’tazilah yang tidak/ kurang berpegang pada
hadits.

Menurut Ahmad Amin yang menjadi faktor meluasnya pengaruh Al Asy’ari kedalam masyarakat maupun
di kalangan ulama besar pada waktu itu ialah:

5
1. Masyarakat umum telah bosan dengan banyak masalah-masalah yang diperdebatkan dengan
berlarut-larut (tanpa ada kesudahannya) serta ujian-ujian yang mereka saksikan atau dengan mereka
dengan secara langsung.

2. Argumentasi As-Asy’ari di lengkapi dengan dalil-dalil yangn kuat membuat orang tertarik padanya.

3. Sejak pemerintahan Al-Mutawakil Mu’tazilah tidak lagi sebagai suatu aliran resmi dari negara/
pemerintah.

4. Partisipasi para ulama yang tinggi kedudukannya dalam masyarakat telah terarahkan kepada Asy’ari
dan menjauhkan mereka dari paham Mu’tazilah.

5. Setelah jatuhnya dinasti Buaihi yang menganut Syi’ah, Asy’ariah yang datang sebagai penggantinya
dinasti.

Di samping itu dalam perkembangannya selanjutnya Asy’ari selalu dapat uluran tangan dari penguasa
dalam penyiaran ajarannya. Hal ini dapat di lihat dalam sejarah di antara penguasa yang membantu
perkembangan Asy’ari ialah kerajaan Shalahuddin Al-Ayyubi di Mesir, Muhammad bin Tumart dengan
kerajaan Muwahhidin-nya di Andalusia (Spanyol) dan Afrika Utara Barat, dan Mahmud Ghanawi di India
dan Iran.

Ajaran aliran Asy’ariah sempat dipelajari di perguruyan tinggi Islam yang terkenal seperti Universitas
Nizamiah dan sekolah tinggi Islam di Baghdad, dan masuk ke Indonesia melalui pesantren-pesantren dan
madrasah-madrasah yang hampir tersebar di seluruh tanah air, hingga sekarang pengaruh aliran Asy’ariah
masih kokoh dan kuat dibidang teologi Islam.

6. Aliran-Aliran Asy’ariah Identik dengan Aliran Ahlussunnah Wal Jamaah

Sebutan Ahlussunnah wal Jamaah dalam sejarah timbul sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazilah, dan
terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajarannya.

Kemauan yang keras dari para pemimpin Mu’tazilah untuk menyiarkan ajarannya secara kekerasan
pernah terjadi yaitu suatu peristiwa yang dinamakan “Mihnah” yaitu cara untuk menguji para hakim dan
para pemimpin masyarakat, untuk mengetahui siapa yang mengakui Qur’an qadim berarti musyrik, maka
tidak berhak menjadi hakim atau pemimpin masyarakat; oleh sebab itu harus dipecat atau dihukum.

Keadaan tersebut hingga menimbulkan kekacauan, sehingga pada waktu al-Mutawakkil menjadi
Khalifah, membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai aliran negara tahun 848 M. Sejak itu
turunlah pengaruh Mu’tazilah dan menjadi aliran minoritas.

Selanjutnya Mu’tazilah tidak begitu berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak
percaya pada tradisi Nabi dan sahabat, tetapi karena ragu akan keorisinilan hadits-hadits yang
mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat di pandang sebagai aliran yang tidak
berpegang teguh pada sunnah.

Dengan demikian Mu’tazilah di samping aliran minoritas, juga aliran yang tidak berpegang pada sunnah.
Dari sinilah timbulnya sebutan ahli sunnah wal jamaah, yang merupakan mayoritas umat Islam, sebagai
lawan aliran Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.

6
Maka sunnah dalam sebutan ini berarti hadits, sebagaimana di terangkan Ahmad Amin. Ahli Sunnah wal
Jamaah berlainan dengan Mu’tazilah, karena percaya dan menerima hadits-hadits sahih tanpa memilih.

Sebutan ini yang kelihatan banyak dipakai sesudah timbulnya aliran Asy’ariah dan Maturidi, dua aliran
ini yang menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun, sekitar tahun 300 H. keluar dan membentuk
teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri.

Maka, bagaimanapun yang dimaksud dengan aliran ini Ahli Sunnah Wal Jamaah di lapangan teologi
Islam/Ilmu Kalam adalah aliran Asy’ariah dan Maturidiah.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Madzab Asy’ariah adalah sebuah paham yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Dulunya al-
Asy’ari adalah pengikut madzhab Mu’tazilah, tetapi pada perkembangan selanjutnya ia menolak paham-
paham orang Mu’tazilah dan memisahkan diri dari pemikiran Mu’tazilah. Asy’ari mengambil jalan
tengah antara golongan rasional dan golongan tektualis, dan ternyata jalan yang diambil al-Asy’ari
tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis
akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan
makalah dalam kesimpulan di atas.

8
DAFTAR PUSTAKA

Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2014. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikirannya

Ahlussunah wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhaimin. 1999. Ilmu Kalam Sejarah dan Aliran-aliran. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo.

Munir, Ghazali. 2010. Ilmu Kalam, Semarang: Rasail.

Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta:

UI-Press

Alimpolos.blogspot.co.id/2015/09/aliran-asyariyah-dan-maturidiyah.html?m=1 diakses tanggal 2


November 2017

Nurdin Amin dan Afifi Fauzi Abbas. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2014.
Zuhri, Amat. Warna-Warni Teologi Islam (Ilmu Kalam), Yogyakarta: Gama Media Yogyakarta, 2008.

Anda mungkin juga menyukai