Anda di halaman 1dari 39

SKENARIO

Seorang pasien 45 tahun datang ke rumah sakit karena sesak napas


dirasakan beberapa hari. Keluhan ini sering disertai dengan batuk dengan dahak
berwarna kecokelatan dan mulut berbau. Hasil pemeriksaan tanda vital suhu 38C

KATA KUNCI

1. Pasien 45 tahun
2. Sesak napas beberapa hari
3. Disertai batuk
4. Dahak berwarna kecokelatan dan mulut berbau
5. Tanda vital suhu 38C

PERTANYAAN

JAWABAN

MEKANISME BATUK

Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan


yang ada. Batuk adalah refleks normal yang melindungi tubuh kita. Tentu saja bila
batuk itu berlebihan, ia akan terasa amat mengganggu. Refleks batuk terdiri dari 5
komponen utama; yaitu reseptor batuk, serabut saraf aferen, pusat batuk, susunan
saraf eferen dan efektor.Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk.
Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam
maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain
terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin
berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor
didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan
juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial dan
diafragma. Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus Vagus, yang
mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga
rangsang dari telinga melalui cabang Arnold dari n. Vagus. Nervus trigeminus
menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan
rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium
dan diafragma.

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase
inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi
sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan
meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan
ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah
besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang
diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di
atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang
dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital.
Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume
yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan
ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih
mudah.
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis
akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan
meningkat sampai 50 – 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk,
yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan
menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup
adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di
pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis.
Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase
ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara
yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi
yang maksimal akan tercapai dalam waktu 30–50 detik setelah glotis terbuka,
yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap' Kecepatan udara yang
dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini
dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80%.

SUMBER :Dr.Y, Tjandra. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Unit Paru RS Persahabatan :Jakarta.

MEKANISME SESAK

Dyspnea didefinisikan sebagai pernapasan yang abnormal atau kurang


nyaman dibandingkan dengan keadaan normal seseorang sesuai dengan tingkat
kebugarannya. Dyspnea merupakan gejala yang umum ditemui dan dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi dan etiologi. Organ yang paling sering
berkontribusi dalam dyspnea adalah jantung dan paru.
Patofisiologi
Dyspnea berkaitan dengan ventilasi. Ventilasi dipengaruhi oleh kebutuhan
metabolic dari konsumsi oksigen dan eliminasi karbondioksida. Frekuensi
ventilasi bergantung pada rangsangan pada kemoreseptor yang ada di badan
karotid dan aorta. Selain itu, frekuensi ini juga dipengaruhi oleh sinyal dari
reseptor neural yang ada di parenkim paru, saluran udara besar dan kecil, otot
pernapasan, dan dinding toraks.
Pada dyspnea, terjadi peningkatan usaha otot dalam proses inspirasi dan
ekspirasi. Karena dypsnea bersifat subjektif, maka dypsnea tidak selalu
berkorelasi dengan derajat perubahan secara fisiologis. Beberapa pasien dapat
mengeluhkan ketidakmampuan bernapas yang berat dengan perubahan fisiologis
yang minor, sementara pasien lainnya dapat menyangkal terjadinya
ketidakmampuan bernapas walaupun telah diketahui terdapat deteriorasi
kardiopulmonal.
Tidak terdapat teori yang dipakai secara universal dalam menjelaskan
mekanisme dypsnea pada seluruh situasi klinik. Campbell dan Howell (1963)
telah memformulasikan teori length-tensioninappropriateness yang menyatakan
defek dasar dari dypsnea adalah ketidakcocokan antara tekanan yang dihasilkan
otot pernafasan dengan volume tidal (perubahan panjang). Kapanpun perbedaan
tersebut muncul, musclespindle dari otot interkostal mentransmisikan sinyal yang
membawa kondisi bernapas menjadi sesuatu yang disadari. Reseptor jukstakapiler
yang terlokasi di interstitium alveolar dan disuplai oleh serat saraf vagal tidak
termielinisasi akan distimulasi oleh terhambatnya aktivitas paru. Segala kondisi
tersebut akan mengaktivasi refleks Hering-Breuerdimana usaha inspirasi akan
dihentikan sebelum inspirasi maksimal dicapai dan menyebabkan pernapasan
yang cepat dan dangkal. Reseptor jukstakapiler juga bertanggung jawab terhadap
munculnya dyspnea pada situasi dimana terdapat hambatan pada aktivitas paru,
seperti pada edema pulmonal.
Pada pasien dengan edema pulmonal, cairan yang terakumulasi akan
mengaktifkan serat saraf di interstitium alveolar dan secara langsung
menyebabkan dyspnea. Substansi yang terhirup yang dapat mengiritasi akan
mengaktifkan reseptor di epitel saluran pernafasan dan memproduksi nafas yang
cepat, dangkal, batuk, dan bronkospasm. Dalam merespon kegelisahan, sistem
saraf pusat juga dapat meningkatkan frekuensi pernapasan. Pada pasien dengan
hiperventilasi, koreksi penurunan PCO2 sendiri tidak mengurangi sensasi dari
nafas yang tidak tuntas. Ini merefleksikan interaksi antara pengaruh kimia dan
saraf pada pernafasan.
Teori lain mengaitkan dyspnea dengan ketidakseimbangan asam basa,
mekanisme sistem saraf pusat, berkurangnya kapasitas bernafas, meningkatnya
usaha untuk bernafas, peningkatan tekanan transpulmonal, kelemahan otot
respiratorik, meningkatnya kebutuhan oksigen untuk bernafas, ketidaksinergisan
otot interkostal dan diafragma, serta aliran respirasi yang abnormal.
Dyspnea pada saat aktivitas fisik dapat disebabkan oleh output ventrikel
kiri yang gagal untuk meningkat selama berolahraga dan mengakibatkan
meningkatnya tekanan vena pulmonal. Pada asma kardiak, bronkospasme
diasosiasikan dengan terhambatnya aktivitas paru dan kemungkinan disebabkan
karena cairan edema pada dinding bronkus.
Dyspnea pada akhirnya akan dapat diinduksi oleh empat hal utama, yaitu:
(1)Meningkatnya kebutuhan ventilasi
(2)Menurunnya kapasitas ventilasi
(3)Meningkatnya resistensi saluran nafas
(4)Menurunnya compliance paru.(4,5,6,7)
Faktor pencetus

Inhalasi benda asing

trakheobronkial

Hipersekresi mukus

Edema mukosa

Pengaruh serabut saraf afferent


bronkokonstriksi
pada saluran nafas

Pengaruh control reflex


penafasan

hiperventilasi

sesak

Referensi :

Chemo Care. Dyspnea (shortness of breath).2014. Diunduh dari:


http://www.chemocare.com/MANAGING/dyspnea.asp

MEKANISME DEMAM

Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), suhu normal rektal pada


anak berumur kurang dari 3 tahun sampai 38 C, suhu normal oral sampai 37,5 C.
Pada anak berumur lebih dari 3 tahun suhu oral normal sampai 37,5 C, suhu rektal
normal sampai 37,8 C
Patomekanisme Demam

Gambar : Patomekanisme terjadinya demam

Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi


dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan
oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan menghilang sesudah masa yang
pendek

Sebagai respon terhadap pirogen eksogen (berbagai macam agen infeksius,


imunologis, atau agen yang berkaitan dengan toksin) sel -sel darah putih
tertentu mengeluarkan zat kimia yang memiliki banyak efek melawan infeksi
yang dikenal sebagai pirogen endogen. Pirogen endogen ini juga akan bekerja
pada pusat regulasi hipotalamus yang akan menyebabkan pengeluaran
prostaglandin untuk meningkatkan patokan thermostat hipotalamus yang
mengatur suhu tubuh
Pirogen endogen ini adalah sitokin, misalnya interleukin (IL-1,β IL-1,α IL-
6), faktor nekrosis tumor (TNF,α TNF -β) dan interferon-α (INF) yang diproduksi
oleh sel-sel radang hospes. Sebagai respon terhadap sitokin tersebut maka terjadi
sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam
arakidonat jalur siklooksigenase-2 (COX-2) dan menimbulkan peningkatan suhu
tubuh.

Hipotalamus merasa bahwa suhu normal sebelum demam terlalu dingin,


dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respon dingin untuk meningkatkan
suhu baru yang telah ditetapkan hipotalamus Menggigil ditimbulkan agar dengan
cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga
berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua
mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Pada permulaan demam mekanisme-
mekanisme tersebut menyebabkan timbulnya rasa menggigil mendadak

Referensi :

1. Sherwood Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. EGC :
Jakarta Hal. 693

2. Aru W.Sudoyono, Setiyohadi Bambang. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. 2006. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 1697

Apa yang menyebabkan dahak berwarna kecoklatan dan berbau ?

Sputum Berwarna Kecoklatan

Sputum adalah lendir dan bahan lain yang dibawah dari paru-paru ,
bronkus dan trakea yang dapat dibatukkan dan dimuntahkan atau kata “sputum”
dipinjam langsung dari bahasa latin “Spit”. Disebut juga dahak. Orang dewasa
biasanya membentuk dahak ± 100 ml/hari. Jika kelebihan produksi ,proses
pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga dahak akan terkubur. Sumber dahak
,warna , volume , dan konsistensi dahak perlu dipelajari.
Dahak adalah bahan yang dikeluarkan dari paru-paru dan trakea melalui mulut
biasanya juga disebut juga ecpectoratorian. Sputum yang dikeluarkan oleh pasien harus
dapat mengevaluasi sumber, warna , volume , dan konsistensi karena kondisi sputum
biasanya menunjukkan secara spesifik proses peristiwa patologis pada pembentuk sputum
itu sendiri. Diperlukan pemeriksaan dahak jika di duga ada penyakit paru-paru.

Orang dewasa normal dapat menghasilkan 100 ml lendir di saluran udara setiap
hari. Lendir ini digiring di dalam faring dengan mekanisme pembersihan silia dari epitel
yang melapisi saluran pernapasan. Keadaaan abnormal produksi lendir yang berlebihan (
akibat gangguan fisik, kimia atau infeksi yang terjadi pada selaput lendir ) , menyebabkan
proses pembersihan tidak berjalan secara normal sehingga banyak lendir yang terkubur .
ketika ini terjadi , selpaut lendir akan terangsang dan lendir akan dikeluarkan dengan
tekanan intra thoracic dan intra abdominal yang tinggi , batuk udara keluar dengan
akselerasi cepat bersam dengan membawa sekret lendir yang terkubur sebelumnya.
Lendir akan keluar sebagai dahak. Keluaran yang dilepaskan oleh pasien harus dievaluasi
sumber, warna, volume dan konsistensi dari kondisi dahak yang biasa menunjukkan
secara khusus proses.peristiwa patologis dalam pembentukan dahak itu sendiri.

Warna dahak bervariasi tergantung pada stadium penyakit yang diderita oleh pasien :

 Abu-abu atau kuning : nanah dan sel epitel


 Merah : pendarahan segar
 Coklat merah : darah tua dan didapat pada pneumonia lobar awal , gangren
, dll.
 Hitam : debu memasuki jalur pernapasan.

Jika ada warna merah yang melapisi darah , perhatikan juga bercampur
dengan dahak atau hanya menutupinya dengan tidak merata hanya ada bagian luar
dan apa itu darah berbusa dan warnanya muda, karakteristiknya mungkin
memberikan instruksi untuk melokalisasi pendarahan.

Referensi : J Ariyanto.Dahak.2018.Universitas Muhammadiyah Malang

Mulut Berbau

Mekanisme terjadinya halitosis sangat dipengaruhi oleh penyebab yang


mendasari keadaan tersebut. Pada halitosis yang disebabkan oleh makanan
tertentu, bau nafas berasal dari makanan yang oleh darah ditransmisikan menuju
paru-paru yang selanjutnya dikeluarkan melalui pernafasan. Secara khusus,
bakteri memiliki peranan yang penting pada terjadinya bau mulut yang tak sedap
atau halitosis. Bakteri dapat berasal dari rongga mulut sendiri seperti plak, bakteri
yang berasal dari poket yang dalam dan bakteri yang berasal dari lidah memiliki
potensi yang sangat besar menimbulkan halitosis.

VSC (Volatile Sulfur Compounds) merupakan unsur utama penyebab


halitosis. Volatile Sulfur Compound merupakan hasil produksi dari aktivitas
bekteri-bakteri anaerob di dalam mulut yang berupa senyawa berbau yang tidak
sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh
orang lain disekitarnya. Di dalam aktivitasnya di dalam mulut, bakteri anaerob
bereaksi dengan protein-protein yang ada, protein di dalam mulut dapat diperoleh
dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein sel-sel darah yang telah mati,
bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa
mulut. Seperti yang telah diketahui, di dalam mulut banyak terdapat bakteri baik
gram positif maupun gram negatif. Kebanyakan bakteri gram positif adalah
bakteri sakarolitik artinya di dalam aktivitas hidupnya banyak memerlukan
karbohidrat, sedangkan kebanyakan bakteri gram negatif adalah bakteri proteolitik
dimana untuk kelangsungan hidupnya banyak memerlukan protein. Protein akan
dipecah oleh bakteri menjadi asam-asamamino.

Sebenarnya terdapat beberapa macam VSC serta senyawa yang berbau


lainnya di dalam rongga mulut, akan tetapi hanya terdapat 3 jenis VSC penting
yang merupakan penyebab utama halitosis, diantaranya metal mercaptan
(CH3SH), dimetil mercaptan (CH3)2S, dan hidrogen sulfide (H2S). Ketiga
macam VSC tersebut menonjol karena jumlahnya cukup banyak dan mudah sekali
menguap sehingga menimbulkan bau. Sedangkan VSC lain hanya berpengaruh
sedikit, seperti skatole,amino, cadaverin dan putrescine.(9)

Referensi :

Kukkamalla MA, Cornelio SM, Bhat KM, Avadhani M, Goyal R. Halitosis


Langkah – langkah diagnosis ?

ANAMNESIS

1. Menanyakan keluhan utama (batuk) dan menggali riwayat penyakit sekarang


(RPS) Menanyakan ?

 Onset dan lamanya keluhan batuk


 Sifat dari batuk (kering atau produktif)
 Jika batuk produktif, apakah warna lendir dan apakah disertai darah?
 Keluhan lain yang menyertai batuk ? Sudah pernah berobat atau belum
2. Riwayat penyakit masa lalu (RPD)
 Apakah pernah menderita penyakit dengan keluhan yang sama
sebelumnya (batuk)?
Jika pernah batuk, apakah sudah pernah berobat? Apakah nama obat yang
digunakan sebelumnya? Adakah riwayat pengobatan spesifik 6 bulan?
 Tanyakan penyakit lain yang pernah diderita

3. Riwayat alergi:

 Apakah pernah mengalami reaksi alergi terhadap makanan, obat-obatan


dan lingkungan tertentu?

4. Mengenal riwayat psikososial

 Tanyakan kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan/berpengaruh dengan


keluhan sekarang. Misalnya riwayat merokok, riwayat pekerjaan, alergi
akan binatang peliharaan dll

5. Riwayat penyakit dalam keluarga

 Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit/keluhan yang


sama, bila ada ditanyakan kedekatannya dengan yang menderita

6. Menanyakan fungsi fisiologis lain , bila ada gangguan lanjutkan anamnesis


berdasarkan keluhan tersebut

PEMERIKSAAN FISIK

INSPEKSI

1. Melakukan pemeriksaan awal dengan memperhatikan

 Rambut (tampak kering atau tidak, mudah rontok atau tidak)


 Mata (konjugtiva terlihat anemis atau tidak, sklera terlihat ikterik atau
tidak)
 Hidung (sekret, bekuan darah, massa atau benjolan)
 Mulut (bibir sianosis/tidak, mukosa, tonsil, faring, sekret, pernapasan
cuping)
 Leher (Trakhea di tengah atau tidak, pembesaran KGB)
 Kulit: bekas herpes (neuralgia post herpetik), pelebaran vena (sindroma
cava superior, sirosis hepatis)
 Extremitas: jari-jari (sianosis/tidak, clubbing finger)
 Tingkat kesadaran

2. Perhatikan bentuk dada

 Simetris atau tidak


 Cekung atau cembung salah satu sisi atau keduaduanya
 Apakah penderita menggunakan otot-otot tambahan untuk bernafas
 Perhatikan apakah terdapat daerah-daerah yang menonjol atau retraksi
lokal
 Apakah terdapat deformitas rongga dada
 Hitung frekuensi pernapasan
 Posterior: letak vertebra, gibus, deformitas

PALPASI

3. Dengan menggunakan kedua tangan untuk memeriksa apakah ada


limfadenopati supraklavikularis dan leher, metastasis tumor

4. Lakukan pemeriksaan posisi trakea dengan jari telunjuk apakah normal, deviasi
ke kanan atau ke kiri.

5. Palpasi dinding dada, dengan menggunakan kedua tangan untuk memastikan -

 Apakah terdapat nyeri tekan lokal


 Apakah terdapat massa atau krepitasi
 Memastikan pergerakan dada (1/3 atas, tengah dan 1/3 bawah)

6. Menilai vokal remitus, letakkan kedua sisi medial telapak tangan pada
dinding/samping dada

7. Menilai pelebaran masing-masing sela iga kanan dan kiri

8. Mempersilahkan menarik nafas panjang


9. Mempersilahkan mengucapkan kata “sembilansembilan“ atau “iii iii iii“

10. Menentukan perbedaan vocal fremitus (Taktil fremitus) kiri dan kanan

PERKUSI

11. Melakukan perkusi dari atas kebawah pada dada depan merata di seluruh dada

12. Melakukan pemeriksaan kronig isthmus

13. Membandingkan tempat-tempat yang sama pada kedua sisi kanan dan kiri

14. Menentukan batas perubahan sonor ke pekak

15. Beri tanda untuk tindakan punksi percobaan (bila ditemukan daerah pekak
curiga efusi pleura) AUSKULTASI

16. Stetoskop diletakkan pada anterior, lateral dan posterior dada secara sistematis

17. Penderita diminta untuk menarik nafas panjang

18. Lakukan auskultasi secara sistematis dan bandingkan bunyi yang terdengar
pada tiap sisi

19. Menentukan jenis suara pernafasan * Vesikuler * Bronkovesikuler * Bronkial

20. Menetukan jenis suara napas tambahan : wheezing, ronchie, stridor

21. Menentukan lokasi perubahan dari suara vesikuler hingga menghilang

POSTERIOR

22. Melakukan pengulangan pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi


bagian posterior tubuh

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan ini terutama bertujuan untuk melihat adanya peningkatan sel-


sel darah petanda inflamasi seperti leukosit dan juga peningkatan laju endap
darah.

Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dahak harus mencakup pemeriksaan bilasan sputum gram
(gram stained smear) untuk membuktikan adanya radang saluran napas dan jenis
gram patogen penyebabnya.

Analisis gas darah

Analisa gas darah merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang


bertujuan untuk mengetahui keseimbangan asam basa, oksigen dalam darah, pH,
kadar karbon dioksida dan kadar bikarbonat. Pengukuran gas darah dilakukan
pada evaluasi awal seluruh pasien sesak yang memperlihatkan tekanan sistolik
kurang dari 90 mmHg, suatu frekuensi napas lebih dari 35 kali/menit atau kurang
dar 10 kali/menit atau sianosis, terutama pada pasien pertusis. Pemeriksaan ini
berguna sebagai petunjuk penggunaan suplemen oksigen dan keputusan untuk
penggunaan ventilasi mekanik.

Spirometri

Spirometri memberikan informasi beratnya obstruksi dan dapat digunakan


untuk menetukan seriusnya keadaan penyakit tersebut.

Radiologi

Foto toraks

foto toraks anterior-posterior dan lateral dilakukan apabila dicurigai


adanya kelainan pada pleura parenkim paru atau jantung.

Tes invasif

Bronkoskopi

Saluran napas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop kaku


atau fiberotopik. Tipe fiberotopik dengan anestesia topikal paling sering
digunakan karena instrumen fleksibel ini dapat memvisualisasi bronki
subsegmental dan saluran napas sentral serta lebih nyaman bagi pasien. Tipe
kaku, perlu bagi pasien dugaan hemoptisis masif dan ketika dicurigai adanya
aspirasi benda asing. Kekurangannya, dibutuhkan anastesia umum dan hanya
saluran napas sentral yang dapat divisualisasikan.

Referensi

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
Apa diagnosis banding pada skenario ?

PNEUMONIA ASPIRASI

Definisi

Pneumonia aspirasi didefinisikansebagai inhalasi isi orofaring atau


lambung ke dalam larynx dan saluran pernafasan bawah.Beberapa sindrom
pernafasan mungkin terjadi setelah aspirasi, tergantung pada jumlah dan jenis
material aspirasi, frekuensi aspirasi dan respon hostterhadap materialaspirasi.
Pneumonitis aspirasi (Mendelson’s syndrome) adalah jejas kimia yang disebabkan
oleh inhalasi isi lambung.1Nama lainnya yaitu Anaerobic pneumonia, aspirasi
vomitus, pneumonia necrotizing, pneumonitis aspirasi, pneumonitis kimia.

Epidemiologi

Pada beberapa studi, 5-15% kasus pneumonia merupakan pneumonia


aspirasi.Pneumonia aspirasi terjadi paling sering pada pasien dengan faktor
predisposisi yang sudah ada seperti stroke, kejang dan disfagia karena beberapa
kasus. Pneumonia aspirasi adalah penyebab kematian paling umum pada pasien
dengan disfagia karenasuatu kondisi akibatgangguan neurologis, yang
mempengaruhi sekitar 300.000 sampai 600.000 orang setiap tahun di Amerika
Serikat. Sedangkan aspirasi pneumonitis terjadi pada sekitar 10%pasien yang
dirawat di rumah sakit setelah overdosis obat. Ini juga merupakan komplikasi
yang disebabkan oleh anestesi umum, yang terjadi sekitar 1 dari 3000
operasidengan anesthesia umumdan merupakan 10-30%persen penyebab
kematian yangterkait dengan anestesi.Pneumonia aspirasi lebih sering dijumpai
pada pria daripada perempuan, terutama usia anak atau lanjut.

Etiologi

Terdapat 3 macam penyebab sindroma pneumonia aspirasi, yaitu aspirasi


asamlambung yang menyebabkan pneumonia kimiawi, aspirasi bakteri darioral
dan oropharingealmenyebabkan pneumonia bakterial, Aspirasi minyak, seperti
mineral oilatau vegetable oildapatmenyebabkan exogenous lipoid pneumonia.
Apirasi benda asing merupakan kegawatdaruratanparu dan pada beberapa kasus
merupakan faktor predisposisi pneumonia bakterial.Infeksi terjadi secara endogen
oleh kuman orofaring yang biasanya polimikrobialnamun jenisnya tergantung
kepada lokasi, tempat terjadinya, yaitu di komunitas atau di RS. PadaPAK, kuman
patogen terutama berupa kuman anaerob obligat (41-46%) yang terdapat di
sekitargigi dan dikeluarkan melalui ludah, misalnya Peptococcus yang juga dapat
disertai Klebsiellapnemoniae dan Stafilococcus, atau fusobacterium nucleatum,
Bacteriodes melaninogenicus, danPeptostreptococcus. Pada PAN pasiendi RS
kumannya berasal dari kolonisasi kuman anaerobfakultatif, batang Gram negatif,
pseudomonas, proteus, serratia, dan S. aureus di samping bisajuga disertai oleh
kuman ananerob obligat di atas. Kondisi yang mempengaruhi pneumonia aspirasi
antara lain:

Kesadaran yang berkurang, merupakan hasil ayang berbahaya dari reflex batuk
dan penutupan glottis

Disfagia dari gangguan syaraf

Gangguan pada system gastrointestinal, seperti penyakit esophageal,


pembedahan yang melibatkan saluran atas atau esophagus, dan aliran lambung.

Mekanisme gangguan penutupan glottis atau sfingter jantung karena trakeotomi,


endotracheal intubations(ET), bronkoskopi, endoskopi atas dan nasogastric
feeding(NGT)

Anestesi faringeal dan kondisi yang bermacam-macam seperti muntahan yang


diperpanjang, volume saluran cerna yang lebar, gastrostomi dan posisi terlentang.

Lain-lain: fistula trakeo-esofageal, pneumonia yang berhubungan dengan


ventilator, penyakit periodontal dan trakeotomi.Kondisi-kondisi ini kesemuanya
berbagi dalam seringnya dan banyaknya volume aspirasi, yang meningkatkan
kemungkinan pengembangan pneumonitis aspires

Patofisiologi

Aspirasi merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap orang.Di sini
terdapat perananaksi mukosilier dan makrofag alveoler dalam pembersihan
material yang teraspirasi. Terdapat 3 faktor determinan yang berperan dalam
pneumonia aspirasi, yaitu sifat material yang teraspirasi,volume aspirasi, serta
faktor defensif host.Perubahan patologis pada saluran napas pada umumnya tidak
dapat dibedakan antaraberbagai penyebab pneumonia, hampir semua kasus
gangguan terjadi pada parenkim disertaibronkiolitis dan gangguan
interstisial.Perubahan patologis meliputi kerusakan epitel,pembentukan mukus
dan akhirnya terjadi penyumbatan bronkus.Selanjutnya terjadi infiltrasi selradang
peribronkial (peribronkiolitis) dan terjadi infeksi baik pada jaringan interstisial,
duktusalveolaris maupun dinding alveolus, dapat pula disertai pembentukan
membran hialin danperdarahan intra alveolar.
Gangguan paru dapat berupa restriksi, difusi dan perfusi.Pneumonia
aspirasi mengarah kepada konsekuensi patologis akibat secret orofaringeal,nanah,
atau isi lambung yang masuk ke saluran napas bagian bawah. Penyakit ini terjadi
pada orang dengan level kesadaran yang berubah karena serangan cerebrovascular
accident(CVA), CNS lesion mass, keracunan obat atau overdosis dan cidera
kepala. Kebanyakan individumengaspirasi sedikit secret orofaringeal selama tidur,
dan secret tersebut akan dibersihkan secaranormal.

Aspirasi mikroorganisme patologik yang berkoloni pada orofaring adalah


cara infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang paling sering dan
menyebabkan pneumonia bakteri. Pneumonia anaerobik disebabkan oleh aspirasi
sekret orofaringeal yang terdiri dari mikroorganisme anaerob seperti Bacteroides,
Fusobacterium,Peptococcus, dan Peptostreptococcus yang merupakan spesies
yang paling sering ditemukan diantara pasien-pasien dengan kebersihan gigi yang
buruk.

Awitan gejala biasanya terjadi secara perlahan-lahan selama 1 hingga 2


minggu, dengan demam, penurunan berat badan, anemia, leukositosis, dispnea,
dan batuk disertai produksi sputum berbau busuk. Abses-abses paru yang
terbentuk pada parenkim paru dapat rusak, dan empiema dapat timbul seperti
mikroba-mikroba yang berjalan ke permukaan pleura. Kebanyakan abses-abses
tersebut terbentuk pada paru kanan bagian posterior dan segmen basilar
bronkopulmonal akibat gaya gravitasi karena banyak cabang yang langsung
menuju cabang bronkus utama kanan.

Klasifikasi

Aspirasi meliputi beberapa sindrom aspirasi:


1.) Pneumonitis kimia: aspirasi agen toksik seperti asam lambung, cidera
instanteneus ditandai dengan hipoksemia. Pengobatan membutuhkan dukungan
ventilator bertekanan positif.

2.) Reflek penutupan saluran nafas: aspirasi cairan (air, garam, makanan
nasogastrik) dapat menyebabkan laringospasme pada saluran pernafasan dan
edema pulmo yang menghasilkan hipoksemia. Pengobatan termasuk pernafasan
dengan tekanan positif yang tidak teratur dengan 100% oksigen dan isoproterenol.

3.) Obstruksi mekanik: aspirasi cairan atau zat partikel (saluran pernafasan
makanan secara parsial, hot dog, kacang) bisa menghasilkan penghambatan
mekanis yang sederhana. Terjadinya batuk, desahan dab dispnea dengan
atelektasis yang terlihat pada X-raydi dada. Pengobatan memerlukan penyedotan
trakeobronkial dan menghilangkan zat partikel dengan serat optic bronkoskopi.
4.) Pneumonia aspirasi: aspirasi bakteri dari orofaring. Pasien mengalami batuk,
demam, batuk berdahak dan hasil radiografi menunjukkan infiltrasi. Pengobatan
membutuhkan anti biotik.

Gejala Klinis

Manifestasi klinis pneumonia aspirasi ini bervariasi dari yang ringan


hingga berat dengan syok sepsis atau hingga gagal nafas, semua itu tergantung
dengan faktor penjamu, beratnya aspirasi dan kuman yang menjadi
penyebabnya.Gejala klinis dapat berupa bronkopneumonia, pneumonia lobar,
pneumonia nekrotikans,atau abses paru dan dapat diikuti terjadinya
empiema.Adapun gambaran klinis dari pneumonia aspirasi ini didukung dengan
adanya sputum berwarna kemerahan atau bisa juga kehijauan, dan sputum
tersebut berbau.Gejala klinis yang bisa ditemui juga dapat berupa gangguan
menelan dan gejala yang ada pada pneumonia yaitu demam, batuk, sesak,
kesulitan saat inspirasi atau inspirasi memanjang, dan ada nafas cuping hidung.

Gangguan menelan pada pasien pneumonia aspirasi ini diketahui bila


pasien mengeluarkan cairan atau makanan melalui hidung, lalu adanya sisa
makanan di mulut setelah menelan.Pasien juga biasanya mengeluhkan nyeri saat
menelan, seperti ada yang menyngkut di tenggorokan, terkadang sampai batuk
hingga tersedak saat makan atau minum, serta terdengar adanya bunyi yang
terdengar setelah makan.Pasien juga dapat mendadak batuk dan sesak
napassesudah makan atau minum.Awitan umumnya insidious, walaupun pada
infeksi anaerob bisamemberikan gambaran akut seperti pneumonia pneumokokus
berupa sesak napas pada saatistirahat, sianosis.Umumnya pasien datang 1-2
minggu sesudah aspirasi, dengan13 keluhan demam mengigil, nyeri pleuritik,
batuk, dan dahak purulen berbau (pada 50% kasus). Kemudian bisaditemukan
nyeri perut, anoreksia, dan penurunan berat badan, bersuara saat napas
(mengi),takikardi, merasa pusing atau kebingungan, merasa marah atau cemas.

Diagnosis

Diagnosis pneumonia aspirasi harus dilihat darigejala pasien dan temuan


daripemeriksaan fisik. Keterangan dari foto polos dada, pemeriksaan darah dan
kultur sputum yangjuga bermanfaat. Foto torak biasanya digunakan untuk
mendiagnosis pasien di rumah sakit danbeberapa klinik yang ada fasilitas foto
polosnya.Namun, pada masyarakat (praktek umum),pneumonia biasanya
didiagnosis berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik
saja.Mendiagnosispneumonia bisa menjadi sulit pada beberapa orang, khususnya
mereka dengan penyakit penyertalainnya. Adakalanya CT scan dada atau
pemeriksaan lain diperlukan untuk membedakanpneumonia dari penyakit lain.
Orang dengan gejala pneumonia memerlukan evaluasi medis.Pemeriksaan
fisik olehtenaga kesehatan menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh,
peningkatan laju pernapasan(tachypnea), penurunan tekanan darah (hipotensi) ,
denyut jantung yang cepat (takikardi) danrendahnya saturasi oksigen, yang
merupakan jumlah oksigen di dalam darah yang indikasikanoleh oksimetri atau
analisis gas darah. Orang dengan kesulitan bernapas, yang bingung, ataumemiliki
sianosis memerlukan perhatian segera.
Pemeriksaan fisik tergantung pada luas lesi di paru.Pada pemeriksaan
terlihat bagianyang sakit tertinggal waktu bernapas, fremitus raba meningkat disisi
yang sakit. Pada perkusiditemukan redup, pernapasan bronkial, ronki basah halus,
egofoni, bronkofoni, “whisperedpectoriloquy”. Kadang-kadang terdengar bising
gesek pleura (pleural friction rub). Distensiabdomen terutama pada konsolidasi
pada lobus bawah paru, yang perlu dibedakan dengankolesistitis dan peritonitis
akut akibat perforasi.

Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan jumlah leukosit yang meningkat


(lebih dari10.000/mm3, kadang-kadang mencapai 30.000/mm3), yang
mengindikasikan adanyainfeksi atau inflamasi.Tapi pada 20% penderita tidak
terdapat leukositosis. Hitung jenisleukosit “shift to the left”. LED selalu naik.
Billirubin direct atau indirect dapatmeningkat, oleh karena pemecahan dari sel
darah merah yang terkumpul dalam alveolidan disfungsi dari hepar oleh karena
hipoksia. Untuk menentukan diagnosa etiologidiperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Analisis gas darah menunjukanhipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

 Radiologi

1. Foto thoraks x-ray

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah lengkap


menunjukkanjumlah leukosit yang meningkat (lebih dari10.000/mm3, kadang-
kadang mencapai 30.000/mm3), yang mengindikasikan adanyainfeksi atau
inflamasi.Tapi pada 20% penderita tidak terdapat leukositosis. Hitung
jenisleukosit “shift to the left”. LED selalu naik. Billirubin direct atau indirect
dapatmeningkat, oleh karena pemecahan dari sel darah merah yang terkumpul
dalam alveolidan disfungsi dari hepar oleh karena hipoksia. Untuk menentukan
diagnosa etiologidiperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi.
Analisis gas darah menunjukan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.
Pemeriksaan radiologi Foto Toraks Pemeriksaan radiologi pilihan untuk
pneumonia aspirasi adalah foto toraks.Gambaran radiologi pneumonia aspirasi
bervariasi tergantung pada beratnya penyakit dan lokasinya.Lobus bawah dan
lobus tengah kanan paling sering terkena, Tetapi lobus bawah kiri juga
sering.Ditemukan area-area ireguler yang tidak berbatas tegas yang mengalami
peningkatan densitas. Pada tahap awal area densitas tinggi tersebut hanya lokal,
akan tetapi pada tahap lanjut akan berkelompok/ menyatu (infiltrat). Pada
beberapa kasus pneumonia aspirasi bersifat akut dan akan bersih dengan cepat
ketika penyebab yang menimbulkan aspirasi telah teratasi. Pada beberapa kasus,
pneumonia disebabkan oleh penyakit kronik dan aspirasi berulang akan
mengakibatkan pneumonitis basis paru kronik yang menampilkan bercak berawan
(perselubungan inhomogen).

2. Foto thoraks CT- scan

Pemeriksaan CT scan lebih unggul dibanding dengan foto konvensional


dalam menentukan sifat, luas, dan komplikasi aspirasi. Multidetektor CT (MDCT)
telah terbukti efektif dalam mengevaluasi adanya benda asing atau cairan. Pada
pasien yang diduga aspirasi benda asing, dalam hubungannya dengan MDCT,
dapat menggambarkan lokasi yang sesungguhnya. Temuan ini mungkin dapat
membantu penyebab aspirasi seperti fistulla atau tumor tenggorokan, laring, atau
kerongkongan.18Gambaran CT scan yang dapat kita peroleh pada pneumonia
aspirasi adalah adanya peningkatan densitas dari paru-paru yang terkena bahan
aspirasi berupa bayangan opak. Bayangan ini terlihat seperti konsolidasi dan
ground-glass opacities.

Penatalaksanaan

Pasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien dengan disfagi dan atau
gangguan reflex menelan perlu dipasang selang nasogastrik. Bila cairan
teraspirasi, trakea harus segera diisap untuk menghilangkan obstruksinya.
Lakukan maneuver Heimlichuntuk mengeluarkan aspirasi bahan padat, bila bahan
yang teraspirasi tidak dapat dikeluarkan segera lakukan trakeotomi
(krikotirotomi). Pengeluaran bahan yang tersangkut, biasanya dilakukan dengan
bronkoskopi.Berikan oksigen nasal atau masker bila ada tanda gagal napas
berikan bantuan ventilasi mekanik. Lakukan postural drainageuntuk membantu
pengeluaran mukus dari paru-paru.
Pneumonia aspirasi (PA) dengan tipe yang didapat di masyarakat
diberikan penisilin atau sefalosporin generasi ke 3, ataupun klindamisin 600 mg
iv/ 8 jam bila penisilin tidak mempan atau alergi terhadap penisilin. Bila PA
didapatkan di rumah sakit diberikan antibiotika spectrum luas terhadap kuman
aerob dan anaerob, misalnya aminoglikosida dikombinasikan dengan sefalosporin
generasi ke 3 atau 4, atau klindamisin.Perlu dipertimbangkan pola dan resistensi
kuman di rumah sakit bersangkutan. Dilakukan evaluasi hasil terapi dan resolusi
terhadap terapi berdasarkan gambaran klinis bakteriologis untuk memutuskan
penggantian atau penyesuaian antibiotik (AB).Tidak ada patokan pasti lamanya
terapi.Antibiotik perlu diteruskan hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis
bersih atau stabil selama 2 minggu.Biasanya diperlukan terapi 3-6 minggu.

ref : Sujana bagus gede. Pneumonia aspirasi. fakultas kedokteran universitas


udayana. hal 3-17
ABSES PARU

Definisi

Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokaisir dengan proses supurasi sehingga membentuk kavitas yang berisi
pus dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Kavitas ini berisi material
purulen sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi.
Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses)
dinamakan necrotizing pneumonia.

Gambar Abses Paru

Epidemiologi

Ada beberapa kondisi yang menyebabkan atau mendorong terjadinya abses


paru. Beberapa penelitian menyimpulkan beberapa faktor terkait, diantaranya:

a. Alkoholi (50%)
b. Ca Bronkogenik (25%)
c. Karies gigi (20%)
d. Miscellaneous (tidak teridentifikasi) 23,3%
e. Penyalahgunaan obat (cth : steroid) 3,3%
f. Epilepsi (6,6%)
Penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi pada pasien abses paru. Dari
hasil kultur sputum didapatkan adanya infeksi staphylococcus (46,%),
klebsiella(26,6%), D. pneumonia (16,6%) dan E.coli (10%). Penelitian lain
melaporkan beberapa faktor predisposisi abses paru yang terjadi pada anak-anak,
paling banyak disebabkan oleh aspirasi pada daerah orofaring.
Etiologi

Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46% abses
paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri
anaerob dan aerob. Disebut abses primer apabila infeksi diakibatkan aspirasi atau
pneumonia yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder apabila
infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti
obstruksi, bronkektasis dan gangguan imunitas.

1. Bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi


- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
2. Bakteri aerob :
Gram positif
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus microaerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumonia
Gram negative
Klebsiella pneumonia
Pseudomonas aeroginosa
Escherichia coli
Haemophilus influenza
3. Jamur : Aspergillus, Cryptococcus, Blastomyces, Coccidioides
4. Parasit (Paragonimus, Entamoeba)
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering ditemukan adalah abses paru bronkogenik akibat
aspirasi. Hal ini dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, sumbatan bronkus
maupun tumor. Sedangkan abses paru melalui hematogen biasanya berhubungan
dengan infeksi.
Patofisiologi

Proses terjadinya abses paru dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita


dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak
parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronkus,
maka terbentuklah air-fluid level bakteria masuk kedalam parenkim paru
selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli)
atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain
(nesisitatum) misalnya abses hepar.
2. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkulosis
dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses keradangan
supurasi. Pada penderita empisema paru atau polikistik paru yang
mengalami infeksi sekunder.
3. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses
abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker
bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing
yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena
pembesaran kelenjar limfe peribronkial.
4. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh
darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi
dapat terbentuk abses.
Gejala Klinis

Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia
pada umumnya yaitu:

 Demam
Dijumpai pada 70% - 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan
temperatur > 400C.
 Batuk
Pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses
dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas
(Foetor ex oroe)
 Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oroe
Dijumpai pada 40 – 75% penderita abses paru.
 Nyeri Dada
 Batuk darah
 Gejala lain : Lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan.

Radiologi

Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan
bentuk abses paru. Abses paru ditandai dengan peradangan di jaringan paru yang
menimbulkan nekrosis dengan pengumpulan nanah. Pada hari-hari pertama
penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih
segmen paru, atau hanya berupa gambaran densitas homogeny yang berbentuk
bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran radioluse dalam bayangan infiltrate
yang padat.

Abses yang terbentuk dari bahan nekrotik akan tampak sebagai jaringan lunak
sampai terhubung dengan bronkus. Hubungan ini memungkinkan pengaliran
keluar debris nekrotik. Bahan nekrotik ini akan dibatukkan keluar dan akan
menimbulkan gambaran radiologik berupa defek lusen atau kavitas.

Seiring dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah ke


saluran napas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung di dalamnya mungkin
keluar sebagian, dan menghasilkan batas udara air (air-fluid level) di dalam
cavitas pada pemeriksaan radiografik

Nekrosis akan mengakibatkan hilangnya corakan bronkovaskular normal


yang diakibatkan oleh dekstruksi hampir seluruh dinding alveoli, septa
interlobularis, dan bronkovaskular pada daerah kavitas. Parenkim paru normal di
sekitarnya bereaksi terhadap jaringan nekrosis ini dengan membentuk suatu reaksi
inflamasi di sekitar bahan nekrotik dengan edema lokal dan pendarahan. Dinding
kavitas dibentuk oleh infiltrat inflamasi di sekitar lesi, edema, perdarahan, dan
jaringan paru normal yang tertekan.
Posisi Posterior-Anterior (PA) :

Terdapat area berbatas tegas transparan di lobus kiri atas (panah putih).

Kavitas diisi oleh cairan dan udara (air-fluid level) (panah hitam).

Posisi Lateral

Pemerikasaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal,
tanda-tanda konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan ronki
basah atau krepitasi di tempat abses, mungkin ditambah dengan tanda-tanda efusi
pleura.

Apabila abses luas dan letaknya dekat dengan dinding dadakadang-kadang


terdengar suara amforik, usara nafas bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya
besar dank arena bronkus masih tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya
konsolidasi sekitar abses dan drainase abses yang baik.

Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema toraks) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding
dada tertinggal di tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak,
bunyi nafas menghilang, dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum
terutama pendorongan jantung kearah kontralateral tempat lesi.

TERAPI

 Antibiotik
Penisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari
intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram negatif dapat
ditambahkan kloramfenikol 500 mg empat kali sehari. Respons terapi
yang baik akan terjadi dalam 2-4 minggu, dan selanjutnya bisa
dilanjutkan dengan terapi antibiotik peroral. Pada terapi peroral
diberikan:

o Penisilin oral 750 mg empat kali sehari.


Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan:
o Klindamisin 600 mg tiap 8 jam,
o Metronidazol 4x500 mg, atau
o Gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.

 Drainase postural
Selalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik. Tubuh
diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun menjadi lancar. Pada
kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus,
dengan produksi sputum purulen.

 Bronkoskopi
Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi
lancar. Pada beberapa kasus, harus dikerjakan pula bronkoskopi untuk
menilai daerah abses pada cabang-cabang bronkial.

 Bedah
Sekarang ini intervensi bedah sangat jarang dilakukan pada pasien abses
paru. Tindakan bedah pada abses paru biasanya dilakukan pada kasus
dengan komplikasi seperti haemoptisis masif, fistulla bronchopleural dan
empiema.

Untuk abses akut, sebelum dilakukan upaya pembedahan harus dilakukan


upaya medik lainnya terlebih dahulu. Tanda-tanda kemajuan pada pengobatan
adalah pengurangan batuk, sputum, demam, toksisitas, infiltrasi, dan kavitasi
pulmoner secara radiologik. Bila tidak ada tanda-tanda kemajuan setelah 3-6
minggu, dapat dilakukan tindakan pembedahan. Namun apabila tindakan bedah
tidak memungkinkan akibat kondisi pasien yang buruk, tindakan bedah yang
dapat dilakukan hanyalah pengaliran melalui reseksi iga.Abses kronik yang tak
menunjukkan respon terhadap terapi medik, memerlukan reseksi ligamen atau
lobus yang terkena.

Prognosis

Bila tidak terlambat ditangani prognosisnya baik. Lebih dari 90% dari abses
paru-paru sembuh dengan manajemen medis saja, kecuali disebabkan oleh
obstruksi bronkial sekunder untuk karsinoma. Angka kematian yang disebabkan
oleh abses paru terjadi penurunan dari 30 – 40 % pada era preantibiotika dan
sampai 15 – 20 % pada era sekarang.

Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosis


yang lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi.
Beberapa faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai
berikut :
1. Anemia dan Hipoalbuminemia
2. Abses yang besar (φ > 5-6 cm)
3. Lesi obstruksi
4. Bakteri aerob
5. Immunocompromised
6. Usia tua
7. Gangguan intelegensia
8. Perawatan yang terlambat
Angka kematian untuk pasien dengan status yang mendasari
immunocompromised atau obstruksi bronkial yang dapat memperburuk abses
paru-paru mungkin mencapai 75%.

RasyidA. Abses paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata


KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI;2016

Weerakkody, Yuranga; Datir, Abhijitet al. Lung Abscess. In


http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess.

Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:


Airlangga University Press. 2005. Hal 136-140

BRONKIEKTASIS

Definisi

Bronkiektasis adalah kelainan kronik yang ditandai dengan dilatasi


bronkus secara permanen, disertai proses inflamasi pada dinding bronkus dan
parenkim paru sekitarnya. Manifestasi klinis primer bronkiektasis adalah
terjadinya infeksi yang berulang, kronis, atau refrakter, dengan gejala sisa yang
terjadi adalah batuk darah, obstruksi saluran napas kronis, dan gangguan bernapas
secara progresif. Bronkiektasis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada
usia muda, 69 % penderita berumur kurang dari 20 tahun. Gejala dimulai sejak
masa kanak-kanak, 60 % dari penderita gejalanya timbul sejak umur kurang dari
10 tahun. Gejalanya tergantung dari luas, berat, lokasi ada atau tidaknya
komplikasi. Pada makalah ini akan dijelaskan bagaimana patofisiologi
bronkiektasis, epidemiologi, etiologi, tanda dan gejala beserta pemeriksaan fisik.

Klasifikasi

Secara morfologis bronkiektasis dibagi 3 tipe


1. Bronkiektasis silindris
Seringkali dihubungkan dengan kerusakan parenkim paru, terdapat
penambahan diameter bronkus yang bersifat regular, lumen distal bronkus
tidak begitu melebar.
2. Bronkiektasis fusiform (varikosa)
Pelebaran bronkus lebih lebar dari bentuk silindris dan bersifat irregular.
Gambaran garis irregular dan distal bronkus yang mengembang adalah
gambaran khas pada bentuk varikosa.
3. Bronkiektasis kistik atau sakular
Dilatasi bronkus sangat progresif menuju ke perifer bronkus. Pelebaran
bronkus ini terlihat seperti balon, kelainan ini biasanya terjadi pada bronkus
besar, pada bronkus generasi ke 4. Bentuk ini juga terdapat pada BE
congenital.

Etiologi
1. Bronkiektasis lokal terjadi setelah pneumonia berat atau terjadi distal dari
endobronkial (benda asing atau tumor) atau obstruksi ekstrabronkial
(tuberkulosis KGB hilus-sindrom Brock).
2. Bronkiektasis generalisata : fibrosis kistik, diskinesia silier (sindrom
kartagener), sindrom young (kelainan mukus) dan defek imun (defisiensi
imunoglobulin atau komplemen, penyakit granulomatosa kronis) menyebabkan
infeksi persisten d an kerusakan dinding bronkus, begitu pula kompleks imun
(aspergilosis bronkopulmonal alergika, atritis reumatoid, penyakit inflamasi
usus). Adanya fibrosis paru sebagai penyakit yang mendasari bisa
menyebabkan tarikan dinding bronkus sehingga menjadi bronkiektasis traksi.
Penyakit langka yang berhubungan dengan keluhan ini adalah sindrom kuku
kuning, defisiensi α1-antitripsin dan sindrom marfan.
Patofiologi

Patofisiologi dari bronkiektasis dapat terjadi akibat faktor konginetal seperti


kekurangan mekanisme pertahanan yang didapat, ketika imunitas seseorang
menurun sehingga bakteri, virus, jamur dapat dengan mudah menginfeksi dan
mengakibatkan terjadinya pneumonia berulang, peradangan ini dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan permanen pada dinding bronkus. Ketika
dinding bronkus rusak sehingga batuk menjadi tidak efektif, akibatnya
kemampuan untuk mengeluarkan sekret menjadi menurun. Sekret yang
menumpuk menjadi tempat berkembangnya bakteri yang dapat menimbulkan
infeksi .

Ketika dinding bronkial yang terinfeksi menyebabkan kehilangan struktur


pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat
bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat
dan dapat mengalami batuk darah(hemoptisis) akibat nekrosis mukosa bronkus
yang mengenai pembuluh darah sehingga menimbulkan pendarahan.

Kelainan struktur kongenital seperti fibrosis kistik, sindroma kartagener dan


kurangnya kartilago bronkus dapat menyebabkan terkumpulnya sekret sehingga
kuman berkembang dan infeksi bakteri pada dinding bronkus. Infeksi ini dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan otot dan elastin sehingga terjadi kerusakan
bronkus yang menetap. Kemampuan bronkus untuk berkontraksi berkurang
dikarenakan kemampuan mengeluarkan sekret menurun sehingga terjadi
ketidakefektifan jalan nafas. infeksi bakteri pada dinding bronkus juga
menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh sehingga dapat terjadi
hipertermi.

Penyakit brokiektasis dapat terjadi pada pasien yang mengalami peyakit


paru primer (tumor paru, benda asing, Tb paru) sehingga mengakibakan obstruksi
pada saluran pernapasan. Kerusakan ini dapat menyebabkan ateletaksis,
penyerapan udara di parenkim dan sekitarnya menjadi tersumbat hal ini
menyebabkan ketidakefektifan pola nafas serta menjadikan tekanan intra pleura
lebih negatif dari tekanan atmosfer. Dengan demikian bronkus akan mengalami
dilatasi, sekret akan terkumpul menyebabkan infeksi sekunder. Sekret yang
terkumpul dapat menyebabkan mudah terjadinya infeksi sehingga akan
mengalami bronkiektaksis yang menetap dan resiko infeksi.

Retensi sekresi dan obstruksi yang pada akhirnya menyebabkan alveoli


mengalami kolaps. Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi
menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami
insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi,
dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi
kerusakan campuran gas yang di inspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi)
dan hipoksimia.

Tanda dan Gejala Bronkiektasis

Tanda dan gejala yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas
dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidaknya komplikasi
lanjut. Beberapa tanda dan gejala yang sering ditemui antara lain:

1. Batuk produktif menahun.


Sputum terdiri dari atas tiga bagian:

a. Lapisan atas agak keruh, terdiri atas mucus


b. Lapisan tengah jernih, terdiri atas saliva
c. Lapisan bawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari
bronkus yang rusak
2. Batuk darah (hemoptisis)
Akibat terjadinya nekrosis atau destruksi mukosa bronkus yang mengenai
pembuluh darah dan menimbulkan pendarahan.
3. Sesak nafas (dispnea)
Timbulnya sesak tergantung pada luasnya bronkietaksis, terkadang
menimbulkan suara mengi akibat adanya obstruksi bronkus.
4. Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami
infeksi yang berulang akibatnya sering timbul demam.
5. Kelainan fisik
a. Sianosis
b. Jari jari tabuh pada 30-50% kasus
c. Bronchi basah
d. Wheezing

Pemeriksaan Diagnostic

1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Sputum
Bila terdapat infeksi volume sputum akan meningkat, dan menjadi
purulen, mengandung lebih banyak leukosit dan bakteri. Biakan sputum
dapat menghasilkan flora normal dari nasofaring, streptokokus
pneumoniae, hemofilus influenza, stapilokokus aereus, klebsiela,
aerobakter, proteus, pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan
sputum berbau busuk menunjukkan adanya infeksi kuman anaerob.
b. Pemeriksaan Darah Tepi
Akan ditemukan dalam batas normal. Terkadang ditemukan adanya
leukositosis yang menunjukkan adanya supurasi yang aktif dan anemia
menunjukkan adanya infeksi yang menahun.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto dada PA dan Lateral
Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas
corakan menjadi kabur, mengelompok,kadang-kadang ada gambaran
sarang tawon serta gambaran kistik dan batas-batas permukaan udara
cairan.
b. Pemeriksaan Bronkografi
Ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus. Bronkografi
sendiri adalah pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras
kedalam system saluran bronkus pada berbagai posisi. Pemeriksaan
bronkografi ini juga dapat menentukan bentuk bronkiektasis yang dapat
dibedakan menjadi bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler
(kistik), dan varikosis.
3. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan spirometri dapat memperlihatkan gambaran keterbatasan aliran
napas dengan penurunan FEV1dan penurunan rasio FEV1/FVC, namun pada
beberapa pasien dapat ditemukan gambaran spirometri normal.FVC dapat normal
atau sedikit menurun mengindikasikan suatu impaksi mukus. Hipereaktivitas
bronkus juga dilaporkan didapatkan pada penderita bronkiektasis. FEV1 memiliki
korelasi terhadap keparahan abnormalitas pada HRCT. Penurunan volume paru
mengindikasikan penyakit paru interstitial sebagai penyakit dasarnya, sedangkan
peningkatan volume paru meng indikasikan suatu ai trapping atau impaksi
mukus pada saluran napas kecil.11Pemeriksaan 6 minute walking test dilakukan
untuk melihat kapasitas fungsional paru dan dapat diterapkan pada bronkiektasis.
Penurunan kapasitas latihan berkorelasi dengan tingkat keparahan pada HRCT.9
4. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sputum adalah pemeriksaan yang sangat penting
dalam penanganan bronkiektasis.Penelitian yang dilakukan di 4 pusat kesehatan
dengan spesialisasi bronkiektasis (di Hongkong; Tyler, Texas;Barcelona, Spanyol;
dan Cambridge, Inggris) mendapatkandata bahwa H influenzae adalah patogen
yang paling sering terisolasi (yaitu 29% sampai dengan 42% kasus).Patogen lain
yang sering teridentifikasi antara lain Staphylococcus aureus, Moraxella
catarrhalis,dan Pseudomonas aeruginosa. Patogen-patogen tersebut mempunyai
kemampuan menghambat bersihan mukosilier,merusak epitel respirasi, dan
membentuk biofilm yang dapat mempermudah infeksi persisten melalui
mekanisme inhibisi imunitas innate serta meningkatkan resistensi antibiotik.
Penatalaksanaan
Non-farmakologi
1. Pengendalian infeksi dengan terapi antimikroba berdasarkan pada hasil
pemeriksaan sensitivitas pada organism yang dikultur dari sputum.
2. Drainase postural untuk pernafasan dan batuk yang produktif, bertujuan
untuk mengeluarkan secret secara maksimal.
3. Bronkodilator diberikan untuk memperbaiki drainase secret. Alat
pelembab dan nebulizer dapat dipakai untuk melembabkan secret.
4. Bronkoskopi terkadang diberikan untuk pengangkatan benda asing atau
sumbatan mucus. Pasien dianjurkan untuk menghindari rangsangan
bronkus dari asap rokok dan polusi udara yang tercemar berat dan
mencegah pemakaian obat sedative dan obat yang menekan efek batuk.
5. Pembedahan dilakuakan apabila pasien tidak menunjukan perbaikan klinis
setelah mendapat pengobatan konservatif yang adekuat selama 1 tahun
atau timbul hemoptisis yang massif. Pertimbangan operasi berdasarkan
fungsi pernafasan, umur, keadaan, mental, luasnya bronkiektasis,
kemampuan ahli bedah, hasil terhadap pengobatannya.

Farmakologi

Pada saat eksaserbasi, antibiotik dapat diberikan secara oral maupun


intravena sesuai dengan derajat klinis penderita. Antibiotik oral yang digunakan,
bila memungkinkan, sebaiknya berdasarkan hasil pemeriksaan kultur sputum
Gambar Antibiotik yang digunakan()

Antibiotic intravena yang dapat digunakan()


Antibiotic yang digunakan dalam jangka panjang

Komplikasi

Ada beberapa komplikasi bronkietaksis yang dapat dijumpai pada pasien,


antar lain:

1. Bronkitis kronik.
2. Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis.
3. Pleuritis.
Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia.
Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.
4. Efusi pleura/empiema.

5. Abses metastasis di otak.

Akibat dari septicemia oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada


bronkus.
6. Hemoptisis.

Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis),


cabang arteri (arteri bronkalis) atau anastomosis pembuluh darah.
Komplikasi hemoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan
bedah gawat darurat. Sering pula hemoptisis massif yang sulit diatasi ini
merupakan penyebab kematian utama pasien bronkiektasis.
7. Sinusitis.
Keadaan ini sering ditemukan dan merupakan bagian dari komplikasi
bronkiektasis pada saluran pernapasan.
8. Kor pulmonal kronik (KPK).

Komplikasi ini sering terjadi pada pasien bronkiektasis yang berat dan
lanjut atau mengenai beberapa bagian paru. Pada kasus ini bila
anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pumonalis pada dinding
bronkus akan terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul sianosis sentral,
dan selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi
hipertensi pulmonal. Selanjutnnya terjadi gagal jantung kanan.
9. Kegagalan pernapasan

Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien bronkiektasis


yang berat dan luas.
10. Amiloidosis.
Keadaan ini merupakan perubahan degenerative sebagai komplikasi klasik
dan jarang terjadi. Pasien yang mengalami komplikasi amiloidosis ini
sering ditemukan pembesaran hati dan limpa serta proteinuria.

Prognosis
Prognosis pada pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringan dan
luasnya penyakit yang diderita pasien. Pengobatan yang tepat dapat memperbaiki
prognosis penyakit tersebut.
Pada kasus yang berat dan tidak dapat diobati, memiliki prognosis yang jelek dan
memiliki kemungkinan hidup tidak lebih dari 5-15 tahun. Kematian tersebut
biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, hemoptisis, dan lain
lain. Pada kasus tanpa komplikasi bronchitis kronik biasnya memilki disabilitas
yang ringan.

Sumber :
1. Allsagaf, Hood & Abdul Mukti. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya:Airlangga University Press
2. Rahmatullah, Pasiyan. Bronkiektasis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FK UI
3. Soeparman & Sarwono W. Ilmu penyakit dalam Jilid II Balai Penerbit
FKUI, Jakarta
4. Sylvia&Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC

Bagaimana perspektif islam yang sesuai berdasarkan skenario?

Anda mungkin juga menyukai